ANALISIS KARAKTER TOKOH UTAMA DALAM NOVE

ANALISIS KARAKTER TOKOH UTAMA DALAM NOVEL “LOLITA” DENGAN
PENDEKATAN PSIKOLOGIS SASTRA DAN ANALISIS NOVEL “SALAH ASUHAN”
DENGAN PENDEKATAN SOSIOLOGIS SASTRA
Disusun guna memenuhi tugas mata Kritik Sastra
Dosen Pengampu : Uum Qomariyah S.Pd., M.Hum

Disusun oleh
Andri Priatno

2101411100

ROmbel

04

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014

ANALISIS KARAKTER TOKOH UTAMA DALAM NOVEL “LOLITA” DENGAN

PENDEKATAN PSIKOLOGIS SASTRA DAN ANALISIS NOVEL “SALAH ASUHAN”
DENGAN PENDEKATAN SOSIOLOGIS SASTRA
A. Identitas Novel Lolita
a)
b)
c)
d)

Judul
Penulis
Jumlah halaman
Penerbit

: Lolita
: Vladimir Nabokov
: 544 Halaman
: Serambi Ilmu Semesta

1. Sinopsis
Lolita adalah sebuah narasi panjang atau memoar pengakuan dari tokoh utama seorang

narapidana yang menunggu sidang pengadilannya, Humbert Humbert. Humbert lahir pada
tahun 1910 di Paris dari keluarga terhormat dan seorang pemilik hotel. Ibunya meninggal
ketika Humbert berumur tiga tahun dan semenjak itu dia diasuh oleh kakak ibunya, tante Sybil
yang menyukai ayah Humbert.
Humbert terobsesi kepada gadis kecil dan belia yang dia sebut sebagai nymphet atau peri
asmara. Hal tersebut disebabkan karena semasa kecil Humbert pernah jatuh cinta kepada
Annabel Leigh dan mereka saling memadu kasih. Namun Annabel akhirnya meninggal karena
sakit tifus dan sejak saat itu, Humbert selalu menyukai gadis-gadis kecil agar perasaan cinta
dan gairah yang pernah dia rasakan tetap terasa seperti saat bersama dengan Annabel.
Sebelum pecah Perang Dunia II, Humbert berpindah dari Paris menuju New York. Di sana
untuk pertama kalinya Humbert menikah dengan seorang putri dokter bernama Valeria, namun
pernikahan tersebut hanya bertahan empat tahun karena Valeria mengkhianatinya. Tahun 1947
Humbert pindah ke Ramsdale untuk menulis. Di sebuah rumah yang dia tempati, dia
menemukan nymphet yang sempurna, anak dari pemilik rumah. Gadis kecil berusia 12 tahun
itu bernama Dolores Haze (Dolly, Lolita, Lola, Lo, atau L).
Ketika Lolita dikirim oleh ibunya, Charlotte Haze, ke Summer Camp, Charlotte
mengultimatum Humbert agar menikahinya (karena dia mencintai Humbert) atau harus pergi
dari rumahnya itu. Awalnya Humbert tidak setuju, namun ketika melihat kemungkinankemungkinan bahwa dengan menikahi ibunya, Humbert akan menjadi ayah tiri Lolita dan
akan selalu bersama dengan Lolita maka Humbert sejutu untuk menikah dengan Charlotte.


Charlotte begitu mencintai Humbert dan Humbert begitu rapi dalam menutupi perilakunya
tersebut. Hingga suatu ketika, catatan harian Humbert yang berisi pengakuannya mencintai
Lolita dibaca oleh Charlotte, tak ayal Charlotte menjadi sangat marah. Humbert mencari akal
agar Charlotte percaya padanya bahwa apa yang dia baca hanyalah penggalan dari novel
buatannya yang belum selesai ditulis. Namun tak disangka, ketika Humbert hendak
mengatakan itu pada Charlotte, ada telefon dari tetangganya yang berkata bahwa Charlotte
baru saja tewas tertabrak.
Lantas Humbert pergi menjemput Lolita tanpa mengatakan bahwa ibunya telah meninggal
melainkan bahwa ibunya sedang sakit dan sekarang berada di rumah sakit. Humbert kemudian
membawa Lolita berkeliling Amerika Serikat, hotel pertama yang dikunjungi adalah The
Enchanted Hunters, hotel yang direkomendasikan Charlotte ketika mereka dulu hendak
berlibur. Di sana, mereka bertemu dengan orang asing yang terlihat sangat mengenal
Humbert, yang kelak diketahui bernama Clare Quilty dan menjadi sangat berhubungan dengan
Lolita. Kemudian mereka berpindah-pindah tempat dari satu hotel ke hotel lainnya. Dalam
perjalanan itu, mereka merasakan cinta terlarang di antara mereka.
Akhirnya Humbert mengatakan pada Lolita bahwa ibunya telah meninggal dan Lolita tak
punya pilihan lain selain bersama dengan ayah tirinya tersebut. Selama hampir setahun
berkeliling, mereka akhirnya menetap untuk sementara di Beardsley. Di sana Lolita sekolah di
sekolah privat dan elit untuk anak-anak putri. Sikap Humbert terlampau posesif pada Lolita
sehingga dia melarang Lolita mengikuti teater dan itu membuat kepala sekolah mengatakan

bahwa Humbert adalah orang tua yang ketinggalan zaman karena tidak memperbolehkan anak
tirinya bermain teater, juga bergaul dengan anak laki-laki.
Akhirnya Humbert mengizinkan Lolita untuk bermain teater dan di tempat tersebut Lolita
bertemu dengan Clare Quilty, yang merupakan akuntan Charlotte, keponakan dokter gigi di
Ramsdale, dan sutradara dari teater yang dimainkan oleh Lolita, selain Quilty juga merupakan
seorang pedofil dan pembuat film pornografi.
Sudah beberapa kali Lolita berusaha untuk melarikan diri dari Humbert namun dia belum
memiliki kesempatan itu. Kedekatan Lolita dengan Quilty membuat Humbert semakin
paranoid dan protektif terhadap Lolita. Ketika Lolita sakit dan dirawat di rumah sakit,
Humbert merasakan dirinya jatuh sakit dan semakin paranoid. Suatu malam, Lolita keluar dari
rumah sakit bersama ‘pamannya’. Humbert yang kalang kabut atas kaburnya Lolita,
mengambil kesimpulan bahwa ‘paman’ yang dimaksud adalah Quilty.

Humbert yang tidak ingin kembali ke sanatorium, melakukan love affair dan perjalanan secara
nomaden selama dua tahun bersama Rita, gadis berusia sepuluh tahun lebih muda dari
Humbert dan seorang pemabuk. Pada tahun 1952, Humbert menetap di suatu tempat. Suatu
hari dia menerima sebuah surat dari Lolita yang kini berusia 17 tahun, telah menikah dan
sedang hamil tua, yang meminta Humbert memberinya sejumlah uang hingga suaminya
mendapatkan pekerjaan di Alaska. Humbert yang terbakar amarah sekaligus cinta kepada
Lolita, membawa senjata ke rumahnya Lolita. Humbert menyangka bahwa suami Lolita

sekarang adalah orang yang membawa kabur Lolita namun ternyata bukan. Humbert tidak
akan mungkin membunuh Lolita yang dia cintai seumur hidupnya, maka dia meminta Lolita
untuk tinggal bersamanya. Namun ternyata Lolita menolak untuk tinggal bersama Humbert
dan hal tersebut membuat patah hati Humbert. Lantas setelah memberikan sejumlah uang
kepada Lolita, Humbert mendatangi kediaman Quilty, orang yang membawa kabur Lolita dan
membunuhnya di sana secara perlahan.
Setelah membunuh, Humbert semakin tak terkendali dan puncaknya adalah dia melakukan
pelanggaran lalu lintas dan lantas ditangkap. Di penjara tersebut kemudian Humbert menulis
memoar berupa pengakuannya tentang kehidupan cinta dia bersama Lolita. Beberapa hari
sebelum masa persidangannya dimulai, Humbert meninggal dunia dikarenakan penyakit
jantung koroner yang diidapnya. Sedangkan Lolita, meninggal saat melahirkan pada tahun
yang sama dengan meninggalnya Humbert, 1952.
2. Kajian Psikologis Sastra Novel “Lolita”
Sebuah novel karya Vladimir Nabokov berjudul Lolita yang ditulis pada tahun 1955.
Novel ini terdiri dari dua bagian: pada bagian pertama terdapat 33 bab dan bagian kedua
terdapat 36 bab. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mendeskripsikan karakter tokoh utama
dan mendeskripsikan pengaruh kondisi sosial masyarakat yang tergambarkan dalam novel
Lolita terhadap karakter tokoh utama.
Pendekatan yang digunakan dalam analisis novel Lolita ini adalah pendekatan
psikologis sastra, yaitu suatu kajian yang bersifat tekstual terhadap aspek psikologis sang

tokoh dalam karya sastra. Sebagaimana wawasan yang telah lama menjadi pegangan umum
dalam dunia sastra, psikologi sastra juga memandang bahwa sastra merupakan hasil
kreativitas pengarang yang menggunakan media bahasa, yang diabdikan untuk kepentingan

estetis. Karya sastra merupakan hasil ungkapan kejiwaan seorang pengarang, yang berarti di
dalamnya ternuansakan suasana kejiwaan sang pengarang, baik suasana pikir maupun suasana
rasa/emosi Roekhan (dalam Aminuddin, 1990:88-91).
Psikologi sastra merupakan gabungan dari teori psikologi dengan teori sastra. Sastra sebagai
“gejala kejiwaan” di dalamnya terkandung fenomena-fenomena kejiwaan yang nampak lewat
perilaku tokoh-tokohnya, sehingga karya teks sastra dapat dianalisis dengan menggunakan
pendekatan psikologi. Antara sastra dengan psikologi memiliki hubungan lintas yang bersifat
tak langsung dan fungsional, demikian menurut Darmanto Yatman (Aminuddin, 1990:93).
Pengarang dan piskolog kebetulan memiliki tempat berangkat yang sama, yakni kejiwaan
manusia. Keduanya mampu menangkap kejiwaan manusia secara mendalam. Perbedaannya,
jika pengarang mengungkapkan temuannya dalam bentuk karya sestra, sedangkan psikolog
sesuai keahliannya mengemukakan dalam bentuk formula teori-teori psikologi.
Dalam novel Lolita tokoh utama bernama humbert, dimana humber memiliki gangguan
psikologis yaitu dia seorang pedofilia atau lebih dikenal sebagai penyuka anak dibawah umur.
Semua bermula ketika humbert kecil mengalami kegagalan dalam perjalanan cintanya, yaitu
ketika dia putus dengan seorang gadis yang bernama anabel pacar masa kecilnya itu

meninggal sebelum dia sempat mengungkapkan segala rasa cintanya. Rupanya rasa-cintaterputus membekas begitu dalam meskipun ia sudah berumur tigapuluhan.
Bukti kutipan bahwa humerts seorang pedofilia yaitu
“Dia adalah Lo yang biasa-biasa saja di pagi hari, setinggi seratus lima puluh senti,
mengenakan sebelah kaus kaki. Dia adalah Lola saat mengenakan celana panjang longgar. Dia
adalah Dolly di sekolah. Dia adalah Dolores pada data isian bertitik-titik. Namun, dalam
pelukanku dia adalah Lolita," demikian ungkap Humbert (hlm.15) mengenai kekasih kecilnya.
Selain itu Humbert juga memiliki sifat super prosesif dan paranoid, terlihat dalam
kutipan-kutipan berikut ini bagaimana posesif dan paranoianya seorang Humbert dengan
pikiran-pikirannya, antara keinginan yang satu dengan keinginan yang lain.
‘Sementara Humbert si Kacau berdebat dengan Humbert si Kecil apakah Humbert Humbert
sebaiknya membunuh Valeria atau membunuh kekasihnya, atau membunuh keduanya, atau
justru tidak membunuh kedua-duanya.’
‘Tidak, rupanya, aku tak bisa melanjutkan. Hati, kepala—semuanya. Semua buruk. Lolita,
Lolita, Lolita, Lolita, Lolita, Lolita, Lolita, Lolita, Lolita..’

‘Dan dia adalah milikku. Milikku. Kuncinya ada dalam kepalan tanganku, kepalan tanganku
ada dalam sakuku. Milikku.’
Hasil analisis ini menunjukkan bahwa tokoh utama yang bernama Humbert memiliki
karakter pedofil, nomad, dan cenderung skizofrenia dan paranoia. Adapun pengaruh sosial
masyarakat terhadap karakter Humbert adalah bahwa Humbert bertindak atau berperilaku di

luar tatanan norma sosial masyarakat pada masanya, sehingga disimpulkan bahwa karakter
Humbert adalah antitesis dari kondisi sosial masyarakat yang tergambarkan dalam novel
Lolita.

B. Identitas Novel Salah Asuhan
Judul
Penulis
Jumlah halaman
Penerbit

: Salah Asuhan
: Abdoel Moeis
: 271 halaman
: Balai Pustaka

1. Sinopsis
Hanafi adalah seorang Minang yang jatuh cinta kepada Corrie du Busse, gadis keturunan
Perancis. Sebagai seorang pribumi, tentu akan membawa banyak masalah jika memiliki
hubungan khusus dengan warga Eopra yang waktu itu adalah bangsa penjajah. Hal itu pun


berat bagi Corrie sebagai bangsa Eropa karena kaum pribumi dianggap tidak sederajat dengan
mereka.
Jalan Hanafi untuk menggapai Corrie semakin sulit ketika ibu Hanafi memberitahukan
perjodohan Hanafi dengan Rapiah. Hanafi tidak bisa menolak karena perjodohan tersebut,
menurut ibunya, adalah bentuk balas budi kepada mamak-mamak Hanafi yang telah
menyekolahkannya sampai HBS. Hanafi pun menerima perjodohannya dengan Rapiah,
walaupun ia sama sekali tidak pernah menganggap Rapiah sebagai seorang istri yang harus ia
cintai bahkan sampai anak mereka, Syafei, lahir. Hidup semakin sulit bagi Hanafi dan
keluarganya. Hanafi merasa tertekan, pun Rapiah yang menjadi sasaran pelampiasan Hanafi.
Ibunya pun sangat tidak tega melihat menantunya selalu menangis akibat perlakuan buruk
suaminya.
Suatu ketika Hanafi digigit anjing gila. Karena takut rabies, ia pun pergi berobat ke Betawi.
Entah mengapa Rapiah sudah merasakan firasat bahwa suaminya pergi tidak untuk sementara
saja. Betul sekali firasat Rapiah itu, karena Hanafi bertemu kembali dengan Corrie di Betawi.
Saat itu Corrie sedang menlanjutkan sekolahnya di HBS.
Hanafi bertemu dengan Corrie yang sedang merindukan kebebasan. Ayahnya telah meninggal
dunia. Ia harus menikah agar bisa mendapatkan hak untuk mengelola warisan dari ayahnya.
Perasaan Hanafi terhadap Corrie tidak pernah berubah. Ia pun mengirimkan ”surat cerai”
kepada ibu dan istrinya yang sedang menanti di Solok.
Hanafi dan Corrie sama-sama mengetahui perasaan mereka. Hanafi terus berusaha agar bisa

menikahi Corrie. Ketika akhirnya Hanafi berhasil mendapatkan persamaan hak dengan warga
Eopra, ia berani melamar Corrie. Awalnya Corrie merasakan kebimbangan, tetapi ia
menyadari bahwa selain Hanafi, tidak ada lelaki lain yang sanggup membuatnya berpaling.
Pernikahan Corrie dan Hanafi tidak seindah yang mereka bayangkan. Kawan-kawan Corrie
sesama warga Eropa mulai menjauhkan diri darinya. Ia merasa tertekan dan terkudilkan.
Begitu pula dengan Hanafi. Dalam keadaan demikian, Hanafi menuduh COrrie berzina karena
sering bergaul dengan Tante Lien yang seorang mucikari. TIdak terima mendapat tuduhan
seperti itu dari suaminya sendiri, Corrie pun pergi.
Hanafi sangat menyesal. Ia mencari Corrie ke sana kemari. Corrie ternyata sedang
mengabdikan diri di rumah yatim piatu. Malangnya, ketika Hanafi bertemu kebali dengan
Corrie, Corrie sudah sekarat akibat terjangkit kolera. Hanafi mulai merasakan putus asa
sedalam-dalamnya setelah akhirnya Corrie meninggal.

Tanpa punya harapan apa-apa lagi, Hanafi memutuskan untuk pulang ke Solok menemui
ibunya. Saat tiba di Sumatera, secara tidak sengaja ia bertemu kembali dengan si Buyung,
bujangnya, dan Syafei, anak yang ditelantarkan oleh Hanafi. Ia pun bertemu kembali dengan
Rapiah secara tidak sengaja.
Bersama ibunya, Hanafi singgah di rumah kerabatnya. Di sana Hanafi merasa hidupnya sudah
tidak berharga lagi. Ia meminum sublimat dosis tinggi yang mengakibatkan lambungnya
hancur. Setlah sebelumnya meminta maaf kepada ibunya dan membaca dua kalimat syahadat,

Hanafi menutup mata untuk yang terakhir kalinya.

2. Kajian Sosiologi Sastra Novel “Salah Asuhan”
Pendekatan yang digunakan dalam analasis novel Salah Asuhan ini yaitu pendekatan
sosiologis sastra, pendekatan sosiologis sastra itu sendiri merupakan pendekatan yang bertolak
dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan
pembaca. Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan
kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini
mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan
yang diacu oleh karya sastra.
Konflik sosial yang terjadi dalam novel ini antara lain:
1)

Seorang bumiputera yang merasa lebih bangga akan kebudayaan asing. Padahal

kebudayaan asing itu adalah bawaan dari penguasa kolonial.
2) Pandangan kaum Eropa terhadap kaum bumiputera.
3) Perkawinan campuran antara orang Eropa dan pribumi.

Tokoh Hanafi adalah contoh dari seseorang yang membenci identitas kelahirannya sendiri.
Dalam kehidupan sosialnya pun Hanafi lebih suka bergaul dengan bangsa Eropa daripada
dengan bangsanya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari dirinya yang lebih memilih menikahi
Corrie du Busse yang berkebangsaan Perancis daripada Rapiah yang sebangsa dengan dirinya.

“Makin lama makin bimbanglah hatinya melihat anak yang kebelanda-belandaan itu.
Pakaiannya cara Belanda, pergalannya dengan orang Belanda saja. (hal. 25 paragraf 6)”
Dengan benci kepada kebudayaannya sendiri, ia mengagung-agungkan budaya Belanda. “…
ialah karena bagi Hanafi segala orang yang tidak pandai bahasa Belanda, tidaklah masuk
bilangan. Segala hal-ikhwal yang berhubungan dengan orang Melayu, dicatat dan
dicemoohkannya… (hal. 25 paragraf 7)”
“Ibu orang kampung dan perasaan ibu kampung semua,” demikian ia berkata, kalau ibunya
mengembangkan permadani di beranda belakang, buat menanti tamu yang sesama tuanya. “Di
rumah gedang, di Koto Anau, tentu boleh duduk menabur lantai sepenuh rumah, tapi di sini
kita dalam kota, tamuku orang Belanda saja.” (hal. 25 paragraf 3)
Pandangan kaum Eropa sendiri terhadap kaum bumiputera saat itu menunjukkan suatu
diskriminasi kelas dalam masyarakat. Pribumi saat itu adalah golongan masyarakat ketiga
setelah kaum Eropa dan keturunan Cina.
Seperti tergambarkan dalam kutipan-kutipan berikut.
”Baik, marilah kita umpamakan bahwa engkau sudah bertemu, dengan buah hatimu yang
serupa itu. Kita umpamakan pula, ia suka membuang kebumiputraannya. Tapi dengan
bangsanya tentulah engkau tak suka bergaul, bukan?”
”Sudah tentu tidak, Pa! Corrie tak suke bergaul dengan orang Bumiputra.” (hal. 20 paragraf 56)
…. Orang besar itu memakai cara Hindia, yaitu ikat kepala. Yang empunya restoran menaruh
keberatan ia ada di sana, dan meskipun restoran kawannya bangsa Eropa yang berpangkatpangkat besar sudah menyatakan siapa dan dan pangkat apa anak Hindia itu, tapi yang
mengangkat restoran mengangkat bidang bahunya, lalu berkata bahwa ‘direksi’ restoran itu
sudah mengatakan peraturan, melarang orang Bumiputra masuk restoran itu.

Hanafi yang walaupun secara hukum telah disamakan statusnya dengan bangsa Eropa, tetap
saja tidak mendapatkan perlakuan yang sederajat dengan orang-orang Eropa. Seperti
tergambarkan dalam kutipan:
“Hanafi sudah berasa dirinya masuk golongan orang Barat, oleh karena itu diharapnya
pergaulan dari pihak itu. Tapi pengharapannya sia-sia, karena sekalipun kenalannya di kantor
… hanya mengenalnya di jalan saja. (hal. 161 par. 2)”
Seorang bumiputra yang “meniru-niru” kebudayaan Barat pun menjadi sangat dibenci karena
berusaha menyejajarkan status dengan bangsa Eropa. Orang bumiputra yang demikian
dianggap melakukan kesalahan dan telah besar kepala. Seperti digambarkan dalam kutipan:
““Selama Hanafi belum ‘berkesalahan’, yaitu belum mengambil bangsa Eropa buat istrinya,
tentu sekalian orang Eropa akan suka bergaul dengan dia. Dipandang ia sebagai Bumiputra
yang terpelajar dan sopan. Tapi sehari ia mengambil bangsa Eropa menjadi istrinya, maka
fiilnya sudah disebutkan ‘tekebur’, ‘besar kepala’. Dan menjauhlah orang semua
daripadanya.” (hal. 21 par. 1)”
Dengan kondisi kelas sosial yang sangat diskriminatif, perkawinan campuran antara bangsa
Eropa dan peibumi menjadi hal yang sangat ditentang. Seperti yang dialami oleh ayah Corrie,
Tuan du Bussee, dan juga yang dialami oleh Corrie dan Hanafi.
Ayah Corrie menyatakan bahwa ”…. Kaum keluarga kita sangat memandang hina kepada
sekalian orang yang berwarna kulitnya, memandang hina pada sesama Baratnya yang bukan
’turunan’ yang dipandangnya masuk bagian manusia ’lapis di bawah’. … Bagi papa bukan
begitu. Yang papa muliakan ialah budi dan batin orang. Warna kulit, turunan, uang dan harta,
semua itu bagi papa tidak akan menambah atau mengurangi bungkal neraca dalam pergaulan.
Itulah sebabnya maka papa sudah mengasingkan diri; dan sampai bertemu untung dengan
mamamu. Dan meskipun mamamu itu bilangan tahun enyah dari dunia ini, tapi sekejap pun
papa tidak melupakannya.” (hal. 17 paragraf 4-18 par. 1)”
Begitupun yang terjadi dengan pernikahan Hanafi dan Corrie. Setelah mereka berdua
menikah, mereka tersisihkan dari pergaulan.

”Jika Hanafi dan Corrie bertanya kepada salah seorang yang serupa tersisih, apakah ia suka
melihat komidi gambar atau pesiar dengan taksi sebelum pulang, maka kawan itu menjawab,
”Oh, sayang sekali saya sudah berjanji dengan si Anu hendak ke Gambir,” atau sesuatu jawab
yang maksudnya, yaitu hendak menolak permintaan Hanafi. (halaman 161 par. 2-hal.162 par.
1)”
Secara eksplisit Corrie menjelaskan keadaan yang dialaminya ini karena sebab aku
bersuamikan orang Melayu, maka dunia menjadi sempit bagiku.” (hal. 165 par. 7)”
Corrie merasa tertekan dengan pernikahannya ini karena dulu ia orang yang pandai bergaul
dan punya banyak teman. ”Dari kecilku biasalah aku menjadi pusat pergaulan kawan-kawan.
Ke mana aku pergi, kawan-kawan itu menurutkan diri mengelilingi aku. (hal. 166 par. 1)”
Akan tetapi sekarang Corrie merasa, ”Semua kawan-kawan berupa segan, berupa jijik bergaul
dengan kita. (hal. 167 par. 1)”
Penlusis Novel Salah Asuhan Abdul Moesis sendiri adalah pengarang jaman Balai Pustaka
yang berasal dari daerah Minangkabau. Ayahnya orang Minang dan ibunya orang Sunda. Ia
adalah seorang pejuang kebangsaan Indonesia yang sezaman dengan H.O.S. Cokroaminoto
dan Ki Hajar Dewantara. Moeis sendiri mulai menerjuni lapangan politik sejak tahun 1920
sebagai anggota Indie Werbar, kemudian menjadi pemimpin Sarekat Islam dan menjadi
anggota Volksraad.
Setelah menyelesaikan pelajarannya di sekolah rendah Belanda di Bukittingi, ia melanjutkan
pelajaran di Stovia, tetapi tidak sampai selesai. Kemudian ia menjadi wartawan di Bandung.
Abdoel Moeis adalah saksi sejarah kolonialisme Belanda dan merekam sejarah tersebut dalam
karya sastra.
Dengan mengetengahkan tokoh Hanafi dalam Salah Asuhan, Abdoel Moeis mengkritik sikap
kaum borjuis yang kebarat-baratan dan lupa daratan1 melalui tokoh Hanafi.
Untuk melakukan hal tersebut, Abdoel Moeis menghadirkan dua lingkungan sosial yang
ditampilkan dalam novel ini. Yaitu lingkungan kebudayaan Eropa di wilayah koloninya dan
lingkungan bumiputera. Lingkungan kebudayaan Eropa direpresentasikan oleh Corrie du
Bussee. Sedangkan lingkungan bumiputera direpresentasikan oleh Hanafi sebagai orang
Minang.

Di kebudayaan Minang, kedudukan mamak sangat berpengaruh bagi seorang anak. Seorang
anak yang lahir tidak mendapatkan warisan dari orang tuanya, melainkan dari mamakmamaknya. Mamak dianggap lebih kuat kedudukannya dibandingkan dengan orang tua.
Hanafi pun diceritakan mendapat bantuan dari mamak-mamaknya sehingga bisa mendapatkan
pendidikan sampai tamat HBS.
Masyarakat Minang sangat menjunjung tinggi musyawarah keluarga. Keputusan yang diambil
dalam musyawarah keluarga dianggap bernilai tinggi. Hanafi diusir dari keluarganya pun atas
keputusan dari musyawarah keluarga ini. Ibunya pun tidak bisa berbuat apa-apa jika keluarga
besar sudah memutuskan demikian.
Diskriminasi kelas sosial di saman ini sangat terlihat. Contohnya perbedaan terhadap bangsa
pribumi dan Eropa. Di kalangan pribumi pun terjadi diskriminasi terhadap masyarakatnya
sendiri. Di zaman ini ada golongan orang yang disebut ”bujang”. Yaitu pembantu yang
mengabdikan seumur hidupnya kepada sang majikan. Ini mirip dengan perbudakan yang
terjadi di zaman feodal. ”Bujang” yang terdapat dalam Salah Asuhan adalah Simin, bujangnya
keluarga du Bussee, dan Buyung, bujangnya keluarga Hanafi.