STRATEGI PENGEMBANGAN PRODUK PADA INDUST
STRATEGI PENGEMBANGAN PRODUK
PADA INDUSTRI KECIL OBAT TRADISIONAL
DI INDONESIA SERTA PERAN PEMERINTAH
DALAM PENGEMBANGANNYA
Mohd. Harisudin1
Pendahuluan
Dalam memenangkan persaingan untuk memenuhi permintaan pasar, dunia usaha dituntut
meningkatkan efisiensi proses produksinya sekaligus meningkatkan efektivitas dalam mencapai
tujuan-tujuannya. Industri yang tidak menerapkan mindset yang demikian akan tergilas oleh
derasnya arus persaingan yang diterapkan para kompetitornya. Mindset tersebut telah menjadi
ideologi bisnis bagi pelaku usaha, terutama yang ingin masuk dalam persaingan global.
Dampak dari lahirnya kekuatan pelaku usaha yang berorientasi pada pasar global telah dirasakan
pelaku usaha secara keseluruhan, bahkan pelaku usaha yang hanya menjual dalam wilayah geografis
kecilpun merasakan dampak kekuatan tersebut. Dari sisi pelaku usaha, perubahan yang terjadi dalam
persaingan oleh sebagian pelaku usaha dianggap sebagai ancaman, namun perusahaan sejenis lainnya
ada yang menerjemahkan sebagai suatu tantangan, sekaligus peluang besar bagi pengembangan
usahanya. Dengan kata lain, ancaman ataupun peluang bisnis sangat ditentukan oleh kemampuan
perusahaan memahami perubahan yang terjadi dan meresponnya dalam bentuk sikap dan tindakan
ke depan melalui suatu perencanaan yang sistematis.
Meskipun peran pemerintah sebagai regulator sekaligus dinamisator memang tetap diperlukan,
terutama dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif, namun demikian dari sisi pelaku usaha
mindset yang harus ditumbuh kembangkan adalah bagaimana rumusan strategi perusahaan untuk
dapat bertumbuh kembang pada kemampuannya sendiri. Kasus semakin pendeknya daur hidup
produk (product life cycle) atau jasa yang ada adalah sebagai “kelalaian” pihak manajemen
perusahaan yang tidak mampu menyesuaiakan dinamika perubahan perilaku konsumen/pasar.
Seiring dengan semakin besarnya gaya hidup back to nature, penjualan produk berbahan herbal
meningkat pesat. Sebagai ilustrasi, penjualan produk suplemen makanan dunia tahun 1998 mencapai
US$ 40 milyar, dan sejumlah US$ 19,8 milyar merupakan produk yang dibuat dari bahan herbal
(Dennin, 2000). Dari sumber yang lain, penjualan produk herbal mencapai US$ 30 milyar pada tahun
2000 dari US$ 12,4 milyar pada tahun 1994. Pertumbuhan perdagangan antara tahun 1990-1997,
rata-rata mencapai 25% per tahun untuk produk-produk herbal supplement dan 5-15% untuk
produk-produk herbal medicine (ITC, 2001).
1
Jurusan Agrobisnis Fak. Pertanian Univ. Sebelas Maret Surakarta. Email address: [email protected]
KONPERNAS PERHEPI 2007 [05] -33
Potensi Sumber Daya Alam Indonesia
Kondisi faktual Indonesia sebagai negara dengan sumber daya alam hayati dengan biodiversity
nomor dua setelah Brazilia berpeluang sebagai produsen produk-produk yang mengandalkan bahan
baku dari alam. Indonesia memiliki sekitar 30.000 jenis (spesies) yang telah diidentifikasi dan 950
spesies diantaranya diketahui memiliki fungsi biofarmaka, yaitu tumbuhan, hewan, maupun
mikroba yang memiliki potensi sebagai obat, makanan kesehatan, nutraceutical yang baik untuk
manusia, hewan maupun tanaman. Lebih kurang 180 spesies telah digunakan dalam ramuan obat
tradisional oleh industri obat tradisional Indonesia (Sampurno, 1999).
Produk-produk food supplement, makanan fungsional (functional food) adalah dua produk yang
memiliki peluang usaha yang sangat prospektif untuk dikembangkan seiring dengan semakin
berkembangnya gaya hidup kembali ke alam (back to nature) yang dimulai oleh semakin sadarnya
masyarakat negara-negara maju. Tanaman obat sudah dikenal dan digunakan di seluruh dunia sejak
ribuan tahun yang lalu. Di Indonesia, penggunaan tanaman obat alami telah ada sejak zaman nenek
moyang hingga kini dan terus dilestarikan sebagai warisan budaya (Harmanto, 2003).
Kecenderungan kuat untuk menggunakan pengobatan dengan bahan alam tidak hanya berlaku di
Indonesia, tetapi juga berlaku di banyak negara, karena diyakini mempunyai efek samping yang
lebih kecil dibandingkan obat-obat kimia modern (Maheshwari, 2002). Sat ini sekitar 80 %
penduduk dunia tergantung pada obat-obatan alami. Dengan demikian kebutuhan penduduk dunia
terhadap obat-obatan alami sangat tinggi, sekaligus merupakan peluang pasar yang baik bagi industri
yang menggunakan tanaman obat sebagai bahan bakunya.
Omzet perdagangan suplemen makanan untuk pasar Amerika Serikat pada tahun 1999 mencapai
US$ 7 milyar. Dari angka tersebut 29% (US$ 4,4 milyar) merupakan suplemen makanan berbahan
herbal dan 19% merupakan konsumen tetap produk herbal (Dennin, 2000). Untuk pasar Eropa, pada
tahun 1999 mencapai US$ 13,5 milyar, meliputi 55% (US$ 7,43 milyar) adalah produk herbal,
Jerman memperoleh pangsa 48% (± US$ 3,57 milyar), Perancis 24% (± US$ 2 milyar), Italia 9% (±
US$ 0,73 milyar), Inggris 6% (± US$ 0,52 milyar) dan sisanya negara-negara Eropa lainnya. Untuk
kawasan Asia, pada tahun 2000 nilai pasar domestik China untuk produk-produk herbal medicine
mencapai US$ 5 milyar dan nilai ekspornya mencapai US$ 1 milyar (Pramono, 2001). Angka ini
diperkirakan jauh di bawah angka sebenarnya, karena menurut Anonim (2003) ekspor China untuk
komoditas herbal medicine pada tahun 1994 sudah mencapai US$ 2 milyar. Perdagangan komoditas
herbal di Jerman cukup besar, karena tidak lepas dari komitmen para tenaga medisnya (dokter). Di
negara tersebut sebanyak 80% dokter menggunakan secara rutin tanaman obat sebagai terapi kepada
pasiennya.
