MODEL PEMBELAJARAN RETORIKA ISLAM NUSANT (1)

MODEL PEMBELAJARAN RETORIKA ISLAM NUSANTARA
BERBASIS MEDIA SOSIAL DI INDONESIA
Dini Safitri
dinisafitri@unj.ac.id
Wina Puspita Sari
wina99ps@yahoo.com
Reny Yuliati
rennyyuliati@yahoo.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pembelajaran retorika Islam Nusantara berbasis media
sosial di Indonesia. Berdakwah melalui media sosial tentunya juga memerlukan metode tersendiri.
Bagaimana membuat pesan yang dapat diterima oleh pengguna media sosial, yang terdiri dari berbagai
macam kalangan, tentunya memerlukan sebuah tim intelekual yang dapat mengelola pesan dengan baik.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif untuk dapat mengetahui hasil dari
penerapan model pembelajaran retorika dalam pengembangan Islam Nusantara di Indonesia. Hasil dari
penelitian ini adalah model pembelajaran retorika Islam Nusantara di media sosial dalam pengembangan
Islam Nusantara di Indonesia sudah dikelola oleh tim dari elit organisasi Islam dan memiliki sejumlah
prosedur atau cara kerja yang dapat diterapkan dalam sebuah model. Namun belum di urus secara
maksimal, sehingga perlu usaha lebih lanjut dalam penerapan model pembelajaran retorika Islam
Nusantara sehingga sesuai ajaran islam yang rahmatan lil alamin, terutama berdasarkan yang telah
dipraktikan oleh walisongo.

Kata Kunci: Model Pembelajaran, Retorika, Islam Nusantara, Media Sosial
Pendahuluan
Islam di Nusantara sudah menjadi bagian keseharian dalam masyarakat Indonesia. Hal tersebut terjadi
karena di Indonesia, mayoritas penduduknya beragama Islam. Maka perpaduan antara budaya Islam dan
budaya Nusantara sudah bercampur baur menjadi satu. Namun dengan kehadiran organisasi Islam
transional di Indonesia, menjadi corak baru dan tantangan tersendiri bagi organisasi Islam Indonesia
dalam mempertahankan nilai Islam Nusantara yang sudah tertanam di Masyarakat. Selain itu, kehadiran
teknologi baru juga menjadi peluang dan ancaman bagi pegiat Islam Nusantara dalam menyebarluaskan
ajaran Islam Nusantara melalui media sosial.
Namun sayangnya, kehadiran media sosial sering digunakan untuk menyerukan pesan berkonten
negatif atau pesan untuk menyerang seseorang atau beberapa organisasi. Dalam penelitian Romzek 1,
1 Romzek, Barbara S. 2015. Living Accountability: Hot Rhetoric, Cool Theory, and Uneven Practice. dalam
Political Science & Politics, Volume 48, Issue 01, January 2015, pp 27-34. American Political Science Association.

pemanfaatan media sosial seperti tersebut, dijelaskan dalam model retorika yang ia namakan "Hot
Retorika". Menurut Romzek, hot retorika diciptakan dalam bentuk konten di luar rasionalitas dan logika.
Romzek menghubungkan teori ilmu komunikasi politik yang membahas hubungan studi wacana, framing
dan demokrasi, dengan perilaku pemilih yang menyesuaikan pandangan mereka tentang siapa yang
sukses mendapatkan keberpihakan pemilih, dikaitkan dengan partai mana yang disukai.
Model Romzek tersebut, peneliti manfaatkan untuk menjelaskan bagaimana media sosial di

manfaatkan oleh elit intelektual organiasi Islam di Nusantara dalam menyebarluaskan nilai Islam
rahmatan lil alamin. Pada penelitian sebelumnya, para elit organisasi Islam, khususnya di Indonesia
belum pernah mengunakan sosial media untuk menyebarluaskan Islam rahmatan lil alamin.
Contohnya pada penelitian Syaikhu (2012), ulama Islam Indonesia menyebarkan paham Islam
melalui tempat-tempat pendidikan, seperti sekolah, pondok, masjid dan juga lewat media buletin.
Begitu pula hasil dari penelitian Bachtiar (2008) yang menyebutkan bahwa gerakan elit organisasi
Islam mengunakan jaringan organisasi untuk melakukan gerakan dakwah, pembaharuan, dan aktif
dalam kegiatan sosial dan ekonomi umat. Penelitian Aswar (2015) juga menyebutkan posisi dan
pengaruh elit organisasi Islam demikian penting, dikarenakan jaringan pesantren yang luas yang
menjadi basis pendukung baik di desa maupun di kota. Selain itu pengaruh tersebut juga disebabkan,
karena adanya manajemen organisasi Islam yang sehat dan kaderisasi yang teratur.
Namun pada masa kini, ulama Islam Indonesia tidak hanya membuat pesantren, pondok,
atau masjid, tapi juga membuat fanpage di media sosial. Oleh Karena itu, banyak dari kalangan para
ulama juga memiliki pengikut yang banyak di media sosial. Ust Yusuf Mansur, Ust. Muhammad
Arifin Ilham, Aa Gym, Ustad Felix Siauw dan Ust. Bachtiar Nasir adalah sederet ulama yang
memiliki pengikut terbesar di media sosial. Mereka menjadi rujukan netizen untuk topik pemikiran
islam, wawasan keislaman dan nilai-nilai Islam yang terkait dengan pembangunan, pengelolaan
sumberdaya alam, kebangsaan, dan membagun peradaban.
Berdasarkan paparan di atas, penelitian ini bertujuan menjelaskan model pembelajaran retorika
dalam pengembangan Islam Nusantara di Indonesia pembelajaran retorika dalam pengembangan Islam

Nusantara di Indonesia. Oleh karena itu, peneliti

berharap

dapat

membuat

teori

atau

model

wacana baru, dari hasil pengembangan dan penggabungan teori dan model yang peneliti pakai dalam
penelitian ini, yaitu situasi retorika, tindak tutur, dan model retorika argumentasi. Peneliti tertarik untuk
mengembangkan lebih lanjut penggunaan media sosial untuk mencari tahu gambaran retorika dan
tindak tutur organisasi Islam mengenai wacana Islam rahmatan lil alamin.
Dari segi sosial, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu studi yang membawa
manfaat sosial, seperti memperkaya wacana dalam pendidikan, politik, sosial dan humaniora

yang emansipatoris, untuk bisa membaca dan menginterpretasikan pesan yang disampaikan dengan

retorika Islam di media sosial. Walaupun berbeda-beda organisasi, tapi wacana Islam yang dibawa
tetap satu, yaitu bersumber kepada Al Qur’an dan As Sunnah.
Dari segi metodologis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya metode analisis
wacana dan retorika, khususnya dalam tindak tutur organisasi Islam Indonesia di media sosial.
Dan dari segi praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi kepada pemerintahan,
beserta elemen pendukungnya, khususnya organisasi Islam sebagai komunikator, untuk dapat
membangun retorika Islam yang berbasis budaya emansipatif, sehingga terwujud kemashlahatan
umat yang dikelola oleh iklim pemerintahan demokratis dengan ciri khas Nusantara. Kami
berharap model pembelajaran retorika dalam pengembangan Islam Nusantara di Indonesia dapat
menjadi model kebijakan kepada organisasi Islam dalam membuat pesan pengembangan Islam di
Nusantara dengan media sosial menjadi lebih baik dan massif.
Penelitian sebelumnya tentang retorika, banyak dipakai dalam ilmu politik, salah satunya pernah
ditulis oleh Snowball (1991)2. Snowball menguraikan strategi persuasif yang digunakan oleh Moral
Majority di awal tahun1980-an, untuk meyakinkan dan menenangkan segmen dari populasi Amerika. Ia
menganalisis gerakan yang kuat pada gerakan nasionalis Amerika saat itu. Ia mencoba menjelaskan
beberapa hal, yaitu bagaimana energi retorika dari pendukung gerakan, bagaimana posisi retorika
disahkan, dan menjelaskan penyebab perjuangan gerakan nasionalis Amerika saat itu, serta respon
retorika terhadap kritik politik dan media. Dengan memeriksa pesan fundamental, taktik yang digunakan,

dan kepribadian yang terlibat, studi tersebut menunjukkan bahwa, pesan dasar dari moral majority tetap
konstan. Gerakan nasionalis sebagai gerakan mayoritas berhasil mengubah citra dari gerakan yang
popular sampai pada kejatuhanannya.
Menurut Snowball, retorika dapat dimanfaatkan untuk momentum untuk kenaikan yang cepat,
dalam rangka mempopularkan gerakan, namun dengan retorika juga menjadi momentum akar penurunan
yang cepat dalam rangka menjatuhkan keputusan.

Snowball menyelidiki reaksi rakyat Amerika

terhadap pengaruh moral majority. Ia kemudian membuat ulasan mendalam mengenai bahasa yang biasa
digunakan untuk mendorong gerakan. Ia melihat isu-isu spesifik dan terpolarisasi oleh kritikus dan
pengikutnya. Baik kritikus dan pengikutnya memiliki cara dalam mengekspos alasan runtuhnya gerakan.
Hasil ini kemudian menjadi bahan diskusi untuk penelitian di masa depan. Meskipun fokus utama dari
penelitian ini adalah sejarah moral majority, namun analisis yang dipakai juga mengambarkan sifat
respon sistem politik Amerika, untuk gerakan agama.

2 Snowball, David. 1991. Continuity and Change in the Rhetoric of the Moral Majority. USA: Greenwood
Publishing Gruop, Inc

Selain Snowball, penelitian terbaru ditulis oleh Edward (2014) 3, yang meneliti bagaimana

presiden Amerika yaitu Bush dan Obama mendefinisikan "warga negara yang baik," khususnya yang
berkaitan dengan imigran naturalisasi. Karena warga naturalisasi harus melalui proses berat untuk
menjadi warga negara. Peneliti berpendapat, presiden membangun naturalisasi imigran, sebagai nyawa
dari kemajuan dan kekuatan Amerika. Prestasi individu sebagai pahlawan warga, memberikan sesuatu
untuk semua, yaitu untuk meniru. Pada saat yang sama, presiden menentukan kriteria warga yang baik,
dalam satu dimensi. Kriteria ini dalam hasil penelitian, menunjukan akan merusak potensi kegiatan
komunal, karena membawa isu dan masalah yang perlu dibahas, diperdebatkan, dan berpotensi
dipecahkan.
Dari dua contoh penelitian retorika di atas, peneliti memperoleh irisan bahwa retorika digunakan
pada tindakan dan persepsi, dalam pemikiran pribadi dan komunikasi publik. Retorika adalah sarana
komunikasi serta teori, untuk memahami dan mengkritik diri sendiri, dan sarana alternatif komunikasi.
Retorika berusaha menyatukan motif antara penulis dan pembaca dalam panduan menulis persuasif, dan
kerangka kerja untuk membaca cerdas. Retorika adalah studi dan praktek argumentasi, serta pembuktian
dalam teknik persuasi. Quintilian mengatakan, retorika adalah etos atau karakter penulis, atau "orang
baik, berbicara dengan baik."4
Sementara itu, Robert Scott melihat retorika sebagai epistemik5. Retorika dilihat sebagai
tantangan, bagaimana asumsi retorika dapat digunakan untuk melihat kebenaran sebagai teori, dalam
peradaban barat. Dengan kata lain, retorika sebagai teori, adalah sesuatu yang ada, atau sesuatu yang
dapat diperoleh seseorang, sebagai suatu kebenaran. Menurut Scott, asumsi ini membuat retorika menjadi
sarana untuk mengkomunikasikan kebenaran, atau untuk memimpin individu yang tidak tahu, melalui

persuasi. Dengan kata lain, retorika berfungsi mentransmisikan kebenaran, dan membuatnya terlihat
sebagai kebenaran. Scott berpendapat, meskipun kebenaran bisa eksis, namun diperlukan peranan retorika
yang bertindak sebagai metode untuk menghasilkan kebenaran tetap, dalam interaksi manusia. Dengan
cara ini, retorika adalah epistemik. Jika kebenaran adalah situasional, maka dalam beretorika, kita secara
etis bertanggung jawab untuk terlibat dalam interaksi. Interaksi yang terjadi, bertujuan mengejar

3 Edwards, Jason. 2014. The Good Citizen: Presidential Rhetoric, Immigrants, and Naturalization Ceremonies
dalam American Communication Journal, Volume 16, Issue 2
4 Aristotle. 1991. On Rhetoric: A Theory of Civic Discourse. Trans. George A. Kennedy. New York: Oxford
University Press.

5 Robert L. Scott. 1967. On viewing rhetoric as epistemic. Central States Speech Journal

kebenaran, dengan cara menempatkan dan mempertimbangkan klaim yang dapat bersaing dengan klaimklaim lainnya, sehingga membuat tindakan retorika yang terbaik.
Thomas Farrell, dalam esainya "Pengetahuan, Konsensus, dan Teori Retorika", membatasi
retorika sebatas pengetahuan sosial dan menetapkan pengetahuan ilmiah, bukan bagian dari retorika.
Dalam esai tersebut, Farrell menjelaskan retorika secara epistemik, adalah alat yang menghasilkan
pengetahuan sosial dengan meningkatkan kesadaran individu dengan statusnya sebagai anggota dalam
masyarakat. Ia mengacu pada kesadaran individu yang dapat digunakan untuk mengembangkan
konsensus, yang kemudian mengarah kepada tindakan terkoordinasi dalam suatu masyarakat.

Farrell mengungkapkan bahwa pengetahuan ilmiah terletak di luar retorika. Namun retorika
dibuat, bergantung pada tingkat konsensus yang dirumuskan oleh fakta-fakta ilmiah. Sedangkan
konsensus, dihasilkan dari aktivitas retorika dan terkait dengan pengetahuan sosial. Oleh karena itu, ada
dikotomi dari argumentasi Farrell, yaitu pengetahuan ilmiah berada di luar retorika, tetapi pengetahuan
ilmiah divalidasi melalui pengetahuan sosial, yang berada di dalam wilayah retorika. Ia berpendapat
bahwa pengetahuan sosial, seperti pengetahuan ilmiah, didasarkan pada beberapa bentuk "keteraturan"
dan divalidasi melalui alasan dan tindakan tindakan berulang. Pernyataan ini menandai upaya Farrell
untuk memvalidasi pengetahuan sosial dalam hal ilmiah. Hal ini adalah sugestif dari ketegangan disiplin
antara bidang humaniora dalam beberapa teks retorika klasik.
Kedua esai di atas yang diungkapkan Scott dan Farrel, tentang retorika epistemik, didasarkan
pada paradigma dunia rasional, dimana anggota masyarakat dan komunitas dapat berlatih retorika dan
jenis tindakan retorika, karena merupakan produks pengetahuan. Melalui retorika, terbangun pengetahuan
yang didasarkan pada logika, dan argumentasi beralasan. Scott berpendapat pengetahuan, dapat dilihat
sebagai hasil dari penyelidikan kritis terhadap komitmen manusia dan kemampuan argumentatif.
Sedangkan Farrell berpendapat, teori retorika didasarkan pada logika formal dan informal, yang
dimaksudkan untuk memfasilitasi argumentasi beralasan, tentang pengetahuan sosial.
Berdasarkan empat contoh penelitian diatas, retorika dapat menghidupkan kembali isu-isu yang
signifikan dalam sejarah teori retorika, yaitu, masalah retorika dan hubungannya dengan konstruksi
pengetahuan dan pengembangan masyarakat di masyarakat. Konstruksi pengetahuan dan studi retorika,
memberikan kita masukan bahwa retorika lebih dari sekedar persuasi. Retorika adalah tentang

pembangunan dan mengejar pengetahuan.
Pada perkembangan kontemporer, retorika dikembangkan dengan berbagai model dan tujuannya.
Model yang banyak dikembangkan adalah retorika argumentasi. Penelitiannya pun beragam, tidak hanya
pada pidato, tapi merambah pada teks, grammar, bahasa, gambar, stiker, iklan dan pada pembuatan
software offline dan online. Selain model, perkembangan retorika juga melihat unsur bahwa wacana
retorika, dibangun di atas kerangka ideologi. Untuk mengungkap Interpretasi dari retorika, peneliti

terlebih dahulu mengupas kerangka ideologi pembuat teks. Stuart Hall mendefinisikan ideologi sebagai
kerangka kerja yang meliputi mental, bahasa, konsep, kategori, citra pemikiran, dan sistem representasi,
yang dipakai oleh kelas kelompok sosial, dan kemudian disebarkan untuk dipahami, didefinisikan, dicari
tahu dan dimengerti oleh masyarakat 6. Teori ideologi ini, membantu kita untuk menganalisa bagaimana
ide tertentu datang, untuk mendominasi pemikiran sosial, mempertahankan dominasi dan kepemimpinan,
atas masyarakat secara keseluruhan.
Peran ideologi sangat berguna untuk menjelaskan pengaturan hirarki dominasi dan subordinasi
dalam masyarakat, khususnya menjelaskan bagaimana masyarakat mengatur dirinya sendiri. Menurut
Hall, ideologi berkaitan dengan konsep dan bahasa pemikiran praktis, yang menstabilkan bentuk
kekuasaan dan dominasi tertentu, atau yang mendamaikan dan mengakomodasi massa dalam formasi
sosial7. Hall juga menambahkan, setiap orientasi, perspektif, dan ideologi memiliki dasar di suatu tempat.
Dengan ideologi, seseorang diajarkan untuk memahami dunia seperti yang dikonstruksikan. Dengan kata
lain, seseorang belajar makna, tidak muncul secara alami dari objek atau hubungan. Dalam kata-kata Hall,

ia mengatakan tidak ada satu akhir, artinya tidak ada simbol yang menandakan petanda mutlak, seperti
roda yang tanpa berhenti meluncur. Begitu pula pemaknaan, ia akan terus memproduksi makna-makna
baru8.
Merujuk pada penelitian diatas, maka penelitian tentang peran ulama dalam penyebaran Islam di
Nusantara sangat besar, mereka memproduksi banyak retorika Islam yang tidak hanya mempersuasi
masyarakat nusantara untuk memeluk Islam, namun juga membangun pengetahun tentang Islam itu
sendiri. Dan peran tersebut terus dilanjutkan oleh ulama masa kini dengan model retorika yang di
sesuaikan dengan situasi retorika saat ini. Salah satunya dengan memanfaatkan media sosial sebagai
sarana meretorikakan Islam. Walaupun banyak organisasi Islam yang berkembang di Indonesia, namun
mereka memiliki model Islam yang satu, yang mengacu kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Peneliti
berusaha untuk mencari tahu model tersebut dan kemudian memubuatnya serta memberikanya nama,
dengan nama model pembelajaran retorika dalam pengembangan melalui media sosial.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode campuran dari metodologi kuantitatif
dan kualitatif. Metodelogi kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Metode
survei adalah metode penelitian yang menggunakan kuesioner sebagai instrumen utama untuk
mengumpulkan data. Dalam penelitian ini, kuesioner akan disebar kepada umat Islam di DKI Jakarta.
Sedangkan untuk metodelogi kualitatif, yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode netnografi.
6 Stuart Hall. The Problem of Ideology: Marxism Without Guarantees, in Critical Studies in Cultural Studies, ed.
David Morley and Kuan-Hsing Chen.London: Routledge. 1996. halaman 26.
7 Ibid, halaman 27

8 Lawrence Grossberg, ed. On Postmodernism and Articulation: An Interview with Stuart Hall, in Critical Studies in
Cultural Studies, ed. David Morley and Kuan-Hsing Chen. London: Routledge. 1996. Halaman 137.

Menurut Kozinets, netnografi adalah metode penelitian yang khusus dirancang untuk
mempelajari budaya dan komunitas online. Kozinets mengganti lapangan kerja etnografi menjadi
Computer Mediated Communication (CMC), atau komputer yang memediasi interaksi. Pedoman
melaksanakan netnografi mirip dengan pedoman pelaksanaan penelitian etnografi, namun peneliti
netnografi melakukan penelitian etnografi pada budaya online. Dengan metode netnografi, peneliti dapat
mempelajari keyakinan, nilai-nilai dan adat-istiadat serta perilaku masyarakat atau kelompok tertentu
secara online.
Metode netnografi dipilih sebagai metode dalam penelitian ini, karena penelitian ini
menggunakan internet sebagai lapangan penelitian. Hal tersebut disebabkan oleh semakin banyak orang
menggunakan Internet, mereka memanfaatkan sebagai alat komunikasi yang memungkinkan untuk
memberdayakan pembentukan masyarakat, sehingga tercipta budaya baru yang diciptakan melalui
komputer dan dimediasi dengan interaksi sosial.
Isi
Model pembelajaran retorika Islam Nusantara berbasis media sosial di Indonesia sudah di
praktikan oleh organisasi keagamaan Islam terbesar di Indonesia, yaitu NU. Peneliti sudah melakukan
penelitian terhadap teks-teks yang di muat dalam NU Online. Terpilih 40 naskah untuk dijadikan objek
penelitian. Dibawah ini peneliti hanya akan memaparkan 5 teks teratas yang menjadi objek penelitian.
Teks 1 berjudul Selamat Hari Santri: Miniatur Islam Nusantara, ditulis oleh H. Asmawi Mahfudz, yang
memiliki posisi sebagai elit intelektual NU, yaitu sebagai Mustasyar NU, dan pengajar di IAIN
Tulungagung serta Pengasuh PP Al-Kamal Blitar. Menurut penulis peran santri sangat besar bagi
perjuangan dan perkembangan bangsa dan NKRI. Santri telah berdialektika dengan masyarakat dan telah
berperan besar dalam membangun tanah air Indonesia dan sekaligus sebagai pelopor gerakan Islam
Nusantara dengan mengajarkan ilmu-ilmu agama islam secara kultural sampai dipersepsikan masyarakat
mempunyai ilmu batin.
Penulis memakai pendekatan sejarah untuk menguraikan peran santri dalam membangun tanah
air Indonesia, sehingga layak diapresiasi oleh Presiden Jokowi dengan menetapkan tanggal 22 Oktober
sebagai hari Santri. Penulis memfokuskan para kisah peran santri dalam membuat dasar-dasar kehidupan
masyarakat yang berbasis sosial dan keagamaan sebagai perangkat untuk merubah perilaku para
penduduk, yang dilakukan dengan berbagai metode, cara, dan strategi berdakwah yang cerdas, sebagai
hasil akulturasi Islam dengan budaya masyarakat kala itu. Di akhir tulisan, penulis juga mengajak para
sarjana, baik di dalam negeri dan di luar negeri, untuk melakukan penelitian mengenai fenomena santri
dalam mengawal pertumbuhan dan perkembangan Islam Nusantara, agar dapat diketahui profil santri
sebagai pelopor Islam Nusantara yang melekat di bumi Indonesia. Penulis juga mengarahkan wacana

Islam Nusantara pada kerja akademik, yaitu penelitian. Meneliti bagaimana profil santri sebagai pelopor
Islam Nusantara dengan menggunakan pendekatan sejarah. Ia merujuk pada khittah NU 1926, dimana NU
fokus pada peningkatan kegiatan di bidang keilmuan/ pengkajian/ dan pendidikan.
Teks 2 berjudul Fiqih Madzhab Nusantara, masih ditulis Asmawi Mahfudz. Tulisan ini
menjelaskan sinergis antara aspek ke-Islaman dan ke-Nusantaraan. Pada mulanya, ia menjelaskan terlebih
dahulu pengertian fikih, bagaimana asal mula fikih muncul, berikut perkembangannya. Sebagai pengantar
masuk ke fikih mazhab Nusantara, penulis mengaitkannya dengan tema yang sekarang sedang ngetrend
'Islam Nusantara'. Menurut penulis tema tersebut patut diapresiasi sebagai review terhadap praktik
keberagaman Islam yang semakin hari semakin berkembang aspek kuantitas pemeluknya di dunia.
Penulis melihat fenomena tersebut membutuhkan ide-ide dari pemikir muslim, contoh-contoh empiris
dari praktik keberagaman Islam di dunia Muslim yang barangkali dapat dijadikan miniature untuk di
contoh di belahan dunia Muslim yang lain. Tak terkecuali praktik Muslim Indonesia sebagai pemeluk
mayoritas Muslim di dunia.
Teks 3 berjudul Membangun Pendidikan Tinggi Islam Nusantara, ditulis oleh Maswan, seorang
elit intelektual NU yang memiliki posisi sebagai pengurus Lembaga Pendidikan Tinggi NU (LPTNU)
cabang Jepara dan Dosen UNISNU Jepara. Dalam paragraf pendahuluannya, Penulis menyertakan diskusi
tentang Islam Nusantara yang menjadi tema Muktamar NU, serta kelanjutan hasil Muktamar NU tentang
Islam Nusantara, yang membutuhkan aplikasi dan keterlibatan pemikir-pemikir dari kalangan kiai,
sesepuh NU, kader cendikiawan NU, praktisi pendidikan NU dan seluruh neven dan badan otonom.
Menurut penulis, diperlukan keterlibatan pemikir-pemikir dari kalangan kiai, sesepuh NU, kader-kader
cendikiawan NU, praktisi pendidikan NU dan seluruh neven dan badan otonom NU untuk memikirkan
sebuah rumusan pendidikan Islam Nusantara sebagai wadah pengembangan ajaran pendidikan Islam
bernuansa peradaban bangsa adalah suatu hal yang mendesak, sehingga konsep ideal tentang bangunan
Islam Nusantara mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis berharap, wacana Islam Nusantara dijadikan materi dasar dan wajib pada perguruan
tinggi NU, dan bila memungkinkan menjadi nama baru untuk seluruh perguruan tinggi NU. Namun,
sebelum menuju kesana, perguruan tinggi NU harus merekonstruksi dan merevitalisasi lembaga
pendidikan tinggi NU. Hal tersebut diperlukan agar perguruan tinggi NU dapat menjadi wadah
pengembangan pendidikan NU, sehingga mampu menjadi pilar peradaban Islam Nusantara dan sekaligus
pencetak kader-kader Islam Nusantara yang berperadaban global. Oleh karena itu, diakhir tulisan penulis
menuntut berdirinya perguruan tinggi milik NU dalam satu nama: Perguruan Tinggi Islam Nusantara.
Teks 4, berjudul dalil-dalil Islam Nusantara, ditulis oleh M. Kholid Syeirazi, yang merupakan elit
intelektual NU dengan posisi sebagai sekretaris jenderal PP ISNU. Dalam paragraf awal tulisannya,
penulis menulis dalil tentang kesahihan Islam Nusantara, ke dalam tiga hal. Pertama, Islam Nusantara

lahir dari paham bahwa Islam adalah ajaran universal yang ditampung dalam kultur/budaya manusia yang
partikular. Kedua, Asumsi tidak benar mengenai semua aspek kehidupan manusia telah diatur oleh Islam,
dan bisa dirujukkan kepada teks Al Qur'an atau sunnah, karena Al Qur'an adalah kitab yang bersifat
umum, mengatur hal-hal prinsip, dan tidak masuk ke hal yang bersifat teknis. Apa yang berasal dari Nabi
juga tidak semua berhubungan dengan agama. Yang wajib diikuti adalah sunnah Nabi yang bersifat
agama. Ketiga, Islam Nusantara adalah ekspresi rasa syukur terhadap khadiran Islam di bumi Nusantara
melalui pendekatan budaya, yang nyaris tanpa pertumpahan darah.
Cara penulis menjabarkan dalil-dalil Islam Nusantara tersebut, menggunakan pendekatan historis,
merujuk pada sirah Nabi dan cara dakwah Wali Songo, dan mengatakan pihak yang berseberangan
dengan wacana Islam Nusantara memiliki kecenderungan berpikir ahistoris dan anakronis. Penulis juga
menjelaskan kepada para penolak Islam Nusantara dan pengusung idiom tandingan dari Islam Nusantara,
bahwa: 1). Yang harus diteladani dari Nabi adalah akhlaqnya, bukan ekspresi budayanya, 2). Arabisasi
tidak sama dengan Islamisasi, 3). Islam Nusantara mendukung pengalaman Islam dalam ekspresi budaya
lokal. Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis mengklaim bahwa tema Muktamar NU ke 33,
"Meneguhkan Islam Nusantara untuk peradaban Indonesia dan Dunia", semakin menemukan relevansi
dan keshahihannya.
Teks 5, yang berjudul Kiprah Islam Nusantara dalam Kemerdekaan Indonesia, ditulis oleh
Muhammad Zidni Nafi', seorang elit intelektual NU yang merupakan santri alumni Ma'had Qudsiyyah
Kudus, aktivis CSSMORA dan PMII Rayon Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Penulis
mengangkat tema ini, karena artikel ini dimuat bertepatan dengan tanggal 17 Agustus yang diperingati
sebagai hari kemerdekaan. Penulis memaparkan fakta sejarah Islam Nusantara mulai dari rangkaian bukti
sejarah kiprah Islam Nusantara oleh Wali Songo, Ulama, dan pesantren dalam menyumbangkan kekuatan
untuk meraih kemerdekaan.
Penulis menulis, usai periode Wali Songo, mulai bermunculan ulama yang bersamaan dengan
masuknya kolonialisme di Nusantara. Penulis mengutip tulisan seorang peneliti yang menyebutkan
peranan ulama pada abad 19 dalam membebaskan negeri dari penjajah. Para Ulama memiliki minimal
dua peran, yaitu sebagai pengajar, pemikir maupun pembaharu, juga sebagai panglima atau pemimpin
perang melawan imperialisme Barat. Ulama tersebut antara lain adalah Pangeran Diponegoro, Imam
Bonjol, Ulama-ulama gerakan paderi, Syekh Nawawi Al Bantani, dan lain-lain. Kemudian perjuangan
ulama tersebut masih konsisten pada abad 20, dimana Jepang masuk menggantikan Belanda. Kiai-Santri
membentuk laskar Hizbullah-Sabilillah dan banyak juga yang menjadi komandan dan anggota PETA.
Bahkan laskar Hizbullah-Sabilillah mengawal sampai mempertahankan Kemerdekaan Indonesia,
terutama saat Belanda melakukan agresi militernya, peran kiai-santri menjadi subjek utama dalam
resolusi Jihad yang difatwakan pada 22 Oktober 1945. Penulis berharap dari fakta sejarah tersebut,

sedikit atau banyak dapat diaktualisasikan dalam konteks kekinian, dimana bangsa Indonesia saat ini
sedang membutuhkan 'angin segar' untuk mengarungi masa kemerdekaannya.
Selain memaparkan kisah peran santri dalam memperjuangkan dan mempertahankan
kemerdekaan, penulis juga mengklaim bahwa wacana Islam Nusantara yang diangkat dari tema
Muktamar NU, saat ini relevan dengan kondisi geopolitik dan geokultural global. Oleh karena itu,wacana
Islam Nusantara perlu terus dilestarikan guna membentengi pengaruh asing maupun dari dalam negeri
yang hendak memperkeruh suasana di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam teks ini, wacana
pedagogi dalam bingkai materi sejarah peran santri, mendominasi isi teks.
Berdasarkan penelusuran peneliti, teks-teks yang sudah di muat di web resmi NU, kental dengan
nuansa akademik. Dimana para menulis berusaha menjelaskan metodologi Fikih Nusantara. Melalui
saluran media sosial, para pemikir atau elit NU berusaha menjelaskan konsep metodologi fikih nusantara
sebagai upaya untuk mengkontekstualkan ajaran-ajaran Islam dalam kondisi sosial di berbagai tempat dan
zaman. Para elit NU banyak mencontohkan bahwa bermazhab secara metodologis di China, maka akan
melahirkan produk fikih yang bercorak China. Begitu juga bermazhab secara metodologis di Nusantara,
maka akan melahirkan produk fikih yang penuh dengan nuansa budaya Nusantara, dengan catatan, tetap
melihat aspek kemaslahatan dari produk yang dihasilkan. Dari uraiannya tersebut, para elit NU sampai
pada pendapatnya, bahwa bermazhab secara manhaji atau metodologis, merupakan cara dan upaya paling
kuat untuk melahirkan fikih Nusantara, yakni fikih yang mempertimbangkan kemaslahatan di Nusantara
tanpa harus menegasikan karakteristik budaya nusantara.
Selain itu dalam teks elit NU juga diuraikan bagaimana tradisi pesantren memilih rujukan utama
dalam bahtsul masail atau diskusi hukum, untuk menentukan mana metode yang paling dominan
digunakan, ketika ditemukan pendapat hukum yang saling bertentangan dalam satu masalah yang sama,
yaitu mengarah pada pendapat hukum (ulama) mazhab Syafi'iyyah. Namun elit NU juga menguraikan
bahwa secara kultural, fikih klasik (khususnya mazhab Syafi'iyyah), lahir dari kebutuhan masyarakat abad
pertengahan dalam wilayah dan konteks budaya tertentu yaitu Timur Tengah dan Asia barat. Maka
menurut elit NU, sangat niscaya, bila sebagian dari produk hukum fikih klasik tersebut, merupakan
cerminan kepetingan dari wilayah dan masa saat itu, bukan untuk wilayah dan masa saat ini. Oleh karena
itu, elit NU ingin memunculkan fikih nusantara, yang adaptif terhadap kearifan lokal nusantara dan sesuai
dengan kemashlatan muslim Indonesia.
Beragam usaha dilakukan elit NU di media sosial untuk mengembangkan pembelajaran retorika
Islam Nusantara berbasis media sosial di Indonesia. Tentunya usaha elit NU yang merupakan para penulis
ini, merupakan bagian dari penyebaran wacana pedagogi Islam Nusantara agar dapat tertanam lebih kuat
dan mengakar di Nusantara. Mereka tidak hanya aktif di media sosial, tapi juga aktif di masyarakat dan
memang mengkhususkan diri dalam dunia Pendidikan. Salah satu penulis telah membuat term of

reference (TOR) untuk melakukan kajian Islam Nusantara agar mudah dikaji, dipahami, dan
dioperasionalisasikan dalam ranah akademik. Hal ini dilakukan untuk meluruskan kesalahpahaman
sebagaimana yang dituduhkan oleh sebagian golongan terhadap Islam Nusantara. Ia berupaya
menyakinkan masyarakat bahwa wacana Islam Nusantara adalah ikhtiar akademik dan strategi kedaulatan
kebudayaan dan peradaban.
Menurut elit NU, kehadiran wacana Islam Nusantara bertujuan untuk memperkaya kajian
akademik, dan akan melahirkan spesialisasi-spesialisasi keilmuan yang berwatak nusantara, terutama
ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, filologi, histeriografi, pendidikan, ekonomi,
politik, hukum, dan ilmu sosial maupun alam lainnya. Berikut ini kutipan wawancara dari salah seorang
penulis, yaitu Profesor Isom Yusqi:
Jadi sebenarnya kerja Islam Nusantara itu, kerja-kerja akademik, ingin membangun sistem ilmu
yang berbasis kondisi sosial masyarakat yang ada di Indonesia, yang dibuat oleh orang-orang
Indonesia. Itu salah satu tujuannya. Disamping itu, kita juga ingin memelihara seni dan budaya.
Kan banyak juga, di Aceh, ada tarian saman, yang hasil seni dan budaya itu di kreasi, di
Islamisasi, itu ingin kita pelihara, dan ingin kita teorisasikan. Jadi konservasi budaya, tradisi,
orang-orag Islam yang ada di Indonesia. Kemudian konservasinya dengan cara kita
menteorisasikan, membentuk body of knowledge-nya. Itu juga masuk dalam kerja budaya. Jadi
kerja akademik, kerja budaya.
Para penulis juga optimis bahwa keistimewaan kajian Islam Nusantara akan melahirkan sistem
ilmu pengetahuan yang berwatak dan berkarakter sosial-nusantara dan mendorong tindakan-tindakan
emansipatif demi tugas pencerdasan, humanisasi, dan kesejahteraan sosial. Selain itu, menurut penulis,
kajian islam nusantara merupakan bagian dari islam faktual yang merupakan respon pemeluknya terhadap
sumber ajaran. Proses faktualisasi ajaran Islam saat ini, tidak terlepas dari latar belakang sosio-historis
umat beragama. Seperti, tingkat pengetahuan, budaya, ekonomi, politik dan sejarah. Sehingga dengan
latar belakang yang berbeda, sudah tentu keberagaman adalah keniscayaan. Dari keniscayaan akan
keberagaman tersebut, penulis optimis, kehadiran Islam Nusantara merupakan bagian dari representasi
dari rahmatan lil 'alamin.
Para elit NU juga optimis akan dapat meneguhkan dan mewujudkan mimpi umat Islam Indonesia,
bahwa kedepannya Islam di Nusantara berpotensi besar menjadi model dan rujukan masyarakat dunia.
Seiring dengan laju perkembangan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, para elit NU juga optimis bahwa
ormas di Indoneisa yang awalnya sangat ekstrim dan fundamental dalam menafsir teks-teks agama, suatu
saat bisa menampakan wajah yang toleran dan ramah dalam bersikap. Hal ini tergantung pada pergulatan
pemikiran para anak mudanya, serta sikap dari figur petinggi ormas itu, serta di dorong dengan kegigihan,

kerja keras dan proses panjang yang dilewati warga Nahdliyyin di Indonesia, dalam memperlihatkan dan
menawarkan wajah Islam yang ramah dan peka terhadap persoalan kemanusiaan. Oleh karena itu, elit NU
mengajak seluruh elemen NU memperhatikan tiga rekomendasi dari Muktamar NU ke 33. Pertama,
merumuskan bangunan pengetahuan Islam Nusantara, agar Islam Nusantara tidak terbatas menjadi topik
di forum informal, tapi diskusi serius ilmuwan dunia. Kedua, sosialisasi terorganisir kepada publik, agar
tidak diplintir kesana dan kemari. Ketiga, mengajak beberapa elemen di Indonesia yang memiliki
kesamaan visi dalam menampilkan wajah Islam Nusantara yang ramah, menjadi muslim yang
berkontribusi bagi kelangsungan umat manusia, dari Islam Nusantara untuk kelangsungan dunia.
Walaupun demikian, elit NU juga tidak menampik ada ketakutan oleh sebagian kelompok
masyarakat terhadap pemaknaan Islam Nusantara, yaitu wacana yang berujung pada sekularisasi,
pendistorsian, pendangkalan makna Islam, bahkan ditunggagi oleh liberalisme, kapitalisme, maupun
radikalisme. Mereka sudah memahami hal tersebut, karena jauh sebelum mencuatnya ide Islam
Nusantara, Gus Dur telah lebih dahulu muncul dengan konsep keIslaman yang membudaya yang dikenal
dengan konsep pribumisasi Islam. Islam bersifat shalihun li kulli zaman wa makan. Artinya relevan untuk
segala zaman dan tempat. KeIslaman yang mengakomodasi dan dapat diserap budaya lokal.
Menurut elit NU, Islam Nusantara adalah sebagai bentuk penanaman nilai-nilai keIslaman yang
sesuai dengan jati diri bangsa. Konsep yang membebaskan puritanisme, otentifikasi, dan segala bentuk
pemurnian Islam sekaligus juga menjaga kearifan lokal, tanpa menghilangkan identitas normatif Islam.
Islam nusantara adalah cara berIslam yang mempertimbangkan perbedaan lokalitas, ketimbang ideologi
kultural yang memusat, yang hanya mengakui ajaran agama tanpa interpretasi. Sehingga dapat tersebar di
berbagai wilayah, tanpa merusak kultur lokal masyarakat setempat. Dengan demikian, tidak akan ada lagi
praktik-praktik radikalisme yang ditopang oleh paham-paham keagamaan ekstrem, yang selama ini
menjadi ancaman bagi terciptanya perdamaian.
Selain di media sosial, Islam Nusantara sebagai wacana pedagogi, memiliki ruang kelas
akademik di pascasarjana STAINU Jakarta sejak tahun 2012. Prodi Islam Nusantara tersebut bertujuan
mengangkat kekayaan karya Ulama Indonesia, baik dalam metode pengajaran dan penyebaran nilai-nilai
agama Islam, maupun dalam bentuk bangunan peningggalan bersejarah yang ditinggalkan untuk umat
Islam. Semua hal tersebut ingin dilestarikan, serta dibuat teorisasi untuk kemudian dikreasikan,
disempurnakan, dihidupkan kembali, dan dikonvervasikan dalam bentuk peradaban Islam yang maju.
Lebih jauh lagi, gagasan Islam Nusantara bertujuan untuk meng-counter discourse terhadap paradigma
keilmuan yang sangat sekularistik-posivistik, yang serba teknologistik-matealistik dan juga penyeimbang
terhadap budaya sosial masyarakat modern yang cenderung materialistik, hedonistis dan pragmatis.
Penutup

Model pembelajaran retorika Islam Nusantara berbasis media sosial di Indonesia perlu
diperhatikan oleh para pengiat Islam Nusantara dalam rangka mengembangkan karakter Islam yang
rahmatan lil ‘alamin. Perhatian tersebut menjadi penting, karena di era keterbukaan informasi seperti
sekarang, banyak sekali informasi yang masuk, baik itu informasi yang dapat dapat mendatangkan
kebaikan dan sebaliknya. Untuk itu diperlukan penyaringan informasi, salah satunya dengan membuat
model pembelajaran Islam Nusantara di Indonesia. Adapun target dari model pembelajaran retorika Islam
Nusantara ini adalah penempatan nilai-nilai Islam kepada umat Islam Nusantara yang sesuai dengan
ajaran Islam yang rahmatan lil alamin

.
Daftar Pustaka

Buku
Aristotle. 1991. On Rhetoric: A Theory of Civic Discourse. Trans. George A. Kennedy. New York: Oxford
University Press.
Bernstein, B. 1990. The structuring of pedagogical discourse. Class, codes and control, Volume 4.
London:
Routledge.
Brummet, Barry. 2015. Rhetoric in Popular Culture, Fourth Edition. UK: Sage Publication Ltd
D, Ruben Brent dan Lea P Stewart. 2006. Communication and Human Behavior. United States: Allyn
and Bacon
Denzin, N. & Lincoln, Y. Eds. 2011. Handbook of qualitative research, 4th ed. Thousand Oaks, CA: Sage.
Eriyanto. 2001.Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS
Foss, S. K. & K. A. Foss. 2003. Inviting transformation: Presentational speaking for a changing world.
Prospect Heights, IL: Waveland.
, K. A. Foss, & Trapp, R. 2002. Contemporary perspectives on rhetoric (3rd ed.). Prospect
Heights, IL: Waveland.
Freire, P. 1970. Pedagogy of the Oppressed. London: The Continuum Publishing Company.
Grossberg, Lawrence ed. 1996. On Postmodernism and Articulation: An Interview with Stuart Hall, in
Critical Studies in Cultural Studies, ed. David Morley and Kuan-Hsing Chen. London: Routledge
Hall, Stuart. 1996. The Problem of Ideology: Marxism Without Guarantees, in Critical Studies in Cultural
Studies, ed.
Littlejohn, Stephen W. dan Karen A. Foss. 2009. Encyclopedia of Communication Theory. USA: Sage
Publication Inc
Lunsford, Andrea A, Kirt H. Wilson dan R. Eberly (eds.) 2009. The SAGE Handbook of Rhetorical

Studies. UK: Sage Publication Ltd.
Maarif, Zainul. 2014. Retorika: Metode Komunikasi Publik. Jakarta: Dapur Buku.
Morley, David and Kuan-Hsing Chen. 1996. Stuart Hall: Critical Dialogues in Cultural Studies. London:
Routledge
Miller, Daniel dan Don Slater. 2000. The Internet: An Ethnographic Approach. Oxford: Berg
Snowball, David. 1991. Continuity and Change in the Rhetoric of the Moral Majority. USA: Greenwood
Publishing Gruop, Inc
Turmudzi, Endang dan Riza Sihabudi (ed). 2006. Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI
Press.
Wood and Smith. 2005. Online Communication. London: LEA Publisher
Zahro, Ahmad. 2004. Tradisi intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa'il, 1926-1999. Yogyakarta: LKiS
Jurnal
Aghaei, Sarah dkk. 2012. Evolution of The World Wide Web: From Web 1.0 to Web 4.0.

International

Journal of Web & Semantic Technology Volume 3, Issue 1
Clark, Urzsula. 2005. Bernstein’s theory of pedagogic discourse: Linguistics, educational policy and
practice in the UK English/literacy classroom. English Teaching: Practice and Critique. December,
2005, Volume 4, Number 3, pp. 32-47
Darity, William A. 2008. Rhetoric.International encyclopedia of the social sciencesVol. 7. 2nd ed. Detroit:
Macmillan Reference USA, p237-239. Gale Cengage Learning
Hamad, Ibnu. 2007. Lebih Dekat dengan Analisis Wacana. Mediator 8 (2) 325-344
Harmon, Derek J., Sandy E. Green Jr dan Thomas Goodnigth. 2015. A Model of Rhetorical
Legitimation: The Structure of Communication and Cognition Underlying Institutional
Jason, Edwards. 2014. The Good Citizen: Presidential Rhetoric, Immigrants, and Naturalization
Ceremonies dalamAmerican Communication Journal, Volume 16, Issue 2
Kaplan, Andreas M. dan Michael Haenlein. 2010. Users of the world, unite! The challenges and
opportunities of Social Media. Business Horizons, Volume 53, Issue 1.
Romzek, Barbara S. 2015. Living Accountability: Hot Rhetoric, Cool Theory, and Uneven Practice.
dalam Political Science & Politics, Volume 48, Issue 01, January 2015, pp 27-34. American
Political Science Association.
Scott, Robert L. 1967. On Viewing Rhetoric as Epistemic. Central States Speech Journal

Artikel dalam Buku
Bernstein, B. 1971. ‘On the classification and framing of educational knowledge’, in M. F. D. Young (ed.)
Knowledge and Control: new directions for the sociology of knowledge. London: CollierMacmillan
Online
http://www.nu.or.id/

Dokumen yang terkait

ANALISIS KEMAMPUAN SISWA SMP DALAM MENYELESAIKAN SOAL PISA KONTEN SHAPE AND SPACE BERDASARKAN MODEL RASCH

69 778 11

MODEL KONSELING TRAIT AND FACTOR

0 2 9

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF

2 5 46

STUDI PERBANDINGAN HASIL BELAJAR DAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DITINJAU DARI PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

6 77 70

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) DENGAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL)

11 75 34

MENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA REALIA DI KELAS III SD NEGERI I MATARAM KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN TANGGAMUS TAHUN PELAJARAN 2011/2012

21 126 83

PENGARUH KEMAMPUAN AWAL MATEMATIKADAN MOTIFBERPRESTASI TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

8 74 14

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TPS UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJASAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV B DI SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

6 73 58

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62