HUBUNGAN ANTARA EVOLUSI SOSIAL BUDAYA MA

BAB I
PENDAHULUAN
I.a. Latar belakang
Arkeologi merupakan cabang ilmu pengetahuan tentang manusia
(dan alam) yang berusaha mempelajari kronologi, corak(bentuk) dan
proses kehidupan manusia yang pernah berlangsung disuatu tempat,
beserta gambaran lingkungan hidupnya, melalui sisa sisa kehidupan dan
aktivitas yang ditinggalkannya. Sisa-sisa tersebut dipakai sebagai data
primer untuk mengungkap berbagai aspek kehidupan yang pernah ada
termasuk bentuk-bentuk keterkaitan antar masing-masing aspek tersebut.(
J.S.E. Yuwono, 2013:1)
Pada hakikatnya arkeologi memiliki sifat umum meliputi:
1. Rekonstruksi sejarah budaya/cultural history
2. Rekonstruksi cara hidup
3. Penggambaran proses budaya(cultural proses
Rekonstruksi cara sejarah budaya membahas apa, kapan, dan
dimana budaya yang sedang berkembang sebagai data arkeologis secara
teoritis dalam urutan temporal, hasilnya berupa gambaran yang sifatnya
paling umum. Rekonstruksi cara hidup menjelaskan bagaimana perilaku
manusia dibalik data artefaktual, hubungannya adalah bagaimana fungsi,
cara membuat dan menggunakan suatu artefak. Sifatnya lebih khusus

berkaitan dengan subsistensi tertentu. Penggambaran proses budaya
bertujuan mengenai kesinabungan suatu budaya antar masing-masing
tahap kehidupan, sehingga mendapatkan gambaran proses yang melatarbelakangi perubahan budaya.

1

Sebagai upaya merekonstruksi ke-3 hal diatas, David L. Clarke
mengemukakan empat paradigma meliputi ( Clarke 1972 dan Tanudirjo
1992):
1. Paradigma Morfologis
Mengkaji data arkeologis sebagai data itu sendiri. Kajian utamanya
berupa tingkatan data beserta hubungannya masing-masing.
Paradigma seperti ini menghasilkan klasifikasi, tipologi dan seriasi
data
2. Paradigma Antropologis
Mengkaji hubungan antara data arkeologis, pola, dan atau
keragamannya dengan pola keragaman aspek sosial-budaya yang
melatar belakangi keberadaan tersebut.
3. Paradigma Ekologis
Mengkaji hubungan antara data arkeologis, terutama yang

berhubungan dengan lingkungan seperti sisa flora dan fauna,
dengan

lingkungan

pembentuknya.

Paradigma

ini

lebih

menekankan pada aspek-aspek adaptasi manusia atau masyarakat
terhadap lingkungan tempat hidupnya, baik lingkungan abiotik
maupun biotik.
4. Paradigma Geografis
Lebih memusatkan perhatiannya pada kajian keruangan dalam
kaitannya dengan pola aktivitas didalam atau di antara situs-situs
dalam suatu bentang lahan tertentu, seperti pola distribusi data dan

situs.
Keempat

paradigma

diatas

manjelaskan

bahwa

arkeologi

merupakan ilmu pengetahuan tentang materi, budaya tingkah laku, dan
budaya ide. Untuk mengungkap aspek ide dan tingkah laku dan ide yang
mendasari keberadaannya, sehingga budaya materi harus didudukan
dalam tiga dimensi yaitu dimensi bentuk(formal), waktu( temporal) dan
dimensi ruang(spasial) (spaulding, 1971). Dengan demikian kajian
arkeologi erat kaitannya dengan lingkungan yang mendasari suatu


2

kebudayaan. Kita tidak dapat membicarakan dimensi spasial tanpa tahu
persebaran yang menjadi lingkup kajian itu sendiri. Dalam keempat
paradigma diatas banyak menyebutkan aspek aspek lingkungan baik
abiotik dan biotik yang menjadi bahasan arkeologi. Lingkungan dan cara
hidup manusia yang menjadi objek kajian arkeologi saling mempengaruhi
satu sama lain dan terjadi hubungan timbal balik keduanya, dari
hubungan itu dapat diketahui bagaimana deskripsi tentang perubahan
konteks fisik dan bilogis dari kehadiran manusia . Untuk itu, perlu adanya
studi mengenai lingkungan masa lalu dalam aspek arkeologi. Tujuannya
sudah jelas bahwa kajian arkeologi tidak dapat berdiri sendiri, dan
pendekatan dari berbagai cabang ilmu lain sangat berperan.
Studi arkeologi lingkungan coba merekonstruksi bagaimana
gambaran masalalu. Termasuk juga di dalamnya mengenai, hubungan
timbal balik antara lingkungan dan manusia. Studi ini juga membahas
tentang cara manusia menggunakan lingkungan masalalu. Lingkungan
yang dimaksud merupakan gambaran lingkungan secara fisik beserta
hewan dan tumbuhan sebagai komponen biotik yang ikut mendukung
proses berlangsungnya kehidupan manusia. Dalam bahasan yang lebih

mendalam

lagi,

arkeologi

lingkungan

membahas

pula

tentang

zooarkeologi, botani arkeologi, dan arkeologi permukiman.

Sumber

untuk mengkaji arkeologi lingkungan adalah semua data arkeologi,
termasuk juga 3 basic data : artefak, ekofak, fitur.

Sebagai salah satu studi dalam disiplin ilmu arkeologi, arkeologi
lingkungan diharapkan dapat menjadi acuan, untuk mempelajari
bagaimana masalalu-manusia-lingkungan berjalan dan berkembang. Salah
satu wilayah yang cukup menarik yang dapat menjadi bahasan arkeologi
lingkungan adalah Mojokerto. Wilayah Kabupaten Mojokerto terletak di
antara 1110 20’13” sampai dengan 111040’47” bujur timur dan antar
7018’35” sampai dengan 70 47” lintang selatan, dengan luas wilayah
692,15 km2 . Secara geografis Kabupaten Mojokerto tidak berbatasan
dengan pantai, hanya berbatasan dengan wilayah Kabupaten lainnya ;
3

Sebelah Utara: Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Gresik; Sebelah
Timur: Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Pasuruan; Sebelah Selatan :
Kabupaten Malang; Sebelah Barat : Kabupaten Jombang. Disamping itu
wilayah Kabupaten Mojokerto juga mengitari wilayah Kota Mojokerto
yang terletak ditengah-tengah wilayah Kabupaten Mojokerto. Topografi
wilayah Kabupaten Mojokerto cenderung di tengah dan tinggi di bagian
selatan dan utara. Bagian selatan merupakan wilayah pegunungan yang
subur, meliputi Kecamatan Pacet, trawas, Gondang dan jatirejo. Bagian
tengah merupakan wilayah dataran, sedangkan bagian utara merupakan

daerah perbukitan kapur yang kurang subur. Mojokerto dilalui empat
aliran sungai yang cukup potensial yakni; sungai brantas, brankal, sadar,
gedeg. Dengan lingkungan fisik yang demikian, cukup memberikan
gambaran mengenai banyaknya potensi situs arkeologi di sekitaran
wilayah Mojokerto. Seperti di daerah trowulan yang merupakan kipas
aluvial yang dikelilingi gunung api dan sungai, sehingga potensi situs di
daerah ini cukup beragam. Latar belakang pemilihan Mojokerto sebagai
kajian arkeologi lingkungan didasarkan pada, Temuan arkeologis di
daerah Mojokerto cukup

beragam dan melimpah. Selain itu, daerah ini

memiliki tinggalan arkeologis yang dapat menunjukkan tahapan
perkembangan atau sejarah budaya manusia masa lampau. Dan, latar
belakang lingkungan yang beragam di daerah ini mempengaruhi karakter
budaya dalam tiap tahapan budaya.

