JUAL BELI AMANAH DAN JENISNYA
1. Pengertian Amanah (jual beli amanah) Secara bahasa, amanah artinya ithmi`nan
(tenang)
dan
tidak
takut.
Terkadang
kata
amanah
juga
digunakan
untuk
menamakan wadi`ah (barang titipan). (Ibrahim Musthofa, dkk. al-Mu`jam al-Wasith,
as-Syamilah, kata: ) أمن.
Secara istilah, jual beli amanah digunakan untuk menamakan transaksi yang
menuntut kepercayaan bagi penjual, karena dia telah menyampaikan informasi
kepada pembeli yang itu merupakan amanahnya. Karena itu, jual beli amanah
adalah jual beli yang dibangun atas prinsip saling percaya dan amanah antara
kedua belah pihak. (al-Mausu`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementerian Wakaf dan
Urusan Islam Kuwait, 9/48)
Sementara itu, kepercayaan dan amanah ini boleh jadi mengacu pada penjual atau
pembeli, atau kedua-duanya. Misalnya, amanah dan kepercayaan yang mengacu
pada penjual: Dalam sebuah kasus jual-beli, penjual menyampaikan bahwa harga
kulakan barag ini sekian rupiah. Dalam kasus ini penjual dituntut untuk amanah
ketika menyampaikan harga kulakan, sehingga bisa meyakinkan pembeli. Adapun
contoh amanah dan kepercayaan yang mengacu pada pembeli, bisa dipelajari di
pembahasan macam-macam jual beli amanah, bagian pertama: jual beli Wafa'.
2. Jual Beli Musawamah Kebalikan dari jual beli amanah adalah jual beli
musawamah, yaitu jual beli dengan harga yang disepakati kedua belah pihak, tanpa
melihat harga kulakan pembeli. Dalam transaksi ini pembeli bebas menawar harga
barang yang akan dibelinya. Terjadinya jual beli ini sesuai dengan kesepakan kedua
belah pihak. Inilah transaksi jual beli yang umumnya dilakukan di masyarakat. 3.
Macam-macam Jual Beli Amanah Jual beli amanah ada enam macam (AlMausu`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait,
9/48):
Pertama, jual beli wafa' (memenuhi janji)
Jual
beli
wafa'
adalah
jual
beli
dengan
persyaratan
bahwa
jika
penjual
mengembalikan uangnya kepada pembeli maka pembeli harus mengembalikan
barang yang dia beli. Disebut jual beli wafa', karena pembeli harus memenuhi
janjinya, berdasarkan persyaratan di awal transaksi. Sementara transaksi ini
dimasukkan dalam jual beli amanah, karena barang dagangan yang telah dibeli,
menjadi amanah bagi pembeli untuk dikembalikan ke penjual jika penjual
mengembalikan uangnya. Dan pembeli tidak boleh menjual barang tersebut kepada
orang lain, selain dikembalikan ke penjualnya. Karena itu, pada hakekatnya, dalam
transaksi ini tidak ada keinginan jual beli di antara kedua belah pihak. Jika setelah
transaksi, barang yang dibawa pembeli itu rusak atau hilang, namun bukan karena
keteledoran pembeli maka masing-masing tidak punya tanggung jawab apapun.
Karena pembeli telah menunaikan amanah kepada penjual. Sebaliknya, apabila
penjual meninggal dunia sebelum dia serahkan uangnya maka tanggung jawab
diserahkan
kepada
ahli
warisnya.
(Al-Mausu`ah
al-Fiqhiyah
al-Kuwaitiyah,
Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, 9/48)
Contoh: A membeli rumah dari B dengan harga 1 M. Dengan syarat, jika B
mengembalikan mampu mengembalikan uang 1 M kepada A maka rumahnya akan
dikembalikan kepada B. Selama rumah ini ada di tangan A maka dia tidak
diperbolehkan memindahkan kepemilikan rumah tersebut kepada orang lain dengan
cara apapun, baik dijual, dihadiahkan, dihibahkan, diwakafkan, atau diwariskan.
