ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN UU NO. 36 TA (1)

ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN UU NO. 36 TAHUN 2008 TERHADAP INDIKASI
MANAJEMEN LABA PADA INDUSTRI FARMASI YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK
INDONESIA
M. Husni Mubarok
Darul Amri
Rama Asmaran
Dosen Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Sriwijaya
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada indikasi manajemen laba pada industri
farmasi sebelum dan setelah perubahan UU PPh No. 36 Tahun 2008, apakah ada indikasi manajemen
laba pada kelompok industri farmasi BUMN sebelum dan setelah perubahan UU PPh, apakah ada
indikasi manajemen laba pada kelompok industry farmasi Non BUMN sebelum dan setelah perubahan
UU PPh No. 36 Tahun 2008. Obyek penelitian ini adalah perusahaan farmasi yang terdaftar pada Bursa
Efek Indonesia baik yang terkategori BUMN maupun Non BUMN. Untuk melihat pengaruh perubahan
UU PPh terhadap indikasi manajemen laba, diukur dengan menggunakan Discretionary Accrual (DA)
menggunakan Model Jones yang dimodifikasi. Peneliti menggunakan metode analisis statistic uji Paired
Sample t-tes. Peneliti menemukan bahwa perubahan UU PPh melalui perubahan UU Pajak tidak
berpengaruh terhadap praktek manajemen laba. Tidak ditemukan bukti yang mengarah pada upaya
penurunan laba, hal ini dapat dilihat dari Nilai DA sebelum dan setelah perubahan tariff dengan hasil
tidak terdapat perbedaan Indikasi/praktek Manajemen Laba sebelum maupun setelah perubahan UU
PPh.

Kata Kunci: UU Pajak Penghasilan, Manajemen Laba, Discretionary Accrual
.
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada tahun 2007 pemerintah mulai
mengimplementasikan reformasi perpajakan yang
ditandai dengan terbitnya UU No. 28 tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tatacara
Perpajakan diteruskan di tahun 2008 Pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang No. 36 tahun 2008
tentang pajak penghasilan. UU No. 36 tahun 2008
mulai berlaku di tahun pajak 2009 dan besaran
tarif diatur sesuai tahun untuk tahun 2009 sebesar
28% sedangkan tahun 2010 sebesar 25%. Tarif
tersebut lebih rendah dari tahun sebelumnya yang
menngunakan tarif progresif yakni sebesar 10%,
15% dan 30%.
Menurut
Girsang (2008)
Pemerintah

optimistis akan pemberlakuan Undang-undang
Pajak Penghasilan (Pajak) No. 36 tahun 2008
karena dapat meningkatkan daya saing
perekonomian Indonesia dengan terciptanya iklim

investasi yang kondusif. Daya saing Indonesia
akan meningkat dengan Perubahan sejumlah tarif
pajak yang disesuaikan dengan tarif di sejumlah
negara saat ini, khususnya di Asia Tenggara.
Berikut ini perbandingan tarif pajak penghasilan
badan (income corporate tax) dengan sejumlah
negara-negara di asia sebagaimana terlihat pada
Tabel 1 di bawah ini.
Berdasarkan Tabel 1 di bawah, negara
dengan tarif pajak badan terendah pada tahun
2012 di pegang oleh Macau sebesar 12% dari laba
badan usaha atau lebih rendah 13% dari tarif pajak
badan di Indonesia, sedangkan negara dengan
tarif pajak badan tertinggi dipegang oleh Jepang
sebesar 40,69% dari laba badan usaha atau 15%

lebih tinggi dari tarif pajak di Indonesia. Jika
dibandingkan dengan tarif pajak di negara-negara
Asia Tenggara tarif pajak badan di Indonesia
relatif mampu bersaing dengan negara-negara
tetangga.

Tabel 1. Perbandingan Tarif Pajak Badan Negara-Negara Asia

Sumber

:

(http//www.intergroinc.com/Articles/CIT2012a.pdf/).

Tarif tunggal sangat menguntungkan
sebagian wajib pajak badan, meskipun di satu sisi
kurang menguntungkan wajib pajak lain, terutama
wajib pajak dengan penghasilan kecil. Untuk
mengantisipasi hal ini khususnya bagi usaha
mikro, kecil dan menengah, pemerintah telah

memberlakukan fasilitas pengurangan tarif
sebesar 50%, dari tarif normal untuk peredaran
bruto sampai dengan Rp4,8 miliar. Sedangkan
bagi wajib pajak yang go public fasilitas
pengurangan paling tinggi 5% sehingga tarif Pajak
badannya menjadi sebesar 20%. Fasilitas ini
diberikan khusus kepada emiten yang memenuhi
syarat dan ketentuan sebagaimana diatur melalui
peraturan
menteri
keuangan
PMK238/PMK.03/2008. Fenomena di tahun 2010 ini
juga sangat menarik untuk diteliti agar dapat
diperoleh fakta baru mengenai indikasi
manajemen laba sebagaimana yang sudah
dilakukan oleh penelitian terdahulu terkait
Perubahan tarif Pajak Badan UU Pajak No. 36
tahun 2008.
Fenomena
Perubahan

tarif
pajak
merupakan sinyal positif bagi para wajib pajak
karena merupakan insentif untuk membayar pajak
dengan jumlah yang lebih kecil dari tahun
sebelumnya sehingga muncul potensi bagi
perusahaan untuk mengecilkan pajak. Prilaku ini
sangat mungkin terjadi, mengingat penghematan
pajak yang diperoleh oleh perusahaan. Cara-cara
perusahaan dalam melakukan manajemen laba
yang relevan dengan motivasi pajak misalnya

dengan mengalihkan sejumlah penghasilan ke
tahun terjadinya Perubahan tarif.
Penelitian mengenai fenomena perubahan
tarif pajak dan manajemen laba merupakan hal
yang selalu menarik untuk dipelajari. Kuat
dugaan, banyak perusahaan yang memanfaatkan
secara baik kesempatan ini untuk melakukan
praktek manajemen laba. Berbagai hasil penelitian

di atas telah mampu menjelaskan sebagian
fenomena manajemen laba terkait respon terhadap
Perubahan tarif Pajak badan. Untuk itu, peneliti
tertarik untuk melakukan pengujian kembali
sejumlah variabel yang telah diteliti dan meneliti
variabel lainnya yang mungkin berpengaruh
terhadap praktek manajemen laba di Indonesia
khususnya sebagai respon Perubahan tarif Pajak
badan.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas peneliti
merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah
terdapat
perbedaan
indikasi
manajemen laba sebelum dan sesudah
Perubahan UU PPh pada industri farmasi?
2. Apakah
terdapat

perbedaaan
indikasi
manajemen laba sebelum dan sesudah
Perubahan UU PPh pada Industri farmasi
BUMN?
3. Apakah
terdapat
perbedaaan
indikasi
manajemen laba sebelum dan sesudah
Perubahan UU PPh pada Industri farmasi Non
BUMN?

