PERAN K.H. MAKINUN AMIN MUHAMMAD DALAM PENGEMBANGAN PONDOK PESANTREN MAMBA’UL HISAN SIDAYU GRESIK TAHUN 1990-2015.

(1)

PERAN K.H. MAKINUN AMIN MUHAMMAD DALAM PENGEMBANG PESANTREN MAMBA

Diajukan untuk

Gelar Sarjana dalam Pada Jurusan

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS NEGERI ISLAM SUNAN AMPEL MAKINUN AMIN MUHAMMAD DALAM PENGEMBANG

PESANTREN MAMBA’UL HISAN SIDAYU GRESIK TAHUN 1990-2015

SKRIPSI

untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)

Oleh

Moh. Bahrul Ulum NIM: A0.22.12.071

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS NEGERI ISLAM SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Peran K.H. Makinun Amin Muhammad Dalam Pengembangan Pondok Pesantren Mamba’ul Hisan Sidayu Gresik Tahun 1990-2015. Adapun masalah yang diteliti dalam penulisan skripsi ini adalah (1) Bagaimana biografi K.H. Makinun Amin Muhammad? (2) Bagaimana perkembangan pondok pesantren Mamba’ul Hisan pada tahun 1990-2015? (3) Bagaimana peran K.H. Makinun Amin Muhammad dalam pengembangan pondok pesantren Mamba’ul Hisan?

Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan metode penelitian sejarah, yang terdiri dari beberapa tahapan yaitu (1) heuristik adalah pengumpulan data yang terdiri dari sumber benda maupun lisan serta sumber buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini. (2) kritik. (3) interpretasi. (4)

historiografi. Adapun pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan historis yang mendiskripsikan peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Dalam hal ini peneliti menggunakan teori peran, yang dibawakan oleh K.H. Makinun Amin Muhammad seorang pelaku dalam panggung sandiwara dan teori continuty and change yang dinyatakan oleh Zamakhsyari Dhofier.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa (1) KH.Makinun Amin Muhammad lahir di Gresik pada tanggal 10 Agustus 1952. (2) perkembangan pondok pesantren Mamba’ul Hisan dapat dilihat dari segi pendidikan yang dulunya hanya pendidikan Al-Qur’an dan kitab-kitab klasik kini berkembang dengan adanya pendidikan formal, selain itu, dari segi sarana dan prasarana pondok pesantren Mamba’ul Hisan terus melalukan pembangunan, baik fasilitas gedung sekolah dan asrama bagi para santri. (3) peran KH. Makinun Amin Muhammad adalah di bidang pendidikan non formal, formal dan pendidikan Al-Qur’an. Dalam bidang sosial beliau juga sangat akrab dengan masyarakat sekitar, dikalangan masyarakat beliau dikenal dengan seorang yang alim dan taat pada agama serta baik dalam berakhlak.


(7)

ABSTRAC

This thesis entitled the role of K.H. Makinun Amin Muhammad in the development of Mamba’ul Hisan Islamic Boarding School Around 1990-2015. The problems which analyze in this thesis are (1) How is the biography of K.H. Makinun Amin Muhammad? (2) How is the development of Mamba’ul Hisan Islamic Boarding School Around 1990-2015? (3) How are K.H. Makinun Amin Muhammad’s rolein the development of Mamba’ul Hisan Islamic Boarding School?

In order to answer the problems above, the author is using historical approach through the method of historical research which is consist of several stages as follows : (1) Heuristic: it is collecting the data from the object, spoken, and book resources which are related to the analysis (2) Criticism (3) Interpretation (4) Historiography. The author uses role theory and the theory of continuity and change. The author used historical approach to draw the event which is occurred in the past. In this case, The author also uses role theory which is brought by K.H. Makinun Amin Muhammad as the cast of the play and the theory of continuity and change which is stated by Zamakhsyari Dhofir.

Based on the analysis the author are conclude that (1) K.H. Makinun Amin Muhammad was born in Gresik, 10st august 1952. (2) The development of

Mamba’ul Hisan Islamic Boarding School can be seen from educational aspect which at the first used Al-Qur’an education and Classical Books and gradually applies formal education. In addition, Mamba’ul Hisan has been building up the infrastructure through the school facilities and also student’s dormitory (3) The role K.H. Makinun Amin Muhammadare in non-formal, formal and Al-Qur’an education field. Where as, in social field he is also intimately close to society. He is also known pious and devout man as well as his good morality


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

ABSTRAK ... x

KATA PENGANTAR ... xii

DAFTAR ISI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian... 8

D. Kegunaan penelitian ... 8

E. Pendekatan dan Kerangka Teori ... 9

F. Penelitian Terdahulu ... 10

G. Metode Penelitian ... 12


(9)

BAB II BIOGRAFI K.H. MAKINUN AMIN MUHAMMAD

A. Latar Belakang Keluarga... 17

B. Latar Belakang Pendidikan ... 21

C. Karir K.H. Makinun Amin Muhammad ... 23

BAB III PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN MAMBA’UL HISAN TAHUN 1990-2015 A. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Mamba’ul Hisan .... 27

1. Latar Belakang Berdirinya Ponpes Mamba’ul Hisan... 27

2. Visi Pondok Pesantren Mamba’ul Hisan ... 29

3. Tujuan Pondok Pesantren Mamba’ul Hisan ... 29

4. Struktur Keorganisasian Yayasan PPMH ... 30

B. Perkembangan Pondok Pesantren Mamba’ul Hisan ... 31

1. Periode Awal (1949-1990) ... 33

2. Periode Perkembangan (1990-2015) ... 37

BAB IV PERAN K.H. MAKINUN AMIN MUHAMMAD Di PONDOK PESANTREN MAMBA’UL HISAN A. Usaha-usaha K.H. Makinun Amin Muhammad dalam Pengembangan Bidang Pendidikan di Pondok Pesantren Mamba’ul Hisan ... 45

1. Pendidikan Klasikal ... 46


(10)

3. Bidang Pendidikan Formal ... 52 B. Bidang Sosial ... 53

C. Interaksi K.H. Makinun Amin Muhammad dengan Masyarakat

Sekitar Pondok Pesantren Mamba’ul Hisan ... 56

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 65 B. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Berdirinya pondok pesantren tidak dapat dipisahkan dari keadaan sosial budaya masyarakat sekitarnya. Tidak jarang tempat asal mula pondok pesantren yang berdiri berada ditempat kecil yang penduduknya belum beragama atau belum menjalankan syariat agama. Di dirikannya pondok pesantren di Indonesia sering memiliki latar belakang yang sama, dalam hal ini dimulai dengan usaha seorang atau beberapa orang secara pribadi atau kolektif,

yang berkeinginan mengajarkan ilmu pengetahuan kepada masyarakat luas.1

Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan di Indonesia, khususnya mengajarkan agama Islam. Pesantren di Indonesia telah menjadi pusat pembelajaran agama dan dakwah. Ia telah memainkan peranan penting karena merupakan sistem pembelajaran dan pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pada umumnya pesantren merupakan lembaga pendidikan agama yang mengajarkan Al-Qur’an, kemudian mengajarkan kitab-kitab Islam klasik.2

Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam berkembang sebagai sistem pendidikan masyarakat Islam pada waktu itu. Kemudian penyelenggaraan pendidikan ini muncul menjadi tempat-tempat pengajian dan

1Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalamPesantren (Jakarta: LP3ES, 1999). 41.


(12)

2

berkembang dengan didirikannya tempat-tempat menginap bagi para pelajar

yang kemudian disebut sebagai santri.3

Istilah pondok pesantren terdiri dari dua kata, “pondok” dan “pesantren”. Kata pondok berasal dari bahasa arab “funduq” yang berarti asrama. Sedangkan kata “pesantren” berasal dari kata “santri” yang diimbuhi awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti menunjukkan tempat, maka artinya

tempat para santri.4 Istilah santri berasal dari kata sastri yang berarti orang

yang mempelajari buku-buku suci Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata sastri berasal dari kata sastra yang berarti buku-buku suci,

buku-buku agama atau buku tentang ilmu pengetahuan.5

Menurut Abdurrahman Wahid, pesantren adalah suatu komplek dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan di sekitarnya. Dalam komplek itu berdiri rumah beberapa bangunan: rumah kiai, masjid, tempat mengajar (madrasah), dan asrama (tempat tinggal santri). Di dalam lingkungan seperti ini, diciptakan semacam cara kehidupan yang memiliki sifat dan ciri tersendiri, dimulai dari jadwal kegiatan yang memang menyimpang dari pengertian rutin

dari kegiatan masyarakat sekitarnya.6

Kiai atau pengasuh pondok pesantren merupakan elemen yang sangat esensial bagi suatu pesantren. Rata-rata dalam pesantren berkembang kiai sangatlah berpengaruh, kharismatik dan berwibawa sehingga disegani oleh masyarakat dilingkungan pesantren. Selain itu kiai merupakan pendiri pondok

3M. Sulthon Masyhud, (ed), Manajemen Pondok Pesantren (Jakarta: Diva pustaka, 2005), 1. 4Masjkur Anhari, Integrasi Sekolah ke Dalam Sisten PendidikanPesantren (Surabaya: Diantama, 2007), 19.

5Ahwan Mukarrom, Sejarah Islamisasi Nusantara (Surabaya: Jauhar, 2009), 89.


(13)

3

pesantren, oleh karenanya wajar jika dalam pertumbuhan pondok pesantren sangat bergantung pada peran kiai.

Kiai dijadikan panutan para santri dan masyarakat sekitarnya, segala kebijaksanaan yang disampaikan menjadi renungan. Kiai dengan kelebihan pengetahuan Islamnya sering kali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam dengan demikian mereka dianggap memiliki kedudukan yang tidak terjangkau oleh kebanyakan orang.

Dari sini maka peran kiai sebagai pemimpin sangat kuat.7

Kiai adalah orang yang memiliki lembaga pondok pesantren, dan menguasai pengetahuan tentang agama serta secara konsisten menjalankan ajaran-ajaran agama. Kata kiai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda antara lain:

1. sebutan gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat,

umpamanya kiai garuda kencana dipakai untuk sebutan kereta emas di keraton Yogyakarta.

2. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.

3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam

yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya. Selain gelar kiai, dia juga sering disebut

sebagai orang yang alim (orang yang mendalam pengetahuan Islamnya).8

Perlu ditekankan disini bahwa ahli-ahli pengetahuan Islam di kalangan

umat Islam disebut ulama. Di Jawa Barat mereka disebut ajengan. Di Jawa

7Jamaludin Malik, Pemberdayaan Pesantren: Menuju Kemandirian dan Prefesionalisme Santridengan Metode Daurah Kebudayaan ( Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2005). 59.


