MODEL PEMBELAJARAN PENEMUAN DISCOVERY LE (2)

MODEL PEMBELAJARAN PENEMUAN (DISCOVERY LEARNING)
DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013
Labels: Model pembelajaran

MODEL PEMBELAJARAN PENEMUAN
(DISCOVERY LEARNING)
Model Discovery Learning mengacu kepada teori belajar yang didefinisikan sebagai proses
pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk
finalnya, tetapi diharapkan siswa mengorganisasi sendiri.
Sebagai model pembelajaran, Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan
inkuiri (inquiry) dan Problem Solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah
ini.
Pada Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang
sebelumnya tidak diketahui. Perbedaan inkuiri dan problem solving dengan Discovery
Learning ialah bahwa pada discovery learning masalah yang diperhadapkan kepada siswa
semacam masalah yang direkayasa oleh guru.
Dalam mengaplikasikan model pembelajaran Discovery Learning guru berperan sebagai
pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif,
sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar
siswa sesuai dengan tujuan. Kondisi seperti ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar
yang teacher oriented menjadi student oriented.

Dalam Discovery Learning, hendaknya guru harus memberikan kesempatan muridnya untuk
menjadi seorang problem solver, seorang scientis, historin, atau ahli matematika. Bahan ajar
tidak disajikan dalam bentuk akhir, tetapi siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan
menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan,
mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
Discovery Learning dapat:


Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-keterampilan
dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan merupakan kunci dalam proses ini,
seseorang tergantung bagaimana cara belajarnya.



Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini sangat pribadi dan ampuh karena
menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.



Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa menyelidiki dan

berhasil.



Model pembelajaran ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai
dengan kecepatannya sendiri.



Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan melibatkan
akalnya dan motivasi sendiri.



Model pembelajaran discovery learning ini dapat membantu siswa memperkuat
konsep dirinya, karena memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.



Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan gagasangagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak sebagai siswa, dan sebagai peneliti di

dalam situasi diskusi.



Membantu siswa menghilangkan skeptisme (keragu-raguan) karena mengarah pada
kebenaran yang final dan tertentu atau pasti.



Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik;



Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer kepada situasi proses belajar
yang baru;



Mendorong siswa berfikir dan bekerja atas inisiatif sendiri;




Mendorong siswa berfikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri;



Memberikan keputusan yang bersifat intrinsik; Situasi proses belajar menjadi lebih
terangsang;



Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan manusia
seutuhnya;



Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa;




Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar;



Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu.

Model pembelajaran discovery learning ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran
untuk belajar. Bagi siswa yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak atau berfikir
atau mengungkapkan hubungan antara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada
gilirannya akan menimbulkan frustasi.
Model pembelajaran discovery learning ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang
banyak, karena membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori
atau pemecahan masalah lainnya.
Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini dapat buyar berhadapan dengan siswa
dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar yang lama.

Model pembelajaran discovery learning lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman,
sedangkan mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara keseluruhan
kurang mendapat perhatian.
Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur gagasan yang

dikemukakan oleh para siswa. Model pembelajaran discovery learning tidak menyediakan
kesempatan-kesempatan untuk berfikir yang akan ditemukan oleh siswa karena telah dipilih
terlebih dahulu oleh guru.

Langkah-Langkah Pelaksanaan Model Pembelajaran
Discovery Learning
1. Langkah Persiapan
Langkah persiapan model pembelajaran penemuan (discovery learning) adalah sebagai
berikut:


Menentukan tujuan pembelajaran



Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya belajar,
dan sebagainya)




Memilih materi pelajaran.



Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif (dari contohcontoh generalisasi)



Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan
sebagainya untuk dipelajari siswa



Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret
ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik



Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa


2. Pelaksanaan

a. Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan)
Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan
kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul

keinginan untuk menyelidiki sendiri. Disamping itu guru dapat memulai kegiatan PBM
dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang
mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk
menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa
dalam mengeksplorasi bahan.
b. Problem statement (pernyataan/identifikasi masalah)
Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada
siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan
dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk
hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah)
c. Data collection (Pengumpulan Data).
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para siswa untuk
mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau
tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan

atau membuktikan benar tidaknya hipotesis, dengan demikian anak didik diberi kesempatan
untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literatur,
mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan
sebagainya.
d. Data Processing (Pengolahan Data)
Menurut Syah (2004:244) pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi
yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu
ditafsirkan. Semua informai hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya
diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu
serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu
e. Verification (Pembuktian)
Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau
tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil
data processing (Syah, 2004:244). Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar
akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia
jumpai dalam kehidupannya.
f. Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)
Tahap generalisasi/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang
dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama,

dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi maka
dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi

Penilaian Pada Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)

Dalam Model Pembelajaran Discovery Learning, penilaian dapat dilakukan dengan
menggunakan tes maupun non tes.
Penilaian yang digunakan dapat berupa penilaian kognitif, proses, sikap, atau penilaian hasil
kerja siswa. Jika bentuk penialainnya berupa penilaian kognitif, maka dalam model
pembelajaran discovery learning dapat menggunakan tes tertulis. Jika bentuk penilaiannya
menggunakan penilaian proses, sikap, atau penilaian hasil kerja siswa maka pelaksanaan
penilaian dapat dilakukan dengan pengamatan.

fektivitas Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
Labels: Model pembelajaran

Efektifkah Model Pembelajaran Penemuan itu?
Apakah model pembelajaran penemuan (discovery learning) efektif untuk diterapkan oleh
para guru? Berikut adalah ulasan yang ditulis oleh Corno & Snow, 1986; Slavin, Karweit &
Madden, 1989) tentang efektivtas discovery learning.

Umumnya para ahli psikologi dan pendidik sepakat bahwa siswa harus memahami informasi
saat mempelajari sesuatu dan mengingatnya. Jika siswa hanya sekedar mengingat
(menghafal) daftar-daftar dan fakta-fakta saja, maka akan terbentuk pemahaman superfisial
dan dengan mudah akan dilupakan. Bila siswa bergulat dengan masalah-masalah nyata,
menguji solusi-solusi yang mungkin, dan akhirnya menemukan sendiri struktur fundamental
suatu konsep kunci, mereka sepertinya akan lebih memahami dan mengingat informasi
tersebut dengan baik. Akan tetapi, kritik-kritik terhadap model pembelajaran penemuan
(discovery learning) telah membawa kita pada sebuah pertanyaan penting: Apakah discoveri
learning (pembelajaran penemuan) itu efektif dilaksanakan?

Discovery Learning Sesuai dengan Teori Perkembangan
Kognitif
Para pendidik yang menyukai discovery learning mencatat bahwa pendekatan/model/ metode
ini konsisten dengan cara-cara seseorang belajar dan berkembang. Misalnya, Jerome Brunner
(1966, 1971) mengidentifikasi 3 tahap perkembangan kognitif, mirip dengan 3 tahap yang
diidentifikasi oleh Piaget. Brunner yakin bahwa anak-anak berkembang dari tahap enaktif
(enactive stage) ke tahap ikonic (iconic stage) dan berikutnya berkembang ke tahap simbolik
(symbolic stage). Pada tahap enaktif (mirip dengan tahap sensori motor Piaget), anak-anak
merepresentasikan dan memahami dunia melalui aksi—untuk memahami sesuatu mereka
harus memanipulasinya, mencicipinya, melemparnya, menghancurkannya, dan sebagainya.
Pada tahap ik onik, anak-anak merepresentasikan dunia dengan gambar-gambar—
penampakan lebih dominan. Tahap ini berkoresponden dengan tahap berpikir praoperasional
Piaget, di mana dicontohnya makin tinggi ketinggian air di dalam gelas, berarti bahwa ada
lebih banyak air di dalam gelas itu, karena hal tersebut kelihatannya-penampakannya benar
begitu. Hal ini terjadi tanpa mereka mempertimbangkan diameter gelas yang bisa saja
berbeda dan air yang tampak tinggi belum tentu lebih banyak jumlahnya dibanding air yang
terdapat di gelas lain. Pada tahap akhir, anak-anak mulai dapat menggunakan ide-ide abstrak,

simbol, bahasa, dan logika untuk memahami dan merepresentasikan dunia. Aksi-aksi dan
gambar-gambar masih dapat digunakan dalam berpikir, tetapi tidak lagi bersifat dominan.
Discovery learning (pembelajaran penemuan) memungkinkan siswa untuk bergerak pada
ketiga tahapan tersebut di atas saat mereka berhadapan dengan informasi-informasi baru.
Pertama-tama siswa akan memanipulasi dan berbuat sesuatu terhadap bahan-bahan;
kemudian mereka akan membentuk gambar-gambar saat mereka mencatat ciri-ciri khusus
dan melakukan observasi. Karena siswa mengalami ketiga tahap tersebut di atas, Brunner
yakin siswa akan memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang suatu topik. Saat
siswa termotivasi dan benar-benar berpartisipasi di dalam proyek penemuan (discovery
project), pembelajaran penemuan atau discovery learning akan membawa pada proses belajar
yang sangat baik (Strike, 1975).

Discovery Learning Tak Dapat Dipraktikkan?
Pada teorinya, discovery learning kelihatan sangat ideal, tapi pada praktiknya terdapat
permasalahan-permasalahan. Agar sukses, proyek penemuan (discovery project) seringkali
membutuhkan bahan-bahan khusus dan persiapan yang ekstensif (luas), dan persiapan ini
tidak dapat menjamin akan adanya kesuksesan. Misalnya, suatu pembelajaran penemuan
tentang efek cahaya terhadap tumbuhan memerlukan waktu berjam-jam dan seringkali gagal
karena tumbuhan yang ditanam di tempat gelap dan di temapt terang tidak tumbuh
sebagaimana yang diharapkan—ada sangat banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
tanaman selain cahaya (Anderson and Smith, 1987).
Agar pada situasi pembelajaran penemuan didapatkan benefit, siswa harus mempunyai
pengetahuan dasar tentang masalah yang akan dipelajari dan tahu bagaimana
mengaplikasikan strategi-strategi pemecahan masalah. Tanpa pengetahuan dan keterampilanketerampilan ini, mereka akan menyerah dan frustasi. Bukannya memperoleh pelajaran dari
bahan-bahan tersebut, mereka justru akan bermain-main dengannya. Sedikit siswa yang
brilian mungkin akan memperoleh “penemuan-penemuan”, sementara kebanyakan yang
lainnya akan kehilangan minat dan menunggu secara pasif terhadap orang lain yang mungkin
akan menyelesaikan proyek penemuan itu. Alih-alih memperoleh keuntungan dari penjelasan
guru yang terorganisasi dengan baik, justru siswa-siswa yang tak berhasil memperoleh
“penemuan” ini akan mendapatkan penjelasan yang keliru dari dari siswa-siswa yang tak
dapat mengkomunikasikan apa yang telah mereka “temukan” dengan bahasa yang tepat.
Para kritikus pembelajaran penemuan (discovery learning) yakin bahwa pembelajaran
penemuan tidak efektif dan terlalu sulit untuk diorganisasikan. Pendapat ini tentunya akan
sangat tepat bila guru berhadapan dengan siswa-siswa dengan kemampuan rendah. Discovery
learning mungkin tidak tepat untuk mereka karena meminta terlalu banyak, sementara siswasiswa tidak atau kurang memiliki latar belakang pengetahuan yang cukup dan keterampilanketerampilan pemecahan masalah yang diperlukan untuk menjamin kesuksesan pelaksanaan
discovery learning. Banyak hasil penelitian justru menunjukkan bahwa model pembelajaran
penemuan (discovery learning) tidak efektif dan bahkan melemahkan pada anak-anak
berkemampuan rendah

