ORIGINAL INTENT PERHUBUNGAN NEGARA DAN A

Original Intent Hubungan Negara dan Agama
Tafsir klasik mengenai kebebasan dasar untuk beribadah dan memeluk agama merupakan tema yang
sudah sejak dulu sebelum negara Indonesia memproklamirkan dirinya sebagai negara yang bebas dari
belenggu kolonialisme, dapat kita ketahui melalui rujukan historis bukti lahir adanya dokumen historis
tertulis pertama Indonesia yakni UUD 1945 naskah asli, perdebatan sejak awal telah dilontarkan oleh
Soepomo pada pidatonya tanggal 31 Mei 1945 yang dalam penyampaiannya tentang perhubungan
negara dan agama, meskipun sebagaian besar pidato Soepomo kita ketahui secara popular banyak
membahas mengenai filosofi bernegara Indonesia yang Integralistik dalam perspektif susunan
pemerintahan, sedikit pembahasan Soepomo mengenai tema agama hanya dapat kita sitir yakni negara
Indonesia yang bukan areligius, negara nasional yang bersatu yang akan memelihara budi perkerti
ke a usiaa ya g luhur… , artinya keinginan ini tersirat dan tersurat untuk menjadikan negara
Indonesia bukanlah sebagai negara agama, khususnya negara Islam. Tarik menarik ini berlanjut dengan
(kontroversi) lahirnya Piaga Jakarta ya g e a ahka frase tujuh kata dan akhirnya harus
mengalah dengan tanpa frase tujuh kata.
Pada kesempatan ini, saya ingin menuangkan sedikit gagasan berpikir yang dikatakan klasik ini, dalam
hal ini urgensi kembali mengangkat tema hubungan negara dan agama bukan karena soal klasik maupun
tidak, tapi soal respon terhadap isu-isu kebebasan beragama dalam dinamika kehidupan saat ini,
dinamika politk-agama, terorisme, penodaan agama, stigma aliran sesat dan lain-lain yang memiliki
irisan dengan agama. Bukanlah soal isu klasik ataupun aktual, tapi soal sesuatu hal yang jauh lebih besar
yakni mengelola kehidupan beragama berbangsa dan bernegara. Saya akan coba mengawali tema
hubungan negara dan agama ini, tidak lagi dari perdebatan pada sidang BPUPK(I) yang sudah berlalu.

Mengawali pada perubahan Konstitusi pasal 29 tentang Agama, frase 7 kata muncul kembali dalam
perdebatan di sidang perubahan UUD 1945, tarik ulur fraksi islam dengan nasionalis kembali menguat,
konfigurasi politk islam 7 kata kembali diperjuangkan oleh lebih dari 1 fraksi meskipun minoritas,
ketimbang aliran nasionalis. Ada beberapa hal yang menjadi titik tolak perdebatan, masih sama seperti
yang lalu tapi lebih komprehensif ketimbang yang lalu, karena tarik ulur perdebatan ini lebih panjang
daripada ketika tahun 1945 yang mungkin dituntut harus singkat dan cepat karena kondisi yang
mendesak pada saat itu.
Pemahaman pasal 29 ini, dijadikan ketakutan atau kekhawatiran bagi pemeluk agama lain, ketika
kei gi a
e perjua ga frase 7 kata u tuk asuk ke ali, padahal pemahaman mengenai 7 kata
ini seharusnya tidak perlu dirisaukan menjadi sesuatu hal yang akan mengancam keberadaan pemeluk
agama lain. Justru dengan masuknya frase 7 kata ini, akan menjadikan umat muslim mejadi lebih
bertanggung jawab dalam mengelola kehidupan beragama berbangsa dan bernegara. Tantangan
ancaman disintergritas bangsa dan bernegara sudah seharunya mampu dijawab dengan keluhuran budi
pekerti umat muslin itu sendiri yang dituntut memiliki keberanian untuk menegakkan syariat islam
dalam kehidupannya. Pemberlakuan syariat islam tidak mengurangi dan mendisriminasi umat beragama
lainnya untuk harus patuh dan tunduk pada syariat islam, karena pemberlakukan syariat islam ini hanya
untuk kalangan muslin semata. Ketakutan ini menjadi tidak beralasan ketika dengan mati-matian yang
menentang masuknya kembali 7 kata akan mereduksi kebebasan beragama bagi umat nonmuslim.


