HAM MENURUT DUNIA BARAT TIMUR DAN INDONE (1)

HAM MENURUT DUNIA BARAT, TIMUR DAN INDONESIA
HAM Menurut Dunia Barat
istilah hak asasi manusia baru muncul setelah Revolusi Perancis, dimana para tokoh borjuis
berkoalisi dengan tokoh-tokoh gereja untuk merampas hak-hak rakyat yang telah mereka
miliki sejak lahir. Akibat dari penindasan panjang yang dialami masyarakat Eropa dari kedua
kaum ini, muncullah perlawanan rakyat dan yang akhirnya berhasil memaksa para raja
mengakui aturan tentang hak asasi manusia.
Diantaranya adalah pengumuman hak asasi manusia dari Raja John kepada rakyat Inggris
tahun 1216. Di Amerika pengumuman dilakukan tahun 1773. Hak asasi ini lalu diadopsi oleh
tokoh-tokoh Revolusi Perancis dalam bentuk yang lebih jelas dan luas, serta dideklarasikan
pada 26 Agustus 1789. Kemudian deklarasi Internasional mengenai hak-hak asasi manusia
dikeluarkan pada Desember 1948.
Terdapat berbagai klasifikasi yang berbeda mengenai hak asasi manusia menurut pemikiran
barat, diantaranya :
1. Pembagian hak menurut hak materiil yang termasuk di dalamnya; hak keamanan,
kehormatan dan pemilihan serta tempat tinggal, dan hak moril, yang termasuk di dalamnya:
hak beragama, hak sosial dan berserikat.
2. Pembagian hak menjadi tiga: hak kebebasan kehidupan pribadi, hak kebebasan kehidupan
rohani, dan hak kebebasan membentuk perkumpulan dan perserikatan.
3. Pembagian hak menjadi dua: kebebasan negatif yang memebentuk ikatan-ikatan terhadap
negara untuk kepentingan warga; kebebasan positif yang meliputi pelayanan negara kepada

warganya.
Terdapat berbagai klasifikasi yang berbeda mengenai hak asasi manusia menurut pemikiran
Barat. Pertama, pembagian hak menurut hak materiil yang termasuk di dalamnya; hak
keamanan, kehormatan dan pemilihan serta tempat tinggal, dan hak moril, yang termasuk di
dalamnya: hak beragama, hak sosial dan berserikat. Kedua, Pembagian hak menjadi tiga: hak
kebebasan kehidupan pribadi, hak kebebasan kehidupan rohani, dan hak kebebasan
membentuk perkumpulan dan perserikatan. Ketiga, Pembagian hak menjadi dua: kebebasan
negatif yang memebentuk ikatan-ikatan terhadap negara untuk kepentingan warga; kebebasan
positif yang meliputi pelayanan negara kepada warganya.
Negara-negara Barat, seperti Amerika, dengan paham Liberalismenya memungkinkan
masyarakatnya untuk melakukan segala sesuatu dengan sebebas-bebasnya (peran swasta
lebih dominan), sedangkan peran pemerintah sangat kecil dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat. Hal tersebut berdampak pada kondisi kehidupan masyarakatnya yang
“kebablasan” pada beberapa sisi, seperti pergaulan bebas, persaingan bebas, dan sebagainya
yang banyak menimbulkan masalah-masalah baru bagi sebagian masyarakat. Imbas lainnya
dari paham Liberalisme adalah terhimpitnya kaum ekonomi lemah karena para pemilik modal
(kaum kapitalis) memiliki kebebasan dalam melakukan investasi di berbagai sektor usaha.
HAM Menurut Dunia Timur

Paham yang berkembang di negara-negara Timur (seperti di Uni Soviet dan RRC pada masa

lalu) adalah komunisme. Dampak yang ditimbulkan oleh ideologi tersebut adalah
berkebalikkan dengan apa yang ditimbulkan oleh Liberalisme. Hak-hak masyarakat diakui,
namun tidak sepenuhnya dipedulikan oleh pemerintah. Peran pemerintah sangat dominan
dalam mengatur berbagai aspek kehidupan. Pada praktik kehidupan bernegara, pemerintah
bersikap otoriter dan tidak peduli terhadap aspirasi rakyat. Hal tersebut berdampak pada
pembungkaman suara rakyat dan pers, sehingga mencukur demokrasi yang seharusnya
menjadi hak rakyat.
ideologi Timur (komunisme) yang menitikberatkan pada hak-hak ekonomi. Dalam HAM
ideologi timur ini terlihat adanya upaya penyelarasan antara hak individu (hak sipil dan
politik) dengan hak kolektif (hak ekonomi dan sosial) seperti hak untuk kehidupan yang
layak dan mendapatkan pendidikan. Juga dicantumkan hak untuk mengatur kekayaan dan
sumber-sumber nasional secara bebas sebagaimana tercantum dalam kedua kovenan tersebut.
Namun demikian, adanya pembedaan hak sipil dan hak politik dengan hak ekonomi dan
sosial masih tetap menimbulkan persepsi yang berbeda-beda mengenai apa yang merupakan
pelanggaran HAM. Negara-negara Barat berpendapat bahwa pelanggaran HAM hanya
menyangkut pelanggaran hak sipil dan hak politik saja, khususnya yang berkaitan dengan hak
dan kebebasan
Pemerintah RRC berpendapat bahwa hak asasi manusia sepatutnya
mencakup kepuasan hidup dan kemajuan ekonomi. Dengan kata-kata
berlainan, saat mengkaji dirinya, ia melihat kemajuan ekonomi dan