Fenomena di atas sangat bertolak belakang dengan kondisi Indonesia, meski didukung sumber daya
alam hayati (SDAH) yang melimpah. Jumlah omset perdagangan produk dalam negeri tahun 1999
baru mencapai US$ 77,42 juta; jumlah ekspornya US$ 23,9 juta (Pramono, 2001). Selanjutnya
Pramono (2002) melaporkan bahwa omset penjualan dalam negeri tahun 2000 hanya sebesar 900
milyar rupiah. Pasar perdagangan tanaman obat beserta produk jadinya meningkat tajam pada tahun
2001 senilai Rp 2,5 triliun (Sinaga, 2002). Namun demikian, peluang Indonesia menjadikan produkproduk berbahan herbal menjadi besar sangat terbuka. Ditunjang kekayaan alamnya yang melimpah
dan jumlah penduduk yang besar, maka terdapat dua alternatif integration strategy yang dapat
KONPERNAS PERHEPI 2007 [05] -34
dikembangkan, yaitu strategi integrasi ke hulu (backward integration) dan integrasi horisontal
(horizontal integration).
Pemikiran Strategis Industri (Kecil) Obat Tradisional
Porter (1997) mendefinisikan strategi sebagai upaya untuk mencapai keunggulan bersaing melalui
suatu kesatuan rencana yang menyeluruh, komprehensif dan terpadu yang diarahkan untuk
mencapai tujuan perusahaan. Berbeda dengan Porter, Hamel and Prahalad (1995) lebih menekankan
arti strategi dalam konteks sisi kompetensi inti berdasarkan sudut pandang atau harapan para
pelanggan di masa depan.
Istilah strategi dalam konteks perusahaan pertama kali muncul pada dekade tahun 1970-an. Pada
masa sebelumnya, dalam merumuskan suatu arah dan tujuan rencana ke depan perusahaan, pihak
manajemen masih mengandalkan pada kekuatan internal (Ansoff and McDonnell, 1990). Seiring
dengan meningkatnya dinamika lingkungan (environment of the turbulence) bisnis, maka
diperlukan sistem yang lebih responsif terhadap masalah yang semakin kompleks, yaitu berupa
perencanaan strategi (strategy planning) yang juga mempertimbangkan faktor-faktor eksternal.
Karena keterbatasan sumberdaya yang dimiliki terutama bagian penelitian dan pengembangan
(research and development), permodalan, jaringan distribusi, maka biasanya sebagian besar Industri
(kecil) obat tradisional memilih strategi bersaing yang mudah dilaksanakan, yaitu mengikuti produk
yang sudah ada (me-too product) atau yang agak complicated melalui strategi pengembangan produk
baru (new product development strategy). Strategi pengembangan produk baru merupakan solusi
dari pemecahan masalah yang mempertimbangkan aspek pasar dan aspek produk (Ansoff and
McDonnell, 1990).
Produk Saat ini
Pasar
Strategi Penetrasi Pasar
Strategi Pengembangan
Produk Baru
Strategi Pengembangan
Pasar
Strategi Diversifikasi
Saat ini
Pasar
Baru
Produk Baru
Gambar 1. Matriks Ansoff
Untuk mencapai tujuannya, strategi pengembangan produk tetap harus mempertimbangkan polapola dari kecenderungan yang sedang dan akan terjadi pada konsumen sebagai pihak yang membeli
dan mengkonsumsi produk tersebut, serta mendasarkan pada perkembangan teknologi yang
memiliki keunggulan kompetitif (Clarke and Thomas, 1990; Best, 1991; Urban and Hauser, 1993)
serta keunggulan komparatif sumber daya.
Pengembangan produk didefinisikan sebagai suatu inovasi yang digambarkan dalam bentuk
rangkaian kegiatan guna menghasilkan produk baru. Menurut Hippel (1985), kriteria suatu produk
dapat dikategorikan baru, bila dilihat dari sisi perusahaan maupun pasar termasuk ke dalam enam
golongan, yaitu (1) produk baru atau produk yang menciptakan pasar baru; (2) lini produk baru atau
KONPERNAS PERHEPI 2007 [05] -35
produk untuk pertama kali memasuki pasar yang sudah ada; (3) tambahan pada lini produk yang
sudah ada atau produk yang menambah lini produk yang sudah ada di suatu perusahaan; (4)
penyempurnaan atas produk yang sudah ada; (5) penempatan kembali atau produk yang sudah ada
dipasaran pada pasar baru atau segmen pasar baru; (6) penekanan biaya atau produk yang sama
dengan produk yang sudah ada pada biaya yang lebih rendah.
Strategi pengembangan produk juga dapat dijadikan sebagai respon positif dalam menangkap isu
utama dari globalisasi bisnis yaitu persaingan. Dalam konteks ini, persaingan bisnis harus
diinterpretasikan secara positif sebagai perlombaan untuk selalu menghasilkan dan memberikan nilai
tambah yang lebih baik kepada konsumen, organisasi maupun masyarakat umum. Inilah hal yang
paling esensial (sine qua non) dari persaingan global. Strategi ini tidak semata-mata bertujuan
memenangkan persaingan dengan menghancurkan pesaing, melainkan mengajak pesaing untuk
berlomba memenuhi secepat dan setepat mungkin “keinginan” konsumen. Strategi yang ‘menjaga’
harmonisasi dengan pesaing tersebut oleh mirip dengan pepatah Jawa yang berbunyi ngeluruk tanpa
bala (memenagkan persaingan tanpa persekongkolan) dan menang tanpa ngasorake (memenangkan
persaingan dicapai tanpa merendahkan/menghancurkan pesaing, tetapi melalui gagasan-gagasan
positif dari kekuatan olah pikir, prakarsa dan upaya).