(14)

4

Tengan dan Jawa Timur, ulama yang memimpin pesantren disebut Kiai. Namun di zaman sekarang, banyak juga ulama yang cukup berpengaruh di masyarakat juga mendapat gelar “kiai” walaupun mereka tidak memimpin pesantren. Dengan kaitan yang sangat kuat dengan tradisi pesantren, gelar kiai

biasanya dipakai untuk menunjuk para ulama dari kelompok Islam tradisional.9

Pengaruh utama yang dimiliki pesantren tentang kehidupan masyarakat terletak pada hubungan perorangan yang menembus segala hambatan yang diakibatkan oleh perbedaan strata yang ada di masyarakat. Bagi anggota masyarakat luar, kehidupan di pesantren merupakan gambaran ideal yang tidak mungkin bisa direalisasikan dalam kehidupannya sendiri, dengan demikian pesantren adalah tempat yang dapat memberikan kekuatan spiritual kepadanya saat-saat tertentu terutama dalam menghadapi kemalangan dan kesukaran. Selain itu, pesantren merupakan sumber inspirasi bagi sikap hidup yang diinginkan dapat tumbuh dalam diri anak-anaknya, terlebih-lebih sistem pendidikan di luar pesantren tidak memberikan harapan besar bagi

terjangkaunya ketenangan dan ketentraman hidup mereka.10

Pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan yang menganut sistem terbuka sehingga amat fleksibel dalam mengakomodasikan harapan masyarakat dengan cara-cara yang khas dan unik Pesantren memiliki sebuah metode pembelajaran sendiri, metode inilah yang membedakan antara pesantren dengan lembaga pendidikan formal: SD, SMP, dan SMA. Metode yang

9Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1994), 55. 10Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-esai Pesantren,23.


(15)

5

digunakan di pesantren khususnya Jawa dan Madura adalah“sorogan” dan “bandongan”.

Kedua sistem tersebut yang digunakan setelah para santri dianggap telah mampu membaca dengan lancar dan menguasai Al-Qur’an. Pada awalnya sistem tradisional ini banyak dilakukan di masjid, langgar dan rumah-rumah

kiai dalam mengajarkan tentang Al-Qur’an. Dalam metode bandongan murid

atau santri mengulangi dan menerjemahkan kata demi kata sepersis mungkin seperti yang dilakukan oleh seorang guru atau kiai, sedangkan dalam metode sorogan diberikan kepada santri yang ingin mendapatkan penjelasan yang lebih detail dan mendalam dalam masalah pembelajaran Al-Qur’an dan kitab-kitab klasik.11

Sebagai lembaga pendidikan agama, di pesantren pada umumnya pertama-tama para santri diajarkan membaca Al-Qur’an, selanjutnya mempelajari kitab-kitab Islam klasik elementer. Bagi mereka yang menginginkan menjadi ulama’ dan memahami agama (tafaqquh fid din) dilanjutkan penguasaan bahasa arab, nahwu, shorof, balahoh, dan ilmu bahasa arab lainnya sebagai alat untuk memperdalam kitab-kitab lainnya berkenaan dengan fiqh, ushul fiqh, hadits, tauhid, sejarah atau tarikh, tasawuf dan akhlak. Dengan demikian pesantren sebagai lembaga pendidikan agama berfungsi sebagai, 1) media transmisi dan tranfer ilmu-ilmu keislaman, 2) pemeliharaan


(16)

6

tradisi Islam sesuai dengan kultur masyarakat pedesaan, dan 3) media

repreduksi ulama’-ulama’.12

Banyak sekali pesantren yang berdiri di pulau Jawa ini khususnya di daerah Jawa Timur, seperti Ampel Denta, Giri Kedatondan Sidosermo dan lain-lainnya. Akan tetapi setelah tiga pondok tua tersebut berdiri banyak sekali pondok yang bermunculan untuk menyiarkan agama islam. Salah satunya adalah pondok Mamba’ul Hisan.

Pondok Mamba’ul Hisan berada di Desa Pengulu, Kecamatan Sidayu, Kabupaten Gresik. Perlu diketahui bahwa Kecamatan Sidayu memiliki luas wilayah 47,13 Km2. Terdiri dari tanah sawah 1,069,610 Ha, pekarangan atau halaman 171,020 Ha, tegal atau kebun 1,153,720 Ha, tambak 1,439,310 Ha, dan lainya 879,740 Ha. Ketinggian daerah kurang lebih sekitar 7 meter diatas permukaan air laut. Kecamatan Sidayu berbatasan langsung dengan Kecamatan Ujung Pangkah di sebelah utara. Kecamatan Bungah di sebelah. selatan. Kecamatan Dukun dan Kecamatan Panceng di sebelah barat. Serta dengan

Selat Madura di sebelah timur.13

Pondok pesantren Mamba’ul Hisan berdiri 1949 Masehi yang didirikan oleh K.H. Muhamad bin Sofwan. Pada mulanya K.H. Muhamad bin Sofwan mengajarkan anaknya untuk membaca Al-Quran dengan metode yang beliau buat sendiri. Ternyata anak beliau lebih cepat memahami Al-Quran dengan metode tersebut. Dari sinilah beliau mencoba menawarkan kepada masyarakat

12H.E. Badri dan munawiroh, pergeseran Literatur Pesantren Salafiyah (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2007), xi.

13LetakGeografisSidayu, dalam https://id.wikipedia.org/wiki/sidayu,_gresik#letak_geografis (25 Mei 2016)


(17)

7

desa setempat untuk mengajar Al-Quran menggunakan metode tersebut. Dan masyarakat pun menerima dengan baik metode yang beliau tawarkan. Akhirnya banyak santri dari berbagai daerah yang ingin belajar kepada beliau. Dari sinilah akhirnya beliau mendirikan sebuah pondok pesantren.

Namun dalam perjalanannya, pondok pesantren ini mulai mengikuti perkembangan zaman yang menuntut untuk mendirikan lembaga pendidikan formal. Di era pengasuh K.H. Makinun Amin Muhammad inilah pondok pesantren Mamba’ul Hisan kini mengalami perkembangan yang signifikan.

Berangkat dari latar belakang tersebut, penulis mengangkat judul “Peran K.H. Makinun Amin Muhammad dalam pengembangan Pondok Pesantren Mamba’ul Hisan Sidayu Gresik Tahun1990-2015” dengan menggolongkan beberapa kajian yang terkumpul dalam beberapa poin. Untuk menghindari pembahasan secara luas, penulis membuat rumusan masalah sebagai pokok kajian dalam penulisan skripsi ini.

B.Rumusan Masalah

Bedasarkan judul diatas, peran K.H. Makinun Amin Muhammad dalam pengembangan pondok pesantren Mamba’ul Hisan Sidayu Gresik 1990-2015, maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana biografi K.H. Makinun Amin Muhammad?

2. Bagaimana perkembangan pondok pesantren Mamba’ul Hisan pada tahun


(18)

8

3. Bagaimana peran K.H. Makinun Amin Muhammad dalam pengembangan

pondok pesantren Mamba’ul Hisan?

C.Tujuan Penelitian

Disini di jelaskan bahwa tujuan penelitian suatu bentuk untuk mengetahui peran K.H. Makinun Amin Muhammad dan perkembangan pondok pesantren Mamba’ul Hisan. Untuk mengetahui dari tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untukmengetahui Biografi K.H. Makinun Amin Muhammad.

2. Untuk mengetahui sejarah berdirinya dan perkembangan pondok pesantren

Mamba’ul Hisan mulai dari tahun 1990-2015 yang berada di Desa Pengulu Kecamatan Sidayu Kabupaten Gresik.

3. Untuk mengetahui peran K.H. Makinun Amin Muhammad dalam

masyarakat

D.Kegunaan Penelitian

Dari hasil penelitian yang dilakukan di Pondok Pesantren Mamba’ul Hisan Sidayu Gresik nantinya bisa bermanfaat bagi peneliti, pembaca dan masyarakat. Sehingga mempermudah peneliti lain yang mempahas tentang pondok pesantren lainnya.

1. Aspek Praktis: sebagai masyarakat Sidayu dari hasil penelitian ini nantinya

dapat dijadikan silaturrahmi dengan santri, alumni, pengurus dan masyarakat umum. Dari aspek ini diharapkan dapat mengerti tentang


(19)

9

tradisi dan perkembangann pendidikan di pondok pesantren. Dari hasil penelitian ini kita dapat melestarikan pondok pesantren yang ada di Indonesia. Karena pondok pesantren yang telah melestarikan tradisi khas Indonesia sampai saat ini.

2. Aspek Akademisi: Dari aspek ini, penulis berharap karya ini bisa

menambah dan memperluas wawasan baru dan memperkaya khazanah mengenai pondok pesantren, hal ini dapat dilakukan dengan harapan memberikan sumbangan secara akademis dapat dijadikan bahan kajian penelitian. Sehingga bisa bermanfaat bagi peneliti dan pembaca, khususnya bagi mahasiswa.

E.Pendekatan dan Kerangka Teori

Adapun pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini yaitu menggunakan pendekatan historis. Pendekatan ini bertujuan untuk mendiskripsikan bagaimana peran K.H. Makinun Amin Muhammad dalam pengembangan pondok pesantren Mamba’ul Hisan di Sidayu Gresik.

Pertama, teori peran adalah sebuah sudut pandang mengenai sebagian besar aktifitas harian yang diperankan oleh K.H. Makinun Amin Muhammad dalam mengembangkan pondok pesantren baik dari segi pendidikan dan sarana dan prasarana yang ada pada pondok pesantren Mamba’ul Hisan.

Dalam bidang pendidikan pondok pesantren yang dulunya merupakan pondok pesantren salafi yang mengajarkan pendidikan agama Islam saja


(20)

10

pada bidang pendidikan umum. Perkembangan dari segi sarana dan prasana juga semakin bertambah, dengan adanya penambahan asrama tempat para santri menginap.

Teori peran merupakan teori yang menduduki suatu posisi sosial dalam masyarakat dan teori peran juga mengategorikan satu tokoh yang mana tokoh tersebut sebagai tokoh utama dalam peristiwa dan dalam teori peran yang di

upayakan.14

Kedua, teori continuity and change yang menguraikan secara rinci

masalah-masalah kesinambungan didalam maupun diluar pondok pesantren Mamba’ul Hisan.

Untuk mengetahui perubahan yang terjadi bahwasanya ketika tradisi baru yang muncul mempunyai kekuatan dan dorongan yang kuat yang ada pada sebelumya, maka tradisi baru yang akan datang dengan kekuatan dan dorongan maka akan terjadi perubahan. Apabila perubahan tradisi baru yang terjadi tidak serta merta menghapus tradisi lama yang sudah ada pada sebelumnya. Maka ada tradisi lama dan tradisi baru memiliki kesinambungan dan berkelanjutan antara tradisi lama dengan tradisi baru, meski telah muncul paradigma baru. Dengan demikian, bahwasanya ada elemen-elemen lama yang

telang dibuang, dan dimasukkan elemen-elemen baru.15

14Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo, 1990), 280-281. 15Dhofier, Tradisi Pesantren, 177.


(21)

11

F. Penelitian Terdahulu

Penelitian pondok pesantren sangatlah banyak dan beragam. Dalam pengamatan penulis, untuk menghindari kesamaan dalam penelitian sebelumnya. Sebelum peneliti memilih judul tersebut, terlebih dahulu memperhatikan karya-karya penelitian sebelumnya.

1. Zainal Arifin, “Peningkatan Hasil Belajar Perambatan Bunyi Melalui Model

Pembelajaran Cooperative Learning Tipe Stad Kelas IV Mi Mamba’ul Hisan Pengulu Sidayu, Skripsi, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Ampel”, (2014). Dalam penelitian ini penulis memfokuskan penbahasan mengenai hasil belajar perambatan bunyi siswa-siswi kelas IV MI Mamba’ul Hisan, penerapan metode cooperative learning model STAD, peningkatan hasil belajar perambatan bunyi siswa-siswi kelas IV MI Mamba’ul Hisan dengan menggunakan metode cooperative learning model STAD.

