ANALISIS PERANG SIPIL DI SUDAN SELATAN P
MAKALAH INTRODUCTION TO INTERNATIONAL LAW
ANALISIS PERANG SIPIL DI SUDAN SELATAN PADA TAHUN 2013
DISUSUN OLEH :
Wiendy Yolanda Baresi
372017020
Herdwita Priesma Dewanti
372017049
Chika Ramona Felicia Weni
372017052
Winston Jody Panggey
372017062
Alfadhea Ajeng Avishanic Z.A
Matheo Manoe
372017066
372017089
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Setiap manusia atau individu mempunyai hak yang melekat pada dirinya
sendiri dan sering disebut dengan hak asasi manusia (HAM). Hak asasi manusia
merupakan hak dasar yang dimiliki manusia ketika ia dilahirkan. Ini berarti
bahwa manusia memiliki hak yang mutlak dari penciptanya yaitu Tuhan Yang
Maha Esa dan hak itu secara tidak langsung melekat pada diri manusia yang
dikodratkan untuk hidup. HAM menurut John Locke yaitu hak yang telah
diberikan secara langsung oleh Tuhan sebagai sesuatu yang memilki sifat secara
kodrati. Yang berarti bahwa hak yang dipunyai manusia menurut kodratnya tidak
bisa dipisahkan dari apa yang menjadi hakikatnya karena hak asasi manusia itu
sifatnya suci.
Dalam konteks negara hukum, HAM merupakan unsur dan asas yang
keberadaannya harus terpenuhi karena sebagai negara, hukum harus ada
pernyataan tentang pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap HAM
yang mengarah pada penghormatan atas martabat manusia. Jadi, perlu adanya
penghormatan, pengakuan, dan perlindungan kepribadian manusia dari negara
hukum sebagai asas yang fundamental (mendasar). Menurut hukum HAM
internasional, bentuk terpenting dari HAM yaitu hukum bukan politik. Hukum hak
asasi manusia internasional merupakan cabang
hukum publik internasional,
yakni hukum yang mengatur hubungan antara kelompok-kelompok dengan
kepribadian yang sifatnya internasional seperti negara, organisasi internasional,
dan bisa jadi individu. Jika dilihat dari hak asasi manusia, hukum internasional
memiliki
kualitas
ganda
karena
dapat
menciptakan
penghalang
atau
penghambat bagi perlindungan hak asasi yang efektif serta menyediakan sarana
dalam mengatasi rintangan atau gangguan yang ada. Individu dijadikan sebagai
hukum internasional karena secara pribadi individu dianggap dapat bertanggung
jawab terhadap kejahatan perang, genosida, penganiayaan, dan apartheid.
1
1 Starke, J.G. 1992 . Pengantar Hukum Internasional . Sinar Grafika : Jakarta diakses
pada 23 Maret 2018. 19.45 WIB
Mansyur Effendi, Dimensi dan Dinamika Hak Azasi Manusia dalam Hukum
Nasional dn Internasional (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1994) hlm. 40 diakses pada 23
Maret 2018. 20.08 WIB
Dalam hak asasi manusia (HAM) ada juga perilaku menyimpang yang
melanggar HAM salah satunya yaitu perang sipil yang terjadi di Sudan Selatan.
Sudan Selatan merupakan negara yang terletak di Afrika Timur dengan ibu
kotanya yaitu Juba. Sudan Selatan memutuskan untuk memisahkan diri dari
Republik Sudan dan membentuk negara baru pada 9 Juli 2011. Sudan Selatan
juga merupakan negara termuda di dunia yang terdaftar sebagai anggota PBB.
Sebagai negara yang merdeka, Sudan Selatan tentu menjadi negara yang aman,
tenteram, dan damai namun nyatanya tidak demikian. Hal ini terbukti dengan
kondisi yang tidak kondusif, dimana masih terjadi pemberontakan maupun
konflik yang mengarah pada perang sipil. Konflik yang terjadi di Sudan Selatan
bermula ketika berdirinya gerakan Sudan People’s Liberation Movement (SPLM).
Dimana Salva Kiir selaku presiden Sudan Selatan dan Wakilnya yaitu Riek Machar
masuk dalam anggota SPLM. Walaupun keduanya sama-sama anggota dari
SPLM, namun mereka bersaing secara politis. Hal ini disebabkan karena adanya
perbedaan pendapat mengenai visi dan kepemimpinan yang menuju pada
perjuangan internal dua partai. Pada dasarnya, perbedaan dalam SPLM sifatnya
taktis dan ideologis.
Dalam konflik Sudan Selatan, bukan hanya kubu internal partai SPLM yang
berpengaruh tetapi juga etnis dari kedua pemimpin pemberontak tersebut.
Presiden Salva Kiir berasal dari etnis Dinka, sedangkan Riek Machar berasal dari
etnis Nuer yang memberikan dampak tersendiri terhadap hubungan antar dua
etnis terbesar yang ada di Sudan Selatan. Konflik yang dipicu oleh persaingan
politik internal atau dalam negeri dan sengketa kekuasaan antara presiden Salva
Kiir dan Riek Machar menyebar luas menjadi perang sipil. Sudan Selatan sendiri
mempunyai kurang lebih 60 kelompok etnis dengan populasi terbesar yaitu etnis
Dinka yang berjumlah 35,8% dan etnis Nuer sebanyak 16% kemudian diikuti
dengan etnis Shilluk dan kelompok etnis lainnya.
2
2 Armed Conflict Database. 23 Desember 2013. South Sudan: Fragile and
Divided. Diakses dari
pada 22
Maret 2018. 17.00 WIB
BBC.South Sudan Profile.http://www.bbc.com/news/worldafrica(diakses pada 23
Maret 16.50 WIB )
Tim peneliti mengambil kasus di Sudan Selatan karena termasuk pelanggaran
HAM yang menarik perhatian dunia internasional dan berkaitan dengan topik
yang ada. Pembahasannya pun menyangkut permasalahan kekuasaan politik
antar kedua belah pihak yang ingin memegang kekuasaan penuh hingga
berujung pada konflik bersenjata dan perpecahan antar etnis. Terkait adanya
tindakan yang melanggar hak asasi manusia, maka organisasi internasional
mulai memperhatikan konflik yang terjadi di Sudan Selatan. Selain itu, perlu
adanya penanganan dalam kasus tersebut melalui hukum yang terkait dengan
hak kemanusiaan khususnya di ranah internasional.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan suatu
permasalahan :
1. Bagaimana perang sipil dapat terjadi di Sudan Selatan ?
1.3
Kerangka Pikir
1.3.1.
Kebijakan Domestik
Kebijakan publik dibuat oleh pemerintah berupa tindakan-tindakan yang
berdasarkan kepentingan publik. Jadi, kebijakan publik merupakan tindakan
untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah demi terwujudnya
kepentingan publik. Menurut Chandler dan Plano, kebijakan publik adalah
pemanfaatan
yang
strategis
terhadap
sumber
daya
yang
ada
untuk
memecahkan masalah publik atau pemerintah.
Seorang kepala negara harus mengetahui permasalahan atau kebutuhan
yang dibutuhkan oleh negaranya sehingga kebijakan publik dapat dibuat untuk
menentukan kebijakan publik dari suatu negara. Untuk memenuhi kepentingan
nasional, negara-negara maupun aktor dari negara tersebut melakukan berbagai
macam kerjasama bilateral dan multilateral.
1.3.2 Kebijakan Luar Negeri
Kebijakan luar negeri merupakan keputusan yang dibuat oleh pemerintah
untuk memenuhi kebutuhan dan untuk mencapai tujuan domestik aras politik
luar
negeri
untuk
mengendalikan
kepentingan
nasional.
Setiap
negara
mempunyai kebijakan-kebijakan luar negeri yang berbeda-beda dan tergantung
kepentingan dari negara tersebut. Tetapi negara mengeluarkan kebijakan luar
negerinya untuk mencapai kepentingan pribadi. Kebijakan luar negeri dibuat
pada umumnya dibuat agar dapat mempengaruhi negara lain yang dimana
menjaga keamanan nasional buat negaranya. Menurut Joshua Goldstein,
kebijakan luar negeri adalah kebijakan atau strategi yang diambil oleh
pemerintah dalam menentukan aksi mereka di dunia internasional. Menurut
Rosenau tujuan dari kebijakan luar negeri ini sebenarnya merupakan fungsi dari
proses dimana tujuan negara tersebut. Tujuan tersebut didasarkan dari sasaran
yang dilihat dari masa lalu dan inspirasi dari masa yang akan datang. Kj Holisti
membagi tujuannya menjadi 3 yaitu: Nilai, yang diletakan pada tujuan negara,
sebagai hal utama dalam membuat kebijakan, hal ini dibuat berdasarkan sumber
daya dimiliki oleh negara untuk mencapai tujuan. Unsur Waktu, jangka waktu
untuk mencapai tujuan. Tuntutan tujuan, negara tujuan akan dibebankan dari
negara yang mengeluarkan kebijakan luar negeri.
Tujuan Nasional yang hendak di capai di jangkau melalui kebijakan luar negeri
dan
dibuat
dimana
dengan
kepentingan
nasional
terhadap
situasi
internasional yang sedang berlangsung serta power yang dimiliki untuk
menjangkaunya, tujuan dibuat untuk untuk di pilih dan ditetapkan oleh
pembuat keputusan dan dikendalikan untuk mengubah kebijakan atau
mempertahankan kebijakan di lingkungan internasional. Konsep ini nantinya
akan dianalisis lebih lanjut dalam pembahasan dan keterkaitannya dengan
kasus HAM yang terjadi di Sudan Selatan.
1.4
Landasan Teori
1.4.1 Teori Kekerasan
Lewat
bukunya
yang
berjudul
“Leviathan”,
Thomas
Hobbes
(1651)
mengatakan bahwa manusia bertindak atas dasar kepentingan dirinya sendiri
dan menjadi maklum jika manusia berselisih dan bertengkar. Seorang penguasa
memiliki sebuah kekuasaan yang tidak terbatas, termasuk dalam penggunaan
kekerasan untuk mempertahankan kekuasaan tersebut. Homo homini lupus,
yang artinya manusia menjadi serigala bagi yang lain dan berakibat pada belum
omnium contra omnes, yakni perang semua lawan semua. 3Untuk itu tim peneliti
mengangkat teori ini karena terdapat relevansi yang kuat dengan kasus yang
diambil. Melalui kasus ini, dinyatakan dengan jelas bahwa Presiden Kiir
menggunakan kekuasaan nya untuk mempengaruhi rakyat, yang disini mengatas
namakan sebuah etnis yaitu etnis Dinka. Karena etnis Dinka merupakan kubu
yang mendukung Presiden Kiir. Yang awalnya permasalahan ini mjuncul karena
3 http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/_7_%20Thomas.pdf (diakses pada 25/4/2018,
22.17 WIB)
adanya keinginan untuk memenuhi suatu kepentingan politik, lama kelamaan
menjalar ke rakyat-rakyat kecil sampai terbentuknya 2 kubu etnis yang
bertentangan yaitu suku Dinka yang berpihak pada Presiden Kiir dan Suku Nuer
yang berpihak pada Wakil Presiden Machar. Permasalahan yang muncul
menyebabkan terjadinya polarisasi masyarakat dan militer dalam garis etnis dan
ketidakseimbangan dalam hubungan sosial kemasyarakatan di Sudan Selatan.
