Lembaga Independen Dalam RUU Pelayanan P
Lembaga Independen Dalam
RUU Pelayanan Publik : Apa dan Mengapa?
Oleh : Muslimin B. Putra
Seiring digulirnya wacana RUU Pelayanan Publik yang telah menjadi agenda
pembahasan di Komisi II DPR pada tahun 2006, dikalangan masyarakat sipil
menginginkan keberadaan sebuah lembaga independen yang berfungsi menjadi
pengawas praktek pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyedia layanan
publik.
Draft DIM (Daftar Inventaris Masalah) versi MP3 (Masyarakat Peduli
Pelayaan Publik) secara jelas menunjukkan keberadaan lembaga independen tersebut,
sementara
versi
pemerintah
(MenPAN
sebagai
pengusul
RUU)
tidak
mengakomodirnya.
Awal bergulirnya wacana lembaga independen bermula ketika digelar Diskusi
Publik yang digelar oleh Jaringan Advokasi Pelayanan Publik (JAPP) di Hotel Ibis,
Jakarta pada 13 Desember 2005 lalu. Salah satu pemateri kala itu yakni Roy V.
Salomo, staf pengajar Administrasi Publik Universitas Indonesia dalam makalahnya
menyebutkan perlunya dibentuk independent regulatory body. Dalam pandangan
Salomo, lembaga independen tersebut berfungsi sebagai regulator.
Dalam perkembangannya, gagasan tersebut diadopsi oleh JAPP yang
kemudian berganti nama menjadi MP3 (Masyarakat Peduli Pelayaan Publik) dalam
salah satu workshop di Puncak Pas, Bogor pada awal 06-08 Januari 2006. Namun
berbeda dari gagasan awal dengan fungsi regulasi, lembaga independen yang
dihasilkan oleh workshop MP3 tersebut adalah lembaga independen yang berfungsi
sebagai lembaga pengawas. Tentunya fungsi keduanya sangat berbeda dan bertolak
belakang namun semuanya dimungkinkan untuk dilakukan berdasarkan desain yang
diinginkan.
Fungsi lembaga independen yang diinginkan masyarakat sipil (MP3) masih
sebatas wacana karena belum berani menyebutkan label dari lembaga yang diinginkan
tersebut. Ketidakberanian menyebutkan satu nama yang disepakati menandakan
adanya semacam perasaan ambigu: disatu sisi menginginkan satu kelembagaan baru,
namun pada sisi lain tidak tegas menyebutkan satu nama dari lembaga independen
tersebut.
Ketidakberanian menyebutkan satu nama mungkin disebabkan ketidaktegasan
keberadaan lembaga independen tersebut. Sementara bila menginginkan keberadaan
satu lembaga dalam sebuah peraturan perundang-undangan, harus disebutkan secara
tegas nama lembaga tersebut, tidak sekedar menyebutkan “lembaga independen”.
Mengacu pada UU yang ada sebelumnya, semua kelembagaan baru yang dihasilkan
oleh sebuah peraturan perundang-undangan selalu disebutkan secara jelas seperti UU
Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyebutkan KPPU (Komisi
Pengawas Persaingan Usaha) sebagai lembaga ikutannya, UU Perlindungan
Konsumen menyebutkan BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) sebagai
lembaga bentukannya, UU Penyiaran yang menghasilkan Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI), UU Pemilu yang menelorkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan seterusnya.
Sedang contoh kasus pada level RUU (Rancangan Undang-Undang) adalah RUU
Perlindungan Saksi yang menginginkan adanya lembaga baru bernama Lembaga
Perlindungan Saksi (LPS). Contoh lainnya adalah KKR (Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi) yang sudah diundangkan, namun anggotanya belum dipilih dan belum
disahkan oleh presiden.
Menilik dari DIM (Daftar Isian Masalah) versi MP3, tersirat bahwa lembaga
independen yang diinginkan adalah lembaga independen yang berada di tingkat
nasional. Sedang dari segi status berbentuk extra auxiliary state body (lembaga
sampiran/tambahan negara), seperti halnya dengan lembaga-lembaga sejenis seperti
KPU (Komisi Pemilihan Umum), Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komnas
Anak, KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), dan KPPU yang terbentuk atas perintah
Undang-undang dan bertanggungjawab langsung kepada presiden.
Sementara bila melihat permasalahan pelayanan publik, ranahnya berada pada
tingkat wilayah kota/kabupaten yang merupakan unit pemerintahan terkecil selain
tingkat desa atau nama sejenisnya. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga independen
untuk mengawasi pelayanan publik bukanlah berada pada tingkat nasional yang hanya
akan bersifat mengatur (regeeling), tetapi lembaga independen yang bersifat
mengawasi dan memantau (controlling & monitoring) sehingga dengan demikian
contoh yang lebih mendekati lembaga independen yang dimaksud MP3 adalah mirip
dengan peran yang dilakukan BPSK yang berada pada level kota/kabupaten.
Bila MP3 ingin konsisten dengan nama RUU yang diusung, sebagai usulan
adalah nama lembaga independen yang diinginkan diberi nama KP3 (Komisi
Pengawas Pelayanan Publik). Disamping memiliki kemiripan nama antara MP3 dan
KP3, juga untuk mendekatkan antara nomenklatur undang-undang dengan lembaga
independen yang diusulkannya. Hal ini untuk mendekatkan antara fungsi lembaga
(fungsi pengawas) dengan wilayah kerja lembaga (pelayanan publik).
Untuk lebih rinci tentang tugas, kewenangan dan keanggotaan usulan pendapat ini
sebagai berikut : Komisi/KP3 diserahi tugas yakni Pertama, melakukan penilaian
terhadap
perjanjian
yang
dapat
mengakibatkan
terjadinya
pelanggaran
kesepakatan/cedera janji sebagaimana termuat dalam Piagam Warga/Kontrak
Layanan; Kedua, melakukan penilaian terhadap kegiatan pelayanan publik yang
dilakukan penyedia pelayanan publik yang dapat mengakibatkan terjadinya
pelanggaran Piagam Warga/Kontrak Layanan; Ketiga, menyusun pedoman atau
publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini; Keempat, memberikan saran dan
pertimbangan kepada kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pelayanan publik;
Kelima, melakukan tindakan sesuai dengan wewenang Komisi; Keenam, membuat
laporan pertangungjawaban secara terbuka dan berkala kepada Bupati/Walikota dan
Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah sekurang-kurangnya sekali dalam setahun.
Sedang kewenangan Komisi/KP3 meliputi : Pertama, menerima laporan dari
masyarakat tentang dugaan adanya pelanggaran kesepakatan sebagaimana yang
tertera pada Piagam Warga/Kontrak Layanan; Kedua, melakukan penelitian tentang
dugaan adanya tindakan penyedia layanan publik yang dapat mengakibatkan
terjadinya pelanggaran kesepakatan dalam Piagam Warga/Kontrak Layanan; Ketiga,
melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan serta menyimpulkan terhadap kasus
dugaan pelanggaran kesepakatan sebagaimana tertera dalam Piagam Warga/Kontrak
Layanan; Keempat, memanggil penyedia layanan publik yang diduga telah melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini; Kelima, memanggil dan
menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui
pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini; Keenam, meminta bantuan
penyidik untuk menghadirkan penyedia layanan publik, saksi, saksi ahli dan atau
setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan komisi; Ketujuh, mendapatkan,
meneliti dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan
atau pemeriksaan; Kedelapan, memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya
kerugian pada pihak penerima layanan publik; Kesembilan, memberitahukan putusan
Komisi kepada pihak penyedia layanan publik yang diduga melakukan pelanggaran
kesepakatan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam ketentuan undang-undang ini;
Kesepuluh, menjatuhkan sanksi sesuai dengan klasifikasi pelanggaran kepada
penyedia layanan publik yang melanggar ketentuan undang-undang ini.
Sedang ketentuan keanggotaan Komisi/KP3 adalah Komisi terdiri atas seorang
ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan sekurangkurangnya 5 (lima) orang anggota; Anggota Komisi diangkat dan diberhentikan oleh
bupati/walikota atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah; masa jabatan
anggota Komisi adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali
masa jabatan berikutnya; apabila karena berakhirnya masa jabatan terjadi kekosongan
dalam keanggotaan Komisi, maka masa jabatan anggota dapat diperpanjang sampai
pengangkatan anggota baru. Anggota Komisi dapat berhenti atau diberhentikan
karena: meninggal dunia, mengundurkan diri atas permintaan sendiri, sakit jasmani
atau rohani secara terus menerus, berakhirnya masa keanggotaan anggota Komisi,
diberhentikan, atau bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia.
Pemberhentian semestinya ditetapkan oleh keputusan Bupati/Walikota.
Sedang pembiayaan lembaga ini dibebankan kepada negara melalui APBN
maupun APBD, serta sumber lain yang tidak mengikat dan tidak melanggar peraturan
perundang-undangan.
Penulis, Anggota Tim Loby MP3 (Masyarakat Peduli Pelayanan Publik).