I.b. Rumusan masalah



Adakah pengaruh lingkungan terhadap sejarah budaya dan proses
budaya?

4



Adakah perubahan yang terjadi pada konteks fisik dan bilogis dengan



berlangsungnya kehidupan manusia?
Adakah keterkaitan antara lingkungan dan manusia pada proses
perubahan budaya?

I.c. Tujuan
Merekonstruksi bentuk, temporal dan spasial perubahan konteks
fisik dan biologis lingkungan masalalu berkaitan dengan berlangsungnya
kehidupan manusia dan hasil budayanya.


BAB II
GAMBARAN UMUM MOJOKERTO
5

II. a. Lingkungan
Gambaran lingkungan wilayah Mojokerto secara umum dibagi berdasarkan
periodisasi, yakni Mojokerto masa Purba, Pra-Majapahit, Majapahit, Kolonial dan
Islam. Periodesasi ini dibuat berdasarkan pembabakan umum dalam arkeologi dengan
sedikit catatan pembeda pada masa klasik dengan penyebutan masa Majapahit dan
Pra-Majapahit berdasarkan pertimbangan wilayah Mojokerto yang dipercaya sebagai
pusat pemerintahan kerajaan Majapahit yang memiliki karakter data Arkeologi
beragam dan kompleks. Secara fisik, gambaran lingkungan Mojokerto masa purba
berupa daerah ber-iklim agak panas dan lembab. Pada masa ini lingkungan Mojokerto
berupa daerah padang rumput yang berada pada sekitar aliran sungai dan delta sungai,
lingkungan bakau (pohon mangrove)

disepanjang pantai, rawa-rawa sepanjang

sungai dan vegetasi hutan pegunungan. Hutan di daerah Mojokerto berupa hutan
tropic musiman (Ripley, 1979 : 20-21) dengan flora peralihan yang dapat dikonsumsi

buahnya, karena hutan ini merupakan transisi antara hutan hujan tropic dengan
padang rumput (Daud T, 1985: 76). Wilayah Mojokerto purba juga dilewati aliran
sungai brantas yang menjadi penyokong kehidupan pada masa itu yang di huni oleh
Homo modjokertensis dan fauna seperti Hippopotamus namadicus, Buffalus
Bubalusvar, Sondaicus, Sus Brachygnathus (babi ).
Pada masa selanjutnya, yakni masa Pra-Majapahit, perkembangan lingkungan
Mojokerto banyak dipengaruhi munculnya kerajaan yang berkuasa dari masa Sri
Isana (Pu Sindok), Dharmawangsa Airlangga dan Kerajaan Singhasari secara
bergantian. Bangunan suci banyak didirikan sebagai salah satu kelengkapan sebuah
kerajaan. Wilayah administrasi dibentuk seperti wanua/desa dan watak/ kabupaten.
Tanah olahan berupa sawah banyak disebutkan sebagai tanah sima. Dengan adanya
sistem kerajaan, sedikit tidaknya memperoleh gambaran bahwa pada masa itu
lingkunan fisik berbentuk hunian mengelompok berupa desa atau yang lebih besar
lagi kota. Adanya tanah yang diolah menjadi pesawahan membuktikan bahwa flora
masa itu hasil bercocok tanam dengan membuka lahan pertanian. Hutan yang ada
dialih fungsikan untuk menghasilkan tanaman pertanian. Pengolahan sawah
6

mengindikasikan bahwa sudah ada domestikasi hewan seperti sapi atau kerbau untuk
membajak sawah, juga hewan peternakan lainnya. Selain itu, adanya pengelolaan

lahan sawah dan pemukiman menunjukan adanya ubahan lahan untuk irigasi atau
perairan.
Masa kerajaan majapahit sekitar (13- 16M), beberapa temuan seperti tulang
gigi kerbau, ayam dan anjing semakin menghindikasikan adanya domestikasi fauna.
Flora pada masa ini berupa hasil bercocok tanam, yakni padi, pala wija dan buahbuahan. Lingkungan kerajaan Majapahit ini masuk kedalam daerah Mojokerto yang
terbentuk dari depresi fluvio-vulkanik dengan karakter yang terbentuk pada ujung
kipas aluvial. Bentuk lahannya tersusun tersusun atas endapan vulkanik dari gunung
welirang, anjasmoro dan sekitarnya sedangkan bentuklahan fluvial terbentuk dari
sedimentasi aliran sungai (Sutikno, 1992). Temuan monumental yang terbuat dari
bata merah menunjukan kandungan tanah lempung yang berlimpah dan mampu
memenuhi kebutuhan untuk membuat bangunan arsitektural.

Peta Lokasi Trowulan yang Terletak Diujung Kipas Fluvio-vulkanik Jatirejo
(Repro: Yuwono, 2009)
Perkembangan dimasa selanjutnya, yakni masa kolonial. Kota mojokerto
berada di delta sungai brantas yang keadaannya cukup subur untuk budidaya padi dan
tebu, secara umum tanah di Mojokerto banyak mengandung air (becek). Lingkungan
fisik berupa pemukiman pada tahun 1830an dengan bangunan-bangunan yang belum
permanen atau tidak terdapat rumah batu di Mojokerto. Sekitar tahun 1830 – 1893
7

mulai muncul bangunan asisten residen dan bupati dengan segala kelengkapan seperti
bangunan ibadah, penjara, gedung sekolah dan pabrik gula milik belanda. Jalan jalan
dan jaringan rel kereta dibangun melewati perkebunan dan toko toko utama serta alun
alun. Beberapa wilayah diberi batas antara pribumi dan kaum koloni. Flora masa
iniyang dominan berupa hasil perkebunan seperti tebu.
Masa islam, islam di Mojokerto sudah dikenal sejak masa majapahit, sehingga
gambaran fisik tidak jauh berbeda pada masa majapahit dan masa selanjutnya yakni
kolonial, namun secara umum, pada masa islam ini perkembangan lingkungannya
mengarah pada perdagangan didaerah pesisir dan pelabuhan. Pada daerah tersebut
banyak bermunculan tempat tinggal muslim. Flora yang ada berupa hasil pertanian
dan perkebunan komoditi ekspor. Fauna yang dominan berupa hewan domestikasi
seperti ayam dan sapi.