1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan menganalisis perbedaan
indikasi manajemen laba sebelum dan sesudah
Perubahan UU PPh pada indusri farmasi.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis perbedaan
indikasi manajemen laba sebelum dan setelah
perubahan UU PPh pada indusri farmasi

BUMN.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis perbedaan
indikasi manajemen laba sebelum dan setelah
perubahan UU PPh pada indusri farmasi Non
BUMN.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan memberikan
kontribusi sebagai berikut:
1. Bagi peneliti dan akademisi, sebagai referensi
dalam menjawab pertanyaan apakah terdapat
perbedaan indikasi praktek manajemen laba
sebelum dan sesudah perubahan tarif pajak
badan di Indonesia.
2. Bagi para regulator pasar modal atau
pemerintah dalam hal menambah pemahaman
tentang kemungkinan terjadinya praktek
manajemen laba yang dilakukan oleh
perusahaan pada periode sebelum dan sesudah
terjadinya perubahan tarif pajak, sehingga
perlu meningkatkan pengawasan yang ketat

terhadap pelaksanaan kewajiban pajak
penghasilan badan yang sudah dilakukan oleh
perusahaan.
3. Bagi para praktisi audit penelitian ini dapat
menjadi sinyal yang perlu diperhatikan oleh
auditor saat melakukan pemeriksaan laporan
keuangan terkait dengan kemungkinan
terjadinya penyimpangan atau salah saji
terhadap laba yang sengaja dilakukan oleh
perusahaan pada periode sebelum dan sesudah
terjadinya perubahan tarif pajak badan.
4. Bagi perkembangan ilmu akuntansi, sebagai
suatu bahan kajian dan pertimbangan bagi
peneliti selanjutnya yang tertarik untuk
meneliti indikasi praktek manajemen laba
sebelum dan sesudah terjadinya perubahan
tarif pajak.
2. LANDASAN TEORI
2.1. Teori Keagenan
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan

bahwa teori keagenan mendepenelitiankan
pemilik sebagai principal dan manajemen sebagai
agen. Manajemen merupakan pihak yang
dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja
demi kepentingan pemegang saham. Untuk itu

manajemen diberikan sebagian kekuasaan untuk
membuat keputusan bagi kepentingan terbaik
pemegang saham. Oleh karena itu, manajemen
wajib mempertanggungjawabkan semua upayanya
kepada pemegang saham.
Dalam kaitannya dengan
masalah
keagenan ini, teori akuntansi positif menggunakan
teori keagenan untuk menjelaskan dan
memprediksi pilihan kebijakan akuntansi oleh
manajer.
Teori
akuntansi
positif

yang
diformulasikan oleh Watts dan Zimmerman
(1986) telah memprediksi tiga hipotesis yang
mendorong
perusahaan
untuk
melakukan
manajemen laba, yaitu:
a) The bonus plan hypothesis
Manajer perusahaan yang memiliki program
bonus yang terkait dengan angka-angka
akuntansi cenderung untuk memilih prosedur
akuntansi yang menggeser reported earnings
dari future period ke current period
(menaikkan laba yang dilaporkan sekarang),
ceteris paribus.
b) The debt covenant hypothesis
Perusahaan
yang
semakin
mendekati
pelanggaran debt covenant (perjanjian kontrak
hutang) cenderung untuk memilih prosedur
akuntansi yang menggeser reported earnings
dari future periods ke current period
(menaikkan laba yang dilaporkan sekarang),
ceteris paribus.
c) The political cost hypothesis
Semakin besar political cost yang dihadapi
suatu perusahaan, manajer cenderung untuk
memilih
prosedur
akuntansi
yang
menangguhkan reported earnings dari current
ke future period (menurunkan laba yang
dilaporkan
sekarang),
ceteris
paribus.
Pengurangan biaya politik ini dapat ditempuh
oleh perusahaan dengan cara mengecilkan
pajak. Watts dan Zimmerman (1978) adalah
cost yang harus dikeluarkan berkaitan dengan
kebijakan regulasi pemerintah seperti pajak,
tarif dan retribusi lainnya. Ukuran perusahaan
juga sebagai proxy dari political cost, dianggap
sensitif dari prilaku pelaporan laba. Perusahaan
sedang dan besar memiliki tekanan yang kuat
dari para stakeholdernya, agar kinerja
perusahaan sesuai dengan harapan para
investornya dibandingkan perusahaan kecil.
2.2. Teori Sinyal (Signaling Theory)
Menurut Jama’an (2008) Teori sinyal
mengemukakan tentang bagaimana seharusnya
sebuah perusahaan memberikan sinyal kepada

pengguna
laporan keuangan. Sinyal ini
berupa informasi mengenai apa yang sudah
dilakukan oleh manajemen untuk merealisasikan
keinginan pemilik. Sinyal dapat berupa promosi
atau informasi lain yang menyatakan bahwa
perusahaan tersebut lebih baik daripada
perusahaan lain. Teori sinyal menjelaskan bahwa
pemberian sinyal dilakukan oleh manajer untuk
mengurangi
asimetri
informasi.
Manajer
memberikan informasi melalui laporan keuangan
bahwa mereka menerapkan kebijakan akuntansi
konservatisme yang menghasilkan laba yang lebih
berkualitas karena prinsip ini mencegah
perusahaan melakukan tindakan membesarbesarkan laba dan membantu pengguna laporan
keuangan dengan menyajikan laba dan aktiva
yang tidak overstate.
2.3. Definisi Manajemen Laba
Menurut Sugiri (1998), definisi earnings
management yaitu :
a. Definisi Sempit
Bahwa earnings management hanya berkaitan
dengan pemilihan metode akuntansi. Selain itu
juga diartikan sebagai perilaku manajer untuk
“bermain ” dengan komponen discretionary
accrual dalam menentukan earnings.
b. Definisi Luas
Earnings management merupakan tindakan
manajer untuk meningkatkan atau mengurangi
laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit
dimana manajer bertanggung jawab tanpa
mengakibatkan peningkatan atau Perubahan
profitabilitas ekonomi jangka panjang tersebut.
Scott (2000) mendefinisikan manajemen laba
sebagai berikut: manajemen laba merupakan
pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajer dari
Standar Akuntansi Keuangan yang ada dan secara
alamiah dapat memaksimalkan utilitas mereka dan
atau nilai pasar perusahaan. Manajemen laba
menurut Mulford dan Comiskey (2002),
merupakan financial numbers game (permainan
angka–angka keuangan) yang dilakukan melalui
creative accounting practises akibat adanya
kelonggaran
flexibility
principles
yang
dikeluarkan oleh GAAP (General Accepted
Accounting Principal).
2.4. Motivasi Manajemen Laba
Menurut Scott (2000) mengemukakan
beberapa motivasi terjadinya manajemen laba
adalah sebagai berikut:
1. Bonus Purposes
Manajer yang memiliki informasi atas laba
bersih perusahaan akan bertindak secara

2.

3.

4.

5.

6.

opportunistic untuk melakukan manajemen
laba, untuk memaksimalkan bonus mereka
berdasarkan rencana bonus perusahaan.
Motivasi Politik (Political Motivations)
Manajemen laba digunakan untuk mengurangi
laba yang dilaporkan pada perusahaan besar
yang aktivitasnya mempengaruhi banyak
pihak, dengan tujuan untuk mengurangi
tekanan
publik
yang
mengakibatkan
pemerintah menetapkan peraturan yang lebih
ketat.
Taxation Motivations
Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi
manajemen laba yang paling nyata. Berbagai
metode akuntansi digunakan untuk tujuan
penghematan pajak pendapatan.
Pergantian Chief Executif Officer (Changes of
CEO Mativations).
CEO yang mendekati masa pensiun akan
cenderung menaikkan pendapatan untuk
meningkatkan bonus mereka. Jika kinerja
perusahaan
buruk,
mereka
akan
memaksimalkan pendapatan agar tidak
diberhentikan.
Initial Public Offering (IPO)
Perusahaan yang akan go public belum
memiliki nilai pasar. Hal ini meningkatkan
kemungkinan manajer perusahaan tersebut
melakukan manajemen laba dalam prospektus
mereka dengan harapan dapat menaikkan
harga saham perusahaan.
Motivasi Perjanjian Utang (Debt Covenants
Motivations)
Manajemen laba dengan tujuan untuk
memenuhi perjanjian utang timbul dari kontrak
utang jangka panjang. Perjanjian utang
bertujuan melindungi peminjam terhadap
tindakan manajer. Pelanggaran terhadap
covenant mengakibatkan cost yang tinggi
terhadap perusahaan, oleh karena itu manajer
berusaha untuk menghindari terjadinya
pelanggaran terhadap covenant.

