Pembuatan Sediaan Floating Amoksisilin Menggunakan Cangkang Kapsul Alginat dan Uji Aktivitas Antibakterinya

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ulkus Peptikum
Ulkus peptikum adalah luka yang berkembang di dalam lapisan mukosa
pada saluran pencernaan, khususunya pada bagian atas saluran pencernaan usus
halu (doedenum), esofagus, dan lambung (Dufton, 2012).Secara klinis, ulkus
peptikum adalah keadaan hilangnya epitel superfisian atau lapisan lebih dalam
dengan diameter ≥ 5 mm yang dapat diamati secara endoskopis d an radiologis
(Akil, 2009).
Penyakit ulkus peptikum kebanyakan disebabkan karena adanya asam
lambung dan enzim pepsin ketika bakteri Helicobacter pylori, obat anti inflamasi
nonsteroid (AINS), atau faktor lainnya mengganggu sistem pertahanan mukosa
dan penyembuhan mukosa. Hipersekresi dari asam lambung dan pepsin ini yang
menghambat mekanisme pertahanan mukosa dan proses penyembuhannya
(Berardi dan Welage, 2005).
Menurut Robbins dan kawan-kawan (1995), ulkus peptikum terjadi karena
adanya ketidakseimbangan antara mekanisme pertahanan mukosa lambung (faktor
defensif) dengan tekanan yang merusak lambung (faktor agresif).
a)


Faktor agresifyang merusak pertahanan mukosa adalah Helicobacter pylori,
obat anti inflamasi non-steroid, asam lambung/pepsin serta faktor-faktor
lingkungan serta kelainan satu atau beberapa faktor pertahanan yang
berpengaruh pada kejadian tukak lambung.

b) Faktor defensif, ada 3 faktor pertahanan yang berfungsi menjaga daya tahan
mukosa lambung (Akil, 2009):

7
Universitas Sumatera Utara

a.

Faktor preepitel, terdiri dari:

-

Mukus dan bikarbonat yang berguna untuk menahan pengaruh asam
lambung/pepsin


-

Lapisan mukoid, yaitu suatu struktur yang yang terdiri dari mukus dan
fibrin, yang terbentuk sebagai respon terhadap ransangan inflamasi

-

Permukaan aktif fosfolipid, yang berperan untuk meningkatkan
hidrofobisitas membran sel dan meningkatkan viskositas mukus

b.

Faktor epitel

-

Kecepatan perbaikan mukosa yang rusak, dimana terjadi migrasi sel –sel
yang sehat ke daerah yang rusak untuk perbaikan

-


Pertahanan selpengauler, kemampuan untuk memelihara elektrik gradien
dan mencegah pengasaman sel.

-

Kemampuan transporter asam-basa untuk

mengangkut bikarbonat

kedalam lapisan mukus dan jaringan subepitel dan untuk mendorong
asam keluar jaringan.
-

Faktor pertumbuha, prostaglandin dan nitrit oksida.

c.

Faktor subepitel


-

Aliran darah (mikrosirkulasi) yang berperan mengangkut nutrisi, oksigen
dan bikarbonat ke epitel sel.

-

Prostaglandin endogen menekan perlekatan dan ekstravariasi leukosit
yang merangsang reaksi inflamasi jaringan.
Belakangan ini, bukti-bukti menunjukkan bakteri Helicobacter pylori

(dahulu disebut Campylobacter pylori), mungkin merupakan agen penyebab dari
tukak peptik. Kolonisasi bakteri ini telah dilaporkan pada sejumlah besar
penderita yang mengalami tukak duodenum atau lambung serta pada beberapa

8
Universitas Sumatera Utara

bentuk gastritis akut pada kronik. Organisme ini melekat pada epitel lambung dan
merusak lapisan mukosa perlindungan dan meninggalkan daerah-daerah epitel

yang rusak (Mc Guigan, 2001).

2.2 Helicobacter pylori
Helicobacter

pylori adalah suatu basilus Gram-negatif, spiral dengan

flagela multipel lebih menyukai lingkungan mikroaerofilik. Helicobacter pylori
tidak menyerang jaringan tetapi menghuni bagian gel lendir yang melapisi sel
epitelial, dengan bagian kecil dari Helicobacter pylori melekat langsung pada sel
epitelial. Kebanyakan orang yang terinfeksi Helicobacter pylori mempunyai
neutrofil- neutrofil dalam lamina propia dan kelenjar epitel dan suatu peningkatan
dalam sel radang kronik pada lamina propia.Kolonisasi