2. Anas Hariyanto, “Bimbingan Agama Pada Santri Di Pondok Pesantren

Mamba’ul Hisan Timur Kecamatan Sidayu Kabupaten Gresik, Skripsi, Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga”, (2010). penilitian tersebut membahas mengenai prosedur bimbingan di pondok pesantren Mamba’ul Hisan dan usaha-usaha pembimbing dalam kehidupan sehari-hari.

3. Hasinu Ibnu Marto, “Pondok Pesantren Kanak-kanak Mamba’ul Hisan di

Kabupaten Gresik, Skripsi, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya”, (1994). Di dalam skripsi ini membahas


(22)

12

mengenai tata fisik bangunan yang sesuai dengan skala aktifitas untuk anak-anak.

4. Imam Bawani, “Pesantren Anak-anak Mamba’ul Hisan Sidayu Gresik: Studi

Tentang Sistem Pendidikan dan Perkembangan Model Kelembagannya, Disertasi, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta” (1995).

Berdasarkan penelitian-penelitian yang dijelaskan diatas, dapat disimpulkan bahwa belum ada yang membahas mengenai peran K.H. Makinun Amin Muhammad dalam mengembangan Pondok Pesantren Mamba’ul Hisan di Pengulu Sidayu Gresik tahun 1990-2015 M, maka dari itu penulis tertarik untuk menuliskannya dalam sebuah karya ilmiah yang khusus membahas mengenai perannya.

G.Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif bedasarkan analisis data dan fakta yang ditemui di lapangan, data penulis yang didapatkan dari buku-buku, dokumen dan peristiwa lainnya baik tertulis dan tidak tertulis seperti wawancara dengan informan yaitu K.H. Makinun Amin Muhammad, keluarga, santri dan masyarakat sekitar yang mengetahui K.H. Makinun Amin Muhammad.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan studi historis, oleh karena itu metode yang dipakai dalam membahas skripsi ini adalah metode sejarah, maka penelitian yang dilakukan melalui empat tahap yaitu:


(23)

13

1. Heuristik

Heuristik atau pengumpulan sumber yaitu suatu proses yang dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan data-data, sumber-sumber atau jejak sejarah pada peristiwa masa lampau. Dalam pengumpulan sumber ini penulis memperolehnya melalui:

a. Sumber Primer

Sumber primer adalah sumber yang disampaikan oleh saksi mata maupun dalam bentuk dokumen, sedangkan sumber lisan yang dianggap primer adalah wawancara atau interview dengan seorang pelaku peristiwa atau saksi mata. Adapun sumber primer yang terdapat dalam penelitian karya tulis ilmiah sebagai berikut:

1) Wawancara K.H. Makinun Amin Muhammad dan keluarga

2) Santri

3) Dokumen-dokumen

4) Artefak

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder adalah sumber yang didapat dari siapa pun yang bukan merupakan pelaku atau saksi peristiwa langsung, yakni orang yang tidak hadir pada peristiwa yang dikisahkan. Adapun sumber sekunder dalam penulisan karya ilmah ini sebagai berikut.

1) Wawancara dengan masyarakat

2) Buku-buku16


(24)

14

Dari sumber diatas, pada tahapan pengumpulan sumber ini peneliti lebih memprioritaskan sumber lisan, dikarenakan minimnya dokumen-dokumen yang memuat peristiwa pada masa itu dan masih banyak keluarga, santri dan masyarakat pada periode tersebut yang masih hidup, sehingga memudahkan pengumpulan data-data dari wawancara (sumber lisan).

2. Kritik sumber

Kritik sumber adalah data yang terkumpul dalam tahap heuristik diuji kembali kebenarannya melalui kritik guna memperoleh keabsahannya atau kredibilitas sumber. Dalam hal ini keabsahan sumber tentang keasliannya data yang diperoleh dengan melalui dua cara agar peneliti mendapatkan data yang valid.

a. Kritik intern adalah suatu cara yang digunakan untuk menguji apakah

sumber tersebut kredibel atau tidak. Sumber yang diperoleh penulis yang relevan, karena penulis mendapatkan sumber langsung dari keluarga, masyarakat dan santri yang hidup sezaman dengan K.H. Makinun Amin Muhammad dengan cara interview atau wawancara.

b. Kritik ekstern adalah penentuan keaslian apa tidaknya suatu sumber atau

dokumen.

Dari tahap yang kedua ini, penulis akan menganalisa sumber-sumber yang diperoleh baik primer atau sekunder melalui kritik intern dan kritik ekstern untuk mendapatkan kredibilitas dan keshahihan atau tidaknya sumber tersebut.17


(25)

15

3. Interpretasi atau Penafsiran

Interpretasi atau penafsiran adalah menafsirkan fakta sejarah dengan melihat sumber-sumber yang didapatkan seperti: wawancara, dokumen-dokumen, buku-buku, majalah dan artefak. Sumber-sumber yang didapatkan dan telah diuji autentisannya terdapat hubungan satu dengan yang lainnya. Dengan demikian sejarawan memberikan penafsiran terhadap sumber yang didapatkan.

4. Historiografi

Historiografi yaitu suatu tahapan terakhir dalam penelitian sejarah. Historiografi adalah rekontruksi rekaman dan peninggalan masa lampau secara kritis dan imajinatif bedasarkan bukti-bukti atau data-data yang

diperoleh dari sumber tersebut.18

Dalam penulisan ini, penulis menyatukan data-data dan fakta-fakta sejarah dalam judul “Peran K.H. Makinun Amin Muhammad Dalam Pengembangan Pondok Pesanteren Mambau’ul Hisan Sidayu Gresik Tahun 1990-2015.

Dalam tahapan ini penulis akan memaparkan hasil dari penelitian yang sudah dilakukan dan sudah disusun secara sistematis atau berurutan, agar pembaca lebih mudah memahami isi dari penelitian ini.


(26)

16

H.Sistematika Pembahasan

Dari hasil penelitian yang sudah didapatkan, untuk mempermudah penulisan dan pemahaman tentang skripsi ini, maka skripsi ini disusun secara sistematis oleh penulis. Untuk itu penulis memaparkan sistematika penulisan dan pembahasan dalam skripsi ini dibagi beberapa bab sebagaimana yang disusun dibawah ini.

Bab pertama berisikan pendahuluan, di dalam bab ini ada beberapa sub bab yang menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, pendekatan dan kerangka teori, penelitian terdahulu, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Pada bab kedua ini, penulis membahas tentang latar belakang keluarga K.H. Makinun Amin Muhammad, pendidikan dan karir.

Pada bab ketiga, penulis membahas tentang sejarah singkat berdirinya pondok pesantren Mamba’ul Hisan, perkembangan pondok pesantren Mamba’ul Hisan pada periode awal hingga periode perkembangan.

Pada bab keempat, penulis membahas tentang usaha-usaha K.H. Makinun Amin Muhammad dalam pengembangan pondok pesantren Mamba’ul Hisan, bidang sosial, interaksi K.H Makinun Amin Muhammad dengan masyarakat sekitar pondok pesantren Mamba’ul Hisan.

Bab kelima ini berisikan penutup, terdiri dari kesimpulan dan saran tentang masalah-masalah yang sudah diteliti dan diuraikan. Kesimpulan merupakan hasil dari pemaparan dari hasil pemaparan bab-bab sebelumnya dari awal hingga akhir.


(27)

BAB II

Biografi K.H. Makinun Amin Muhammad A.Latar Belakang Keluarga

K.H. Makinun Amin Muhammad merupakan ulama asli Gresik yang bertempat tinggal di Desa Pengulu di Kecamatan Sidayu, orang tua beliau adalah K.H. Muhammad bin Shofwan dan ibunya bernama Nyai Hajjah Ulfah. K.H. Makinun Amin Muhammad merupakan putra kelima dari enam bersaudara yaitu:

1. Abdul Muqsith Muhammad 2. Jazilatur Rohmah Muhammad 3. Shofiyullah Muhammad 4. Abdul Hakim Muhammad 5. Makinun Amin Muhammad 6. Abdul Ghofur Muhammad.1

Saudara-saudara K.H. Makinun Amin Muhammad merupakan seorang yang taat pada agama, berakhlakul karimah, sopan santun, dan juga ramah tamah terhadap orang lain. Mereka semua juga tidak pernah meninggalkan apa yang sudah diperintahkannya.

Keluarga K.H. Makinun Amin Muhammad merupakan keluarga yang agamis. Hal ini terlihat dari ayahnya adalah seorang tokoh masyarakat di Desa Kauman bahkan di wilayah Kecamatan Sidayu yang cukup dikenal pada masanya, dan juga senang menuntut ilmu pengetahuan di berbagai pondok


(28)

18

pesantren, maka semakin banyak ilmu pengetahuan yang beliau dapatkan dari pondok pesantren.

K.H. Makinun Amin Muhammad lahir di desa kecil yang bernama Kauman, Kecamatan Sidayu, Kabupaten Gresik, pada tanggal 10 bulan Agustus tahun 1952 M. Pada masa kecilnya K.H. Makinun Amin Muhammad dididik oleh orang tuanya belajar tentang agama Islam dan belajar Al-Qur’an, sejak kecil beliau dan saudara-saudaranya hidup di lingkungan keluarga yang taat pada agama, karena sehari-hari K.H. Makinun Amin Muhammad sering di ajarkan pendidikan agama, sholat berjamaah di musholla maupun di masjid dan mendalami Al-Qur’an. Beliau dididik ketat oleh orang tuanya untuk menjadi orang yang agamis, berakhlakul karimah dan menjadi orang yang suka membaca Al-Qur’an. Beliau juga mempunyai cita-cita yang tinggi untuk memperdalam ilmu agama, serta memiliki semangat untuk kemajuan.

Hari demi hari usia K.H. Makinun Amin Muhammad mulai bertambah dan beliau semakin dewasa, akhirnya K.H. Makinun Amin Muhammad menempatkan hatinya kepada seorang wanita cantik yang bernama Hj Elok Furoidah. Pada usia 33 tahun usia yang cukup matang dalam membina mahligai rumah tangga sedangkan Hj Furoidah sendiri masih berusia 16 tahun, bagi perempuan jaman dulu yang masih kecil sudah dinikahkan oleh orang tuanya.

Setelah menikah dan hidup berumah tangga dengan wanita pilihannya itu, beliau dikarunia enam anak putra dan putri yaitu:


(29)

19

2. Kuli Alisata Aini

3. Ahmad Muhammad Hasbi Annashiri 4. Muhammad Syauqi Zamzami

5. Asfi Shofiya Fuadi 6. Selfi Syailil Najwa.2

Dari keluarga yang harmonis dan sederhana itulah yang memancarkan kebahagiaan dan selalu bersyukur kepada Allah atas segala nikmat dan karunianya yang telah diberikan kepada beliau, K.H. Makinun Amin Muhammad selalu bersungguh-sungguh dalam mendidik dan membesarkan putra-putrinya dengan rasa tulus dan sabar. Beliau selalu mengajarkan pendidikan agama Islam agar kelak putra-putri beliau menjadi orang yang taat pada agama. Hal ini dilakukan mengingat beliau juga berasal dari keluarga yang agamis. Tidak hanya sampai di situ, beliau juga selalu mengingatkan dalam hal kebaikan dalam kehidupan di masyarakat dan juga menjaga tali silaturrahmi dengan sesama. Beliau merupakan orang tua yang tegas dan disiplin, tidak pernah menyerah atau putus asa dalam mendidik putra-putrinya dan menjunjung nilai-nilai dalam agama Islam. Karena dalam kehidupan keluarga beliau selalu taat dalam beribadah, sehingga dalam keluarga beliau terbentuklah sebuah kenyamanan dan kedamaian dalam berinteraksi dengan satu sama lain.