Kesalahpahaman ini berlanjut hingga saat ini, ketika memaknai pasal 29 tentang Agama yang
susunannya terpisah secara sistematik dengan pasal tentang HAM, bukanlah kebetulan semata, tapi
memang ada kehendak politik dari para anggota Majelis yang tertinggi untuk memisahkan anasir-anasir
HAM dari agama, padahal bab mengenai HAM pasal 28I yang termasuk dalam non derogable rights telah
e asukka hak eraga a selai hak u tuk hidup, hak u tuk disiksa, hak ke erdekaan pikiran dan
hati nurani, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun. Beranjak dari pasal ini (move on) untuk focus ke kajian kita mengenai
pasal 29 tentang Agama, pasal 29 ini dalam perjalanan pengesahannya memunculkan beragam spekulasi
mengenai rumusan alternatif. Rumusan alternatif yang menjadi pusat perhatian perumus perubahan
konstitusi pada saat itu, munculnya alternatif pasal 29 ayat (1) yang asli yakni penambahan kembali
frase 7 kata , pasal 9 ayat
askah asli uka erarti ta pa e ga du g elah, erawal dari ada ya
dual pengaturan yang mana dalam alinea 4 Pembukaan UUD 1945 sudah diatur secara tegas dalam
u yi Ketuha a Ya g Maha Esa ya g dike al se agai philosophie gro dslag diatur ke ali dala
ata g tu uh pasal 9 de ga u yi ya g sa a Negara erdasarka Ketuha a Ya g Maha Esa . Hal
ini memunculkan spekulasi pertanyaan mengenai dasar bernegara Indonesia yang diyakini Pancasila
dalam Pembukaan dan Pasal 29 (1) yang berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Secara positif
mungkin kita tidak terlalu mempersoalkan hubungan Pembukaan dan Batang Tubuh, tapi secara
sistematik mungkin akan membuat banyak penafsiran spekulatif mengenai dasar bernegara kita.

Hal ya g pali g pe ti g e ya gkut soal su sta sial e ge ai frase 7 kata dala pasal 9 . Hal i i
perlu dipersoalkan melihat kondisi pluralitas Indonesia sebagai nation state, mempertahankan
persatuan dalam keberagaman dan memberikan peran penting dan strategis umat islam sebagai
pemeluk agama mayoritas di negara Indonesia. Kontardiksi umat muslim yang benar-benar ingin
menegakan syariat islam ditentang oleh umat islam juga yang anti untuk menegakkan syariat islam.
Padahal melalui penegakan syariat islam akan menjadikan umat islam meiliki peran dan tangging jawab
besar dalam mengelola kehidupan bernegara, peran ini seharunya membuat umat islam menjadi agama
yang rahmatan lilalamain bagi seluruh umat beragama, artinya sekali lagi penegakan syariat islam tidak
akan pernah menganggu umat nonmuslim untuk menjalankan ibadah agamanya masing-masing.
Penegakan syariat islam menjadikan mayoritas muslin di Indonesia sebagai penanggung jawab terhadap
adanya penurunan moralitas bangsa saat ini dan untuk memperbaiki dekadensi moral bangsa Indonesia
yang merosot pasca reformasi, kasus yang paling nampak saat ini seperti wabah terorisme, penodaan
agama, aliran sesat dan lain-lain.
Berla jut kepada pasal 9 ayat
ya g e jadi titk tolak yak i ada ya frase keper ayaa ya g
ditafsirkan dengan aliran-aliran kepercayaan yang berkembang di Indonesia. Frase kepercayaan
memunculkan spekulasi akan bertentangan dengan agama yang ada dan diakui di Indonesia. Ayat ini
bermaksud memberikan demarkasi antara negara dan agama. Negara diharapkan mampu membatasi
ruang geraknya dalam kehidupan agama umatnya, negara mampu menempatkan dirinya dalam peranperan kehidupan public dan privat. Penafsiran pasal ini memberikan peran negara secara pasif dalam
kehidupan spiritual penduduk, artinya negara hanya memberikan perlindungan dan fasilitas terhadap

kehidupan beragama penduduknya. Penjaminan kehidupan beragama ini bukan dalam konteks warga ga

