Resensi buku KEDUDUKAN DAN EKSISTENSI PE

KEDUDUKAN DAN EKSISTENSI PERADILAN AGAMA
DALAM SISTEM TATA HUKUM DI INDONESIA

BIBLIOGRAFI
Diajukan guna memenuhi tugas
dalam mata kuliah Peradilan dan Hukum Acara Islam
Disusun Oleh :
Fariq Al Faruqie

12350011 / AS- a

(085776422025)
Dosen :
Drs. Malik Ibrahim, M.Ag.
AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014

1


A. IDENTITAS BUKU
Judul Buku

: Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem
Tata Hukum di Indonesia

Penulis

: Taufiq Hamami

Cetakan

: Pertama

Penerbit

: Alumni

Tahun Penerbitan


: 2003

Jumlah halaman

: 328

B. Sistematika
Buku karangan Taufiq Hamami ini didahului dengan kata sambutan dari
Wahyu Widiana selaku Direktur Pembinaan Peradilan Agama pada watu itu
dan kata pengantar dari Taufiq Hamami. Setelah itu Mukadimah yang berisi
tentang pentingnya penegakkan hukum dan keadilan, institusi pelaksanaan
tugas penegakkan hukum dan keadilan.
Pada Bab II membahas tentang ikhtisar sejarah Peradilan Agama di
Indonesia dari awal masa kerajaan Islam, dilanjutkan masa pemerintah
Belanda, masa sesudah keerdekaan, pemerintahan Orde Lama, masa Orde
Baru, dan diakhiri masa pemerintahan reformasi pembangunan.
Bab III membahas tentang pengertian dan perangkat dasar Peradilan
Agama. Kemudian Bab IV membahas tentang kedudukan badan Peradilan
Agama dalam Negara Hukum Republik Indonesia.

Bab V menguraikan tentang susunan dan struktur Pengadilan dalam
lingungan Peradilan Agama. Pada Bab VI menguraikan tentang pembinaan
dan pengawasan badan Peradilan Agama. Pembinaan dan pengawasan ini
dibagi menjadi dua bidang, yaitu bidang teknis Yustisial dan bidang
Administrasi Umum.
Dalam Bab VII menguraikan tentang tugas dan fungsi pengadilan di
lingkungan badan Peradilan Agama dalam kehidupan bermasyarakat dan

2

bernegara di Indonesia beserta asas-asas Peradilan Agama. Kemudian pada
Bab VIII menguraikan tentang kekuasaan dan wewenang pengadilan yang
terbagi menjadi dua yaitu absolut dan relative.
Bab IX membahas tentang hukum acara yang berlaku pada pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama. Sedangkan dalam Bab X mengurikan
praktik beracara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
Bab XI membahas perihal putusan pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama. Dalam bab ini mencakup pengertian putusan, asas-asas
putusan, dan macam-macam sifat da nisi putusan.
Bab XII menjelaskan tentang upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan

terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Pada Bab
XIII membahas tentang pelaksanaan putusan pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama.
Selanutnya Bab XIV yang membahas perihal akta di bawah tangan
mengenai keahliwarisan dan akta pembagian warisan di luar sengketa. Dan
yang terakhir Bab XV yang merupakan penutup.

C. Pendahuluan
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tugas penegakan hukum
dan keadilan merupakan suatu hal yang amat penting. Perihal ini ditegaskan
oleh Allah, Tegakkan hukum dalam kehidupan masyarakat dengan adil1.
Selain itu, Allah menegaskan juga, Jadilah penegak hukum dan kebenaran
yang sejati, menjadi saksi karena Allah, meskipun terhadap dirimu sendiri,
ibu, bapak, dan kerabatmu2.
Penegasan tersebut disampaikan Allah mengingat bahwa dalam setiap
kehidupan dan pergaulan masyarakat dalam bernegara, termasuk di Negara
Hukum Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945. Keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum dalam
sistem penyelenggaraan hukum merupakan hal pokok yang sangat penting
dalam usaha mewujudkan suasana kehidupan yang aman, tenteram dan tertib

seperti yang diamanatkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).3
1 Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 58 .
2 Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 135.
3 Penjelasan umum Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.