2.5. Perubahan Pajak Penghasilan Badan (Pajak) di Indonesia
Tabel 2
Perbandingan Tarif Pajak Badan Selama Perubahan UU Pajak Penghasilan
UU 7 Tahun
UU 10 Tahun
UU 17 Tahun
UU No. 36 Tahun
1983
1994
2000
2008
1. 15% = PKP 1. 10% = PKP 1. 10% = PKP Tahun 2009=28%
Tahun 2010=25%
0 sd 50juta
0 sd 50juta
0 sd 10juta
2. 15%
2. 15% =
2. 25% =
Khusus
Perseroan
Tambahan
Tambahan
Tambahan
Dalam
50juta
sd Terbatas
50juta
sd
10juta
sd
100juta
Negeri yang Go
100juta
50juta
Publik
dapat
3. 30%
3. 30% =
3. 35% =
Perubahan
sebesar
Tambahan
Tambahan
Tambahan
PKP di atas 5% sesuai PMK
PKP di atas
PKP di atas
No:238/PMK.03/200
100juta.
100juta.
50juta.
8.
Progresif
Progresif
Progresif
Tunggal
Sumber: UU Pajak Penghasilan, 2008.

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa
sudah ada 3 kali perubahan tarif sejak UU No.7
tahun 1983 ditetapkan. Tabel di atas menunjukkan
perubahan dari tarif progresif sampai yang
terakhir menjadi tarif tunggal. Pada perubahan
yang ketiga atau terakhir dapat dilihat bahwa tarif
Pajak wajib pajak badan diturunkan dari tarif
progresif maksimal sebesar 30 persen menjadi
tarif tunggal 28 persen pada tahun 2009 dan 25
persen pada tahun 2010. Tarif Pajak ini masih
dapat dikurangi lagi sebesar lima persen bagi
wajib
pajak
badan
yang
sahamnya
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dengan
mengikuti Peraturan Pemerintah nomor 81 tahun
2007 yang telah ditetapkan sebelumnya dengan
ketentuan sebagai berikut : (1) Merupakan wajib
pajak dalam negeri berbentuk perseroan terbuka,
(2) jumlah kepemilikan publik sebesar 40 persen
atau lebih dari keseluruhan jumlah saham yang
disetor, (3) saham tersebut dimiliki paling sedikit
300 pihak, (4) masing-masing pihak tersebut
hanya boleh memiliki saham kurang dari lima
persen dari keseluruhan saham yang disetor, (5)
dipenuhi dalam waktu paling singkat enam bulan
dalam jangka waktu satu tahun pajak. Secara
teknis PP tersebut diatur secara rinci dalam
Peraturan
Menteri
Keuangan
No.
238/PMK.03/2008.
Menurut Yulianto (2010) Reformasi
Undang-Undang Pajak Penghasilan tahun 2008
dalam tinjauan political cost hypotheses dianggap
dapat menimbulkan kecenderungan munculnya
praktik pelaporan laba agresif. Anggapan ini yang

didasarkan pada dua alasan. Alasan pertama
adalah adanya pemberian fasilitas keringanan
pajak bagi emiten tertentu dalam paket reformasi
Undang Undang Pajak Penghasilan 2008.
Kebijakan tersebut dapat mendorong emiten untuk
menarik investasi masyarakat dalam kepemilikan
perusahaan dengan melaporkan nilai laba yang
meningkat pada tahun 2009. Usaha tersebut dapat
dilakukan selama periode 2009 berlangsung
melalui penyajian laporan keuangan interim
(laporan keuangan kwartalan emiten) dan periodeperiode berikutnya. Pembahasan mengenai
pelaporan laba agresif ini penting karena praktik
manipulatif tersebut akan berpengaruh pada
pembentukan harga saham masa depan (Frank,
Lynch dan Rego (2009) dalam Yulianto (2010).
Alasan kedua berkaitan dengan perbedaan tarif
pajak antara tahun 2008 dengan tahun 2009.
Perbedaan tarif pajak antar periode tersebut dapat
memicu usaha penghematan pajak untuk periode
2009 melalui percepatan pengakuan biaya dan
penundaan pengakuan pendapatan.
2.6. Model Mendeteksi Manajemen Laba
Menurut Sulistyanto (2008) model akrual
yang digunakan mendeteksi manajemen laba
menunjukkan bahwa laba terdiri dari komponen
arus kas operasi, discretionary accrual dan
nondiscretionary accrual. Discretionary accrual
merupakan komponen akrual hasil rekayasa
manajerial dengan memanfaatkan kebebasan dan
keleluasaan dalam estimasi dan pemakaian
standar. Ada beberapa metode yang bisa dipakai
manajer perusahaan untuk merekayasa besar

kecilnya discretionary accrual ini, misalnya
kebebasan memilih metode penyusutan aset tetap,
menentukan prosentase piutang tak tertagih,
memilih metode penilaian persediaan dan
sebagainya.
Sementara itu, nondiscretionary accrual
merupakan komponen akrual yang diperoleh
secara alamiah dari dasar pencatatan akrual
dengan mengikuti standar akuntansi yang berlaku
umum. Atas dasar pemikiran itu bahwa komponen
akrual yang bebas dipermainkan dengan kebijakan
manajerial adalah discretionary accrual, maka

discretionary accrual dijadikan sebagai proxy
untuk mendeteksi praktek manajemen laba.
Model Jones dimodifikasi oleh Dechow,
Sloan dan Sweeney (1995) dirancang untuk
mengurangi kecenderungan terjadinya kesalahan
model Jones, ketika discretionary diterapkan pada
pendapatan. Perubahan pendapatan disesuaikan
demgan perubahan piutang, karena dalam
pendaptan atas penjualan sudah tentu ada yang
berasal dari penjualan secara kredit. Pengurangan
terhadap nilai piutang untuk menunjukkan bahwa
pendapatan yang diterima benar-benar merupakan
pendapatan bersih (Dechow et.al, 1995).

Total akrual merupakan selisih antara net income dengan cash flow operation yang dirumuskan sebagai
berikut (Sook, 1998) :
= ................................................................................................. (5)
dimana :
= Total akrual perusahaan i ada tahun t
= Laba bersih (Net Income) perusahaan i pada tahun t
= Kas dari operasi (cash flow operation) perusahaan i pada tahun t.
Total akrual (
) sendiri juga merupakan penjumlahan dari nondiscretionary accrual dengan
discretionary accrual dengan persamaan berikut :
=
............................................................................................... (6)
dimana :
= Total akrual perusahaan i pada tahun t
= Nondiscretionary accrual perusahaan I pada tahun t
= Discretionary accrual pada perusahaan i pada tahun t
Total akrual kemudian dirumuskan oleh Jones (1991) yang dimodifikasi oleh Dechow et. al (1995)
sebagai berikut :
/
−1= ∝1 (1/ −1) + 1 (∆
−1 – ∆
/
−1) + 2 (PP
/
−1)
+
.................................................................................................................... (7)
Perhitungan nondiscretionary accrual menurut model Jones yang dimodifikasi kemudian dirumuskan
sebagai berikut :
=∝1 (1/ −1) + 1 (∆
/ −1 – ∆
) + 2 (PP / −1) ......... (8)
dimana :
N
= Non Discretionary accrual pada perusahaan i pada tahun t
= Total akrual perusahaan i pada tahun t
−1
= Total aktiva perusahaan i pada tahun t-1

= Pendapatan perusahaan i pada tahun t dikurangi pendapatan
pada tahun t-1.
= piutang perusahaan i pada tahun t dikurang piutang tahun t-1.

= Aktiva tetap perusahaan i pada tahun t
= Error term perusahaan i pada tahun t
Rumus menghitung DAit
=T c /T –N
................................................................................ (9)
D
Dalam penelitian ini, discretionary
accrual sebagai proksi atas manajemen laba
diukur dengan menggunakan Modified Jones

Model, karena model ini mempunyai standar dari
(error term) hasil regresi estimasi nilai total

akrual yang paling kecil dibandingkan modelmodel yang lainnya. (Dechow et. al, 1995).
Menurut Sulistyanto (2008), secara
empiris nilai discretionary accrual bisa nol,
positif, atau negatif. Nilai nol menunjukkan
manajemen laba dilakukan dengan pola perataan
laba (income smoothing), sedangkan nilai positif
menunjukkan bahwa manajemen laba dilakukan
dengan pola penaikkan laba (income increasing)
dan nilai negatif menunjukkan manajemen laba
dengan pola Perubahan laba (income decreasing.)
2.7 Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian mengenai fenomena
Perubahan tarif pajak dan pengaruhnya terhadap
manajemen laba sudah dilakukan oleh beberapa
peneliti sebelumnya baik penelitian di luar negeri
maupun dalam negeri diantaranya Guenther
(1994), Yamashita dan Otogawa (2007),
Balanchandran (2006), Setiawati (2001), Husni
(2010), Subagyo dan Octavia (2010), Yulianto
(2010), serta Martani dan Wijaya (2011).
Guenther (1994) melakukan penelitian
yang bertujuan untuk menemukan bukti empiris
apakah perusahaan go publik di Amerika Serikat
merespon perubahan kebijakan perpajakan di
United States yaitu Tax Reform Act pada tahun
1986. Guenther (1994) menemukan bahwa
perubahan tarif pajak direspon oleh perusahaan di
AS hal ini ditandai dengan nilai negatif pada
koefisien
discretionary
Accrual
yang
menunjukkan manajemen melakukan praktek
manajemen laba negatif sebagai respon Perubahan
tarif pajak di Amerika Serikat pada tahun sebelum
terjadinya Perubahan tarif pajak.
Balachandran, et. al, (2006) melakukan
penelitian yang serupa dengan Guenther dengan
obyek penelitian perusahaan go publik di
Australia, penelitian ini bertujuan untuk
menemukan bukti empiris pengaruh Perubahan
tarif pajak terhadap indikasi manajemen laba.
Peneliti memperoleh hasil konsisten dengan
penelitian serupa bahwa manajemen mengatur
Perubahan laba pada tahun sebelum implementasi
Perubahan tarif pajak dividen dan pajak badan.
Yamashita
dan
Otogawa
(2007)
melakukan penelitian terhadap perusahaan go
publik di Jepang dalam menanggapi Perubahan
tarif Pajak saat Reformasi Perpajakan terjadi pada
tahun 1998 di Jepang. Peneliti menemukan bahwa
discretionary accrual negatif secara signifikan
untuk tahun sebelum pengurangan tarif pajak.
Hasil ini menunjukkan bahwa perusahaan Jepang

mengatur laba rugi mereka untuk memperkecil
pembayaran pajak penghasilan.
Sedangkan untuk kondisi di Indonesia
penelitian perubahan tarif pajak Pajak badan
sudah dilakukan oleh beberapa peneliti yang
bertujuan untuk menemukan bukti empiris apakah
perusahaan go publik merespon Perubahan tarif
Pajak dengan melakukan praktek manajemen laba.
Setiawati (2001) dalam Martani (2011)
menguji apakah ada perilaku manajemen laba
dalam merespon perubahan UU Pajak tahun 1994
yang efektif per 1 Januari 1995 pada perusahaan
manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta.
Namun, hasil penelitian tidak dapat membuktikan
adanya perilaku perusahaan yang berusaha untuk
menurunkan laba tahun 1994 dengan tujuan
mendapatkan penghematan pajak pada tahun yang
bersangkutan.
Lebih lanjut Husni (2010) dalam Martani
(2011) melakukan penelitian yang serupa. Dalam
penelitiannya ingin menguji apakah dengan
dikeluarkannya UU Perpajakan tahun 2008 yang
efektif per 1 Januari 2009, manajer akan berusaha
menunda pengakuan laba suatu periode sebelum
dikeluarkannya tarif baru yang lebih rendah. Hasil
penelitian belum dapat menemukan bahwa
manajemen merekayasa dengan adanya perubahan
Undang-Undang Pajak Penghasilan tahun 2008).
Penelitian yang dilakukan Subagyo dan
Octavia (2010) dalam Martani (2011) melakukan
penelitian terkait Perubahan tarif Pajak badan UU
No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Penelitian dilakukan terhadap perusahaan go
publik di Indonesia. Peneliti menemukan bahwa
perusahaan
manufaktur
yang
melakukan
manajemen laba dalam rangka merespon
perubahan tarif pajak badan di Indonesia adalah
perusahaan yang memperoleh laba (profit firm)
saja, yang memanipulasi labanya guna
meminimalkan pembayaran pajak perusahaannya.
Peneliti juga membuktikan bahwa manajemen
laba yang dilakukan perusahaan yang memperoleh
laba (profit firm) dipengaruhi insentif pajak dan
insentif non pajak, sedangkan manajemen laba
yang dilakukan oleh perusahaan yang mengalami
kerugian (loss firm) hanya dipengaruhi oleh
insentif non pajak saja.
Yulianto (2010) melakukan penelitian
yang serupa dengan Setiawati (2001) dan Husni
(2010). Hasil penelitiannya belum menemukan
bahwa Pemberlakuan Undang-Undang No. 36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan tidak
berpengaruh terhadap manajemen laba yang

ditunjukkan dengan tidak adanya perbedaan nilai
discretionary book tax accruals (DTA) antara
tahun 2008 dan tahun 2009.
Sedangkan Martani dan Wijaya (2011)
menemukan hasil yang berbeda dengan Yulianto
(2010), Husni (2010) dan Setiawati (2010). Hasil
penelitiannya berhasil menemukan bahwa
manajemen melakukan praktek manajemen laba
dalam merespon Perubahan tarif Pajak badan
tahun 2009. Penelitian Martani dan Wijaya (2011)
menggunakan model Jones (1991) dimodifikasi
oleh Guenther (1994), Current accrual sebagai
proxy manajemen labanya.
Perbedaaan beberapa hasil penelitian di
atas menjadi celah bagi penelitian selanjutnya.
Selain itu, Martani (2011) dan Yulianto (2010),
Husni (2010) menggunakan periode penelitian
relatif pendek hanya satu tahun sebelum dan
sesudah perubahan yakni tahun 2008 dan 2009.
Padahal Perubahan tarif juga berlaku untuk tahun
2010 menjadi sebesar 25%.

Menurut
Sulistyanto
(2008)
nilai
Discretionary Accrual yang menjadi proxy
manajemen laba dapat bernilai 0 atau mendekati
0, bernilai positif atau dapat juga negatif. Nilai
tersebut merupakan indikator bahwa apakah
perusahaan melakukan praktek manajemen laba
atau tidak.
Jika Discretionary Accrual (DA)nya
bernilai sama dengan 0 atau mendekati nol, ini
menunjukan bahwa perusahaan terindikasi
melakukan praktek manajemen laba dengan pola
perataan laba (Income Smoothing).
Selanjutnya, jika nilai Discretionary
Accrual (DA) positif
menunjukan bahwa
perusahaan terindikasi melakukan praktek
manajemen laba dengan pola peningkatan laba
(Income Increasing).
Namun, jika nilai Discretionary Accrual
(DA) negatif menunjukan bahwa perusahaan
terindikasi melakukan praktek manajemen laba
dengan pola Perubahan laba (Income Decreasing).

2.8 Kerangka Pikir
Periode Sebelum Perubahan
UU PPh

Periode Setelah
Perubahan UU PPh

MANAJEMEN LABA

Gambar 1
Kerangka Pikir Indikasi Praktek Manajemen Laba Sebelum dan Sesudah
Perubahan Tarif Pajak Badan.

2.9 Pengembangan Hipotesis
H1: Terdapat perbedaan indikasi manajemen laba
sebelum dan sesudah Perubahan tarif Pajak
badan pada industri farmasi.
H3: Terdapat perbedaan indikasi manajemen laba
sebelum dan sesudah Perubahan tarif Pajak
Penghasilan badan pada industri farmasi
BUMN.
H3: Terdapat perbedaan indikasi manajemen laba
sebelum dan sesudah Perubahan tarif Pajak
Penghasilan badan pada industri farmasi Non
BUMN.

3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Populasi
Dalam penelitian ini peneliti mengambil
populasi industri farmasi yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia. Penelitian ini didesain untuk
memperoleh gambaran mengenai apakah terjadi
praktek manajemen laba selama periode
pengamatan sebelum dan sesudah perubahan tarif
pajak badan pada industri farmasi yang terdaftar
di Bursa Efek Indonesia.
Adapun model yang digunakan untuk
mendeteksi indikasi praktek manajemen laba

dalam penelitian ini peneliti menggunakan model
Jones yang dimodifikasi oleh Dechow (1995).
3.2. Sumber Data dan Teknik Pengambilan
Sampel
Jenis data yang diolah dan dianalisis oleh
peneliti adalah data sekunder yaitu berupa laporan
keuangan tahunan pada industri farmasi yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Industri Farmasi dipilih karena termasuk
dalam industri manufaktur. Menurut Kiswara
(1999) dalam Purnomo dan Pratiwi (2009)
industri yang lebih banyak terdeteksi melakukan
manajemen laba di bursa efek indonesia adalah
Industri Manufaktur. Menurut Syahrul (2002)
perusahaan go publik yang pernah terdeteksi oleh
BAPPEPAM melakukan praktek manajemen laba
adalah dari Industri Farmasi yakni kasus PT.
Kimia Farma Tbk pada tahun 2001.
Untuk periode pengamatan, peneliti
memilih fokus pada periode pengamatan 3 tahun
sebelum dan 3 tahun sesudah perubahan tarif

Pajak badan yakni tahun 2006 sd 2011. 3 tahun
sebelum perubahan tarif adalah 2006, 2007 dan
2008. Pada periode ini tarif pajak badan
menggunakan tarif progresif. Selanjutnya, 3
tahun sesudahnya yakni tahun 2009, 2010 dan
2011 yang merupakan tahun perubahan tarif pajak
badan menjadi tarif tunggal. Kriteria pengambilan
sampel:
a. Perusahaan yang memperoleh laba selama
periode pengamatan.
b. Perusahaan yang tidak baru listing/ IPO di
Bursa Efek Indonesia.
c. Perusahaan yang tidak didelisting selama
periode pengamatan.
d. Perusahaan yang memiliki data lengkap selama
periode pengamatan.
Berdasarkan hasil verifikasi data ada 9
perusahaan farmasi yang terdaftar di bursa efek,
tetapi yang memenuhi kriteria sampel hanya 7
perusahaan.

Tabel 3.
Sampel Pada Industri Farmasi
No.
1
2
3
4

Keterangan
Perusahaan Farmasi yang terdaftar di BEI 2006 sd. 2011.
Farmas yang baru IPO selama periode pengamatan
Farmasi yang mengalami rugi selama periode pengamatan
Data Farmasi yang tidak dipublikasikan secara Lengkap selama
periode pengamatan
Jumlah

Sumber: data diolah

No.
1
2
3
4
5
6
7

Tabel 4.
Nama Perusahaan Farmasi
Memenuhi Kriteria Sampel
Kode
Nama perusahaan
KLBF Kalbe Farma Tbk
TSPC Tempo Scan Pacific Tbk
KAEF Kimia Farma Tbk
DVLA Daya-Varia Laboraria
INAF
Indofarma Tbk
MERK Merck Tbk
PYFA Pyridam Farma

Sumber: data diolah

Jumlah
9
(0)
(1)
(1)
7

Tabel 5.
Data Total Akrual (TAcc),
Selisih Pendapatan dengan Piutang (DRev-DRec), dan Aset Tetap (PPE)
Sebelum Perubahan UU PPh
Sebelum Setelah Perubahan
Data
TAcc
DRev-DRec
PPE
KLBF-2007
-0,0196329 0,155023382 0,258328383
KLBF -2006
0,07412416 0,165807172 0,260377558
KLBF -2005
0,007763417 0,016150566 0,246861833
TSPC -2007
0,010223451 0,16711129 0,239823608
TSPC -2006
-0,00659675 0,125639609 0,253332258
TSPC -2005
0,016067721 0,104364515 0,262309555
KAEF-2007
0,063237567 0,270823854 0,286966762
KAEF-2006
-0,00263474 0,062197516 0,313452646
KAEF-2005
-0,08612458 0,34309978 0,361331673
DVLA-2007
-0,12511009 0,127819871 0,275219724
DVLA -2006
-0,07818071 -0,10920861 0,230422527
DVLA -2005
-0,01195907 0,038799335 0,188951524
INAF-2007
0,190539875 0,231698462 0,088393827
INAF -2006
-0,10531097 0,319090397 0,119383582
INAF -2005
-0,11161996 0,514556988 0,172496208
MERK-2007
-0,14081048 0,264947351 0,165509784
MERK -2006
-0,07598922 0,165607822 0,165759928
MERK -2005
-0,0210059 0,410325912 0,212278819
PYFA-2007
0,016520067 0,308222201 0,595636685
PYFA-2006
-0,02513022 0,266604112 0,718515043
PYFA-2005
0,057909863 0,222775963 0,777609406
Sumber: data diolah

Tabel 6.
Data Total Akrual (TAcc),
Selisih Pendapatan dengan Piutang (DRev-DRec), dan Aset Tetap (PPE)
Setelah Perubahan UU PPh
Setelah Setelah Perubahan
Data
TAcc
DRev-DRec
PPE
KLBF-2010
0,007033207 0,057432098 0,264527417
KLBF -2009
0,005001661 0,168549187 0,247632761
KLBF -2008
-0,07619088 0,156246537 0,245120649
TSPC -2010
-0,00040032 0,167579072 0,246861833
TSPC -2009
-0,02733595 0,172813783 0,233148703
TSPC -2008
-0,03930663 0,260505275 0,240980541
KAEF-2010
0,053793812 0,163580204 0,257479827
KAEF-2009
-0,00025737 0,175814631 0,263882884

KAEF-2008
DVLA-2010
DVLA -2009
DVLA -2008
INAF-2010
INAF -2009
INAF -2008
MERK-2010
MERK -2009
MERK -2008
PYFA-2010
PYFA-2009
PYFA-2008

-0,0126917
0,056457013
-0,02518335
0,104419283
0,01370925
0,044962186
0,005540421
0,072516837
-0,09399037
0,174468891
0,034637027
-0,05342366
-0,01265014

0,070845401
-0,05710776
0,06152144
0,251772104
0,171760743
-0,00530744
-0,33578309
0,240017665
0,30503491
0,070958556
0,067265822
0,060368032
0,145897319

0,278114838
0,229331711
0,219052007
0,239771979
0,46730803
0,133149001
0,104564972
0,141537556
0,15451068
0,178398887
0,547929135
0,528593014
0,547838427

Sumber: data diolah

Jones (1991) yang telah dimodifikasi oleh
Dechow dkk (1995). Total akrual merupakan
selisih antara net income dengan cash flow
operation yang dirumuskan sebagai berikut :

3.3. Definisi Operasional Manajemen Laba
Sebagai proxy manajemen laba, data
berskala rasla rasio. Model pengukuran
Discretionary Accrual yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah dengan mengunakan model

cc =NI ............................................................................................................ (1)
dimana :
cc
= Total akrual perusahaan i ada tahun t
I
= Laba bersih (Net Income) perusahaan i pada tahun t
= Kas dari operasi (cash flow operation) perusahaan i pada tahun t.
Total akrual (
) sendiri juga merupakan penjumlahan dari nondiscretionary accrual dengan
discretionary accrual dengan persamaan berikut :
cc =

dimana :
cc

-

........................................................................................................... (2)

= Total akrual perusahaan i pada tahun t
= Nondiscretionary accrual perusahaan I pada tahun t
= Discretionary accrual pada perusahaan i pada tahun t

Langkah I. Melakukan regresi OLS persamaan berikut untuk mendapatkan koefisien ∝1, 1
dan 2:
cc / T −1= ∝1 (1/T −1) + 1 (∆REV – ∆
)/ T −1) + 2 (PPE /T −1) +
.............................................................................................................................................. (3)
Selanjutnya koefisien tersebut digunakan untuk menghitung nondiscretionary accrual
dengan rumus sebagai berikut :
=∝1(1/T

−1)+ 1(∆

–∆

)/T

−1)+ 2 (PPE /T

−1) ................... (4)

dimana :
N
−1



= Non Discretionary accrual pada perusahaan i pada tahun t
= Total akrual perusahaan i pada tahun t
= Total aktiva perusahaan i pada tahun t-1
= Pendapatan perusahaan i pada tahun t dikurangi pendapatan
pada tahun t-1.
= piutang perusahaan i pada tahun t dikurang piutang tahun t-1.
= Aktiva tetap perusahaan i pada tahun t
= Error term perusahaan i pada tahun t

Langkah terakhir peneliti akan menghitung Discretionary Accrual dengan
rumus sebagai berikut:
Discretionary Accrual (DA) = (TAc it/TAt-1)– NDA

menggunakan

.......................................... (5)

Dari persamaan 5 di atas akan diperoleh nilai Discretionary Accrual yang akan menjadi indikator
apakah perusahaan melakukan praktek manajemen laba atau tidak.
3.4. Metode Analisis
Penelitian ini menggunaan Uji Paired
Sample t-test, digunakan untuk membandingkan
mean dari suatu sampel yang berpasangan
(paired). Sampel berpasangan adalah sebuah
kelompok sampel dengan subyek yang sama
namun mengalami dua perlakuan atau
pengukuran yang berbeda. Jika perbedaanya

signifikan maka terdapat indikasi perusahaan
melakukan manajemen laba. H0 diterima jika
nilai signifikansinya di atas 0,05. Uji ini
digunakan untuk menjawab hipotesis H1, H2 dan
H3.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil
4.1.1 Statistik Deskriptif
Tabel 7.
Analisis Deskriptif Data Sebelum Perubahan UU PPh
Descriptive Statistics
N
Minimum Maximum
Mean
TAccBefore
DRev_DRecBefor
e
PPE_Before
Valid N (listwise)

21

-,14081

,19054

-,0177962

Std.
Deviation
,07848017

21

-,10921

,51456

,1986408

,14220375

21
21

,08839

,77761

,2949029

,18204804

Tabel 8.
Analisis Deskriptif Data Setelah Perubahan UU PPh
Descriptive Statistics
N
Minimum Maximum
Mean
TAccAfter
DRev_DRecAft
er
PPE_After
Valid N
(listwise)

21

-,09399

,17447

,0110052

Std.
Deviation
,06098967

21

-,33578

,30503

,1128459

,13694180

21

,10456

,54793

,2747493

,13292895

21

4.1.2

Uji Normalitas Data
Tabel 9.
Hasil Uji Normalitas
Sebelum Perubahan UU PPh
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardize
d Residual
N
21
Mean
0E-7
Normal Parametersa,b
Std.
,07671674
Deviation
Absolute
,160
Most Extreme
Positive
,160
Differences
Negative
-,105
Kolmogorov-Smirnov Z
,732
Asymp. Sig. (2-tailed)
,658
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.

Berdasarkan hasil uji Kolmogorov
Smirnov atas Total Akrual (TAcc), Selisih
Pendapatan dengan Piutang (DRev-DRec) dan
Aset Tetap (PPE) pada Industri Farmasi diperoleh

nilai signifikansi uji sebelum perubahan UU PPh
adalah sebesar 0,658 > 0,05 artinya data
terdistribusi secara normal
.

Tabel 10.
Hasil Uji Normalitas
Setelah Perubahan UU PPh
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardize
d Residual
N
21
Mean
0E-7
Normal Parametersa,b
Std.
,05957006
Deviation
Absolute
,130
Most Extreme
Positive
,130
Differences
Negative
-,113
Kolmogorov-Smirnov Z
,594
Asymp. Sig. (2-tailed)
,872
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Berdasarkan hasil uji Kolmogorov
Smirnov Data Total Akrual, Selisih Pendapatan
dengan Piutang dan Aset Tetap pada Industri
Farmasi diperoleh nilai signifikansi uji setelah

perubahan UU PPh adalah sebesar 0,872 > 0,05
artinya data terdistribusi secara normal.
Selanjutnya hasil regresi dari Selisih
pendapatan dan Aset Tetap terhadap Total Akrual
diperoleh koefisien regresi sebagai berikut:

Tabel 11.
Koefisen Regresi Sebelum perubahan UU PPh
Coefficientsa
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B
Std. Error
Beta
-,024
,041

Model

(Constant)
DRev_DRecBefor
1
-,079
e
PPE_Before
,073
a. Dependent Variable: TAccBefore

t

Sig.

-,574

,573

,128

-,143

-,620

,543

,100

,169

,729

,476

Tabel 12.
Koefisien Regresi Setelah Perubahan UU PPh
Coefficientsa
Unstandardized
Standardized
t
Coefficients
Coefficients
B
Std. Error
Beta
,038
,033
1,135

Model

(Constant)
DRev_DRecAfte
1
-,055
r
PPE_After
-,074
a. Dependent Variable: TAccAfter

Sig.