kepuasan hidup rakyatnya sebagai meningkatkan situasi hak asasi
manusianya, dan saat melihat situasi di negara-negara maju ia seringkali
menotakan terdapat tingkat kriminalitas dan kemiskinan yang tinggi di
tempat-tempat yang dikatakan mempunyai penghormatan terhadap hak
asasi manusia yang tinggi.
hak asasi manusia menurut uni soviet berbeda dari konsepsi-konsep yang lazim di Barat.
Menurut teori hukum Barat, "itu adalah individu yang merupakan penerima hak asasi
manusia yang harus menegaskan terhadap pemerintah", sedangkan teori Soviet yang
menyatakan masyarakat secara keseluruhan adalah penerima. Dalam Uni Soviet, penekanan
ditempatkan pada hak ekonomi dan sosial seperti akses ke perawatan kesehatan, gizi yang
memadai, pendidikan di semua tingkatan, dan pekerjaan dijamin. Pemerintah Uni Soviet
menganggap ini sebagai hak yang paling penting, tanpa yang politik dan hak-hak sipil yang
berarti.
Itu di Barat berpendapat bahwa Soviet menolak konsep Barat tentang " aturan hukum
"sebagai keyakinan bahwa hukum harus lebih dari sekedar alat politik ; pandangan Soviet
pada hak dikritik untuk mempertimbangkan Marxis-Leninis ideologi di atas hukum kodrat .

HAM Menurut Indonesia
Hak asasi manusia menggelora di Indonesia diawali ketika terjadi revolusi sosial tahun 1997.
Ditandai turunnya kepimpinan orde baru, mulailah babak baru yang disebut dengan era

reformasi. Dalam era reformasi ini menggema berbagai tuntutan perlunya menegakkan hak
asasi manusia.
Ketika Presiden BJ Habibie berkuasa, terbentuklah suatu undang-undang yang mengatur
tentang hak asasi manusia, yaitu UU No. 39 Tahun 1999. Walaupun jauh sebelumnya telah
dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui Keputusan Presiden
No. 50 Tahun 1993, perlindungan, dan penegakan terhadap hak asasi manusia terabaikan.
indonesia menganut ideologi Demokrasi Pancasila, sehingga implementasi hak asasi manusia
di Indonesia seharusnya berjalan dengan baik sesuai dengan sifat-sifat dasar dari paham
Demokrasi Pancasila. Menurut ideologi tersebut, hak-hak asasi setiap rakyat Indonesia pada
dasarnya diimplementasikan secara bebas, namun tetap dibatasi oleh hak-hak asasi orang
lain. Jadi, ideologi ini menawarkan kebebasan yang bertanggung jawab dalam
mengimplementasikan hak asasi manusia. Namun hal tersebut perlu dikaji lebih dalam, sebab
ideologi yang dianut oleh negara Indonesia tercinta ini belum tentu dapat diterapkan oleh
rakyat tersebut dengan benar sepenuhnya.
Sejak indonesia merdeka, sesungguhnya telah memberikan pengakuan dan perlindungan
HAM bagi warga negaranya, jauh sebelum PBB mencetuskan Universal Declaration of
Human Rights (Pernyataan sedunia hak-hak asasi manusia). Pengakuan dan perlindungan
HAM bagi warga negara Indonesia tersebut diabadikan dalam konstitusi negara yaitu dalam
Undang-Undang Dasar 1945, yang merupakan piagam HAM bagi bangsa Indonesia.seperti
pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1.

hak bagi setiap warga negara indonesia yang secara umum seperti,
antara lain:
1. Hak untuk hidup
2. Hak untuk memperoleh pendidikan
3. Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain
4. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama
5. Hak untuk mendapatkan pekerjaan
Sebetulnya masih banyak hak-hak yang dimiliki oleh setiap warga negara,
tetapi

kelima

point

tersebut

merupakan

hak


yang

harus

mutlak

didapatkan oleh setiap warga negaranya. Tidak semua hak-hak pokok
tersebut telah didapatkan oleh setiap warga negara secara maksimal,
tetapi ada satu dari kelima point tersebut yang tidak menjadi pusat
perhatian para pemerintahan di negeri Indonesia ini, itu ialah hak untuk
memperoleh pendidikan.