3

Dengan hukum akan tergambar bagaimana hubungan-hubungan yang
dapat dilakukan oleh anggota masyarakat yang satu terhadap anggota
masyarakat yang lain. Hukum juga menentukan bagaimana hubunganhubungan itu dilakukan dan bagaimana pula apabila dilanggarnya.4

D. Deskripsi Buku
1. Bab I
Dalam suatu penyelenggaraan negara dan pengelolaannya seperti
Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undangundang Dasar 1945, dalam susunan kehidupannya menjadikan hukum
sebagai landasan pijaknya. Berdasarkan Undang-undang Dasar tersebut,
Negara Indonesia, dalam penyelenggaraannya dilakukan oleh beberapa
kekuasaan negara, antara lain:
Kekuasaan Pemerintah (Eksekutif),

Kekuasaan Perundang-undangan (Legislatif),
Kekuasaan Pengawasan Keuangan Negara (BPK),
Kekuasaan Kehakiman (Yudikatif),
Kekuasaan Pertimbangan (DPA), dan
Kekuasaan-kekuasaan lainnya.5
Kekuasaan negara yang melaksanakan tugas penegakkan hukum
dan keadilan demi terciptanya suatu ketertiban dan kedamaian di Negara
Republik Indonesia, dilakukan oleh Kekuasaan Kehakiman. Sebagai suatu
kekuasaan negara, salah satu institusi pelaaksananya adalah Peradilan
Agama dengan kewenangan unuk menerima, memeriksa, dan mengadili
serta menyelesaikan bidang perkara-perkara perdata tertentu yang diajukan
kepadanya dar golongan rakyat yang beragama Islam. Kehadiran Undangundang No. 7 Tahun 1989 telah menciptakan dan membawa perubahan
besar bagi performent (penampilan) Peradilan Agama, baik secara internal
maupun eksternal.6
Selain itu, kehadiran Undang-undang tentang Peradilan Agama
tersebut merupakan peneguhan dan penegasan eksistensi, penyempurnaan
4 Satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1980),
hlm. 10.
5 Undang-undang Dasar 1945
6 Departemen Agama RI, Laporan Hasil-hasil Monitering dan Evaluasi

(Penelitian) Pelaksanaan Undan-undangPeradilan Agama dan Kompilasi
Hukum Islam, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam,
2001), hlm. 1.

4

dan pemantapan organisasi, serta penyempurnaan dan univikasi kekuasaan
dan acara dari Peradilan Agama. Pembaruan ini membawa Peradilan
Agama pada kedudukan yang semestinya, dan pada kedudukannya ini ia
mampu menyelenggarakan tugas dengan baik dan mandiri, yang
memungkinkan terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum yang
berintikan keadilan7.
2. Bab II
Sebeum Islam masuk dan dianut oleh masyarakat Indonesia,
sebagian besar masyarakatnya memeluk agama Hindu. Dan pada waktu
itu, dalam kehidupan masyarakatnya telah dikenal adanya dua macam
peradilan8, yakni:
a. Peradilan Pradata,

yakni


suatu

peradilan

yang

tugas

dan

kewenangannya mengurusi dan menangani perkara-perkara yang
menjadi urusan Raja.
b. Peradilan Padu, yakni suatu peradilan yang tugas dan kewenangannya
mengurusi dan menangani perkara-perkara yang bukan menjadi urusan
raja.
Peradilan Agama di Indonesia telah ada sejak Islam itu sendiri ada
di bumi Indonesia pada abad ke tujuh atau kedelapan masehi 9,sesuai
dengan tingkat (tahapan) dan bentuknya sebagaimana ditentukan oleh
hukum Islam.

Ketika kolonial Belanda mulai memasuki Indonesia mealui VOC,
yakni sebuah wadah dagang yang telah mengarahkan sasarannya untuk
menjajah Nusantara, tidak dapat menyepelekan eksistensi Hukum Islam
yang telah berurat-akar dilaksanakan oleh masyarakat Islam Indonesia.
Meskipun VOC semakin kokoh mencengkeram dan bahkan selanjutnya
menjajah Nusantara ini, tidak mampu menekan dan membendung
pelaksanaan Hukum Islam yang menjadi keyakinan hidup. Upaya
7 Tolhah Hasan, Beberapa catatan Sekitar 10 Tahun Undang-undang
Peradilan Agama, (Jakarta: Panitia seminar Nasional 10 Tahun Undang-undang
Peradilan Agama, 1999), hlm. 16.
8 Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1977) hlm. 16.
9 Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981),
hlm. 35.