Sejalan dengan fenomena di atas, kecenderungan persaingan bisnis global saat ini telah bergeser dari
level negara ke level perusahaan, hingga level produk. Dalam hal ini, konsumen tidak lagi terlalu
peduli suatu produk dibuat oleh negara mana, tetapi lebih ditekankan pada nilai/kegunaan produk
tersebut dan keunggulan komparatif produk tersebut atas produk pesaing lainnya. Dengan demikian,
kekuatan utama yang berperan penting dalam melahirkan inovasi-inovasi untuk menawarkan
keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif adalah sumber daya manusia (SDM) melalui riset
dan pengembangan.
Kelebihan memilih strategi pengembangan produk adalah karena memiliki kompetensi pada
portofolio produk-produk sejenis, sehingga strategi ini lebih terfokus pada sesuatu yang belum
dilakukan oleh pesaing, sekaligus berusaha menghindari kelemahan-kelemahan yang dimiliki
produk-produk pesaing dari industri pesaing. Kelebihan lain dari strategi ini adalah diperolehnya
banyak tepat (tepat ide, tepat pasar, tepat posisi, tepat segmen, tepat produk, tepat harga, tepat
distribusi, tepat pelayanan) melalui strategi pengembangan produk baru yang sesuai dengan tuntutan
eksternal dan kompetensi internal (Babcock, 1991; Urban and Hauser, 1993).
Kenyataan saat ini menunjukkan pasar telah terpecah-pecah, sehingga strategi pengembangan
produk tidak lagi berorientasi pada pasar besar, tetapi harus mengarah kepada segmen pasar yang
lebih sempit (Kotler, 1993). Sebagai contoh kasus : Produk berbahan herbal yang diklaim untuk
melancarkan darah ke otak (yang selanjutnya diklaim menjadi meningkatkan konsentrasi), saat ini
industri farmasi dan jamu banyak bersaing pada pasar orang dewasa dan tua. Pasar yang masih belum
banyak diperebutkan adalah pasar konsumen usia remaja/pelajar. Dikaitkan dengan klaim produk
dengan jumlah konsumen pada segmen ini yang sangat besar dan perilaku konsumennya yang sangat
dinamis, maka peluang untuk memasuki segmen pasar ini sangat terbuka lebar. Sampai saat ini,
konsumen segmen ini dikuasai cerebrovit dan terakhir mulai dimasuki oleh sakatonik abege. Pangsa
pasar kedua produk ini mencapai 60-70% dari keseluruhan pasar di Indonesia. Pasar potensial
segmen ini sejak tahun 1996 telah melewati angka 9 juta, suatu angka yang melebihi jumlah
penduduk Singapura.
Contoh kasus kajian akademis tentang prospek bisnis pengembangan produk berbahan herbal oleh
Harisudin (2004) menghasilkan suatu kesimpulan bahwa prospek pengembangan produk berbahan
KONPERNAS PERHEPI 2007 [05] -36
herbal sangat menggembirakan dari sisi kajian kelayakannya. Kelayakan teknis terjadi karena
ditunjang ketersediaan bahan baku yang melimpah di Indonesia, sehingga ada jaminan keberlanjutan
ketersediaan bahan baku produksi. Derivat dari kelayakan teknis ini akan menumbuhkan investasi,
menyerap tenaga kerja dan sekaligus peluang mendatangkan devisa negara bagi perekonomian
rakyat dan bangsa. Selain layak dari sisi teknis, usaha tersebut juga layak dari sisi finansial (seluruh
kriteria investasi yang digunakan yang meliputi: NPV, Net B/C, IRR, Payback period) karena
ditunjang daya terima konsumen terhadap produk baru yang dikembangkan dibanding produkproduk yang telah ada di pasaran.
Analisis Situasi Obat Tradisional Indonesia
Meskipun dalam 5 tahun terakhir perkembangan industri obat herbal di Indonesia meningkat tajam,
namun bila dibandingkan dengan besarnya jumlah penduduk/pasar di Indonesia, padahal disatu sisi
negeri ini masih dililit pendapatan perkapita yang rendah, pajak yang diperoleh masih sedikit, dan
tingginya angka pengangguran. Dengan demikian peluang yang ada diharapkan dapat mengatasi
masalah-masalah yang saat ini menjadi masalah bersama. Beberapa catatan yang menjadi pekerjaan
Pemerintah dalam masalah ini adalah :
1. Sumberdaya Manusia Depkes dan BPOM
Dalam rangka meningkatkan pasar obat herbal, maka kata kuncinya adalah efektivitas obat
herbal/khasiat yang nyata dari obat herbal yang dikonsumsi masyarakat melalui standar bahan baku,
proses produksi dan evaluasi hasil adalah mutlak diperlukan. Mengingat masih banyaknya
pengusaha (kecil dan besar) yang lebih kental nuansa bisnisnya (kurang memperhatikan khasiat),
maka pemerintah perlu melakukan pembinaan-pembinaan yang bersifat sistematis dengan mindset
pelayanan pada aparat pemerintah.
2. Sistem Pengendali Kebijakan
Dalam rangka mencapai tujuan dari ditetapkan suatu kebijakan, maka perlu dibuat sistem
pengendaliannya. Dalam konteks pengembangan industri (kecil) obat tradisional di Indonesia, maka
kebijakan itu harus menunjang keseluruhan sistem dalam industri (kecil) obat tradisional. Sistem
tersebut meliputi subsistem budidaya tanaman obat, subsistem pengolahan pasca panen, subsistem
pemasaran obat herbal. Keseluruhan dari sistem pengendalian kebijakan didesain untuk pencapaian
customer satisfaction.