Hak akan pendidikan mutlak sekali didapatkan bagi setiap warga negara
yang tinggal dan hidup di negeri Indonesia ini. Sesungguhnya hal ini tidak
hanya memberikan keuntungan bagi si penerima hak ini tetapi bagi
pemerintah juga demikian. Kenapa dikatakan seperti itu, karena jika
warga negaranya memiliki atau berwawasan luas akan dunia pendidikan
secara tidak langsung akan membaga dampak yang besar bagi negara
Indonesia ini, khususnya di waktu yang akan datang. Seorang tokoh
pembangun bangsa pernah perkata, “seribu orang tua bisa bermimpi,

satu roang muda bisa merubah dunia”. Dari ucapan beliau tersebut kita
bisa mengerti betapa pendingnya generasi muda bagi setiap bangsa.

PERBEDAAN HAM (hak asasi manusia) VERSI PBB DAN VERSI ISLAM (Oleh Habib
Muhammad Rizieq Syihab)
Sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendeklarasikan Hak Asasi Manusia (HAM)
seiring dengan pendiriannya pada tahun
1945, maka HAM muncul sebagai issue internasional yang selalu menjadi perhatian
masyarakat dunia. Namun sayangnya, HAM yang semula lahir dimaksudkan untuk
membebaskan umat manusia dari penjajahan dan perbudakan, belakangan justru menjadi
senjata ampuh untuk menghidupkan kembali Imperialisme Modern.
Dengan dalih HAM, para Kapitalis mengeruk keuntungan sebesar-besarnya di berbagai
sektor ekonomi, tanpa peduli kerugian pihak lain. Dengan dalih HAM pula, negara-negara
Kapitalis bersekutu memporak-porandakan berbagai negara yang tidak mereka sukai, secara
politik mau pun ekonomi. Bahkan kini, dengan dalih HAM juga, berbagai perilaku anti
agama ditumbuh-suburkan tanpa peduli batasan ajaran agama.
Di Indonesia, HAM menjadi senjata penting bagi kaum Liberal dalam mengusung seluruh
programnya. Dengan dalih HAM, kaum Liberal selalu memperjuangankan "penghalalan yang
haram" dan "pembelaan yang bathil", seperti legalisasi miras dan ganja, bahkan narkoba,
begitu juga positivisasi perjudian dan pelacuran, bahkan formalisasi perkawinan sejenis.

Dengan dalih HAM pula, kaum Liberal selalu memperjuangankan "pengharaman yang halal"
dan "penolakan yang haq", seperti penolakan terhadap Undang-Undang Penodaan Agama dan
Undang-Undang Pornografi, bahkan penolakan terhadap semua Undang-Undang dan PerdaPerda yang bernuansakan Syariat Islam.
Karena itulah, pembahasan tentang HAM dalam Wawasan Kebangsaan menjadi sangat
penting, agar HAM tidak dijadikan senjata untuk merontokkan pilar-pilar bangsa dan negara
Indonesia.
HAM MENURUT BARAT
Barat mendefinisikan HAM sebagai hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak lahir
secara alami tanpa ada kaitan sama sekali dengan ajaran agama apa pun. HAM dalam

pandangan Barat murni merupakan hasil pemikiran dan penetapan akal semata, terlepas sama
sekali dari dogma agama.
Definisi tersebut melepaskan ikatan HAM dari doktrin ajaran agama, sehingga norma-norma
agama sama sekali tidak menjadi ukuran penting dalam terminologi HAM. Dengan makna
HAM seperti ini, maka HAM sering dihadap-hadapkan dengan agama, sehingga HAM sering
dipahami sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama. Bahkan karena HAM
sering digunakan untuk mengkerdilkan agama, akhirnya HAM dianggap sebagai musuh
agama.
Berdasarkan definisi tersebut pula, maka setiap manusia berhak untuk memenuhi kebutuhan
biologisnya dengan melakukan aneka hubungan sex yang diinginkannya, sebagaimana setiap

manusia berhak untuk makan dan minum apa saja yang disukainya. Karenanya, menurut
Barat bahwa perzinahan dan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender) serta aneka
penyimpangan sex lainnya, adalah merupakan HAM. Begitu pula mengkonsumsi makanan
dan minuman haram, semuanya adalah HAM.
Selain itu, HAM dalam pandangan Barat tidak statis, tapi berubah-ubah tergantung penilaian
akal yang dikuasai hawa nafsu terhadap situasi dan kondisi serta kepentingan, karena lepas
dari doktrin agama sama sekali. Bisa jadi, sesuatu yang dianggap HAM pada saat ini, namun
di kemudian hari tidak lagi dianggap sebagai HAM. Begitu pula sebaliknya, sesuatu yang
tidak dianggap HAM pada saat ini, namun di kemudian hari bisa dianggap sebagai HAM.
Misalnya, saat ini mengkonsumsi khamar (miras) di Amerika Serikat dianggap sebagai HAM,
bahkan menjadi gaya hidup modern. Padahal pada tahun 1919, pemerintah AS menganggap
Miras bukan bagian HAM, bahkan AS menyatakan perang terhadap Miras dan melarangnya
sama sekali. Saat itu pemerintah AS mengeluarkan Undang-Undang Anti Miras yang
sosialisasinya menelan biaya US $ 60 ribu dan dana pelaksanaannya mencapai Rp.75 Milyar,
sesuai dengan nilai mata uang di zaman itu. Dan menghabiskan 250 juta lembar kertas
berbentuk selebaran.
Selama 14 tahun pemberlakuan UU Anti Miras di AS, telah dihukum mati sebanyak 300
orang peminum miras dan dihukum penjara sebanyak 532.335 orang. Tapi ternyata,
masyarakat AS justru makin hobby meminum miras, yang pada akhirnya memaksa
pemerintah mencabut UU Anti Miras pada tahun 1933 M, dan membebaskan miras sama

sekali.
Nah, bisa jadi saat ini mengkonsumsi Narkoba dianggap musuh besar HAM di berbagai
belahan dunia, namun di kemudian hari justru Narkoba dianggap sebagai HAM, bahkan gaya
hidup masa depan, sebagaimana Kasus Miras. Gejala itu sudah mulai ada, misalnya sejak
beberapa tahun lalu di Indonesia ada usulan dari Lingkar Ganja Nusantara kepada Badan
Narkotik Nasional dan pemerintah serta DPR RI agar melegalisasi ganja.
Itulah sebabnya, HAM dalam pandangan Barat tidak memiliki kaidah dan batasan yang jelas,
sehingga manakala definisi HAM mereka berbenturan dengan kepentingan mereka sendiri
atau kemauan hawa nafsu mereka, maka mereka berlindung dibalik pengecualianpengecualian atau ketentuan-ketentuan hukum khusus atau perubahan ketetapan Konvensi
HAM.
HAM MENURUT ISLAM

Dalam Islam definisi HAM adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak lahir
sebagai karunia Allah SWT, sehingga hak tersebut tidak akan pernah bertentangan dengan
Kewajiban Asasi Manusia (KAM) yang telah digariskan oleh Allah SWT dan Rasulullah
SAW.
Inti dari KAM adalah kewajiban manusia beribadah kepada Allah SWT sebagaimana firmanNya dalam QS.51.Adz-Dzaariyaat : 56 yang terjemahnya : "Dan aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." Dengan KAM segenap umat
Islam wajib tunduk, patuh dan taat menjalankan semua perintah Allah SWT dan Rasul-Nya,
serta wajib pula meninggalkan segala larangan Allah SWT dan Rasul-Nya, semata-mata