Dan pada akhirnya konflik ini berujung pada jatuhnya banyak sekali korban dan
pertumpahan darah.
Linda M. Woolf, Ph.D mengatakan “We live in a time of unparalleled
instances of democide, genocide and ethnocide. The Holocaust, the genocides in
Darfur, Turkey, Cambodia, Tibet, & Bosnia, the disappearances in Argentina &
Chile, the death squad killings in El Salvador, Stalin's purges, the killing of the
Tutsi in Rwanda . . . . and the list goes on”.4 Perkataan itu menyatakan bahwa
pemusnahan suatu kelompok etnis akan terus bertambah dimana atas nama
Negara penghilangan kesempatan / kebebasan bahkan nyawa dihilangkan secara
paksa. Freud dan Lorenz yang menyatakan bahwa ke agresifan manusia
merupakan sebuah naluri yang digerakan oleh sumber energi yang selalu
mengalir, dan tidak selalu berasal dari rangsangan luar.5 Pada tahap ini jelas
menunjukan bahwa potensi kekerasan pada hakekatnya sudah melekat dalam
diri manusia. Pemahaman terhadap kekerasan juga disampaikan oleh Gidens
yang meminjam pandangan Clausewitz, “...lazimnya berada di sisi yang
berseberangan dengan persuasi; kekerasan merupakan salah satu bagi sekian
cara individu, kelompok atau Negara yang berupaya memaksakan kehendak
mereka kepada orang –orang lain”.
6
Pokok pemahaman kekerasan menurut
Clausewitz adalah pemaksaan kehendak, yang tentu saja bisa dilakukan oleh
individu, kelompok maupun oleh Negara. Setelah itu muncul pemahaman bahwa
kekerasan akan dianggap legal ketika mendukung satu tujuan tertentu atau
dimungkinkan menuju apa yang disebut sebagai tertib sosial. Kemudian
kekerasan seperti contohnya perang berkaitan dengan motif atau kepentingan
yang ada, seperti halnya perang ekonomi dan politik yang mengacu pada orang
4 http://faculty.webster.edu/woolflm/holocaust.html (diakses pada 25/4/2018, 20.03 WIB)
5 Fromm, Erich., Akar Kekerasan : Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia
(Yogyakarta ;Pustaka Pelajar, 2000) hal. 8
6 Giddens, Anthony., Melampaui Ekstrim Kiri dan Kanan : Masa Depan Politik
Radikal (Yogyakarta ; Pustaka Pelajar, 2009) hal. 370
–orang yang melakukan perang untuk mendapatkan wanita, budak, bahan
pangan dan lahan, disamping untuk mempertahankan dinasti dan kelas
penguasa. Teori ekonomi-politik secara spesifik mengacu pada determinan resiko
konflik dari aspek ekonomi, politik dan sosial yang
kemudian memberikan
penjelasan mengenai kegagalan dalam mengembangkan aspek-aspek tersebut
sehingga siklus konflik kekerasan terjadi. Terdapat 6 determinan yang masingmasing berasal dari berbagai macam literatur yang dikembangkan7, yaitu:
1. Rapid Change and Rising Expectations : Konflik sosial dan politik dapat
timbul ketika suatu lembaga pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk
mengatur banyaknya permintaan masyarakat. Inequality yang dialami suatu
kelompok, baik yang bersifat relative deprivation yaitu suatu pihak percaya
bahwa ia atau kelompoknya diperlakukan tidak adil ataupun absolute deprivation
yaitu adanya perampasan mutlak terhadap suatu pihak sehingga pihak tersebut
tidak dapat menjalani hidupnya secara layak.
2. Failing to credibly agree to abstain from violence : pada dasarnya
komitmen berasal dari “commitments problems”, yaitu situasi ketika sebuah
kelompok
memiliki
kepentingan
yang
bertentangan
namun
tidak
dapat
menggunakan tindakan lain selain kekerasan. Susahnya suatu kelompok atau
individu untuk tidak menggunakan paksaan atau kekerasan. Kekerasan dalam
konflik sipil merupakan konsekuensi dari low state capasity. Yaitu lemahnya
negara untuk mengelola konflik.
3.
Greed and Grievance : permasalahan ekonomi, sosial dan politik,
rendahnya
laba,
kurangnya
modal,
dan
permasalahan
populasi
dapat
meningkatkan permintaan masyarakat, sehingga keluhan dan protes yang lama
kelamaan dapat memicu resiko konflik sipil.
4. Horizontal Inequality and Identity : suatu kelompok merasa tidak adanya
keseimbangan, menyebabkan terjadinya konflik sipil.
5. Ethnic Devides and Commitment problems : adanya pengelompokan
berdasarkan
etnis
yang
membuat
komitmen
untuk
tidak
menggunakan kekerasan sulit diimplementasikan.
6. Avenues for peaceful contests : sistem hukum dan peran negara
yang kurang dalam mengatur kebutuhan masyarakat menjadi perlindungan
etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82277/.../S1-2015-311544introduction.pdf (diakses pada 24/4/2018, 21.04 WIB)
7
yang buruk jika terdapat tekanan yang terjadi, padahal kualitas lembaga politik
adalah hal utama dibandingkan faktor lain dalam menentukan resiko krisis dan
perang sipil.
Perang di suatu negara dapat terjadi kembali karena legitimate institution
yang lemah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan dalam menghadapi
berbagai macam tekanan yang mampu memicu sebuauh resiko sehingga
terjadinya konflik dan kekerasan berulang, tidak adanya kehadiran suatu
lembaga yang mampu menengahi perselisihan dan mengurangi kekerasan, serta
masyarakat yang tidak mampu melindungi diri dari tekanan menyebabkan
terjadinya konflik, akan rentan untuk terjadi kembali. Interlinked Stresses atau
tekanan-tekanan
tersebut
antara
lain
adalah
security stresses,
economic
stresses, dan injustce. Security Stresses timbul ketika suatu kelompok tertentu
merasa terancam oleh kelompok lain sebagai akibat dari penindasan yang
dialaminya di masa lampau, yang kemudian memandang pihak tersebut dalam
pandangan yang buruk, kemudian memperkuat dirinya untuk bertahan atau
membela diri. Ia percaya bahwa suatu pihak, etnis, atau kelompok dari golongan
agama sedang mempersiapkan diri untuk menyerangnya kembali, sehingga ia
memlindungi dirinya dan melakukan serangan lebih dulu (preemptive move).
Kelompok ini
kemudian
menggunakan
kekerasan
sebagai
jalan
untuk
menyelesaikan masalah, baik masalah yang terjadi dalam kelompoknya maupun
yang terjadi diluar kelompoknya, hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki
media ke sistem hukum untuk mengadili pihak yang diduga melakukan
kesalahan dan membatasi berbagai penyimpangan yang terjadi. Kekerasan
menjadi satu-satunya jalan untuk menegakkan kepentingan. Tekanan keamanan
yang datang dari dalam (internal) misalnya perpecahan antar-etnis, sedangkan
yang datang dari luar (eksternal) misalnya gerakan teroris atau pemberontak
yang dapat memperburuk kondisi negara. Economic Stresses misalnya income
shocks, energy shocks, kurangnya pangan, ataupun hal lain yang dialami
kelompok tertentu dalam memenuhi kebutuhan ekonominya. Salah satu faktor
lain yaitu political stresses, injustice and unfairness, muncul ketika terjadi
penindasan
dan pelanggaran
kelompok-kelompok
tertentu
terhadap
HAM
berdasarkan
yaitu
ras,
eksklusi politik
etnis,
agama,
kepada
atau lokasi
geografis secara nyata menjadi motif bagi terjadinya perlawanan bersenjata.
8
Dewasa ini beberapa wilayah di dunia memiliki sistem representasi politik yang
8 etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82277/.../S1-2015-311544-
introduction.pdf (diakses pada 24/4/18 23.01)
tidak adil. Penelitian menunjukkan bahwa negara-negara dengan eksklusi politik
atau eksklusi etnis yang tinggi akan berkapasitas untuk mengalami pergolakan
berulang dan kekerasan konflik. Ketimpangan ekonomi dan sosial yang dirasakan
itu berhubungan dengan ketidakadilan. Tekanan keamanan dapat diperkuat
dengan cara bagaimana orang melihat dan memperlakukan mereka didasarkan
pada aspek identitasnya, misalnya, ketidaksetaraan antara kelompok identitas
berbasis agama, kasta, suku, atau wilayah. Konflik-konflik kelanjutan tersebut
kemudian berubah
menjadi
ancaman
kekerasan yang
saling
berhubungan
dengan aspek-aspek lain.
1.5
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui alasan terjadinya perang sipil di Sudan Selatan.
2. Untuk menjelaskan apa dasar dari kedua belah pihak sehingga melakukan
penyerangan.
1.6
Manfaat Penelitian
1. Tim peneliti berharap dengan mengangkat kasus ini, kesadaran akan HAM
di dunia ini lebih diperhatikan.
2. Bermanfaat untuk para pembaca agar saat pemilihan pemimpin dapat
dipilih dengan lebih cermat agar masa depan negara dibawa ke arah yang
lebih jelas
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Sejarah Sudan Selatan
Sudan Selatan merupakan negara pecahan dari Sudan yang terletak di Afrika
Timur dengan ibu kota yaitu Juba. Sudan Selatan adalah negara termuda yang
baru merdeka pada 9 Juli 2011 dan termasuk dalam anggota PBB. Selain itu,
Sudan selatan meliputi kawasan rawa yang luas yang di bentuk oleh sungai nil
dan biasanya disebut dengan Bahrul Jabal.
Sudan Selatan bergabung menjadi anggota Uni Afrika bahkan ingin menjadi
bagian dari Persemakmuran Komunitas Afrika Timur, Dana Moneter Internasional
dan Bank Dunia. Dalam Sudan Selatan, terdapat beberapa etnis termasuk etnis
Dinka yang mendominasi atau yang mayoritas dan etnis Nuer yang termasuk
dalam kelompok minoritas. Sudan Selatan awalnya termasuk bagian dari Sudan,
namun karena adanya konflik politik, agama, dan suku atau etnis maka mereka
memisahkan diri dari wilayah Sudan. Pada tahun 1991, konflik internal SPLM
(Sudan People's Liberation Movement) pernah terjadi yang melibatkan pemimpin
SPLM yang dahulu yakni John Garang dan Riek Machar. Hal tersebut disebabkan
karena adanya pernyataan dari Riek Machar mengenai kudeta kepemimpinan
Garang pada 28 Agustus 1991 yang tujuannya untuk mengakhiri kedudukan
pemerintahan Dinka. Tetapi upaya kudeta itu tidak berhasil dan berlanjut dengan
konflik besar seperti adanya peristiwa pembantaian yang disebut Bor Massacre
atau Dinka Massacre pada tanggal 15 November 1991, dimana warga sipil Dinka
di Bor dibunuh secara massal selama 2 bulan dan akibatnya kurang lebih 2000
orang tewas dan 100.000 orang mengungsi.