Gambaran paleogeografi Perning, Mojokerto (Repro: Huffman & Zaim, 2003)
II. b. Data Arkeologis yang Ditemukan
Pada masa prasejarah atau masa purba, temuan fosil Homo Mojokertensis
sangat dominan, fosil fosil hominid ini banyak terendapkan kembali di delta sungai
brantas purba/ perning. Ini menunjukan bahwa Homo modjokertensis menjelajah
8

sekitar aliran sungai, sehingga ia kemudian mati dan fosilnya terendapkan di
sekitaraliran Sungai Brantas. Selain itu, mereka juga manjelajah hutan untuk mencari
makan sehingga sudah sewajarnya Homo modjokertensis mampu menciptakan alat
bantu kehidupan walaupun masih sederhana. Temuan arkeologis yang lain berupa
fragmen-fragmen tulang atau bagian dari tulang tertentu, seperti tanduk dan gigi.
Masa Pra- Majapahit, masa ini data arkeologis yang ada berkaitan dengan
munculnya kerajaan singasari dengan temuan prasasti yakni : Prasasti Hara-Hara
(Trowulan VII)-888 Saka/966 M, Alasantan (936 M), Prasasti Kamban (863 Saka/941
M) yg kesemuanya berisi tentang penetapan tanah Sima untuk bangunan suci dan
sawah pada suatu wanua (desa). Penyebutan wanua mengindikasikan adanya pola
hunian terpusat dengan pembagian wilayah berupa wanua (desa) dan watak (kota),
sehingga daerah administratifnya tersusun atas kota sebagai pusat pemerintahan dan
desa sebagai daerah penyokong. Dari prasasti Wulig (934 M) menyebutkan peresmian
3 buah bendungan di Kahulunan, Wuatan Wulas dan Wuatan Tamya, bahwa ketiga
bendungan ini merupakan bendungan desa yang kemungkinan dibangun untuk
mengatur air sungai pada masing-masing desa, mungkin juga salah satunya bertujuan
untuk mendukung pertanian masyarakat. Hal ini tentu berbeda dengan bendungan di
Waringin Pitu yang memang bertujuan untuk memperlancar jalur perdagangan sungai
sampai ke hilir pada masa Dharmawangsa Airlangga (lihat: Pras. Waringin Pitu 959
Saka).
Masa Majapahit ini merupakan masa yang penting bagi perkembangan
Mojokerto, data arkoelogis yang ada sebagian besar merupakan bangunan arsitektural
megah tinggalan kerajaan Majapahit. Kerajaan majapahit merupakan salah satu
kerajaan yang besar pada zamannya, dibuktikan dengan megahnya bangunan
arsitektural di trowulan yang diduga sebagai ibu kota majapahit. Dugaan trowulan
sebagai ibu kota majapahit didasarkan pada temuan monumental yang cukup lengkap
seperti bangunan keagamaan, petirtaan dan saat ini mulai banyak ditemukan
peninggalan

aktivitas

industri,

perdagaangan,

keagaaman,

serta kawasan

permukiman dan sistem pasokan air bersih. Penjelasan mengenai majapahit terdapat
9

dalam kitab negara kertagama atau dikeanl juga desa warnanana. Kitab
Negarakertagama merupakan salah satu bukti tertulis yang isinya menceritakan
bagaimana hubungan keluarga raja, para pembesar negara, jalannya pemerintahan,
adat istiadat, candi,

desa-desa perdikan, keadaan ibu kota, keadaan desa-desa,

wilayah kerajaan Majapahit pada 1359 masehi di Kerajaan Majapahit. Dari uraian
kitab Negarakertagama inilah kita dapat mengetahui seluk beluk kerajaan majapahit
dari sisi sosial ekonomi, budaya, politik luar negeri, bahkan mengenai arsitektural.
Aspek sosial ekonomi, Mojokerto masa Majapahit telah mengenal
perdagangan baik lokal, ataupun dengan luar. Buktinya adalah adanya temuan mata
uang sebagai alat tukar perdagangan dan makam dengan tulisan arab di troloyo yang
membuktikan adanya interaksi dengan bangsa luar. Aspek budaya dan arsitektural,
yakni berhubungan dengan kemampuan domestikasi hewan, mengolah lahan
pertanian, irigasi dan mendirikan bangunan monumental. Masyarakat Mojokerto
memiliki sistem substensi dengan bercocok tanam pokok seperti palawija, buah dan
padi. Sistem pertanian pada masa ini juga sudah teratur dan mendapat dukungan
penuh dari penguasa masa itu. Dari data temuan tulang binatang di kawasan situs
Trowulan yang antara lain berupa sisa tulang/gigi Bovidae/kerbau, Gallidae/ayam,
Canidae/anjing yang mengindikasikan makanan olahan hewan domestikasi seperti
disebutkan dibeberapa prasasti jawa kuno. Pada penetapan sima biasanya
menyediakan hewan olahan yang dipanggang (Haran-haran pada beberapa prasasti).
Majapahit memiliki bangunan arsitektural yang cukup maju seperti bangunan
suci candi tikus, gapura bajang ratu dan candi menak jinggo. Bangunan tersebut
terbuat dari bata merah yang mengindikasikan kemampuan mengolah tanah lempung
menjadi bata. Bangunan yang cukup menarik yakni segaran, bangunan segaran adalah
bangunan kolam ukuran 800 x 900 meter hasil ubahan lahan yang kemungkinan
difungsikan sebagai sumber air bersih pada zamannya. Pada masa Majapahit ini,
dapat dikatakan merupakan puncak dari peradaban lokal Mojokerto karena pada masa
selanjutnya Mojokerto merupakan daerah koloni.

10

Masa kolonial, pada masa ini daerah Mojokerto tunduk dibawah pemerintah
kolonial. Perkembangan kota mojokerto diatur sepenuhnya oleh pemerintah koloni.
Jalan jalan dan rel tram atau kereta banyak dibangun sebagai sarana mobilitas
transportasi. Sebagai wujud pendudukan kolonial, di beberapa daerah mojokerto
merupakan kawasan yang tidak boleh dimasuki warga pribumi. Bangunan
pemerintahan didirikan selama 60 tahun yakni tahun 1830-1893, rumah-rumah yang
mengelilingi lapangan, termasuk rumah asisten residen dan bupati, gedung sekolah,
masjid dan penjara dan alun alun. Dikarenakan kondisi lingkungan yang cukup subur
maka perkembangan perkebunan tebu dan juga pertanian padi sangat pesat di
Mojokerto pada masa kolonial. Banyaknya pabrik gula yang ada di berbagai distrik
wilayah Mojokerto menyebabkan tersedianya lapangan kerja yang memungkinkan
penduduk untuk mencari mata pencaharian sebagai pekerja pabrik. Pada masa ini
juga hewan ternak merupakan salah satu harta yang cukup mahal bagi penduduk.
Terdapat tempat pemotongan hewan yang nantinya daging hasil pemotongan akan
dijual. Para pedagang-pedagang kecil berdagang di jalan umum dan di dalam taman
Kota Praja.
Masa islam Mojokerto pada awalnya ditandai dengan adanya temuan makam
troloyo pada masa Majapahit. Adanya makam kuna Troloyo membuktikan adanya
komunitas muslim yang tinggal menetap di mojokerto dari masa majapahit.
Komunitas islam ini juga disebutkan dalam berita cina oleh Ma-Huan pada tulisannya
yang tahun 1416. HJE de Graaf dalam buku The Malay Annals of Semarang and
Cirebon menyebutkan bahwa utusan utusan cina dari dinasti ming pada abad XV
yang berada di majapahit kebanyakan adalah muslim beberapa diantaranya diangkat
menjadi orang kepercayaan kerajaan. Menurut P.J. Veth, Verbeek knebel, Krom, dan
L.C damais makam troloyo meliputi kurun waktu antara 1368-1611 M. Bentuk nisan
makam Troloyo cukup unik, yakni dengan bentuk kurawal yang sangat kental nuansa
hindu budha-nya. Kombinasi bentuk dan pahatan yang terdapat pada batu nisan
merupakan akulturasi antara unsur unsur lama/ hindu-buddha dan unsur pendatang/
islam. Adanya kesalahan dalam penulisan kalimat kalimat islam pada nisan

11

megindikasikan bahwa para pemahat batu nisan merupakan pemahat lokal yang
belum mengenal islam lebih dalam. Pada masa islam Majapahit ini perdagangan
cukup berkembang sehingga lokasi hunian banyak berkembang di area pelabuhan dan
beberapa daerah dagang.

Gapura Jedong (abad 10 M) di Kec. Ngoro Mojokerto
(dok. penulis)

BAB III
PEMBAHASAN

12

III. a. Rekonstruksi Cara Hidup dan Sejarah Budaya Mojokerto
A. Pola Okupasi
Okupasi adalah area atau luasan wilayah hunian maupun daya jelajah
manusia, istilah ini sering dikaitkan dengan ilmu arkeologi yang kaitannya dengan
budaya manusia masa lalu. Untuk pola okupasi manusia pada masa Prasejarah di
Mojokerto bisa dijelaskan bahwa lingkungan hunian Homo modjokertensis berupa
daerah padang rumput yang berada pada sekitar aliran sungai dan delta sungai,
lingkungan bakau disepanjang pantai, rawa-rawa sepanjang sungai dan vegetasi hutan
pegunungan (Sartono, 1981), hutan di daerah Mojokerto (secara umum Jawa Timur)
berupa hutan tropic musiman (Ripley, 1979 : 20-21), karena hutan ini merupakan
transisi antara hutan hujan tropik dengan padang rumput (Daud T, 1985: 76).
Temuan fosil yang tidak lagi in situ, dimungkinkan fosil tersebut mengalami
transformasi yaitu terbawa oleh erosi aliran Sungai Brantas sehingga mencapai
daerah tersebut (Perning sekarang). Ini menunjukan bahwa Homo modjokertensis
menjelajah sekitar aliran sungai, sehingga ia kemudian mati dan fosilnya terendapkan
di sekitaraliran Sungai Brantas. Pada proses selanjutnya, fosil-fosil hominid tersebut
tererosi sampai terendapkan kembali di wilayah delta Sungai Brantas purba (Perning).
Selanjutnya pola okupasi manusia pada masa pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di
wilayah Mojokerto hanya sebagai bagian dari wilayah kerajaan yang berkuasa yaitu
a.l. kerajaan Sri Isana (Pu Sindok), Dharmawangsa Airlangga dan Kerajaan
Singhasari secara bergantian. Dari beberapa Prasasti awal yaitu Prasasti Hara-Hara
(Trowulan VII)-888 Saka/966 M, Alasantan (936 M), Prasasti kamban (863 Saka/941
M) yg kesemuanya berisi tentang penetapan tanah Sima untuk bangunan suci dan
sawah pada suatu wanua (desa), bisa dianggap bahwa daerah Mojokerto pada masa
ini memiliki pola okupasi/hunian yang sudah memiliki sistem pengaturan dari
penguasa pusat, yaitu dari pembagian wilayah dengan sebutan wanua/desa yang
masuk dalam wilayah yang lebih besar yaitu watak(semacam kabupaten/kota).

13

Pengkhususan dalam hal ini sepertinya terjadi pada masa raja Dharmawangsa
Airlangga (abad ke-11 M) yang kemungkinan besar pusat kerajaannya (Kahuripan)
berada di wilayah Mojokerto (desaWotan mas kec. Ngoro) yang disebut dalam
prasasti Terep (954 Saka/1032 M) sebagai ibukota kerajaan (Boechari, 1976), hal ini
juga didukung dengan beberapa temuan arkeologis antara lain gapura Jedong, situs
Pasren, dan beberapa prasasti di kec. Ngoro. Jika hal ini memang demikian maka bisa
dibayangkan pola okupasi dari masyarakat pada waktu itu yang memiliki pola hunian
seperti perkotaan sbg pusat pemerintahan dengan didukung oleh daerah sekitarnya
sebagai daerah penyangga. Untuk kepadatan penduduk pada masa ini bisa
diperkirakan bahwa populasinya relatif padat, dilihat dari sebaran benda arkeologis
yang mewakili masa ini dan data penting yaitu penyebutan wanua sekitar daerah yang
ditetapkan menjadi Sima.
Slenjutnya keterangan mengenai pola okupasi dari masyarakat/manusia pada
masa kerajaan Majapahit ini terpusat pada wilayah pusat kerajaan yang sekarang ini
menjadi wilayah Trowulan, Mojokerto. Dataran Trowulan yang terbentuk dari depresi
fluvio-vulkanik dengan karakter yang terletak pada ujung kipas alluvial yang
pembentukan lahannya tersusun atas endapan vulkanik dari gunung welirang,
anjasmoro dan sekitarnya sedangkan bentuklahan fluvial terbentuk dari sedimentasi
aliran sugai (Sutikno, 1993) sangat mendukung wilayah ini untuk sebuah
permukiman. Wilayah pusat ini tentu didukung oleh daerah sekitarnya sebagai basis
hunian masyarakat diluar kota Majapahit dengan sebutan pola permukiman desa masa
Majapahit menurut Rangkuti (2003). Pada masa ini tentunya pola okupasi telah diatur
dalam pembagian wilayah berdasarkan letak geografis maupun area-area tertentu
sebagai pendukung keberlangsungan kerajaan seperti area pertanian, perdagangan dan
kerajinan. Pola-pola seperti ini lazim pada masa klasik (Hindu-Budha), masyarakat
pendukung pada masa ini juga merupakan masyarakat yg sudah relatif maju yang
membentuk beberapa lokasi permukiman yang juga memiliki daya jangkau yang luas
meliputi antar wilayah teritori masing-masing watak atau wanua.

14

Keterangan mengenai masyarakat muslim pada masa islam Mojokerto bisa
dilihat pada bukti makam Troloyo yang masih berada pada wilayah kota Majapahit,
jadi bisa dianggap bahwa mereka menetap pada pusat Majapahit. Selain di pusat
Majapahit mereka juga menetap di daerah pesisir dan beberapa kota pelabuhan,
seperti Tuban dan Gresik (ingat nisan Fatimah Maimun yang berangka tahun 1102
M), jika diperkirakan bahwa jalur perdagangan awal yang juga melalui pelabuhanpelabuhan daerah utara jawa bisa dimungkinkan bahwa kelompok-kelompok muslim
sudah tinggal di wilayah ini sejak beberapa abad sebelum Majapahit muncul bahkan
bisa berlanjut hingga masa Majapahit (13-15 M).
Telah diterangkan bahwa wilayah Mojokerto berada di delta sungai Brantas
yang keadaannya cukup subur untuk budidaya padi dan tebu, secara umum tanah di
Mojokerto banyak mengandung air (becek). Pada masa selanjutnya yaitu masa
Kolonialisme hal ini juga sangat berpengaruh pada perkembangan permukiman dan
okupasi di Mojokerto. Pemukiman pada tahun 1830an dengan bangunan-bangunan
yang belum permanen, dikatakan oleh van Gelder bahwa tidak terdapat rumah batu
satupun di Mojokerto pada tahun tersebut. Kemudian pembangunan selama 60 tahun
(1830-1893) di Mojokerto menghasilkan rumah-rumah yang mengelilingi lapangan,
termasuk rumah asisten residen dan bupati, gedung sekolah, masjid dan penjara, juga
Pembangunan jaringan jalan di Mojokerto megikuti struktur drainase yang ada,
informasi mengenai adanya jalur-jalur drainase ini berhubungan dengan perkebunan
tembakau dan tebu di sekitar wilayah Mojokerto utara. Jalan trem/kereta api yang
digunakan untuk pengangkutan tebu dan gula juga dibangun dan jalurnya melewati
jalan pertokoan utama dan alun-alun sehingga memudahkan sistem produksi.
Pemukiman atau kampung warga pribumi juga diatur atau diberi batas garis lurus
seperti ketentuan pemerintah.
Mengenai informasi demografi, yang menarik adalah populasi penduduk Cina
di Mojokerto mencapai 10 % dari jumlah penduduk di Mojokerto (baik itu orang
Eropa maupun pribumi) yang tinggal atau mendiami wilayah Kota Mojokerto yang
secara umum berciri alun-alun sebagai pusat perkembangan dan kegiatan kota pada
15

masa ini. Penduduk bumi banyak yang menghuni wilayah sekitar perekebunan tebu
dan tembakau di sekitar wilayah utara dan selatan pusat kota sebagai pendukung
usaha pemerintah kolonial di sektor ini.

B. Subsistensi
Dilihat dari Subsistensinya atau cara manusia awal Mojokerto untuk bertahan
hidup dimungkinkan manusia Homo modjokertensis mengkonsumsi fauna-fauna yang
berhabitat di padang rumput. Contohnya Hippopotamus namadicus, Buffalus
Bubalusvar, Sondaicus, Sus Brachygnathus (babi). Interpretasi ini muncul dari
temuan tulang-tulang fauna yang tidak utuh, berupa fragmen-fragmen tulang atau
bagian dari tulang tertentu, seperti tanduk dan gigi (Noegroho, 1988, Huffman and
Zaim, 2003). Homo modjokertensis juga dimungkinkan mengkonsumsi buah-buahan
dari pohon di daerah peralihan (antara daerah padang rumput dengan hutan) dan buah
dari pohon mangrove. Dengan keadaan lingkungan fauna yang sangat mendukung
untuk dijadikan sumber konsumsi, sudah sewajarnya Homo modjokertensis mampu
menciptakan alat bantu kehidupan walaupun masih sederhana untuk mendukung
usaha perburuan dan mengumpulkan makanan.
Beralih ke masa klasik/pengaruh budaya Hindu-Budha di Mojokerto, pada
masa ini sistem subsistensi masyarakat mayoritas menggantungkan hidupunya
dengan cara bercocok tanam. Hal ini didukung pula dengan kondisi lingkungan hutan
yang

sudah

mulai

dialihfungsikan

menjadi

lahan

pertanian

dan

daerah

permukiman/tempat tinggal. Pada masa jawa kuno pada umumnya memang sektor
pertanian mendapatkan prioritas dari penguasa kerajaan dengan beberapa bukti
tertulis yang menyebutkan suatu dukungan penguasa pada sektor ini, kita bisa melihat
pada bukti prasasti yang antara lain berisi tentang penetapan sawah/ladang menjadi
Sima, prasasti Silet yg ditemukan di Dawar Blandong, Mojokerto yg berangka tahun
940 Saka (masa Sri Isana) dan prasasti Wulig yg berangka tahun 856 Saka/934 M
ditemukan di desa Bakalan yang menyebutkan seorang tokoh bernama Rakryan
16

Mangibil yang meresmikan 3 buah bendungan di Khulunan, Wuatan Wulas dan
wuatan Tamya (Budiati, 1985), bahwa ketiga bendungan ini merupakan bendungan
desa yang kemungkinan dibangun untuk mengatur air sungai pada masing-masing
desa, mungkin juga salah satunya bertujuan untuk mendukung pertanian masyarakat.
Hal ini tentu berbeda dengan bendungan di Waringin Pitu yang memang bertujuan
untuk memperlancar jalur perdagangan dari sungai sampai ke hilir pada masa
Dharmawangsa Airlangga (lihat Pras. Waringin Pitu 959 Saka).
Majapahit dikenal sebagai kerajaan yang menggantungkan ekonominya pada
sektor pertanian dan perdagangan, dari beberapa bukti artefaktual yang berhubungan
dengan pertanian dapat dianggap bahwa pada masa ini masyarakat memiliki sistem
subsistensi dengan cara bercocok tanam tanaman pokok seperti padi, buah dan
palawija. Sistem pertanian pada masa ini juga sudah teratur dan mendapat dukungan
penuh dari penguasa masa itu. Dari data temuan tulang binatang di kawasan situs
Trowulan yang antara lain berupa sisa tulang/gigi Bovidae/kerbau, Gallidae/ayam,
Canidae/anjing hal ini bisa mengindikasikan bahwa masyarakat Majapahit juga
bersubsistensi dengan memakan daging hewan (Wirasanti, 2008 lap. PATI I) yang
kemungkinan besar dengan cara membakar. Hal ini terlihat dari temuan sisa-sisa
temuan tulang binatang yang memperlihatkan gejala dibakar. Di dalam prasasti jawa
kuno, sering disebut pada upacara penetapan sima dengan menyediakan bermacammacam hidangan yang salah satunya dimasak dengan cara dipanggang (Haran-haran
pd beberapa prasasti). Gambaran mengenai pengolahan daging yang dibakar pada
masa jawa kuno ini dilengkapi dengan adanya spesialisasi pekerjaan pembuatan arang
dan didalam prasasti disebut menghareng (Haryono, 1994 dalam Wirasanti, 2008)
Pada periodesasi Kolonial, daerah Mojokerto yang cukup subur dimanfaatkan
sebagai lahan perkebunan maupun pertanian yang mendukung pemerintahan kolonial
pada waktu itu, Dikarenakan kondisi lingkungan yang cukup subur ini maka
perkembangan perkebunan tebu dan juga pertanian padi sangat pesat di Mojokerto
pada masa kolonial (Handinoto, 2004). Banyaknya pabrik gula yang ada di berbagai
distrik wilayah Mojokerto menyebabkan tersedianya lapangan kerja yang
17

memungkinkan penduduk untuk mencari mata pencaharian sebagai pekerja pabrik.
Pada masa ini juga hewan ternak merupakan salah satu harta yang cukup mahal bagi
penduduk, buktinya muncul tempat pemotongan hewan yang nantinya daging hasil
pemotongan akan dijual untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging. Penjualan
minuman keras juga terdapat di Mojokerto tentunya dengan kebijakan-kebijakan yang
sudah diatur oleh pemerintah dan diawasi. Juga muncul keterangan bahwa terdapat
para pedagang-pedagang kecil berdagang di jalan umum dan di dalam taman Kota
Praja, seperti pasar Gede/pasar Tanjung, dan pasar kliwon yang berada di pusat kota
sebagai pusat ekonomi dalam pemenuhan konsumsi masyarakat pada waktu itu.