hanya untuk mencari ridho-Nya.
Dengan demikian, HAM tidak berdiri sendiri, tapi selalu diikat dengan KAM. Jadi, definisi
HAM terikat erat dengan doktrin ajaran agama Islam, sehingga norma-norma agama Islam
menjadi tolok ukur paling utama dalam terminologi HAM.
Berdasarkan definisi ini, maka setiap manusia berhak untuk memenuhi kebutuhan
biologisnya, namun harus dengan cara yang dibenarkan Syariat Islam, sebagaimana setiap
manusia berhak untuk makan dan minum apa saja yang disukainya, namun tetap dalam
batasan makanan dan minuman yang dihalalkan Syariat Islam.
Karenanya, dalam Islam ditegaskan bahwa perzinahan dan LGBT serta aneka penyimpangan
sex lainnya, merupakan pelanggaran KAM, sehingga bukan merupakan HAM. Begitu pula
mengkonsumsi makanan dan minuman haram, semuanya pelanggaran KAM, dan bukan
merupakan HAM.
Selain itu, HAM dalam pandangan Islam statis, tidak berubah-ubah. Artinya, apa-apa yang
diharamkan atau dihalalkan Syariat Islam akan tetap berlaku hingga Hari Akhir. Sesuatu yang
telah ditetapkan sebagai HAM mau pun KAM oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW, maka
dari dulu hingga kini, bahkan sampai masa yang akan datang, akan tetap menjadi HAM dan
KAM.
Dengan demikian, keharaman khamar (miras) yang mencakup segala jenis minuman atau
makanan yang memabukkan. Dari bahan apa pun dibuatnya, apakah dari kurma, anggur atau
buah lainnya, termasuk dari bahan kimia sekali pun. Dan apa pun bentuknya, apakah cair,
gas, asap, jeli, bubuk, pil, serta bentuk lainnya. Dan bagaimana pun cara mengkonsumsinya,
apakah diminum, dimakan, dikunyah, dioleskan, disedot, atau pun disuntikkan. Dan apa pun
namanya, apakah Alkohol, Arak, Bir, Rum, Vodka, Cognac, dan sebagainya. Dan berapa pun
kadar penggunaannya, banyak atau pun sedikit. Serta kapan dan dimana pun minumnya,
apakah di musim panas mau pun dingin, atau apakah di negeri Arab mau pun di negeri China
atau di negeri lainnya. Maka sejak dulu hingga sekarang, bahkan sampai yang akan datang,
khamar adalah haram, dan bukan merupakan HAM, serta sampai kapan pun tidak akan
pernah menjadi HAM.
Jadi jelas, bahwa HAM dalam pandangan Islam memiliki kaidah dan batasan yang jelas,
sehingga tidak akan pernah berbenturan dengan KAM.
ISLAM vs DEKLARASI HAM PBB
Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 217 A (III)
tentang Deklarasi Universal HAM. Secara umum resolusi tersebut cukup baik, karena

didorong oleh semangat penegakan keadilan bagi seluruh umat manusia. Namun karena dasar
pemikiran resolusinya bersumber dari HAM Barat, maka sejumlah item yang diatur di
dalamnya bertentangan dengan ajaran agama, khususnya agama Islam.
Pasal 16 resolusi tersebut adalah "Pasal Kawin Bebas", karena menjamin kebebasan bagi pria
mau pun wanita yang sudah dewasa dengan hak yang sama untuk menikah tanpa batasan
agama dan tanpa peran Wali Nikah. Padahal dalam pandangan umum Islam diharamkan
"Kawin Beda Agama" dan "Kawin Tanpa Wali".
Dan Pasal 18 resolusi tersebut adalah "Pasal Murtad", karena menjamin kebebasan bagi
setiap orang untuk berganti agama apa pun, termasuk yang murtad dari Islam. Padahal dalam
Islam setiap muslim diharamkan untuk keluar dari Islam, bahkan diancam Hukuman Mati.
Pasal 21 resolusi tersebut adalah "Pasal Demokrasi" karena mewajibkan setiap negara untuk
menerapkan "Demokrasi" dengan memberikan kedaulatan sepenuhnya kepada keinginan
rakyat dan mewajibkan Pemilu di setiap negara. Padahal Islam bukan Demokrasi, dan
Demokrasi bukan Islam.
Pada tanggal 16 Desember 1966, Majelis Umum PBB menetapkan Resolusi 2200 A (XXI).
Dalam Resolusi ini ada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang
menekankan kembali tentang "Pasal Kawin Bebas" dan "Pasal Murtad" serta "Pasal
Demokrasi", yaitu pada Pasal 1, 2, 23 dan 25. Sedang Pasal 6 kovenan ini masih mengakui
dan membolehkan pemberlakuan Hukuman Mati, namun kemudian dibatalkan melalui
Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik untuk
penghapusan Hukuman Mati yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB No. 44 / 128
tertanggal 15 Desember 1989. Padahal dalam Islam ada pemberlakuan Hukuman Mati dalam
masalah Qishash mau pun Hudud, seperti hukuman mati bagi pembunuh dan zani muhson
serta murtad.
HAM ANAK dan WANITA
Majelis Umum PBB mengeluarkan sejumlah resolusi tentang Anak dan Wanita atas dasar
semangat untuk memberi perlindungan terhadap anak dan wanita. Tentu ini merupakan suatu
upaya terpuji yang harus didukung semua pihak. Namun sayang, lagi-lagi dasar pemikiran
resolusinya bersumber dari HAM Barat, sehingga sering bertentangan dengan ajaran agama,
khususnya agama Islam.
Salah satu resolusi PBB terkait Anak adalah Konvensi Hak Anak yang ditetapkan Majelis
Umum PBB melalui Resolusi No. 44 / 25 tertanggal 20 November 1989. Pasal 20 resolusi ini
secara eksplisit mengakui eksitensi Kafalah dalam Hukum Islam. Dan Pasal 24 resolusi ini
secara rinci menjamin perlindungan terhadap anak dari segala bentuk eksploitasi sex dan
pornografi. Ini merupakan hal yang sangat bagus dari resolusi ini. Hanya saja, resolusi ini
tidak memberi batasan jelas tentang definisi anak.
Pasal 1 resolusi ini menetapkan bahwa permulaan usia dewasa seseorang, baik pria mau pun
wanita, adalah 18 tahun, kecuali apabila menurut hukum yang berlaku bagi anak tersebut
ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Dasar penetapan usia dewasa dalam pasal
ini tidak jelas, dan semakin bias dengan pengecualian yang juga tidak memiliki indikator
kedewasaan yang pasti.

Dalam Islam dasar dan indikator kedewasaan sesorang sangat jelas dan pasti. Islam
menetapkan bahwa kedewasaan bagi pria ditandai dengan salah satu dari dua perkara, yaitu
"mimpi" yang menyebabkan junub pertama atau usia yang sudah genap 15 tahun
qomariyyah. Sedang kedewasaan bagi wanita ditandai juga dengan salah satu dari dua
perkara, yaitu "Haidh" yang pertama atau juga usia yang sudah genap 15 tahun qomariyyah.
Penetapan ini sangat sederhana tapi jelas dan terang, sehingga mudah diidentifikasi oleh siapa
pun.
Dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 34 / 180 tanggal 18 Desember 1979 tentang
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan disebutkan antara
lain : Pelarangan kawin dan hamil di bawah usia 18 tahun dan Pelarangan Khitan bagi anak
perempuan. Padahal dalam Islam, soal usia perkawinan kembali kepada ketetapan Islam
tentang usia dewasa sebagaimana tersebut di atas, sehingga siapa telah dewasa maka ia
berhak untuk kawin dan hamil sesuai aturan Syariat Islam.
Ada pun soal Pelarangan Khitan Perempuan, PBB mengambil sampel "Khitan Fir'aun" yang
marak di Benua Afrika, yaitu "Pemotongan Alat Kelamin Wanita", lalu menggeneralisir
bahwa semua bentuk khitan dilarang. Padahal "Khitan Islam" berbeda dengan "Khitan
Fir'aun". Dalam Khitan Islam cukup hanya menghilangkan selaput (jaldah / colum /
praeputium) yang menutupi klitoris, bukan melukai atau memotong klitorisnya, apalagi
memotong alat kelaminnya. Bahkan dalam Islam sudah dianggap cukup hanya dengan
melakukan goresan pada kulit yang menutupi bagian depan klitoris (frenulum klitoris).
Selain itu, dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember
1966, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, ternyata juga ada soal perempuan dalam
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Pasal 3 kovenan tersebut
adalah "Pasal Kesetaraan Gender", karena menjamin persamaan hak dan kewajiban antara
pria dan wanita dalam semua aspek kehidupan, termasuk waris. Selain itu, masih ada
Deklarasi dan Program Aksi di Wina pada tanggal 25 Juni 1993 tentang Hak Anak dan
Wanita yang secara rinci menetapkan soal "Kesetaraan Gender". Padahal Islam tidak
mengenal "Kesetaraan Gender", tapi Islam memperkenalkan "Keserasian Gender". Ada pun
Hukum Waris dalam Islam sudah final.
AWASI DAN KOREKSI HAM PBB
Dengan fakta dan data tersebut di atas tentang kontroversialnya berbagai Resolusi HAM
PBB, maka umat Islam di seluruh dunia berkewajiban untuk selalu melakukan pengawasan
dan pengkajian terhadap setiap Resolusi HAM PBB. Apalagi disana masih banyak sekali
pasal-pasal dalam berbagai Resolusi HAM PBB yang mesti disorot, dikaji dan dikoreksi agar
tidak dijadikan senjata untuk membombardir Syariat Islam.
Tanggung jawab negara-negara Islam, khususnya yang tergabung dalam Organisasi
Konferensi Islam (OKI) dan menjadi anggota PBB, tentu lebih besar lagi. Mereka mesti
secara pro aktif mengikuti semua agenda sidang PBB, dan harus menyoroti secara cermat
semua draf rencana keputusan PBB yang berpotensi menabrak ajaran agama Islam, serta
wajib menolak segala keputusan PBB yang dipaksakan dan bertentangan dengan Syariat
Islam. Jangan sebaliknya, negara-negara Islam di PBB hanya menjadi "skrup" untuk
menguatkan visi misi PBB yang "sangat Barat". Apalagi sampai ikut mengkampanyekan