2.2
9
Sejarah Hubungan Etnis Dinka dan Etnis Nuer
Pada tahun 1984, dibawah kepemimpinan John Garang dari etnis Dinka
beserta Samuel Gai Tut dari etnis Nuer terjadi perebutan kekuasaan antara Dinka
dan Nuer. Kedua pemimpin tersebut berjuang untuk membebaskan Sudan
Selatan, namun keduanya memiliki ideologi yang berbeda. Dan pada akhirnya
John
Garang
membunuh
lawannya
yaitu
Samuel
Gai
Tut
dan
merebut
kepemimpinannya.10 Setelah Samuel Gai Tut meninggal, seorang pemimpin
militer Nuer yang bernama William Abdallah Chuol menguasai pasukan Gai Tut
yang hampir semuanya merupakan suku Nuer untuk melanjutkan perang
melawan pasukan John Garang. Pada saat itulah perpecahan ideologi antara John
Garang dan pendukung Gai Tut berkembang menjadi suatu pertempuran Nuer
melawan Dinka, namun William tidak memiliki dampak yang penting terhadap
9World Directory Minorities and Indigenous People. Juli 2008. Dinka. Diakses dari
<http://www.minorityrights.org/4006/sudan/dinka.html> pada 22 Maret 2018. 17.00
WIB
10 Thon Agany Ayiei, The New Sudan Vision (NSV),understanding the tribal , political,
economic,aspects,
of the current south sudan civil war and their complications in achieving a peaceful, lasting
solution.(Diakses pada 22 Maret 2018)
warga sipil, sehingga pertempuran itu hanya sebatas pada antar pasukan
bersenjata.11
Pada tahun 1991, karena adanya ketidaksepakatan politik antara John Garang
dan Riek Machar dan konflik etnis Dinka dan Nuer semakin meluas. Hal itu
didorong pemberontakan beberapa anggota SPLM yang salah satunya adalah
Riek terhadap kepemimpinan John dalam SPLM yang dianggap terlalu memusat
pada suatu hal. Selain itu, perselisihan antara Riek dengan John didasarkan pada
perbedaan ideologis tentang tujuan gerakan yang juga pemicu awal ketegangan
tersebut. Riek selaku separatis mendukung pemisahan Sudan Selatan dari
Sudan, sementara John yang berasal dari serikat yang mempunyai tujuan untuk
membentuk Sudan baru yang bersatu. Namun, pertempuran yang terjadi
tersebut berbeda dengan perang yang terjadi pada tahun 1984. 12 Perang yang
terjadi tahun 1991 itu adalah pertempuran besar pertama yang terjadi anatar
etnis Dinka dan Nuer. Tahun 2002 John Garang dan Riek berdamai dan kembali
bekerjasama menuju kebebasan Sudan Selatan dari Sudan. 13
2.3 Dinamika Perang Sipil di Sudan Selatan
Pada tahun 1924, masa kolonialisasi Inggris sejarah Sudan Selatan sudah
ditelusuri. Dimana Inggris menjalankan politik isolasi dalam kebijakan pemisahan
pemerintahan Sudan menjadi dua, yaitu Sudan Utara dan Sudan Selatan dimana
Sudan Utara wilayah penduduknya didominasi oleh etnis arab yang memeluk
agama islam. Dan Sudan Selatan wilayah penduduknya merupakan mayoritas
etnis kulit hitam Afrika yang menganut paham kristen dan animisme. Dengan
adanya kebijakan Inggris yaitu larangan berpergian karena untuk mencegah
penyebaran penyakit malaria, justru membuat dampak di wilayah Sudan Utara
dan Sudan Selatan yang semakin terisolasi satu sama lain. Akibatnya sikap
saling tidak percaya antar dua wilayah itu semakin meningkat.
14
Pada tahun 1946, Inggris mempunyai keputusan untuk menggabungkan
Sudan Utara dan Sudan Selatan menjadi wilayah administratif dengan menjadi
kesatuan negara tunggal.
Pada tahun 1955, setahun sebelum Inggris memerdekakan Sudan, telah
terjadi kasus pemberontakan pada beberapa kota di Sudan wilayah selatan,
11 Ibid.
12 Op.Cit. Delta Angara Putri. hal.12
13 Ibid. The Sudd Institute, South Sudan’s Crisis: Its Drivers, Key Players, and Post-conflict
Prospectshal.3
14 Abdul Rahman Abu Zayed Ahmed. 1988. Why the violence? . London: Panos Institute. (hal.19)
dimana sejumlah anggota Korpse Equatorial yang pada awalnya sudah menjadi
penjaga keamanan di Sudan wilayah selatan justru menjadi penggerak atau akar
dari pemberontakan tersebut. Penyebab terjadinya pemberontakan tersebut
adalah karena adanya ketakutan masyarakat Sudan wilayah selatan akan
rencana yang sudah dibuat Inggris untuk memerdekakan Sudan menjadi satu
wilayah negara, dimana wilayah Sudan Utara sebagai pusat pemeritahannya.
Masyarakat Sudan Selatan sangat khawatir akan dominasi
oleh komunitas
masyarakat dari utara, apalagi tidak ada perwakilan dari Sudan wilayah selatan
sewaktu perun[[dingan perencanaan kemerdekaan dengan Inggris terjadi.
Perang Sipil pertama terjadi pada tahun 1955 sampai dengan 1972. Pada
bulan Januari 1971, Joseph Lagu selaku mantan Letnan Tentara Sudan
membentuk suatu gerakan baru dengan mengumpulkan dan menyatukan semua
kelompok gerakan pemberontak yang setuju terhadap Sudan Selatan ke dalam
sebuah gerakan yang bernama Southern Sudan Liberation Movement (SSLM),
atau yang disebut juga Gerakan Pembebasan Sudan Selatan. Dimana gerakan
tersebut telah melakukan berbagai cara negosiasi dengan pihak pemerintahan
pusat demi mencapai suatu perjanjian yang telah disepakati bersama.
Karena tertekan oleh adanya gerakan pemberontakan yang terjadi di
daerah Sudan Selatan, akhirnya pemerintah dari Sudan yang dipimpin oleh
Jaafar Nimeiry dan SSLM yang dipimpin oleh Joseph Lagu, mereka sepakat untuk
memberhentikan perang yang terjadi dengan perjanjian Addis Ababa pada
tanggal 27 Maret 1972 di Addis Ababa, ibukota Ethiopia. Perjanjian itu berisi
pembentukan pemerintahan otonomi tunggal yang memiliki otoritas diseluruh
wilayah Sudan Selatan, menetapkan konsul eksekutif tinggi untuk mengurusi
tata daerah terkecuali urusan militer, hubungan luar negeri, keuangan, serta
penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa utama di wilayah Sudan Selatan. 15
Perjanjian itu sudah disepakati dan diikuti berakhirnya perang sipil pertama pada
tahun 1955 sampai 1972.
Setelah Perang Sipil Pertama berakhir, pada tahun 1983 sampai 2005
terjadi Perang Sipil Kedua. Dengan adanya perjanjian Addis Ababa yang sudah
disepakati
dan
memberi
otonomi
khusus
kepada
Sudan
Selatan,
Kaum
Fundamentalis Islam di wilayah utara masih merasa tidak puas. Lalu, pada tahun
1983, Presiden Nimeiry mengatakan bahwa Sudan merupakan negara Islam dan
menegakkan hukum Islam di seluruh wilayah Sudan. Secara tidak langsung, hal
ini membuat otonomi khusus Sudan wilayah selatan menjadi berakhir. Oleh
15 Sudan - First Civil War. http://www.globalsecurity.org/military/world/war/sudan-civil-war1.htm ,
(diakses pada 22 Maret 2018)
sebab itu, penyebab terjadinya Perang Sipil Kedua yang berawal pada tahun
1983 itu adalah realisasi perjanjian Addis Ababa yang tidak sesuai dengan apa
yang diharapkan oleh masyarakat Sudan Selatan. Dalam penerapannya,
pemerintahan pusat justru melanggar padahal awalnya telah menjanjikan
sebuah pemerintahan otonomi bagi Sudan Selatan. Pengabaian terhadap
perkembangan sosio-ekonomi Sudan Selatan dan kasus intervensi dalam
pemilihan umum, mewarnai 11 tahun diterapkannya perjanjian Addis Ababa.
Namun, sampai pada tanggal 19 November 2004, negosiasi perdamaian masih
terus berlanjut.
Sebelum bulan Desember 2004, sebuah deklarasi yang memberikan
komitmen kedua belah pihak untuk melakukan finalisasi perjanjian perdamaian
komprehensif (Comprehensive Peace Agreement) telah ditandatangani. Dan
akhirnya pada bulan Januari 2005, melalui perundingan di Nairobi, Kenya
perjanjian damai antara pemerintah Sudan dan pemberontak di Selatan (SPLA)
telah dicapai. Ada beberapa poin penting dalam perjanjian damai tersebut, yaitu
referendum yang akan dilakukan pada 2011 dengan maksud untuk menentukan
apakah wilayah tersebut tetap menjadi wilayah Sudan atau merdeka. Dengan
demikian, Perang Sipil Sudan yang telah terjadi selama 21 tahun secara resmi
berakhir pada tahun 2011.
Referendum untuk menentukan nasib Sudan Selatan telah dilaksanakan
pada bulan Januari 2011. Kedua belah pihak (SPLA dan pemerintahan Khartoum)
telah menyetujui sebuah referendum dalam perjanjian perdamaian komprehensif
tahun 2005. Hasil dari referendum itu adalah hampir 100% masyarakat Sudan
Selatan memilih untuk di merdekakan. Dan akhirnya pada 9 Juli 2011, Sudan
telah merdeka dengan seorang Presiden yang bernama Salva Kiir serta kota Juba
sebagai Ibukotanya.
Konflik perang sipil yang berkepanjangan selama beberapa dekade sampai
saat ini telah dialami oleh Republik Sudan Selatan. Dan negara tersebut
merupakan negara paling muda di dunia yang mendapatkan kemerdekaan dari
hasil perjanjian perdamaian komprehensif tahun 2005. Namun kondisi Sudan
Selatan justru tidak membaik setelah memisahkan diri, justru Sudan Selatan
kembali terjebak dalam konflik, baik itu konflik internal maupun eksternal. Hal itu
ditandai dengan terjadinya perang sipil di sudan selatan.