Tulisan ini adalah pendapat pribadi
RUU Pelayanan Publik : Apa dan Mengapa?
Oleh : Muslimin B. Putra
Seiring digulirnya wacana RUU Pelayanan Publik yang telah menjadi agenda
pembahasan di Komisi II DPR pada tahun 2006, dikalangan masyarakat sipil
menginginkan keberadaan sebuah lembaga independen yang berfungsi menjadi
pengawas praktek pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyedia layanan
publik.
Draft DIM (Daftar Inventaris Masalah) versi MP3 (Masyarakat Peduli
Pelayaan Publik) secara jelas menunjukkan keberadaan lembaga independen tersebut,
sementara
versi
pemerintah
(MenPAN
sebagai
pengusul
RUU)
tidak
mengakomodirnya.
Awal bergulirnya wacana lembaga independen bermula ketika digelar Diskusi
Publik yang digelar oleh Jaringan Advokasi Pelayanan Publik (JAPP) di Hotel Ibis,
Jakarta pada 13 Desember 2005 lalu. Salah satu pemateri kala itu yakni Roy V.
Salomo, staf pengajar Administrasi Publik Universitas Indonesia dalam makalahnya
menyebutkan perlunya dibentuk independent regulatory body. Dalam pandangan
Salomo, lembaga independen tersebut berfungsi sebagai regulator.
Dalam perkembangannya, gagasan tersebut diadopsi oleh JAPP yang
kemudian berganti nama menjadi MP3 (Masyarakat Peduli Pelayaan Publik) dalam
salah satu workshop di Puncak Pas, Bogor pada awal 06-08 Januari 2006. Namun
berbeda dari gagasan awal dengan fungsi regulasi, lembaga independen yang
dihasilkan oleh workshop MP3 tersebut adalah lembaga independen yang berfungsi
sebagai lembaga pengawas. Tentunya fungsi keduanya sangat berbeda dan bertolak
belakang namun semuanya dimungkinkan untuk dilakukan berdasarkan desain yang
diinginkan.
Fungsi lembaga independen yang diinginkan masyarakat sipil (MP3) masih
sebatas wacana karena belum berani menyebutkan label dari lembaga yang diinginkan
tersebut. Ketidakberanian menyebutkan satu nama yang disepakati menandakan
adanya semacam perasaan ambigu: disatu sisi menginginkan satu kelembagaan baru,
namun pada sisi lain tidak tegas menyebutkan satu nama dari lembaga independen
tersebut.
Ketidakberanian menyebutkan satu nama mungkin disebabkan ketidaktegasan
keberadaan lembaga independen tersebut. Sementara bila menginginkan keberadaan
satu lembaga dalam sebuah peraturan perundang-undangan, harus disebutkan secara
tegas nama lembaga tersebut, tidak sekedar menyebutkan “lembaga independen”.
Mengacu pada UU yang ada sebelumnya, semua kelembagaan baru yang dihasilkan
oleh sebuah peraturan perundang-undangan selalu disebutkan secara jelas seperti UU
Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyebutkan KPPU (Komisi
Pengawas Persaingan Usaha) sebagai lembaga ikutannya, UU Perlindungan
Konsumen menyebutkan BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) sebagai
lembaga bentukannya, UU Penyiaran yang menghasilkan Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI), UU Pemilu yang menelorkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan seterusnya.
Sedang contoh kasus pada level RUU (Rancangan Undang-Undang) adalah RUU
Perlindungan Saksi yang menginginkan adanya lembaga baru bernama Lembaga
Perlindungan Saksi (LPS). Contoh lainnya adalah KKR (Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi) yang sudah diundangkan, namun anggotanya belum dipilih dan belum
disahkan oleh presiden.
Menilik dari DIM (Daftar Isian Masalah) versi MP3, tersirat bahwa lembaga
independen yang diinginkan adalah lembaga independen yang berada di tingkat
nasional. Sedang dari segi status berbentuk extra auxiliary state body (lembaga
sampiran/tambahan negara), seperti halnya dengan lembaga-lembaga sejenis seperti
KPU (Komisi Pemilihan Umum), Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komnas
Anak, KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), dan KPPU yang terbentuk atas perintah
Undang-undang dan bertanggungjawab langsung kepada presiden.
Sementara bila melihat permasalahan pelayanan publik, ranahnya berada pada
tingkat wilayah kota/kabupaten yang merupakan unit pemerintahan terkecil selain
tingkat desa atau nama sejenisnya. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga independen
untuk mengawasi pelayanan publik bukanlah berada pada tingkat nasional yang hanya
akan bersifat mengatur (regeeling), tetapi lembaga independen yang bersifat
mengawasi dan memantau (controlling & monitoring) sehingga dengan demikian
contoh yang lebih mendekati lembaga independen yang dimaksud MP3 adalah mirip
dengan peran yang dilakukan BPSK yang berada pada level kota/kabupaten.