Saat ini K.H. Makinun Amin Muhammad menjadi pengasuh pondok pesantren Mamba’ul Hisan di Desa Pengulu Kecamatan Sidayu Kabupaten


(30)

20

Gresik. Beliau menjadi pengasuh pondok pesantren Mamba’ul Hisan dari tahun 1990 hingga sekarang. Pondok pesantren itu didirikan oleh ayahnya sejak tahun 1949 dan kini pondok pesantren itu di teruskan oleh K.H. Makinun Amin Muhammad dan saudara-saudara kandung beliau.

Sebagai pengasuh pondok pesantren K.H. Makinun Amin muhammad adalah sosok yang baik dan dekat dengan para santri, beliau selalu mengingatkat para santrinya untuk terus beribadah, menuntut ilmu dan berbuat baik kepada sesama. Beliau juga sebagai contoh tauladan bagi para santrinya. Perilaku sehari-hari K.H. Makinun Amin Muhammad sangatlah sholeh dan sopan terhadap masyarakat, karena sejak kecil beliau mendapatkan pendidikan tentang agama Islam sehingga beliau menerapkan hal itu kepada putra-putrinya. Dalam kepemimpinan pondok pesantren Mamba’ul Hisan K.H. Makinun Amin Muhammad mempunyai kharismatik yang sangat besar, sehingga beliau sangat disegani oleh masyarakat sekitar dan para santri yang belajar di pondok pesantren Mamba’ul Hisan. Selain kharismatik yang dimiliki K.H. Makinun Amin Muhammad, beliau juga mempunyai keistimewaan yang lainnya yaitu istiqomah. Istiqomahnya adalah beliau sendiri yang selalu mengajarkan kitab-kitab di pagi hari mulai dari jam 09.00-10.30,3 belajar Al-Qur’an maupun belajar tentang agama Islam dan tidak pernah meninggalkan sholat bejama’ah.

K.H. Makinun Amin Muhammad adalah orang yang taat pada agama, disiplin dalam mendidik para santri, serta dalam mengemban amanah dari


(31)

21

orang lain. Beliau juga semangat dalam mengajarkan Al-Qur’an, As-sunnah dan mengajarkan nilai-nilai agama Islam serta memberikan contoh kepada para santri dan masyarakat.

B.Latar Belakang Pendidikan

K.H. Makinun Amin Muhammad telah melewati perjalanan yang begitu panjang di masa kecilnya, pada saat masih kecil beliau hanya didik oleh kedua orang tuanya. Pendidikan awal yang beliau dapatkan dari kedua orang tuanya yaitu pendidikan Al-Qur’an dan pendidikan tentang agama. Beliau tidak berkecil hati pada anak-anak seusianya yang belajar di sekolah pendidikan formal yang disebut Sekolah Rakyat (SR) yang mempunyai kurikulum sesuai kebutuhan pembelajaran siswa-siswi, namun beliau tetap berusaha dalam mencari ilmu.

Beliau belajar kepada kedua orang tuanya sampai beliau berusia 13 tahun. Setelah menimba ilmu pada kedua orang tuanya, kemudian beliau meneruskan pendidikannya di sebuah pesantren dan dari pesantren itu wawasan tentang agama mulai bertambah sedekit demi sedikit akhirnya menyeluruh pada dirinya yaitu tentang agama Islam.

K.H. Makinun Amin Muhammad tidak pernah putus asa maupun menyerah dalam memilih dan mencari pendidikan yang baik dan bagus, sehingga beliau memilih pesantren sebagai pendidikan dalam mendalami agama Islam yang beliau anggap bagus dan masyarakat juga senang dengan adanya pendidikan pesantren.


(32)

22

Pondok pesantren yang pertama K.H. Makinun Amin Muhammad adalah pondok pesantren Al-Falah Ploso Kediri Jawa Timur yang menjadi pilihan dalam mencari ilmu agamanya, beliau juga mengabdi di pondok pesantren Al-Falah pada tahun 1965 beliau melalukan aktifitas belajarnya sebagai santri. Pada saat bulan ramadhan beliau lebih giat dan semangat dalam mencari ilmu karena bulan ramadhan tersebut merupakan bulan yang penuh rahmat dan berkah dalam mencari ilmu agama yang baik, proses pencarian ilmu keagamaan yang telah dilakukan K.H. Makinun Amin Muhammad sangatlah baik, meski dalam proses mencari ilmu agama tersebut sering datang hambatan dan rintangan tetapi beliau selalu menjalankan dengan istiqomah, sabar, dan penuh keyakinan serta berdo’a kepada Allah agar di mudahkan dalam mencari ilmu, karena ujian yang beliau terima merupakan ujian yang Allah berikan kepada semua makhluk ciptaannya.

Setelah menempuh pendidikan di pondok pesantren Al-Falah Ploso Kediri dari tahun 1965-1970, kemudian beliau kembali kerumah untuk belajar kepada orang tuanya dan membantu orang tuanya mengelolah dan mengembangkan pondok pesantren yang telah didirikan oleh ayahnya. Dari pendidikan yang beliau tempuh, kini beliau menjadi pengasuh pondok pesantren Mamba’ul Hisan dan ketua pengurus Madin Riyadhotul ‘Uqul.4


(33)

23

C.Karir K.H. Makinun Amin Muhammad

Dari latar belakang keluarga K.H. Makinun Amin Muhammad, beliau terlahir dari keluarga yang terpandang dan terhormat dengan kesederhanaan dalam kehidupannya. Kepedulian beliau terhadap bidang pendidikan sangatlah besar, itu dibuktikan dengan kegigihan, keuletan dan kesabaran dalam mendidik santri-santrinya. Beliau juga tidak mudah putus asa ketika ada santri yang nakal. Maka tak heran jika kiprah beliau mendapat dukungan dari keluarga dan masyarakat dalam pendidikan dan mendidik para santri serta mengembangkan pondok pesantren Mamba’ul Hisan.

Setelah beliau mendapat pendidikan dari orang tuanyanya sejak kecil hingga berumur 13 tahun. Kemudian beliau menlanjutkan perjalan spiritualnya dengan mondok di pesantren Al-Falah Ploso Kediri selama 5 tahun.5 Selama mondok di pesantren Al-Falah Ploso Kediri,wawasan K.H. Makinun Amin Muhammad tentang agama bentambah luas khususnya dalam bidang Fiqih. Kegiatan seari-hari beliau di pesantren Al-Falah selain mempelajari kitab-kitab ,sholat berjamaah dan membaca Al-Qur’an, beliau juga selalu ikut serta dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pondok pesantren tersebut, sehingga ilmu yang beliau dapat semakin banyak kini beliau terapkan pada dirinya dan juga para santri yang belajar di pesantren Mamba’ul Hisan.

Sebagai pendidik dan juga panutan bagi para santri di pesantren beliau selalu mengajarkan perbuatan yang baik dan selalu memegang teguh dalam setiap amanah. Amanah dalam hal ini adalah santri-santri yang dititipkan oleh


(34)

24

orang tuanya di pesantren Mamba’ul Hisan. Hal itu dilakukan dengan sabar dan tulus sebagaimana beliau mendidik anak kandungnya sendiri. Dalam mendidik para santrinya, baik dalam hal prilaku maupun akademis K.H. Makinun Amin Muhammad sangatlah tegas dan disiplin agar para santri menjadi orang yang lebih baik dan taat kepada agama serta ulet dalam hal-hal apapun. Beliau juga selalu mengingatkan para santri agar tidak meninggalkan sholat dan membaca Al-Qur’an, serta berbuat baik sesama manusia. Setiap hari beliau mendidik para santri dengan cara seperti itu. Dalam pembelajaran agama selalu memberikan contoh-contoh prilaku yang ada pada nabi Muhammad SAW sehingga bisa dicontoh dan di terapkan bagi para santri dalam kehidupan sehari-hari.

Selain menjadi pendidik para santri, K.H. Makinun Amin Muhammad juga sebagai guru di TK Mamba’ul Hisan. yang mengajarkan pendidikan Al-Qur’an dan baca tulis Al-Al-Qur’an, karena pendidikan Al-Al-Qur’an sangatlah penting bagi anak-anak sehingga bisa menjadi orang yang mencintai Al-Qur’an dan selalu membaca Al-Qur’an seperti yang telah dicontohkan nabi Muhammad SAW.6

K.H. Makinun Amin Muhammad merupakan sosok guru yang sangat bertanggung jawab. Oleh karena itu Peran guru dalam proses kemajuan pendidikan sangatlah penting. Guru merupakan salah satu faktor utama bagi terciptanya generasi penerus bangsa yang berkualitas, tidak hanya dari sisi


(35)

25

intelektualitas saja melainkan dari tata cara berperilaku dalam masyarakat, karena tugas yang diemban oleh guru tidaklah mudah.

Guru adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru-guru seperti ini harus mempunyai semacam kualifikasi formal. Dalam definisi yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap seorang guru.

Falsafah Jawa Guru diartikan sebagai sosok tauladan yang harus di “gugu lan ditiru”. Dalam konteks falsafah Jawa ini guru dianggap sebagai pribadi yang tidak hanya bertugas mendidik dan menstranformasi pengetahuan didalam kelas saja, melainkan lebih dari itu guru dianggap sebagai sumber informasi bagi perkembangan kemajuan masyarakat ke arah yang lebih baik. Sehingga tugas dan fungsi guru tidak hanya terbatas di dalam kelas saja melainkan jauh lebih komplek dalam makna yang lebih luas.

Dalam undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen disebutkan bahwa, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini melalui jalur formal pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Pengertian guru diperluas menjadi pendidik yang dibutuhkan secara dikotomis tentang pendidikan. pada bab XI tentang pendidik dan tenaga kependidikan dijelaskan pada ayat 2 yaitu pendidik merupakan tenaga prefesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, hasil motivasi berprestasi, melakukan


(36)

26

bimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.7

Jika dilihat dari falsafah Jawa dan undang-undang nomor 14 tahun 2005, bahwasanya K.H. Makinun Amin Muhammad sudah memenuhi kriteria dari keduanya. Untuk falsafah Jawa bisa kita lihat dari prilaku sehari-hari beliau mulai dari kegigihan, keuletan, kesabaran dan disiplin serta ketaqwaan beliau kepada Allah SWT yang semua prilaku itu yang dicontohnya dari nabi Muhammad SAW. Maka tidak ada alasan bagi kita, untuk tidak mencontoh perilaku K.H. Makinun Amin Muhammad.

Dalam undang-undang nomor 14 tahun 2005 beliau juga bisa disebut sebabagai seorang guru, sebab kriteria seperti mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik, semuanya beliau lakukan dalam pesantren dan sekolahan.

7Pengertian guru, dalam http://zonainfosemua.blogspot.co.id/2014/03/pengertian-guru-menurut-pakar-pendidikan.html, (23 Mei 2016).


(37)

BAB III

PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN MAMBA’UL HISAN TAHUN 1990-2015

A.Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Mamba’ul Hisan 1. Latar Belakang Berdirinya Pondok Mamba’ul Hisan

Pondok pesantren Mamba’ul Hisan ini berlokasi di Desa Kauman, Kecamatan Sidayu, Kabupaten Gresik, yang berada ±1Km dari alun-alun Sidayu dan ±3 Km dari kantor Kecamatan Sidayu. Pondok pesantren Mamba’ul Hisan ini dirintis dan didirikan oleh K.H. Muhammad bin Shofwan.