Apabila kita melihat dari sejarah Sudan Selatan, krisis yang terjadi
merupakan permasalahan yang terjadi sejak berdirinya gerakan Sudan People’s
Liberation Movement (SPLM)16 yang beranggotakan Salva Kiir dan Riek Machar.
Walaupun keduanya merupakan anggota SPLM, namun secara politis mereka
saling bersaingan. Hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan pendapat atas
visi maupun kepemimpinan, yang menuju kepada perjuangan internal dua partai.
Salah satu dari kedua partai itu terdiri atas golongan separatis yang menyatakan
kemerdekaan langsung dari Sudan Selatan sebagai tujuan utama dari gerakan
tersebut. Sementara partai yang lainnya, terdiri dari golongan Serikat yang
memiliki tujuan memperjuangkan transformasi Sudan yang lama menjadi The
New Sudan.17
Oleh karena itu, perbedaan ideologi sampai dengan perebutan kekuasaan
sering dialami oleh SPLM sebagai masalah atau kendala internal. Walaupun
perbedaan dalam SPLM memiliki sifat ideologis, namun perselisihan yang terjadi
di antara dua partai tersebut menyebabkan identitas anggotanya menjadi
berbeda. Yaitu etnis Nuer melawan etnis Dinka. Hal itu disebabkan dan dipicu
oleh persaingan politik yang dilakukan oleh keduanya. 18 Dari apa yang sudah
terjadi sebelumnya, dapat dilihat jelas bahwa SPLM sebagai salah satu gerakan
yang terdiri atas berbagai kelompok, tentara maupun pemimpin – pemimpin
suku yang memiliki berbagai kepentingan. Dimana di antara mereka terjalin
persatuan, yang tidak benar – benar dilandaskan oleh kepentingan kolektif.
Dalam kata lain, tidak ada hal lain selain keinginan besar memerdekakan diri dari
Khartoum untuk mempersatukan mereka.
19
Selain perbedaan ideologi antara Presiden dan wakil presiden, konflik terjadi
saat Presiden menuduh wakil presiden bahwa ia telah melakukan kudeta dan
berdasarkan asumsi belaka. Riek Machar selaku wakil presiden tidak mengakui
bahwa ia telah melakukan apa yang dituduhkan oleh Salva Kiir. Akhirnya Riek
Machar melarikan diri karena tidak dapat mengambil kebijakan yang tepat untuk
masalah tersebut. Selama pelariannya Riek Machar memantau pergerakan Kiir
dan meminta Kiir untuk turun dari jabatannya. Konflik antara Salva Kiir dan Riek
Machar merambat ke masyarakat sipil di Sudan Selatan, dimana etnis Nuer dan
etnis Dinka saling melawan untuk memperjuangkan kekuasaan, etnis Dinka
16 SPLM merupakan gerakan tertua yang di bentuk pada tahun 1983, gerakan ini bertujuan untuk
membebaskan Sudan Selatan dari kekuasaan rezim Khartoum pada saat itu (Sudan Utara).
17 Peter adwok Nyaba. 1996. The politics of liberation in south sudan : an insiders view. Africa :
Fountain
Publication. (Hal 51)
18 The Sudd Institute. 2014. South Sudan’s Crisis: Its Drivers, Key Players, and Post-conflict
Prospects.
(hal.2)
19 Op., Cit. Delta Anggara Putri.(hal 10)
condong ke Salva Kiir dan etnis Nuer condong ke Riek Machar. Masyarakat sipil
dilucuti hak mereka untuk hidup dan mendapatkan kebebasan. Masyarakat di
Sudan Selatan tidak bisa bergerak sama sekali karena jika masyarakat sipil
condong ke etnis Nuer maka etnis Dinka akan memperkosa, membakar dan
membunuh mereka. Begitupun sebaliknya.
20
2.4 Analisis konflik di Sudan dalam konteks Hukum Internasional
Berpisahnya Sudan Selatan dari Republik Sudan dapat dikelompokkan
sebagai
suatu pemisahan
negara, sebab terjadi pergantian pemegang
kedaulatan atau suatu wilayah dari negara satu ke negara lainnya yang
diwujudkan melalui pengambilan seperangkat kekuasaan dari suatu negara. 21
Dalam praktiknya, ada dua macam pemisahan, yaitu pemisahan secara umum
dan pemisahan secara sebagian. 22 Pemisahan yang dialami Sudan Selatan
adalah suatu proses pemisahan suatu negara yang terjadi secara sebagian,
karena Sudan Selatan terbentuk sebagai suatu negara yang baru dari sebagian
daerah yang awal mulanya dikuasai negara lain, yaitu Republik Sudan. 23
Pemisahan negara yang dialami Sudan Selatan termasuk akibat dari
perang sipil yang terjadi di wilayah itu, sehingga bentuk bentuk pelanggaran
Hukum Internasional tidak dapat dihindari. Bentuk bentuk dari pelanggaran
Hukum Internasional tersebut antara lain yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan,
kejahatan perang, maupun kejahatan genosida. Adanya dugaan yang terkait
dengan pelanggaran Hukum Internasional, solusi hukum terhadap pelanggaran
tersebut sudah diproseskan. Solusi dari hukum tersebut berupa tuntutan dari
jaksa International Criminal Court (ICC) terhadap beberapa individu di Sudan
yang dianggap memiliki tanggung jawab terhadap pelanggaran yang terjadi
yaitu kejahatan perang.
Meskipun Sudan dan Sudan Selatan bukan salah satu dari negara peserta
Statuta Roma, namun ICC tetap memiliki yurisdiksi 24 yang bertujuan untuk
20 https://www.google.co.id/amp/hukamnas.com/penyebab-konflik-sudan/amp
21 Budi Lazarusli dan Syakmin A.K. 1986. Suksesi Negara dalam Hubungannya dengan
Perjanjian Internasional. Penerbit Remadja Karya: Bandung. (hal. 14).
22 Sefriani. 2010. Hukum Internasional: Suatu Pengantar. PT RajaGrafindo Persada:
Jakarta.
(hal.294-295).
23 S. Tasrif. 1966. Pengakuan Internasional dalam Teori dan Praktek. PT Media Raya:
Jakarta.
(hal. 14).
24 Yurisdiksi merupakan tempat berlakunya sebuah Undang-Undang yang berdasarkan
hukum.
mengadili pelanggaran yang terjadi di Sudan Selatan. Hal itu dapat terjadi
karena kasus pelanggaran tersebut telah diajukan oleh dewan keamanan PBB. 25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jadi berdasarkan pembahasan yang telah dibuat, dapat disimpulkan
bahwa landasan perang sipil yang terjadi di Sudan Selatan terjadi karena adanya
konflik yang terus berkepanjangan. Asumsi belaka yang dituduhkan oleh
Presiden yang bernama Salva Kiir ke wakilnya yang bernama Riek Machar,
sehingga menyebabkan konflik yang berlanjut menjadi perseteruan antar
kelompok. Timbulnya konflik disebabkan oleh kelompok gerakan yang terpecah
belah dan perbedaan pendapat antara Presiden dengan wakil presiden, sehingga
banyak menelan korban jiwa yaitu warga sipil.
3.2 Saran
Ada beberapa saran yang diberikan oleh tim peneliti yang nantinya dapat
menjadi suatu solusi bagi penelitian ini, yaitu :
1. Pemerintah Sudan seharusnya memiliki solusi baru untuk mengatasi
konflik yang terjadi di masyarakat. Hal ini dilakukan untuk mengurangi
resiko semakin banyak yang menjadi korban terutama warga sipil.
25 Lihat: Rome Statute of the International Criminal Court,
2. Penyelesaian konflik seharusnya dilakukan dengan cara mengurangi
bantuan
senjata
yang
diberikan
oleh
negara
lain
agar
dapat
mengurangi konflik yang terjadi.
3.3 Kritik
Tim penulis memiliki beberapa kritikan terhadap penelitian maupun studi
kasus ini, yaitu :
1. Tim peneliti memiliki kesulitan dalam mencari informasi yang jelas
terutama buku yang digunakan untuk melakukan penelitian.
2. Tim peneliti mengakui bahwa penelitian yang dilakukan masih belum
sempurna dan masih perlu pengkajian beberapa hal lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Starke, J.G. 1992 . Pengantar Hukum Internasional . Sinar Grafika : Jakarta
Mansyur Effendi. 1994. Dimensi dan Dinamika Hak Azasi Manusia dalam Hukum
Nasional dan Internasional. Jakarta : Ghalia Indonesia
Armed Conflict Database. 23 Desember 2013. South Sudan: Fragile and Divided.
Diakses
dari
https://acd.iiss.org/en/news/2013-3e27/south-sudan-divided-and-fragile-1d16
BBC.South Sudan Profile.http://www.bbc.com/news/worldafrica
http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/_7_%20Thomas.pdf
http://faculty.webster.edu/woolflm/holocaust.html
Fromm, Erich., Akar Kekerasan : Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia
(Yogyakarta ;Pustaka Pelajar, 2000) hal. 8
Giddens, Anthony., Melampaui Ekstrim Kiri dan Kanan : Masa Depan Politik
Radikal (Yogyakarta ; Pustaka Pelajar, 2009) hal. 370
World Directory Minorities and Indigenous People. Juli 2008. Dinka. Diakses dari
Thon Agany Ayiei, The New Sudan Vision (NSV),understanding the tribal ,
political, economic,aspects, of the current south sudan civil war and their
complications in achieving a peaceful, lasting solution.
Ibid. The Sudd Institute, South Sudan’s Crisis: Its Drivers, Key Players, and Postconflict Prospectshal.3
Abdul Rahman Abu Zayed Ahmed. 1988. Why the violence? . London: Panos
Institute. (hal.19)
Sudan - First Civil War. http://www.globalsecurity.org/military/world/war/sudancivil-war1.htm
Peter adwok Nyaba. 1996. The politics of liberation in south sudan : an insiders
view. Africa : Fountain Publication.
The Sudd Institute. 2014. South Sudan’s Crisis: Its Drivers, Key Players, and Postconflict Prospects. (hal.2)
https://www.google.co.id/amp/hukamnas.com/penyebab-konflik-sudan/amp
Budi Lazarusli dan Syakmin A.K. 1986. Suksesi Negara dalam Hubungannya
dengan Perjanjian Internasional. Penerbit Remadja Karya: Bandung. (hal. 14).
Sefriani. 2010. Hukum Internasional: Suatu Pengantar. PT RajaGrafindo Persada:
Jakarta.(hal.294-295)
S. Tasrif. 1966. Pengakuan Internasional dalam Teori dan Praktek. PT Media Raya:
Jakarta. (hal. 14).
Yurisdiksi
merupakan
tempat
berlakunya
sebuah
berdasarkan hukum.
PLAGIARISM CHECKER
1. Latar Belakang
Undang-Undang
yang
2. Kerangka Pikir, Teori, Pembahasan
ANALISIS PERANG SIPIL DI SUDAN SELATAN PADA TAHUN 2013
DISUSUN OLEH :
Wiendy Yolanda Baresi
372017020
Herdwita Priesma Dewanti
372017049
Chika Ramona Felicia Weni
372017052
Winston Jody Panggey
372017062
Alfadhea Ajeng Avishanic Z.A
Matheo Manoe
372017066
372017089
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Setiap manusia atau individu mempunyai hak yang melekat pada dirinya
sendiri dan sering disebut dengan hak asasi manusia (HAM). Hak asasi manusia
merupakan hak dasar yang dimiliki manusia ketika ia dilahirkan. Ini berarti
bahwa manusia memiliki hak yang mutlak dari penciptanya yaitu Tuhan Yang
Maha Esa dan hak itu secara tidak langsung melekat pada diri manusia yang
dikodratkan untuk hidup. HAM menurut John Locke yaitu hak yang telah
diberikan secara langsung oleh Tuhan sebagai sesuatu yang memilki sifat secara
kodrati. Yang berarti bahwa hak yang dipunyai manusia menurut kodratnya tidak
bisa dipisahkan dari apa yang menjadi hakikatnya karena hak asasi manusia itu
sifatnya suci.
Dalam konteks negara hukum, HAM merupakan unsur dan asas yang
keberadaannya harus terpenuhi karena sebagai negara, hukum harus ada
pernyataan tentang pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap HAM
yang mengarah pada penghormatan atas martabat manusia. Jadi, perlu adanya
penghormatan, pengakuan, dan perlindungan kepribadian manusia dari negara
hukum sebagai asas yang fundamental (mendasar). Menurut hukum HAM
internasional, bentuk terpenting dari HAM yaitu hukum bukan politik. Hukum hak
asasi manusia internasional merupakan cabang
hukum publik internasional,
yakni hukum yang mengatur hubungan antara kelompok-kelompok dengan
kepribadian yang sifatnya internasional seperti negara, organisasi internasional,
dan bisa jadi individu. Jika dilihat dari hak asasi manusia, hukum internasional
memiliki
kualitas
ganda
karena
dapat
menciptakan
penghalang
atau
penghambat bagi perlindungan hak asasi yang efektif serta menyediakan sarana
dalam mengatasi rintangan atau gangguan yang ada. Individu dijadikan sebagai
hukum internasional karena secara pribadi individu dianggap dapat bertanggung
jawab terhadap kejahatan perang, genosida, penganiayaan, dan apartheid.
1
1 Starke, J.G. 1992 . Pengantar Hukum Internasional . Sinar Grafika : Jakarta diakses
pada 23 Maret 2018. 19.45 WIB
Mansyur Effendi, Dimensi dan Dinamika Hak Azasi Manusia dalam Hukum
Nasional dn Internasional (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1994) hlm. 40 diakses pada 23
Maret 2018. 20.08 WIB
Dalam hak asasi manusia (HAM) ada juga perilaku menyimpang yang
melanggar HAM salah satunya yaitu perang sipil yang terjadi di Sudan Selatan.
Sudan Selatan merupakan negara yang terletak di Afrika Timur dengan ibu
kotanya yaitu Juba. Sudan Selatan memutuskan untuk memisahkan diri dari
Republik Sudan dan membentuk negara baru pada 9 Juli 2011. Sudan Selatan
juga merupakan negara termuda di dunia yang terdaftar sebagai anggota PBB.
Sebagai negara yang merdeka, Sudan Selatan tentu menjadi negara yang aman,
tenteram, dan damai namun nyatanya tidak demikian. Hal ini terbukti dengan
kondisi yang tidak kondusif, dimana masih terjadi pemberontakan maupun
konflik yang mengarah pada perang sipil. Konflik yang terjadi di Sudan Selatan
bermula ketika berdirinya gerakan Sudan People’s Liberation Movement (SPLM).
Dimana Salva Kiir selaku presiden Sudan Selatan dan Wakilnya yaitu Riek Machar
masuk dalam anggota SPLM. Walaupun keduanya sama-sama anggota dari
SPLM, namun mereka bersaing secara politis. Hal ini disebabkan karena adanya
perbedaan pendapat mengenai visi dan kepemimpinan yang menuju pada
perjuangan internal dua partai. Pada dasarnya, perbedaan dalam SPLM sifatnya
taktis dan ideologis.
Dalam konflik Sudan Selatan, bukan hanya kubu internal partai SPLM yang
berpengaruh tetapi juga etnis dari kedua pemimpin pemberontak tersebut.
Presiden Salva Kiir berasal dari etnis Dinka, sedangkan Riek Machar berasal dari
etnis Nuer yang memberikan dampak tersendiri terhadap hubungan antar dua
etnis terbesar yang ada di Sudan Selatan. Konflik yang dipicu oleh persaingan
politik internal atau dalam negeri dan sengketa kekuasaan antara presiden Salva
Kiir dan Riek Machar menyebar luas menjadi perang sipil. Sudan Selatan sendiri
mempunyai kurang lebih 60 kelompok etnis dengan populasi terbesar yaitu etnis
Dinka yang berjumlah 35,8% dan etnis Nuer sebanyak 16% kemudian diikuti
dengan etnis Shilluk dan kelompok etnis lainnya.
2
2 Armed Conflict Database. 23 Desember 2013. South Sudan: Fragile and
Divided. Diakses dari
pada 22
Maret 2018. 17.00 WIB
BBC.South Sudan Profile.http://www.bbc.com/news/worldafrica(diakses pada 23
Maret 16.50 WIB )
Tim peneliti mengambil kasus di Sudan Selatan karena termasuk pelanggaran
HAM yang menarik perhatian dunia internasional dan berkaitan dengan topik
yang ada. Pembahasannya pun menyangkut permasalahan kekuasaan politik
antar kedua belah pihak yang ingin memegang kekuasaan penuh hingga
berujung pada konflik bersenjata dan perpecahan antar etnis. Terkait adanya
tindakan yang melanggar hak asasi manusia, maka organisasi internasional
mulai memperhatikan konflik yang terjadi di Sudan Selatan. Selain itu, perlu
adanya penanganan dalam kasus tersebut melalui hukum yang terkait dengan
hak kemanusiaan khususnya di ranah internasional.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan suatu
permasalahan :
1. Bagaimana perang sipil dapat terjadi di Sudan Selatan ?
1.3
Kerangka Pikir
1.3.1.
Kebijakan Domestik
Kebijakan publik dibuat oleh pemerintah berupa tindakan-tindakan yang
berdasarkan kepentingan publik. Jadi, kebijakan publik merupakan tindakan
untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah demi terwujudnya
kepentingan publik. Menurut Chandler dan Plano, kebijakan publik adalah
pemanfaatan
yang
strategis
terhadap
sumber
daya
yang
ada
untuk
memecahkan masalah publik atau pemerintah.
Seorang kepala negara harus mengetahui permasalahan atau kebutuhan
yang dibutuhkan oleh negaranya sehingga kebijakan publik dapat dibuat untuk
menentukan kebijakan publik dari suatu negara. Untuk memenuhi kepentingan
nasional, negara-negara maupun aktor dari negara tersebut melakukan berbagai
macam kerjasama bilateral dan multilateral.
1.3.2 Kebijakan Luar Negeri
Kebijakan luar negeri merupakan keputusan yang dibuat oleh pemerintah
untuk memenuhi kebutuhan dan untuk mencapai tujuan domestik aras politik
luar
negeri
untuk
mengendalikan
kepentingan
nasional.
Setiap
negara
mempunyai kebijakan-kebijakan luar negeri yang berbeda-beda dan tergantung
kepentingan dari negara tersebut. Tetapi negara mengeluarkan kebijakan luar
negerinya untuk mencapai kepentingan pribadi. Kebijakan luar negeri dibuat
pada umumnya dibuat agar dapat mempengaruhi negara lain yang dimana
menjaga keamanan nasional buat negaranya. Menurut Joshua Goldstein,
kebijakan luar negeri adalah kebijakan atau strategi yang diambil oleh
pemerintah dalam menentukan aksi mereka di dunia internasional. Menurut
Rosenau tujuan dari kebijakan luar negeri ini sebenarnya merupakan fungsi dari
proses dimana tujuan negara tersebut. Tujuan tersebut didasarkan dari sasaran
yang dilihat dari masa lalu dan inspirasi dari masa yang akan datang. Kj Holisti
membagi tujuannya menjadi 3 yaitu: Nilai, yang diletakan pada tujuan negara,
sebagai hal utama dalam membuat kebijakan, hal ini dibuat berdasarkan sumber
daya dimiliki oleh negara untuk mencapai tujuan. Unsur Waktu, jangka waktu
untuk mencapai tujuan. Tuntutan tujuan, negara tujuan akan dibebankan dari
negara yang mengeluarkan kebijakan luar negeri.
Tujuan Nasional yang hendak di capai di jangkau melalui kebijakan luar negeri
dan
dibuat
dimana
dengan
kepentingan
nasional
terhadap
situasi
internasional yang sedang berlangsung serta power yang dimiliki untuk
menjangkaunya, tujuan dibuat untuk untuk di pilih dan ditetapkan oleh
pembuat keputusan dan dikendalikan untuk mengubah kebijakan atau
mempertahankan kebijakan di lingkungan internasional. Konsep ini nantinya
akan dianalisis lebih lanjut dalam pembahasan dan keterkaitannya dengan
kasus HAM yang terjadi di Sudan Selatan.
1.4
Landasan Teori
1.4.1 Teori Kekerasan
Lewat
bukunya
yang
berjudul
“Leviathan”,
Thomas
Hobbes
(1651)
mengatakan bahwa manusia bertindak atas dasar kepentingan dirinya sendiri
dan menjadi maklum jika manusia berselisih dan bertengkar. Seorang penguasa
memiliki sebuah kekuasaan yang tidak terbatas, termasuk dalam penggunaan
kekerasan untuk mempertahankan kekuasaan tersebut. Homo homini lupus,
yang artinya manusia menjadi serigala bagi yang lain dan berakibat pada belum
omnium contra omnes, yakni perang semua lawan semua. 3Untuk itu tim peneliti
mengangkat teori ini karena terdapat relevansi yang kuat dengan kasus yang
diambil. Melalui kasus ini, dinyatakan dengan jelas bahwa Presiden Kiir
menggunakan kekuasaan nya untuk mempengaruhi rakyat, yang disini mengatas
namakan sebuah etnis yaitu etnis Dinka. Karena etnis Dinka merupakan kubu
yang mendukung Presiden Kiir. Yang awalnya permasalahan ini mjuncul karena
3 http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/_7_%20Thomas.pdf (diakses pada 25/4/2018,
22.17 WIB)
adanya keinginan untuk memenuhi suatu kepentingan politik, lama kelamaan
menjalar ke rakyat-rakyat kecil sampai terbentuknya 2 kubu etnis yang
bertentangan yaitu suku Dinka yang berpihak pada Presiden Kiir dan Suku Nuer
yang berpihak pada Wakil Presiden Machar. Permasalahan yang muncul
menyebabkan terjadinya polarisasi masyarakat dan militer dalam garis etnis dan
ketidakseimbangan dalam hubungan sosial kemasyarakatan di Sudan Selatan.
