HUKUM KONTRAK BISNIS DAN JUAL BELI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam dunia bisnis kontrak sangat banyak dipergunakan orang, bahkan
hampir semua kegiatan bisnis diawali oleh adanya kontrak, meskipun kontrak
dalam tampilan yang sangat sederhana sekalipun. Karena itu, memang tepat
jika masalah kontrak ini ditempatkan sebagai bagian dari hukum bisnis.
Sebagaimana kita ketahui, era globalisasi saat ini telah melanda dunia,
termasuk Indonesia. Salah satu dampak yang dirasakan akibat perubahan
tersebut adalah bidang hukum ekonomi. Bagian yang paling pesat
perkembangannya adalah hukum kontrak/perjanjian khususnya kontrak
dagang. Pada dasarnya suatu kontrak merupakan dokumen tertulis yang
memuat keinginan-keinginan para pihak untuk tujuan tertentu dan bagaimana
pihaknya diuntungkan, dilindungi/dibatasi tanggung jawab.
Dalam kehidupan sehari-hari dalam bermuamalah baik yang
konvensional maupun yang Islami, terdapat dua kegiatan yang pasti terjadi,
yaitu sale (menjual) dan buy (membeli). Kegiatan tersebut banyak ditemukan
dalam praktek trading (perdagangan). Kedua kegiatan tersebut terjadi karena
kebutuhan kebutuhan manusia dalam sehari-hari yang sangat banyak dan
berganti-ganti dan terjadi secara terus-menerus. Kegiatan inilah yang sangat
menopang keberlangsungan hidup di dunia.

1.2 Rumusan Masalah
1. Apa ruang lingkup hukum kontrak bisnis?
2. Apa macam – macam kontrak bisnis?
3. Kapan berakhirnya suatu kontrak?
4. Apa ruang lingkup jual beli?
5. Apa macam – macam jual beli?
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mendeskripsikan ruang lingkup hukum kontrak bisnis.
2. Untuk mendeskripsikan macam – macam kontrak bisnis.

1

3. Untuk mendeskripsikan berakhirnya suatu kontrak.
4. Untuk mendeskripsikan ruang lingkup jual beli.
5. Untuk mendeskripsikan macam – macam jual beli.

2

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Ruang Lingkup Hukum Kontrak Bisnis
A. Pengertian Hukum Kontrak
Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu
contract of law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah
overeenscomstrecht. Beberapa pengertian hukum kontrak menurut para ahli:
Menurut Friedman menyatakan bahwa pengertian hukum kontrak
adalah perangkat hukum yang hanya mengatur aspek tertentu dari pasar dan
mengatur jenis perjanjian tertentu.
Menurut Fuady (1994: 4) menyatakan bahwa kontrak dalah suatu
kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agreement) di antara dua atau
lebih pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi, atau menghilangkan
hubungan hukum.1
Selanjutnya, pengertian kontrak sebagai suatu perjanjian, atau
serangkaian perjanjian dimana hukum memberikan ganti rugi jika terjadi
wanprestasi (ingkar janji) terhadap kontrak tersebut, atau terhadap
pelaksanaan kontrak tersebut oleh hukum dianggap sebagai suatu tugas.2
Selain ketiga pendapat diatas KUH Pdt dalam buku Djakfar (2013: 176)
juga memberikan pengertian kontrak yang disebut perjanjian yaitu suatu
perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih (vide Pasal 1313 KUH Pdt).3

Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasannya hukum
kontrak merupakan suatu perjanjian antara satu orang dengan yang lainnya
sesuai dengan kehendak yang berpengaruh pada objek perikatan.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam menjelaskan bahwa dalam perjanjian
Islam dikenal dengan istilah aqad adalah perikatan, perjanjian, dan
permufakatan yaitu pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul
(pernyataan menerima ikatan).
1 Munir Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Bisnis, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 1994), 4
2 Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi
Perundangan Nasional dengan Syariah, (Malang: UIN Maliki Press, 2013), 175176
3 Ibid., 176