Karena hakekatnya, B tidak berniat menjual rumahnya, sebaliknya A dipaksa untuk
tidak serius dalam membeli rumah tersebut.
Sebagian ulama mazhab hanaf, menyebut jual beli ini dengan rahn (gadai),
sehingga semua hukumnya sama dengan hukum gadai. Sementara Malikiyah
menamakan jual beli ini dengan Bai` at-Tsnaya (jual beli Tsanaya) dan Syaf`iyah
menyebut transaksi ini dengan Bai` al-`Ahdah (jual beli al-`Ahdah).
Mengenai hukumnya, Malikiyah, Hambali, ulama Hanafiyah serta Syafi`iyah
zaman dulu berpendapat bahwa jual beli wafa' adalah jual beli yang fasid
(tidak dianggap). Karena dalam jual beli ini ditiadakan konsekwensi transaksi jual
beli, yaitu berpindahnya kepemilikan barang. Sementara ulama muta'akhirin di
kalangan mazhab Hanafiyah dan Syafi`iyah berpendapat bolehnya jual beli
wafa`. Karena hakekat jual beli ini adalah transaksi rahn (gadai).
Kedua, jual beli Murabahah
Murabahah diambil dari kata: Ribh, yang artinya untung.
Secara istilah bai` Murabahah adalah menjual barang dengan harga kulakan
ditambah keuntungan yang disepakati antara kedua belah pihak.
Contoh: A membeli rumah dengan harga 1 M. Datang B mau membeli rumah
tersebut. Si A memberi tahu harga dia membeli rumah (1 M) dan bersedia dijual
kepada B, jika si B mau memberi keuntungan 10 jt. Setelah sepakat, keduanya
bertransaksi. Para ulama menegaskan bolehnya transaksi murabahah.
Namun ulama mazhab malikiyah berpendapat bahwa jual beli ini kurang
afdhal. Yang lebih baik adalah tidak disebutkan harga kulakan dan
untungnya. Transaksi murabahah dimasukkan dalam jual beli amanah, karena
penjual menyampaikan harga beli (kulakan) barang tersebut. Sehingga penjual
dituntut untuk amanah dalam memberikan informasi tentang harga belinya.
Mengenai macam-macamnya, syaratnya, dan rincian hukumnya, akan dibahas
tersendiri dalam tema: Murabahah.
Ketiga, jual beli Tauliyah
Tauliyah secara bahasa berasal dari kata: walla, yang artinya memberi wewenang.
Tauliyah berarti memberi wewenang kepada orang lain untuk memiliki atau
menggunakan suatu barang.
Secara istilah, jual beli Tauliyah adalah seseorang menjual barang kepada orang lain
dengan harga yang sama dengan harga belinya, dan penjual menyampaikan harga
belinya kepada pembeli.
Contoh: A membeli motor dengan harga 6 jt. A memberi tahu B bahwa dia membeli
motor tersebut seharga 6 jt. Dia tawarkan motornya kepada B dengan harga yang
sama, tanpa mengambil keuntungan sedikitpun. Transaksi ini dimasukkan dalam
bai` amanah karena dalam transaksi ini, penjual menyampaikan harga belinya. Hal
ini menuntut adanya amanah dari penjual tentang kebenaran informasi yang dia
sampaikan.
Mengenai
hukum
pembahasan Tauliyah.
Keempat, jual beli wadhi`ah
dan
syarat
selengkapnya,
bisa
dipelajari
di
Wadhi`ah secara bahasa artinya kerugian. Bisa juga digunakan untuk menamakan
pajak yang diambil oleh pemerintah. Secara istilah, wadhi`ah berarti menjual
barang dengan harga yang lebih rendah dari pada harga beli dan pembeli diberi
tahu tentang harga belinya. Sehingga sistem jual beli ini merupakan kebalikan dari
jual beli murabahah. Jual beli wadhi`ah sering juga dinamakan dengan jual beli
muhathah, hathitah, mukhasarah, dan muwadha`ah.
Contoh: A membeli motor seharga 10 jt. Dia memberi tahu B tentang hal ini. Dia
tawarkan motornya kepada B dengan harga 8 jt. Sehingga A menanggung kerugian
2 jt.
Kelima, jual beli mustarsal
Mustarsal artinya dilepas. Sedangkan maksud jual beli mustarsal adalah seseorang
penjual mengatakan kepada pembeli: Saya jual barang ini dengan harga pasar atau
sebagaimana harga umumnya masyarakat atau dengan harga yang berlaku hari ini
atau dengan harga sebagaimana yang akan ditentukan oleh si fulan, dst. Orang
yang melakukan transaksi ini tidak mengetahui harga barang dan tidak bisa saling
tawar menawar. Para ulama sepakat bahwa jual beli ini sah. Hanya saja mereka
berselisih pendapat, apakah pembeli dan penjual memiliki hak khiyar ataukah tidak.
Keenam, jual beli talji`ah
Secara bahasa talji`ah diambil dari kata: ilja` yang artinya memaksa.
Secara istilah, bantuk transaksi talji`ah hanya bisa digambarkan dengan contoh,
sebagai berikut: Dalam sebuah kasus, A mendapat ancaman dari orang lain, bahwa
dirinya akan dibunuh. Karena ketakutan, A melarikan diri dan menjual seluruh
hartanya kepada B dengan penuh keterpaksaan. Dengan syarat, selama barang ini
ada di tangan B maka B tidak boleh menjualnya atau memberikannya kepada orang
lain, dan jika A bisa mengembalikan uangnya B (seharga barang yang dia beli)
maka B wajib mengembalikan barangnya. (Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Dar atTsaqafah al-Islamiyah, jilid 3, hal. 101)
Bahkan terkadang jual beli ini dilakukan tanpa harga yang ditetapkan, atau dengan
harga yang sangat murah. Karena pada hakekatnya, penjual tidak ingin menjual
barangnya. Sebagian ulama menegaskan tidak sahnya jual beli semacam
ini. Ibnu Qudamah mengatakan: “Jual beli talji`ah bathil (tidak sah)”. (Ibnu
Qudamah, al-Mughni, Dar al-Fikr, Beirut, 1405 H, jilid 4, hal. 300)
4. Hukum Khianat dalam Jual Beli Amanah
Pada dasarnya jual beli ini dibangun atas prinsip saling percaya dan amanah.
Hukum untuk kasus khianat pada jual beli amanah, dikembalikan kepada masingmasing kasus. Artinya hukumnya berbeda-beda sesuai dengan kasusnya.
Pertama, khianat dalam transaksi murabahah dan tauliyah
Bentuk khianat dalam transaksi murabahah atau tauliyah ada dua kemungkinan:
a. Khianat dalam cara pembayaran. Misalnya A membeli motor secara kredit
seharga 10 jt, kemudian dia memberi tahu B bahwa A membeli motor ini 10 jt,
namun tidak kreditnya dia rahasiakan. Jika B mau beli maka harganya 11 jt tunai.
Beberapa hari setelah transaksi B baru mengetahui bahwa motor itu kredit. Dalam
kasus semacam ini, B memiliki hak untuk memilih berdasarkan kesepakatan ulama.
Dia berhak untuk melanjutkan dan menghentikan transaksi. Karena transaksi
murabahah dibangun atas prinsip amanah. Pembeli telah menaruh kepercayaan
kepada penjual tentang informasi harga yang dia berikan. Sehingga jika syarat
amanah dalam jual beli ini tidak terpenuhi maka ada hak khiyar.
b. Khianat dalam informasi harga
Misalnya A membeli HP seharga 500 rb. Kemudian dia memberi tahu B bahwa dia
beli HP tersebut 700 rb. Si B boleh membeli HP ini jika dia membayar 700 rb,
dengan harapan agar B beranggapan bahwa A tidak mengambil untung Hpnya.