Bila MP3 ingin konsisten dengan nama RUU yang diusung, sebagai usulan
adalah nama lembaga independen yang diinginkan diberi nama KP3 (Komisi
Pengawas Pelayanan Publik). Disamping memiliki kemiripan nama antara MP3 dan
KP3, juga untuk mendekatkan antara nomenklatur undang-undang dengan lembaga
independen yang diusulkannya. Hal ini untuk mendekatkan antara fungsi lembaga
(fungsi pengawas) dengan wilayah kerja lembaga (pelayanan publik).
Untuk lebih rinci tentang tugas, kewenangan dan keanggotaan usulan pendapat ini
sebagai berikut : Komisi/KP3 diserahi tugas yakni Pertama, melakukan penilaian
terhadap
perjanjian
yang
dapat
mengakibatkan
terjadinya
pelanggaran
kesepakatan/cedera janji sebagaimana termuat dalam Piagam Warga/Kontrak
Layanan; Kedua, melakukan penilaian terhadap kegiatan pelayanan publik yang
dilakukan penyedia pelayanan publik yang dapat mengakibatkan terjadinya
pelanggaran Piagam Warga/Kontrak Layanan; Ketiga, menyusun pedoman atau
publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini; Keempat, memberikan saran dan
pertimbangan kepada kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pelayanan publik;
Kelima, melakukan tindakan sesuai dengan wewenang Komisi; Keenam, membuat
laporan pertangungjawaban secara terbuka dan berkala kepada Bupati/Walikota dan
Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah sekurang-kurangnya sekali dalam setahun.
Sedang kewenangan Komisi/KP3 meliputi : Pertama, menerima laporan dari
masyarakat tentang dugaan adanya pelanggaran kesepakatan sebagaimana yang
tertera pada Piagam Warga/Kontrak Layanan; Kedua, melakukan penelitian tentang
dugaan adanya tindakan penyedia layanan publik yang dapat mengakibatkan
terjadinya pelanggaran kesepakatan dalam Piagam Warga/Kontrak Layanan; Ketiga,
melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan serta menyimpulkan terhadap kasus
dugaan pelanggaran kesepakatan sebagaimana tertera dalam Piagam Warga/Kontrak
Layanan; Keempat, memanggil penyedia layanan publik yang diduga telah melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini; Kelima, memanggil dan
menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui
pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini; Keenam, meminta bantuan
penyidik untuk menghadirkan penyedia layanan publik, saksi, saksi ahli dan atau
setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan komisi; Ketujuh, mendapatkan,
meneliti dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan
atau pemeriksaan; Kedelapan, memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya
kerugian pada pihak penerima layanan publik; Kesembilan, memberitahukan putusan
Komisi kepada pihak penyedia layanan publik yang diduga melakukan pelanggaran
kesepakatan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam ketentuan undang-undang ini;
Kesepuluh, menjatuhkan sanksi sesuai dengan klasifikasi pelanggaran kepada
penyedia layanan publik yang melanggar ketentuan undang-undang ini.
Sedang ketentuan keanggotaan Komisi/KP3 adalah Komisi terdiri atas seorang
ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan sekurangkurangnya 5 (lima) orang anggota; Anggota Komisi diangkat dan diberhentikan oleh
bupati/walikota atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah; masa jabatan
anggota Komisi adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali
masa jabatan berikutnya; apabila karena berakhirnya masa jabatan terjadi kekosongan
dalam keanggotaan Komisi, maka masa jabatan anggota dapat diperpanjang sampai
pengangkatan anggota baru. Anggota Komisi dapat berhenti atau diberhentikan
karena: meninggal dunia, mengundurkan diri atas permintaan sendiri, sakit jasmani
atau rohani secara terus menerus, berakhirnya masa keanggotaan anggota Komisi,
diberhentikan, atau bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia.
Pemberhentian semestinya ditetapkan oleh keputusan Bupati/Walikota.
Sedang pembiayaan lembaga ini dibebankan kepada negara melalui APBN
maupun APBD, serta sumber lain yang tidak mengikat dan tidak melanggar peraturan
perundang-undangan.
Penulis, Anggota Tim Loby MP3 (Masyarakat Peduli Pelayanan Publik).
Tulisan ini adalah pendapat pribadi