3

B. Rukun dan Syarat Sah Akad (Kontrak)
Keberadaan rukun dan syarat akad merupakan hal prinsip yang
menentukan keabsahan penyusunan kontrak syariah. Berdasarkan analisa
fiqh, ketentuan rukun dan syarat yang berlaku pada suatu perjanjian/
perikatan tertulis (kontrak) adalah ketentuan rukun dan syarat yang berlaku

pada akad.4
Rukun dapat di artikan sebagai unsur – unsur yang menentukan
terbentuknya akad. Tanpa keberadaan rukun, suatu akad tidak akan terjadi.
Menurut Zarqa dalam Burhanuddin menjelaskan bahwa rukun – rukun akad
terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Aqidain
Aqidain (para pihak yang berakad) dipandang sebagai rukun kontrak
karena merupakan salah satu dari pilar utama tegaknya akad. Tanpa
Aqidain sebagai subjek hukum, suatu kontrak tidak mungkin dapat
terwujud.
2. Mahal al – ‘Aqd
Sebelum ijab qabul, rukun kedua yang harus dipenuhi dalam
penyusunan kontrak adalah menentukan jenis objek akad (mahal al –
‘aqd). Pengertian objek akad ialah sesuatu yang oleh syara dijadikan objek
dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan.
3. Sighat Al-‘Aqd
Sighat akad merupakan hasil ijab dan qabul berdasarkan ketentuan
syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. Pernyataan
ijab dan qabul bertujuan untuk menunjukkan terjadinya kesepakatan akad.
Ijab ialah pernyataan pertama yang disampaikan oleh salah satu

pihak yang mencerminkan kehendak untuk mengadakan perikatan.
Sedangkan qabul adalah pernyataan oleh pihak lain setelah ijab yang
mencerminkan persetujuan/ kesepakatan terhadap akad.dengan demikian,
ijab – qabul merupakan pernyataan kehendak (al – iradah) yang
menunjukkan adanya suatu keridhaan antara dua orang atau lebih sesuai
dengan ketentuan syara’.5
4 Burhanuddin S., Hukum Kontrak Syariah, (Yogyakarta: BPFE, 2009), 23-34
5 Ibid., 34

4

Adapun syarat – syarat sahnya suatu kontrak menurut Salim (2003:
21) yang terdapat dalam KUH Perdata adalah sebagai berikut:
1. Adanya kata sepakat di antara para pihak.
Adanya kesepakatan dalam suatu kontrak merupakan syarat yang
pertama sahnya suatu kontrak.
2. Kecakapan bertindak
Adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan
hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan
akibat hukum. Orang yang cakap mempunyai wewenang untuk

melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa (telah
berurumur 21 tahun)
3. Adanya objek perjanjian.
Di dalam berbagai literature disebutkan bahwa yang menjadi objek
perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi ini terdiri atas:
memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.
4. Adanya suatu sebab yang halal.
Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan UU,
kesusilaan, dan ketertiban umum.6
2.2 Macam – Macam Kontrak Bisnis


Kontrak Kerja Sama Bisnis
Kerja bisnis secara kontraktual merupakan suatu bentuk kerja sama
yang berlandaskan atas kontrak – kontrak yang dibuat dan di tandatangani
oleh kedua belah pihak yang bekerja sama.7
Dalam praktik, dalam skala nasional maupun internasional, kontrak
– kontrak yang melandasi kerjasama untuk memperluas bisnis tersebut
sangat banyak macamnya. Di antara yang paling sering digunakan adalah:
1) Kontrak license

Bentuk kontrak lisesnsi kadang pula dikaitkan dengan kontrak alih
teknologi. Maksud lisensi disini adalah suatu perizinan yang diberikan
oleh

pemberi

lisensi

kepada

pihak

penerima

lisensi

untuk

6 Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2003), 23-25

7 Djakfar, Hukum Bisnis, 191

5

melaksanakan suatu kegiatan atau suatu hak yang dilindungi. Tanpa
izin ini kegiatan tersebut menjadi tidak sah.
2) Kontrak Franchise (waralaba)
Kontrak waralaba adalah suatu ijin dari franchisor yang diberikan
kepada pihak lainnya untuk menggunakan produk atau jasa
franchisor, termasuk nama dagang, proses produksi barang, dll.
3) Kontrak bidang perwakilan (distributor dan agen)
Bentuk kontrak ini adalah transaksi bisnis di mana penjual di suatu
Negara menjual produk atau komoditinya melalui perantaranya, yaitu
distributor atau agen kepada pembeli di wilayah Negara tersebut.8
Melakukan kontrak, berarti antar pihak saling mengikatkan diri yang
satu dengan yang lain. Hal ini sesuai dengan arti kontrak (akad) itu sendiri
yakni mengikat, sambungan, dan janji. Tentu saja ikatan – ikatan itu tidak
boleh di putus secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain yang terlibat
didalamnya.
Bukankah apa yang telah disepakati itu, disamping bersifat

mengikat, juga berlaku sebagai hukum yang harus dipatuhi oleh pihak –
pihak yang membuatnya. Sebagaimana firman-Nya:
‫يا أيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود‬
Artinya:
“Hai orang – orang yang beriman, penuhilah aqad – aqad itu”9


Hal Yang Biasa Terjadi Di Dalam Kontrak
1. Wanprestasi (ingkar janji)
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya
prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu
keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak
dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian
dan bukan dalam keadaan memaksa.
2. Keadaan Memaksa

8 Huala Adolf, Dasar – Dasar Hukum Kontrak Internasional, (Bandung: PT
Refika Aditama, 2007), 112-117
9 QS. Al-Maidah, 5:1


6

Menurut teori obyektif, debitur hanya dapat mengemukakan
tentang keadaan memaksa, jika pemenuhan prestasi bagi setiap orang
mutlak tidak mungkin dilaksanakan. Misalnya, penyerahan sebuah
rumah tidak mungkin dilaksanakan karena rumah tersebut musnah
akibat bencana tsunami.
Menurut teori subyektif terdapat keadaan memaksa jika debitor
yang bersangkutan mengingat keadaan pribadinya tidak dapat
memenuhi prestasinya. Misalnya, A pemilik industri kecil harus
menyerahkan barang kepada B, dimana barang-barang tersebut masih
harus dibuat dengan bahan-bahan tertentu, tanpa diduga bahan-bahan
tersebut harganya naik berlipat ganda, sehingga jika A harus memenuhi
prestasinya ia akan menjadi miskin. Dalam hal ini ajaran subyektif
mengakui adanya keadaan memaksa. Akan tetapi jika menyangkut
industri besar maka tidak terdapat keadaan memaksa.
Keadaan memaksa dapat bersifat tetap dan sementara. Jika
bersifat tetap maka berlakunya perikatan berhenti sama sekali.
Misalnya, barang yang akan diserahkan diluar kesalahan debitur
terbakar musnah.

Sedangkan keadaan memaksa yang bersifat sementara berlakunya
perikatan ditunda. Setelah keadaan memaksa itu hilang, maka perikatan
bekerja kembali. Misalnya, larangan untuk mengirimkan suatu barang
dicabut atau barang yang hilang ditemukan kembali.
3. Risiko
Menurut Soebakti dalam Djakfar menjelaskan bahwa, risiko
berarti kewajiban untuk memikul kerugian jika ada suatu kejadian di
luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang
dimaksudkan dalam kontrak.10
2.3 Berakhirnya Suatu Kontrak
10 Djakfar, Hukum Bisnis, 201

7

 Pembatalan
Suatu kontrak dikatakan batal apabila terjadi keterputusan hubungan
(terminasi) hukum di antara para piahk sebelum tujuan akad tercapai.
Istilah yang digunakan oleh ahli hukum Islam untuk membatalkan akad
adalah fasakh.11
Terminasi suatu kontrak bisnis dapat dilakukan dengan jalur
pengadilan.

Untuk

memutuskan

suatu

kontrak

dengan

jalur

hukum/pengadilan, biasanya ditentukan juga prosedur pemutusan kontrak
oleh para pihak tersebut.
 Berlakunya akad telah selesai
Disamping

akibat

pembatalan,

konrak

perjanjian/

perikatan

dikatakan berakhir ketika apa yang menjadi tujuan akad telah tercapai,
terutama setelah masing – masing pihak melaksanakan hak dan
kewajibannnya.
Dengan kata lain kontrak dapat dipastikan berakhir apabila masa
berlakunyaakad telah selesai. Dengan selesainya akad, hubungan hukum
(hak dan kewajiban) di antara pihak menjadi terputus.12
2.4 Ruang Lingkup Jual Beli
1. Pengertian Jual Beli
Jual beli menurut bahasa artinya pertukaran atau saling menukar.
Sedangkan menurut pengertian syara’yaitu memiliki suatu harta dengan
mengganti sesuatu atas dasar izin syara’ atau sekedar memiliki manfaatnya
saja dengan diperbolehkannya syara’ dengan melalui pembayaran yang
berupa uang atau yang sejenisnya.
Jual beli juga dapat diartikan menukar uang dengan barang yang
diinginkan sesuai dengan rukun dan syarat tertentu.
Sebagian ulama mendefinisikan jual beli secara syar’i sebagai aqad
yang mengandung sifat menukar satu harta dengan harta yang lain dengan
cara khusus. Bantahan ini kemudian dijawab, sebenarnya definisi jual beli
adalah aqad yang mempunyai saling menukar yaitu dengan cara
menghilangkan mudhaf (kata sandaran).

11 S. Burhanuddin, Hukum Kontrak Syariah, 209-210
12 Ibid., 211

8

Setelah jual beli dilakukan secara sah, barang yang dijual menjadi milik
pembeli sedangkan uang yang dibayarkan pembeli sebagai pengganti
harga barang, menjadi milik penjual.
Sayyid Sabiq mendefinisikan Jual Beli merupakan saling menukar
harta dengan harta atas dasar suka sama suka.
Selain pengertian di atas ada juga pengertian Jual Beli menurut
para ahli :
- Menurut Imam Nawawi, jual beli adalah pertukaran harta dengan harta
-

dengan tujuan kepemilikan.
Menurut Fiqh al-Sunnah, jual beli adalah proses pertukaran benda
dengan benda lain dengan cara saling merelakan dan memindahkan
hak milik, ada penggantinya dan ditempuh dengan cara yang

-

diperbolehkan.
Menurut Taqiyuddin, jual beli adalah saling tukar menukar harta,
menerima, dapat dikelola dengan ijab qabul dengan cara yang sesuai

-

dengan syara’.
Menurut Ulama Hanafiyah, jual neli adalah proses pertukaran harta
dengan atau benda dengan harta lain berdasarkan cara-cara khusus
yang diperbolehkan.
Sedangkan didalam Islam (Muamalah) dikenal istilah akad (‘aqad =

perikatan, perjanjian, dan pemufakatan) yaitu pertalian ijab (pernyataan
melalui ikatan) dan kabul (pernyataan menerima ikatan), sesuai dengan
kehendak syari’at yang berpengaruh pada objek perikatan.
Oleh karena itu kehendak atau keinginan keinginan pihak-pihak
yang mengikatkan diri itu tersembunyi dalam diri (hati), maka untuk
menyatakan keinginan masing-masing diungkapkan dalam bentuk
pernyataan.13
2. Rukun Jual Beli
Rukun jual beli terbagi menjadi tiga yaitu:
a. Adanya kedua belah pihak yang berakad (aqidan).
b. Yang diaqadkan (ma’qud ‘alaih).
c. Shighat (lafal).
Oleh sebab itu, ada yang mengatakan penamaan pihak yang
beraqad sebagai rukun bukan secara hakiki tetapi secara istilah
13