Helicobacter pylori

dalam duodenum terbatas pada daerah metaplasia lambung dan ditemukan dalam
epitelium pasien dengan ulkus duodeni (Mc Guigan, 2001). BakteriHelicobacter
pylori bersifat mikroaerofilik dan hidup di lingkungan yang unik, di bawah mukus
dinding lambung yang bersuasana asam. Bakteri ini mempunyai enzim urease

yang dapat memecah ureum menjadi amonia yang bersifat basa, sehingga tercipta
lingkungan memungkinkan bakteri ini dapat bertahan hidup di dalam lambung
(Rani dan Fauzi, 2009).
Bakteri Helicobacter pylori adalah bakteri yang sangat suka pada kondisi
kelembapan yang tinggi, memerlukan karbondioksida yang lumayan banyak, butuh
sedikit oksigen, dan bersifat sangat patogenik. Infeksi Helicobacter pylori pada
saluran cerna bagian atas mempunyai variasi klinis yang luas, mulai dari kelompok
asimtomatik sampai tukak peptik, bahkan dihubungkan dengan keganasan dilambung
seperti adenokarsinoma tipe intestinal atau (MALT) limfoma (Rani dan Fauzi, 2009).

9
Universitas Sumatera Utara

Bakteri ini juga mempunyai keunggulan yakni bertahan dan berkembang biak
dalam lambung. Secara umum, ada 3 mekanisme infeksi bakteri H. pylori yang
menyebabkan

tukak lambung. Pertama, H. pylori menginfeksi bagian bawah

lambung antrum. Kedua, setelah infeksi akan terjadi peradangan bakteri yang

mengakibatkan

peradangan

lendir lambung (gastritis),

terjadi tanpa penampakan gejala (asimptomotik).

peristiwa ini seringkali

Ketiga, terjadinya peradangan

dapat berimplikasi terjadinya tukak lambung atau usus 12 jari. Hal ini bisa terjadi
komplikasi akut, yaitu luka dengan pendarahan dan luka berlubang (Ranidan Fauzi,
2009).

2.3 Terapi Eradikasi Helicobacter pylori
Sasaran terapi adalah menghilangkan nyeri tukak, mengobati ulkus,
mencegah kekambuhan dan mengurangi komplikasi yang berkaitan dengan tukak.
Pada penderita dengan Helicobacter pylori positif, tujuan terapi adalah mengatasi

mikroba dan menyembuhkan penyakit dengan obat yang efektif secara ekonomi
(Sukandar, et.al., 2008).
Terapi eradikasi Helicobacter pylori direkomendasikan untuk semua pasien
yang terinfeksi Helicobacter pylori dengan tukak aktif, tukak yang sudah ada
sebelumnya, atau dengan komplikasi tukak.Regimen individual harus diseleksi
berdasarkan efikasi, toleransi, interaksi obat yang potensial, resistensi antibiotik,
biaya dan kepatuhan pasien.Pengobatan harus diawali dengan regimen 3 obat, karena
pengobatan dengan regimaen 2 obat kurang efektif dan dapat menyebabkan resistensi.
Pengobatan dengan regimen 3 terapi yaitu menggunakan kombinasi dari dua
antibiotik klaritomisin, amoksisilin dan pompa proton inhibitor. Amoksisilin diganti
dengan metroniazol atau pun kombinasi antara metronidazol dan amoksisilin yang
dilakuakanselama 14 hari (Sukandar, et.al., 2008).

10
Universitas Sumatera Utara

2.4 Amoksisillin trihidrat
2.4.1 Uraian bahan

Gambar 2.1Struktur amoksisilin(Ditjen POM, 2014)

Amoksisilin mengandung tidak kurang dari 90,0% C16H19N3O5S.3H20,
dihitung terhadap zat anhidrat. Mempunyai potensi setara dengan tidak kurang
dari 900 μg dan tidak lebih dari 1050 μg per mg C16H19N3O5S, dihitung terhadap
zat anhidrat.
Nama Kimia : Asam (2S,5R,6R)-(-)-2-amino-2-(p-hidroksifenil) asetamido]-3,3
dimetil-7-okso-4-tia-1-azabisiklo[3.2.0]-heptan-2-karboksilat
trihidrat
Berat Molekul : 419,45
Pemerian

: Serbuk hablur; putih; praktis tidak berbau

Kelarutan

: Sukar larut dalam air dan metanol; tidak larut dalam benzen,
karbon tetraklorida dan kloroform.

(Ditjen POM, 2014)

Dalam kondisi temperatur dan kelembaban yang diatur amoksisilin

memiliki derajat degradasi orde pertama. Amoksisilin dalam larutan airpH
konstan (pH ± 6) mengalami degradasi orde satu atau pun pseodo orde satu.
Stabilitas amoksisilin dipengaruhi oleh perubahan pH, stabilitasnya akan
meningkat dengan penurunan pH, kelarutan paling rendah terjadi pada pH 4-6
(Kaur, et al., 2011)

11
Universitas Sumatera Utara

2.4.2 Farmakologi
Amoksisilin adalah antibiotika golongan β-laktam dengan spektrum luas,
digunakan untuk pengobatan infeksi pada saluran napas, saluran empedu dan saluran
seni, gonorhu, gastroenteritis, meningitis dan infeksi karena Salmonella sp., seperti
demam tipoid. Amoksisilin merupakan turunan penisilin yang tahan asam tetapi tidak
tahan terhadap penisilanase (Siswandono dan Soekardjo, 1995).

Amoksisilin antibakteri berisifat bakterisid yang sensitif terhadap
mikroorganisme dengan mekanisme kerja yaitu menghabat sintesis mukopeptida
dinding sel bakteri selama proses multipikasi bakteri. Dengan cara berikatan
dangan penisilin-binding-protein 1A (PBP-1A) yang berlokasi di dalam dinding

sel bakteri. Amoksisilin lebih efektif menghambat mikroorganisme Gram positif
dibandingkan dengan bakteri Gram negatif (Kaur, et al., 2011). Menurut Neal
(2005) amoksisilin lebih efektif melawan bakteri Gram-positif yang tidak
menghasilkan β-laktamase sedangkan pada bakteri Gram-negatif, amoksisilin
melawan dengan cara menembus pori–pori dalam membran fosfolipid luar.
2.4.3 Farmakokinetik
Amoksisilin dapat diabsorbsi dengan mudah dalam saluran pencernaan
merupakan yang merupakan keuntungan jika dibandingkan dengan ampisilin
karena penyerapan obat dalam saluran cerna lebih sempurna, sehingga kadar
darah dalam plasma dan saluran seni lebih tinggi, serta adanya makanan tidak
mempengaruhi penyerapan obat (Siswandono dan Soekardjo, 1995). Amoksisilin
digunukan

luas secara klinis, bukan hanya karena amoksisilin merupakan

antibakteri yang bersepktrum luas tetapi juga karena memiliki bioavabilitas yang
tinggi (70-90%) dengan puncak level plasma muncul setelah 1 sampai 2 jam.
Amoksisilin didistribusikan secara luas ke banyak jaringan, mencakup paru paru,

12
Universitas Sumatera Utara

hati, prostad, empedu, dan cairan senovial, cairan okular, tetapi penetrasinya
buruk terhadap sistem saraf pusat kecuali jika terjadi inflamasi. Kadar obat sangat
rendah ditemukan di dalam cairan aqueous humor, dan kadar obat rendah di mata,
keringat dan ludah. Sekitar 17-20% obat berikatan dengan protein plasma
manusia, secara umum albumin. Amoksisilin diekskresikan atau dibuang terutama
melalui ginjal, dalam air kemih terdapat dalm bentuk aktif. Waktu paruh (t1/2) nya

adalah 1-1,5 jam (Kaur, et al., 2011).

2.5 Sistem Penghantaran Obat Tertahan di Lambung
Sistem gastroretentifadalah sistem yang dapat tertahan didalam lambung
untuk beberapa jam dan oleh karena itu secara siknifikan dapat memperpanjang
waktu tinggal obat. Perpanjangan waktu tinggal obat didalam lambung dapat
mempengaruhi bioavabilitas, mengurangi obat yang terbuang, dan mempengaruhi
kelarutan untuk obat-obat yang memiliki kelarutan rendah di lingkungan dengan
pH yang tinggi, juga dapat digunakan untuk penghantaran obat yang bekerja lokal
di lambung dan bagian proksimal usus halus (Sharma, et al.,2011).
Banyak teknik yang telah dikembangkan untuk mendapatkan sistem
penghantaran obat yang dapat tertahan dilambung.Beberapa teknik seperti sistem
pengapungan, sistem pengembangan dan pembesaran, sistem bioadhesif, dan
sistem yang berdensitas tinggi merupakan teknik yang banyak dikembangkan
untuk mendapatkan sistem gastroretentif ini (Sharma, et al.,2011).
Kandidat obat yang sesuai untuk sediaan yang tertahan di lambung (Garg
dan Gupta, 2008; Swetha, et al., 2012):
a.

Obat-obat untuk aksi lokal dalam lambung misalnya: misoprostol, antasida,
dan antibiotik yang digunakan untuk mengobati infeksi Helicobacter pylori.

13
Universitas Sumatera Utara

b.

Obat-obat yang kelarutan rendah dalam pH alkalis misalnya: furosemida,
diazepam, verapamil, dan klordiazepoksida.

c.

Obat-obat yang terutama diabsorbsi dalam lambung atau bagian atas dari
saluran pencernaan misalnya: amoksisilin.

d.

Obat-obat yang mempunyai rentang absorpsi yang sempit di dalam saluran
pencernaan misalnya seperti: siklosporin, metotreksat, levodopa, dan
riboflavin.

e.

Obat-obat yang diabsorbsi cepat dari saluran pencernaan misalnya:
metronidazol, dan tetrasikilin.

f.

Obat-obat yang tidak stabil dan terdegradasi didalam kolon misalnya
ranitidin, metronidazol, dan metformin HCl.

g.