Pada awalnya, tahun 1949 putra pertama K.H. Muhammad bin Shofwan yang bernama K.H. Abdul Muqsith sedang memasuki usia sekolah, pada saat itu K.H. Muhammad bin Shofwan mempunyai inisiatif untuk mendidik sendiri putranya dengan penuh kedesiplinan dan konsisten di rumah. Sebagai bekal pembelajaran yang diberikan kepada putranya itu, K.H. Muhammad bin Shofwan menyusun tulisan-tulisan sebagai materi pembelajarannya. Tulisan-tulisan tersebut mulanya hanya beberapa lembar, kemudian disusun secara sistematis dan akhirnya terkodifikasi dengan baik. Selain materi yang disajikan, beliau juga menggunakan cara-cara “kaffiyah” khusus dalam penyampaian meterinya agar dapat membuahkan hasil maksimal.

Cara yang dipakai oleh K.H. Muhammad bin Shofwan untuk mendidik putranya tersebut terasa efektif dan efisien. Melihat keberhasilan


(38)

28

tersebut, banyak sanak famili, tetangga dan masyarakat yang ingin menitipkan anak mereka kepada K.H. Muhammad Bin Shofwan untuk dididik seperti putranya. Berdasarkan keadaan itulah K.H. Muhammad bin Shofwan mendirikan sebuah pondok pesantren.

Setelah mendapatkan berbagai anjuran dari berbagai pihak dalam pemberian nama dari pondok pesantren, kemudian K.H. Muhammad bin Shofwan memutuskan untuk memberi nama pondok pesantren tersebut dengan nama “Mamba’ul Hisan” atau disebut dengan “PPMH”.1

Pada tahun 1985 pengorganisasian di pondok pesantren Mamba’ul Hisan dibentuk oleh K.H. Muhammad bin Shofwan,2 menurut Hasinu Ibnu

Marto dengan berkembangnya pondok pesantren Mamba’ul Hisan dan bertambah populasi jumlah santri, secara bertahap menejemen pondok pesantren Mamba’ul Hisan dibentuk yaitu sebagai berikut:

a. Pengajar utama (pemangku) yaitu: K.H. Muhammad bin Shofwan dan istri beliau Hajjah Ulfah, sebagai pengajar utama, penasehat dan juga sebagai pengambil keputusan.

b. Para pengasuh (pengelola utama) yaitu K.H. Abdul Muqsith Muhammad beliau ini bertanggung jawab untuk urusan yang ada diluar, K.H. Makinun Amin Muhammad sebagai pembantu urusan dalam dan dibantu

1Makalah Studium General, Metode Pengajaran Membaca dan Menulis Al-Quran: Metode Sidayu,

2005, 1.


(39)

29

oleh K.H. Abdul Hakim Muhammad dan K.H. Abdul GhofurMuhammad dan K.H. Ahmad Shiddiq sebagai pembantu urusan pendidikan.3

2. Visi Pondok Pesantren Mamba’ul Hisan

Pondok pesantren Mamba’ul Hisan mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mengemban para santri-santrinya. Dalam mendidik para santri pondok pesantren Mamba’ul Hisan dianjurkan memperdalam ilmu agama, sehingga mewujudkan santri-santri yang berakhlakul karimah dan taat pada agama. Adapun visi pondok pesantren Mamba’ul Hisan sebagai berikut:

a) Berilmu kaffah. b) Berakhlakul karimah.4

3. Tujuan pondok pesantren Mamba’ul Hisan

Pondok pesantren Mamba’ul Hisan adalah lembaga pendidikan Islam, yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits, yang mengikuti empat madzhab yaitu Maliki, Hambali, Syafi’i dan Hanafi. Akan tetapi dalam aktifitas sehari-hari, pondok pesantren Mamba’ul Hisan ini lebih condong menggunakan madzhab Imam Syafi’i karena menyesuaikan lingkungan pesantren yang memerlukan pendekatan persuasif.

Dalam hal ini pondok pesantren tidak serta merta berdiri, namun mempunyai tujuan yang jelas, dalam bukunya Hasinu Ibnu Marto disela-sela perkembangan pondok pesantren kanak-kanak Mamba’ul Hisan K.H.

3Hasinu Ibnu Marto, “Pondok Pesantren Kanak-kanak Mamba’ul Hisan di Kabupaten Gresik”,

(Skripsi, Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya, 1994), 37-38.


(40)

30

Muhammad bin Shofwan meluruskan tujuan keberadaannya diantaranya sebagai berikut:

a) Mengajar dan melatih anak-anak agar bisa membaca serta menulis huruf-huruf Al-Qur’an dengan baik.

b) Menanamkan kecintaan kepada Al-Qur’an sejak usia dini, sebagai landasan untuk mengamalkan ajaran dan norma-norma yang terdapat di dalam Al-Qur’an.

c) Menanamkan rasa disiplin pada anak dalam hal ibadah dan belajar. d) Membiasakan dalam hidup sederhana dan berakhlak luhur dalam

pergaulan.5

4. Struktur keorganisasian yayasan pondok pesantren Mamaba’ul Hisan

Adapun struktur pengorganisasian saat ini yang ada di yayasan pondok pesantren Mamba’ul Hisan. Susunan pengurus yayasan ini yang penulis temukan pada arsip pondok pesantren Mamba’ul Hisan tahun 2015, diantaranya sebagai berikut:

a. Pendiri yayasan

1) K.H. Abdul Muqsith (3525091510450001) 2) Haji Makinun Amin (3525091008530001)


(41)

31

b. Susunan organisasi yayasan

Tabel 3.1.

Data diperoleh dari pengesahan pendirian badan hukum yayasan pondok pesantren Mamba’ul Hisan Sidayu tahun 2015.

Nama No ktp/passport Organ

yayasan Jabatan KH. Abdul Muqsith 3525091510450001 Pembina Ketua H Muhammad Badrul

Huda, Lc 3525092209720001 Pengurus Ketua umum Mubaedi 3525102703740005 Pengurus Sekretaris Hajjah Raden Roro

Mardliyah, S.pd., M.H 3525095002490002 Pengurus Bendahara umum Hajjah Elok Furoidah 3525095801680001 Pengurus Bendahara Haji Makinun Amin 3525091008530001 Pengawas Ketua

B.Perkembangan pondok pesantren Mamba’ul Hisan

Dewasa ini kalau kita mengamati dari sejarah pondok pesantren hingga pada perkembangannya, maka pondok pesantren terbagi menjadi dua jenis katagori, yaitu pondok pesantren salafi (pondok pesantren yang masih menggunakan sistem pendidikan sederhana atau tradisional dengan sistem sorogan dan bandongan tanpa kelas dan batas umur) dan pondok pesantren khalafi “modern” (pondok pesantren yang sudah mengadopsi dan memadukan sistem pendidikan modern atau umum dengan sistem kelas, kurikulum, dan umurnya juga dibatasi).6


(42)

32

Pondok pesantren dapat dikatagorikan sebagai lembaga pendidikan “Tradisional”. Dalam batasan ini, merujuk bahwa lembaga ini telah menjadi bagian yang mendasar dari sistem kehidupan mayoritas umat Islam di Indonesia, dan mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perjalanan hidup umat Islam. Pengertian dalam arti “tradisional” disini bukan berarti tetap (stagnan) tanpa mengalami adaptasi melainkan cara pembelajaran dan sistem yang ada pada pondok pesantren.7

Untuk mengetahui dan memahami tentang perkembangan pondok pesantren Mamba’ul Hisan, maka dalam pembahasan ini, penulis memaparkan perkembangan pondok pesantren Mamba’ul Hisan bedasarkan wawancara dan sumber-sumber yang ada di pondok pesantren Mamba’ul Hisan sesuai dengan situasi yang ada, mulai berdirinya pondok pesantren Mamba’ul Hisan hingga perkembangan pondok pesantren Mamba’ul Hisan yang cukup relevan dalam tuntunan masyarakat dan seiring perkembangan zaman.

Adapun perkembangan itu dari segi sarana dan prasana, pendidikan, dan jumlah santriserta faktor-faktor pendukung lainnya. Untuk lebih mudah pemahaman, maka penulis memaparkan secara periode, yang terdiri dari dua periode yaitu periode pertama masa perintisan dan periode kedua masa perkembangan.


(43)

33

1. Periode awal (1949-1990)

Dalam periode awal ini merupakan masa perintisan oleh K.H. Muhammad bin Shofwan, periode ini mempunyai ciri-ciri yang sangat sederhana, dari segi fisik maupun non fisik. Pada tahanpan perkembangan pondok pesantren Mamba’ul Hisan dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Kondisi fisik

Pondok pesantren Mamba’ul Hisan dikenal dengan sebutan pondokan cilik oleh masyarakat Sidayu, pondok pesantren ini dulunya bertempat di rumah K.H. Muhammad bin Shofwan di Desa Kauman dari segi tatanan wilayah batas desa, pada saat itu bagunan pertama kali sejak awal berdiri berada di Desa Kauman.

Dari penjelasan diatas, bahwasanya pada awal pendirian pondok pesantren Mamba’ul Hisan berada dirumah K.H. Muhammad bin Shofwan, bagunan itu merupakan tempat singgah kiai dan terdapat tempat singgah para santri-santri. namun hanya ada satu sampai tiga kamar kurang lebih untuk tempat tinggal para santri, satu kamar dihuni kurang lebih 20 santri dengan ukuran yang sangat kecil.Dari sinilah masyarakat Desa Kauman dan masyarakat disekitar pondok pesantren Mamba’ul Hisan belajar tentang agama kepada K.H. Muhammad bin Shofwan.

b. Bidang pendidikan

Pendidikan pondok pesantren Mamba’ul Hisan pada awal permulaan menggunakan sistem pendidikan yang sama dengan pondok


(44)

34

pesantren lainnya yang menerapkan metode-metode seperti, metode sorogan dan metode wetonan.8 kedua sistem pendidikan ini yang dipakai

oleh pesantren lainnya yang masih mengajarkan sistem pendidikan klasikal, metode-metode yang digunakan dalam pendidikan di pondok pesantren Mamba’ul Hisan antara lain:

1) Metode sorogan

Sistem sorogan ini termasuk belajar secara individual, dimana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, dan terjadi interaksi saling mengenal di antara keduanya. Sistem sorogan ini terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang alim. Metode sorogan merupakan metode yang ditempuh dengan cara kiai menyampaikan pelajaran kepada santri yang menitik beratkan pada pengembangan kemampuan perorangan (individu), dibawah bimbingan seorang kiai atau ustadz.

Pembelajaran dengan sistem sorogan biasanya diselenggarakan pada ruang tertentu. Ada tempat duduk kiai atau ustadz, di depannya ada meja pendek untuk meletakkan kitab bagi santri yang menghadap. Santri-santri lain, baik yang mengaji kitab yang sama ataupun berbeda duduk agak jauh sambil mendengarkan apa yang diajarkan oleh kiai atau ustadz, sekalipun mempersiapkan diri menunggu giliran di panggil.


(45)

35

2) Metode bandongan

Metode weton ini merupakan metode kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan cara duduk di sekeliling kiai yang menerangkan pelajaran secara kuliah, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan padanya. Istilah weton ini di Jawa Barat disebut juga bandongan.