negara tapi dalam konteks yang lebih luas yakni penduduk, artinya siapapun baik warga negara asli
maupun asing diberikan jaminan untuk menyelenggarakan ibadah tanpa gangguan.
Konteks penduduk, ketika negara memberikan jaminan terhadap kebebasan untuk menjalankan ibadah,
tetapi di lain hal negara justru membatasi kebebasan beragama penduduk dengan mengakui hanya
beberapa agama yang diberikan fasilitas kemudahan. Negara tidak memberikan ampun terhadap
adanya agama-agama yang tidak menginduk kepada agama-agama yang diakui secara resmi di
Indoensia. Tafsir negara terhadap pemeluk agama di luar agama yang diakui oleh negara, memberikan
pemaknaan bahwa aliran agama tersebut sesat dan dilarang. Ajaran agama sempalan yang tidak
menginduk dianggap sesat dan meresahkan warga masyarakat. Negara telah terlampau jauh
mengintervensi kehdupan beragama seseorang dengan mengintrodusir agama-agama induk yang harus
memenuhi kualifikasi agama untuk diakui sebagai agama.
Pemaknaan agama sendiri justru memilki banyak arti jika kita melihat dari berbagai perspektif. Ada
beberapa makna agama yang bisa dikaji yakni agama teologi, agama politik, agama antropologis, agama
sosiologis. Jika kita mendalilkan negara hanya mengakui kemurnian suatu agama untuk bisa hidup di
negara ini, maka negara telah membaut standar yang serampangan, kualifikasi kemurnian ajaran agama
tidak memberikan tafsir yang memuaskan tentang agama itu sendiri. jika kita menganggap bahwa
agama murni yang terjamin keasliannya maka dikatakan sebutan agama teologi itulah yang dikatakan
sebagai agama asli yang seharusnya terjamin kehidupan religiusitasnya, akan tetapi negara tidak

memberlakukan standar kemurnian ajaran agama untuk menentukan suatu aliran agama itu diakui
secara resmi ataupun tidak. Standar yang serampangan ini kemudian membuat negara terlalu naïf untuk
menyatakan suatu agama dilarang atau tidak.
Standar kemurnian agama artinya dikatakan bahwa agama tersebut telah teruji secara historis-teologis
dalam sejarah Tuhan-manusia di dunia ini. Tak perlu kita sebut nama agama yang dikatakan agama
teologis itu sendiri. agama politik bermaksud menjadikan agama hanya sebagai kemasan perjuangan
sesaat politik kelompok tertentu untuk melatenkan maksud politis yang sesungguhnya. Hal ini seringkali
menjadikan senjata propaganda bagi kelompok yang melakukan teror-teror (dalam istilah barat disebut
teroris/isme). Sedangkan agama antropologis menurut Weber merupakan praktik-pratik ritual semata
yang menjadi kebiasaan dalam masyarakat.

Rumusan Masalah
1. Frase 7 kata tidak bermaksud mengurangi, mereduksi, mearjinalisasi, bahkan mengganngu
kebebasan beragama lainnya tapi justru menjadi tantangan bagi umat islam untuk berani
menjalankan syariat agamanya dalam kehidupan antar umat beragama sebagai agama yang
rahmatan lilalamin. Ketakutan dan kekhawatiran dari penganut agama lain harus diluruskan
dengan menghidupkan kembali frase 7 kata, kekhawatiran yang mengancam integrasi negara
kesatuan republik Indonesia. Apakah barangkali misi besar kembali masuknya 7 kata justru
mampu memperbaiki moral bangsa Indonesia yang semakin terus mengalami dekadensi saat
ini?


2. Makna kebebasan beragama dimaknai bukan menjadi pembatas formal bagi penduduk (lebih
luas dari warga negara) untuk menjalankan ibadah, keberadaan agama sempalan, agama yang
tidak menginduk diancam dengan label aliran sesat dan penodaan agama. penodaan agama
menjadi momok bagi penganut agama lain yang tidak menginduk, padahal kesepakatan negara
untuk menjamin kehidupan Bergama menjadikan peran pasif negara sebagangi fasilitatif dalam
kehidupan beragama. Memang ada hal yang mana negara harus ikut peran dalam kehidupan
beragama penduduk yang tidak mungkin bisa ditegakkan tanpa campur tangan negara, hal yang
menyangkut kerukunan hubungan antar umat beragama. Apakah negara dalam perannya
menjamin kehidupan beragama telah menerapkan standar ganda kriteria kemurnian agama
demi menghindari penodaan agama yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa?