Dinamika pengalaman krisis dalam kehidupan pastor - USD Repository

  

DINAMIKA PENGALAMAN KRISIS DALAM KEHIDUPAN PASTOR

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

  

Program Studi Psikologi

Oleh :

David Widyantoro Try Wibowo

  

NIM : 07 9114 002

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

  

YOGYAKARTA

2013

HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAN

  Skripsi ini saya persembahkan untuk: Tuhan Yesus teladan dari semua panggilan hidup,

  Mereka yang membaktikan diri dalam panggilan hidup selibat, Bapak, Ibu, Kakak, Adik, Keponakan yang lucu-lucu, Devi, dan

  Civitas akademi Univ.Sanata Dharma, khususnya Fakultas Psikologi

  

DINAMIKA PENGALAMAN KRISIS DALAM KEHIDUPAN PASTOR

David Widyantoro Try Wibowo

ABSTRAK

  Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami dinamika pengalaman

krisis dalam kehidupan pastor pada beberapa pastor yang berkarya di Yogyakarta. Metode

pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode

wawancara untuk mendapatkan data narasi dari tiga subyek. Untuk mengetahui dan memahami

dinamika pengalaman krisis dalam kehidupan pastor analisis yang digunakan adalah analisis

naratif. Hal ini menunjukkan bahwa dapat dipahami bahwa pengalaman krisis dalam kehidupan

pastor merupakan sebuah masa dimana seorang pastor mencoba untuk mencari jawaban, pilihan,

atau tindakan dari konflik yang dihadapi berkaitan dengan kehidupannya menjadi seorang pastor.

Sumber konflik yang dialami dapat disebabkan oleh pengalaman masa lalu dan konsekuensi dari

interaksi dengan lingkungan sosial. Pengalaman masa lalu bisa menjadi pembelajaran untuk

menghadapi konflik selanjutnya. Sebagai usaha menemukan jawaban, menentukan pilihan, dan

tindakan dari konflik yang dihadapi sebagian besar cara yang dilakukan adalah dengan

menciptakan suasana hening untuk merenung atau merefleksikan pengalaman, sharing, serta

penyerahan diri kepada Tuhan. Kekuatan yang dihasilkan dari krisis tersebut adalah harapan,

kemauan, tujuan, keahlian, kesetiaan, dan kebijaksanaan.

  Kata kunci : Dinamika Pengalaman Krisis dalam Kehidupan Pastor

DYNAMICS OF EXPERIENCE IN LIFE CRISIS PASTOR

  

David Widyantoro Try Wibowo

ABSTRACT

The purpose of this study is to investigate and understand the dynamics of the life

experience of the crisis on several pastor who works in Yogyakarta. The data collection method

used in this research is to use the method of narrative interviews to obtain data from the three

subjects. To know and understand the dynamics of the crisis in the life experience of analysis is

pastor narrative analysis. This shows that it is understood that the experience of the crisis in the

life of a priest is a period where a priest trying to find an answer, choice, or action of the conflict

faced related to his life being a pastor. Sources of conflict that can be experienced due to past

experiences and the consequences of the interaction with the social environment. Past experience

can be a lesson for to further conflicts. An attempt to find answers, make choices, and actions of

the conflicts faced by most of the way is by creating an atmosphere of silence to contemplate or

reflect on the experience, sharing, and submission to God. Strength resulting from the crisis is the

hope, the will, purpose, skill, loyalty, and wisdom.

  Keywords: Dynamics of Crisis Experiences in Life Pastor

KATA PENGANTAR

  Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat perlindungan NYA tugas akhir ini dapat diselesaikan. Sebuah proses yang patut disyukuri karena penulis boleh merasakan dan mengalami dinamika penyusunan tugas akhir yang dibuat sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana.

  Proses penyusunan tugas akhir ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan pihak-pihak, baik yang terlibat secara langsung maupun yang tidak secara langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan kepada.

  1. Tuhan Yesus Kristus yang selalu menguatkan, memberkati, dan melindungi.

  2. Bapak dan Ibu tersayang yang tiada hentinya mendukung dan memperhatikan dengan kasih sayang yang tiada habisnya.

  3. Mas Ari beserta keluarga, Mbak Ria beserta keluarga, dan Ave, kakak-kakak dan adik yang selalu memberikan semangat.

  4. My lovely Devi, yang menemani dan memberikan perhatian disaat suka, duka, sedih, senang, dan susah.

  5. Bapak Didik, dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi yang dengan sabar membimbing penulis.

  6. Para pastor, baik yang berpartisipasi sebagai subyek, maupun rekan berbagi sharing, pengalaman para pastor memperkaya pengetahuan saya dalam penulisan tugas akhir ini.

  7. Civitas Akademika Universitas Sanata Dharma, tempat bernaung menjadi pribadi yang cerdas dan humanis

  8. Fakultas Psikologi, USD tempat penulis dapat memahami manusia lebih dalam.

  9. Dosen, karyawan, teman-teman seperguruan prodi Psikologi, kalian sahabat tempat berbagi suka dan duka.

  10. Teman-teman staf humas USD (Pak Budi, Mas Cahyo, Mbak Atiek, Krisna, Lusi, Ita, Wiena, Tatik, Anggita, Nana, Lia, Agus, Galih, Clay, Fajar, Adi, Daniel, Lola, Eka, Ketty, Glo, Okvi, Leza, Utik, Atik, Suharni, Nanda, Oscar, Yuan, Putra, Chiputra, Tri, Bayu, dkk) terimakasih motivasinya.

  Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, penulis ucapakan terimakasih kembali atas dukungannya.

  Pemahaman akan dinamika kehidupan pastor ditengah umat masih beragam. Ada yang mampu memahami ada pula yang tidak dapat memahami.

  Masalahnya adalah terkadang umat masih menilai pastor adalah pribadi yang istimewa dan lupa untuk melihat sisi manusiawinya. Sebagai manusia biasa pastor juga merasakan dan mengalami jatuh bangun sedih susah dan perjuangan hidup lainnya yang tentunya juga untuk mempertahankan panggilan suci yang telah dipilihnya. Pengalaman krisis menyangkut kehidupan pribadi, hal ini menjadi sebuah perbincangan yang mudah datang dan mudah pergi. Padahal jika dilihat dari sisi psikologisnya seorang pastor juga membutuhkan dukungan dan perhatian dari lingkungannya dalam kondisi apapun. Dukungan dan perhatian yang baik akan membantu seorang pastor dalam menjalankan kehidupan panggilannya hingga akhir hayat. Tugas akhir ini dibuat tidak untuk mendiskriminasikan atau menyudutkan sosok pastor, oleh karena itu penulis berusaha menyusun karya tulis

  

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii

HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAN .......................................... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................. v

ABSTRAK ................................................................................................... vi

ABSTRACT ................................................................................................. vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ............ viii

KATA PENGANTAR ................................................................................. ix

DAFTAR ISI ................................................................................................ xii

BAB I PENDAHULUAN .........................................................................

  1 A. Latar Belakang Masalah .......................................................

  1 B. Rumusan Masalah ..................................................................

  6 C. Tujuan Penelitian ...................................................................

  6 D. Manfaat Penelitian .................................................................

  6 1. Manfaat Teoritis ...............................................................

  6 2. Manfaat Praktis .................................................................

  7 BAB II LANDASAN TEORI ....................................................................

  8 A. Krisis .......................................................................................

  8 1. Pengertian Krisis ...............................................................

  8 2. Psikologi Hidup Rohani (Psiko-Spiritual) .......................

  11

  3.

  16 Teori Aktualisasi .............................................................

  B.

  21 Kehidupan Pastor dan Dinamika Krisis ...........................

  C.

  26 Pertanyaan Penelitian .........................................................

  1.

  26 Central Question ..............................................................

  2.

  26 Subquestion ......................................................................

  BAB III METODE PENELITIAN .........................................................

  27 A.

  27 Strategi Penelitian ...............................................................

  B.

  28 Latar Belakang Peneliti ......................................................

  C.

  30 Pengumpulan Data ..............................................................

  D.

  31 Prosedur Analisis Data .......................................................

  E.

  32 Kredibilitas Penelitian ........................................................

  BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .......................

  34 A.

  34 Pengalaman Krisis Subyek 1 (YI) ......................................

  1. Krisis Relasi dengan Keluarga (Peran sebagai Anak Pertama) ..........................................................................

  35 2. Krisis Relasi dengan Instansi Formasi (Seminari Tinggi) ..............................................................................

  37 3.

  39 Krisis Fisik (Pengalaman Sakit) ....................................

  4.

  42 Kesimpulan......................................................................

  B.

  43 Pengalaman Krisis Subyek 2 (BM) ....................................

  1. Krisis Relasi dengan Keluarga (Status dan Pola Asuh) ................................................................................

  44 2.

  48 Krisis Karya ....................................................................

  3.

  51 Krisis Relasi dengan Lawan Jenis .................................

  4.

  53 Kesimpulan......................................................................

  C.

  53 Pengalaman Krisis Subyek 3 (YS) .....................................

  1.

  54 Krisis Relasi dengan Lawan Jenis ....................................

  2.

  56 Krisis Relasi dengan Mitra Paroki (Dewan Paroki).......

  3.

  57 Krisis Relasi dengan Rekan Pastor dalam Satu Paroki .

  4.

  59 Krisis Relasi dengan Pimpinan ........................................

  5.

  61 Kesimpulan.........................................................................

  D.

  62 Pembahasan ............................................................................

  BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................

  66 A.

  66 Kesimpulan .........................................................................

  B.

  67 Saran ....................................................................................

  1.

  67 Bagi Subyek .....................................................................

  2.

  67 Bagi Formator .................................................................

  3.

  68 Bagi Peneliti Selanjutnya ............................................... DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................

  69 LAMPIRAN .................................................................................................

  71

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Seorang pastor memiliki peran penting dalam kehidupan umat Katolik. Peran penting pastor dapat dilihat melalui tugas pastoralnya. Tugas pastoral

  seorang pastor menyangkut bidang kerygma (pewartaan, pengajaran, kenabian), liturgia (ibadat dan pengudusan), martyria (keberanian memberi kesaksian hidup imani), doakonia (pelayanan), dan koinonia (kepemimpinan yang mendamaikan) (Mgr J. Sunarka, SJ dalam Perjuangan dan Kebahagian Imam-Imam Muda).

  Fx. Indrapraja, OSF mengatakan bahwa salah satu dokumen Konsili Vatikan II, dekrit Presbyterorum Ordinis tentang pelayanan dan kehidupan imam (7 Desember 1965) menyebutkan dan menguiraikan secara singkat tiga aspek pelaksanaan pelayanan seorang imam. Ketiga aspek itu adalah: imam sebagai pelayan sabda Allah, imam sebagai pelayan ekaristi, dan imam sebagai pemimpin umat Allah. Tugas pastoral dan ketiga aspek pelaksanaan pelayanan seorang imam ini menunjukkan bahwa pentingnya peran imam atau pastor dalam kehidupan umat katolik.

  Bagi umat beragama Katolik, menjadi seorang pastor merupakan jalan panggilan yang mulia. Bahkan sebagian besar umat Katolik memiliki pandangan bahwa menjadi pastor atau biarawan-biarawati merupakan satu- satunya jalan terbaik dalam menuju kesempurnaan hidup (Djakarya dalam Ayu dan Satiadarma, 2005). Pandangan ini muncul, karena sosok pemuka agama seperti pastor merupakan panutan umat dalam menjalankan kehidupan khususnya dalam hal kerohanian, seperti mengajarkan bagaimana manusia hidup dengan baik sesuai ajaran agama. Oleh karena itu tidak jarang pula, umat berpendapat bahwa seorang pastor hidup suci karena berjanji untuk hidup selibat atau tidak menikah seumur hidup.

  Pandangan yang “berlebihan” tersebut mengakibatkan seorang selibater (pastor) dituntut untuk menampilkan kepribadian yang sempurna

  (Paige, 2001 dalam Ayu dan Satiadarma, 2005). Seperti halnya manusia biasa, seorang pastor juga memiliki sisi manusiawi yang dimiliki. Sisi manusiawi ini terlihat dari perjuangan seorang pastor dalam mempertahankan hidup panggilannya dan identitas yang disandang di tengah tantangan dunia yang dihadapi.

  Bukan suatu langkah yang mudah untuk memperjuangkan identitas yang melekat pada pribadi seorang pastor. Erik Erikson dalam Life-Span Development (edisi kelima, 2002) menjelaskan, bahwa perkembangan sosial manusia dalam mencari identitas diri akan melalui tahap atau masa krisis.

  Tahap krisis itu akan ditandai dengan adanya konflik yang harus dihadapi oleh individu. Setiap konflik yang dapat dilalui dalam satu tahap akan membantu individu dalam menghadapi konflik di tahap berikutnya. Jika ada konflik yang tidak terselesaikan, ada kemungkinan pada tahap berikutnya akan muncul kembali. Hal ini juga yang dialami seorang pastor dalam memperjuangkan identitas diri mereka. Seorang Pastor akan menjumpai masa krisis dalam perkembangan hidupnya.

  Beberapa literatur mengatakan bahwa krisis yang dialami seorang pastor atau kaum selibater (biarawan-biarawati) terjadi karena adanya krisis iman. Pastor B. Sumaryo SCJ dalam artikelnya yang berjudul Gugatan Panggilan (1998) mengatakan bahwa biarawan-biarawati serta pastor yang mengalami krisis iman tidak menyadari bahwa kaul dan tahbisan suci merupakan ikatan untuk seumur hidup yang menjadi sumber kesucian dan keselamatan serta kebahagian hidup. Kisah-kisah yang muncul berdasarkan pengalaman bagaimana kaum selibater mempertahankan identitasnya, seperti pergulatannya dalam memaknai kaul yang diucapkan. Salah satunya krisis iman dapat terjadi karena hanya mengejar karier, pengetahuan tanpa diimbangi dengan doa dan meditasi atau hening.

  Seorang pastor ketika mengalami krisis iman, hal ini akan berpengaruh dalam kehidupan pribadi, akibatnya pastor tersebut akan mengalami kebosanan, stres, depresi, karya pelayanan terganggu, bahkan dapat sampai mengakibatkan Pastor itu meninggalkan panggilannya. Semakin krisis iman, semakin krisis panggilan, untuk membenahi panggilan dibutuhkan iman (A. Setyawan, S.J dalam artikel Krisis Tengah Umur = Krisis Panggilan).

  Krisis iman bukan merupakan pusat atau sumber dari krisis yang dialami pastor. F. Mardi Prasetya SJ., Ph.L.Psych mengatakan dalam hidup iman, kadang-kadang dijumpai kesulitan dan hambatan yang muncul karena disposisi seseorang yang kurang sesuai. Kesulitan dan hambatan itu secara umum dapat digolongkan dalam kesulitan yang coraknya rohani, masalah yang muncul dari proses perkembangan pribadi, kesulitan yang muncul karena pengaruh motivasi bawah sadar, masalah-masalah dan kesulitan yang muncul dari dinamika patologis yang menyangkut bidang psikiatri.

  Pengalaman krisis dalam kehidupan seorang pastor dapat terjadi kapan saja, seperti orang pada umumnya. Menurut DSO. Widiantoro, SJ pengalaman krisis ini terjadi karena disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, kurangnya kemampuan untuk tekun melatih dan membiasakan hidup dalam discernment.

  Kedua, faktor psikologis dari pribadi bersangkutan yang kerap mempengaruhi prilaku dan mentalitas seseorang. Ketiga, faktor eksternal yang turut memberikan stimulus seorang religius jatuh pada pengalaman krisis.

  Konsep krisis psikososial Erik Erikson dalam teori kepribadian dikatakan bahwa setiap tahap perkembangan memiliki konflik antara elemen sintonik (harmonis) dan elemen distonik (mengacaukan). Tiap tahap dicirikan oleh adanya dilema dalam kategori krisis psikososial (Deshi Ramadhani, SJ dalam Rohani, 2011). Konsep krisis psikososial Erik Erikson menunjukkan bahwa setiap manusia termasuk seorang pastor memiliki kemungkinan mengalami konflik atau krisis dalam hidupnya.

  Penelitian yang dilakukan oleh Tiara M. Ayu dan Monty P. Satiadarma (2005) memberikan pemahaman mengenai dinamika emosional kaum selibat dalam menghadapi mid-life crisis atau krisis tengah umur. Penelitian ini - menjelaskan dinamika krisis tengah umur para selibater yang menjadi subyek penelitian yang berfokus pada kondisi emosional dalam menghadapi mid-life

  crisis .Oleh karena itu, diharapkan penelitian berikutnya tidak hanya mengulas kondisi emosional, namun kondisi psikologis secara keseluruhan dan tidak hanya terfokus pada problematik yang dihadapi di usia pertengahan.

  Pengalaman-pengalaman krisis ini tidak bisa dihindari. Dalam melewati tahap-tahap itu ada serangkaian kekusutan yang bisa menimbulkan kebingungan luar bisa, jika tidak hati-hati kekusutan yang tidak sempat terurai lewat berbagai pendampingan yang tepat akhirnya akan membawa pada satu titik keputusan akhir, yaitu berhenti hidup selibat (Deshi Ramadhani, SJ dalam Rohani, 2011). Jika masalah ini dibiarkan begitu saja, berapa jumlah pastor yang akan tetap setia pada panggilannya?

  Beberapa cara dilakukan untuk membantu menyelesaikan masalah ini. Konsili Vatikan II tepatnya dalam Gaudium et Spes menganjurkan supaya dalam formasi (pembinaan) meminta bantuan ilmu lain, antara lain ilmu Psikologi. Psikologi membantu memahami kekayaan dan kedalaman pribadi calon beserta latar belakang dan kerumitannya, karena psikologi merupakan sebuah pendekatan yang secara khusus mendalami dinamika dan sistem motivasi pribadi serta proses psikososial yang berhubungan dengan dinamika tersebut (F. Mardi Prasetya, SJ dalam Psikologi Hidup Rohani, 1995)

  Oleh karena itu melalui penelitian ini, peneliti hendak melihat dinamika pengalaman krisis dalam kehidupan pastor. Dinamika pengalaman krisis yang hendak dilihat merupakan kisah perjalanan hidup dan pengalaman krisis yang dihadapi pastor. Berdasarkan kisah perjalanan hidup dan pengalaman krisis yang dihadapi pastor, diharapkan akan dapat diketahui gambaran dan informasi yang bisa membantu untuk lebih memahami pengalaman krisis dalam kehidupan pastor. Pengalaman krisis tersebut juga bukan hanya pada tahap usia tertentu. Melalui penelitian ini, penulis juga berharap dapat menjadi salah satu usaha dalam mengatasi ataupun menanggulangi krisis yang terjadi dalam kehidupan pastor.

  B. RUMUSAN MASALAH

  Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana dinamika pengalaman krisis dalam kehidupan pastor.

  C. TUJUAN PENELITIAN

  Penelitian naratif ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami dinamika pengalaman krisis dalam kehidupan pastor pada beberapa pastor yang berkarya di Yogyakarta.

  D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis a.

  Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengembangan terhadap ilmu Psikologi terutama psikologi perkembangan, tentang perkembangan manusia yang secara khusus memilih jalan hidupnya untuk menjadi kaum religius, khususnya menjadi pastor. b.

  Selain bagi psikologi perkembangan, penelitian ini diharapkan pula dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk penelitian-penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini.

2. Manfaat Praktis a.

  Penelitian ini bermanfaat untuk membantu pembaca mengetahui seluk- beluk kehidupan pastor berkaitan dengan pengalaman krisis yang dialaminya.

  b.

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan usaha preventif bagi dunia pendidikan calon pastor dalam membina calon pastor, sehingga bukan hanya pembinaan secara rohani dan akademis saja, tetapi secara psikologis juga dapat dikembangkan.

  c.

  Penelitian ini juga bermanfaat sebagai bahan evaluasi dan refleksi bagi para pastor dalam menghadapi krisis yang dialami, sehingga para pastor tetap dapat bersemangat dalam karya panggilannya.

BAB II LANDASAN TEORI A. KRISIS 1. Pengertian Krisis Istilah krisis mengacu pada suatu masa atau waktu yang

  menggambarkan kondisi yang bergejolak akibat adanya konflik. Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi keempat, 2011), mendefinisikan krisis sebagai keadaan yang genting, kemelut, atau keadaan suram. Pengalaman dalam kondisi genting, kemelut, atau keadaan suram tidak akan lepas dalam kehidupan.

  Erick Erikson menggunakan istilah krisis juga dalam teori perkembangan manusia. Teori perkembangan ini didasari oleh pembentukan identitas individu. Identitas adalah suatu proses restrukturasi segala identifikasi gambaran terdahulu, dimana seluruh identitas fragmenter yang dahulu (pun yang negatif) diolah dalam perspektif suatu masa depan yang diantisipasi (Agus Gremes dalam Identitas dan Siklus Hidup Manusia, 1989).

  Individu dalam membentuk identitas dirinya akan melalui tahap perkembangan. Erick Erikson membagi tahap perkembangan menjadi delapan tahap perkembangan. Kedelapan tahap perkembangan tersebut membutuhkan pemahaman terhadap beberapa point penting. a.

  Pertumbuhan terjadi berdasarkan prinsip epigenetik, yaitu satu bagian komponen yang tumbuh dari komponen lain dan memiliki pengaruh waktu tersendiri, namun tidak menggantikan komponen sebelumnya.

  b.

  Di dalam tiap tahapan kehidupan terdapat interaksi berlawanan, yaitu konflik antara elemen sintonik (harmonis) dengan elemen distonik (mengacaukan).

  c.

  Di tiap tahapan, konflik antara elemen distonik dan sintonik menghasilkan kualitas ego dan kekuatan ego, yang disebut sebagai kekuatan dasar (basic strength).

  d.

  Terlalu sedikitnya kekuatan pada satu tahap mengakibatkan patologi inti (core pathology) pada tahap tersebut. Setiap tahap memiliki potensi patologi inti.

  e.

  Erikson tidak pernah meninggalkan aspek biologis dalam perkembangan manusia, meskipun mengacu kedelapan tahapannya sebagai tahapan psikososial (psychosocial stages).

  f.

  Peristiwa-peristiwa ditahapan sebelumnya tidak menyebabkan perkembangan kepribadian selanjutnya. Identitas ego dibentuk oleh keanekaragaman konflik dan kejadian-kejadian masa lampau, sekarang, dan yang diharapkan.

  Selama tiap tahapan, khususnya sejak remaja dan selanjutnya, perkembangan kepribadian ditandai oleh krisis identitas yang Erikson (1

  968) sebut sebagai ”titik balik, yaitu periode krusial akan meningkatnya kerapuhan dan memuncaknya potensi”. Oleh karena itu, selama tiap krisis, seseorang rentan terhadap modifikasi utama dalam identitas, baik positif maupun negatif.

  Krisis merupakan suatu titik balik suatu masa gawat dari kerentanan dan sekaligus potensi yang semakin meningkat, karena itu krisis ini merupakan sumber otogenesis dari kekuatan generasional dan juga ketidakmampuan menyesuaikan diri (Identity, Youth, and Crisis, h.

  96).

  Tahapan perkembangan psikososial Erikson memiliki delapan tahapan. Setiap tahapan memiliki kualitas ego atau kekuatan dasar yang muncul dari konflik-konflik atau krisis psikososial yang menjadi ciri khas tiap periode. Kedelapan tahapan perkembangan tersebut adalah: a.

  Tahapan pertama, masa bayi dengan krisis psikososial utama adalah rasa percaya dasar versus rasa tidak tidak percaya dasar. Kekuatan dasar yang dihasilkan dari krisis atau konflik ini adalah harapan.

  b.

  Tahapan kedua, masa kanak-kanak awal dengan krisis psikososial utama adalah otonomi versus masa lalu, keraguan. Kekuatan dasar yang dihasilkan dari krisis atau konflik ini adalah kemauan.

  c.

  Tahapan ketiga, masa usia bermain dengan krisis psikososial utama adalah inisiatif versus rasa bersalah. Kekuatan dasar yang dihasilkan dari krisis atau konflik ini adalah tujuan.

  d.

  Tahapan keempat, masa usia sekolah dengan krisis psikososial utama adalah industri versus rasa rendah diri. Kekuatan dasar yang dihasilkan dari krisis atau konflik ini adalah keahlian. e.

  Tahapan kelima, masa remaja dengan krisis psikososial utama adalah identitas versus kebingungan identitas. Kekuatan dasar yang dihasilkan dari krisis atau konflik ini adalah kesetiaan.

  f.

  Tahapan keenam, masa dewasa muda dengan krisis psikososial utama adalah keintiman versus keterasingan. Kekuatan dasar yang dihasilkan dari krisis atau konflik ini adalah cinta.

  g.

  Tahapan ketujuh, masa dewasa dengan krisis psikososial utama adalah generativitas versus stagnasi. Kekuatan dasar yang dihasilkan dari krisis atau konflik ini adalah kepedulian.

  h.

  Tahapan kedelapan, masa usia lanjut dengan krisis psikososial utama adalah integritas versus keputusasaan, kejijikan. Kekuatan dasar yang dihasilkan dari krisis atau konflik ini adalah kebijaksanaan.

2. Psikologi Hidup Rohani (Psiko-Spiritual) F.

  Mardi Prasetya SJ dalam Psikologi Hidup Rohani menjelaskan konflik menurut teori Erikson. Konflik-konflik tersebut ada dalam delapan tahap krisis psikososial.

  a.

  Percaya – Tidak Percaya 1.

  Bersedia untuk percaya pada orang lain, kemampuan untuk menerima sesuatu dari orang lain dan tergantung pada mereka.

2. Sebaliknya.

  b.

  d.

  Punya keyakinan untuk mampu menjaga kesamaan dan kesinambungan dari dalam dirinya, dan solider akan system nilai yang riil yang terkandung dalam konteks sosial dan kebudayaan.

  Identitas – Kacau Peranannya 1.

  e.

  2. Takut gagal atau tak mampu bersaing dengan orang lain.

  Kemampuan untuk mempertahankan daya kekuatan yang terarah hingga tujuan tercapai atau hingga tugas selesai.

  Rajin – Rasa Kecil 1.

  Konflik seksual.

  Mandiri – Malu, Ragu-ragu 1.

  2. Menyalahkan diri sendiri dengan keras, kaku dan moral (rasa kesal).

  Rasa bertanggungjawab, mampu dan disiplin untuk mengarahkan daya kekuatan untuk suatu tujuan.

  Inisiatif – Menyesal 1.

  c.

  2. Kurang rasa harga diri yang tampak dalam rasa malu dan rasa kurang percaya diri yang terkandung dalam ragu-ragu pada diri sendiri.

  Kemampuan untuk menyatakan dan mengungkapkan diri, kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri tanpa kehilangan harga diri.

  2. Rasa tidak pasti akan gambaran diri sendiri dan taka da keterlibatan pada suatu sistem nilai. f.

  Kehangatan – Menyendiri 1.

  Kemampuan untuk berhubungan secara intim dan berarti dengan orang lain dalam interaksi timbal balik yang memuaskan dan produktif.

  2. Kebalikannya dari itu sebagai suatu kegagalan untuk menyadari penerimaan diri sendiri yang mantap dan dewasa.

  g.

  Murah Hati – Egois 1.

  Memperhatikan dan mampu untuk menggunakan kemampuan- kemamuan produktif demi kesejahteraan orang lain.

  2. Tiadanya perwujudan/tanda-tanda kemampuan yang produktif, atau justru menggunakan kemampuan-kemampuan tersebut untuk kepentingan diri sendiri yang egois.

  h.

  Integritas Diri – Putus Asa 1.

  Penerimaan akan diri sendiri dan segala segi kehidupan, dan integrasi unsur-unsur tersebut dalam pola hidup yang tetap.

  2. Kurang dapat menerima diri sendiri dan hidupnya, yang dikaitkan dengan sikap merendahkan diri dan takut akan kematian.

  Pengalaman krisis merupakan suatu titik balik, suatu masa gawat dari kerentanan dan sekaligus potensi yang semakin meningkat. Pada masa inilah individu berjuang untuk keluar dari masa krisis yang dialami. Perjuangan individu dapat dilihat melalui motivasi yang mendorong dirinya untuk melewati masa krisis yang dihadapi. Menurut F. Mardi Prasetya, S.J., Ph.L.Psych dalam Psikologi Hidup Rohani, dinamika motivasi didukung oleh tiga taraf hidup kejiwaan yang menyertai tiap pribadi, yaitu: a.

  Taraf Psikofisik Kemampuan yang berasal dari unsur-unsur bio-kimia, sensori motor dan instink dalam susunan organisme tubuh manusia. Bila terjadi kekurangan atau deficit dalam tubuh, maka muncul mekanisme yang mendorong tubuh untuk mencari pemuasannya, dan pribadi dapat merasa lapar, haus, lelah, mengantuk. Dorongan tersebut menciptakan kebutuhan biologis yang perlu untuk hidup somatis.

  b.

  Taraf Psikososial Kemampuan yang lahir dari kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial, seperti kebutuhan afeksi, cinta, kebutuhan menjalin hubungan dengan sesama, komunikasi timbal-balik, persahabatan, kebutuhan untuk menerima dan diterima, kebutuhan untuk mengenal dan dikenal, kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, yang mendorong untuk membangun hidup sosial atau komunitas.

  c.

  Taraf Spiritual-Rasional Kemampuan khas manusiawi seperti membuat refleksi, penalaran, pertimbangan dan abstraksi, kemampuan yang memungkinkan pribadi mengatasi keterbatasan kesementaraan dan instinknya, kemampuan untuk mentransendensi-diri dan kemampuan untuk mengerti, melihat, dan mewujudkan apa yang bernilai. Jadi, kemampuan untuk bertanggungjawab atas perilaku yang dibuatnya.

  Tiga taraf kemampuan hidup kejiwaan ini membuat pribadi dapat memiliki tiga taraf motivasi dalam hidupnya. Motivasi-motivasi ini diarahkan oleh apa yang disebut nilai, kebutuhan psikologis, dan sikap hidup. (Psikologi Hidup Rohani. h. 107-108).

  Mardi Prasetya SJ dalam Psikologi Hidup Rohani menyebutkan ada empat macam golongan subyek dan kemampuan internalisasi a.

  Golongan yang tidak sekedar bersarang dalam biara Individu yang masuk dalam golongan ini adalah individu yang bertumbuh dalam penghendakan untuk menginternalisasikan nilai- nilai panggilan.

  b.

  Golongan yang bersarang dalam biara Individu yang masuk dalam golongan ini diam-diam dan secara bawah sadar mencari pemuasan kebutuhan psikologis di dalam institusi atau seminari yang dijalani, dan bukan bertumbuh di dalam internalisasi nilai-nilai panggilan. Ketekunan yang regresif dihadapan tugas pertumbuhan pribadinya sebagai manusia dan pertumbuhan panggilannya, apalagi dalam efektivitas kerasulan.

  c.

  Golongan yang mau berubah Golongan ini mempunyai kedewasaan dalam keputusannya untuk mengubah hidup (transformasi) seturut panggilannya. Ada perubahan dalam arah tindakan menghendaki (willing), sedangkan disposisi penghendakannya tetap terbuka untuk internalisasi nilai-nilai panggilan. d.

  Golongan yang tidak dapat mengendalikan diri Kemampuan untuk menghendaki (will) terbatasi oleh psikodinamika bawah sadar dalam hidupnya, maka juga tidak begitu terbuka untuk menghendaki (willing) nilai-nilai panggilan atau transendensi diri (tidak setia atas dasar alas an atau motivasi yang kurang dewasa). Dan akhirnya memutuskan keluar atau dikeluarkan.

3. Teori Aktualisasi

  Carl Roger dalam Psikologi Pertumbuhan (1991) mengungkapkan bahwa kepribadian yang sehat itu bukan merupakan suatu keadaan dari ada tapi suatu proses. Aktualisasi diri ialah suatu proses yang sukar dan kadang- kadang menyakitkan, suatu ujian, rentangan, pecutan terus menerus. Ciri- ciri orang yang mampu beraktualisasi diri atau berfungsi sepenuhnya, diantaranya :

1. Keterbukaan pada pengalaman Keterbukaan terhadap pengalaman merupakan lawan dari sikap defensif.

  Individu yang berfungsi sepenuhnya dapat dikatakan lebih “emosional” dalam pengertian bahwa dia mengalami banyak emosi yang bersifat positif dan negatif (misalnya, baik kegembiraan maupun kesusahan) dan mengalami emosi-emosi itu lebih kuat dari pada orang yang defensif.

  2. Kehidupan eksistensial Individu yang berfungsi sepenuhnya dapat menyesuaikan diri karena struktur diri terus-menerus terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru.

  3. Kepercayaan terhadap organisme orang sendiri Individu yang terbuka terhadap pengalaman serta menghidupkan pengalaman tersebut, maka individu yang sehat dapat membiarkan seluruh organisme mempertimbangkan setiap segi dari suatu situasi. Semua faktor yang relevan diperhitungkan dan dipertimbangkan serta dicapai keputusan yang akan memuaskan semua segi situasi dengan sangat baik.

  4. Perasaan bebas Individu yang sehat dapat memilih dengan bebas tanpa adanya paksaan, memiliki perasaan berkuasa secara pribadi mengenai kehidupan dan percaya bahwa masa depan tergantung pada dirinya, tidak diatur oleh tingkah laku, keadaan, atau peristiwa-peristiwa masa lampau. Individu yang sehat melihat sangat banyak pilihan dalam kehidupan dan mampu melakukan apa saja yang mungkin ingin dilakukan.

  5. Kreativitas Individu yang terbuka terhadap pengalaman, yang percaya akan organisme mereka sendiri, yang fleksibel dalam keputusan serta tindakan mereka, yang akan mengungkapkan diri mereka dalam produk-produk yang kreatif dan kehidupan yang kreatif dalam semua bidang kehidupan mereka. Tingkah laku spontan, berubah, bertumbuh, dan berkembang sebagai respons atas stimulus-stimulus kehidupan yang beraneka-ragam.

  Carl Roger dalam Psikologi Pertumbuhan (1991)Sifat-sifat khusus yang menggambarkan pengaktualisasi-pengaktualisasi diri a.

  Mengamati realitas secara efisien Kepribadian-kepribadian yang tidak sehat mengamati dunia menurut ukuran subyektif sendiri. Semakin obyektif indiviu mampu menggambarkan kenyataan, maka semakin baik kemampuan untuk berpikir secara logis, untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan yang tepat, dan pada umumnya untuk menjadi efisien secara intelektual b. Penerimaan umum atas kodrat, orang-orang lain dan diri sendiri

  Individu yang sehat begitu menerima kodrat mereka, maka tidak harus mengubah atau memalsukan diri mereka. Tidak defensif dan tidak bersembunyi di belakang topeng-topeng atau peranan sosial, menerima diri apa adanya dan menerima kelemahan-kelemahan orang lain.

  c.

  Spontanitas, kesadaran, kewajaran Pengaktualisasi-pengaktualisasi diri bertingkah laku secara terbuka dan langsung tanpa berpura-pura, namun tetap memiliki kebijaksanaan untuk mengungkapkannya dalam relasi sosial.

  d.

  Fokus pda masalah-masalah di luar diri mereka Individu yang mengaktualisasi diri mencintai pekerjaan mereka dan berpendapat bahwa pekerjaan itu tentu saja cocok. e.

  Kebutuhan akan privasi dan independensi Individu yang mengaktualisai diri memiliki suatu kebutuhan yang kuat untuk pemisahan dan kesunyian. Meskipun tidak menjauhkan diri dari kontak sosial, tetapi tidak tergantung dengan orang lain. Hal ini berarti individu memiliki kemampuan membentuk pikiran, mencapai keputusan dan melaksanakan dorongan dan disiplin mereka sendiri.

  f.

  Berfungsi secara otonom Kepribadian yang sehat dapat berdiri sendiri dan tingkat otonomi mereka yang tinggi menaklukkan mereka, agak tidak mempan terhadap krisis-krisis atau kerugian-kerugian.

  g.

  Apresiasi yang senantiasa segar Pengaktualisasi-pengaktualisasi diri senantiasa menghargai pengalaman-pengalaman tertentu bagaimanapun seringnya pengalaman-pengalaman itu terulang.

  h.

  Pengalaman-pengalaman mistik atau “puncak” Individu yang mengaktualisasikan diri mengalami ekstase, kebahagiaan, perasaan terpesona yang hebat dan , meluap-luap, sama seperti pengalaman-pengalaman keagamaan yang mendalam. i.

  Minat sosial Pengaktualisasi-pengaktualisasi diri memiliki perasaan empati dan afeksi yang kuat dan dalam terhadap semua manusia, juga suatu keinginan untuk membantu kemanusiaan. Meskipun kerapkali merasa tertekan atau marah karena tingkah laku orang lain, tetapi cepat memahami dan memaafkannya. j.

  Hubungan antarpribadi Pengaktualisasi-pengaktualisasi diri mampu mengadakan hubungan yang lebih kuat dengan orang-orang lain daripada orang-orang yang memiliki kesehatan jiwa yang biasa. k.

  Struktur watak demokratis Perbedaan-perbedaan tidak menjadi masalah bagi pengaktualisasi- pengaktualisasi diri. Mereka sangat siap mendengarkan atau belajar dari siapa saja yang dapat mengajarkan sesuatu kepada mereka. l.

  Perbedaan antara sarana dan tujuan, antara baik dan buruk Pengaktualisasi-pengaktualisasi diri membedakan dengan jelas antara sarana dan tujuan. Selain itu, sanggup membedakan antara baik dan buruk, benar dan salah. m.

  Perasaan humor yang tidak menimbulkan permusuhan Humor pengaktualisasi-pengaktualisasi diri bersifat filosofis, humor yang menertawakan manusia pada umumnya, tetapi bukan kepada seorang individu yang khusus. Humor ini kerapkali bersifat instruktif, yang dipakai langsung kepada hal yang dituju dan juga menimbulkan tertawa. n.

  Kreativitas Pengaktualisasi-pengaktualisasi diri memiliki sifat kreatif. Kreativitas disini lebih merupakan sikap, suatu ungkapan kesehatan psikologis dan lebih mengenai cara bagaimana kita mengamati dan bereaksi terhadap dunia dan bukan mengenai hasil-hasil yang sudah selesai dari suatu karya seni. o.

  Resistensi terhadap inkulturasi Pengaktualisasi-pengaktualisasi diri dapat berdiri sendiri dan otonom, mampu melawan dengan baik pengaruh-pengaruh sosial, untuk berpikir atau bertindak menurut cara-cara tertentu. Mereka mempertahankan otonomi batin, tidak terpengaruh oleh kebudayaan mereka, dibimbing oleh diri mereka bukan oleh orang-orang lain.

  Pengalaman krisis yang hendak dilihat dalam tulisan ini, diambil dari sudut pandang teori Erik Erikson. Teori Erikson menjelaskan lebih banyak mengenai dinamika krisis yang dialami oleh manusia, sedangkan dinamika motivasi dan teori aktualisasi Carl Roger melengkapi dinamika pengalaman krisis ketika membahas bagaimana subyek menghadapi pengalaman krisis yang dialami.

B. KEHIDUPAN PASTOR DAN DINAMIKA KRISIS

  Sebagai seorang pastor sebelum ditahbiskan harus melalui masa formasi atau pendidikan. Masa pendidikan dimulai dari seminari menengah yang kemudian dilanjutkan pada jenjang seminari tinggi. Pada masa formasi ini seorang calon pastor akan dibimbing untuk memurnikan panggilannya. Mgr.

  Julianus Sunarka, SJ dalam Rohani No.8 th 1958 menjelaskan tentang tujuan yang ingin dicapai dalam proses formasi calon imam yaitu formandi atau peserta bina menemukan panggilan hidupnya. Sasaran dari formasi adalah formandi menjadi dewasa, sanggup taat, hidup murni, dan melarat seumur hidup. Formandi atau peserta bina berlaku dan bersemangat mengikuti kristus.

  Tantangan atau ancaman yang menghalangi tercapainya tujuan formasi adalah banyak para calon imam mengalami kegalauan hidup, Kegalauan itu bisa mengakar dalam alam bawah sadar dan menjadi gangguan hidup selanjutnya. Budaya sekular (materliasme, hedonisme, instanisme) menyebabkan pengalaman akan Allah tersingkir. Para calon imam dilahirkan, dibesarkan, dan dididik dalam masyarakat Indonesia yang multikultural, global, dan cybernetical, generasi ini hampir tidak pernah mengalami keheningan batin. Alasan orang muda tahun 2011 masuk biara atau mau menjadi imam adalah mencari alternatif atau mencari tempat untuk mapan, senang-senang berkat kelengkapan dan kepastian, serta adanya hiburan rohani.

  Hans Zollner dalam artikel Die Rolle der Psychologie in der Priesterausbildung yang diterjemahkan oleh Bernhard Kieser (2011) mengungkapkan bahwa dalam masa formasi program pendidikan menuntut keterlibatan para pendidik yang peka dan pandai mengenal orang, yang dilatih dalam psikologi dan dapat membantu calon pastor untuk menjernihkan panggilannya, kapanpun mereka melihat bahwa calon dilanda rintangan serta keragu-raguan. Setelah menempuh masa formasi di seminari menengah maupun seminari tinggi, seorang calon pastor yang telah mendapatkan persetujuan untuk ditahbiskan menjadi pastor akan menerima sakramen imamat.

  Krisis adalah suatu masa dimana individu mengalami titik balik dalam menghadapi konflik hidupnya. Pengalaman krisis ini terjadi tidak hanya sekali dalam perjalanan hidup seseorang, dan setiap individu pasti akan mengalami krisis dalam hidupnya.