III. b. Analisis Proses Budaya
Arkeologi mempelajari hasil budaya materi manusia lampau tidak hanya
mencari dan menemukan data atau bukti kebudayaan yang masih tersisa dari
kehidupan masa lampau, tetapi juga mencari maksud atau arti dibalik benda-benda
18

atau bukti arkeologis yang mereka temukan. Tujuan besar dari penelitian arkeologi
adalah tiga paradigm arkeologi yang dijadikan sebagai landasan kerja arkeologi,
Dengan adanya paradigma, arkeologi memiliki khasanah tujuan, persoalan, dan pola
pikir dengan segala perangkat dan tata caranya untuk mencapai tujuan dan
memecahkan persoalan yang ada. Di dalamnya termasuk dalil, teori, dan metodologi
(Tanudirjo 1992 dalam Yuwono, rev 2013).
Ketiga paradigma itu antara lain adalah rekonstruksi cara hidup, rekonstruksi
sejarah budaya dan penggamabaran proses budaya (lihat: Sharer and Ashmore, 1992).
Bahasan dalam sub bab ini akan menguraikan mengenai analisis proses budaya yang
terjadi di wilayah Mojokerto yaitu upaya mengurutkan data arkeologis dan perilaku
pendukungnya secara temporal, serta mencoba menjelaskan faktor-faktor yang
bertanggungjawab atas proses perubahan budaya antar masing-masing tahap
kehidupan. Paradigma ini berhubungan dengan pertanyaan mengenai proses (why).
A. Aspek-aspek Penting yang Berpengaruh Terhadap Proses Budaya
Faktor Alam
Faktor alam merupakan aspek penting dalam kajian kebudayaan, lingkungan
alam dianggap sebagai faktor penting yang sangat berpengaruh terhadap munculnya
sebuah bentuk kebudayaan pada sutu masyarakat tertentu, hal ini banyak disetujui
oleh para ahli. Bahkan kebudayaan muncul sebagai akibat dari pengaruh alam yang
menjadikan manusia membentuk sebuah perilaku tertentu dalam menghadapi
/menyiasati alam dan lingkungan sekitar mereka, demikian juga peradaban muncul
sebagai tanggapan atas tantangan (Challenge), sebagai contoh peradaban mesir
muncul karena ada tanggapan terhadap tantangan lembah dan hutan belantara sungai
Nil.
Selain faktor alam sebagai pendorong munculnya sebuah kebudayaan, faktor
ini juga sangat mungkin berpengaruh pada proses budaya yang terjadi. Lingkungan
alam sebagaimana yang kita kenal sering sekali mengalami perubahan yang tidak

19

jarang juga memberikan pengaruh pada kebudayaan yang menampilkan sebuah
proses budaya dalam kehidupan manusia. Hubungan lain antara arkeologi dan
lingkungannya pada kajian arkeologi lingkungan dalam tulisan Elizabeth J. Reitz
dalam Case Studies of environmental Archaeology,

second edition (2008), pada

bagian awal menyebutkan bahwa lingkungan budaya dan non-budaya adalah faktor
signifikan dalam formasi sebuah situs arkeologi. Sungguhpun kebanyakan kajian
lingkungan melihat ekologi dalam sebuah situs arkeologi sebagai bahan interpretasi
arkeologi lingkungan dalam mengkaji perilaku manusia pada lingkungannya baik dari
segi sosial, spasial, temporal, fisik maupun dari parameter biotik (Reitz, 2008).
Di atas telah diuraikan bahwa salah satu dari paradigm yang populer dalam
arkeologi adalah penggambaran proses budaya, dari kasus wilayah Mojokerto ini
faktor lingkungan/alam menjadi faktor yang tidak boleh dikesampingkan jika dilihat
dari pola subsistensi dan okupasi manusia yang mendiami wilayah ini dari masa awal
prasejarah, periode klasik hingga kolonial. Berubahnya pola okupasi dan sistem
subsistensi yang terlihat dari masing-masing periode pada wilayah ini sangat
mungkin mayoritas diakibatkan oleh perubahan lingkungan yang terjadi berangsurangsur pada setiap periode dilihat dari latar belakang lingkungannya. Okupasi
manusia awal yaitu Homo Mojokertensis yang memanfaatkan daerah delta sungai
brantas purba pada masa Pleistosen yang tepatnya sekitar ujung pegunungan kendeng
yang tidak dijadikan sebagai tempat okupasi pada masa selanjutnya, yaitu periode
klasik sampai kolonial, karena pada masa ini daerah ini sudah berubah menjadi
dataran yang mengakibatkan pendangkalan laut yang berdampak pada meluasnya
garis pantai pada daerah utara jawa yang terjadi sekitar masa akhir pleistosen sampai
Holosen. Contoh diatas sepertinya bisa menjadi sedikit argument yang mendukung
bahwa faktor alam merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhap
proses budaya yang secara khusus terjadi pada wilayah ini.
Faktor Budaya

20

Seperti yang sudah diuraikan pada uraian diatas bahwa paradigm proses
budaya yaitu upaya mengurutkan data arkeologis dan perilaku pendukungnya secara
temporal, serta mencoba menjelaskan faktor-faktor yang bertanggungjawab atas
proses perubahan budaya antar masing-masing tahap kehidupan. Faktor budaya
sebagai salah satu faktor penting dalam mengkaji proses budaya yang terjadi dilihat
dari kasus hubungan antara lingkungan dengan budaya yang ada di wilayah
Mojokerto ini bisa dijelaskan dari data-data arkeologi dari masing-masing periodesasi
yang tentunya memilki karakter dan ciri yang spesifik.
Budaya prasejarah di wilayah Mojokerto dengan karakter pola okupasi dan
subsistensi yang berbeda jika dibandingkan dengan periode setelahnya memang
diakibatkan oleh faktor pengaruh budaya yang masuk di Nusantara pada umumnya.
Tinggalan-tinggalan budaya pengaruh Hindu-Budha di Nusantara telah diketahui
berasal dari India, budaya yang berbeda dari masa sebelum munculnya pengaruh dari
India ini mengakibatkan perbedaan karakter budaya nusantara yang menunjukkan
proses budaya yang terjadi pada budaya nusantara.

Faktor Teknologi
Dimulai dari masa prasejarah untuk mengetahui aspek teknologi yang
berpengaruh di kawasan Mojokerto. Contohnya berada sedikit diluar kawasan
Mojokerto sendiri, dengan adanya temuan artefak batu yang memiliki lubang
(cekungan) seperti pada perlengkapan permainan dakon membuktikan sudah adanya
teknologi pembuatan dan pengubahan bahan batu dari lingkungan sekitar menjadi
sebuah artefak yang nantinya akan difungsikan sebagai alat upacara atau alat
pendukung lainya. Kemampuan mengolah dan memodifikasi lahan dengan
menambahkan batu-batuan dari ligkungan sekitar, terlihat dari hasil-hasi budaya
materi yang ada seperti punden berundak yang juga terdapat di daerah tersebut.
Punden berundak merupakan bangunan yang masif dan dibangun dengan cara menata
batuan agar bukit yang dimanfaatkan sebagai punden tidak longsor. Untuk di daerah
Mojokerto sendiri, data mengenai teknologi (artefak) pada masa prasejarah tidak
21

ditemukan. Kemungkinan ketika budaya megalitik mulai muncul di kawasan sekitar
Mojokerto, di daerah Mojokerto sendiri juga memiliki hasil budaya yang serupa
dengan wilayah di sekitarnya. Konsep mengenai pemanfaatan bukit sebagai tempat
suci dapat ditemukan di Selatan Mojokerto (Dataran tinggi Welirang).
Masa klasik di Mojokerto aspek teknologi dapat dilihat dari prasasti Silet dan
Wulig yang berisi tentang bendungan. Melihat pada subsistensi tersebut dapat
dikatakan mada masa itu sudah dikenal adanya sistem pengaturan air dan juga
teknologinya yang kemungkinan digunakan sebagai pengairan sawah. Kemudian
pada data pra-Majapahit ada yang menyebutkan jika pada masa itu juga
memanfaatkan aliran sungai sebagai sarana transportasi. Hal ini mengindikasikan
bahwa pada masa pra-Majapahit sudah mengenal teknologi pembuatan perahu atau
alat transportasi air sejenisnya, dan kemungkinan semakin berkembang pada masa
kerajaan Majapahit. Teknologi pembuatan perahu pada masa Majapahit berkembang
disebabkan oleh terjadinya akulturasi kedatangan para saudagar Cina, India dan Arab.
Sehingga Majapahit memiliki armada laut yang kuat dengan perahu-perahu yang
memiliki kualitas (Ambarawati, 2013). Selain itu perkembangan teknologi pertanian
juga tidak lepas dari sistem pertanian yang berkembang pada masa Majapahit.
Perkembangan teknologi pertanian pada masa itu kemungkinan tidak jauh berbeda
dengan pertanian tradisional pada masa sekarang, misanya dengan menggunakan
cangkul, ani-ani, bajak (luku) dan alat pengolah padi seperti lesung, dll. Dari data
yang didapat juga disebutkan jika subsistensi pada masa itu adalah bercocok tanam
dan kerajaan sangat bergantung pada pertanian dan juga perdagangan. Kemudian
melihat dari candi-candi dan bangunan lain yang dibuat dengan bahan bata bisa
dikatakan bahwa pada masa klasik di Mojokerto sudah benar-benar bisa
memanfaatkan kondisi lingkungan di sana dikarenakan bahan baku yang tersedia
cukup melimpah. Mengenal teknik penambangan dan pembakaran tanah liat untuk
dijadikan bata yang kemudian dijadikan sebagai bahan bangunan seperti candi,
petirtaan, dan pemukiman.
Selanjutnya teknologi mulai lebih berkembang pada masa kolonial dimana
ada orang-orang Eropa datang dari karesidenan pusat di Surabaya. Dimulai dari
22

melihat potensi kawasan yang cukup bagus sebagai lahan tebu dan padi. Orang-orang
Eropa mulai mengembangkan perkebunan tebu dan pada akhirnya membuat pabrik
gula guna mengolah hasil perkebunan yang mereka kembangkan. Mereka mengenal
teknologi pengelolaan perkebunan tebu mulai dari penyiapan lahan sampai dengan
masa panennya. Selanjutnya melakukan pemasangan tram kereta api sebagai jalur
untuk menyalurkan dan mendistribusikan hasil perkebunan dan gula dari pabrikpabrik yang ada. Jalur tersebut mempermudah distribusi sehingga menjadikan
mojokerto sebagai salah satu pusat dari perkebunan dan industri gula di Jawa Timur.
Jadi dengan kata lain perkembangan teknologi dalam perkebunan juga mempengaruhi
tata kota dengan adanya jalur kereta, sebaran perkebunan dan keletakan pabrik.

Faktor Politik
Aspek-aspek politik mulai muncul pada masa Klasik. Dimulai dari masa praMajapahit, disebutkan bahwa sebelum munculnya pusat pemerintahan Majapahit di
Mojokerto sudah terdapat permukiman yang berupa wanua. Seperti yang disebutkan
pada prasasti Hara-Hara (Trowulan VII) 888 saka / 966 M, Alasantan (936 M),
Prasasti Kamban (863 saka / 941 M). Prasasti-prasasti tersebut berisi tentang
penetapan tanah sima berupa sawah untuk bangunan suci. Tanah perdikan (Sima)
sering berkaitan dengan balas jasa pemerintah pusat terhadap daerah. Dengan
ditetapkannya suatu wanua atau sebagai daerah Sima, maka daerah tersebut bebas
dari kewajiban membayar upeti kepada negara (kerajaan) dan kemudian daerah diberi
kewajiban untuk merawat bangunan suci yang didirikan di daerah tersebut. Aspek
politik yang dapat diungkapkan di sini yaitu hubungan timbal balik antara pusat
dengan daerah. Pemerintah pusat memberikan perlakuan spesial berupa penetapan
daerah Sima sehingga bebas dari pajak, dan cara tersebut juga merupakan cara
pemerintah pusat untuk mengontrol daerah dibawahnya. Contoh lain di dalam
pemerintahan Majapahit adalah dengan adanya politik perkawinan. Yang dimaksud
disini adalah menikahkan anggota dari kerajaan pusat dengan keluarga pemimpin
daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan oleh Majapahit dengan maksud tunduk atau
23

supaya tetap ada hubungan dengan daerah tersebut. Hal ini dapat berkaitan dengan
pola okupasi dimana pihak kerajaan Majapahit mencoba untuk memperluas daerah
kekuasaan mereka di luar daerah Mojokerto. Salah satu yang tidak berhasil adalah
politik perkawinan yang coba dilakukan oleh Gajah Mada atas putri dari Pajajaran
yang berakhir dengan Perang Bubat. Kemudian yang paling terlihat adalah pada
masa-masa setelah wafatnya Hayam Wuruk, dimana terjadi pergolakan politik dalam
intern keluarga kerajaan yang menyebabkan adanya kekosongan pemerintahan di
kerajaan Majapahit pada masa itu. Perang yang disebut Paregreg itu menyebabkan
wilayah-wilayah maritim Majapahit mundur sehingga tidak dapat menguasai
wilayah-wilayah luar Jawa secara efektif. Pemerintahan raja dengan sistem politik
yang lemah setelah masa Hayam Wuruk dan Gajah Mada dapat diindikasikan sebagai
masa-masa awal dari kemunduran kerajaan Majapahit itu sendiri. Hal tersebut yang
membuat daerah-daerah penopang kerajaan melepaskan diri dari pusatnya Majapahit
terutama daerah-daerah pesisir yang penguasanya kemudian memeluk agama Islam.
Memasuki masa kolonial otonomi daerah mulai muncul pada tahun 1903 yang
pada masa itu disebut desentralisasi. Hal ini muncul dikarenakan dorongan yang kuat
dari orang-orang Eropa yang berada di daerah dan ingin mengambil alih sebagian
wewenang dari pusat untuk dilimpahkan ke daerah. Akan tetapi syarat dari ketentuan
tersebut adalah kota-kota dengan komposisi penduduk Eropa yang cukup signifikan
yang bisa diberi status otonom. Karena mereka dianggap memiliki kematangan
politik yang cukup untuk dapat dipercaya mengurusi kepentingan daerahnya sendiri.
Kemudian baru pada tahun 1918 Mojokerto berstatus otonom karena jumlah
penduduk Eropa di Mojokerto dirasa telah mencukupi sehingga oleh pemerintah
pusat dipercaya dan diberi wewenang untuk menjalankan pemerintahan daerahnya.
Ada banyak peraturan-peraturan yang berlaku setelah Mojokerto didesentralisasi.
Misalnya aturan tentang peraturan pemukiman warga pribumi, aturan tentang
pemotongan dan penjualan hewan, peraturan tentang transportasi, peraturan tentang
penjualan minuman keras, pengadaan retribusi pasar, dll. Peraturan-peraturan tersebut
berkaitan dengan pola okupasi dan subsistensi yang ada di Mojokerto, dimana
wilayah hunian dibatasi dan juga cara bertahan hidup yang juga dibatasi dengan
24

aturan yang dibuat oleh pemerintah setempat. Datangnya orang-orang Eropa dengan
sistem politik dan pemerintahannya membuat kehidupan masyarakat di Mojokerto
semakin kompleks.
Faktor Religi
Sama seperti pada aspek teknologi, aspek religi mulai terlihat pada masa
prasejarah dimulai di sekitar kawasan Mojokerto. Adanya bangunan punden berundak
dengan teras yang berjumlah lima, dimana konsep punden berundak sendiri
merupakan bangunan yang sering digunakan untuk kegiatan-kegiatan upacara dalam
hubungannya dengan pemujaan arwah nenek moyang. Dan di teras paling atas dari
punden berundak tersebut terdapat sebuah menhir. Dengan ini sudah terlihat jelas
bahwa sudah mulai muncul sistem kepercayaan yaitu pemujaan terhadap nenek
moyang di daerah sekitaran Mojokerto.
Kemudian memasuki masa klasik aspek religi sangat jelas telihat dengan
banyaknya bangunan candi di kawasan Mojokerto khususnya daerah Trowulan dalam
kaitannya dengan Kerajaan Majapahit. Seperti yang dikatakan oleh Soekmono, candi
sudah menjadi peranan kuil, dan oleh karenanya menjadi tempat orang melakukan
kebaktiannya untuk menyembah para dewa. Dewa yang diwujudkan ke dalam bentuk
patung dan sekaligus menggambarkan sang raja yang telah mencapai moksa
(Soekmono,1874:218). Bangunan candi yang terdapat di Mojokerto (Trowulan)
terdiri dari bangunan Candi Hindu dan Budha. Dari hal tersebut bisa terlihat adanya
toleransi antara dua agama yang ada pada masa itu dimana agama Hindu dan Budha
bisa berjalan secara beriringan.
Pada masa islam, para pedadang muslim awalnya bermigrasi di pesisir utara
pulau Jawa, mereka membangun masjid dan menyebarkan ajarannya dan
kemungkinan berkembang sampai ke daerah pedalaman termasuk ke daerah
Majapahit atau Mojokerto saat ini. Pada masa itu Majapahit memang sangat
mengandalkan perdagangannya dan dengan kata lain akan sering berhubungan
dengan pedangang-pedangan dari daerah pesisir Jawa termasuk pedangang muslim.

25

Ada indikasi bahwa masuknya Islam merupakan salah satu faktor dari kemerosotan
kerajaan Majapahit itu sendiri.

III. c. Hubungan timbal balik evolusi sosial, budaya lingkungan


Populasi

Mojokerto Purba
Pada periode ini jumlah manusia prasejarah masih sedikit dibuktikan dengan
sedikitnya temuan fosil Homo modjokertensis yang merupakan 1fosil tengkorak
kanak-kanak, jika diasumsikan kemungkinan ada satu generasi atau bahkan lebih
yang sempat menghuni wilayah ini. Jika dilihat dari kondisi lingkungan pada masa
ini, daerah okupasi manusia Homo Mojokertensis yang merupakan daerah delta
sungai pada garis pantai pada pegunungan yang disebut pegunungan kendeng bisa
diasumsikan bahwa daerah ini dulunya merupakan dataran di sebelah utara dengan
daerah laut di selatan dan utara daerah ini. Untuk wilayah Perning ini asumsi bahwa
area atau wilayah ini merupakan jalur dari usaha perpindahan atau migrasi manusia
awal sangat mungkin, hal ini juga didukung oleh kurang beragamnya/kompleksifitas
temuan fosil maupun bukti subsistensi yang menunjukkan daerah ini merupakan
daerah hunian. Pada masa ini juga mereka dipastikan masih hidup dengan cara
berburu dan mengumpulkan makanan, mereka memiliki daya jelajah yang tinggi dan
hidup nomaden hal ini mengakibatkan berkurangnya kesempatan untuk memiliki
keturunan. Ketika mereka sudah mulai hidup secara menetap jumlah populasi
manusia meningkat, hal ini diakibatkan oleh berkurangnya daya jelajah sehingga
kesempatan untuk memiliki keturunan menjadi lebih tinggi.
Mojokerto Pra-Majapahit
Pada periode ini jumlah populasi meningkat dibandingkan dengan periode
mojokerto purba, hal ini disebabkan oleh hidup yang menetap, mereka telah
26

mengenal sistem kerajaan dan masyarakat pada saat itu sudah mengenal sistem
pernikahan. Selain itu kepadatan populasi ini juga disebabkan oleh kedatangan warga
Negara asing ke wilayah ini. Pertumbuhan pembangunan juga berpengaruh pada
pertambahan populasi. Factor penempatan lingkungan sebagai pusat pemerintahan
juga berpengaruh terhadap kedatangan masyarakat yang semakin meningkatkan
populasi wilayah pusat kerajaan. Dari semakin padatnya populasi, sangat mungkin
terjadi sebuah perubahan lingkungan sekitar seperti penebangan pohon pada daerah
atas sebagai bahan baku perumahan dan bahan baker pembuatan bata pada bekas
ibukota Majapahit di Trowulan. Jadi populasi memungkinkan terjadinya hubungan
timbale balik antara aspek lingkungan dan sosial budaya manusia pada masa ini.

Mojokerto Masa Majapahit
Populasi

meningkat

dibandingkan

periode

mojokerto

pra-majapahit

dikarenakan meningkatnya pembangunan di pusat kerajaan Majapahit sehingga
semakin banyak orang yang datang ke Trowulan . Selain itu peningkatan populasi
juga disebabkan oleh kedatangan pedagang dan warga asing ke Majapahit.
Pernikahan dengan warga asing juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan populasi.

Mojokerto Masa Islam
Pada periode ini populasi meningkat dibanding periode sebelumnya,
peningkatan ini disebabkan oleh kedatangan pedagang dan asing ke Mojokerto.

Mojokerto Masa Kolonial

27

Populasi mojokerto masa kolonial lebih tinggi dibandingkan dengan populasi
mojokerto masa islam hal ini dikarenakan kedatangan bangsa Belanda ke Mojokerto.
Selain itu populasi meningkat karena adanya perpindahan masyarakat dari Surabaya.



Permukiman

Mojokerto Purba
Homo modjokertensis bermukim di daerah padang rumput yang berada di
sekitar aliran sungai dan delta sungai, lingkungan bakau disepanjang pantai, rawarawa disepanjang sungai, dan vegetasi hutan pegunungan. Mereka bermukim di
daerah tersebut karena dekat dengan sumber air dan tanahnya cocok untuk dijadikan
lahan bercocok tanam

Mojokerto Pra-Majapahit
Karena pada periode ini telah mengenal sistem kerajaan, maka pola hunian
pada periode ini diatur oleh penguasa pusat dengan pembagian wilayah menjadi
wanua/desa dan watak/daerah yang lebih besar semacam kabupaten atau kota.
Mojokerto Masa Majapahit
Pada periode ini permukiman lebih terkonsentrasi di ibukota Majapahit,
Trowulan dilihat dari banyaknya struktur bangunan di Trowulan.
Mojokerto Masa Islam
Pada periode ini masyarakat menetap di pusat kota, dengan kedatangan para
pedagang asing maka muncullah permukiman di pesisir dan kota pelabuhan.

28

Permukiman di pesisir dan kota pelabuhan muncul untuk memudahkan keperluan
dagang.
Mojokerto Masa Kolonial
Pada periode ini permukiman semakin kompleks karena kehadiran bangsa
Belanda

yang

mengadakan

pembangunan

selama

60

tahun

(1830-1893).

Pembangunan selama 60 tahun tersebut menghasilkan rumah-rumah yang
mengelilingi lapangan termasuk rumah asisten residen dan bupati, gedung sekolah,
masjid, penjara dan pabrik gula.



Pengolahan Sumber Daya Lingkungan
Untuk menjelaskan mengenai hubungan timbal balik evolusi social, budaya,

dan lingkungan yang berupa pengolahan sumber daya lingkungan dapat kita lihat
pada pola okupasi dan subsistensi pada masing-masing periodesasi (Mojokerto Purba,
Mojokerto Pra Majapahit, Mojokerto Masa Majapahit, Mojokerto Masa Islam, dan
Mojokerto Kolonial). Pada