3. Deregulasi
Saat ini bila ada calon pengusaha yang ingin berusaha di industri pengolahan obat tradisional harus
mengurus banyak perijinan (setidaknya 7 surat ijin yang membutuhkan waktu 12 bulan efektif).
Disamping itu, didalam proses perijinan tersebut diperlukan modal yang relatif besar, terutama dalam
rangka untuk memenuhi stabilitas produk akhir seperti : Menyiapkan tanah untuk industri,
menyiapkan gedung untuk pabrik, menyiapkan instalasi dan mesin-mesin, menyiapkan karyawan,
repotnya administrasi perpajakan, mengurangi risiko lingkungan sosial, susahnya pemasaran)
Bila harus melewati jalan ini secara legal, harus berapa tahun rencana usaha baru bisa berjalan ? bisabisa sudah kehilangan celah/peluang bisnis karena sudah diisi oleh pengusaha yang sudah ada ?
berapa modal yang harus disiapkan ?. Pertanyaan selanjutnya adalah : Mungkinkan Pemerintah
KONPERNAS PERHEPI 2007 [05] -37
dapat mencipta lahirnya pengusaha-pengusaha kecil yang bergerak disektor obat tradisional ?
Bisakah obat tradsional Indonesia menjadi tuan rumah di Indonesia ?
Alternatif Solusi
Efisiensi usaha merupakan nisbah antara unsur penerimaan dengan unsur biaya (R/C). Semakin
besar nilai perbandingan antara penerimaan dan biaya, maka semakin tinggi tingkat efisiensinya.
Penerimaan besar belum menjamin efisiensi yang tinggi jika jumlah biaya yang dikeluarkan juga
besar. Dengan demikian, kedua unsur harus dipertimbangkan secara bersama-sama dalam
analisisnya. Secara umum, cara-cara untuk mencapai efisiensi yang tinggi (nilai keuntungan yang
tinggi) adalah dengan melakukan upaya-upaya meningkatkan sisi penerimaan atau mengurangi sisi
pembiayaan.
Mengingat pengusaha kecil memiliki keterbatasan dalam hal permodalan, yang berimplikasi pada
rendahnya nilai investasi teknologi yang digunakan, maka proses produksinya menjadi kurang
efisien, dan pada akhirnya berakibat pada tingginya harga pokok produksi (HPP) dibanding produk
sejenis yang dihasilkan perusaah pesaing. Dengan tingginya HPP ini menyebabkan daya saing
produk di pasar menjadi rendah.
Demikian pula dalam konteks industri (kecil) obat tradisional, maka untuk menekan alokasi biaya
dalam proses produksi yang ditanggung para pengusaha kecil, maka Pemerintah dapat mengambil
peran lebih aktif melalui pendirian badan usaha milik pemerintah daerah (BUMD) yang mendukung
keberlangsungan usaha para pengusaha kecil. Langkah ini diharapkan dapat berdampak pada :
1.
Menekan biaya dari sisi pengusaha/industri (kecil) obat tradisional
2.
Harga jual menjadi lebih kompetitif
3.
Keselamatan konsumen menjadi lebih mudah dikontrol
4.
Sumber pendapatan pemerintah daerah
5.
Menekan alokasi biaya investasi
6.
Merangsang tumbuhnya industri (kecil) obat tradisional
KONPERNAS PERHEPI 2007 [05] -38
DAFTAR PUSTAKA
Ansoff, H.I., E. McDonnell, 1990. Implanting Strategic Management, second edition. Prentice Hall,
University Press, Cambridge.
Babcock, D.L. 1991. Managing Engineering and Technology An Introduction to Management for
Engineers. Prentice-Hall International Inc, New Jersey.
Best, D. 1991. Designing New Products from a Market Perspective. dalam Food Product
Development edited by Ernst Graf and Israel Sam Saguy. Chapman and Hal, London.
Clarke, K and H, Thomas. 1990. Technological Change and Strategy Formulation in The Strategic
Management of Technological Innovation. John Wiley & Sons, Chichester, England.
Dennin, R.J. 2000. The Global Trends of Natural Products. Makalah pada Seminar Pengembangan
Usaha dan Bursa Hasil Penelitian Obat Asli Indonesia, Jakarta 17 Juli.
Hammel, G and C.K. Prahalad. 1995. Competing for the Future. Harvard Business School Press.
Harisudin, M. 2004. Strategi dan Prospek Kelayakan Pengembangan Produk Suplemen Makanan
dari Bahan Nabati. Disertasi Program Doktor pada Sekolah Pasca Sarjana IPB
Harmanto, N. 2003. Obat Tradisional Tembus Pasar Dunia? http://www.kompas.com /kompascetak/0312/10/ilpeng/728521.htm
Hippel, E.V. 1985. Learning from Lead Users dalam Kotler, P. 1993. Manajemen Pemasaran Jilid 2
(Terjemahan, edisi keenam). Penerbit Erlangga, Jakarta.
International Trade Center, 2001. Product Profile: Medicinal Plants. Third United Nations
Conference on The Least Developed Countries, Discussion Document, Brussels 16 May
2001
Kotler, P. 1993. Manajemen Pemasaran jilid 2 (Terjemahan, edisi keenam). Penerbit Erlangga,
Jakarta.
Maheshwari, H. 2002. Pemanfaatan Obat Alami: Potensi Dan Prospek Pengembangannya.
http://rudyct.tripod.com/sem2_012/hera_maheshwari.htm
Pramono, 2002. Perkembangan dan Prospek Industri Obat Tradisional Indonesia. Prosiding Seminar
Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXI, 27-28 Maret 2002. Surabaya.
Porter, M.E. 1997. Strategi Bersaing (terjemahan). Penerbit Erlangga, Jakarta.
Sampurno, H. 1999. Pengembangan dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Indonesia. Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia.
Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. 28 April
1999, Bogor.
Sinaga, R.V., 2002. Industri Jamu, Potensi Besar Dukungan Kurang
sinarharapan.co.id/ekonomi/promarketing/2002/121/prom1.html
http://www.