Setelah beberapa hari, B baru sadar bahwa aslinya dia membeli HP tersebut 500 rb
bukan 700 rb.
Dalam kasus semacam ini, ulama berbeda pendapat dalam hukumnya:
1. Syaf`iyah, Hambali, dan Imam Abu Yusuf berpendapat bahwa pembeli tidak
memiliki hak khiyar. Namun dia mengambil jatah karena khianat.
2. Abu Hanifah mengatakan: bahwa pembeli memiliki hak khiyar. Dia boleh
mengambil seluruh uang yang dia bayarkan (membatalkan transaksi). Namun untuk
jual beli tauliyah, tidak ada hak khiyar untuk pembeli. Dia boleh mengurangi harga
barang sebatas khianatnya dan dia beli dengan harga sisanya.
3. Muhammad bin Hasan dan pendapat lain dalam mazhab Syaf`iyah, bahwa jika
terjadi khianat dalam informasi harga, pembeli memiliki hak khiyar untuk transaksi
murabahah maupun tauliyah.
Kedua, khianat dalam transaksi mustarsal
Bentuknya, misalnya sesuai perjanjian untuk dijual sesuai harga pasar, ternyata dia
dibohongi dengan harga yang lebih tinggi dari umumnya masyarakat maka pembeli
memiliki hak khiyar. Rujukan: * Al-Mu`jam al-Wasith, Ibrahim Musthofa, dkk., AsSyamilah. * Al-Mausu`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementerian Wakaf dan Urusan
Islam Kuwait, Kuwait, 1427. * Fiqh Sunnah, Sayid sabiq, Dar at-Tsaqafah alIslamiyah. * Al-Mughni, Ibnu Qudamah, Dar al-Fikr, Beirut, 1405 H
(tenang)
dan
tidak
takut.
Terkadang
kata
amanah
juga
digunakan
untuk
menamakan wadi`ah (barang titipan). (Ibrahim Musthofa, dkk. al-Mu`jam al-Wasith,
as-Syamilah, kata: ) أمن.
Secara istilah, jual beli amanah digunakan untuk menamakan transaksi yang
menuntut kepercayaan bagi penjual, karena dia telah menyampaikan informasi
kepada pembeli yang itu merupakan amanahnya. Karena itu, jual beli amanah
adalah jual beli yang dibangun atas prinsip saling percaya dan amanah antara
kedua belah pihak. (al-Mausu`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementerian Wakaf dan
Urusan Islam Kuwait, 9/48)
Sementara itu, kepercayaan dan amanah ini boleh jadi mengacu pada penjual atau
pembeli, atau kedua-duanya. Misalnya, amanah dan kepercayaan yang mengacu
pada penjual: Dalam sebuah kasus jual-beli, penjual menyampaikan bahwa harga
kulakan barag ini sekian rupiah. Dalam kasus ini penjual dituntut untuk amanah
ketika menyampaikan harga kulakan, sehingga bisa meyakinkan pembeli. Adapun
contoh amanah dan kepercayaan yang mengacu pada pembeli, bisa dipelajari di
pembahasan macam-macam jual beli amanah, bagian pertama: jual beli Wafa'.
2. Jual Beli Musawamah Kebalikan dari jual beli amanah adalah jual beli
musawamah, yaitu jual beli dengan harga yang disepakati kedua belah pihak, tanpa
melihat harga kulakan pembeli. Dalam transaksi ini pembeli bebas menawar harga
barang yang akan dibelinya. Terjadinya jual beli ini sesuai dengan kesepakan kedua
belah pihak. Inilah transaksi jual beli yang umumnya dilakukan di masyarakat. 3.
Macam-macam Jual Beli Amanah Jual beli amanah ada enam macam (AlMausu`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait,
9/48):
Pertama, jual beli wafa' (memenuhi janji)
Jual
beli
wafa'
adalah
jual
beli
dengan
persyaratan
bahwa
jika
penjual
mengembalikan uangnya kepada pembeli maka pembeli harus mengembalikan
barang yang dia beli. Disebut jual beli wafa', karena pembeli harus memenuhi
janjinya, berdasarkan persyaratan di awal transaksi. Sementara transaksi ini
dimasukkan dalam jual beli amanah, karena barang dagangan yang telah dibeli,
menjadi amanah bagi pembeli untuk dikembalikan ke penjual jika penjual
mengembalikan uangnya. Dan pembeli tidak boleh menjual barang tersebut kepada
orang lain, selain dikembalikan ke penjualnya. Karena itu, pada hakekatnya, dalam
transaksi ini tidak ada keinginan jual beli di antara kedua belah pihak. Jika setelah
transaksi, barang yang dibawa pembeli itu rusak atau hilang, namun bukan karena
keteledoran pembeli maka masing-masing tidak punya tanggung jawab apapun.
Karena pembeli telah menunaikan amanah kepada penjual. Sebaliknya, apabila
penjual meninggal dunia sebelum dia serahkan uangnya maka tanggung jawab
diserahkan
kepada
ahli
warisnya.
(Al-Mausu`ah
al-Fiqhiyah
al-Kuwaitiyah,
Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, 9/48)
Contoh: A membeli rumah dari B dengan harga 1 M. Dengan syarat, jika B
mengembalikan mampu mengembalikan uang 1 M kepada A maka rumahnya akan
dikembalikan kepada B. Selama rumah ini ada di tangan A maka dia tidak
diperbolehkan memindahkan kepemilikan rumah tersebut kepada orang lain dengan
cara apapun, baik dijual, dihadiahkan, dihibahkan, diwakafkan, atau diwariskan.
Karena hakekatnya, B tidak berniat menjual rumahnya, sebaliknya A dipaksa untuk
tidak serius dalam membeli rumah tersebut.
Sebagian ulama mazhab hanaf, menyebut jual beli ini dengan rahn (gadai),
sehingga semua hukumnya sama dengan hukum gadai. Sementara Malikiyah
menamakan jual beli ini dengan Bai` at-Tsnaya (jual beli Tsanaya) dan Syaf`iyah
menyebut transaksi ini dengan Bai` al-`Ahdah (jual beli al-`Ahdah).
Mengenai hukumnya, Malikiyah, Hambali, ulama Hanafiyah serta Syafi`iyah
zaman dulu berpendapat bahwa jual beli wafa' adalah jual beli yang fasid
(tidak dianggap). Karena dalam jual beli ini ditiadakan konsekwensi transaksi jual
beli, yaitu berpindahnya kepemilikan barang. Sementara ulama muta'akhirin di
kalangan mazhab Hanafiyah dan Syafi`iyah berpendapat bolehnya jual beli
wafa`. Karena hakekat jual beli ini adalah transaksi rahn (gadai).
Kedua, jual beli Murabahah
Murabahah diambil dari kata: Ribh, yang artinya untung.
Secara istilah bai` Murabahah adalah menjual barang dengan harga kulakan
ditambah keuntungan yang disepakati antara kedua belah pihak.
Contoh: A membeli rumah dengan harga 1 M. Datang B mau membeli rumah
tersebut. Si A memberi tahu harga dia membeli rumah (1 M) dan bersedia dijual
kepada B, jika si B mau memberi keuntungan 10 jt. Setelah sepakat, keduanya
bertransaksi. Para ulama menegaskan bolehnya transaksi murabahah.
Namun ulama mazhab malikiyah berpendapat bahwa jual beli ini kurang
afdhal. Yang lebih baik adalah tidak disebutkan harga kulakan dan
untungnya. Transaksi murabahah dimasukkan dalam jual beli amanah, karena
penjual menyampaikan harga beli (kulakan) barang tersebut. Sehingga penjual
dituntut untuk amanah dalam memberikan informasi tentang harga belinya.
Mengenai macam-macamnya, syaratnya, dan rincian hukumnya, akan dibahas
tersendiri dalam tema: Murabahah.
Ketiga, jual beli Tauliyah
Tauliyah secara bahasa berasal dari kata: walla, yang artinya memberi wewenang.
Tauliyah berarti memberi wewenang kepada orang lain untuk memiliki atau
menggunakan suatu barang.
Secara istilah, jual beli Tauliyah adalah seseorang menjual barang kepada orang lain
dengan harga yang sama dengan harga belinya, dan penjual menyampaikan harga
belinya kepada pembeli.
Contoh: A membeli motor dengan harga 6 jt. A memberi tahu B bahwa dia membeli
motor tersebut seharga 6 jt. Dia tawarkan motornya kepada B dengan harga yang
sama, tanpa mengambil keuntungan sedikitpun. Transaksi ini dimasukkan dalam
bai` amanah karena dalam transaksi ini, penjual menyampaikan harga belinya. Hal
ini menuntut adanya amanah dari penjual tentang kebenaran informasi yang dia
sampaikan.
Mengenai
hukum
pembahasan Tauliyah.
Keempat, jual beli wadhi`ah
dan
syarat
selengkapnya,
bisa
dipelajari
di
Wadhi`ah secara bahasa artinya kerugian. Bisa juga digunakan untuk menamakan
pajak yang diambil oleh pemerintah. Secara istilah, wadhi`ah berarti menjual
barang dengan harga yang lebih rendah dari pada harga beli dan pembeli diberi
tahu tentang harga belinya. Sehingga sistem jual beli ini merupakan kebalikan dari
jual beli murabahah. Jual beli wadhi`ah sering juga dinamakan dengan jual beli
muhathah, hathitah, mukhasarah, dan muwadha`ah.
Contoh: A membeli motor seharga 10 jt. Dia memberi tahu B tentang hal ini. Dia
tawarkan motornya kepada B dengan harga 8 jt. Sehingga A menanggung kerugian
2 jt.
Kelima, jual beli mustarsal
Mustarsal artinya dilepas. Sedangkan maksud jual beli mustarsal adalah seseorang
penjual mengatakan kepada pembeli: Saya jual barang ini dengan harga pasar atau
sebagaimana harga umumnya masyarakat atau dengan harga yang berlaku hari ini
atau dengan harga sebagaimana yang akan ditentukan oleh si fulan, dst. Orang
yang melakukan transaksi ini tidak mengetahui harga barang dan tidak bisa saling
tawar menawar. Para ulama sepakat bahwa jual beli ini sah. Hanya saja mereka
berselisih pendapat, apakah pembeli dan penjual memiliki hak khiyar ataukah tidak.
Keenam, jual beli talji`ah
Secara bahasa talji`ah diambil dari kata: ilja` yang artinya memaksa.
Secara istilah, bantuk transaksi talji`ah hanya bisa digambarkan dengan contoh,
sebagai berikut: Dalam sebuah kasus, A mendapat ancaman dari orang lain, bahwa
dirinya akan dibunuh. Karena ketakutan, A melarikan diri dan menjual seluruh
hartanya kepada B dengan penuh keterpaksaan. Dengan syarat, selama barang ini
ada di tangan B maka B tidak boleh menjualnya atau memberikannya kepada orang
lain, dan jika A bisa mengembalikan uangnya B (seharga barang yang dia beli)
maka B wajib mengembalikan barangnya. (Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Dar atTsaqafah al-Islamiyah, jilid 3, hal. 101)
Bahkan terkadang jual beli ini dilakukan tanpa harga yang ditetapkan, atau dengan
harga yang sangat murah. Karena pada hakekatnya, penjual tidak ingin menjual
barangnya. Sebagian ulama menegaskan tidak sahnya jual beli semacam
ini. Ibnu Qudamah mengatakan: “Jual beli talji`ah bathil (tidak sah)”. (Ibnu
Qudamah, al-Mughni, Dar al-Fikr, Beirut, 1405 H, jilid 4, hal. 300)
4. Hukum Khianat dalam Jual Beli Amanah
Pada dasarnya jual beli ini dibangun atas prinsip saling percaya dan amanah.
Hukum untuk kasus khianat pada jual beli amanah, dikembalikan kepada masingmasing kasus. Artinya hukumnya berbeda-beda sesuai dengan kasusnya.
Pertama, khianat dalam transaksi murabahah dan tauliyah
Bentuk khianat dalam transaksi murabahah atau tauliyah ada dua kemungkinan:
a. Khianat dalam cara pembayaran. Misalnya A membeli motor secara kredit
seharga 10 jt, kemudian dia memberi tahu B bahwa A membeli motor ini 10 jt,
namun tidak kreditnya dia rahasiakan. Jika B mau beli maka harganya 11 jt tunai.
Beberapa hari setelah transaksi B baru mengetahui bahwa motor itu kredit. Dalam
kasus semacam ini, B memiliki hak untuk memilih berdasarkan kesepakatan ulama.
Dia berhak untuk melanjutkan dan menghentikan transaksi. Karena transaksi
murabahah dibangun atas prinsip amanah. Pembeli telah menaruh kepercayaan
kepada penjual tentang informasi harga yang dia berikan. Sehingga jika syarat
amanah dalam jual beli ini tidak terpenuhi maka ada hak khiyar.
b. Khianat dalam informasi harga
Misalnya A membeli HP seharga 500 rb. Kemudian dia memberi tahu B bahwa dia
beli HP tersebut 700 rb. Si B boleh membeli HP ini jika dia membayar 700 rb,
dengan harapan agar B beranggapan bahwa A tidak mengambil untung Hpnya.
Setelah beberapa hari, B baru sadar bahwa aslinya dia membeli HP tersebut 500 rb
bukan 700 rb.
Dalam kasus semacam ini, ulama berbeda pendapat dalam hukumnya:
1. Syaf`iyah, Hambali, dan Imam Abu Yusuf berpendapat bahwa pembeli tidak
memiliki hak khiyar. Namun dia mengambil jatah karena khianat.
2. Abu Hanifah mengatakan: bahwa pembeli memiliki hak khiyar. Dia boleh
mengambil seluruh uang yang dia bayarkan (membatalkan transaksi). Namun untuk
jual beli tauliyah, tidak ada hak khiyar untuk pembeli. Dia boleh mengurangi harga
barang sebatas khianatnya dan dia beli dengan harga sisanya.
3. Muhammad bin Hasan dan pendapat lain dalam mazhab Syaf`iyah, bahwa jika
terjadi khianat dalam informasi harga, pembeli memiliki hak khiyar untuk transaksi
murabahah maupun tauliyah.
Kedua, khianat dalam transaksi mustarsal
Bentuknya, misalnya sesuai perjanjian untuk dijual sesuai harga pasar, ternyata dia
dibohongi dengan harga yang lebih tinggi dari umumnya masyarakat maka pembeli
memiliki hak khiyar. Rujukan: * Al-Mu`jam al-Wasith, Ibrahim Musthofa, dkk., AsSyamilah. * Al-Mausu`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementerian Wakaf dan Urusan
Islam Kuwait, Kuwait, 1427. * Fiqh Sunnah, Sayid sabiq, Dar at-Tsaqafah alIslamiyah. * Al-Mughni, Ibnu Qudamah, Dar al-Fikr, Beirut, 1405 H