,271

,103

-,123

-,528

,604

,106

-,162

-,697

,495

Berdasarkan masing-masing koefisien di atas diperoleh nilai estimasi Non Discretionary Accrual
(NDA) dan Discretionary Accrual (DA) sebagai berikut:

No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Tabel 13.
NDA dan DA
Sebelum Perubahan UU PPh
Nama Perusahaan
NDA
Kalbe Farma Tbk-2007
-0,00923
Kalbe Farma Tbk-2006
-0,01924
Kalbe Farma Tbk-2005
-0,01845
Tempo Scan Pacific Tbk-2007
-0,01922
Tempo Scan Pacific Tbk-2006
-0,02063
Tempo Scan Pacific Tbk-2005
-0,02699
Kimia Farma-2007
-0,01813
Kimia Farma-2006
-0,01863
Kimia Farma-2005
-0,00929
Daya Varia-2007
-0,00275
Daya Varia-2006
-0,01287
Daya Varia-2005
-0,02639
Indofarma-2007
-0,00346
Indofarma-2006
-0,01386
Indofarma-2005
0,01016

DA
0,01626
0,02424
-0,05774
0,01882
-0,00670
-0,01232
0,07192
0,01837
-0,00340
0,05920
-0,01231
0,13081
0,01716
0,05882
-0,00462

16
Merck-2007
17
Merck-2006
18
Merck-2005
19
Pyridam Farma-2007
20
Pyridam Farma-2006
21
Pyridam Farma-2005
Sumber: data diolah

No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

-0,03263
-0,03682
-0,01658
0,01068
0,00982
0,00447

Tabel 14.
NDA dan DA
Setelah Perubahan UU PPH
Nama Perusahaan
NDA
Kalbe Farma Tbk-2007
0,01036
Kalbe Farma Tbk-2006
0,00961
Kalbe Farma Tbk-2005
0,01884
Tempo Scan Pacific Tbk2007
0,01106
Tempo Scan Pacific Tbk2006
0,01234
Tempo Scan Pacific Tbk2005
0,01285
Kimia Farma-2007
0,00187
Kimia Farma-2006
0,01138
Kimia Farma-2005
-0,00761
Daya Varia-2007
0,01060
Daya Varia-2006
0,02696
Daya Varia-2005
0,02188
Indofarma-2007
0,01872
Indofarma-2006
0,01162
Indofarma-2005
-0,00307
Merck-2007
0,01118
Merck-2006
0,01663
Merck-2005
-0,00028
Pyridam Farma-2007
-0,02303
Pyridam Farma-2006
-0,02983
Pyridam Farma-2005
-0,03180

0,10515
-0,05717
0,19105
0,02395
-0,06324
-0,01712

DA
-0,02999
0,06451
-0,01108
-0,00084
-0,01894
0,00322
0,06137
-0,01402
-0,07852
-0,13571
-0,10514
-0,03384
0,17182
-0,11693
-0,10855
-0,15199
-0,09261
-0,02073
0,03955
0,00470
0,08971

4.1.3. Uji Paired Sample t test
Tabel 15.
Hasil Uji Paired Sampel t test
Industri Farmasi Sebelum dan Sesudah Perubahan UU PPh
Paired Samples Statistics
Mean
N
Std.
Std. Error
Deviation
Mean
DAbefore ,0238633
21
,06266326
,01367424
Pair 1
DAafter
-,0230481
21
,08119800
,01771886

Paired Samples Correlations
N
Correlation
DAbefore &
Pair 1
21
-,122
DAafter

Pair 1

DAbefore –
Daafter

Sig.
,600

Paired Samples Test
Paired Differences
t
Df Sig.
(2Mean
Std.
Std.
95% Confidence
tailed
Deviatio
Error
Interval of the
)
n
Mean
Difference
Lower
Upper
,0469114 ,1084275 ,0236608 ,00244 ,0962670 1,983 20 ,061
4

Berdasarkan Tabel di atas, rata-rata
Discretionary Accrual (DA) sebelum perubahan
tarif pajak sebesar 0,0238633 dan sesudah
perubahan UU PPh menjadi sebesar -0,0230481.
Lebih lanjut diperoleh t hitung = 1,983, sedangkan
.

probabilitasnya sebesar 0,061 > 0,05, maka Ho
diterima, artinya tidak terdapat perbedaan indikasi
manajemen laba pada industri farmasi sebelum
dan
sesudah
perubahan
UU
PPh

Tabel 16.
Hasil Uji Paired Sampel t test
Industri Farmasi BUMN Sebelum dan Sesudah Perubahan UU PPh
Paired Samples Statistics
Mean
N
Std.
Std. Error
Deviation
Mean
DAbumnBefor
,0264
6
,03201
,01307
Pair 1 e
DAbumnAfter
-,0141
6
,11305
,04615

Paired Samples Correlations
N
Correlation
DAbumnBefore &
Pair 1
6
,179
DAbumnAfter

Mean

Pair 1

DAbumnBefo
re DAbumnAfter

,04051

Paired Samples Test
Paired Differences
Std.
Std.
95% Confidence
Deviatio
Error
Interval of the
n
Mean
Difference
Lower Upper
,11186

,04567 -,07688

,15790

Sig.
,735

T

,887

df

Sig.
(2tailed
)

5

,416

Berdasarkan Tabel di atas, rata-rata
Discretionary Accrual (DA) sebelum perubahan
tarif pajak sebesar 0,0264 dan sesudah perubahan
UU PPh menjadi sebesar
-0,0141. Lebih
lanjut diperoleh t hitung = 0,887, sedangkan

probabilitasnya sebesar 0,416 > 0,05, maka Ho
diterima, artinya tidak terdapat perbedaan indikasi
manajemen laba pada Industri Farmasi berstatus
BUMN sebelum dan sesudah perubahan UU PPh.

Tabel 17.
Hasil Uji Paired Sampel t test
Industri Farmasi Non BUMN Sebelum dan Sesudah Perubahan UU PPh
Paired Samples Statistics
Mean
N
Std.
Std. Error
Deviation
Mean
DAnonBefor
,0229
15
,07239
,01869
Pair 1 e
DAnonAfter
-,0266
15
,06933
,01790
Paired Samples Correlations
N
Correlation
DAnonBefore &
Pair 1
15
-,225
DAnonAfter

Mean

Pair 1

DAnonBefore
- DAnonAfter

,04947

Paired Samples Test
Paired Differences
Std.
Std.
95% Confidence
Deviatio
Error
Interval of the
n
Mean
Difference
Lower Upper
,11091

Berdasarkan Tabel di atas, rata-rata
Discretionary Accrual (DA) sebelum perubahan
tarif pajak sebesar 0,0229 dan sesudah perubahan
UU PPh menjadi sebesar
-0,0266. Lebih
lanjut diperoleh t hitung = 1,727, sedangkan
probabilitasnya sebesar 0,106 > 0,05, maka Ho
diterima, artinya tidak terdapat perbedaan indikasi
manajemen laba pada Industri Farmasi Non
BUMN sebelum dan sesudah perubahan UU PPh.
4.2 Pembahasan
Menurut Sulistyanto (2008) sebagaimana
telah dijelaskan diawal bahwa Nilai DA
merupakan proxy manajemen laba, untuk melihat
indikasi manajemen laba. Nilai nol atau mendeketi
nol berarti perusahaan melakukan pola manajemen
laba melalui perataaan laba (Income Smoothing),
sedangkan nilai negatif menunjukkan pola
manajemen laba melalui penurunan laba (Income
Decreasing), dan nilai positif yang berarti
penaikan laba (Income Increasing)

,02864 -,01195

Sig.
,421

t

df

Sig.
(2tailed)

,11089 1,727 14

,106

4.2.1 Analisis Perubahan UU PPh terhadap
Indikasi Manajemen Laba Industri
Farmasi sebelum dan setelah Perubahan
UU PPh.
Secara umum nilai rata-rata Discretionary
Accrual (DA) Perusahaan Farmasi 0,0469114
adalah mendekati nol artinya secara umum praktek
manajemen laba dalam industry farmasi memiliki
pola perataan laba (Income Smoothing). Hal ini
juga dapat dilihat dari Nilai DA sebelum
perubahan UU PPh sebesar 0,0238 dan setelah
perubahan UU PPh DAnya menjadi -0,0230,
mendekati nol. Meskipun DA setelah perubahan
negative, tetapi hasil uji hipotesisnya mempertegas
secara signifikan tidak ada beda
praktek
manajemen laba antara sebelum dan setelah
perubahan UU PPh yakni masih sama
menggunakan pola perataan laba. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa Industri farmasi tidak
merespon perubahan UU PPh, tidak mengubah
pola manajemen laba ke arah penurunan laba untuk

mendapatkan nilai PPh yang lebih rendah. Hasil
penelitian ini menguatkan penelitian Yulianto
(2010) yang menemukan bahwa tidak ada
perbedaan antara nilai Discretionary Accrual (DA)
antara perusahaan yang memperoleh fasilitas
pengurangan tarif 5% dengan yang tidak
memperoleh fasilitas pengurangan tariff pajak 5%.
Artinya ada atau tidaknya fasilitas pengurangan
tarif pajak tidak mempengaruhi perusahaan untuk
melakukan penurunan laba.
Perubahan tarif pajak dalam UU PPh tidak
berpengaruh pada industri farmasi dapat
dikarenakan beberapa motivasi manajemen yang
relevan
dengan
penurunan
laba
secara
berkelanjutan. Menurut Watts dan Zimmerman
(1986) motivasi pajak merupakan salah satu
motivasi politis yang dipilih manajemen untuk
menurunkan laba. Cara yang elegan dalam
menurunkan laba secara berkelanjutan atau terus
menerus adalah melalui strategi perencanaan pajak
dalam jangka panjang. Hasil di atas menunjukan
selama rentang periode penelitian, perusahaan
memiliki strategi perencanaan pajak yang baik
sehingga pola perataan laba. Hal ini sangat
mungkin dilakukan oleh manajemen jika
manajemen sudah memiliki strategi perencanaan
pajak secara berkelanjutan, sehingga laba
perusahaan akan diturunkan secara terus menerus
atau dapat dibuat merata. Martani dan Wijaya
(2011) menemukan bahwa variabel perencanaan
pajak berpengaruh signifikan secara negatif artinya
variabel perencanaan pajak menyebabkan turunnya
laba
Selain itu, peneliti menduga besarnya pajak
pada periode pengamatan sebelum perubahan UU
PPh menghasilkan tariff efektif yang relatif sama
dengan tariff PPh yang baru.
4.2.2 Analisis Perubahan UU PPh terhadap
Indikasi Manajemen Laba Industri
Farmasi BUMN sebelum dan setelah
Perubahan UU PPh.
Secara umum nilai rata-rata Discretionary
Accrual (DA) Perusahaan Farmasi 0,04051 adalah
cenderung mendekat nol artinya secara umum
praktek manajemen laba dalam industry farmasi
memiliki pola perataan laba (Income Smoothing).
Hal ini juga dapat dilihat dari Nilai DA sebelum
perubahan UU PPh sebesar 0,0264 dan setelah
perubahan UU PPh DAnya menjadi -0,0141,
mendekati nol. Meskipun DA setelah perubahan
negative, tetapi hasil uji hipotesisnya mempertegas
secara signifikan tidak ada beda
praktek
manajemen laba antara sebelum dan setelah

perubahan UU PPh yakni masih sama
menggunakan pola perataan laba. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa Industri farmasi BUMN
tidak merespon perubahan UU PPh, tidak
mengubah pola manajemen laba ke arah penurunan
laba untuk mendapatkan nilai PPh yang lebih
rendah.
Sejalan dengan hasil analisis sebelumnya
perencanaan laba menjadi salah satu faktor yang
mendukung perubahan UU PPh melalui perubahan
tariff pajak tidak mempengaruhi manajemen
menurunkan laba untuk mendapatkan jumlah pajak
yang lebih kecil.
Selain itu, peneliti berpendapat bahwa
karena status BUMN sebagai perusahaan plat
merah pemerintah mendorong perusahaan farmasi
cenderung tidak melakukan pola penurunan laba
yang dapat mengurangi penerimaan pajak bagi
negara dan berkurangnya jumlah deviden yang
diberikan kepada pemerintah karena penurunan
laba.
4.2.3 Analisis Perubahan UU PPh terhadap
Indikasi Manajemen Laba Industri
Farmasi Non BUMN sebelum dan setelah
Perubahan UU PPh.
Secara umum nilai rata-rata Discretionary
Accrual (DA) Perusahaan Farmasi 0,04947 adalah
cenderung mendekat nol artinya secara umum
praktek manajemen laba dalam industry farmasi
memiliki pola perataan laba (Income Smoothing).
Hal ini juga dapat dilihat dari Nilai DA sebelum
perubahan UU PPh sebesar 0,0229 dan setelah
perubahan UU PPh DAnya menjadi -0,0266,
mendekati nol. Meskipun DA setelah perubahan
negative, tetapi hasil uji hipotesisnya mempertegas
secara signifikan tidak ada beda
praktek
manajemen laba antara sebelum dan setelah
perubahan UU PPh yakni masih sama
menggunakan pola perataan laba. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa Industri farmasi BUMN
tidak merespon perubahan UU PPh, tidak
mengubah pola manajemen laba ke arah penurunan
laba untuk mendapatkan nilai PPh yang lebih
rendah.
Sejalan dengan hasil analisis sebelumnya
perencanaan laba menjadi salah satu faktor yang
mendukung perubahan UU PPh melalui perubahan
tariff pajak tidak mempengaruhi manajemen
menurunkan laba untuk mendapatkan jumlah pajak
yang lebih kecil.

5. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Secara umum, peneliti menyimpulkan
perubahan UU PPh melalui perubahan tariff pajak
badan tidak berpengaruh terhadap praktek
manajemen laba Industri Farmasi secara
keseluruhan. Tidak ditemukan bukti yang
mengarah pada upaya penurunan laba, hal ini dapat
dilihat dari Nilai DA sebelum dan setelah
perubahan tariff dengan hasil:
1. Tidak terdapat perbedaan praktek manajemen
laba pada industry farmasi sebelum dan setelah
perubahan UU PPh. Industri Farmasi tidak
merespon perubahan UU PPh dengan
menurunkan laba untuk memperoleh jumlah
pajak yang kecil.
2. Tidak terdapat perbedaan praktek manajemen
laba pada industry farmasi BUMN sebelum dan
setelah perubahan UU PPh. Industri Farmasi
BUMN tidak merespon perubahan UU PPh
dengan menurunkan laba untuk memperoleh
jumlah pajak yang kecil. Hal ini mungkin
karena BUMN berstatus sebagai perusahaan
plat merah sehingga kebijakan pajak
perusahaan tidak boleh merugikan penerimaan
negara.
3. Tidak terdapat perbedaan praktek manajemen
laba pada Industry Farmasi Non BUMN
sebelum dan setelah perubahan UU PPh.
Industri Farmasi non BUMN juga tidak
merespon perubahan UU PPh dengan
menurunkan laba untuk memperoleh jumlah
pajak yang kecil.

DAFTAR PUSTAKA
Balachandran, Balashingham et al. 2007.
“Earnings Management in Response to the
Corporate Tax Law Changes Evidence
from Australia”. Accounting and Finance
Association of Australia and New Zealand
Conference, No. 142.
Ghozali, I. 2006. Aplikasi Analisis Multivariate
Dengan Program SPSS. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro. Semarang.
Girsang, Erna S.U. 2008. “UU Pajak Baru
Dongkrak
Daya
Saing”.
(http://www.ortax.org/ortax/?mod=berita&
page=show&id=2740&q=ptkp&hlm=
23, diakses tanggal 3 April 2012).
Gumanti, T. A. 2000. “Earnings Management”.
Suatu Telaah Pustaka, Jurnal Akuntansi dan
Keuangan, November, Vol. 2 No. 2.
Gujarati, Damodar. (2003). Ekonometri Dasar.
Ter