resolusi PBB yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Misalnya, pada tahun 2006 di Indonesia terbit Surat Edaran (SE) Dirjen Bina Kesehatan
Masyarakat Depkes RI No : HK. 00.07.1.31047 a tertanggal 20 April 2006 tentang Larangan
Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan, dengan alasan menyakitkan dan
membahayakan serta merusak organ reproduksi perempuan, sekaligus memenuhi tuntutan
WHO sebagai Badan Kesehatan Dunia di PBB. SE tersebut disebar-luaskan ke semua RS dan
Puskesmas, sehingga hampir semua RS menolak permintaan Khitan Anak Perempuan.
Akibatnya, selama SE tersebut berlaku banyak anak perempuan umat Islam di Indonesia yang
tidak dikhitan.
Lalu umat Islam Indonesia protes keras, karena Khitan dalam Islam bagi pria mau pun wanita
adalah bagian dari Fithrah, sehingga merupakan Syiar Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Pusat pun pada tahun 2008 mengeluarkan Fatwa No. 9A tentang Khitan tertanggal 7 Mei
2008, sekaligus merekomendasikan kepada pemerintah agar menjadikan Fatwa tersebut
sebagai acuan dalam masalah Khitan Perempuan.
Akhirnya, pada tahun 2010 terbit Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1636 / MENKES /
PER / XI / 2010 tentang Sunat Perempuan yang mencabut SE Larangan Sunat Perempuan,
sekaligus menerima rekomendasi MUI dengan menyetujui pelaksanaan Sunat Perempuan.
Namun sayangnya Peraturan Menkes RI tersebut tidak tersosialisasikan dengan baik secara
meluas, sehingga sampai saat ini masih ada sejumlah RS yang menolak Khitan Anak
Perempuan.
Selain negara-negara Islam yang harus pro aktif mengawasi berbagai resolusi PBB, maka
umat Islam pun harus pro aktif juga mengawasinya. Apalagi secara perorangan atau
organisasi pun diperkenankan untuk menyampaikan laporan ke PBB, baik usul dan saran mau
pun kritik dan protes. Untuk itu ada sejumlah alamat yang bisa digunakan sesuai dengan
bidang laporannya. Khusus masalah HAM bisa dialamatkan ke : Centre for Human Rights United Nations Office of Geneva, 1211 Geneva 10, Switzerland.
HAM INDONESIA
Fakta sejarah membuktikan bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang menolak segala bentuk
penjajahan di atas muka Bumi, lebih dulu ada dari pada Piagam PBB yang lahir tanggal 24
Oktober 1945. Artinya, Indonesia lebih dulu memiliki Deklarasi Universal HAM ketimbang
PBB.
Namun demikian, aturan HAM secara rinci di Indonesia baru lahir pasca Reformasi 1998
melalui Amandemen UUD 1945 yang melahirkan Pasal 28 dan Pasal 28 huruf a s/d j tentang
HAM. Lalu dilanjutkan dengan lahirnya UU No. 33 Th. 1999 tentang HAM yang sekaligus
menjadi dasar pendirian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang disingkat Komnas HAM.
Penegakan HAM di Indonesia patut diapresiasi dan wajib kita dukung. Namun sayang sejuta
sayang, pendefinisian HAM dalam UUD dan UU HAM yang ada masih merujuk kepada
definisi HAM Barat, sehingga pada prakteknya menjadi bertolak belakang dengan pilar-pilar
bangsa dan negara Indonesia. Buktinya, Komnas HAM di Indonesia banyak melakukan
tindakan yang bertentangan dengan Asas Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi inti
Pancasila dan UUD 1945 sebagai dua pilar utama negara.
Pertama, Pembelaan Komnas HAM terhadap aliran sesat Ahmadiyah dan aliran-aliran sesat
lainnya, yang secara terang-terangan telah menodai ajaran Islam. Padahal sesuai dengan UU