9

saja, karena itu bukan bagian dari bagian dari barang yang dijualbelikan yang didapati diluar, sebab akan terjadi dari luar jika
terpenuhi dua hal yaitu shighat yang berarti ijab dan qabul.
Sedangkan menurut Jumhur Fuqaha rukun jual beli ada empat:
pihak penjual, pihak pembeli, sighat jual beli, dan obyek yang dijual
belikan.
Namun perlu dipahami, bahwa sighat al-‘aqd merupakan rukun
yang terpenting, karena dengan sighat inilah dapat diketahui maksud setiap
pihak yang melakukan aqad atau transaksi dalam sebuah bisnis. Ijab dan
qabul dapat saja dalam berupa perkataan, perbuatan, isyarat dan tulisan
dalam transaksi besar. Namun semikian, semua bentuk ijab dan qabul ini
mempunyai kekuatan yang setara bagi pihak-pihak yang mengikatkan diri
dalam sebuah transaksi apapun.
Dari aspek sah atau tidaknya sebuah aqad dapat dibagi ke salam
tiga kategori, yaitu aqad yang sah, aqad yang fasad/dapat dibatalkan, dan
aqad yang batal/batal demi hukum (pasal 27). Selanjutnya dalam pasal 28
ditegaskan bahwa aqad yang sah adalah aqad yang terpenuhi rukun dan
syarat-syaratnya, tidak mengandung unsur ghalath atau khilaf, tidak
dilakukan dibawah ikrar atau paksaan, taghrir atau tipuan, dan ghubn atau
penyamaran. Sedangkan aqad yang fasad adalah akad yang terpenuhi
rukun dan syarat-syaratnya, tetapi terdapat segi atau hal lain yang merusak
akad tersebut karena pertimbangan maslahat. Adapun aqad yang batal
adalah aqad yang kurang rukun dan atau syarat-syaratnya.14
3. Syarat Jual Beli
Sebuah kontrak Jual beli yang secara hukum akan sah dan dapat
dipertanggung jawabkan asalkan saja memenuhi syarat yang telah
ditentukan.
a. Menurut Ulama Hanafiyah
Syarat terjadinya aqad (in’iqad)
- Syarat aqid (orang yang aqad : berakal dan mumayyiz, aqid harus
berbilang atau minimal dapat dilakukan dua orang.
14 Djakfar, Hukum Bisnis, 186

10

-

Syarat dalam aqad : ahli aqad, qabul harus sesuai dengan ijab, ijab dan

-

qabul harus bersatu.
Tempat aqad : harus bersatu atau berhubungan antara ijab dan qabul.
Ma’qud alaih (obyek aqad) : ma’qud alaih harus ada, harta harus ada
tetap dan bernilai yakni benda yang dimanfaatkan, benda tersebut

-

milik sendiri, dapat diserahkan.
Syarat pelaksanaan aqad (nafadz)
Benda dimiliki aqid atau berkuasa untuk aqad.
Pada benda tidak terdapat milik orang lain.
Syarat sah aqad
Syarat umum
a. Segala bentuk jual beli yang didalamnya terhindar dari kecacatan
jual beli, yaitu ketidakjelasan, keterpaksaan, pembatasan dengan
waktu (tauqid), penipuan (gharar), kemadaratan, dan persyaratan
yang merusak lainnya.
b. Apabila barang yang diperjual belikan itu benda bergerak, maka
barang itu langsung dikuasai pembeli dan harga dikuasai penjual.
Sedangkan barang yang tidak bergerak, dapat dikuasai pembeli
setelah surat menyuratnya diselesaikan sesuai dengan kebiasaan

-

-

(‘urf) setempat.15
Syarat khusus
a. Barang yang diperjual belikan harus dapat dipegang
b. Harga awal harus diketahui
c. Serah terima benda harus dilakukan sebelum berpisah
d. Terpenuhi syarat penerimaan
e. Harus seimbang dalam urusan timbangan
f. Barang yang diperjual belikan harus sudah menjadi tanggung
jawabnya.
Syarat lujum (kemestian)
Menurut Fuqaha Malikiyah terdapat tiga macam syarat jual beli,
berkaitan dengan ‘aqid, berkaitan dengan shighat dan syarat yang
berkaitan dengan aqad jual beli :
a. Syarat yang berkaitan dengan ‘aqid: mumayyiz, cakap hukum,
berakal sehat, pemilik barang.
b. Syarat yang berkaitan dengan shighat: dilaksanakan dalam satu
majelis, anatar ijab dan qabul tidak terputus.
Syarat yang berkaitan dengan obyeknya: tidak dilarang oleh syara’.
Suci, bermanfaat, diketahui oleh ‘aqid, dapat diserahterimakan.

15 Ibid., 214

11

4. Hukum Jual Beli
Terdapat lima hukum yang terdapat dalam aqad jual beli yaitu:
Jual beli bisa menjadi wajib ketika dalam keadaan mendesak, bisa menjadi
mandub pada waktu harga mahal, bisa menjadi makruh seperti menjual
mushaf. Berbeda dengan Imam Al-Ghazali, bisa juga menjadi haram jika
menjual anggur kepada orang yang biasa membuat arak, atau kurma basah
kepada orang yang biasa membuat minuman arak walaupun si pembeli
adalah orang kafir dan selain yang diatas hukumnya boleh.

2.5 Macam – Macam Jual Beli
1) Al-Bai, yaitu menukarkan harta dengan harta melalui tata cara tertentu,
atau mempertukarkan sesuatu yang disenangi dengan sesuatu yang lain
melalui tata cara tertentu yang dapat dipahami sebagai al-Bai seperti ijab
dan ta’athi (saling menyerahkan).
2) Al-Sharf adalah jual beli antara barang sejenis atau antara barang tidak
sejenis secara tunai. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam akad al-sharf
adalah:
o Masing-masing pihak saling menyerah-terimakan barang sebelum
keduanya berpisah. Syarat ini untuk menghindar terjadinya riba nasiah.
Jika keduanya atau salah satunya tidak menyerah barang sampai
keduanya berpisah maka akad al-Sharf menjadi batal.
 Jika akad al-sharf dilakukan atas barang sejenis maka harus setimbang,
sekalipun keduanya berbeda kualitas atau model cetakannya.
3) Khiyar syarat tidak berlaku dalam akad al-Sharf. Karena akad ini
sesungguhnya merupakan jual beli dua benda secara tunai.
4) Al-Salam, yaitu akad atas suatu barang dengan kriteria tertentu sebagai
tanggungan tertunda dengan harga yang dibayarkan dalam majlis akad.
Para imam dan tokoh-tokoh madzhab sepakat terhadap enam persyaratan
akad salam sebagai berikut:
 Barang yang dipesan harus dinyatakan secara jelan jenisnya.
 Jelas sifta-sifatnya
 Jelas ukurannya

12

 Jelas batas waktunya


Jelas harganya

 Tempat penyerahannya juga herus dinyatakan secara jelas.
5) Istishna, yaitu akad dengan pihak pengrajin atau pekerja untuk
mengerjakan suatu produk Barang (pesanan) tertentu di mana materi dan
biaya produksi menjadi tanggungjawab pihak pengrajin.karena akad
istishna tidak sesuai dengan kaidah umum jual beli, maka fuqaha
menggantungkan kebolehan akad ini dengan sejumlah syarat sebagai
berikut:
 Obyek akad (atau produk yang dipesan) harus dinyatakan secara rinci:
jenis, ukuran, sifatnya. Syarat ini sangat penting untuk menghilangkan
unsur jihalah dan gharar.
 Produk yang dipesan berupa hasil pekerjaan atau kerajinan yang mana
masyarakat lazim memesannya, seperti sepatu,perabot rumah tangga
dan lain-lain.
 Waktu pengadaan produk tidak dibatasi.
6) Ijarah, yaitu akad atau transaksi terhadap manfaat dengan imbalan atau
transaksi terhadapa manfaat yang dikehendaki secara jelas harta yang
bersifat mubah dan dapat dipertukarkan dengan imbalan tertentu. Tidak
semua harta benda boleh diakadkan ijarah atasnya, kecuali yang
memenuhi persyaratan berikut ini
 Manfaat dari obyek akad harus diketahui secara jelas.
 Obyek ijarah dapat diserahterimakan dan dimanfaatkan secara
langsung dan tidak mengandung cacat yang menghalangi fungsinya.
 Obyek ijarah dan pemanfaatannya haruslah tidak bertentangan dengan
hukum syara.
 Obyek yang disewakan adalah manfaat langsung dari sebuah benda.
 Harta benda yang menjadi obyek ijarah haruslah harta benda yang
bersifat isti’maliy, yakni harta benda yang dapat dimanfaatkan
berulang kali tanpa mengakibatkan kerusakan dzat dan pengurangan
sifatnya.

13

7) Al-Qardh, yaitu penyerahan pemilikan harta al-misliyat kepada orang lain
untuk ditagih pengembalinnya. Syarat utang-piutang adalah:
 Karena utang-piutang sesungguhnya merupakan sebuah transaksi
(akad), maka harus dilaksanakan melalui ijab dan qabul yang jelas,
sebagaimana jual beli, dengan menggunakan lafal qardh, salaf atau
yang sepadan dengannya.
 Akad utang-piutang tidak boleh dikaitkan dengan suatu persyaratan di
luar utang piutang itu sendiri yang menguntungkan pihak muqridh.16

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dapat ditarik kesimpulan bahwasannya hukum kontrak merupakan
suatu perjanjian antara satu orang dengan yang lainnya sesuai dengan
kehendak yang berpengaruh pada objek perikatan.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam menjelaskan bahwa dalam perjanjian
Islam dikenal dengan istilah aqad adalah perikatan, perjanjian, dan
permufakatan yaitu pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul
(pernyataan menerima ikatan).
Jual beli adalah persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni
pihak yang menyerahkan/ menjual barang) dan pembeli (pihak yang
membayar/ membeli barang yang dijual). Jual beli sebagai sarana tolong
menolong sesama manusia, di dalam Islam mempunyai dasar hukum dari AlQur’an dan Hadist. Seperti dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa, 4: 29. Mengacu
16 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), 69-153

14

kepada ayat Al-Qur’an dan Hadist, hukum jual beli adalah mubah (boleh).
Namun pada situasi tertentu, hukum jual beli bisa berubah menjadi sunnah,
haram, dan makruh.
Dalam melakukan transaksi, prinsip yang harus dijunjung adalah tidak
ada kedzhaliman yang dirasa pihak-pihak yang terlibat. Semuanya harus
sama-sama rela dan adil sesuai takarannya. Maka, dari sisi ini transaksi yang
terjadi akan merekatkan ukhuwah pihak-pihak yang terlibat dan diharap agar
bisa tercipta hubungan yang selalu baik. Kecurangan, ketidakjujuran,
menutupi cacat barang, mengurangi timbangan tidak dibenarkan. Atau hal-hal
kecil seperti menggunakan barang tanpa izin, meminjam dan tidak
bertanggungjawab

atas

kerusakan

harus

sangat

diperhatikan

dalam

bermuamalat.

DAFTAR RUJUKAN
Adolf, Huala. 2007. Dasar – Dasar Hukum Kontrak Internasional.
Bandung: PT Refika Aditama.
Djuwaini, Dimyauddin. 2008. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Djakfar, Muhammad. 2013. Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi
Perundangan Nasional dengan Syariah. Malang: UIN Maliki Press.
Fuady, Munir. 1994. Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Bisnis. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti.
S., Burhanuddin. 2009. Hukum Kontrak Syariah. Yogyakarta: BPFE.
Salim. 2003. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia.
Jakarta: Sinar Grafika.

15