Obat-obat yang mengganggu mikroba kolon misalnya antibiotik untuk
Helicobacter pylori.

2.6 Sistem Pengahantaran Obat Mengapung (Floating Drug Delivery System)
Sistem floating merupakan sistem dangan berat jenis rendah yang
memiliki kemampuan cukup untuk dapat mengapung di atas cairan lambung dan
tingga di lambung dalam jangka waktu yang lama, sementara sistem mengapung
diatas cairan lambung, obat terlepas dengan perlahan bersamaan dengan itu akan
didapatkan peningkatan waktu tinggal di lambung dan pengurangan fluktuasi
konsentrasi obat di dalam plasma (Sharma, et al.,2011).Sistem ini memiliki
kerapatan massa yang kurang dari cairan lambung sehingga mengapung di
lambung tanpa mempengaruhi tingkat pengosongan lambung untuk jangka waktu
lama, obat dilepaskan perlahan pada tingkat yang diinginkan dari sistem. Setelah
pelepasan obat, sistem residual dikosongkan dari lambung.(Sharma, et al.,

14
Universitas Sumatera Utara

2011).Sistem penghantaran mengapungdalam lambung dapat dilihat pada Gambar
2.2.

Gambar 2.2Sistem mengapung di dalam lambung (Bardonnet, et al., 2006)
Sistem penghantaran obat mengapung diklasifikasikan dalam tiga variabel
mekanisme yaitu sistem effervescent, sistem non-effervescent, dan sistem
pembentuk rakit (Murthy, et al, 2015).
a. Sistem effervescent
Sistem ini dibuat dalam bentuk matriks dengan menggunakan polimer
yang dapat mengembang seperti HPMC, senyawa polisakarida lain, kitosan, dan
berbagai komponen effervescent seperti natrium bikarbonat, kalsium karbonat,
asam sitrat atau asam tartrat. Sediaan ini dirancang sedemikian rupa, sehingga
ketika kontak dengan cairan lambung, maka gas karbondioksida (CO2) akan
terlepas dan terperangkap dalam sistem hidrokoloid yang mengembang. Hal ini
membantu sediaan untuk mengapung (Goyal, et al., 2011).

Gambar 2.3 Sediaan unit tunggal effervescent floating (Murthy, et al., 2015)

15
Universitas Sumatera Utara

b. Sistem non-effervescent
Sistem non-effervescent ini mengembang apabila terjadi kontak yang
cukup lama dengan cairan lambung sehingga mencegah keluarnya obat dari
lambung.Sistem ini cenderung menyangkut di daerah mendekati spinkter
pilori.Salah satu metode formulasi yang dilakukan untuk membuat sistem ini
adalah dengan mencampurkan obat dengan gel, yang mengembang ketika kontak
dengan cairan lambung.Contoh dari tipe sistem penghantaran obat ini adalah
sistem koloid gel, sistem kompartemen mikroporos, beadsalginat, dan mikrobalon
(Murthy, et al., 2015).
Pada umumnya dalam formulasi sistem non-effervescent ini menggunakan
bahan yang mampu membentuk gel atau memiliki kemampuan mengembang yang
baik seperti senyawa hidrokoloid, polisakarida. Juga biasa digunakan bentuk
matriks dari polimer-polimer seperti polimetaakrilat, poliakrilat, polistiren dan
bioadesif

polimer

yaitu:

kitosan

dan

karbopol

(Gopalakrishnan

dan

Chenthilnathan, 2011).
c. Sistem pembentuk rakit
Sistem pembentuk rakit atau raft forming telah menarik banyak perhatian
para peneliti sebagai salah satu sistem dalam penghantaran obat yang dapat
tertahan dilambung, dimana mekanisme sistem ini melibatkan kontak antara
gelyang bersifat kohesive dengan cairan lambung. Gel tersebut akan mengembang
dan membentuk lapisan yang kontiniu atau berlapis-lapis, hal inilah yang disebut
dengan rakit. Rakitini mengembang dikarenakan adanya gas CO2 yang
menyebabkan massa jenis dari gel menjadi lebih rendah. Biasanya, sistem
penghantaran obat ini terdiri dari agen pembentuk gel dan alkalin bikarbonat atau
karbonat untuk membentuk CO2 (Murthy, et al., 2015).
16
Universitas Sumatera Utara

2.6.1 Keuntungan sistem penghantaran obat mengapung
Sistem penghantaran obat melalui sistem mengapung ini merupakan
teknologi penghantaran obat dengan retensi lambung yang lebih lama dan
memiliki beberapa keuntungan dalam pemberian obat. Menurut Sharma dan
kawan-kawan (2011) beberapa keuntungan tersebut meliputi:
a. Peningkatan penyerapan obat, karena peningkatan waktu tinggal di lambung
dan peningkatan waktu kontak obat dengan daerah penyerapan.
b. Penghantaran obat yang dapat dikendalikan pelepasannya.
c. Penghantaran obat secara lokal untuk daerah kerja di lambung.
d..Meminimalkan terjadinya iritasi pada mukosa lambung karena obat-obatan
tertentu, dengan cara melepaskan obat secara lambat pada tingkat terkendali.
e. Digunakan untuk pengobatan gangguan pencernaan.
f. Menggunakan peralatan yang sederhana dan konvensional dalam formulasinya.
g. Kemudahan dalam penggunaannya dan meningkatkan faktor kepatuhan pasien
menjadi lebih baik.
h. Penghantaran obat pada daerah tertentu
2.6.2 Kekurangan sistem penghantaran obat mengapung
Disamping memiliki banyak keuntungan sistem penghantaran obat
mengapungini, terdapat pula kekurangan dari sistem ini yaitu (Sharma, et al.,
2011):
a. Retensi lambung dipengaruhi oleh banyak faktor seperti makanan, pH dan
motilitas lambung. Faktor-faktor ini tidak pernah tetap dan karenanya daya
apung sediaan tidak dapat diprediksi.
b. Obat-obatan yang menyebabkan iritasi dan lesi pada mukosa lambung tidak
cocok untuk sistem pemberian obat ini.

17
Universitas Sumatera Utara

c. Variabilitas tinggi dalam waktu pengosongan lambung serta membutuhkan
cairan lambung yang cukup untuk mempertahankan sediaan tetap berada di
lambung.
d. Pengosongan lambung untuk pasien dalam keadaan tidur tidak dapat
diprediksi dan bergantung pula pada diameter dan ukuran sediaan
floatingtersebut. Oleh karena itu sebaiknya tidak diberikan sediaan ini saat
pasien akan tidur.
Daftar beberapa obat yang diformulasi dalam bentuk sistem penghantaran
obat mengapung dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.1 Daftar obat dalam bentuksistem penghantaran obat mengapung
(Sharma, et al., 2011)
Obat

Bentuk sediaan

Verapamil Hidroklorida

Floating Microparticles

Ketoprofen

Floating Microparticles

Ranitidin Hidroklorida

Floating Granules
Floating Beads Low density
multiparticulate System
Floating Micropellets

Metronidazol
Lansoprazole
Diltiazem Hydrochloride, Theophylline
and Verapamil Hydrochloride
Nifedipine

Foam Based Floating Microparticles
Hollow Microsphere

Acetohydroxamic Acid

Floating Microsphere

Piroxicam

Floating Microsphere

Residronate Sodium

Granules

Diltiazem Hydrochloride Granules

Granules

2.7 Kapsul
Kapsul dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat, dimana satu
macam obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan kedalam
cangkang atau wadah kecil yang umumnya dibuat dari gelatin bisa lunak dan bisa

18
Universitas Sumatera Utara

juga keras.Kebanyakan kapsul-kapsul yang diedarkan di pasaran adalah kapsul
yang

semuanya

dapat

ditelan

oleh

pasien,

untuk

keuntungan

dalam

pengobatan.Kapsul gelatin yang keras merupakan jenis yang digunakan oleh ahli
farmasi masyarakat dalam menggabungkan obat-obat secara mendadak dan di
lingkungan para pembuat sediaan farmasi dalam memproduksi kapsul pada
umumnya (Ansel, 2008).

2.8 Natrium Alginat

Gambar 2.4Struktur kimia alginat (Thom, et al., 1981)
Asam alginat adalah kopolimer biner yang terdiri dari residu β-Dmannuronat (M) dan α-L-asam guluronat (G) yang tersusun dalam blok-blok yang
membentuk rantai linear. Kedua unit tersebut berikatan pada atom C1 dan C4
dengan susunan homopolimer dari masing-masing residu (MM dan GG) dan suatu
blok heteropolimer dari dua residu (MG) (Thom, et al., 1981).
Dilaboratorium Farmasi Fisik Fakultas Farmasi USU dalam beberapa
tahun terakhir telah dikembangkan kapsul yang tahan terhadap asam
lambung.Dimana cangkang kapsul tersebut dibuat dengan bahan dasar berupa
natrium alginat dengan kalsium klorida menggunakan cetakan. Telah terbukti
bahwa cangkang kapsul alginat tahan atau tidak pecah dalam cairan lambung
buatan

(pH 1,2). Utuhnya cangkang kapsul alginat didalam medium lambung

19
Universitas Sumatera Utara

buatan pH 1,2 disebabkan komponen penyusun cangkang kapsul alginat yaitu
kalsium guluronat (Bangun, et.al., 2005).

2.9 Uji Pelepasan
Uji pelepasan dilakukan dengan uji disolusi menggunakan seperangkat alat
uji disolusi. Disolusi merupakan proses dimana suatu bahan kimia atau bahan obat
menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Dalam sistem biologik, pelarut atau disolusi
obat dalam media air merupakan suatu bagian penting sebelum kondisi absorpsi
sistemik (Shargel dan Yu, 1988).
Pelepasan obat dari bentuk sediaan dan absorbsi dalam tubuh dikontrol
oleh sifat fisika kimia dari obat dan bentuk yang diberikan, serta sifat-sifat fisika
kimia dan fisiologis dari sistem biologis. Konsentrasi obat, kelarutan dalam air,
ukuran molekul, bentuk kristal, ikatan protein, dan pKa adalah faktor-faktor fisiko
kimia yang harus dipahami untuk mendesain sediaan pelepasan terkontrol atau
terkendali (Martin, et al., 2008).
Sejumlah metode untuk menguji disolusi secara in vitro telah
dilakukan.Bila suatu sediaan obat dimasukkan kedalam beaker glass yang berisi
air atau dimasukkan kedalam saluran cerna (saluran gastrointestin), obat tersebut
mulai masuk kedalam larutan dari bentuk padatnya.Disintegrasi, deagregasi dan
disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari
bentuk dimana obat tersebut diberikan (Martin, et al., 2008).
Faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi dibagi atas 3 kategori yaitu:
a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sifat fisikokimia obat, meliputi:
i.

Efek kelarutan obat adalah faktor utama dalam menentukan laju disolusi.
Kelarutan yang besar menghasilkan laju disolusi yang cepat.

20
Universitas Sumatera Utara

ii. Efek ukuran parrtikel, ukuran partikel berkurang dapat memperbesar luas
permukaan obat yang berhubungan dengan medium, sehingga laju disolusi
akan meningkat.
b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sediaan obat, meliputi:
i.

Efek formulasi, laju disolusi suatu bahan obat dapat dipengaruhi bila
dicampur dengan bahan tambahan. Bahan pengisi, pengikat dan
penghancur yang bersifat hidrofil dapat memberikan sifat hidrofil pada
bahan obat yang hidrofob, oleh karena itu disolusi bertambah. Sedangkan
bahan tambahan yang hidrofob dapat mengurangi laju disolusi. Hal ini
kaitannya dengan kelarutan bahan tambahan yang digunakan.

ii. Efek faktor pembuatan sediaan, metode granulasi dapat mempercepat laju
disolusi obat-obat yang kurang larut. Penggunaan bahan pengisi yang
bersifat hidrofil seperti laktosa dapat menambah hidrofilisitas bahan aktif
dan dapat menambah laju disolusi.
c. Faktor-faktor yang berhubungan dengan uji disolusi, meliputi:
i.

Tegangan permukaan medium disolusi, tegangan permukaan mempunyai
pengaruh nyata terhadap laju disolusi bahan obat. Surfaktan dapat
menurunkan sudut kontak, sehingga dapat meningkatkan proses penetrasi
medium disolusi ke matriks. Formulasi tablet dan kapsul konvensional
juga menunjukkan penambahan laju disolusi obat-obat yang sukar larut
dengan penambahan surfaktan kedalam medium disolusi.

ii. Viskositas medium, semakin tinggi viskostas medium, semakin kecil laju
disolusi bahan obat.
iii. pH medium disolusi, larutan asam cenderung memecah tablet sedikit lebih
cepat dibandingkan dengan air (Gennaro, 2000).

21
Universitas Sumatera Utara

Farmakope Indonesia edisi V (2014) menuliskan beberapa alat yang dapat
digunakan untuk melakukan uji disolusi yaitu:
a. Tipe keranjang
Alat terdiri dari sebuah wadah bertutup yang terbuat dari kaca atau bahan
transparan lain yang inert; sebuah motor; batang logam yang digerakkan oleh
motor dan keranjang berbentuk silinder.Wadah tercelup sebagian di dalam suatu
tangas air yang sesuai, berukuran sedemikian sehingga dapat mempertahankan
suhu didalam wadah (37o±0,5o) selama pengujian berlangsung dan menjaga agar
gerakan air dalam tangas air halus dan tetap. Wadah disolusi memiliki kapasitas
1000 ml, memiliki tinggi 160-210 mm, diameter 98-106 mm. Untuk mencegah
penguapan dapat digunakan suatu penutup yang sesuai. Suatu alat pengatur
kecepatan digunakan untuk mengatur kecepatan putaran yang dikehendaki dan
mempertahankan kecepatan sesuai dengan yang tertera di monografi dalam batas
kurang lebih 4%.
b. Tipe dayung
Sama seperti alat tipe keranjang, kecuali pada alat ini digunakan dayung
yang terdiri dari daun dan batang sebagai pengaduk. Batang berada pada posisi
sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu
vertikal wadah dan berputar dengan halus tampa goyangan yang berarti. Jarak
25±2 mm antara daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan selama
pengujian berlangsung.
c. Silinder kaca bolak-balik
Alat terdiri dari satu rangkaian labu kaca beralas rata berbentuk silinder,
rangkaian silinder kaca yang bergerak bolak balik, penyambung inert dari baja
tahan karat dan kasa poliprepilen yang terbuat dari bahan yang sesuai, inert dan

22
Universitas Sumatera Utara

tidak mengabsorbsi, dirancang untuk menyambungkan bagian atas dan alas
silinder yang bergerak bolak balik, dan sebuah motor yang berfungsi
menggerakkan silinder. Labu tercelup sebagian di dalam suatu tangas air yang
sesuai dengan ukuran sedemikian sehingga dapat mempertahankan suhu di dalam
wadah selama pengujian berlangsung.
d. Sel yang dapat dialiri
Alat terdiri dari sebuah wadah dan sebuah pompa untuk media disolusi;
sebuah sel yang dapat dialiri, sebuah tangas air yang dapat mempertahankan suhu
media. Pompa mendorong media disolusi ke atas melalui pompa sel. Pompa
memiliki kapasitas aliran 240 ml per jam dan 960 ml per jam, dengan laju aliran
baku 4 ml, 8 ml dan 16 ml per menit. Alat memberikan aliran yang konstan; profil
aliran adalah sinusoidal dengan 120±10 pulsa/denyut per menit. Sel terbuat dari
bahan yang inert dan transparan, dipasang vertikal dengan suatu sistem
penyaringan yang mencegah lepasnya partikel tidak larut dari bagian atas sel
bagian bawah yang meruncing umumnya diisi dengan butiran kaca kecil dengan
diameter lebih kurang 5 mm yang diletakkan pada bagian ujung untuk mencegah
cairan masuk ke dalam tabung, terdapat suatu alat pemengang untuk meletakkan
bentuk sediaan tertentu, misalnya tablet.

2.10 Uji Aktivitas Antibakteri
Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan untuk mengukur respon
pertumbuhan populasi mikroorganisme terhadap agen antimikroba. Tujuan
pengujian antimikroba adalah untuk menentukan potensi dan kontrol kualitas
selama proses produksi senyawa antimikroba di pabrik, untuk menentukan
farmakokinetik obat pada hewan atau manusia, dan untuk memonitor dan

23
Universitas Sumatera Utara

mengontrol kemoterapi obat. Kegunaan uji antimikroba adalah diperolehnya
susatu sistem pengobatan yang efektif dan efisien.Beberapa macam metode uji
antimikroba dijelaskan berikut ini (Pratiwi, 2008).
2.10.1 Metode difusi
-

Metode agar cakram difusi
Metode ini merupakan metode yang paling sering digunakan, lazim

dikenal dengan cara Kirby-Bauer. Metode ini telah dikembangkan sejak tahun
1940, digunakan dalam banyak uji klinis mikrobiologi untuk pengujian
sensitivitas antimikroba. Sekarang ini, banyak santandar umum dan diakui telah
dipublikasikan oleh Clinical Laboratory Standart Institute(2012) untuk menguji
bakteri dan jamur, meskipun tidak semua bakteri tertentu dapat diuji
menggunakan metode ini.Salah satu contoh gambar hasil pengujian ativitas
antibakteri menggunakan metode difusi agar dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Metode difusi cakram agar (tes Kirby & Bauer) terhadap bakteri
C.albicas (Balouiri, et al., 2016)
Prosedur

pengujiannya,

plat

agar

diikulasi

dengan

inokulum

mikroorganisme yang telah distandarisasi. Kemudian, pencadang kertas
(beriameter 6 mm) yang mengandung bahan yang akan diuji dengan konsentarasi
yang diinginkan di tempatkan pada permukaan agar. Cawan petri diinkubasi pada

24
Universitas Sumatera Utara

kondisi yang sesuai. Umumnya, agen antimikroba akan berdifusi ke agar dan
menghambat pertumbuhan dari mikroorganisme uji dan diameter dari daerah
hambat diukur (Balouiri, et al., 2016). Antimikroba memberikan hasil kualitatif
dengan kategori sensitif, intermediat, dan resisten(Jorgensen dan Ferraro, 2009).
-

Metode E-test
Metode E-test digunakan untuk mengestimasi konsentrasi hambat

minimum (KHM), yaitu konsentrasi minimal suatu agen antimikroba untuk
menghambat pertummbuhan mikroorganisme. Pada metode ini digunakan stip
plastik yang mengandung agen antimikroba dari kadar yang terendah hingga
kadar yang tertinggi dan diletakkan pada permukaan media agar yang telah
ditanami mikroorganisme. Metode pengujian ini dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Pengamatan dilakukan pada area jernih yang telah ditimbulkannya yang
menunjukkan

kadar

agen

antimikroba

yang

menghambat

pertumbuhan

mikroorganisme pada media agar (Pratiwi, 2008).

Gambar 2.6Metode E-test (Pratiwi, 2008)
-

Metode difusi lain
Metode difusi yang lebih lanjut digunakan dalam penelitian di

laboratorium mikrobiologi untuk mencari potensi ekstrak, fraksi atau komponen
murni sebagai antimikroba atau untuk memerikasa antogonisme diantara

25
Universitas Sumatera Utara

mikroorganisme.Beberapa diantara metode tersebut yang paling umum digunakan
adalah metode difusi sumur agar, metode difusi penyumbat agar, metode goresan
menyilang, dan metode makanan kuno.(Balouiri, et al., 2016).
2.10.2 Metode dilusi
Metode dilusi (metode pengenceran) merupakan metode yang dilakukan
dengan mengencerkan zat antimikroba dan dimasukkan kedalam tabung-tabung
reaksi steril.Masing-masing tabung tersebut ditambahkan sejumlah mikroba uji
yang telah diketahui jumlahnya.Pada interval tertentu, dilakukan pemindahan dari
tabung reaksi ke dalam tabung-tabung berisi media steril kemudian diinkubasi dan
diamati penghambatan pertumbuhan.Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu
dilusi cair dan dilusi padat (Pratiwi, 2008).
-

Metode dilusi cair
Dilusi cair mikro atau makro merupakan salah satu metode uji

antimikroba yang paling dasar.Metode ini digunakan untuk mengukur KHM dan
konsentrasi bunuh minimum (KBM) (Pratiwi, 2008).Prosedurnya melibatkan
penyiapan kelipatan konsentrasi larutan dilusi agen antimikroba (contoh 1, 2, 4, 8,
16, dan 32 µg/mL) dalam media pertumbuhan bakteri cair yang didispersikan
didalam tabung bervolume minimum 2 mL (makrodilusi) atau dengan volume
yang lebih kecil menggunakan plat 96-sumur mikrotitrasi (mikrodilusi).
Kemudian, setiap tabung atau sumur di inokulasi dengan inkulum mikroba yang
telah disiapkan dalam medium yang sama, setelah suspensi dilusi mikroba
distandarisasi dengan larutan Mc Farland 0,5. Setelah diaduk dengan baik, tabung
inokulasi atau plat 96-sumur mikrotrasi diinkubasi dalam konsisi yang sesuai
tergantung dari jenis mikroorganisme uji yang digunkan (Balouiri, et al.,
2016).Prosedur pengujian dengan metode ini dapat dilihat pada Gambar 2.7.

26
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.7 Mikrodilusi cair untuk uji antibakteri berdasarkan CLSI (Balouiri,
et al., 2016)
-

Metode dilusi padat
Metode ini sama dengan metode dilusi cair namaun menggunakan media

padat, keuntungan dari metode ini adalah satu konsentrasi dari agen antimikroba
yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji (Pratiwi, 2008).
2.10.3 Media pertumbuhan bakteri
Menurut

Irianto (2006) media pertumbuhan bakteri

berdasarkan

kegunaannya dapat di bagi atas:
1.

Media selektif yaitu media biakan yang mengandung paling sedikit satu
bahan yang dapat menghambat perkembangbiakan mikroorganisme yang
tidak diinginkan dan membolehkan perkembangbiakan mikroorganisme
tertentu yang ingin diisolasi.

2.

Media difrensial yaitu media yang digunakan untuk menyeleksi suatu
mikroorganisme dari berbagai jenis dalam suatu lempengan agar

3.

Media diperkaya digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme yang
diperoleh dari lingkungan alami.

27
Universitas Sumatera Utara

2.10.4 Fase pertumbuhan bakteri
Ada empat macam fase pertumbuhan bakteri menurut Pratiwi (2008),
yaitu:
1.

Fase lag merupakan fase adaptasi dimana tidak adanya peningkatan jumlah
sel, yang ada hanya peningkatan ukuran sel. Lama fase ini tergantung pada
kondisi dan jumlah awal mikroorganisme dan media pertumbuhan.

2.

Fase log atau fase eksponensial merupakan fase dimana mikroorganisme
tumbuh dan membelah pada kecepatan maksimum, tergantung pda genetika
mikroorganisme, sifat media, dan kondisi pertumbuahan. Untuk organisme
aerob yang membatasi pertumuhan adalah oksigen.

3.

Fase stationer merupakan fase dimana pertumbuhana mikrooranisme terthenti
dan terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang membelah dengan jumlah
sel yang mati dan terjadi akumulasi produk buangan yang bersifat toksik.

4.

Fase kamatian merupakan fase dimana jumlah sel yang mati meningkat
karena ketidaktersediaan nutrisi dan akumulasi produk buangan yang bersifat
toksik.

Gambar kurva pertumbuhan bakteri dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 2.8 Fase pertumbuhan bakteri

28
Universitas Sumatera Utara