Dan pada akhirnya konflik ini berujung pada jatuhnya banyak sekali korban dan
pertumpahan darah.
Linda M. Woolf, Ph.D mengatakan “We live in a time of unparalleled
instances of democide, genocide and ethnocide. The Holocaust, the genocides in
Darfur, Turkey, Cambodia, Tibet, & Bosnia, the disappearances in Argentina &
Chile, the death squad killings in El Salvador, Stalin's purges, the killing of the
Tutsi in Rwanda . . . . and the list goes on”.4 Perkataan itu menyatakan bahwa
pemusnahan suatu kelompok etnis akan terus bertambah dimana atas nama
Negara penghilangan kesempatan / kebebasan bahkan nyawa dihilangkan secara
paksa. Freud dan Lorenz yang menyatakan bahwa ke agresifan manusia
merupakan sebuah naluri yang digerakan oleh sumber energi yang selalu
mengalir, dan tidak selalu berasal dari rangsangan luar.5 Pada tahap ini jelas
menunjukan bahwa potensi kekerasan pada hakekatnya sudah melekat dalam
diri manusia. Pemahaman terhadap kekerasan juga disampaikan oleh Gidens
yang meminjam pandangan Clausewitz, “...lazimnya berada di sisi yang
berseberangan dengan persuasi; kekerasan merupakan salah satu bagi sekian
cara individu, kelompok atau Negara yang berupaya memaksakan kehendak
mereka kepada orang –orang lain”.
6
Pokok pemahaman kekerasan menurut
Clausewitz adalah pemaksaan kehendak, yang tentu saja bisa dilakukan oleh
individu, kelompok maupun oleh Negara. Setelah itu muncul pemahaman bahwa
kekerasan akan dianggap legal ketika mendukung satu tujuan tertentu atau
dimungkinkan menuju apa yang disebut sebagai tertib sosial. Kemudian
kekerasan seperti contohnya perang berkaitan dengan motif atau kepentingan
yang ada, seperti halnya perang ekonomi dan politik yang mengacu pada orang
4 http://faculty.webster.edu/woolflm/holocaust.html (diakses pada 25/4/2018, 20.03 WIB)
5 Fromm, Erich., Akar Kekerasan : Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia
(Yogyakarta ;Pustaka Pelajar, 2000) hal. 8
6 Giddens, Anthony., Melampaui Ekstrim Kiri dan Kanan : Masa Depan Politik
Radikal (Yogyakarta ; Pustaka Pelajar, 2009) hal. 370
–orang yang melakukan perang untuk mendapatkan wanita, budak, bahan
pangan dan lahan, disamping untuk mempertahankan dinasti dan kelas
penguasa. Teori ekonomi-politik secara spesifik mengacu pada determinan resiko
konflik dari aspek ekonomi, politik dan sosial yang
kemudian memberikan
penjelasan mengenai kegagalan dalam mengembangkan aspek-aspek tersebut
sehingga siklus konflik kekerasan terjadi. Terdapat 6 determinan yang masingmasing berasal dari berbagai macam literatur yang dikembangkan7, yaitu:
1. Rapid Change and Rising Expectations : Konflik sosial dan politik dapat
timbul ketika suatu lembaga pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk
mengatur banyaknya permintaan masyarakat. Inequality yang dialami suatu
kelompok, baik yang bersifat relative deprivation yaitu suatu pihak percaya
bahwa ia atau kelompoknya diperlakukan tidak adil ataupun absolute deprivation
yaitu adanya perampasan mutlak terhadap suatu pihak sehingga pihak tersebut
tidak dapat menjalani hidupnya secara layak.
2. Failing to credibly agree to abstain from violence : pada dasarnya
komitmen berasal dari “commitments problems”, yaitu situasi ketika sebuah
kelompok
memiliki
kepentingan
yang
bertentangan
namun
tidak
dapat
menggunakan tindakan lain selain kekerasan. Susahnya suatu kelompok atau
individu untuk tidak menggunakan paksaan atau kekerasan. Kekerasan dalam
konflik sipil merupakan konsekuensi dari low state capasity. Yaitu lemahnya
negara untuk mengelola konflik.
3.
Greed and Grievance : permasalahan ekonomi, sosial dan politik,
rendahnya
laba,
kurangnya
modal,
dan
permasalahan
populasi
dapat
meningkatkan permintaan masyarakat, sehingga keluhan dan protes yang lama
kelamaan dapat memicu resiko konflik sipil.
4. Horizontal Inequality and Identity : suatu kelompok merasa tidak adanya
keseimbangan, menyebabkan terjadinya konflik sipil.
5. Ethnic Devides and Commitment problems : adanya pengelompokan
berdasarkan
etnis
yang
membuat
komitmen
untuk
tidak
menggunakan kekerasan sulit diimplementasikan.
6. Avenues for peaceful contests : sistem hukum dan peran negara
yang kurang dalam mengatur kebutuhan masyarakat menjadi perlindungan
etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82277/.../S1-2015-311544introduction.pdf (diakses pada 24/4/2018, 21.04 WIB)
7
yang buruk jika terdapat tekanan yang terjadi, padahal kualitas lembaga politik
adalah hal utama dibandingkan faktor lain dalam menentukan resiko krisis dan
perang sipil.
Perang di suatu negara dapat terjadi kembali karena legitimate institution
yang lemah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan dalam menghadapi
berbagai macam tekanan yang mampu memicu sebuauh resiko sehingga
terjadinya konflik dan kekerasan berulang, tidak adanya kehadiran suatu
lembaga yang mampu menengahi perselisihan dan mengurangi kekerasan, serta
masyarakat yang tidak mampu melindungi diri dari tekanan menyebabkan
terjadinya konflik, akan rentan untuk terjadi kembali. Interlinked Stresses atau
tekanan-tekanan
tersebut
antara
lain
adalah
security stresses,
economic
stresses, dan injustce. Security Stresses timbul ketika suatu kelompok tertentu
merasa terancam oleh kelompok lain sebagai akibat dari penindasan yang
dialaminya di masa lampau, yang kemudian memandang pihak tersebut dalam
pandangan yang buruk, kemudian memperkuat dirinya untuk bertahan atau
membela diri. Ia percaya bahwa suatu pihak, etnis, atau kelompok dari golongan
agama sedang mempersiapkan diri untuk menyerangnya kembali, sehingga ia
memlindungi dirinya dan melakukan serangan lebih dulu (preemptive move).
Kelompok ini
kemudian
menggunakan
kekerasan
sebagai
jalan
untuk
menyelesaikan masalah, baik masalah yang terjadi dalam kelompoknya maupun
yang terjadi diluar kelompoknya, hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki
media ke sistem hukum untuk mengadili pihak yang diduga melakukan
kesalahan dan membatasi berbagai penyimpangan yang terjadi. Kekerasan
menjadi satu-satunya jalan untuk menegakkan kepentingan. Tekanan keamanan
yang datang dari dalam (internal) misalnya perpecahan antar-etnis, sedangkan
yang datang dari luar (eksternal) misalnya gerakan teroris atau pemberontak
yang dapat memperburuk kondisi negara. Economic Stresses misalnya income
shocks, energy shocks, kurangnya pangan, ataupun hal lain yang dialami
kelompok tertentu dalam memenuhi kebutuhan ekonominya. Salah satu faktor
lain yaitu political stresses, injustice and unfairness, muncul ketika terjadi
penindasan
dan pelanggaran
kelompok-kelompok
tertentu
terhadap
HAM
berdasarkan
yaitu
ras,
eksklusi politik
etnis,
agama,
kepada
atau lokasi
geografis secara nyata menjadi motif bagi terjadinya perlawanan bersenjata.
8
Dewasa ini beberapa wilayah di dunia memiliki sistem representasi politik yang
8 etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82277/.../S1-2015-311544-
introduction.pdf (diakses pada 24/4/18 23.01)
tidak adil. Penelitian menunjukkan bahwa negara-negara dengan eksklusi politik
atau eksklusi etnis yang tinggi akan berkapasitas untuk mengalami pergolakan
berulang dan kekerasan konflik. Ketimpangan ekonomi dan sosial yang dirasakan
itu berhubungan dengan ketidakadilan. Tekanan keamanan dapat diperkuat
dengan cara bagaimana orang melihat dan memperlakukan mereka didasarkan
pada aspek identitasnya, misalnya, ketidaksetaraan antara kelompok identitas
berbasis agama, kasta, suku, atau wilayah. Konflik-konflik kelanjutan tersebut
kemudian berubah
menjadi
ancaman
kekerasan yang
saling
berhubungan
dengan aspek-aspek lain.
1.5
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui alasan terjadinya perang sipil di Sudan Selatan.
2. Untuk menjelaskan apa dasar dari kedua belah pihak sehingga melakukan
penyerangan.
1.6
Manfaat Penelitian
1. Tim peneliti berharap dengan mengangkat kasus ini, kesadaran akan HAM
di dunia ini lebih diperhatikan.
2. Bermanfaat untuk para pembaca agar saat pemilihan pemimpin dapat
dipilih dengan lebih cermat agar masa depan negara dibawa ke arah yang
lebih jelas
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Sejarah Sudan Selatan
Sudan Selatan merupakan negara pecahan dari Sudan yang terletak di Afrika
Timur dengan ibu kota yaitu Juba. Sudan Selatan adalah negara termuda yang
baru merdeka pada 9 Juli 2011 dan termasuk dalam anggota PBB. Selain itu,
Sudan selatan meliputi kawasan rawa yang luas yang di bentuk oleh sungai nil
dan biasanya disebut dengan Bahrul Jabal.
Sudan Selatan bergabung menjadi anggota Uni Afrika bahkan ingin menjadi
bagian dari Persemakmuran Komunitas Afrika Timur, Dana Moneter Internasional
dan Bank Dunia. Dalam Sudan Selatan, terdapat beberapa etnis termasuk etnis
Dinka yang mendominasi atau yang mayoritas dan etnis Nuer yang termasuk
dalam kelompok minoritas. Sudan Selatan awalnya termasuk bagian dari Sudan,
namun karena adanya konflik politik, agama, dan suku atau etnis maka mereka
memisahkan diri dari wilayah Sudan. Pada tahun 1991, konflik internal SPLM
(Sudan People's Liberation Movement) pernah terjadi yang melibatkan pemimpin
SPLM yang dahulu yakni John Garang dan Riek Machar. Hal tersebut disebabkan
karena adanya pernyataan dari Riek Machar mengenai kudeta kepemimpinan
Garang pada 28 Agustus 1991 yang tujuannya untuk mengakhiri kedudukan
pemerintahan Dinka. Tetapi upaya kudeta itu tidak berhasil dan berlanjut dengan
konflik besar seperti adanya peristiwa pembantaian yang disebut Bor Massacre
atau Dinka Massacre pada tanggal 15 November 1991, dimana warga sipil Dinka
di Bor dibunuh secara massal selama 2 bulan dan akibatnya kurang lebih 2000
orang tewas dan 100.000 orang mengungsi.
2.2
9
Sejarah Hubungan Etnis Dinka dan Etnis Nuer
Pada tahun 1984, dibawah kepemimpinan John Garang dari etnis Dinka
beserta Samuel Gai Tut dari etnis Nuer terjadi perebutan kekuasaan antara Dinka
dan Nuer. Kedua pemimpin tersebut berjuang untuk membebaskan Sudan
Selatan, namun keduanya memiliki ideologi yang berbeda. Dan pada akhirnya
John
Garang
membunuh
lawannya
yaitu
Samuel
Gai
Tut
dan
merebut
kepemimpinannya.10 Setelah Samuel Gai Tut meninggal, seorang pemimpin
militer Nuer yang bernama William Abdallah Chuol menguasai pasukan Gai Tut
yang hampir semuanya merupakan suku Nuer untuk melanjutkan perang
melawan pasukan John Garang. Pada saat itulah perpecahan ideologi antara John
Garang dan pendukung Gai Tut berkembang menjadi suatu pertempuran Nuer
melawan Dinka, namun William tidak memiliki dampak yang penting terhadap
9World Directory Minorities and Indigenous People. Juli 2008. Dinka. Diakses dari
<http://www.minorityrights.org/4006/sudan/dinka.html> pada 22 Maret 2018. 17.00
WIB
10 Thon Agany Ayiei, The New Sudan Vision (NSV),understanding the tribal , political,
economic,aspects,
of the current south sudan civil war and their complications in achieving a peaceful, lasting
solution.(Diakses pada 22 Maret 2018)
warga sipil, sehingga pertempuran itu hanya sebatas pada antar pasukan
bersenjata.11
Pada tahun 1991, karena adanya ketidaksepakatan politik antara John Garang
dan Riek Machar dan konflik etnis Dinka dan Nuer semakin meluas. Hal itu
didorong pemberontakan beberapa anggota SPLM yang salah satunya adalah
Riek terhadap kepemimpinan John dalam SPLM yang dianggap terlalu memusat
pada suatu hal. Selain itu, perselisihan antara Riek dengan John didasarkan pada
perbedaan ideologis tentang tujuan gerakan yang juga pemicu awal ketegangan
tersebut. Riek selaku separatis mendukung pemisahan Sudan Selatan dari
Sudan, sementara John yang berasal dari serikat yang mempunyai tujuan untuk
membentuk Sudan baru yang bersatu. Namun, pertempuran yang terjadi
tersebut berbeda dengan perang yang terjadi pada tahun 1984. 12 Perang yang
terjadi tahun 1991 itu adalah pertempuran besar pertama yang terjadi anatar
etnis Dinka dan Nuer. Tahun 2002 John Garang dan Riek berdamai dan kembali
bekerjasama menuju kebebasan Sudan Selatan dari Sudan. 13
2.3 Dinamika Perang Sipil di Sudan Selatan
Pada tahun 1924, masa kolonialisasi Inggris sejarah Sudan Selatan sudah
ditelusuri. Dimana Inggris menjalankan politik isolasi dalam kebijakan pemisahan
pemerintahan Sudan menjadi dua, yaitu Sudan Utara dan Sudan Selatan dimana
Sudan Utara wilayah penduduknya didominasi oleh etnis arab yang memeluk
agama islam. Dan Sudan Selatan wilayah penduduknya merupakan mayoritas
etnis kulit hitam Afrika yang menganut paham kristen dan animisme. Dengan
adanya kebijakan Inggris yaitu larangan berpergian karena untuk mencegah
penyebaran penyakit malaria, justru membuat dampak di wilayah Sudan Utara
dan Sudan Selatan yang semakin terisolasi satu sama lain. Akibatnya sikap
saling tidak percaya antar dua wilayah itu semakin meningkat.
14
Pada tahun 1946, Inggris mempunyai keputusan untuk menggabungkan
Sudan Utara dan Sudan Selatan menjadi wilayah administratif dengan menjadi
kesatuan negara tunggal.
Pada tahun 1955, setahun sebelum Inggris memerdekakan Sudan, telah
terjadi kasus pemberontakan pada beberapa kota di Sudan wilayah selatan,
11 Ibid.
12 Op.Cit. Delta Angara Putri. hal.12
13 Ibid. The Sudd Institute, South Sudan’s Crisis: Its Drivers, Key Players, and Post-conflict
Prospectshal.3
14 Abdul Rahman Abu Zayed Ahmed. 1988. Why the violence? . London: Panos Institute. (hal.19)
dimana sejumlah anggota Korpse Equatorial yang pada awalnya sudah menjadi
penjaga keamanan di Sudan wilayah selatan justru menjadi penggerak atau akar
dari pemberontakan tersebut. Penyebab terjadinya pemberontakan tersebut
adalah karena adanya ketakutan masyarakat Sudan wilayah selatan akan
rencana yang sudah dibuat Inggris untuk memerdekakan Sudan menjadi satu
wilayah negara, dimana wilayah Sudan Utara sebagai pusat pemeritahannya.
Masyarakat Sudan Selatan sangat khawatir akan dominasi
oleh komunitas
masyarakat dari utara, apalagi tidak ada perwakilan dari Sudan wilayah selatan
sewaktu perun[[dingan perencanaan kemerdekaan dengan Inggris terjadi.
Perang Sipil pertama terjadi pada tahun 1955 sampai dengan 1972. Pada
bulan Januari 1971, Joseph Lagu selaku mantan Letnan Tentara Sudan
membentuk suatu gerakan baru dengan mengumpulkan dan menyatukan semua
kelompok gerakan pemberontak yang setuju terhadap Sudan Selatan ke dalam
sebuah gerakan yang bernama Southern Sudan Liberation Movement (SSLM),
atau yang disebut juga Gerakan Pembebasan Sudan Selatan. Dimana gerakan
tersebut telah melakukan berbagai cara negosiasi dengan pihak pemerintahan
pusat demi mencapai suatu perjanjian yang telah disepakati bersama.
Karena tertekan oleh adanya gerakan pemberontakan yang terjadi di
daerah Sudan Selatan, akhirnya pemerintah dari Sudan yang dipimpin oleh
Jaafar Nimeiry dan SSLM yang dipimpin oleh Joseph Lagu, mereka sepakat untuk
memberhentikan perang yang terjadi dengan perjanjian Addis Ababa pada
tanggal 27 Maret 1972 di Addis Ababa, ibukota Ethiopia. Perjanjian itu berisi
pembentukan pemerintahan otonomi tunggal yang memiliki otoritas diseluruh
wilayah Sudan Selatan, menetapkan konsul eksekutif tinggi untuk mengurusi
tata daerah terkecuali urusan militer, hubungan luar negeri, keuangan, serta
penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa utama di wilayah Sudan Selatan. 15
Perjanjian itu sudah disepakati dan diikuti berakhirnya perang sipil pertama pada
tahun 1955 sampai 1972.
Setelah Perang Sipil Pertama berakhir, pada tahun 1983 sampai 2005
terjadi Perang Sipil Kedua. Dengan adanya perjanjian Addis Ababa yang sudah
disepakati
dan
memberi
otonomi
khusus
kepada
Sudan
Selatan,
Kaum
Fundamentalis Islam di wilayah utara masih merasa tidak puas. Lalu, pada tahun
1983, Presiden Nimeiry mengatakan bahwa Sudan merupakan negara Islam dan
menegakkan hukum Islam di seluruh wilayah Sudan. Secara tidak langsung, hal
ini membuat otonomi khusus Sudan wilayah selatan menjadi berakhir. Oleh
15 Sudan - First Civil War. http://www.globalsecurity.org/military/world/war/sudan-civil-war1.htm ,
(diakses pada 22 Maret 2018)
sebab itu, penyebab terjadinya Perang Sipil Kedua yang berawal pada tahun
1983 itu adalah realisasi perjanjian Addis Ababa yang tidak sesuai dengan apa
yang diharapkan oleh masyarakat Sudan Selatan. Dalam penerapannya,
pemerintahan pusat justru melanggar padahal awalnya telah menjanjikan
sebuah pemerintahan otonomi bagi Sudan Selatan. Pengabaian terhadap
perkembangan sosio-ekonomi Sudan Selatan dan kasus intervensi dalam
pemilihan umum, mewarnai 11 tahun diterapkannya perjanjian Addis Ababa.
Namun, sampai pada tanggal 19 November 2004, negosiasi perdamaian masih
terus berlanjut.
Sebelum bulan Desember 2004, sebuah deklarasi yang memberikan
komitmen kedua belah pihak untuk melakukan finalisasi perjanjian perdamaian
komprehensif (Comprehensive Peace Agreement) telah ditandatangani. Dan
akhirnya pada bulan Januari 2005, melalui perundingan di Nairobi, Kenya
perjanjian damai antara pemerintah Sudan dan pemberontak di Selatan (SPLA)
telah dicapai. Ada beberapa poin penting dalam perjanjian damai tersebut, yaitu
referendum yang akan dilakukan pada 2011 dengan maksud untuk menentukan
apakah wilayah tersebut tetap menjadi wilayah Sudan atau merdeka. Dengan
demikian, Perang Sipil Sudan yang telah terjadi selama 21 tahun secara resmi
berakhir pada tahun 2011.
Referendum untuk menentukan nasib Sudan Selatan telah dilaksanakan
pada bulan Januari 2011. Kedua belah pihak (SPLA dan pemerintahan Khartoum)
telah menyetujui sebuah referendum dalam perjanjian perdamaian komprehensif
tahun 2005. Hasil dari referendum itu adalah hampir 100% masyarakat Sudan
Selatan memilih untuk di merdekakan. Dan akhirnya pada 9 Juli 2011, Sudan
telah merdeka dengan seorang Presiden yang bernama Salva Kiir serta kota Juba
sebagai Ibukotanya.
Konflik perang sipil yang berkepanjangan selama beberapa dekade sampai
saat ini telah dialami oleh Republik Sudan Selatan. Dan negara tersebut
merupakan negara paling muda di dunia yang mendapatkan kemerdekaan dari
hasil perjanjian perdamaian komprehensif tahun 2005. Namun kondisi Sudan
Selatan justru tidak membaik setelah memisahkan diri, justru Sudan Selatan
kembali terjebak dalam konflik, baik itu konflik internal maupun eksternal. Hal itu
ditandai dengan terjadinya perang sipil di sudan selatan.