Metode bandongan dilakukan oleh seorang kiai atau ustadz terhadap sekelompok santri untuk mendengarkan atau menyimak apa yang dibacakan oleh kiai dari sebuah kitab. Kiai membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas teks-teks kitab berbahasa arab tanpa harakat (gundul). Santri dengan memegang kitab yang sama, masing-masing melakukan pendhabitan harakat langsung di bawah kata yang dimaksud agar dapat memahami teks. Posisi para santri pada pembelajaran metode ini adalah melingkari dan mengelilingi kiai atau ustadz sehingga membentuk halaqoh (lingkaran).9

Pendidikan di pondok pesantren Mamba’ul Hisan bukan hanya pendidikan klasikal saja, namun juga mengajarkan pendidikan Al-Qur’an baik usia dini, bin nadhor dan bil ghoib. Pendidikan Al-Al-Qur’an usia dini dimana santri-santri terlebih dahulu di kenalkan huruf-huruf hijaiyyah supaya para santri mengenal dan mengetahui bentuk huruf yang ada pada Al-Qur’an, sedangkan pendidikan Al-Qur’an bin

9Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah: pertumbuhan dan


(46)

36

nadhor dilakukan dengan cara membaca dan melihat teks Al-Qur’an dan bil ghoib dilakukan dengan cara menghafalkan tanpa melihat teks Al-Qur’an. Dari pendidikan keduanya itu yang diajarkan kepada para santri dan masyarakat, pada saat itu masyarakat sekitar belum memahami tentang agama Islam dan belum mengenal huruf-huruf yang ada dalam Al-Qur’an.

c. Hambatan-hambatan pada periode awal

Ada beberapa hambatan yang terjadi pada awal periode sehingga menjadikan kendala pada waktu itu, dengan banyaknya santri yang berdatang dari berbagai wilayah yang ingin belajar mendalami tentang agama Islam. Hambatan-hambatan yang terjadi pada periode awal yaitu sebagai berikut:

Pertama, hambatan-hambatan yang terjadi di periode awal ini yaitu kurangnya tempat tinggal santri yang kurang memadai sehingga santri-santri ditempatkan dirumah alumni pondok yang berlokasi di sekitar pondok maupun didesa lain yang berdekatan dengan pondok pesantren Mamba’ul Hisan.

Kedua, kurangnya tenaga pengajar dalam proses belajar sehingga proses belajar secara bergantian.

Ketiga, kurangnya tempat belajar atau kelas di pondok pesantren maka belajar mengajar ada yang ditempatkan di rumah-rumah tetangga.10


(47)

37

2. Periode perkembangan (1990-2015)

Pada tahapan periode perkembangan ini membahas tetang kelanjutan dari periode awal, periode ini menjelaskan tentang perkembangan dari segi fisik maupun non fisik dan segi pendidikan. periode perkembangan ini berkat kerja keras dan kegigihan K.H. Muhammad bin Shofwan dan anak-anak beliau. Pada saat itu K.H. Muhammad bin Shofwan sudah mulai tua kebutuhan pondok pesantren diserahkan kepada anak-anak beliau sebagai pengurus pondok pesantren. Pada waktu itu K.H. Makinun Amin Muhammad mulai berperan dibawah kepemimpinan ayahnya K.H. Muhammad bin Shofwan. Masa kepemimpinan pondok pesantren tidak bisa digantikan sebelum pemimpin tersebut meninggal. Adapun perkembangan pondok pesantren Mamba’ul Hisan adalah sebagai berikut:

a. Perkembangan segi fisik

Usaha dan gagasan K.H. Muhammad bin Shofwan dalam membina dan mengembangkan pondok pesantren dapat simpati dari masyarakat setempat, karena pada saat itu jumlah santri mulai bertambah banyak sehingga tempat untuk menginap para santri yang berada di rumah K.H. Muhammad bin Shofwan pun semakin sempit. Dalam hal ini gagasan mengenai penambahan tempat menginap atau asrama para santri pun ditambah. Sehingga pondok pesantren mulai berkembang sedikit demi sedikit. Hal ini tidak lepas dari peran anak-anak K.H. Muhammad bin Shofwan yang ikut serta dalam mengembangkan pondok pesantren Mamba’ul Hisan.


(48)

38

Perkembangan dari segi fisik ini dapat dilihat bagunan pondok pesantren yang dulunya bermula dari rumah kiai, sekarang sudah terdapat tiga asrama di sekitar rumah kiai dan menjadi cikal bakal komplek pondok pesantren Mamba’ul Hisan, yang kini diasuh oleh anak-anaknya.

Seiring dengan perkembangannya, pondok pesantren Mamba’ul Hisan kini terbagi menjadi empat wilayah yaitu PPMH Timur, PPMH Tengah, PPMH Selatan dan PPMH Barat. Dari keempat wilayah itu masing-masing pondok mempunyai pengasuh sendiri-sendiri, namun pondok pesantren ini tetap dalam satu lembaga.

b. Perkembangan pendidikan

Pendidikan dalam pondok pesantren menggunakan pola pembelajaran dengan sistem sorogan dan sistem bandongan, kedua sistem ini dulunya yang dianut oleh pesantren pada periode awal. Pada periode perkembangan ini, sistem sorogan dan sistem bandongan ini masih digunakan dalam proses belajar mengajar yang berada di satu ruangan, santri-santri duduk berjajar degan rapi dan mendengarkan materi yang disampaikan oleh kiai.

Sistem sorogan dan sistem bandongan dilaksanakan dalam pondok pesantren Mamba’ul Hisan setelah selesai sholat shubuh dan sholat maghrib, kedua sistem tersebut dipakai pada proses pembelajaran kitab kuning atau kitab-kitab klasik lainnya. Kemudian setelah sholat dhuhur para santri yang mengaji kitab-kitab klasik pada pembelajaran yang didapat, setelah itu mentasrihkan kembali atau santri mengulas apa


(49)

39

yang sudah disampaikan oleh kiai.11 Adapun pembelajaran Al-Qur’an bin-nadhor, bil-ghoib dan usia dini di pondok pesantren Mamba’ul Hisan kedua sistem tersebut tidak dipakai, sedangkan pendidikan Al-Qur’an usia dini menggunakan metode tersendiri dalam proses pembelajaran Al-Qur’an usia dini yang telah dirintis oleh K.H. Muhammad bin Shofwan pendiri pondok pesantren Mamba’ul Hisan.

Seiring dengan perkembangan zaman pondok pesantren Mamba’ul Hisan kini meningkatkan mutu dalam bidang pendidikan, sehingga berdirilah beberapa pendidikan formal seperti TK, MI, Mts, dan MA yang menganut sistem pemerintah. Namun sistem pembelajaran yang lama masih tetap dipakai di era modern ini, sebab sistem sorogan dan sistem bandongan merupakan ciri khas dari pesantren yang tidak bisa dilepaskan begitu saja.

Madrasah merupakan pendidikan Islam yang lain. Secara harfiyah ia berarti sekolah. Namun demikian, sistem madrasah di Indonesia agak berbeda dengan madrasah di negeri-negeri Islam yang lain. Madrasah juga berbeda dengan sistem pesantren. Murid sebuah madrasah harus lulus dengan satu tingkatan untuk naik ketingkatan yang lebih tinggi, sama dengan pola sebuah sekolah umum. Murid di madrasah biasanya mempelajari ilmu-ilmu Islam, tetapi sistem madrasah modern memberikan kepada murid berbagai materi tentang Islam dan pelajaran-pelajaran sekular yang harus dikuasai dalam jangka waktu tertentu.


(50)

40

Sistem pesantren, di sisi lain, mengkhususkan diri pada pengajaran Islam dan tidak mempunyai batasan waktu. Karena cakupan pelajaran yang lebih luas maka sistem madrasah tidak menghasilkan atau mendorong murid untuk menjadi ulama seperti yang dilakukan pesantren. Memang diakui bahwa sistem madrasah kontemporer adalah hasil dari upaya-upaya modernisasi sistem pembelajaran dan pengajaran tradisional. Namun, juga harus disadari bahwa sistem madrasah tidak didesain untuk mencetak ulama. Madrasah adalah sarana yang memberikan pengajaran dasar tentang Islam kepda umatnya dan hanya didirikan secara formal disetiap kecamatan. Demikian juga di tingkat lebih lanjut, sistem madrasah, seperti IAIN, tidak menghasilkan ulama. Para siswa yang ingin mendapatkan pendidikan Islam yang lebih tinggi tetap harus pergi ke pesantren.12

Dengan berkembangnya pendidikan pondok pesantren Mamba’ul Hisan kini membuka beberapa unit pendidikan formal yang menganut sistem pemerintah baik menganut sistem pendidikan Departemen Agama maupun Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang meliputi:

1) TK Mamba’ul Hisan

TK Mamba’ul Hisan adalah jenjang sekolah anak-anak yang berumur 5-6 tahun, pendidikan ini terdiri dari dua jenjang yaitu jenjang A dan jenjang B. Pengelolahannya menganut sistem


(51)

41

pemerintahan baik dari Departemen agama maupun Departemen pendidikan dan kebudayaan.

2) Madrasah Ibtidaiyyah

Madrasah Ibtidaiyyah adalah jenjang paling dasar pendidikan formal yang setara dengan sekolah dasar. Pendidikan Madrasah Ibtidaiyyah Mamba’ul Hisan ini didirikan pada tahun 2000 yang pengelolaannya mengikuti departemen agama, pendidikan ini di tempuh selama 6 tahun yang dimulai dari kelas 1 sampai kelas 6. Di madrasah ini pendidikan yang ada bukan hanya pendidikan agama tetapi pendidikan umum juga diterapkan.

3) Madrasah Tsanawiyah

Pendidikan Madrasah Tsanawiyyah adalah jenjang dasar pendidikan formal yang setara dengan pendidikan sekolah menengah pertama, Madrasah Tsanawiyyah Mamba’ul Hisan ini didirikan tahun 2000 yang menganut sistem pemerintah departemen agama, pendidikan ini ditempuh selama 3 tahun mulai dari kelas 7 sampai kelas 9. Kurikulum Madrasah Tsanawiyyah sama dengan sekolah menengah pertama hanya saja di Madrasah Tsanawiyyah ini terdapat pendidikan agamanya.

4) Madrasah Aliyah

Madrasah Aliyah Mamba’ul Hisan ini didirikan pada tahun 2000, pendidikan ini menganut sistem pemerintahan departemen agama. Madrasah Aliyah ini ditempuh selama 3 tahun dimulai dari


(52)

42

kelas 10 sampai kelas 12, namun di jenjang pendidikan ini siswa yang mulai naik kekelas 11 bisa menempuh jurusan yang ada seperti: ilmu alam, ilmu sosial, ilmu bahasa, dan ilmu keagamaan.Di Indonesia, kepemilikan madrasah aliyah dipegang oleh dua badan, yakni swasta dan madrasayah aliyah negeri yang dikelolah oleh pemerintah.

Berdinya pendidikan formal di pondok pesantren Mamba’ul Hisan ini tidak lepas dari dukungan masyarakat sekitar dan wali-wali santri yang mengiginkan dengan adanya pendidikan formal tersebut, sehingga orang tua wali santri yang ingin anaknya belajar dijenjang pendidikan selanjutnya dan ingin menetapkan anaknya belajar di pondok pesantren Mamba’ul Hisan.13

Dengan berkembangnya zaman pondok pesantren mampu menjawab semua tantangan yang ada, baik dari segi pendidikan yang menganut sistem pemerintahan, kini pondok pesantren juga mengembangkan pendidikan formal yang berbasis kurikulum pemerintahan. Akan tetapi pendidikan pesantren tidak serta merta dihilangkan melainkan berjalan kedua-duanya.

c. Perkembangan santri

Seiring dengan perkembangan bangunan pondok pesantren Mamba’ul Hisan dan semakin dikenalnya pembelajaran Al-Qur’an usia dini dipesantren Mamba’ul Hisan oleh masyarakat, sehingga santri yang belajar dipondok pesantren Mamba’ul Hisan terus mengalami


(53)

43

peningkatan dalam jumlah santri yang belajar dipondok pesantren Mamba’ul Hisan.

Pada awalnya santri yang belajar hanya keluarga, tetangga, dan masyarakat sekitar dengan semakin banyaknya orang yang tahu pondok pesantren Mamba’ul Hisan, masyarakat dari daerah lain juga mulai menitipkan anak-anaknya di pondok pesantren Mamba’ul Hisan. Adapun perkembangan santri pondok pesantren Mamba’ul Hisan sebagai berikut:

Tabel 3.2.

Data santri dari tahun 1990-2015

Dikutip dari Arsip data penerimaan santri baru tahun 1990-2015

No Tahun Jumlah Santri yang

Baru Masuk

1 1990 8

2 1991 5

3 1992 9

4 1993 4

5 1994 3

6 1995 6

7 1996 19

8 1997 12

9 1998 22

10 1999 24

11 2000 30


(54)

44

13 2002 33

14 2003 49

15 2004 42

16 2005 45

17 2006 32

18 2007 23

19 2008 19

20 2009 57

21 2010 54

22 2011 46

23 2012 43

24 2013 42

25 2014 40


(55)

BAB IV

Peran K.H. Makinun Amin Muhammad di Pondok Pesantren Mamba’ul Hisan

A.Usaha-usaha K.H. Makinun Amin Muhammad dalam pengembangan bidang pendidikan di pondok pesantren Mamba’ul Hisan

Peranan kiai sangatlah menentukan dalam perkembangan pondok pesantren, karena kiai mempunyai kedudukan sebagai pengasuh sekaligus pemilik pesantren. Dalam pengembangan pondok pesantren Mamba’ul Hisan usaha-usaha yang dilakukan oleh K.H. Makinun Amin Muhammad dalam pengembangan dan memajukan pondok pesantren Mamba’ul Hisan dari segi bidang pendidikan.

Pusat pendidikandipondok pesantren yaitu mushallah, masjid dan bahkan rumah kiai tersebut untuk mengajarkan ilmu agama kepada para santri-santrinya. Biasanya santri duduk dilantai membentuk setengah lingkaran menghadap guru atau kiai untuk mengaji. Waktu mengajar biasanya diberikan pada waktu setelah sholat maghrib dan sholat shubuh agar tidak meganggu kegiatan-kegiatan atau aktivitas yang lainnya. Tempat pendidikan Islam nonformal yang seperti inilah merupakan embrio pengorganisasian dan pembentukan pondok pesantren.

Pendidikan di dalam pondok pesantren akan membentuk watak manusia yang baik. Menghasilkan watak manusia yang baik, mental yang kuat dan jiwa yang kuat diperlukan dasar dan pondasi yang kuat untuk membangun watak yang baik tersebut. Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber utama


(56)

46

ajaran agama Islam dan falsafah hidup umat Islam, di dalamnya memuat totalitas prinsip yang berkaitan dengan hidup manusia termasuk dalam bidang pendidikan.1Seperti halnya dengan pondok pesantren Mamba’ul Hisan, pada

awal peristisan sebelum menjadi pondok pesantren pada tahun 1949 masih berbentuk rumah tempat tinggal kiai, akan tetapi sudah ada tetangga atau masyarakat Desa Kauman maupun masyarakat dari desa lain yang belajar Al-Qur’an atau mengaji kitab-kitab kepada K.H. Muhammad bin Shofwan. Dalam hal ini pendidikan yang ada di pondok pesantren Mamba’ul Hisan adalah sebagai berikut:

1. Pendidikan klasikal a. Sistem sorogan

Metode sorogan merupakan suatu metode yang ditempuh dengan cara guru menyampaikan pelajaran kepada santri secara individual, biasanya di samping dipesantren juga dilangsungkan di langgar, masjid, atau malah terkadang di rumah-rumah. Penyampaian pelajaran kepada santri secara bergilir ini biasanya dipraktekkan pada santri yang jumlahnya sedikit.

Di pesantren, sasaran metode ini adalah kelompok santri pada tingkat rendah yaitu mereka yang baru menguasai pembacaan Al-Qur’an. Melalui sorogan, perkembangan intelektual santri dapat ditangkap kiai secara utuh. Dia dapat mendapat bimbingan secara kejiwaan sehingga dapat memberikan tekanan pengajaran kepada santri-santri tertentu atas


(57)

47

dasar observasi langsung terhadap tingkat kemampuan dasar dan kapasitas mereka. Sebaliknya, penerapan metode sorogan menuntut kesabaran dan keuletan pengajar. Santri dituntut untuk memiliki disiplin tinggi. Di samping itu applikasi metode ini membutuhkan waktu yang lama, yang berarti pemborosan, kurang efektif dan efisien.2

Istilah sorogan berasal dari kata bahasa Jawa yang artinya sodoran atau disodorkan.Dalam pengertian lain, kiai atau guru berhadapan dengan santri, satu persatu santri membawa dan menyodorkan kitab yang telah dipelajari kepada kiai atau guru. Dengan sitem sorogan diharapkan santri mampu membaca dan memahami isi kitab yang telah dipelajari tersebut.

Dari sistem sorogan ini, hubungan kiai dengan santri sangat dekat dekat, dengan kata lain kiai atau guru mampu mengenal kepribadian satu persatu para santrinya.Dengan pendidikan sistem sorogan maka jelas seorang kiai atau guru selalu berorientasi pada tujuan dan selalu berusaha agar santri yang bersangkutan mampu membaca, memahami serta mendalami isi-isi kitab tersebut.

b. Sistem bandongan atau wetonan

Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan atau seringkali juga disebut weton. Dalam sistem ini sekelompok murid (antara 5 sampai 500) mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas

2Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi


(58)

48

buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqoh yang arti bahasanya lingkaran murid, atau sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru.3

Dalam sistem bandongan, seorang murid tidak harus menunjukkan bahwa ia mengerti pelajaran yang sedang dihadapi. Para kiai biasanya membaca dan menerjemahkan kalimat-kalimat secara cepat dan tidak menerjemahkan kata-kata yang mudah. Dengan cara ini, kiai dapat menyelesaikan kitab-kitab pendek dalam beberapa minggu.4

Penerapan metode tersebut mengakibatkan santri bersikap pasif. Sebab kreativitasnya dalam proses belajar-mengajar didominasi ustadz atau kiai, sementara santri hanya mendengarkan dan memperhatikan keterangannya. Dengan kata lain, santri tidak dilatih mengekpresikan daya kritisnya guna mencermati kebenaran suatu pendapat.

Metode yang disebut bandongan ini ternyata merupakan hasil dari adaptasi dari metode pengajaran agama yang berlangsung di Timur Tengah terutama di Mekkah dam al-Azhar, Mesir. Kedua tempat ini menjadi “kiblat” pelaksanaan metode wetonan lantaran dianggap sebagai poros keilmuan bagi kalangan pesantren sejak awal pertumbuhan hingga perkembangan yang sekarang ini. Anggapan tersebut timbul sebagai

3Dhofier, Tradisi Pesantren, 28.


(59)

49

reaksi dari hasil perkenalan intelektual antara perintis (kiai) pesantren dengan pendidikan agama yang berangsung di Mekkah dan al-Azhar baik melalui ibadah haji maupun keperluan mencari ilmu, di samping itu Mekkah dianggap memiliki suatu keistimewaan sebagai kota kelahiran Islam (kota suci).

Metode sorogan dan bandongan sama-sama memiliki ciri pemahaman yang kuat pada pemahaman tekstual maupun literatur. Bersamaan dengan penggunaan metode ini berkembang pula tradisi hafalan. Bahkan di pesantren, keilmuan hanya dianggap sah dan kokoh bila dilakukan melalui transmisi dan hafalan, baru kemudian menjadi keniscayaan.

Akan tetapi, bukan berarti metode sorogan dan bandongan tidak memiliki kebaikan sama sekali. Ada hal-hal tertentu yang dirasakan sebagai kelebihannya. Metode sorogan secara diktatik-metodik terbukti memiliki efektivitas dan signifikansi yang tinggi dalam mencapai hasil belajar. Sebab metode ini mengungkitkan kiai atau ustadz mengawasi, menilai, dan membimbing secara maksimal kemampuan santri dalam menguasai materi. Sedangkan efektivitas metode bandongan terletak pada pencapaian kuantitas dan percepatan kajian kitab, selain juga untuk tujuan relasi santri dengan kiai atau ustadz.

Kedua metode tersebut sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari layanan yang sebesar-besarnya kepada santri. Berbagai usaha pembaharuan dewasa ini dilakukan justru mengarah pada layanan secara


(60)

50

individual peserta didik. Metode sorogan justru mengutamakan kematangan dan perhatian serta kecakapan seseorang. Adapun bandongan, para santri memperoleh kesempatan untuk bertanya atau meminta penjelasan lebih lanjut atas keterangan kiai.5

Sejak awal berdiri pondok pesantren Mamba’ul Hisan menggunakan sistem sorogan dan bandongan mulai dari awal peran K.H. Muhammad bin Shofwan di pondok pesantren Mamba’ul Hisan. Sampai saat ini metode sorogan dan bandongan masih diterapkan oleh K.H. Makinun Amin Muhammad dipondok pesantren Mamba’ul Hisan, karena metode ini merupakan ciri khas dari pesantren. Metode sorogan dan bandongan ini diterapkan karena para pembimbing, kiai atau ustadz berusaha untuk melatih para santri supaya dapat menguasai apa yang belum diketahui para santri. Oleh karena itu, para pembimbing berusaha supaya para santri bisa memahami, membaca dan menterjemahkan dari isi kitab tersebut.

Tabel 4.1

Materi yang diajarkan

Data diambil dari jadwal pengajian No Bidang Kitab yang dipakai

1 Fiqih Fathul Qorib Hidayatus Syibyan 2 Tafsir Tafsir Jalaliyn 3 Aqidah Mauidhotul Mu’minin 4 Hadits Jami’ Shohir


(61)

51

2. Bidang pendidikan Al-Qur’an

Pendidikan Al-Qur’an bagi anak-anak maupun orang dewasa sangatlah penting, bahwasanya Al-Qur’an merupakan kitab Allah SWT yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Pendidikan Al-Qur’an dipondok pesantren Mamba’ul Hisan tidak menggunakan sistem sorogan dan sistem bandongan tidak seperti mengaji kitab-kitab klasik pada umumnya.

Pembelajaran Al-Qur’an dipondok pesantren Mamba’ul Hisan diwajibkan bagi para santri baik anak-anak usia dini maupun santri dewasa, adapun pendidikan Al-Qur’an dipondok pesantren Mamba’ul Hisan yaitu sebagai berikut:

a. Pendidikan Al-Qur’an bin nadhor

Pendidikan Al-Qur’an ini dikhususkan bagi santri-santri yang belajar membaca Qur’an dengan cara melihat teks bacaan Al-Qur’an.

b. Pendidikan Al-Qur’an bil ghoib

Pendidikan Al-Qur’an ini dikhusukan bagi santri-santri yang ingin belajar Al-Qur’an dengan cara mengfalkan atau tidak melihatteks-teks Al-Qur’an dimana para santri mempelajarinya atas kemauan sendiri tanpa ada paksaan dari kiai atau orang tua santri. c. Pendidikan Al-Qur’an usia dini

Pendidikan Al-Qur’an usia dini ini dikhususkan bagi santri-santri usia dini yang umurnya 4 sampai 5 tahun yang belajar membaca


(62)

52

Qur’an mulai dari pengenalan huruf-huruf hijaiyyah hingga sampai bisa membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar.6

Adapun cara yang digunakan dalam pembelajaran Al-Qur’an usia dini yaitu:

1. Dikenalkan mulai urutan depan seperti contoh:

ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ـھ ء ي

2. Dilanjutkan dengan urutan balik seperti contoh:

ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ف ق ك ل م ن و ـھ ء ي 3. Kemudian dikenalkan dengan perubahan tempat seperti contoh:

ز س ش ص ن و ـھ ء ي خ د ذ ر ا ب ت غ ف ق ث ط ظ ع ض ك ل م ج ح

Cara-cara yang dipakai pada hari-hari berikutnya selalu menggunakan cara yang sama seperti di atas sampai penambahan huruf selesai.7

3. Bidang pendidikan formal

Pendidikan pondok pesantren Mamba’ul Hisan yang dulunya menggunakan sistem sorogan dan sistem bandongan, kini berkembang dengan berdirinya pendidikan formal. Berkat dukungan masyarakat dan wali santri yang menginginkan pendidikan secara formal dipondok pesantren Mamba’ul Hisan baik menganut sistem Departemen Agama maupun Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dari pendidikan keduanya bahwasanya lembaga pesantren mampu mewujudkan

6Ahmad Shodikin, Wawancara, Gresik, 20 juni 2016.

7Makalah Stadium General, Metode Pengajaran Membaca dan Menulis Al-Qur’an: Metode


(63)

53

kehidupan yang seimbang, serta mampu mencetak kader-kader ulama intelektual.

Dengan berkembangnya dibidangpendidikan dipondok pesantren Mamba’ul Hisan, sehingga pada tahun2000 berdirilah pendidikan formal dipondok pesantren Mamba’ul Hisan, diantaranya sebagai berikut:

a. TK Mamba’ul Hisan. b. MI Mamba’ul Hisan. c. MTs Mamba’ul Hisan. d. MA Mamba’ul Hisan.8

B.Bidang sosial

Pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, tempat dimana kita berpijak dan berdirinya tegak dengan kerukunan dan keberagaman di dalamnya. Hingga sampai saat ini, di era modern dan perkembangan zaman pondok pesantren masih eksis untuk berkembang dan telah berusaha untuk memenuhi dirinya meningkatkan fungsi dan peranan sebagai wadah atau tempat membimbing dan memperbaiki akhlak orang-orang Islam yang ada disekitar pondok pesantren serta umat Islam dan manusia pada umumnya. Pondok pesantren selain melakukan peran dan fungsi tradisionalnya juga melaksanakan peran dan fungsi sosial, dengan peran dan fungsi sosial ini


(1)

64

konsep dan pengalaman keagamaan yang menciptakan gaya kepemimpinan yang sama. Gagasan yang mempengaruhi terbentuknya pola-pola ini ditemukan dalam ajaran Islam. Posisi terhormat kiai pada dasarnya berasal dari fakta bahwa Islam menekankan pentingnya pengetahuan yang harus dikejar oleh semua umat Islam. Dalam Al-Qur’an dan Hadits, selalu ditekankan bahwa mencari ilmu adalah bagian penting dari kehidupan umat Islam dan bahwa seorang muslim yang berpengetahuan mempunyai status yang lebih tinggi di hadapan Allah.18


(2)

BAB V Penutup A.Kesimpulan

Sebagai penutup dengan berlandaskan pada uraian-uraian yang telah dikemukakan pada bab diatas, penulis dapat mengambil kesimpulan dan saran sebagai bahan pemikiran menujuh perkembangan pondok pesantren Mamba’ul Hisan Sidayu Gresik adalah sebagai berikut:

1. K.H. Makinun Amin Muhammad lahir di Desa Kauman Kecamatan Sidayu Kabupaten Gresik, pada tanggal 10 bulan agustus tahun 1952. K.H. Makinun Amin Muhammad adalah anak dari seorang ulama, ayah beliau bernama K.H. Muhammad bin Shofwan dan ibunya bernama Nyai Hajjah Ulfa, kedua orang tua beliau adalah orang yang agamis dan taat pada ajaran agama Islam.K.H. Makinun Amin Muhammad merupakan putra kelima dari enam bersaudara yaitu Abdul Muqsith Muhammad, Jazilatur Rohmah Muhammad, Shofiyullah Muhammad, Abdul Hakim Muhammad, Makinun Amin Muhammad, Abdul Ghofur Muhammad. K.H. Makinun Amin Muhammad hidup dilingkungan keluarga yang taat beragama. Sejak kecil beliau dididik ketat oleh kedua orang tuanya untuk menjadi orang yang agamis, berakhlakul karimah, gemar melakukan ibadah dan menjadi orang yang suka membaca Al-Qur’an. Sebagai salah satu pengasuh Pondok Pesantren Mamba’ul Hisan dan juga panutan bagi para santri, beliau selalu mengajarkan perbuatan yang baik dan selalu memegang teguh dalam setiap


(3)

66

amanah. Amanah dalam hal ini adalah santri-santri yang dititipkan oleh orang tuanya di pesantren Mamba’ul Hisan.

2. Perkembangan pondok pesantren Mamba’ul Hisan membawa pengaruh yang sangat signifikan, dilihat dari perkembangan pendidikan yang mulanya hanya berfokus pada pendidikan Al-Qur’an dan mengkaji kitab-kitab klasik kini berkembang dengan adanya pendidikan formal, mulai dari madrasah ibtidaiyyah hingga jenjang madrasah aliyah. Selain itu, dari segi sarana dan prasarana pondok pesantren Mamba’ul Hisan terus melakukan pembangunan, baik untuk fasilitas gedung sekolah dan asrama bagi para santri.

3. Peran yang dilakukukan oleh KH. Makinun Amin Muhammad di pondok pesantren Mamba’ul Hisan dapat dilihat dari segi pendidikan yang ada, yang dulunya pendidikan pondok pesantren hanya menggunakan sistem tradisisonal kini berafilasi ke sistem pemerintah. Dalam bidang sosial beliau juga sangat akrab dan sosialis terhadap masyarakat sekitar, dikalangan masyarakat beliau cukup dikenal seseorang yang alim dan taat kepada agama serta baik dalam berakhlak, selain itu beliau juga dikenal sebagai seseorang yang tidak pernah lepas dari tanggung jawab dan keuletannya dalam mendidik para santrinya ditunjukkan dengan sering diundangnya beliau pada acara-acara yang diselenggarakan masyarakat sebagai penceramah. Selain daripada itu kepercayaan masyarakat dengan menitipkan anak-anaknya untuk dididik dan dibina di pondok pesantren


(4)

67

Mamba’ul Hisan juga menjadi bukti keberhasilan konsep sosialita yang diterapkan oleh KH. Makinun Amin Muhammad.

B.Saran-saran

1. Penulisan skripsi ini menitikberatkan pada peranan KH. Makinun Amin dalam pengembangan pondok pesantren Mamba’ul Hisan Sidayu, dimana dalam pesantren tersebut masih berpegang teguh pada pendidikan Al-Qur’an. Dalam upaya menumbuhkembangkan pondok pesantren yang pada akhir-akhir ini mulai kurang diminati oleh masyarakat karena dianggap ortodoks, maka sebaiknya lebih ditingkatkan lagi dalam segi pendekatan emosional dari tokoh kiai, pengasuh atupun pengurus kepada masyarakat. Selain daripada itu meningkatkan kapasitas promosi juga menjadi salah satu hal yang seharusnya mulai dilakukan, dengan memberi pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya belajar Al-Qur’an ditengah-tengah modernisasi tanpa meninggalkan ilmu pengetahuan umum.

2. Penulis merasa hasil penelitian ini jauh dari sempurna oleh sebab itu, penulis mengharapkan masukan dan kritikan yang bersifat membangun dan memperbaiki dari berbagai pihak sebagai upaya untuk dibaca dan dikaji banyak orang.

3. Penulis juga mengharapkan pesantren-pesantren yang ada di Indonesia khususnya pondok pesantren Mamba’ul Hisan, agar di masa depan pesantren dapat tetap eksis dan tersebar ke segala Nusantara


(5)

66

Daftar Pustaka

Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos, 1999.

Ali, Mukti. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta: Rajawali Press. 1987.

Anhari, Masjkur. Integrasi Sekolah ke Dalam Sisten Pendidikan Pesantren. Surabaya: Diantama, 2007.

Bahtiar, Wahdi. Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah. Jakarta: Logos, 1987. Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah: Pertumbuhan

dan Perkembangannya. Jakarta: 2003.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren. Yogyakarta: LP3ES, 1994. Fanany, Abd Chayyi. Pesantren Anak Jalanan. Surabaya: Alpha. 2008.

Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Terj Alan. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986.

H.E. Badri dan Munawiroh. Pergeseran Literatur Pesantren Salafiyah. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2007.

Halim, A et al. manajemen Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005 Kasdi, Aminudin. Memahami Sejarah. Surabaya: Unesa University Press, 2008. Letak Geografis Sidayu, dalam http://id. Wikipedia.org/wiki/Sidayu_Gresik#

letak_geograsis (25 Mei 2016).

Majalah Dedikasi, “Kanjeng Sepuh Edisi ke-7”, Juni 2015.

Malik, Jamaluddin. Pemberdayaan Pesantren: Menuju Kemandirian dan Prefesionalisme Santri dengan Metode Daurah Kebudayaan. Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara. 2005.


(6)

67

67

Marto, Hasinu Ibnu. Pondok Pesantren Kanak-kanan Mamba’ul Hisan di Kabupaten Gresik (Skripsi Institut Tekhnologi Aditama Surabaya, 1994). Masyhud, Sulthon (ed). Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka,

2005.

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: Inis, 1994. Mukarrom, Ahwan. Sejarah Islamisasi Nusantara. Surabaya: Jauhar, 2009.

Nuryati, Eni. KH. Moch Said: Peranannya Dalam Mengembangkan Pondok Pesantren Al-Hidayah di Desa Tarik Kecamatan Tarik Kabupaten

Sidoarjo. (Skripsi IAIN Sunan Ampel Surabaya 2012).

Pengertian guru, dalam http://zonainfosemua.blogspot.co.id/2014/03/pengertian-guru-menurut-pakar-pendidikan.html, (23 Mei 2016).

Qomar, Mujamil. Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju

Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga, 2005.

Soekamto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo, 1990. Sukamto. Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren. Jakarta: LP3ES. 1999.

Turmudi, Endang. Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan. Yogyakarta: LkiS, 2003. Wahid, Abdurrahman. Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren. Yogyakarta: