GLOBALISASI DAN TATANAN EKONOMI BARU

GLOBALISASI DAN TATANAN EKONOMI BARU: PERSPEKTIF
EKONOMI ISLAM
Sunday, 20 April 2008

SUGIANTO

A. Pendahuluan
Globalisasi adalah suatu proses yang multi-dimensi, meliputi ekonomi, politik, sosial, budaya dan ideologi.
Fenomena globalisasi mewujud dalam bentuk penyempitan waktu dan ruang dalam hubungan sosial. Artinya
hubungan sosial antara individu dengan masyarakat maupun antar masyarakat dalam suatu negara bahkan antar
negara telah menjadi begitu transparan, tidak lagi mengenal batas-batas politik. Perkembangan yang begitu cepat
dalam teknologi informasi, perdagangan internasional, serta mobilitas tenaga kerja, modal dan keuangan antar
negara sejak tiga dasawarsa terakhir telah mengakibatkan peran ekonomi suatu negara secara individual terhadap
perekonomian global menjadi semakin kurang penting atau kurang berarti. Tentunya, proses ini telah dan akan
mempengaruhi suatu konstruk sistem sosial suatu masyarakat yang telah mapan selama ini. Sejauh mana pengaruh
ini, ditentukan oleh bagaimana sebuah masyarakat atau negara itu memberikan respon terhadap globalisasi tersebut.
Globalisasi, dari perspektif pesimis, dapat mengarah pada melemahnya lembaga-lembaga ekonomi nasional dalam
menghadapi kekuatan-kekuatan global seperti perusahaan-perusahaan multinasional dan pasar-pasar uang
internasional, yang muncul adalah kecemasan memasuki abad 21. Globalisasi hanya akan menghasilkan sedikit
pemenang dan sejumlah besar pecundang. Para calon pemenangnya adalah negara-negara industri maju,
perusahaan-perusahaan multinasional dan kelas profesional, sedangkan calon pecundangnya adalah sejumlah besar

negara-negara berkembang, usaha-usaha skala kecil dan menengah serta kelas buruh. Dari perspektif optimis,
globalisasi menjanjikan banyak peluang dan harapan bagi masyarakat dan negara-negara sedang berkembang untuk
mengejar ketertinggalannya dalam pembangunan bidang ekonomi dan sosial terhadap negara-negara maju.
Beberapa data empiris memang menunjukkan bahwa negara-negara sedang berkembang yang terlibat secara aktif
dalam globalisasi cendrung mengalami kenaikan taraf hidup yang lebih baik dibandingkan dengan negara-negara
yang relatif tertutup terhadap perekonomian dunia.
Makalah ini berupaya menguraikan jawaban dari beberapa pertanyaan tentang globalisasi dan pengaruhnya
terhadap negara berkembang (terutama negara-negara Muslim). Pertama, apakah sebenarnya pengertian dan proses
terjadinya globalisasi? Kedua, apa sajakah dimensi-dimensi globalisasi? Ketiga, bagaimanakah implikasinya
terhadap negara berkembang? Keempat, bagaimanakah ekonomi Islam memberikan solusi kritis terhadap implikasi
globalisasi tersebut? Makalah ini tidak berusaha menguraikan pengaruh globalisasi terhadap negara berkembang
dalam segala aspeknya, tetapi penekanan ditujukan pada hubungannya dengan pembangunan ekonomi di negara
berkembang.
B. Globalisasi: Pengertian dan Proses
Pembicaraan tentang ‘globalisasi’ atau ‘global’ akhir-akhir ini cukup populer. Sebelum dibahas lebih jauh,
penjelasan tentang definisi diperlukan agar lebih jelas. Kata global berasal dari kata “globe” dan mulai
dimaksudkan sebagai planet yang berarti bumi bulat sejak beberapa abad yang lalu. Dalam bahasa Inggris kata sifat
global populer sejak tahun 1890-an yang dimaksudkan sebagai “keseluruhan dunia’ dengan tambahan arti
“berbentuk bola”. Istilah-istilah “globalize” dan ”globalism” dalam penerbitan baru muncul 50 tahun yang lalu,
sedangkan istilah “globalization” pertama sekali muncul dalam sebuah kamus (American English) tahun 1961, dan

“global village” dipakai oleh McLuhan tahun 1964, ketika menjelaskan kemajuan teknologi komunikasi dan
transportasi yang telah menciptakan sebuah dunia baru.
Penggunaan istilah globalisasi dalam wacana keilmuan kontemporer ternyata mempunyai banyak arti. Menurut
hasil kajian Scholte, definisi globalisasi dapat dibagi kepada lima konsep. Pertama, globalisasi adalah
“internationalization.” Global adalah kata sifat yang menggambarkan hubungan-hubungan lintas batas antar
negara, dan globalisasi menunjuk suatu pertumbuhan pertukaran dan saling ketergantungan internasional. Konsep
globalisasi dalam pengertian pertama ini digunakan oleh Paul Hirst dan Grahme Thomson yang mengidentifikasi
globalisasi dalam pengertian “pertumbuhan dan perluasan arus perdagangan dan investasi modal antar negara.”
Kedua, konsep globalisasi digunakan dalam arti “liberalization” yaitu suatu proses menghilangkan pembatasanpembatasan yang dibebankan pemerintah terhadap pergerakan-pergerakan antar negara agar tercipta suatu ekonomi
dunia yang ‘terbuka’, ‘tanpa batas’. Sander menyarankan agar globalisasi menjadi suatu slogan terkemuka untuk
menggambarkan proses integrasi ekonomi internasional. Ketiga, konsep globalisasi digunakan sebagai
“universalization”, yaitu proses penyebaran berbagai objek dan pengalaman kepada orang di seluruh penjuru bumi.
Pengertian ini yang pertama sekali dimaksud oleh Oliver Reisre dan B. Davies tahun 1940-an yang menggunakan
kata kerja “globalize” dalam arti “universalize” dan meramalkan suatu sistesis budaya planet dalam suatu
“humanisme global”. Keempat, globalisasi berarti “westernization” atau “modernization”, khususnya dalam suatu
bentuk ‘Amerikanisasi’. Globalisasi adalah suatu dinamika dengan cara modernisasi struktur-struktur sosial
(kapitalisme, rasionalisme, industrialisme, birokratisme, dll.) tersebar ke seluruh dunia, biasanya, dalam prosesnya
menghancurkan keberadaan budaya lokal dan penentuan nasibnya sendiri. Globalisasi digambarkan seperti

imperialisme McDonald’s, Hollywood dan CNN. Martin Khor menggolongkan kolonisasi Dunia Ketiga termasuk

dalam pengertian ini. Dan kelima, konsep globalisasi diartikan sebagai “deterritorialization” atau
“supraterritorialization”. Globalisasi membawa suatu penyusunan kembali geografi, agar ruang sosial tidak lebih
panjang pemetaannya dalam pengertian tempat, jarak dan batas-batas wilayah. David Held dan Tony McGrew
dalam hal ini mendefinisikan globalisasi sebgai “suatu proses (atau sekumpulan proses) yang mewujudkan suatu
transformasi dalam ruang organisasi hubungan-hubungan dan transaksi-transaksi sosial”. Tampaknya Scholte
sendiri lebih setuju dengan definisi kelima ini. Menurutnya, globalisasi, suprateritorial atau istilah lain ‘transworld’,
atau ‘transborder” menggambarkan keadaan dimana ruang wilayah secara substansial adalah lebih penting.
Kelima definisi di atas, walaupun terdapat perbedaan secara substansial tetapi tetap menunjukkan bahwa batasbatas wilayah, budaya, politik, sosial dan ekonomi tidak dapat menahan laju globalisasi. Kelima definisi tersebut
mewakili berbagai pola pemikiran aliran masing-masing. Golablisasi secara substansial berarti transparannya
berbagai batas baik wilayah, politik, sosial, budaya maupun ekonomi yang selama ini sangat ketat. Walaupun
demikian proses globalisasi dan respon masing-masing negara berbeda-beda, terutama negara-negara berkembang.
Dari segi kemunculannya, terdapat perdebatan panjang tentang awal munculnya globalisasi. Menurut Immanuel
Wallerstein, proses globalisasi dapat dilihat dari tiga tingkat sistem sosial. Pertama, mini system, yaitu gabungan
satu pembagian kerja dengan satu sistem budaya. Ekonomi diusahakan melalui pertanian dan perburuan sederhana
secara bersama. Kedua, world-empires, mempunyai sistem budaya yang beragam tetapi satu sistem politik dengan
satu pembagian kerja. Contoh peradaban Cina, Mesir dan Roma. Dan ketiga, world-economics, yaitu penggabungan
politik dan budaya yang beragam dalam satu pembagian kerja. Pada tingkat ketiga ini globalisasi dimulai yaitu pada
abad ke-16.
Scholte membagi proses globalisasi kepada tiga tahap. Pertama, munculnya suatu imajinasi global hingga abad ke18. tahap ini merupakan masa persiapan yang panjang tanpa suatu konsepsi yang jelas. Globalisasi masih dalam
imajinasi dan pemikiran. Ide-ide tentang bumi sebagai satu tempat sudah ada, seperti agama-agama “dunia”. Kedua,

globalisasi yang baru mulai (incipient globalization), bahwa globalisasi sudah bukan imajinasi dan hubunganhubungan sosial yang lebih substantif muali dibangun dari tahun 1850-an hingga 1950-an. Tahap ini dimulai oleh
munculnya teknologi komunikasi, yaitu telegrap tahun 1850-an, telepon dan radio tahun 1890-an, dan transportasi
air tahun 1919. Dimulainya pasar global yang pertama dengan berdirinya The London Metal Exchange (LME)
tahun 1876. tahap ketiga, globalisasi skala penuh (full-scale globalization), yaitu dimulai 1960-an. Pada tahap ini
hubungan-hubungan lintas dunia mencapai peningkatan yang besar selama empat dekade terakhir abad kedua puluh
baik dari segi jumlah, ragam, intensitas, kelembagaan, dan pengaruh fenomena globalisasi.
C. Globalisasi: Suatu Keniscayaan
Globalisasi pada prinsipnya dijelaskan oleh dua kata kunci; interaksi dan integrasi, yaitu interaksi ekonomi antar
negara dan tingkat integrasinya. Interaksi ekonomi mencakup arus perdagangan, produksi dan keuangan, sedangkan
integrasi berarti bahwa perekonomian lokal atau nasional setiap negara secara efektif merupakan bagian tak
terpisahkan dari satu perekonomian tunggal dunia. Karena itu globalisasi ekonomi dapat diartikan sebagai suatu
kondisi dimana perekonomian nasional dan lokal terintegrasi ke dalam satu perekonomian tunggal yang bersifat
global.
Globalisasi tidak serta merta wujud, tetapi terdapat berbagai faktor yang mendorong atau menyebabkan globalisasi.
Menurut Scholte, paling tidak terdapat empat penyebab terjadinya proses globalisasi. Pertama, penyebaran
rasionalisme sebagai kerangka pikir pengetahuan yang dominan. Rasionalisme merupakan suatu konfigurasi umum
tentang pengetahuan yang meningkatkan penyebaran pemikiran global dan, melalui rasionalisme tersebut,
globalisasi menjadi tren yang lebih luas. Kerangka pikir pengetahuan itu menyangkut (i) rasionalisme adalah
sekular, bahwa realitas adalah dunia fisik, materi, meniadakan daya-daya transenden dan ketuhanan; (ii)
rasionalisme adalah antroposentris, bahwa realitas dunia yang utama untuk kepentingan dan aktivitas manusia

(keutuhan lingkungan tidak diutamakan); (iii) rasionalisme mempunyai karakter ‘ilmuwan’, bahwa fenomena yang
dipahami melalui metode penelitian ‘objektif’ mempunyai kebenaran yang tak dapat dibantah; (iv) rasionalisme
adalah alat, bahwa rasionalisme merupakan alat untuk manusia dalam memecahkan masalah secara cepat. Kedua,
perubahan-perubahan utama dalam perkembangan kapitalisme. Kapitalisme adalah suatu struktur produksi dimana
aktivitas ekonomi diorientasikan pertama dan terutama kepada akumulasi surplus. Kapitalisme mendorong
globalisasi dalam empat cara: (i) global market (pasar global) untuk meningkatkan volume penjualan dan mencapai
skala ekonomi tertentu; (ii) glabal accounting harga dan pertanggungjawaban beban untuk meningkatkan
keuntungan; (iii) global sourcing untuk meminimalisasi biaya produksi; dan (iv) global commodities sebagai
tambahan saluran akumulasi. Ketiga, inovasi-inovasi teknologi komunikasi dan pemrosesan data. Kemajuan di
bidang teknologi komunikasi dan informasi telah mendorong komunikasi global, transaksi finasial global,
koordinasi produksi dan pemasaran global, dan aktivitas-aktivitas global lainnya. Keempat, konstruksi kerangkakerja regulatory (peraturan) yang memungkinkan. Regulasi yang menjadi motor penggerak globalisasi dalam empat
cara: (i) standardisasi yang bersifat teknis dan prosedural; (ii) liberalisasi pergerakan-pergerakan uang, investasi dan
perdagangan lintas batas negara; (iii) jaminan hak-hak milik modal global; dan (iv) legalisasi organisasi dan
aktivitas global.
Senada dengan pendapat Scholte di atas, menurut Firdausy, ada tiga motor penggerak dalam globalisasi ekonomi:

pertama, liberalisasi yaitu liberalisasi aliran modal dalam bentuk aliran uang yang menyertai perdagangan barang
dan jasa, penanaman modal asing dan investasi porto-folio. Kedua, privatisasi, karena secara teoritis dan praktis
dapat berfungsi dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi secara lebih efisien dan efektif dibandingkan
dengan nasionalisasi. Kebijakan privatisasi pertama sekali dicanangkan oleh Perdana Menteri Margareth Tatcher

dari Inggris pada tahun 1979 dan terbukti sukses. Ketiga, deregulasi yaitu pengurangan berbagai kebijakan dan
peraturan pemerintah yang tidak pro-pasar dan tidak pro-efisiensi sehingga peran pemerintah adalah menciptakan
iklim usaha yang kondusif bagi para pelaku ekonomi dan bisnis.
Menurut The Group of Lisbon (1995) sebagaimana dikutip oleh Firdausy, bentuk globalisasi dapat dikategorikan
menjadi tujuh jenis. Pertama, globalisasi keuangan dan pemilikan modal melalui deregulasi pasar modal, mobilisasi
modal internasional, merjer dan akuisisi. Kedua, globalisasi pasar dan strategi ekonomi melalui integrasi kegiatan
usaha skala intersional, aliansi strategis, dan pembangunan usaha terpadu di negara lain. Ketiga, globalisasi ilmu
pengetahuan dan teknologi serta penelitian dan pengembangan. Keempat, globalisasi sikap hidup dan pola
konsumsi atau globalisasi budaya. Kelima, globalisasi aturan-aturan pemerintah. Keenam, globalisasi politik
internasional. Ketujuh, globalisasi persepsi dan sosial budaya internasional.
Menurut Scholte, globalisasi paling tidak berhubungan dengan empat dimensi, yaitu dimensi produksi, dimensi
pemerintahan, dimensi komunitas, dan dimensi pengetahuan. Pada dimensi produksi, globalisasi telah
menimbulkan global kapital. Kapital tidak saja menjadi komoditas, tetapi telah menjadi commodification.
Percepatan globalisasi telah memperluas skop commodifikation ke dalam tiga area. Pertama, konsumerisme –
banyak berhubungan dengan produk global – telah memperluas bidang industri kapital. Merek-merek global (global
branding) menjadi incaran para konsumen global ini, seperti Sony, Armani, Michael Jackson, Coca-Cola, dan lainlain. Kedua, pertumbuhan skop kapital finansial. Perbankan global, sekuritas global dan jenis-jenis bisnis global
lainnya telah secara luar biasa meningkatkan volume dan ragam instrument finansial. Ketiga, globalisasi juga telah
menciptakan keadaan-keadaan pertumbuhan besar dalam kapital komunikasi dan informasi. Pada dimensi ini
globalisasi juga mereorganisasi perusahaan secara global. Globalisasi pada dimensi pemerintahan mempercepat
lima perubahan umum: (i) berakhirnya kedaulatan negara; (ii) reorientasi pelayanan suprateritorial sebaik

kepentingan wilayah negaranya; (iii) menurunnya tekanan terhadap jaminan keselamatan sektor publik; (iv)
redefinisi penggunaan peperangan; dan (v) meningkatnya ketergantungan terhadap penyusunan regulasi
multilateral. Pada dimensi komunitas, globalisasi mendorong (i) peningkatan bentuk bangsa dari state-nation
(negara-bangsa) kepada ethno-nation, region-nation, dan transworld-nation; (ii) munculnya identitas kolektif yang
tidak didasarkan pada kerangka-kerja nasional; (iii) menikatnya komunitas manusia kosmopolitan kepada
komunitas manusia universal; dan (iv) tumbuhnya identitas hibrida dan komunitas yang saling melengkapi dalam
politik dunia kontemporer. Globalisasi pada dimensi pengetahuan, disamping meningkatnya rasionalime dengan
berbagai atributnya seperti sekularisme, antroposentrisme, saintisme, dan instrumentalisme, juga telah
menumbuhkan pengetahuan non-rasional, seperti revivalisme keagamaan, ekosentrisme, dan pemikiran posmodernisme.
D. Implikasi Globalisasi terhadap Negara Berkembang
Kenyataannya, globalisasi bak air bah, tidak dapat dibendung, apalagi bagi negara-negara yang telah
menandatangani perjanjian WTO, termasuk Indonesia. Menurut Marzuki Usman seperti yang dikutip oleh Mahmud
Toha, globalisasi atau era kesejagatan bagi Indonesia adalah suatu hal yang pasti karena Indonesia salah satu negara
pendiri World Trade Organization (WTO), yaitu dengan ditandatangani perjanjian WTO pada bulan April 1994
yang kemudian diratifikasi oleh DPR pada bulan November 1994. Hakekat perjanjian tersebut adalah dunia akan
menuju kepada pasar bebas paling lambat sebelum tahun 2020.
Bagi negara-negara maju globalisasi lebih banyak berimplikasi positif ketimbang negatif, karena mereka adalah
negara-negara yang paling siap baik secara ekonomi maupun politik dibandingkan negara-negara berkembang.
Pasar bebas dan globalisasi, terutama bagi negara-negara berkembang menjadi perdebatan sengit. Terdapat dua
pandangan yang kontradiktif berkaitan implikasi globalisasi; pandangan optimis dan pandangan pesimis.

Bagi para ekonom dan pendukung kapitalisme, sperti Stern (2000) dan Madison (1998) sebagaimana dikutip
Mahmud Toha, globalisasi (i) dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan; (ii) dapat
mempercepat terwujudnya pemerintahan yang demokratik dan masyarakat madani dalam skala global; (iii) tidak
mengurangi ruang gerak pemerintah dalam kebijakan ekonomi guna mendukung pertumbuhan ekonomi jangka
panjang; (iv) tidak berseberangan dengan desentralisasi; dan (v) bukan penyebab krisis ekonomi.
Pandangan kontradiktif diberikan oleh kalangan skeptis seperti Holley (2000) sebagaimana dikutip oleh Mahmud
Toha, bahwa globalisasi adalah: (i) sebagai kapitalisme kasino; (ii) anti negara; (iii) sebagai kompetisi yang
menghancurkan; (iv) sebagai pembunuh pekerjaan; (v) merugikan kaum miskin; (vi) sebagai individualisme yang
berlebihan; (vii) sebagai imperialisme budaya; dan (viii) merupakan kompor bagi munculnya gerakan-gerakan neonasionalis dan fundamentalis.
Implikasi-implikasi globalisasi bagi negara berkembang dapat dilihat uraian berikut ini. Pertama, peningkatan
integrasi perekonomian nasional ke dalam pasar global menjanjikan pembesaran dramatis atas volume dan karakter
arus-arus sumber daya internasional. Kenyataannya, tatkala pasar-pasar nasional negara berkembang dibuka, pasar-

pasar internasional justru banyak yang masih tertutup bagi ekspor mereka. Proteksionisme negara-negara maju
terhadap produk ekspor negara-negara berkembang terus meningkat sebelum tercapainya Perjanjian GATT
(Generat Agreement on Tariff and Trade; Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan) pada tahun 1994
dengan dicapainya kesepakatan Uruguay Round dan WTO. Bahkan, proteksionisme negara-negara maju masih
terus berlanjut setelah perjanjian GATT tersebut. Berbagai alasan digunakan oleh negara-negara maju dalam
melegalisasi proteksionisme mereka, seperti standar kualitas barang yang rendah, negara pengekspor melanggar
HAM atau perusak ekologi hutan tropis, dan sebagainya.

Kedua, karena ekspansi perdagangan sangat ditentukan oleh sektor perbankan yang menjadi sumber pembiayaan
bagi semua transaksi dagang internasional itu, maka peningkatan ukuran, daya saing, dan difusi pasar finansial
internasional mengandung kekuatan potensial yang besarguna menarik perekonomian berpendapatan rendah ke
dalam perekonomian dunia secara utuh. Bagi negara-negara berkembang peningkatan integrasi ke dalam pasarpasar finansial internasional sangat berpotensi untuk memperbaiki prospek mereka dalam upaya meningkatkan
fleksibilitas dan pertumbuhan ekonomi nasionalnya. Kenyataannya, proses globalisasi pasar finansial dunia hanya
akan menurunkan biaya-biaya transaksi dagang bagi negara-negara masju yang sudah memiliki akses ke pasarpasar internasional; sedangkan bagi negara-negara berkembang yang sama sekali belum atau kurang memiliki akses
itu, maka globalisasi pasar finansial hanya akan memperbesar kerugian komparatif mereka.
Ketiga, globalisasi pasar finansial juga sangat rentan dari pelaku spekulan pasar uang dan pasar modal.
Ketergantungan setiap negara terhadap valuta asing menjadi sangat tinggi. Devisa yang dikumpulkan negara
dengan susah payah guna membiayai pembangunan dapat dengan mudah dan dalam sekejap lari ke luar negeri
(capital flight) oleh ulah para spekulan jahat yang hanya memikirkan keuntungan pribadi. Streeten (2001)
sebagaimana dikutip Toha, memberikan bukti-bukti empiris bahwa arus devisa global telah mencapai jumlah yang
sangat mencengangkan yaitu US $ 2 triliun setiap hari, 98 persen diantaranya untuk aktivitas ekonomi yang bersifat
spekulatif. Krisis keuangan yang terjadi di Indonesia yang diperkirakan sebagai “contagian effects” dari krisis
keuangan yang terjadi di Thailand adalah diakibatkan oleh ulah spekulasi ini.
Keempat, poses globalisasi ternyata cenderung memperkecil kekuatan dan pengaruh ekonomi suatu negara secara
individual, apalagi jika itu adalah negara berkembang yang kemampuannya serba terbatas. Negara-negara
berkembang yang tidak terlibat secara aktif atau secara langsung ke dalam blok-blok perdagangan yang didominasi
oleh dolar Amerika, yen Jepang atau mark Jerman, baik di kawasan Amerika Utara, di Palung Pasifik maupun di
Eropa, akan menghadapi masa-masa sulit.

Kelima, proses globalisasi telah meningkatkan dominasi ekonomi oleh perusahaan-perusahaan multinasional, para
pemilik modal dan para menejer serta kelompok profesional. Masa dominasi negara telah beralih kepada lembagalembaga keuangan dunia seperti IMF (International Monetery Fund) dan Bank Dunia (World Bank).
Ketergantungan terhadap kedua lembaga ini telah membuat negara-negara penerima bantuan atau peminjam tidak
berdaya dalam menentukan kebijakan-kebijakan ekonomi dan pembagunan negaranya. Bank Dunia dan IMF adalah
corong dan eksekutor paham ekonomi neo classic yang sangat mengagungkan kekuatan dan mekanisme pasar
sebagai mesin pertumbuhan dan stabilitas ekonomi dunia. Instrumen kebijakan utamanya adalah deregulasi,
liberalisasi, privatisasi, devaluasi, dekontrol dan anti defisit anggaran belanja negara.
Keenam, salah satu perwujudan ketidakadilan antar negara yang terus memburuk adalah meningkatnya arus migrasi
internasional ilegal, terutama migrasi tenaga kerja atau biasa dikenal dengan istilah ‘international brain drain” dari
berbagai negara Selatan yang miskin ke negara-negara industri di Utara yang lebih makmur. Tetapi, bagi negaranegara maju tujuan migrasi itu mulai merasa bahwa para pekerja pendatang tersebut merupakan ancaman terhadap
perekonomian dan juga kebudayaan serta “cara hidup” mereka.
E. Tatanan Ekonomi Baru dan Peran Pemerintah: Perspektif Islam
Resistensi terhadap globalisasi dan sistem ekonomi kapitalis sebagai motor penggerak utama globalisasi sebenarnya
sudah sering disuarakan, bahkan dari jantung kapitalisme itu sendiri. Berbagai peristiwa dekade terakhir, terutama
krisis ekonomi tahun 1997 di Asia telah semakin menimbulkan kesadaran bahwa tatanan ekonomi dunia saat ini
mencerminkan ketidak-adilan dan ketimpangan struktur ekonomi di banyak tempat terutama negara-negara
berkembang. Beberapa alternatif telah dimajukan, seperti green economy. Belakangan banyak kalangan, termasuk
ahli-ahli ekonomi Barat mulai melirik sistem ekonomi yang ditawarkan oleh Islam sebagai pilar tatanan ekonomi
baru dunia.
Tatanan ekonomi baru yang diperlukan itu harus mencerminkan keadilan, pandangan yang sejajar terhadap manusia

dan moralitas. Tatanan ekonomi yang ditawarkan Islam dilandasi dengan fondasi yang kuat, yaitu tauhid (keesaan
Tuhan), khilafah (perwakilan), dan ‘adalah (keadilan).
Ketiga landasan tersebut merupakan satu kesatuan yang saling terkait. Tauhid merupakan muara dari semua
pandangan dunia Islam. Tauhid mengandung arti alam semesta didesain dan diciptakan secara sadar oleh Tuhan
Yang Mahakuasa, yang bersifat esa, dan tidak terjadi secara kebetulan atau aksiden (Q.S. Ali Imran: 191; Shad: 27;
al-Mu’minun: 15). Dari pandang tauhid manusia diciptakan, oleh karena itu asal manusia juga satu. Karena itu
pulalah manusia merupakan khalifah-Nya atau wakil-Nya di bumi (Q.S. al-Baqarah:30; al-An’am:165). Sumber

daya alam yang diciptakan harus dimanfaatkan untuk pemenuhan kebahagiaan seluruh umat manusia. Pada sisi ini,
jelas bertentangan dengan konsep self interest kapitalisme. Implikasi dari pandangan tersebut adalah pandangan
persaudaraan universal, yang kemudian menimbulkan persamaan sosial dan menjadikan sumber daya alam sebagai
amanah karena statusnya sebagai wakil Tuhan yang menciptakan alam semesta. Pandangan ini tidak akan
terlaksana secara substansial tanpa dibarengi dengan keadilan sosial-ekonomi. Penegakan keadilan dan
penghapusan semua bentuk ketidak-adilan telah ditekankan dalam al-Qur’an sebagai misi utama Rasul Allah
(Q.S.Hadid: 25). Berdasarkan landasan ini seharusnya ada keseimbangan dari semua faktor ekonomi, bahkan
pemisahan yang radikal antara sektor moneter dengan sektor ril menjadi tidak tepat karena mengakibatkan terjadi
ketidakadilandan ketidak-merataan.
Peranan pemerintah dalam tatanan ekonomi baru tersebut, paling tidak, mencakup empat hal. Pertama,
maksimalisasi tingkat pemanfaatan sumber daya. Pemanfaatn sumber daya tersebut harus memperhatikan prinsip
kesejajaran dan keseimbangan (equilibrium). Dalam ekonomi Islam konsep al-‘adl dan al-ihsan menunjukkan suatu
keadaan keseimbangan dan kesejajaran sosial (Q.S. an-Nahl: 90). Hal ini penting, karena apabila terjadi
pemanfaatan yang tidak seimbang atau pemborosan yang terjadi adalah kerusakan alam yang pada gilirannya
adalah ketidakseimbangan sunnatullah (hukum alam). Kerugiannya juga pada manusia dalam jangka panjang.
Kedua, minimalisasi kesenjangan distributif. Tujuan ini berkaitan dengan prinsip dasar ekonomi Islam, keadilan
distributif. Keadilan distributif didefinisikan sebagai suatu distribusi pendapatan dan kekayaan yang tinggi, sesuai
dengan norma-norma fairness yang diterima secara universal. Tujuan ini juga berhubungan dengan prinsip
kesamaan harga diri dan persaudaraan (Q.S. al-A’raf: 32), prinsip tidak dikehendakinya pemusatan harta dan
penghasilan pada sejumlah kecil orang tertentu (Q.S. al-Hasyr: 7), dan untuk memperbaiki kemiskinan absolut dan
mengurangi kesenjangan pendapatan dan kekayaan yang mencolok (Q.S. al-Ma’arij: 24-25). Untuk mencapai
tujuan ini beberapa institusi Islam bisa dimanfaatkan seperti zakat dan wakaf
Ketiga, maksimalisasi penciptaan lapangan kerja. Pertumbuhan ekonomi merupakan sarana untuk mencapai
keadilan distributif, sebagian karena mampu menciptakan kesempatan kerja (baru) yang lebih banyak daripada yang
mungkin bisa diciptakan dalam keadaan ekonomi statis. Penciptaan lapangan kerja juga harus diimbangi dengan
pemberian tingkat upah yang adil berdasarkan usaha-usaha produktifnya. Pemerintah dalam hal ini berkewajiban
untuk memastikan kesempatan kerja yang seluas-luasnya dengan mendorong kegiatan ekonomi yang aktif, terutama
dalam sektor-sektor yang mampu menyerap semua lapisan.
Keempat, maksimalisasi pengawasan. Salah satu bagian integral dari kesatuan sistem ekonomi Islam adalah
lembaga Hisbah. Peranannya, sebagaimana dirumuskan Ibn Taimiyah, adalah melaksanakan pengawasan terhadap
perilaku sosial, sehingga mereka melaksanakan yang benar dan meninggalkan yang salah. Lembaga Hisbah adalah
lembaga pengawasan terhadap penyimpangan, di antaranya dari kegiatan ekonomi. Dalam pemerintahan yang
modern saat ini, lembaga ini dapat diaplikasikan dengan modefikasi tertentu yang mempunyai tugas dan wewenang
yang sama. Pengawasan dalam ekonomi Islam adalah penting, karena suatu sistem ekonomi yang adil tidak akan
berjalan apabila terjadi kecurangan yang disebabkan oleh perilaku menyimpang pelaku ekonomi.
F. Penutup
Suka atau tidak suka, globalisasi telah dan segera menyapa setiap negara, setiap masyarakat di dunia. Oleh karena
itu, tidak satu negarapun mampu dan menganggap perlu untuk mengisolasi diri dari pengaruh perekonomian dunia.
Yang menjadi permasalahan adalah seberapa besar manfaat yang dapat dinikmati dan mudharat yang bakal dipikul
oleh setiap negara yang terlibat dalam proses globalisasi akan terpulang kepada kesiapan negara yang bersangkutan
dalam mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi.
Sebagaimana ditunjukkan dalam uraian di atas, ternyata kesiapan negara-negara berkembang sangat lemah
dibanding negara-negara industri maju. Oleh karena itu, implikasi yang negatif justru yang menimpa mereka, mulai
dari sulitnya mengatasi krisis ekonomi hingga ketergantungannya yang sangat besar kepada negara-negara industri
maju dan lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF, terutama bantuan luar negeri atau
hutang.
Tatanan ekonomi baru yang lebih adil sangat diperlukan dan ekonomi Islam dapat dijadikan alternatifnya, karena
dibangun tiga landasan utama yang mencerminkan dan menjamin keadilan berjalan.
Daftar Bacaan
Firdausy. “Tantangan dan Peluang Globalisasi Bagi Perekonomian Nasional”. Dlm. Indonesia Menapak Abad 21:
Kajian Ekonomi Politik. Jakarta: Millenium Publisher, 2000.
Harvey, D. The Condition of Postmodernity. Oxford: Blackwell, 1989.
Held, David dkk. global Transformation Politics, Economics and Culture. Cambridge: Polity Press, 1999.
Hirst, Paul & Thomson, Grahme. “Globalisation: Ten Frequently Asked Questions and Some Surprising Answers.”

Soundings. Vol. 4 (Autumn), 1996
Ibn Taimiyah, Ahmad bin ‘Abd al-Halim. al-Hisbah fi al-Islam wa Wazifat al-Hukumah al-Islamiyah. Madinah:
Islamic University, t.th..
Kahf, Monzer. Ekonomi Islam (Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam). Terj. Machnum Husein
dari The Islamic Economy: Analytical of the Functioning of the Islamic Economic System. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1995.
Khor, Martin. “Address to the International Forum on Globalization”. New York City, November 1995.
McLuhan, M. Understanding Media. London: Routledge, 1964.
Mittelmann, James H. “The Dynamics of Globalization”. Dlm. James H. Mittelmann (peny.). Globalization: Critical
Reflections. Boulder: Lynne Rienner, 1996.
Naqvi, Syed Nawab Haider. Menggagas Ilmu Ekonomi Islam. Terj. M. Saiful Anam dan Muhammad Ufuqul Mubin
dari Islam, Economics and Society. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Nasution, Mustafa Edwin. “Wakaf Tunai: Strategi untuk Meningkatkan Kesejahteraan dan Melepaskan
Ketergantungan Ekonomi.” Istislah: Jurnal Hukum, Ekonomi dan Kemasyarakatan. Vol. I. No.2 (Apr-Jun 2002)
Reiser, Oliver L. & Davies, B. Planetary Democracy: an Introduction to Scientific Humanism and Applied
Semantics. New York: Creative Age Press, 1944
Robertson, Roland. Globalization: Social Theory and Global Culture. London; Sage Publications, 1992
Sander, H. “Multilateralism, Regionalism and Globalisation: The Challenges to the World Trading System.” Dlm.
H. Sander dan A. Inotai (peny.). World Trade After the Uruguay Round: Prospects and Policy Options for the
Twenty First Century. London; Routledge, 1996.
Schiller, H.I. “Not Yet the Post-Imperialist Era”. Critical Studies in Mass Communication. vol.8, no.1 (Maret),
1991.
Scholte, Jan Aart. Globalization: A Critical Introduction. London: Macmillan Press Ltd., 2000.
Spybey, T. Globalization and World Society. Cambridge: Polity Press, 1996.
Stern, Nicholas. “Globalization and Poverty”. Paper dpresentasikan pada seminar LPEM, Fakultas Ekonomi,
Universitas Indonesia, 2000.
The Oxford English Dictionary. VI 2nd ed. Oxford: Clarendon, 1989.
Thoha, Mahmud. “Globalisasi antara Harapan dan Kecemasan”. Dlm. Mahmud Thoha (peny.). Globalisasi, Krisis
Ekonomi & Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan. Jakarta: Pustaka Quantum, 2002.
Todaro, Michael P. Economic Development. 6th ed. London: Longman, 1997.
Wallerstein, Immanuel. “The Rise and Future Demise of the World Capitalist System: Concepts of Comparative
Analysis”. Comparative Studies in Society and History, 16 (1974): 387-415
--------------The Modern World System: Capitalist Agriculture and the Origins of the European World Economy in
the Sixteenth Century. New York: Academic Press, 1976).
Waters, M. Globalisation. London: Routledge, 1995
Waters, M. Globalisation. London: Routledge, 1995.
Webster’s Third NewInternational Dictionary of the English Language Unabridged. Springfield, MA: Merriam,
1961.

PENGARUH BUNGA TERHADAP KETERPURUKAN EKONOMI
INDONESIA (Studi Kasus 1997 – 2004)
Ditulis oleh Anto
Sunday, 20 April 2008

AGUSTIANTO
Pendahuluan
Dalam Islam, riba merupakan dosa besar yang banyak dikecam oleh Al-quran maupun Sunnah. Al-quran secara
tegas mengancam pelaku riba dengan masuk neraka yang mereka kekal di dalamnya (2 : 275). Al-Quran juga secara
ekplisit menyebut riba sebagai perbuatan yang zalim (QS.2: 278 dan QS 4: 160). Selain Al-quran, banyak pula
hadits Nabi yang dengan tegas mengutuk pelaku riba, juru tulis dan para saksinya (H.R.Muslim). Riba menurut
Nabi Saw lebih besar dosanya dari 33 kali berzina. Bahkan dikatakan oleh Nabi Saw, Bahwa Riba memiliki 73
tingkatan, yang paling ringan daripadanya ialah seperti seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri (AlHakim).
Nabi Muhammad Saw dalam masa kerasulannya dengan gigih memberantas riba yang demikian meluas di tengah
masyarakat Arab pada waktu itu. Sejarah mencatat, bahwa perekonomian jazirah Arabia, ketika itu adalah ekonomi
dagang, bukan ekonomi yang berbasis sumber daya alam. Minyak bumi belum ditemukan dan sumberdaya alam
lainnya terbatas. Menurut W. Montgomeri Watt, perekonomian Arab pada waktu itu sudah tergolong maju dan
kaya. Kota Mekkah ketika itu menjadi kota dagang internasional yang dilalui tiga jalur besar perdagangan dunia,
Pertama, lalu lintas perdagangan antara Romawi dan India yang melalui Arab, dikenal sebagai jalur dagang Selatan.
Kedua, jalur dagang Romawi dan Persia disebut sebagai jalur dagang Utara, Ketiga, jalur dagang Sam dan Yaman
disebut jalur Utara-Selatan. Oleh karena Mekkah sebagai pusat dagang inyternasional, maka tidak heran jika
mayoritas penduduk Mekkah berprofesi sebagai pedagang.
Valuta asing dari Persia dan Romawi dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab bahkan menjadi alat resmi,
yakni mata uang dinar dan dirham. Sistem devisa bebas diterapkan dan tidak ada halangan sedikitpun untuk
mengimpor dinar atau dirham. Transaksi tidak tunai (hutang) dikenal luas di kalangan para pedagang.
Berdasarkan kenyataan itu, dapat dipastikan bahwa perekonomian Arab, khususnya Mekkah sudah maju dan
berkembang. Perekonomian di zaman Rasulullah bukanlah ekonomi terbelakang yang hanya mengenal barter, tetapi
jauh dari gambaran seperti itu.
Salah satu tradisi bisnis dalam kegiatan perdagangan yang dilakukan orang-orang Mekkah sebelum kenabian
Muhammad adalah praktek ekonomi ribawi. Jadi adalah tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa praktek riba
yang terjadi di masa Nabi hanya untuk kebutuhan konsumtif. Pinjaman produktif untuk keperluan modal dagang
dipastikan terjadi secara massif di kota Mekkah dan jazirah Arab lainnya. Praktek riba inilah yang dihilangkan Nabi
Muhammmad saw secara bertahap dalam kurun waktu lebih dari 22 tahun.
Ajaran Al-quran maupun hadits yang melarang riba meniscayakan praktek ekonomi yang diajarkan Rasulullah
adalah sistem ekonomi bebas riba (free interest) Kemudian sistem ekonomi anti riba dilanjutkan oleh Khulafaur
Rasyidin dan Daulah Islamiyah. Praktek ekonomi bebas riba tersebut harus diaktualkan dan dipraktekkan kembali
di tengah semaraknya sistem ekonomi ribawi saat ini.
Sejak berabad-abad kaum muslimin di berbagai belahan dunia mempratekkan ekonomi ribawi kapitalisme akibat
penjajahan kolonial yang mendesakkan sistem riba itu dalam sistem ekonomi negara-negara muslim melalui
lembaga perbankan, asuransi dan koperasi. Indonesia termasuk negara yang mempraktekkan sistem riba tersebut,
sejak kedatangan penjajah Belanda ke Indonesia. Maka tidak aneh apabila saat ini sistem ekonomi ribawi begitu
masih dominan dalam sistem perekonomian Indonesia. Undang-Undang yang mengatur tentang perbankan di
Indonesia dalam waktu yang sangat panjang hanya membenarkan sistem bunga. Baru pada tahun 1992, keluar UU
No 7/1992 yang menyebutkan bahwa sistem perbankan di Indonesia dapat menggunakan sistem bagi hasil. Pada
tahun 1992 itu juga lahirlah Bank Muamalat Indonesia. Selama lima enam tahun berkembang di Indonesia, BMI
masih menjadi pemain tunggal sebagai bank syari’ah. Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter di Indonesia yang
mengakibatkan bank-bank konvensional mengalami goncangan hebat yang pada akhirnya sebagian besar di
antaranya ditutup (dilikuidasi), karena mengalami negative spread, sedangkan sebagaian lainnya masuk bengkel
BPPN.
Bank Muamalat dan sejumlah BPR Syari’ah yang menarapkan sistem bagi hasil selamat dari bagai krisis tersebut.
Hal ini disebabkan karena bank syari’ah menerapkan sistem bagi hasil Penerapan bagi hasil di bank syari`ah,
membuat bank-bank syari`ah lebih tangguh dan tahan dari pengaruh gejolak moneter, baik dari dalam maupun luar
negeri. Hal ini disebabkan karena bank syari`ah tidak dibebani membayar bunga simpa¬nan nasabah. Bank syari`ah
hanya membayar bagi hasil yang jumlahnya sesuai dengan tingkat keuntungan perbankan syari`ah. Dengan sistem
bagi hasil tersebut, maka jelas bank-bank syari`ah selamat dari negative spread.
Banyak kalangan menilai bahwa keterpurukan ekonomi Indonesia sejak tahun 1997, disebabkan oleh tingginya
tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme. Asumsi tersebut di satu sisi memang benar, namun harus diakui bahwa faktor
sistem moneter konvensional yang memakai instrumen bunga juga menjadi salah satu faktor yang membuat
semakin terpuruknya ekonomi Indonesia.
Makalah ini akan membahas pengaruh bunga perbankan tersebut terhadap keterpurukan ekonomi Indonesia, yang
secara khusus menganalisa kasus krisis moneter 1997 yang berlanjut sampai tahun 2004. Tulisan ini diawali

dengan paparan ringkas tentang riba dalam perspektif historis dan argumentasi pengharaman riba. Selanjutnya
dibahas pengaruh bunga terhadap keterpurukan ekonomi Indonesia. Untuk lebih melengkapi tulisan ini, dipaparkan
juga tentang ijma’ ulama tentang keharaman bunga bank yang disertai dengan eksplanasi mengenai solusi
instrumen bagi bagi hasil sebagai pengganti bunga.
Makalah ini secara sengaja tidak membahas defenisi riba dan bunga, karena defenisi keduanya sangat jelas. Sangat
banyak kajian dan literatur yang telah mengulas defenisi riba dan bunga tersebut. Kata Prof.Dr.Azfalur Rahman
dalam buku Muhammad A Trader, “Tidak ada gunanya membuang-buang waktu untuk mendefenisikan bunga dan
riba, karena kedua sangat identik dan saling menggantikan. Islam tidak membedakan interetres dan usury. Riba
mencakup keduanya. Karena itu bunga bank sekarang ini memenuhi defenisi riba”
Sejarah Ringkas Bunga
Menurut pakar sejarah ekonomi, kegiatan bisnis dengan sistem bunga telah ada sejak tahun 2500 sebelum Masehi,
baik yunani kuno, Romawi kuno, dan Mesir Kuno. Demikian juga pada tahun 2000 sebelum Masehi, di
Mesopotamia ( wilayah Iraq sekarang ) telah berkembang sistem bunga. Sementara itu, 500 Tahun sebelum Masehi
Temple Of Babillion mengenakan sistem bunga sebesar 20 % setahun.
Sejarah mencatat, bangsa Yunani kuno yang mempunyai peradaban tinggi, melarang keras peminjaman uang
dengan bunga. Aristoteles dalam karyanya Politics telah mengecam sistem bunga yang berkembang pada masa
Yunani kuno. Dengan mengandalkan pemikiran rasional filosofis, tanpa bimbingan wahyu, ia menilai bahwa bunga
merupkan sistem yang tidak adil. Menurutnya, uang bukan seperti ayam yang bisa bertelur. Sekeping mata uang
tidak bisa beranak kepingan mata uang lainnya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa meminjamkan uang dengan
bunga adalah sesuatu yang rendah derajatnya. Sementara itu, Plato dalam bukunya “ Laws”, juga mengutuk bunga
dan memandangnya sebagai praktek yang zholim. Dua filosofi Yunani yang paling terkemuka itu dipandang cukup
representatif untuk mewakili pandangan filosofi Yunani tentang bunga.
Selanjutnya, pada tahap- tahap awal, kerajaan Romawi Kuno, juga melarang keras setiap pungutan atas bunga dan
pada perkembangan berikutnya mereka membatasi besarnya suku bunga melalui undang – undang. Kerajaan
romawi adalah negara pertama yang menerapkan peraturan tentang bunga untuk melindungi para konsumen.
Kebiasaan bunga juga brkembang di tanah arab sebelum Nabi Muhammad menjadi rasul. Catatan sejarah
menunjukan bahwa bangsa Arab cukup maju dalam perdagangan. Hal ini digambarkan dalam Al- qur’an dalam
surat al – quraisy dan buku – buku sejarah dunia. Bahkan kota Mekkah saat itu pernah menjadi kota dagang
internasional yang dilalui tiga jalur – jalur perdagangan dunia, Eropa dan Afrika, India, dan China, serta Syam dan
Yaman.
Suatu hal yang tak bisa di – bantah, bahwa dalam rangka menunjang arus perdagangan yang begitu pesat, mereka
membutuhkan fasilitas pembiayaan yang memadai guna menunjang kegiatan produksi. Peminjaman modal untuk
perdagangan dilakukan dengan sistem bunga. Tegasnya, pinjaman uang pada saat itu, bukan semata untuk
konsumsi, tetapi juga untuk usaha – usaha produktif. Sistem bunga inilah selanjutnya yang dilarang Al- Qur’an
secara bertahap.
Sementara itu, tradisi bunga terus berkembang di Eropa dan menjadi sistem ekonomi kapitalis. Raja Inggris, Hendri
VIII, pada tahun 1545 M, mengatakan bahwa riba tidak dibenarkan, sedangkan bunga dibolehkan asal tidak
berlebihan. Gaung Raja Hendri VIII itu sampai ke Belanda. Ketika Belanda menjajah Indonesia,mereka menyebar
luaskan pandangan Hendri VIII, sehingga ada orang Indonesia yang melarang dan mempraktekkan bunga. Mereka
membedakan bunga dan riba. Padahal bunga dan riba sama saja. Ayat Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 30 yang
melarang riba yang berlipat ganda, belum selesai (tuntas). Sebab setelah itu, turun ayat lagi tentang riba yang
mengharamkan segala bentuk riba, baik riba yang berlipat ganda maupun yang ringan bunganya (Q.S. 2 : 275 :
279).
Argumentasi larangan riba
Larangan riba merupakan salah satu pembeda utama antara sistim ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional.
Argumentasi larangan riba dalam ekonomi Islam telah banyak dibahas para ulama dan ilmuwan Islam sepanjang
sejarah.
Menurut Prof. A. M. Sadeq (1989) dalam artikelnya "Factor Pricing and Income Distribution from An Islamic
Perspective" yang dipublikasikan dalam Journal of Islamic Economics, menyebutkan bahwa pengharamkan riba
dalam ekonomi, setidaknya, disebabkan oleh empat alasan;
Pertama, sistim ekonomi ribawi telah menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat terutama bagi para pemberi
modal (bank) yang pasti menerima keuntungan tanpa mau tahu apakah para peminjam dana tersebut memperoleh
keuntungan atau tidak. Kalau para peminjam dana mendapatkan untung dalam bisnisnya, maka persoalan
ketidakadilan mungkin tidak akan muncul.
Namun, bila usaha bisnis para peminjam modal bankrut, para peminjam modal juga harus membayar kembali
modal yang dipinjamkan dari pemodal plus bunga pinjaman. Dalam keadaan ini, para peminjam modal yang sudah

bankrut seperti sudah jatuh di timpa tangga pula, dan bukankah ini sesuatu yang sangat tidak adil?
Kedua, sistim ekonomi ribawi juga merupakan penyebab utama berlakunya ketidakseimbangan antara pemodal
dengan peminjam. Keuntungan besar yang diperoleh para peminjam yang biasanya terdiri dari golongan industri
raksasa (para konglomerat) hanya diharuskan membayar pinjaman modal mereka plus bunga pinjaman dalam
jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan milyaran keuntungan yang mereka peroleh.
Padahal para penyimpan uang di bank-bank adalah umumnya terdiri dari rakyat menengah ke bawah. Ini berarti
bahwa keuntungan besar yang diterima para konglomerat dari hasil uang pinjamannya tidaklah setimpal dirasakan
oleh para pemberi modal (para penyimpan uang di bank) yang umumnya terdiri dari masyarakat menengah ke
bawah.
Ketiga, sistim ekonomi ribawi akan menghambat investasi karena semakin tingginya tingkat bunga dalam
masyarakat, maka semakin kecil kecenderungan masyarakat untuk berinvestasi. Masyarakat akan lebih cenderung
untuk menyimpan uangnya di bank-bank karena keuntungan yang lebih besar diperolehi akibat tingginya tingkat
bunga.
Keempat, bunga dianggap sebagai tambahan biaya produksi bagi para businessman yang menggunakan modal
pinjaman. Biaya produksi yang tinggi tentu akan memaksa perusahaan untuk menjual produknya dengan harga
yang lebih tinggi pula. Melambungnya tingkat harga, pada gilirannya, akan mengundang terjadinya inflasi akibat
semakin lemahnya daya beli konsumen. Semua dampak negatif sistim ekonomi ribawi ini secara gradual, tapi pasti,
akan mengkeroposkan sendi-sendi ekonomi umat. Krisis ekonomi tentunya tidak terlepas dari pengadopsian sistim
ekonomi ribawi seperti disebutkan di atas.
Tak bisa dibantah bahwa sistim ekonomi ribawi akan menggerogoti sendi-sendi ekonomi masyarakat. Hal itu
terlihat dengan jelas pada praktek perbankan konvensional yang menganut sistim ribawi. Tingkat bunga dijadikan
acuan untuk meraih keuntungan para pemberi modal. Bank tidak mau tahu apakah para peminjam memperoleh
keuntungan atau tidak atas modal pinjamannya, yang penting para peminjam harus membayar modal pinjamannya
plus bunga pinjaman. Semakin tinggi tingkat bunga dalam sebuah negara, maka semakin tinggi tingkat keuntungan
yang diperoleh para pemberi modal dan semakin merusak sendi-sendi ekonomi umat akibat dampak negatif sistim
ekonomi ribawi dalam masyarakat.
Demikian pula, akibat terlalu tingginya tingkat bunga yang dibebankan kepada para peminjam, maka semakin
sukarnya para peminjam untuk melunasi bunga pinjamannya. Apalagi dalam sistim ekonomi konvensional,
biasanya pihak bank tidak terlalu selektif dalam meluncurkan kreditnya kepada masyarakat. Pihak bank tidak mau
tahu apakah uang pinjamannya itu digunakan pada sektor-sektor produktif atau tidak, yang penting bagi mereka
adalah semua dana yang tersedia dapat disalurkan kepada masyarakat. Sikap bank yang beginilah yang
menyebabkan semakin tingginya kredit macet dalam ekonomi akibat semakin menunggaknya hutang peminjam
modal yang tidak sanggup dilunasi ketika jatuh tempo kepada pihak bank. Akibatnya, bank-bank akan memiliki
defisit dana yang dampaknya sangat mempengaruhi tingkat produksi dalam masyarakat.
Sistem ekonomi ribawi juga menjadi penyebab utama tidak stabilnya nilai uang (currency) sebuah negara. Karena
uang senantiasa akan berpindah dari negara yang tingkat bunga riel yang rendah ke negara yang tingkat bunga riel
yang lebih tinggi akibat para spekulator ingin memperoleh keuntungan besar dengan menyimpan uangnya dimana
tingkat bunga riel relatif tinggi. Usaha memperoleh keuntungan dengan cara ini, dalam istilah ekonomi disebut
dengan arbitraging. Tingkat bunga riel disini dimaksudkan adalah tingkat bunga minus tingkat inflasi.
Sebagai contoh, bila tingkat bunga di Indonesia, katakanlah, 12% dengan tingkat inflasi 8 %, maka tingkat bunga
riel adalah 4% (12% - 8%). Ini berarti walaupun tingkat bunga nominal (tingkat bunga sebelum dikurangi dengan
tingkat inflasi) tinggi di Indonesia, ini tidak secara otomatis akan mempengaruhi investor untuk membeli Rupiah,
karena pada dasarnya tingkat bunga riel di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat bunga riel di
negara-negara lain.
Inilah penyebab utama semakin menurunnya nilai (depresiasi) Rupiah akibat rendahnya permintaan akan Rupiah.
Tinggi rendahnya nilai Rupiah sangat dipengaruhi oleh jumlah permintaan dan penawaran Rupiah di pasar uang.
Semakin banyak jumlah permintaan mata uang Rupiah, maka semakin tinggi nilai mata uang Rupiah, dan
sebaliknya. Begitu juga dengan penawaran, semakin tingginya jumlah Rupiah yang beredar di pasar, sementara
permintaan akan Rupiah rendah, maka nilai rupiah akan menurun, dan sebaliknya.
Sebenarnya, inilah yang sedang berlaku di Indonesia, dimana jangankan businessman asing, para businessman
dalam negeripun lebih cenderung membeli Dolar atau mata uang asing lainnya dengan menjual Rupiah di pasar
valuta asing. Ini juga bermakna semakin berkurangnya dana asing yang masuk ke Indonesia, ditambah lagi dengan
larinya dana dalam negeri ke luar sehingga akan sangat mempengaruhi ketersediaan dana yang memadai sebagai
modal pembangunan ekonomi. Hal ini jelas semakin memperparah penurunan nilai mata uang Rupiah dan semakin
minimnya dana asing dan lokal yang tersedia untuk pembangunan ekonomi, yang pada gilirannya, akan
menyebabkan krisis ekonomi terjadi berkepanjangan.

Memang, harus diakui bahwa semakin rendahnya nilai Rupiah, maka semakin memperkuat daya saing komoditas
eksport Indonesia di pasar internasional karena relatif murahnya harga komoditas eksport tersebut di pasar
internasional bila dibeli dengan mata uang asing.
Tetapi, penurunan nilai Rupiah ini tidak akan memberi pengaruh signifikan sebab kebanyakan komposisi bahan
mentah komoditas eksport Indonesia adalah terdiri dari bahan mentah yang diimport dari negara luar. Dengan kata
lain, kenaikan harga barang mentah akibatnya tingginya nilai mata uang (appresiasi) asing jelas akan menyebabkan
biaya untuk memproduksikan komoditas eksport tersebut akan bertambah mahal sehingga produk akhir komoditas
itu harus dijual dengan harga yang mahal pula. Ini menunjukkan bahwa penurunan nilai Rupiah tidak akan memberi
kelebihan daya saing eksport Indonesia di pasar internasional.
Permasalahan di atas, sebenarnya, tidak pernah terjadi kalau sistim ekonomi Islam diadopsi dalam sistim ekonomi
negara. Kenapa tidak? Karena nilai uang tidak akan dipengaruhi oleh perbedaan tingkat bunga riel sebab ekonomi
Islam tidak mengenal sistim bunga (riba). Inilah yang menyebabkan nilai uang dalam ekonomi tanpa bunga tidak
mengalami volatilitas yang membahayakan.
Dampak Bunga terhadap Ekonomi Indonesia
Krisis moneter yang pada mulanya terjadi di Thailand menular ke Malaysia, Philipine, Korea dan Indonesia. Pasar
saham dan kurs uang tersungkur jatuh secara dahsyat. Bank sentral terpaksa turun tangan dengan mencetak uang
baru, melakukan transaksi forward dan menaikkan tingkat bunga yang tidak terduga. Volatilitas krisis
menimbulkan badai yang kuat menuju kehancuran dan mengakibatkan goncangnya sistem perbankan yang rapuh.
Padahal lembaga perbankan merupakan tulang punggung perusahaan manufacturing yang selama ini mengandalkan
bunga rendah. Selama tahun pertama krisis kurs mata uang di lima negara terdepresiasi 35 – 80 %, bahkan
Indonesia, mencapai 400 %. Hal ini menyebabkan menciutnya nilai kekayaan dari negara-negara tersebut
khususnya Indonesia.
Nilai rupiah yang pada mulanya setara dengan Rp 2.445, meningkat secara tajam menjadi Rp 17.000-an. Dalam
masa yang panjang, nilai rupiah