5

penghapusan Hukum Islam sama sekali yang dilakukan secara terus
menerus hanya mampu pada bidang hukum pidana.10
Pasca kemerdekaan, sejalan dengan usaha perombakan susunan

peradilan

colonial,

Republik

Indonesia

pada

tahun

1948

telah

mengeluarkan suatu Undang-undang tentang Susunan dan Kekuasaan
Badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan dengan Undang-undang No. 19
Tahun 1948.
Ternyata


Undang-undang

ini

menghendaki

dihapuskannya

Peradilan Agama sebagai suatu lembaga peradilan yang berdiri sendiri.
Akan tetapi, menyadari betapa pahit getirnya kehendak Undang-undang
No. 19 Tahun 1948 atas keberadaan Peradilan Agama oleh umat Islam
sebagai penduduk mayoritas di bumi pertiwi ini, yang dapat berakibat
timbulnya ketidaksenangan dari umat Islam, maka Undang-undng ini tidak
sampai diberlakukan.11
Pada tanggal 29 Desember 1989, Presiden Republik Indonesia
mengesahkan Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. Hal ini merupakan puncak dari kekokohan dan kemapanan Badan
Peradilan Agama sebagai Pengadilan Negara di bumi Indonesia. Pngadilan
Agama sudah tidak lagi harus menggantungkan kepada Pengadilan Negeri.
3. Bab III
Pada asal usulnya, istilah Peradilan Agama ini sebagai terjemahan
dari istilah godsdientige rechtspraak, suatu istilah yang tentunya berasal
dari perundang-undangan Belanda. Godsdientige berarti ibadah atau
agama, sedangkan rechtspraak berarti peradilan.12
Istilah peradilan, secara etimologi berasal dari kata adil
mendapatkan awalan per dan akhiran an, yang berarti sesuatu yang ada
hubungannya dengan masalah urusan tentang adil13.
10 ASA, Sejarah Peradilan Agama, (Jakarta: Serial Media dakwah,
1989), hlm. 2.
11 Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat
Pengadilan Agama Islam di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hlm. 5455.
12 Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat
Pengadilan Agama Islam di Indonesia, hlm. 15.
13 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1980), hlm. 15.

6

Secara terminologis istilah peradilan ini oleh salah seorang ahli
hukum Islam dimaksudkan sebagai suatu urusan atau tugas untuk
menyeleseikan persengketaan guna menghentikan gugat menggugat dan
guna memotong pertengkaran dengan hukum-hukum syara’ yang diambil
dari Al-Qur’an dan Sunah/Hadits. Sedangkan salah seorang ahli hukum di
Indonesia memaksudkannya sebagai segala sesuatu yang ada hubungannya
dengan tugas Negara dalam menegakkan hukum dan keadilan14.
Sebagai suatu institusi yang menyelenggarakan tugas-tugas
peradilan, Peradilan Agama harus memiliki tiga perangkat dasar, yakni
peraturan perundang-undangan, aparat penegak hukum, dan tata laksana,
sarana serta prasarana.
4. Bab IV
Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945 dalam system penyelenggaraan kenegaraannya berdasarkan
atas hukum, tidak atas kekuasaan belaka15. Maksudnya, bahwa Negara
dalam mengurus setiap bidang kehidupan termasuk di dalamnya
masyarakat, pemerintah dan lembaga-lembaga Negara yang lain dalam
melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum. Oleh karena
itu, Negara Republik Indonesia dikatakan sebagai Negara Hukum.
Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Pengadilan
dalam lingkungan:

1

Peradilan Umum,

2

Peradilan Agama,

3

Peradilan

Militer, dan 4Peradilan Tata Usaha Negara16.
Peradilan Agama, Militer, dan Tata Usaha Negara merupakan
peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu atau
mengenai golongan rakyat tertentu, sedangkan Peradilan Umum adalah
peradilan bagi rakyat pada umumnya baik mengenai perkara perdata
maupun perkara pidana.
Kedudukan Peradilan Agama dalam Negara Hukum Republik
Indonesia adalah sebagai salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman. Dan
sebagai badan peradilan khusus sebagaimana halnya Peradilan Milter dan
14 R. Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradya
Paramita, 1971), hlm. 77.
15 Penjelasan Undang-undang Dasar 1945.
16 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970, Pasal 10 ayat (1).

7

Peradilan Tata Usaha Negara, kekuasaan kehakiman yang dilaksanakannya
adalah dikhususkan untuk rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara perdata tertentu,17 yang pelaksanaannya tidak dapat
dilepaskan sama sekali daripada hukum agamanya yaitu hukum Islam.
Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Badan Peradilan Agama
dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama
dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta
menyeleseikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Kedua jenis
pengadilan ini berpuncak kepada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan
Negara Tertinggi18.
5. Bab V
Pengadilan Agama maupun Pengadilan Tinggi Agama sebagai
lembaga pelaksana Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Badan Peradilan
Agama, yang lingkup tugasnya begitu berat dan luas, tentunya perlu
mempunyai susunan dan struktur organisasi yang memadai dengan beban
tugasnya,

baik

yang

menyangkut

penanganan

perkara

maupun

administrasinya. Dengan kemandirian susunan dan struktur organisasi ini,
akan sangat berpengaruh terhadap kelancaran penyelenggaraan peradilan
itu sendiri.
Adapun susunan Pengadilan Agama adalah sebagai berikut19:
a. Pimpinan;
b. Hakim Anggota;
c. Panitera;
d. Sekretaris;
e. Juru Sita.
Sedangkan susunan dari Pengadilan Tinggi Agama adalah sebagai
berikut20:
a. Pimpinan;
b. Hakim Anggota;
c. Panitera;
d. Sekretaris.

17 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal
2.

18 Undang-undang No. 7 Tahun 1989, Pasal 3.
19 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 9 Ayat (1)
20 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 9 Ayat (2)

8

6. Bab VI
Demi kelancaran penyelenggaraan peradilan itu sendiri, pengadilan
dalam lingkungan Badan Peradilan Agama sebagaimana tersebut di atas,
mempunyai

tata

cara

dan

pengelolaan

administrasi

pengadilan.

Penyelenggaraannya dibedakan menjadi:
a. Pembinaan dan Pengawasan Bidang Teknis Yustisial
Pelaksana pembinaan dan pengawasan oleh Mahkamah Agung
terhadap Badan Peradilan Agama didasarkan atas kewenangannya
yang telah ditentukan oleh Undang-undang. Kewenangan dimaksud
meliputi hal-hal:
- Mengadili;
- Mengawasi;
- Memberi pertimbangan;
- Menguji;
- Dan lain-lainnya.
Berdasarkan kewenangan-kewenangan

tersebut

di

atas,

pembinaan dan pengawasan Mahkamah Agung terhadap Badan
Peradilan Agama secara garis besarnya meliputi bidang teknis hukum,
administrasi teknis yustisial dan perilaku/perbuatan Hakim.
b. Pembinaan dan Pengawasan Bidang Administrasi Umum
Adapun kewenangan Departemen Agama di bidang ini mencakup
tiga hal21, yakni:
- Organisasi;
- Administrasi;
- Keuangan.
7. Bab VII
Tugas dan fungsi Pengadilan pada Badan Peradilan Agama, yakni
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, dapat dipecah menjadi
dua macam, yakni:
a. Tugas Yustisial
Tugas yustisial merupan tugas pokok dari suatu pengadilan. Inti
dari tugas ini adalah menegakkan hukum dan keadilan22.
b. Tugas non-Yustisial

21 Undang-undang No.7 Tahun 1989 Pasal 5 Ayat (2).
22 Purwoto S. Ganda Subrata, Dengan Etika Profesi Hakim Kita
Tegakkan Citra, Wibawa, dan Martabat Hakim Indonesia, (Jakarta: Bima
Yustisia Mahkamah Agung RI, 1994), hlm. 3.

9

Merupakan tugas tambhan, tetapi tidak mengurangi nilai penting
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama

dalam

melaksanakan tugas-tugas peradilannya berpijak pada berbagai asas yang
dimilikinya. Asas-asas yang dimaksud yang terpokok adalah sebagai
berikut:
a. Asas Personalitas Ke-Islaman23;
b. Asas Kebebasan24;
c. Asas tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak jelas25;
d. Asas wajib mendamaikan26;
e. Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan27;
f. Asas mengadili menurut hukum dan persamaan hak28;
g. Asas persidangan terbuka untuk umum29;
h. Asas aktif memberi bantuan30;
i. Asas peradilan dilakukan dengan cara Hakim Majelis31.
8. Bab VIII
Berbicara masalah kekuasaan dan wewenang Pengadilan di
lingkungan Badan Peradilan Agama, sebagaimana seperti di Peradilan
Umum, Peradilan Militer, danPeradilan Tata Usaha Negara, di Peradilan
Agama pun dikenal adanya dua macam kekuasaan dan wewenang, yakni:
a. Kekuasaan dan wewenang absolut atau mutlak.
Kekuasaan dan wewenang absolut adalah kekuasaan dan
wewenang mengadili yang menyangkut pembagian kekuasaan antar
badan-badan peradilan32.
b. Kekuasaan dan wewenang relatif.
Yang dimaksud kekuasaan dan wewenang relatif adalah
kekuasaan dan wewenang yang diberikan antarpengadilan dalam
lingkungan Badan Peradilan yang sama, dengan kata lain dilihat dari
wilyah hukumnya.
23 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 49 ayat (1).
24 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 53 Ayat (4).
25 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 Pasal 14 Ayat (1).
26 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 65.
27 Undang-undang No 14 Tahun 1970 Pasal 4 Ayat (2).
28 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 58 Ayat (1).
29 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 59.
30 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 58 Ayat (2).
31 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 62 Ayat (2).
32 Retnowulan Sutantio, dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acra
Perdata dalam teori dan Praktik, (Bandung: Mandar Maju, 1989), hlm. 8.

10

9. Bab IX
Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur
tentang bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil
dengan perantaraan hakim33.
Dengan kata lain, dapat diartikan bahwa yang dimaksud dengan
hukum acara perdata pada Pengadilan di lingkungan Badan Peradilan
Agama adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang bagaimana
caranya mengajukan tuntutan hak di Pengadilan pada lingkungan Badan
Peradilan Agama, bagaimana cara hakim-hakimnya memeriksa dan
memutus perkara yang ditanganinya, dan bagaimana pula cara
melaksanakan putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan di lingkungan
Badan Peradilan Agama.
10. Bab X
Pada umumnya, dalam teori dan praktik hukum acara perdata
umum, perkara-perkara yang masuk dan ditangani oleh pengadilan, terbagi
kepada dua macam, yakni:
a. Perkara yang bersifat Contensius (mengandung sengketa, yang disebut
gugatan), dan
b. Perkara yang bersifat Voluntaire (tidak mengandung sengketa, yang
disebut permohonan).
Dalam paham hukum acara perdata umum, peradilan atas perkara
gugatan dikatakan peradilan yang sesungguhnya, sedangkan peradilan atas
perkara permohonan dikatakan sebagai peradilan suka rela34.
Pada hakikatnya tugas Hakim/Majelis Hakim dalam proses
penanganan perkara adalah memimpin jalannya persidanganuntuk
mendapatkan suatu putusan atau penetapan, ia harus mampu dan pandaipandai mengendalikan jalannya persidangan agar perjalanannya lancar
tidak terhambat dan tidak bertele-tele yang berakibat memakan waktu
yang berkepanjangan.
Praktik peradilan dalam beracara pada Pengadilan dalam lingungan
Badan Peradilan Agama adalah melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
33 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,
(Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm. 2.
34 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, hlm.3.

11

a. Tahapan pendahuluan;
b. Tahapan pemeriksaan dan putusan; serta
c. Tahapan penyeleseian perkara.35
11. Bab XI
Dalam penyusunan

putusan yang dimaksud untuk mengakhiri

suatu perkara, ada tiga hal yang amat penting yang harus diperhatikan dan
harus dipenuhi dalam penyusunan putusan tersebut. Ketiga hal dimaksud
adalah adil, kepastian, dan kemanfaatan. Putusan harus adil, mempunyai
kepastian hukum dan bermanfaat bagi kedua belah pihak dan masyarakat.
Jika didefinisikan, putusan pengadilan adalah suatu pernyataan
haki, yang olehnya sebagai Pejabat Kekuasaan Kehakiman yang diberi
wewenang untuk itu, diucapkan di dalam persidangan dengan maksud dan
tujuan untuk mengakhiri suatu perkara atau persengketaan antara dua
belah pihak yang bersengketa.36

12. Bab XII
Dalam hal salah satu pihak atau pihak-pihak tidak puas atas
putusan yang telah dijatuhkan oleh Pengadilan Agama maupun Pengadilan
Tinggi Agama, kepadanya diberikan hak untuk menggunakan upaya
hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa.
Yang dimaksud upaya hukum adalah upaya atau alat untuk
mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suat putusan 37. Adapun
yang dimaksud upaya hukum biasa adalah upaya hukum atas putusan atau
penetapan Pengadilan yang belum berkekuatan hukum tetap. Sedangkan
yang dimaksud dengan upaya hukum luar biasa adalah upaya hukum atas
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Adapun upaya hukum dimaksud adalah:
a. Upaya hukum biasa:
- Upaya hukum Verzet;
- Upaya hukum Banding; dan
- Upaya hukum Kasasi.
35 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 2 Ayat (1).
36 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, hlm. 167168.

37 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, hlm. 186.

12

b. Upaya hukum luar biasa:
- Upaya hukum peninjauan kembali; dan
- Denden Verzet (perlawanan) dari pihak ketiga.
13. Bab XIII
Pelaksanaan putusan Pengadilan adalah merupakan rangkain
terakhir daripada proses peradilan. Suatu putusan dapat dilaksanakan
apabila ia telah berkekuatan hukum tetap, artinya putusan tersebut sudah
tertutup dan sudah tidak ada lagi jalan untuk upaya hukum biasa bagi
pihak atau pihak-ihak yang berperkara.
14. Bab XIV
Berdasarkan pengertian umum bahwa tidak ada sengketa tidak ada
perkara, maka selama tidak ditentukan lain oleh Undang-undang, perkara
mengenai kewarisan di Pengadilan Agama adalah harus diajukan,
diperiksa, diadili, dan diputus secara contensius.
Dalam melayani kebutuhan masyarakat terhadap ha-hal yang tidak
ada unsur sengketanya bukan dilayani melalui perkara secar voluntair yang
berproduk hukum penetapan, tetapi harus dilayani melalui pembuatan
Akta di Bawah Tangan mengenai Keahliwarisan dan Akta Pembagian
Warisan di luar sengketa.38

E. Sasaran Pembaca
Adapun yang menjadi segmentasi / sasaran pembaca dari buku ini secara
khusus adalah orang-orang Fakultas Hukum yang terdiri dari mahasiswa dan
dosen, advokat, hakim, maupun jaksa. Dan secara umum ditujkan kepada
msyarakat umum guna menambah wawasan terkait kedudukan dan eksistensi
Peradilan Agama dalam system tata hukum di Indonesia.
.

F. Kelebihan Buku
Setelah membaca buku karangan Taufiq Hamami yang berjudul
Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum di
Indonesia ini, penulis menemukan beberapa kelebihan dari buku ini,
diantaranya adalah sebagai berikut:
38 Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama, Pedoman Pelaksanaan
Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II, (Jakarta: Mahkamah Agung RI,
1998), hlm. 108 dan 231.

13

1.
2.
3.
4.

Penjelasan materinya ringkas, padat dan berisi.
Penjabarannya mudah dimengerti
Dalam penyusunannya, telah tersusun secara sistematis.
Terdapat lampiran-lampiran terkait Undang-undang yang berhubungan
dengan pembahasan dalam buku.

14

G. Kekurangan Buku
Tiada gading yang tak retak, begitu pula tidak ada karya yang tidak
memiliki kekurangan. Maka kekurangan yang penulis temukan dari buku
karangan Taufiq Hamami ini diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Tidak terdapat indeks terkait kata-kata yang tidak dapat dimengerti secara
seketika.
2. Ketidakkonsistennya dalam penulisan footnote.

H. Kritik
Berdasarkan dari kekurangan diatas maka penulis memberikan saran
guna memberikan dampak positif bagi kita semua di waktu yang akan datang,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Memberikan indeks dalam buku sehingga mempermudah pembaca dalam
memahami kata-kata yang sulit dimengerti.
2. Lebih dikonsistenkan dalam penulisan footnote agar terlihat lebih tersusun
secara baik.

I. Refrensi
ASA, Sejarah Peradilan Agama, Jakarta: Serial Media dakwah, 1989.
Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid III, Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Hasan, Tolhah, Beberapa catatan Sekitar 10 Tahun Undang-undang Peradila
Agama, Jakarta: Panitia seminar Nasional 10 Tahun Undang-undang
Peradilan Agama, 1999.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:
Liberty, 1988.
Noeh, Zaini Ahmad, Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia,
Surabaya: Bina Ilmu, 1983.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1980.
Raharjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1980.
Subrata, Purwoto S. Ganda, Dengan Etika Profesi Hakim Kita Tegakkan
Citra, Wibawa, dan Martabat Hakim Indonesia, Jakarta: Bima Yustisia
Mahkamah Agung RI, 1994.

15

Sutantio, Retnowulan, dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acra Perdata
dalam teori dan Praktik, Bandung: Mandar Maju, 1989.
Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Jakarta: Pradnya Paramita,
1977.

16