Penodaan Agama yang tertuang dalam Penpres No.1 / 1965, UU No.5 Th.1969 dan KUHP
Pasal 156a tentang larangan Penodaan Agama, mestinya semua aliran sesat yang telah
menodai dan menistakan agama ditolak keras oleh Komnas HAM, bukan dijustifikasi dan
dilegitimasi dengan pembelaan hingga tingkat internasional. Apalagi sesuai Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 2200 A
(XXI) Pasal 18 ayat 3 yang memberikan hak kepada negara untuk melakukan pembatasan
hukum yang diperlukan untuk melindungi keselamatan, ketertiban, kesehatan atau moral
umum, atau hak asasi dan kebebasan orang lain. Ditambah lagi dengan putusan Sidang PBB
di Jenewa - Swiss pada tanggal 26 Maret 2009 bahwa penodaan agama adalah pelanggaran
HAM.
Kedua, Pembelaan Komnas HAM secara terang-terangan terhadap LGBT. Itu terlihat dalam
pembelaan Komnas HAM terhadap Irsyad Manji dan Lady Gaga yang merupakan icon
LGBT Internasional. Bahkan Komnas HAM pernah terlibat langsung dalam rangkaian acara
"Kontes Waria" di Hotel Bumi Wiyata Jl. Margonda Raya, Depok - Jawa Barat, pada tanggal
30 April 2010. Dan kini sudah kesekian kali Komnas HAM mengajukan atau merestui para
Aktivis LGBT ikut Fit and Proper Tes di DPR RI untuk jadi anggota Komnas HAM. Padahal,
LGBT itu bertentangan dengan ajaran agama Islam dan bertentangan juga dengan empat pilar
utama negara dan bangsa Indonesia, yaitu : Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan
NKRI.
Ketiga, Pembelaan Komnas HAM secara terang-terangan terhadap gerakan Anti Perda
Syariah dan aksi penolakan UU Pornografi, dengan dalih menolak diskriminasi dan
perlindungan terhadap minoritas serta pelestarian budaya dan adat istiadat. Padahal,
pemberlakuan Syariat Islam hanya kepada mayoritas muslim dan tidak dipaksakan kepada
minoritas non muslim, sehingga tidak ada itu tindak diskriminatif yang merugikan kalangan
non muslim. Bahkan manakala mayoritas diwajibkan tunduk dan patuh kepada Syariat Islam,
justru minoritas akan terlindungi, karena Syariat Islam adalah Syariat Rahmat untuk semesta
alam. Soal adat dan budaya, Islam selalu memberi ruang pelestarian dan pengembangannya
selama tidak melanggar norma agama. Ada pun yang melanggar mesti diluruskan, seperti
adat telanjang tanpa pakaian di depan umum, itu bukan budaya terpuji, tapi keterbelakangan.
Nah, keterbelakangan itu harus dibina agar berperadaban, bukan dilestarikan agar tetap
primitif.
Fakta dan Data di atas sudah cukup membuktikan bahwa paradigma Komnas HAM murni
merupakan paradigma HAM Barat. Bahkan ada indikasi lain yang menunjukkan bahwa
Komnas HAM memang sudah jadi Antek Barat, antara lain adalah tingginya tingkat
pembelaan Komnas HAM terhadap "kasus-kasus kecil" yang dialami minoritas seperti kasus
HKBP di Ciketing Bekasi dan Gereja Yasmin di Bogor, namun terhadap "kasus-kasus besar"
seperti pembantaian ribuan umat Islam dan pembakaran ratusan Masjid di Ambon, Poso,
Sambas dan Sampit, ternyata Komnas HAM tuli, bisu dan buta : "Shummun Bukmun
'Umyun".
KESIMPULAN
Definisi HAM yang benar adalah definisi yang diberikan Islam, yaitu bahwa HAM adalah
hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak lahir sebagai karunia Allah SWT, sehingga
hak tersebut tidak akan pernah bertentangan dengan Kewajiban Asasi Manusia (KAM) yang
telah digariskan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Indonesia sebagai negara mayoritas berpenduduk muslim terbanyak dan terbesar di dunia
yang memiliki empat pilar negara yang berjiwakan Piagam Jakarta dengan inti Ketuhanan
Yang Maha Esa dan Syariat Islam, maka tidak ada pilihan lain dalam soal HAM, kecuali
hanya boleh mendefinisikan HAM sesuai dengan definisi Islam.
Karenanya, ke depan para Aktivis Islam dari berbagai Ormas Islam harus mampu merebut
semua posisi keanggotaan di Komnas HAM, sehingga mampu menjadikan HAM dan KAM
sebagai ruh dan jiwa dalam semua program dan aktivitas Komnas HAM.
Demikianlah, urgensi dan importensi pembahasan tentang HAM dalam Wawasan
Kebangsaan Indonesia, agar sejalan dengan pilar-pilar negara dan kebangsaan lainnya yang
telah dipaparkan selama ini dalam kolom Wawasan Kebangsaan di Suara Islam ini. Semoga
bisa menambah wawasan dan memberi wacana baru yang menyegarkan serta membuka jalan
kebenaran.
Hasbunallaahu Wa Ni'mal Wakiil, Ni'mal Maulaa Wa Ni'man Nashiir. Wa Laa Haula Wa Laa
Quwwata illaa Billaahil ‘Alyyil adzim.
www.eramuslim.com