Contoh Makalah Guru Berprestasi

Apa kabar para pembaca blog penelitian tindakan kelas? Sekarang sudah bulan Maret,
berarti di daerah masing-masing event besar pemilihan guru berprestasi siap-siap digelar. Jika
bapak atau ibu guru adalah salah seorang calon peserta guru berprestasi, maka tulisan kali ini
mungkin akan ada manfaatnya. Kali ini kami akan mencoba memberikan contoh makalah
yang merupakan salah satu syarat utama yang harus dipenuhi oleh setiap peserta
pemilihan gupres. Makalah ini adalah makalah yang saya gunakan untuk mengikuti lomba
pemilihan guru berprestasi tahun 2013 lalu, hingga menang di tingkat propinsi dan berhasil
menjadi finalis yang mewakili propinsi Kalimantan Selatan ke Pemilihan Gupres Tingkat
Nasional.
Makalah yang akan saya sajikan di sini berjudul Menjadi Guru Adalah Sebuah
Pengabdian, Menjadi Guru Berprestasi Adalah Kebanggaan. Makalah ini berbentuk
essay gagasan saya bagaimana cara atau hal-hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan
tugas dan profesi sebagai guru sehingga pada akhirnya pengabdian kita akan membawa
kepada sebuah prestasi yang patut dibanggakan. Tentu saja ini adalah contoh semata, bapak
dan ibu guru harus menyesuaikan dengan tema yang diminta panitia seleksi. Persiapkan juga
bahan presentasinya dengan baik.
DONWNLOAD CONTOH PRESENTASI POWER POINT UNTUK SELEKSI GURU
BERPRESTASI
DOWNLOAD SAMPUL MAKALAH GURU BERPRESTASI

Isi Makalah Guru Berprestasi Tahun 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Saat ini profesi guru tengah banyak disorot oleh masyarakat kita dibanding profesi lainnya.
Di masyarakat luas, guru telah dianggap sebagai ujung tombak proses pendidikan. Oleh
karena itu, baik atau buruk kualitas pendidikan di negeri ini selalu disangkutpautkan terutama
dengan guru.
Secara formal guru adalah seseorang yang diangkat secara resmi oleh pemerintah atau
lembaga swasta. Mereka diangkat dengan sebuah surat keputusan yang memberikan tugas
dan fungsi yang melekat padanya di suatu lembaga atau jenjang pendidikan tertentu.
Perjalanan sejarah karier guru yang ada di sekitar kita tampaknya mempunyai jalur yang
bervariasi. Tidak sedikit guru yang kariernya dengan mudah melesat naik. Banyak guru kita
saksikan sukses hingga menjadi anggota dewan perwakilan rakyat, kepala dinas, bupati,
walikota, gubernur, atau bahkan mungkin menduduki jabatan-jabatan lain yang lebih tinggi.
Ada banyak guru yang sejak mulai menjadi guru telah menunjukkan optimisme yang tinggi
dalam berkarya. Guru-guru ini berkembang menjadi guru inti, instruktur, hingga akhirnya
dikirim belajar ke jenjang yang lebih tinggi bahkan tidak sedikit yang dikirim ke luar negeri.
Sayangnya, banyak pula kenyataan di lapangan kita temui, guru-guru masih mengalami
berbagai kendala dalam mengembangkan diri dan kariernya. Kondisi mereka cukup
memprihatinkan. Mereka mengajar sambil terpaksa melakukan pekerjaan lainnya untuk
menutupi kebutuhan ekonomi. Mereka bahkan hampir tidak mampu membiayai pendidikan

anak-anak mereka sendiri.
Tentu saja besaran gaji bukanlah satu-satunya faktor yang berpengaruh terhadap kinerja
profesional guru. Ada banyak faktor lain seperti rasa pengabdian, kecintaan terhadap profesi,
kebiasaan melakukan refleksi diri, hingga semangat untuk terus belajar sepanjang hayat juga
mempengaruhi kinerja mereka. Akan tetapi kesejahteraan tetap signifikan berdampak pada
kualitas kinerja guru. Karena itu, sudah sepantasnyalah guru-guru profesional yang kompeten
dan berprestasi di bidangnya layak mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hak mereka.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dibuat sejumlah rumusan masalah, yaitu
sebagai berikut:
1. Bagaimana pengabdian seorang guru dapat membawanya menjadi guru profesional /
guru yang kompeten?
2. Apa saja yang selanjutnya harus dilakukan seorang guru yang telah memberikan
pengabdiannya sehingga ia dapat menjadi seorang guru profesional?
3. Bagaimana hubungan motivasi pada diri guru profesional sehingga ia bisa menjadi
seorang guru yang berprestasi?
C. TUJUAN PENULISAN
Secara umum makalah ini bertujuan menjelaskan bahwa profesi guru adalah sebuah
pengabdian, yang pada gilirannya pengabdian tersebut akan mengantarkan guru menjadi guru
yang benar-benar profesional dan berprestasi.
Secara khusus makalah ini bertujuan untuk menjelaskan tentang hal-hal berikut:
1. Pengabdian yang dilakukan oleh seorang guru dalam kaitannya dengan pengembangan
profesinya.
2. Hal-hal yang selanjutnya harus dilakukan seorang guru yang telah memberikan
pengabdiannya sehingga dapat menjadi seorang guru profesional.
3. Hubungan motivasi pada diri guru profesional sehingga ia bisa menjadi seorang guru
yang berprestasi.
D. MANFAAT PENULISAN
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini antara lain sebagai berikut:
1. Menggugah guru yang membacanya untuk mengabdikan diri secara tulus pada
profesinya.
2. Menjadi salah satu sarana untuk mengajak guru agar meningkatkan kompetensinya
sehingga dapat menjadi guru yang profesional dan berprestasi.
3. Menjadi sebuah wadah bagi penulis untuk menuangkan ide-ide yang dimilikinya sebagai
salah satu bentuk aktualisasi diri, perwujudan sebuah pengabdian dan kecintaan terhadap
profesi guru untuk dibagikan kepada pembaca.
BAB II
PEMBAHASAN
A. MENJADI GURU ADALAH SEBUAH PENGABDIAN

Banyak definisi yang telah dirumuskan oleh para ahli mengenai apa itu ‘guru’. Salah satunya
seperti pendapat Suparlan, 2005: 12 yang menyebutkan bahwa guru adalah orang yang
tugasnya terkait dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dalam semua aspeknya, baik
spiritual, emosional, fisikal, intelektual, maupun aspek-aspek lainnya.
Jika kita menilik definisi di atas secara seksama maka kita akan menyadari betapa mulianya
tugas seorang guru. Ia adalah sosok yang mempunyai tugas yang sangat penting, yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa. Tugas ini bukan tugas yang ringan, karena ‘mencerdaskan
kehidupan bangsa’ di sini meliputi semua aspek kehidupan di antaranya aspek spiritual, aspek
emosional, aspek fisikal, aspek intelektual, maupun aspek-aspek lainnya.
Tugas penting dan tidak ringan tersebut umumnya kita dapati di lapangan, telah dilakukan
guru dengan penuh perasaan cinta, tanggung jawab, dan keikhlasan. Mereka melakukan
pekerjaannya sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat, bangsa, dan negara. Guru
melakukannya tanpa paksaan dan tanpa tekanan rasa ketakutan. Apabila ada seorang guru
yang melakukan tugasnya bukan karena rasa pengabdian tetapi karena keterpaksaan atau
karena tekanan rasa ketakutan, maka guru itu sesungguhnya bukanlah seorang ‘guru’. Ia tidak
akan dapat memberikan kontribusi bagi tujuan mulia pendidikan, yaitu untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Pengabdian seorang guru seringkali bukanlah hal yang mudah dilakukan. Pengabdian seorang
guru bahkan kadang-kadang harus diikuti dengan pengorbanan besar. Banyak guru yang
mengabdi di tempat-tempat yang terpencil: jauh di puncak-puncak pegunungan, di pulaupulau kecil di tengah lautan, hingga di antara masyarakat yang masih terasing dari peradaban
modern. Banyak guru yang mengabdi di daerah-daerah rawan konflik yang tentu saja dapat
membahayakan keselamatan jiwanya dan keluarganya. Acapkali pula demi pengabdiannya,
banyak guru terpisah jauh dari keluarga karena harus tinggal di daerah-daerah yang sarana
tranpsortasi dan komunikasinya masih sangat sulit dan minim. Banyak guru yang mengabdi
tanpa terlalu memperhitungkan besaran gaji yang akan mereka terima. Kita tahu, masih
banyak guru-guru non-PNS yang gajinya bahkan sangat jauh di bawah UMR (Upah
Minimum Regional) buruh.
Lalu, jika pilihan hidup untuk mengabdi sebagai seorang guru bukanlah jalan yang mudah
dan mulus untuk dilalui, mengapa hingga sekarang masih banyak orang-orang yang
melakukannya? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus kembali memahami makna sebuah
pengabdian. Pilihan hidup menjadi seorang guru apabila dilakukan dengan tulus ikhlas dan
rasa cinta, maka akan membawa seseorang kepada kebahagiaan yang tentu tidak dapat dinilai
dengan materi. Inilah modal terbesar yang akan membawa seseorang pada kesuksesan dalam
menjalani profesi sebagai seorang guru: pengabdian. Apabila seorang “guru” tidak memiliki
rasa pengabdian yang tulus di dalam dirinya, maka “guru” itu tidak akan dapat bertahan pada
pekerjaannya, dan ia bukanlah seorang guru yang sebenarnya.
B. GURU YANG KOMPETEN DAN BERPRESTASI
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya dalam tulisan ini, bahwa guru yang memiliki rasa
pengabdian yang tulus di dalam dirinya, maka ia telah memiliki modal terbesar untuk
menjadi guru yang kompeten dan berprestasi. Pertanyaan berikutnya adalah: Hal-hal apa
sajakah yang harus dilakukan oleh seorang guru yang telah mempunyai rasa pengabdian yang
tulus ini agar ia dapat menjadi seorang guru yang kompeten dan berprestasi?

Modal dasar berupa rasa pengabdian yang tulus apabila ditambah dengan kompetensi yang
wajib dimiliki seorang guru agar dapat melaksanakan tugas dan fungsinya akan membentuk
guru yang kompeten. Guru yang kompeten adalah guru yang memiliki kompetensi-mutlak
untuk menjadi seorang guru. Kompetensi-kompetensi guru ini diperoleh melalui proses
belajar sepanjang hayat. Agar proses belajar sepanjang hayat yang dilakukan guru dapat
efektif, maka ia juga harus membiasakan diri berpikir reflektif. Kebiasaan berpikir reflektif
memungkinkan guru mengetahui potensi yang dimilikinya untuk mengembangkan diri, selain
juga mengetahui kompetensi yang telah dan belum dimilikinya saat ini. Di samping itu, sifat
kreatif dan inovatif juga sangat penting dimiliki oleh seorang guru. Melalui sifat ini guru
akan menjadi role model (teladan) yang pantas untuk dicontoh peserta didik bahkan orangorang lain di sekitarnya.
1. Guru yang Kompeten
Pada beberapa tahun belakangan, kita mengenal guru yang kompeten ini sebagai Guru
Profesional. Menurut Suyatno (2008: 15 – 17), guru dengan predikat profesional ini memiliki
4 bidang kompetensi, yaitu: (a) Kompetensi Pedagogik; (b) Kompetensi Kepribadian; (c)
Kompetensi Sosial; dan (d) Kompetensi Profesional. Keempat bidang kompetensi yang wajib
dimiliki oleh seorang guru ini akan di bahas satu persatu.
a. Kompetensi Pedagogik
Kompetensi pedagogik yang harus dimiliki seorang guru meliputi kompetensi:
1) Pemahaman terhadap peserta didik, dengan indikator esensial: memahami peserta didik
dengan memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif dan kepribadian dan
mengidentifikasi bekal-ajar awal peserta didik.
2) Perancangan pembelajaran, dengan indikator esensial: memahami landasan
kependidikan; menerapkan teori belajar dan pembelajaran; menentukan strategi pembelajaran
berdasarkan karakteristik peserta didik, kompetensi yang ingin dicapai, dan materi ajar; serta
menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan strategi yang dipilih.
3) Pelaksanaan pembelajaran, dengan indikator esensial: menata latar (setting)
pembelajaran; dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif.
4) Perancangan dan pelaksanaan evaluasi hasil belajar, dengan indikator esensial:
merancang dan melaksanakan evaluasi (assessment) proses dan hasil belajar secara
berkesinambungan dengan berbagai metode; menganalisis hasil evaluasi proses dan hasil
belajar untuk menentukan tingkat ketuntasan (mastery learning); dan memanfaatkan hasil
penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas program pembelajaran secara umum.
5) Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimiliknya, dengan indikator esensial: memfasilitasi peserta didik untuk pengembangan
berbagai potensi akademik; dan memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan berbagai
potensi nonakademik.
b. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian adalah kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang
mantap dan stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan
berakhlak mulia.
1) Kepribadian yang mantap dan stabil memiliki indikator esensial: (a) bertindak sesuai
dengan norma hukum; (b) bertindak sesuai dengan norma sosial; (c) bangga sebagai guru; (d)
memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai norma.
2) Kepribadian yang dewasa memiliki indikator esensial: (a) memiliki kemandirian dalam
bertindak; dan (b) memiliki etos kerja sebagai guru.
3) Kepribadian yang arif memiliki indikator esensial: (a) menampilkan tindakan yang

didasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah, dan masyarakat; (b) menunjukkan
keterbukaan dalam berpikir dan bertindak.
4) Kepribadian yang berwibawa memiliki indikator esensial: (a) memiliki perilaku yang
berpengaruh positif terhadap peserta didik; dan (b) memiliki perilaku yang disegani.
5) Berakhlak mulia dan dapat menjadi teladan memiliki indikator: (a) bertindak sesuai
dengan norma religius (iman dan taqwa, jujur, ikhlas, suka menolong); dan (b) memiliki
perilaku yang diteladani peserta didik.
c. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif
dengan peserta didik, sesama pendidik dan tenaga kependidikan, serta masyarakat sekitar.
d. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional adalah penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam,
yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi
keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap struktur dan metodologi
keilmuannya.
1) Menguasai substansi keilmuan yang terkait dengan bidang studi yang dipegangnya
memiliki indikator esensial: (a) memahami materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah;
(b) memahami struktur, konsep dan metode keilmuan yang menaungi atau koheren dengan
materi ajar; (c) memahami hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; dan (d) menerapkan
konsep-konsep keilmuan ke dalam kehidupan sehari-hari.
2) Menguasai struktur dan metode keilmuan memiliki indikator esensial: (a) menguasai
langkah-langkah penelitian; dan (b) menguasai kajian kritis untuk memperdalam pengetahuan
atau materi bidang studinya.
Tentu saja tidak ada ruginya menjadi guru yang profesional atau kompeten di bidangnya.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 40
ayat 1 menyatakan hak-hak pendidik dan tenaga kependidikan, di antaranya: (a) penghasilan
dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai; (b) penghargaan sesuai tugas dan
prestasi kerja; (c) perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan
intelektual; hingga (d) kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas
pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
2. Kebiasaan Berpikir Reflektif
Menurut Arqom (2012), berpikir reflektif adalah berpikir untuk mengingat kembali terhadap
apa yang sudah dilakukan dalam rangka melakukan instropeksi, refleksi dan spirit koreksi
atas berbagai kualitas dan cara kerja yang sudah kita lakukan dalam kehidupan ini.
Berpikir reflektif harus dijadikan kebiasaan karena sangat besar manfaatnya. Adapun manfaat
berpikir reflektif yang berhubungan dengan pengembangan diri seorang guru misalnya:
a. Berpikir reflektif memungkinkan guru untuk mengintrospeksi apa yang sudah dan belum
dicapai. Dengan berpikir reflektif, seorang guru dapat mengetahui di posisi mana sekarang ia
berada. Posisi yang dimaksud di sini adalah tingkat kompetensi yang dimilikinya bila
dibandingkan secara normatif dengan guru lainnya, atau secara standar bila dibandingkan
dengan standar kompetensi minimal yang harus dimiliki seorang guru profesional. Adalah
hal yang unik bahwa kadang-kadang seseorang baru menyadari bahwa langkah-langkah
hidupnya tidak produktif, begitu ia menyempatkan diri berpikir reflektif dan mengevaluasi
dirinya di suatu waktu misalnya di akhir pekan.

b. Berpikir reflektif dapat menumbuhkan motivasi untuk memperbaiki diri menuju ke arah
yang lebih baik. Tidak setiap orang merasa perlu memperbaiki diri. Karena itu, melalui proses
berpikir reflektif dengan penyediaan waktu untuk merenung dan melihat ke belakang, lalu
melihat hal-hal yang belum dikerjakan secara optimal di masa lalu maka muncullah motivasi
untuk memperbaiki diri.
c. Melalui proses berpikir reflektif seorang guru akan mengetahui potensi dan sumber daya
yang dimilikinya. Setiap orang memiliki potensinya masing-masing. Potensi ini bersifat unik
dengan kadar yang berbeda-beda. Bila seorang guru mengetahui potensi dan sumber daya apa
yang dimilikinya, maka ia akan dapat memanfaatkannya secara maksimal untuk
pengembangan kompetensinya. Mereka akan berkembang menjadi guru-guru yang
profesional, kreatif dan inovatif dengan berbagai kelebihannya masing-masing.
3. Prinsip Belajar Sepanjang Hayat
Aziz (2012: 160) menyebutkan bahwa orang-orang terpelajar adalah mereka yang telah
melalui proses belajar dan terus belajar. Mereka tidak mau berhenti belajar kecuali nyawa
telah hilang dari tubuh kasar mereka. Mereka pun tidak hanya belajar, tetapi juga
mempraktikkan apa yang telah mereka pelajari dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Belajar sepanjang hayat dapat memberikan kesempatan belajar secara wajar dan luas kepada
seorang guru sesuai dengan perbedaan minat, usia, dan kebutuhan belajar masing-masing
(Hufad, 2010). Belajar sepanjang hayat tidak dibatasi oleh waktu, tempat, sarana, media, dan
sumber belajar. Guru dapat belajar setiap hari dari beragam sumber dengan tujuan
memperoleh informasi yang mendukung pengembangan kompetensinya. Guru dapat belajar
melalui seminar, pameran, forum ilmiah, tayangan televisi hingga film-film yang bermutu
dan berkorelasi dengan profesinya.
Pada penerapan prinsip belajar sepanjang hayat, guru harus menjadikan membaca sebagai
suatu kebiasaan sehari-hari sehingga menjadi budaya yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupannya. Mereka dapat membaca koran, buku, hingga menggali secara mandiri bahan
bacaan dan informasi dari internet. Pada era informasi sekarang ini, guru harus selektif
memilih bacaan. Ia harus dapat menyeimbangkan antara minat dan kebutuhannya.
Membaca saja tidaklah cukup. Guru harus mempunyai keterampilan menulis. Keterampilan
ini dapat diperoleh guru secara alamiah melalui kebiasaan membaca dan latihan-latihan.
Kebiasaan membaca akan membuat guru mengolah kembali informasi yang didapatnya saat
membaca. Informasi yang telah diolah ini akan membantu guru memunculkan ide-ide baru.
Pada saat ide-ide baru ini muncul, maka guru akan merasa perlu untuk mengekspresikannya
dalam bentuk tulisan. Guru dapat berlatih menuliskan ekspresinya di berbagai media. Saat ini
terdapat beragam media untuk mempublikasikan tulisan dapat dipilih guru, mulai dari media
cetak hingga media virtual seperti jejaring sosial facebook dan blog.
4. Kreatif dan Inovatif
Menurut Woolfolk (1995), kreatif adalah sifat yang dimiliki seseorang yang berpikir
imajinatif, orisinil, dengan tujuan untuk memecahkan masalah. Sedangkan inovatif adalah
nilai kebaruan dan kemanfaatan dari suatu penerapan pemecahan masalah.
Guru seringkali menemui berbagai kendala dalam melaksanakan pembelajaran di kelasnya
atau tugas-tugas lainnya, misalnya karena keterbatasan sarana dan prasarana. Guru yang
memiliki sifat kreatif dan inovatif tidak akan menganggap keterbatasan ini sebagai kendala
yang berarti. Dengan kreativitas dan kemampuan melakukan inovasinya, mereka akan
mampu memecahkan masalah untuk mengatasi kendala-kendala tersebut.

Pengembangan kreativitas dan inovasi dapat dilakukan guru melalui berbagai kegiatan,
misalnya mengikuti berbagai workshop untuk meningkatkan kemampuannya dalam bidangbidang tertentu yang berhubungan dengan profesinya. Selain itu guru juga dapat mengikuti
berbagai kegiatan yang bersifat lomba kreativitas dan karya inovasi untuk guru. Saat ini
cukup banyak lomba kreativitas dan inovasi yang diadakan untuk guru setiap tahunnya. Ikut
serta dalam kegiatan yang bersifat lomba ini tujuan utamanya bukanlah menjadi juara, akan
tetapi lebih kepada tujuan untuk memperluas wawasan, menambah pengetahuan dan
keterampilan, serta mengasah daya kreativitas dan daya berinovasi yang dimilikinya.
5. Motivasi Guru Berprestasi
Teori Maslow pada tahun 1954: 92 dalam Slavin (2009: 109) mengidentifikasi dua jenis
kebutuhan: (1) kebutuhan kekurangan; dan (2) kebutuhan pertumbuhan. Hierarki Kebutuhan
Maslow ditunjukkan oleh Gambar 1 berikut.
Menurut Maslow, seseorang akan termotivasi untuk memuaskan kebutuhan pada bagian
bawah hierarki sebelum berupaya memuaskan kebutuhan pada bagian atas. Bila kita cermati,
kebutuhan fisiologis berupa makanan, minuman, pakaian merupakan kebutuhan dasar yang
merupakan kebutuhan kekurangan yang harus dipenuhi. Tanpa terpenuhi kebutuhan
fisiologis, maka seseorang bahkan tidak akan menganggap penting kebutuhan-kebutuhan lain
yang berada di tingkat lebih atas.

Gambar 1. Hierarki Kebutuhan Maslow. Kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan
tertinggi, dalam kaitannya dengan guru profesional, pencapaian sebagai “Guru Berprestasi”
adalah salah satu bentuk aktualisasi diri (Sumber: Slavin, 2009).
Seorang guru profesional tentu saja merupakan individu yang hampir dapat dikatakan
berhasil memenuhi kebutuhan kekurangan yang meliputi kebutuhan fisiologis, kebutuhan
keselamatan, kebutuhan hubungan dan cinta, dan kebutuhan harga diri. Selanjutnya, dengan
kebiasaan berpikir reflektif dan prinsip belajar sepanjang hayat, ia akan mampu memenuhi
kebutuhan pertumbuhan seperti kebutuhan untuk mengetahui dan memahami, bahkan juga
kebutuhan estetik (rasa keindahan). Pencapaian tertinggi oleh seorang guru profesional
adalah mampu menjadi “Guru Berprestasi”. Kemampuan memenuhi kebutuhan aktualisasi
diri ini akan mendatangkan rasa kebanggaan dan kebahagiaan yang sepantasnya mereka
terima.
Aktualisasi diri seorang guru profesional sebagai guru yang berprestasi akan nampak dalam

perilakunya yang mensyukuri dan menerima keadaan dirinya sendiri dan juga orang lain,
spontanitas, keterbukaan, hubungan akrab dengan orang lain tetapi tetap bersikap demokratis,
kreatif, inovatif, memiliki sense of humor, dan kebebasan. Pada intinya, seorang guru
berprestasi yang telah mampu memenuhi kebutuhan aktualisasi diri ini akan memiliki
kesehatan yang prima secara psikologis. Oleh karena itu, bangga menjadi guru profesional
yang berprestasi adalah hal sangat wajar, karena itu merupakan cermin kebahagiaan batin
(psikologis).

Gambar 2. Guru dengan pengabdian yang tulus akan berkembang menjadi guru berprestasi.
Gambar 2 di atas menunjukkan guru yang memiliki rasa pengabdian yang tulus akan mampu
meningkatkan diri menjadi guru profesional. Modal besar yang dimiliki ditambah dengan
kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian, dan kompetensi
akademik yang diperoleh melalui refleksi diri, semangat sebagai pebelajar sepanjang hayat,
kreatif, inovatif, dan memiliki motivasi yang besar menjadikan mereka mampu mencetak
prestasi gemilang yang pantas dibanggakan. Prestasi ini tentu saja akan dihargai dengan
pantas sebagaimana jaminan Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
yaitu Pasal 36 ayat (1), yang berbunyi: “Guru yang berprestasi, berdedikasi luar biasa,
dan/atau bertugas di daerah khusus berhak memperoleh penghargaan.”
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Beberapa hal yang dapat kita simpulkan dari paparan tulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Guru yang mempunyai rasa pengabdian yang tulus dalam melaksanakan tugasnya telah
mempunyai modal yang sangat besar untuk berkembang menjadi guru yang profesional
(kompeten).
2. Guru yang mempunyai rasa pengabdian yang tulus dapat berkembang menjadi guru
profesional apabila ia mempunyai kebiasaan berpikir reflektif dan prinsip hidup sebagai
pebelajar sepanjang hayat, serta kreatif dan inovatif. Dengan berpikir reflektif, guru akan
mengetahui posisi dan potensinya. Dengan prinsip hidup sebagai pebelajar sepanjang hayat,
ia akan terus belajar sehingga memiliki kompetensi pedagogik, sosial, kepribadian, maupun
profesional. Dengan sifat kreatif dan inovatif yang dimiliki, ia akan menjadi guru yang
mampu mengatasi berbagai kendala dan masalah dalam melaksanakan tugasnya.
3. Berdasarkan pemikiran Maslow tentang hierarki motivasi, guru profesional yang

tercukupi kebutuhan-kebutuhannya akan mampu mengaktualisasikan diri untuk berkembang
menjadi guru yang berprestasi dan bangga akan prestasi yang diraihnya dengan tetap
memiliki karakter-karakter luhur.
B. SARAN
Adapun saran-saran yang dapat diberikan agar guru dapat lebih termotivasi untuk melakukan
tugasnya sebagai sebuah bentuk pengabdian dan mampu berkembang sebagai guru
berprestasi adalah sebagai berikut:
1. Apabila seseorang telah menentukan bahwa pilihan profesi yang akan dijalaninya adalah
sebagai seorang guru, maka hendaklah ia benar-benar tulus untuk melaksanakan tugasnya
sebagai sebuah pengabdian.
2. Untuk mengembangkan diri menjadi guru yang profesional, hendaknya pengabdian tulus
yang telah diberikan selalu diimbangi dengan kebiasaan berpikir reflektif, mempunyai prinsip
hidup sebagai pebelajar sepanjang hayat yang selalu berusaha meningkatkan kompetensi diri
di bidang pedagogik, sosial, kepribadian, dan profesional, dan mengasah kreativitas dan
kemampuan berinovasi.
3. Kepada pihak-pihak yang berwenang, hendaknya terus berupaya meningkatkan
kesejahteraan guru agar segala kebutuhan-kebutuhan yang mereka perlukan dapat terpenuhi.
Dengan tercukupinya kebutuhan-kebutuhan guru maka akan dapat memotivasi guru untuk
mengaktualisasikan diri menjadi guru profesional yang bangga akan profesi dan prestasi yang
diraihnya.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim (2011). Manusia dan Tanggung Jawab. Tersedia Online di
http://iiam.blogdetik.com/2011/04/20/manusia-dan-tanggung-jawab/ diakses tanggal 22 Mei
2013.
Anonim (2013). Pedoman Pelaksanaan Pemilihan Guru Berprestasi Pendidikan dasar Tahun
2013. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan dasar,
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Arqom, Akhmad (2012).Agar Hidup Kita Semakin Berkualitas Berpikirlah Reflektif!
Tersedia di http://www.masulum.com/2012/05/25/agar-hidup-kita-semakin-berkualitasberpikirlah-reflektif/ diakses tanggal 22 Mei 2013.
Aziz, Amka Abdul (2012). Hati, Pusat Pendidikan Karakter (Melahirkan Bangsa Berakhlak
Mulia). Klaten: Penerbit Cempaka Putih.
Hufad, Achmad., dkk. (2010). Studi Tentang Implementasi Program Belajar Sepanjang Hayat
di Indonesia: Makalah disampaikan pada Seminar Internasional Pendidikan Luar Sekolah,
yang Diselenggarakan oleh Prodi PLS-SPS-UPI Bandung tanggal 29 Nopember 2010.
Slavin, Robert E. (2009). Psikologi Pendidikan, Edisi Ke Delapan, Cetakan Pertama.
(Terjemahan). Jakarta: Penerbit Indeks.

Suparlan (2005). Menjadi Guru Efektif, Cetakan Pertama. Yogyakarta: Hikayat Publishing.
Suparlan (2006). Guru Sebagai Profesi, Cetakan Pertama. Yogyakarta: Hikayat Publishing.

Dokumen yang terkait

ANALISIS KEMAMPUAN SISWA SMP DALAM MENYELESAIKAN SOAL PISA KONTEN SHAPE AND SPACE BERDASARKAN MODEL RASCH

69 778 11

MODEL KONSELING TRAIT AND FACTOR

0 2 9

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF

2 5 46

STUDI PERBANDINGAN HASIL BELAJAR DAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DITINJAU DARI PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

6 77 70

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) DENGAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL)

11 75 34

MENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA REALIA DI KELAS III SD NEGERI I MATARAM KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN TANGGAMUS TAHUN PELAJARAN 2011/2012

21 126 83

PENGARUH KEMAMPUAN AWAL MATEMATIKADAN MOTIFBERPRESTASI TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

8 74 14

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TPS UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJASAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV B DI SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

6 73 58

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62