Apabila kita melihat dari sejarah Sudan Selatan, krisis yang terjadi
merupakan permasalahan yang terjadi sejak berdirinya gerakan Sudan People’s
Liberation Movement (SPLM)16 yang beranggotakan Salva Kiir dan Riek Machar.
Walaupun keduanya merupakan anggota SPLM, namun secara politis mereka
saling bersaingan. Hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan pendapat atas
visi maupun kepemimpinan, yang menuju kepada perjuangan internal dua partai.
Salah satu dari kedua partai itu terdiri atas golongan separatis yang menyatakan
kemerdekaan langsung dari Sudan Selatan sebagai tujuan utama dari gerakan
tersebut. Sementara partai yang lainnya, terdiri dari golongan Serikat yang
memiliki tujuan memperjuangkan transformasi Sudan yang lama menjadi The
New Sudan.17
Oleh karena itu, perbedaan ideologi sampai dengan perebutan kekuasaan
sering dialami oleh SPLM sebagai masalah atau kendala internal. Walaupun
perbedaan dalam SPLM memiliki sifat ideologis, namun perselisihan yang terjadi
di antara dua partai tersebut menyebabkan identitas anggotanya menjadi
berbeda. Yaitu etnis Nuer melawan etnis Dinka. Hal itu disebabkan dan dipicu
oleh persaingan politik yang dilakukan oleh keduanya. 18 Dari apa yang sudah
terjadi sebelumnya, dapat dilihat jelas bahwa SPLM sebagai salah satu gerakan
yang terdiri atas berbagai kelompok, tentara maupun pemimpin – pemimpin
suku yang memiliki berbagai kepentingan. Dimana di antara mereka terjalin
persatuan, yang tidak benar – benar dilandaskan oleh kepentingan kolektif.
Dalam kata lain, tidak ada hal lain selain keinginan besar memerdekakan diri dari
Khartoum untuk mempersatukan mereka.
19
Selain perbedaan ideologi antara Presiden dan wakil presiden, konflik terjadi
saat Presiden menuduh wakil presiden bahwa ia telah melakukan kudeta dan
berdasarkan asumsi belaka. Riek Machar selaku wakil presiden tidak mengakui
bahwa ia telah melakukan apa yang dituduhkan oleh Salva Kiir. Akhirnya Riek
Machar melarikan diri karena tidak dapat mengambil kebijakan yang tepat untuk
masalah tersebut. Selama pelariannya Riek Machar memantau pergerakan Kiir
dan meminta Kiir untuk turun dari jabatannya. Konflik antara Salva Kiir dan Riek
Machar merambat ke masyarakat sipil di Sudan Selatan, dimana etnis Nuer dan
etnis Dinka saling melawan untuk memperjuangkan kekuasaan, etnis Dinka
16 SPLM merupakan gerakan tertua yang di bentuk pada tahun 1983, gerakan ini bertujuan untuk
membebaskan Sudan Selatan dari kekuasaan rezim Khartoum pada saat itu (Sudan Utara).
17 Peter adwok Nyaba. 1996. The politics of liberation in south sudan : an insiders view. Africa :
Fountain
Publication. (Hal 51)
18 The Sudd Institute. 2014. South Sudan’s Crisis: Its Drivers, Key Players, and Post-conflict
Prospects.
(hal.2)
19 Op., Cit. Delta Anggara Putri.(hal 10)
condong ke Salva Kiir dan etnis Nuer condong ke Riek Machar. Masyarakat sipil
dilucuti hak mereka untuk hidup dan mendapatkan kebebasan. Masyarakat di
Sudan Selatan tidak bisa bergerak sama sekali karena jika masyarakat sipil
condong ke etnis Nuer maka etnis Dinka akan memperkosa, membakar dan
membunuh mereka. Begitupun sebaliknya.
20
2.4 Analisis konflik di Sudan dalam konteks Hukum Internasional
Berpisahnya Sudan Selatan dari Republik Sudan dapat dikelompokkan
sebagai
suatu pemisahan
negara, sebab terjadi pergantian pemegang
kedaulatan atau suatu wilayah dari negara satu ke negara lainnya yang
diwujudkan melalui pengambilan seperangkat kekuasaan dari suatu negara. 21
Dalam praktiknya, ada dua macam pemisahan, yaitu pemisahan secara umum
dan pemisahan secara sebagian. 22 Pemisahan yang dialami Sudan Selatan
adalah suatu proses pemisahan suatu negara yang terjadi secara sebagian,
karena Sudan Selatan terbentuk sebagai suatu negara yang baru dari sebagian
daerah yang awal mulanya dikuasai negara lain, yaitu Republik Sudan. 23
Pemisahan negara yang dialami Sudan Selatan termasuk akibat dari
perang sipil yang terjadi di wilayah itu, sehingga bentuk bentuk pelanggaran
Hukum Internasional tidak dapat dihindari. Bentuk bentuk dari pelanggaran
Hukum Internasional tersebut antara lain yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan,
kejahatan perang, maupun kejahatan genosida. Adanya dugaan yang terkait
dengan pelanggaran Hukum Internasional, solusi hukum terhadap pelanggaran
tersebut sudah diproseskan. Solusi dari hukum tersebut berupa tuntutan dari
jaksa International Criminal Court (ICC) terhadap beberapa individu di Sudan
yang dianggap memiliki tanggung jawab terhadap pelanggaran yang terjadi
yaitu kejahatan perang.
Meskipun Sudan dan Sudan Selatan bukan salah satu dari negara peserta
Statuta Roma, namun ICC tetap memiliki yurisdiksi 24 yang bertujuan untuk
20 https://www.google.co.id/amp/hukamnas.com/penyebab-konflik-sudan/amp
21 Budi Lazarusli dan Syakmin A.K. 1986. Suksesi Negara dalam Hubungannya dengan
Perjanjian Internasional. Penerbit Remadja Karya: Bandung. (hal. 14).
22 Sefriani. 2010. Hukum Internasional: Suatu Pengantar. PT RajaGrafindo Persada:
Jakarta.
(hal.294-295).
23 S. Tasrif. 1966. Pengakuan Internasional dalam Teori dan Praktek. PT Media Raya:
Jakarta.
(hal. 14).
24 Yurisdiksi merupakan tempat berlakunya sebuah Undang-Undang yang berdasarkan
hukum.
mengadili pelanggaran yang terjadi di Sudan Selatan. Hal itu dapat terjadi
karena kasus pelanggaran tersebut telah diajukan oleh dewan keamanan PBB. 25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jadi berdasarkan pembahasan yang telah dibuat, dapat disimpulkan
bahwa landasan perang sipil yang terjadi di Sudan Selatan terjadi karena adanya
konflik yang terus berkepanjangan. Asumsi belaka yang dituduhkan oleh
Presiden yang bernama Salva Kiir ke wakilnya yang bernama Riek Machar,
sehingga menyebabkan konflik yang berlanjut menjadi perseteruan antar
kelompok. Timbulnya konflik disebabkan oleh kelompok gerakan yang terpecah
belah dan perbedaan pendapat antara Presiden dengan wakil presiden, sehingga
banyak menelan korban jiwa yaitu warga sipil.
3.2 Saran
Ada beberapa saran yang diberikan oleh tim peneliti yang nantinya dapat
menjadi suatu solusi bagi penelitian ini, yaitu :
1. Pemerintah Sudan seharusnya memiliki solusi baru untuk mengatasi
konflik yang terjadi di masyarakat. Hal ini dilakukan untuk mengurangi
resiko semakin banyak yang menjadi korban terutama warga sipil.
25 Lihat: Rome Statute of the International Criminal Court,
2. Penyelesaian konflik seharusnya dilakukan dengan cara mengurangi
bantuan
senjata
yang
diberikan
oleh
negara
lain
agar
dapat
mengurangi konflik yang terjadi.
3.3 Kritik
Tim penulis memiliki beberapa kritikan terhadap penelitian maupun studi
kasus ini, yaitu :
1. Tim peneliti memiliki kesulitan dalam mencari informasi yang jelas
terutama buku yang digunakan untuk melakukan penelitian.
2. Tim peneliti mengakui bahwa penelitian yang dilakukan masih belum
sempurna dan masih perlu pengkajian beberapa hal lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Starke, J.G. 1992 . Pengantar Hukum Internasional . Sinar Grafika : Jakarta
Mansyur Effendi. 1994. Dimensi dan Dinamika Hak Azasi Manusia dalam Hukum
Nasional dan Internasional. Jakarta : Ghalia Indonesia
Armed Conflict Database. 23 Desember 2013. South Sudan: Fragile and Divided.
Diakses
dari
https://acd.iiss.org/en/news/2013-3e27/south-sudan-divided-and-fragile-1d16
BBC.South Sudan Profile.http://www.bbc.com/news/worldafrica
http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/_7_%20Thomas.pdf
http://faculty.webster.edu/woolflm/holocaust.html
Fromm, Erich., Akar Kekerasan : Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia
(Yogyakarta ;Pustaka Pelajar, 2000) hal. 8
Giddens, Anthony., Melampaui Ekstrim Kiri dan Kanan : Masa Depan Politik
Radikal (Yogyakarta ; Pustaka Pelajar, 2009) hal. 370
World Directory Minorities and Indigenous People. Juli 2008. Dinka. Diakses dari
Thon Agany Ayiei, The New Sudan Vision (NSV),understanding the tribal ,
political, economic,aspects, of the current south sudan civil war and their
complications in achieving a peaceful, lasting solution.
Ibid. The Sudd Institute, South Sudan’s Crisis: Its Drivers, Key Players, and Postconflict Prospectshal.3
Abdul Rahman Abu Zayed Ahmed. 1988. Why the violence? . London: Panos
Institute. (hal.19)
Sudan - First Civil War. http://www.globalsecurity.org/military/world/war/sudancivil-war1.htm
Peter adwok Nyaba. 1996. The politics of liberation in south sudan : an insiders
view. Africa : Fountain Publication.
The Sudd Institute. 2014. South Sudan’s Crisis: Its Drivers, Key Players, and Postconflict Prospects. (hal.2)
https://www.google.co.id/amp/hukamnas.com/penyebab-konflik-sudan/amp
Budi Lazarusli dan Syakmin A.K. 1986. Suksesi Negara dalam Hubungannya
dengan Perjanjian Internasional. Penerbit Remadja Karya: Bandung. (hal. 14).
Sefriani. 2010. Hukum Internasional: Suatu Pengantar. PT RajaGrafindo Persada:
Jakarta.(hal.294-295)
S. Tasrif. 1966. Pengakuan Internasional dalam Teori dan Praktek. PT Media Raya:
Jakarta. (hal. 14).
Yurisdiksi
merupakan
tempat
berlakunya
sebuah
berdasarkan hukum.
PLAGIARISM CHECKER
1. Latar Belakang
Undang-Undang
yang
2. Kerangka Pikir, Teori, Pembahasan