Urban, G.L and J.R. Hauser. 1993. Design and Marketing of New Product, second edition. Prentice
Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
KONPERNAS PERHEPI 2007 [05] -39
PADA INDUSTRI KECIL OBAT TRADISIONAL
DI INDONESIA SERTA PERAN PEMERINTAH
DALAM PENGEMBANGANNYA
Mohd. Harisudin1
Pendahuluan
Dalam memenangkan persaingan untuk memenuhi permintaan pasar, dunia usaha dituntut
meningkatkan efisiensi proses produksinya sekaligus meningkatkan efektivitas dalam mencapai
tujuan-tujuannya. Industri yang tidak menerapkan mindset yang demikian akan tergilas oleh
derasnya arus persaingan yang diterapkan para kompetitornya. Mindset tersebut telah menjadi
ideologi bisnis bagi pelaku usaha, terutama yang ingin masuk dalam persaingan global.
Dampak dari lahirnya kekuatan pelaku usaha yang berorientasi pada pasar global telah dirasakan
pelaku usaha secara keseluruhan, bahkan pelaku usaha yang hanya menjual dalam wilayah geografis
kecilpun merasakan dampak kekuatan tersebut. Dari sisi pelaku usaha, perubahan yang terjadi dalam
persaingan oleh sebagian pelaku usaha dianggap sebagai ancaman, namun perusahaan sejenis lainnya
ada yang menerjemahkan sebagai suatu tantangan, sekaligus peluang besar bagi pengembangan
usahanya. Dengan kata lain, ancaman ataupun peluang bisnis sangat ditentukan oleh kemampuan
perusahaan memahami perubahan yang terjadi dan meresponnya dalam bentuk sikap dan tindakan
ke depan melalui suatu perencanaan yang sistematis.
Meskipun peran pemerintah sebagai regulator sekaligus dinamisator memang tetap diperlukan,
terutama dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif, namun demikian dari sisi pelaku usaha
mindset yang harus ditumbuh kembangkan adalah bagaimana rumusan strategi perusahaan untuk
dapat bertumbuh kembang pada kemampuannya sendiri. Kasus semakin pendeknya daur hidup
produk (product life cycle) atau jasa yang ada adalah sebagai “kelalaian” pihak manajemen
perusahaan yang tidak mampu menyesuaiakan dinamika perubahan perilaku konsumen/pasar.
Seiring dengan semakin besarnya gaya hidup back to nature, penjualan produk berbahan herbal
meningkat pesat. Sebagai ilustrasi, penjualan produk suplemen makanan dunia tahun 1998 mencapai
US$ 40 milyar, dan sejumlah US$ 19,8 milyar merupakan produk yang dibuat dari bahan herbal
(Dennin, 2000). Dari sumber yang lain, penjualan produk herbal mencapai US$ 30 milyar pada tahun
2000 dari US$ 12,4 milyar pada tahun 1994. Pertumbuhan perdagangan antara tahun 1990-1997,
rata-rata mencapai 25% per tahun untuk produk-produk herbal supplement dan 5-15% untuk
produk-produk herbal medicine (ITC, 2001).
1
Jurusan Agrobisnis Fak. Pertanian Univ. Sebelas Maret Surakarta. Email address: [email protected]
KONPERNAS PERHEPI 2007 [05] -33
Potensi Sumber Daya Alam Indonesia
Kondisi faktual Indonesia sebagai negara dengan sumber daya alam hayati dengan biodiversity
nomor dua setelah Brazilia berpeluang sebagai produsen produk-produk yang mengandalkan bahan
baku dari alam. Indonesia memiliki sekitar 30.000 jenis (spesies) yang telah diidentifikasi dan 950
spesies diantaranya diketahui memiliki fungsi biofarmaka, yaitu tumbuhan, hewan, maupun
mikroba yang memiliki potensi sebagai obat, makanan kesehatan, nutraceutical yang baik untuk
manusia, hewan maupun tanaman. Lebih kurang 180 spesies telah digunakan dalam ramuan obat
tradisional oleh industri obat tradisional Indonesia (Sampurno, 1999).
Produk-produk food supplement, makanan fungsional (functional food) adalah dua produk yang
memiliki peluang usaha yang sangat prospektif untuk dikembangkan seiring dengan semakin
berkembangnya gaya hidup kembali ke alam (back to nature) yang dimulai oleh semakin sadarnya
masyarakat negara-negara maju. Tanaman obat sudah dikenal dan digunakan di seluruh dunia sejak
ribuan tahun yang lalu. Di Indonesia, penggunaan tanaman obat alami telah ada sejak zaman nenek
moyang hingga kini dan terus dilestarikan sebagai warisan budaya (Harmanto, 2003).
Kecenderungan kuat untuk menggunakan pengobatan dengan bahan alam tidak hanya berlaku di
Indonesia, tetapi juga berlaku di banyak negara, karena diyakini mempunyai efek samping yang
lebih kecil dibandingkan obat-obat kimia modern (Maheshwari, 2002). Sat ini sekitar 80 %
penduduk dunia tergantung pada obat-obatan alami. Dengan demikian kebutuhan penduduk dunia
terhadap obat-obatan alami sangat tinggi, sekaligus merupakan peluang pasar yang baik bagi industri
yang menggunakan tanaman obat sebagai bahan bakunya.
Omzet perdagangan suplemen makanan untuk pasar Amerika Serikat pada tahun 1999 mencapai
US$ 7 milyar. Dari angka tersebut 29% (US$ 4,4 milyar) merupakan suplemen makanan berbahan
herbal dan 19% merupakan konsumen tetap produk herbal (Dennin, 2000). Untuk pasar Eropa, pada
tahun 1999 mencapai US$ 13,5 milyar, meliputi 55% (US$ 7,43 milyar) adalah produk herbal,
Jerman memperoleh pangsa 48% (± US$ 3,57 milyar), Perancis 24% (± US$ 2 milyar), Italia 9% (±
US$ 0,73 milyar), Inggris 6% (± US$ 0,52 milyar) dan sisanya negara-negara Eropa lainnya. Untuk
kawasan Asia, pada tahun 2000 nilai pasar domestik China untuk produk-produk herbal medicine
mencapai US$ 5 milyar dan nilai ekspornya mencapai US$ 1 milyar (Pramono, 2001). Angka ini
diperkirakan jauh di bawah angka sebenarnya, karena menurut Anonim (2003) ekspor China untuk
komoditas herbal medicine pada tahun 1994 sudah mencapai US$ 2 milyar. Perdagangan komoditas
herbal di Jerman cukup besar, karena tidak lepas dari komitmen para tenaga medisnya (dokter). Di
negara tersebut sebanyak 80% dokter menggunakan secara rutin tanaman obat sebagai terapi kepada
pasiennya.
Fenomena di atas sangat bertolak belakang dengan kondisi Indonesia, meski didukung sumber daya
alam hayati (SDAH) yang melimpah. Jumlah omset perdagangan produk dalam negeri tahun 1999
baru mencapai US$ 77,42 juta; jumlah ekspornya US$ 23,9 juta (Pramono, 2001). Selanjutnya
Pramono (2002) melaporkan bahwa omset penjualan dalam negeri tahun 2000 hanya sebesar 900
milyar rupiah. Pasar perdagangan tanaman obat beserta produk jadinya meningkat tajam pada tahun
2001 senilai Rp 2,5 triliun (Sinaga, 2002). Namun demikian, peluang Indonesia menjadikan produkproduk berbahan herbal menjadi besar sangat terbuka. Ditunjang kekayaan alamnya yang melimpah
dan jumlah penduduk yang besar, maka terdapat dua alternatif integration strategy yang dapat
KONPERNAS PERHEPI 2007 [05] -34
dikembangkan, yaitu strategi integrasi ke hulu (backward integration) dan integrasi horisontal
(horizontal integration).
Pemikiran Strategis Industri (Kecil) Obat Tradisional
Porter (1997) mendefinisikan strategi sebagai upaya untuk mencapai keunggulan bersaing melalui
suatu kesatuan rencana yang menyeluruh, komprehensif dan terpadu yang diarahkan untuk
mencapai tujuan perusahaan. Berbeda dengan Porter, Hamel and Prahalad (1995) lebih menekankan
arti strategi dalam konteks sisi kompetensi inti berdasarkan sudut pandang atau harapan para
pelanggan di masa depan.
Istilah strategi dalam konteks perusahaan pertama kali muncul pada dekade tahun 1970-an. Pada
masa sebelumnya, dalam merumuskan suatu arah dan tujuan rencana ke depan perusahaan, pihak
manajemen masih mengandalkan pada kekuatan internal (Ansoff and McDonnell, 1990). Seiring
dengan meningkatnya dinamika lingkungan (environment of the turbulence) bisnis, maka
diperlukan sistem yang lebih responsif terhadap masalah yang semakin kompleks, yaitu berupa
perencanaan strategi (strategy planning) yang juga mempertimbangkan faktor-faktor eksternal.
Karena keterbatasan sumberdaya yang dimiliki terutama bagian penelitian dan pengembangan
(research and development), permodalan, jaringan distribusi, maka biasanya sebagian besar Industri
(kecil) obat tradisional memilih strategi bersaing yang mudah dilaksanakan, yaitu mengikuti produk
yang sudah ada (me-too product) atau yang agak complicated melalui strategi pengembangan produk
baru (new product development strategy). Strategi pengembangan produk baru merupakan solusi
dari pemecahan masalah yang mempertimbangkan aspek pasar dan aspek produk (Ansoff and
McDonnell, 1990).
Produk Saat ini
Pasar
Strategi Penetrasi Pasar
Strategi Pengembangan
Produk Baru
Strategi Pengembangan
Pasar
Strategi Diversifikasi
Saat ini
Pasar
Baru
Produk Baru
Gambar 1. Matriks Ansoff
Untuk mencapai tujuannya, strategi pengembangan produk tetap harus mempertimbangkan polapola dari kecenderungan yang sedang dan akan terjadi pada konsumen sebagai pihak yang membeli
dan mengkonsumsi produk tersebut, serta mendasarkan pada perkembangan teknologi yang
memiliki keunggulan kompetitif (Clarke and Thomas, 1990; Best, 1991; Urban and Hauser, 1993)
serta keunggulan komparatif sumber daya.
Pengembangan produk didefinisikan sebagai suatu inovasi yang digambarkan dalam bentuk
rangkaian kegiatan guna menghasilkan produk baru. Menurut Hippel (1985), kriteria suatu produk
dapat dikategorikan baru, bila dilihat dari sisi perusahaan maupun pasar termasuk ke dalam enam
golongan, yaitu (1) produk baru atau produk yang menciptakan pasar baru; (2) lini produk baru atau
KONPERNAS PERHEPI 2007 [05] -35
produk untuk pertama kali memasuki pasar yang sudah ada; (3) tambahan pada lini produk yang
sudah ada atau produk yang menambah lini produk yang sudah ada di suatu perusahaan; (4)
penyempurnaan atas produk yang sudah ada; (5) penempatan kembali atau produk yang sudah ada
dipasaran pada pasar baru atau segmen pasar baru; (6) penekanan biaya atau produk yang sama
dengan produk yang sudah ada pada biaya yang lebih rendah.
Strategi pengembangan produk juga dapat dijadikan sebagai respon positif dalam menangkap isu
utama dari globalisasi bisnis yaitu persaingan. Dalam konteks ini, persaingan bisnis harus
diinterpretasikan secara positif sebagai perlombaan untuk selalu menghasilkan dan memberikan nilai
tambah yang lebih baik kepada konsumen, organisasi maupun masyarakat umum. Inilah hal yang
paling esensial (sine qua non) dari persaingan global. Strategi ini tidak semata-mata bertujuan
memenangkan persaingan dengan menghancurkan pesaing, melainkan mengajak pesaing untuk
berlomba memenuhi secepat dan setepat mungkin “keinginan” konsumen. Strategi yang ‘menjaga’
harmonisasi dengan pesaing tersebut oleh mirip dengan pepatah Jawa yang berbunyi ngeluruk tanpa
bala (memenagkan persaingan tanpa persekongkolan) dan menang tanpa ngasorake (memenangkan
persaingan dicapai tanpa merendahkan/menghancurkan pesaing, tetapi melalui gagasan-gagasan
positif dari kekuatan olah pikir, prakarsa dan upaya).
Sejalan dengan fenomena di atas, kecenderungan persaingan bisnis global saat ini telah bergeser dari
level negara ke level perusahaan, hingga level produk. Dalam hal ini, konsumen tidak lagi terlalu
peduli suatu produk dibuat oleh negara mana, tetapi lebih ditekankan pada nilai/kegunaan produk
tersebut dan keunggulan komparatif produk tersebut atas produk pesaing lainnya. Dengan demikian,
kekuatan utama yang berperan penting dalam melahirkan inovasi-inovasi untuk menawarkan
keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif adalah sumber daya manusia (SDM) melalui riset
dan pengembangan.
Kelebihan memilih strategi pengembangan produk adalah karena memiliki kompetensi pada
portofolio produk-produk sejenis, sehingga strategi ini lebih terfokus pada sesuatu yang belum
dilakukan oleh pesaing, sekaligus berusaha menghindari kelemahan-kelemahan yang dimiliki
produk-produk pesaing dari industri pesaing. Kelebihan lain dari strategi ini adalah diperolehnya
banyak tepat (tepat ide, tepat pasar, tepat posisi, tepat segmen, tepat produk, tepat harga, tepat
distribusi, tepat pelayanan) melalui strategi pengembangan produk baru yang sesuai dengan tuntutan
eksternal dan kompetensi internal (Babcock, 1991; Urban and Hauser, 1993).
Kenyataan saat ini menunjukkan pasar telah terpecah-pecah, sehingga strategi pengembangan
produk tidak lagi berorientasi pada pasar besar, tetapi harus mengarah kepada segmen pasar yang
lebih sempit (Kotler, 1993). Sebagai contoh kasus : Produk berbahan herbal yang diklaim untuk
melancarkan darah ke otak (yang selanjutnya diklaim menjadi meningkatkan konsentrasi), saat ini
industri farmasi dan jamu banyak bersaing pada pasar orang dewasa dan tua. Pasar yang masih belum
banyak diperebutkan adalah pasar konsumen usia remaja/pelajar. Dikaitkan dengan klaim produk
dengan jumlah konsumen pada segmen ini yang sangat besar dan perilaku konsumennya yang sangat
dinamis, maka peluang untuk memasuki segmen pasar ini sangat terbuka lebar. Sampai saat ini,
konsumen segmen ini dikuasai cerebrovit dan terakhir mulai dimasuki oleh sakatonik abege. Pangsa
pasar kedua produk ini mencapai 60-70% dari keseluruhan pasar di Indonesia. Pasar potensial
segmen ini sejak tahun 1996 telah melewati angka 9 juta, suatu angka yang melebihi jumlah
penduduk Singapura.
Contoh kasus kajian akademis tentang prospek bisnis pengembangan produk berbahan herbal oleh
Harisudin (2004) menghasilkan suatu kesimpulan bahwa prospek pengembangan produk berbahan
KONPERNAS PERHEPI 2007 [05] -36
herbal sangat menggembirakan dari sisi kajian kelayakannya. Kelayakan teknis terjadi karena
ditunjang ketersediaan bahan baku yang melimpah di Indonesia, sehingga ada jaminan keberlanjutan
ketersediaan bahan baku produksi. Derivat dari kelayakan teknis ini akan menumbuhkan investasi,
menyerap tenaga kerja dan sekaligus peluang mendatangkan devisa negara bagi perekonomian
rakyat dan bangsa. Selain layak dari sisi teknis, usaha tersebut juga layak dari sisi finansial (seluruh
kriteria investasi yang digunakan yang meliputi: NPV, Net B/C, IRR, Payback period) karena
ditunjang daya terima konsumen terhadap produk baru yang dikembangkan dibanding produkproduk yang telah ada di pasaran.
Analisis Situasi Obat Tradisional Indonesia
Meskipun dalam 5 tahun terakhir perkembangan industri obat herbal di Indonesia meningkat tajam,
namun bila dibandingkan dengan besarnya jumlah penduduk/pasar di Indonesia, padahal disatu sisi
negeri ini masih dililit pendapatan perkapita yang rendah, pajak yang diperoleh masih sedikit, dan
tingginya angka pengangguran. Dengan demikian peluang yang ada diharapkan dapat mengatasi
masalah-masalah yang saat ini menjadi masalah bersama. Beberapa catatan yang menjadi pekerjaan
Pemerintah dalam masalah ini adalah :
1. Sumberdaya Manusia Depkes dan BPOM
Dalam rangka meningkatkan pasar obat herbal, maka kata kuncinya adalah efektivitas obat
herbal/khasiat yang nyata dari obat herbal yang dikonsumsi masyarakat melalui standar bahan baku,
proses produksi dan evaluasi hasil adalah mutlak diperlukan. Mengingat masih banyaknya
pengusaha (kecil dan besar) yang lebih kental nuansa bisnisnya (kurang memperhatikan khasiat),
maka pemerintah perlu melakukan pembinaan-pembinaan yang bersifat sistematis dengan mindset
pelayanan pada aparat pemerintah.
2. Sistem Pengendali Kebijakan
Dalam rangka mencapai tujuan dari ditetapkan suatu kebijakan, maka perlu dibuat sistem
pengendaliannya. Dalam konteks pengembangan industri (kecil) obat tradisional di Indonesia, maka
kebijakan itu harus menunjang keseluruhan sistem dalam industri (kecil) obat tradisional. Sistem
tersebut meliputi subsistem budidaya tanaman obat, subsistem pengolahan pasca panen, subsistem
pemasaran obat herbal. Keseluruhan dari sistem pengendalian kebijakan didesain untuk pencapaian
customer satisfaction.
3. Deregulasi
Saat ini bila ada calon pengusaha yang ingin berusaha di industri pengolahan obat tradisional harus
mengurus banyak perijinan (setidaknya 7 surat ijin yang membutuhkan waktu 12 bulan efektif).
Disamping itu, didalam proses perijinan tersebut diperlukan modal yang relatif besar, terutama dalam
rangka untuk memenuhi stabilitas produk akhir seperti : Menyiapkan tanah untuk industri,
menyiapkan gedung untuk pabrik, menyiapkan instalasi dan mesin-mesin, menyiapkan karyawan,
repotnya administrasi perpajakan, mengurangi risiko lingkungan sosial, susahnya pemasaran)
Bila harus melewati jalan ini secara legal, harus berapa tahun rencana usaha baru bisa berjalan ? bisabisa sudah kehilangan celah/peluang bisnis karena sudah diisi oleh pengusaha yang sudah ada ?
berapa modal yang harus disiapkan ?. Pertanyaan selanjutnya adalah : Mungkinkan Pemerintah
KONPERNAS PERHEPI 2007 [05] -37
dapat mencipta lahirnya pengusaha-pengusaha kecil yang bergerak disektor obat tradisional ?
Bisakah obat tradsional Indonesia menjadi tuan rumah di Indonesia ?
Alternatif Solusi
Efisiensi usaha merupakan nisbah antara unsur penerimaan dengan unsur biaya (R/C). Semakin
besar nilai perbandingan antara penerimaan dan biaya, maka semakin tinggi tingkat efisiensinya.
Penerimaan besar belum menjamin efisiensi yang tinggi jika jumlah biaya yang dikeluarkan juga
besar. Dengan demikian, kedua unsur harus dipertimbangkan secara bersama-sama dalam
analisisnya. Secara umum, cara-cara untuk mencapai efisiensi yang tinggi (nilai keuntungan yang
tinggi) adalah dengan melakukan upaya-upaya meningkatkan sisi penerimaan atau mengurangi sisi
pembiayaan.
Mengingat pengusaha kecil memiliki keterbatasan dalam hal permodalan, yang berimplikasi pada
rendahnya nilai investasi teknologi yang digunakan, maka proses produksinya menjadi kurang
efisien, dan pada akhirnya berakibat pada tingginya harga pokok produksi (HPP) dibanding produk
sejenis yang dihasilkan perusaah pesaing. Dengan tingginya HPP ini menyebabkan daya saing
produk di pasar menjadi rendah.
Demikian pula dalam konteks industri (kecil) obat tradisional, maka untuk menekan alokasi biaya
dalam proses produksi yang ditanggung para pengusaha kecil, maka Pemerintah dapat mengambil
peran lebih aktif melalui pendirian badan usaha milik pemerintah daerah (BUMD) yang mendukung
keberlangsungan usaha para pengusaha kecil. Langkah ini diharapkan dapat berdampak pada :
1.
Menekan biaya dari sisi pengusaha/industri (kecil) obat tradisional
2.
Harga jual menjadi lebih kompetitif
3.
Keselamatan konsumen menjadi lebih mudah dikontrol
4.
Sumber pendapatan pemerintah daerah
5.
Menekan alokasi biaya investasi
6.
Merangsang tumbuhnya industri (kecil) obat tradisional
KONPERNAS PERHEPI 2007 [05] -38
DAFTAR PUSTAKA
Ansoff, H.I., E. McDonnell, 1990. Implanting Strategic Management, second edition. Prentice Hall,
University Press, Cambridge.
Babcock, D.L. 1991. Managing Engineering and Technology An Introduction to Management for
Engineers. Prentice-Hall International Inc, New Jersey.
Best, D. 1991. Designing New Products from a Market Perspective. dalam Food Product
Development edited by Ernst Graf and Israel Sam Saguy. Chapman and Hal, London.
Clarke, K and H, Thomas. 1990. Technological Change and Strategy Formulation in The Strategic
Management of Technological Innovation. John Wiley & Sons, Chichester, England.
Dennin, R.J. 2000. The Global Trends of Natural Products. Makalah pada Seminar Pengembangan
Usaha dan Bursa Hasil Penelitian Obat Asli Indonesia, Jakarta 17 Juli.
Hammel, G and C.K. Prahalad. 1995. Competing for the Future. Harvard Business School Press.
Harisudin, M. 2004. Strategi dan Prospek Kelayakan Pengembangan Produk Suplemen Makanan
dari Bahan Nabati. Disertasi Program Doktor pada Sekolah Pasca Sarjana IPB
Harmanto, N. 2003. Obat Tradisional Tembus Pasar Dunia? http://www.kompas.com /kompascetak/0312/10/ilpeng/728521.htm
Hippel, E.V. 1985. Learning from Lead Users dalam Kotler, P. 1993. Manajemen Pemasaran Jilid 2
(Terjemahan, edisi keenam). Penerbit Erlangga, Jakarta.
International Trade Center, 2001. Product Profile: Medicinal Plants. Third United Nations
Conference on The Least Developed Countries, Discussion Document, Brussels 16 May
2001
Kotler, P. 1993. Manajemen Pemasaran jilid 2 (Terjemahan, edisi keenam). Penerbit Erlangga,
Jakarta.
Maheshwari, H. 2002. Pemanfaatan Obat Alami: Potensi Dan Prospek Pengembangannya.
http://rudyct.tripod.com/sem2_012/hera_maheshwari.htm
Pramono, 2002. Perkembangan dan Prospek Industri Obat Tradisional Indonesia. Prosiding Seminar
Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXI, 27-28 Maret 2002. Surabaya.
Porter, M.E. 1997. Strategi Bersaing (terjemahan). Penerbit Erlangga, Jakarta.
Sampurno, H. 1999. Pengembangan dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Indonesia. Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia.
Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. 28 April
1999, Bogor.
Sinaga, R.V., 2002. Industri Jamu, Potensi Besar Dukungan Kurang
sinarharapan.co.id/ekonomi/promarketing/2002/121/prom1.html
http://www.
Urban, G.L and J.R. Hauser. 1993. Design and Marketing of New Product, second edition. Prentice
Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
KONPERNAS PERHEPI 2007 [05] -39