Kiprah peran pondok pesantren dalam membentuk soft skill : studi kasus pondok pesantren mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik.

(1)

KIPRAH PERAN PONDOK PESANTREN DALAM MEMBENTUKSOFT

SKILL(STUDI KASUS PONDOK PESANTREN PUTRI MAMBAUS

SHOLIHIN SUCI MANYAR GRESIK)

SKRIPSI

Oleh:

LATIFATUL HIDAYAH

NIM. D01213023

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Latifatul Hidayah, D01213023. Kiprah peran pondok pesantren dalam membentuk soft skill (Studi kasus pondok pesantren putri Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik)

Pembimbing: (1) Dr. H. Abd. Kadir (2) Drs. Mahmudi

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam upaya membimbing, mengayomi dan mendidik anak. Pendidikan seharusnya mampu menghasilkan sumber daya manusia yang tidak hanya terampil dan cerdas namun juga bermoral yakni mempunyai perilaku sopan, disiplin, jujur dan mampu bekerjasama secara baik dengan orang lain.Dalam hal ini menurut penulis pola pendidikan pesantren sangat relevan jika dikaitkan dengan pembentukan moral anak karena melalui pendidikan pondok pesantren ini mereka tidak hanya diajarkan bagaimana menjadi seorang yang berintelektual tinggi namun juga bagaimana menjadi pribadi yang baik dengan pantauan penuh oleh pengasuh dan pengurus pondok pesantren. Apabila seseorang mempunyai moral atau soft skills yang baik maka dia akan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulannya, baik dalam berfikir, bertindak dan berucap.

Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus dan lapangan. Dalam mengumpulkan data menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Untuk analisis data dengan teknik deskriptif analisis yaitu menggambarkan atau menerangkan keadaan yang sebenarnya yang terjadi di lapangan untuk kemudian dianalisis oleh peneliti.

Hasil dari penelitian dalam membentuk soft skill melalui pendidikan pondok pesantren yakni melalui melalui kegiatan keagamaan, pembinaan kedisiplinan, serta sikap saling kerja sama. Sedangkan atribut soft skill santri melipiti taat beribadah, jujur, disiplin, bertanggung jawab, komunikasi yang baik dan sabar.

Faktor pendukung dalam membentuk soft skill santri antara lain peran pengasuh pondok yang selalu mengontrol dan membimbing setiap kegiatan, adanya pengurus yang selalu memberi motivasi dan bimbingan serta antusiasme santri dalam mengikuti kegiatan. Sedangkan faktor penghambatnya antara lain sarana dan prasarana yang kurang memadai serta kurangnya kesadaran dari para santri untuk melaksanakan segala aturan dengan hati yang ikhlas.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM………. i

PERNYATAAN KEASLIAN... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI... iv

MOTTO ...v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR TABEL... xvii

DAFTAR LAMPIRAN... xviii

BAB I: PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Rumusan Masalah ...7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ...7


(8)

F. Definisi Operasional ...10

G. Sistematika Pembahasan ...11

BAB II: KAJIAN TEORI ...13

A. Tinjauan Tentang Pendidikan Pondok Pesantren ...13

1. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren ...13

2. Pengertian Pondok Pesantren ... 17

3. Perkembangan Bentuk Pondok Pesantren ...25

4. Karakteristik Pendidikan Pesantren ...29

a. Materi Pelajaran dan Metode Pengajaran………...29

b. Jenjang Pendidikan………...34

5. Tujuan Pendidikan Pondok Pesantern………...35

B. TinjauanSoft Skill ...41

1. PengertianSoft Skill ...41

2. Macam-macamSoft Skill...43

a. Intrapersonal Skill………...43

1) Time manajement………...43

2) Transforming character………...44

3) Accelerated learning process………...44

b. Interpersonal Skill………...45


(9)

a) Kesadaran Diri………...45

b) Pemahaman situasi social dan etika social...46

2) Social Communication………...47

a) Communication Skill………...47

b) Kemampuan Mendengarkan Efektif……...48

c) Relationship Skill ...48

C. Kiprah Peran Pondok Pesantren dalam MembentukSoft Skill………49

BAB III: METODE PENELITIAN ...53

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian... 53

B. Lokasi Penelitian ...54

C. Sumber dan Jenis Data ...55

1. Sumber Data ...55

2. Jenis Data ...55

a. Jenis Data Berdasarkan Sumbernya ...55

1) Data Internal...55

2) Data Eksternal ...55

b. Jenis Data Berdasarkan Cara Mendapatkannya ... 55

1) Data Primer ...55

2) Data Sekunder ...56


(10)

1. Populasi ...56

2. Tekniksampling………...57

3. Sampel ...57

E. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ...58

1. Teknik Pengumpulan Data ...58

a. Observasi ...59

b. Wawancara ...60

c. Dokumentasi ...61

2. Instrument Penelitian ...61

F. Teknik Analisa Data ...62

1. Reduksi Data ...63

2. Display Data ...64

3. Penyimpulan Data ...65

G. Pengujian Kredibilitas Data ...66

1. Triangulasi ...66

H. Tahap-Tahap Penelitian ...67

BAB IV: PROFIL OBJEK PENELITIAN, PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA ...68

A. Profil Objek Penelitian ...70


(11)

2. Visi, Misi dan Tujuan Pondok Pesantren Mambaus Sholihin ...73

3. StrukturOrganisasi………...74

4. Keadaan Guru dan Santri………...77

5. Fasilitas Madrasah………...79

6. Kegiatan Santriwati Pondok Pesantren Mambaus Sholihin.. ...83

B. Penyajian dan Analisis Data ... 87

BAB V: PENUTUP ...113

A. Kesimpulan ...113

B. Saran ...114

DAFTAR PUSTAKA ...115


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Stuktur Organisasi Pesantren ...75

Tabel 4.2 Jumlah Anggota Santri Marhalah ...77

Tabel 4.3 Jadwal Kegiatan Sehari-hari ...83

Tabel 4.4 Jadwal Kegiatan Khusus ...84


(13)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar mengoptimalkan bakat dan potensi anak untuk memperoleh keunggulan dalam hidupnya. Unggul dalam bidang intelektual, memiliki kecakapan dan anggun sikap moralnya adalah harapan demi mewujudkan manusia yang cerdas dan berkarakter. Pendidikan sebagai proses perkembangan kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan dan disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistik dibuat dan dipakai oleh siapa pun untuk tujuan yang ditetapkan yaitu kebiasaan yang baik. Dalam hal ini proses yang terjadi merupakan suatu kegiatan yang disadari guna mencapai tujuan.

Pada dasarnya dalam dunia pendidikan ada tiga ranah yang harus dikuasai oleh peserta didik yakni ranah kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan). Ranah kognitif berorientasi pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, ranah afektif berkaitan dengan attitude, moralitas spirit dan karakter, sedangkan ranah psikomotorik berkaitan dnegan keterampilan yang sifatnya prosedural dan cenderung mekanis. Dalam realitas pembelajaran usaha untuk menyeimbangkan ketiga ranah tersebut memang selalu diupayakan namun pada kenyataannya yang dominan adalah ranah kognitif (pengetahuan) dan ranah


(14)

2

psikomotorik (keterampilan). Akibatnya adalah peseta didik unggul dalam kemampuan yang sifatnya hard skill namun lemah dalam soft skill nya.1

Berdasarkan undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 pasal 1, pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana suasana belajar dan proses belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak yang mulia serta keterampilan yang berguna bagi dirinya, masyarakat, berbangsa dan bernegara.2

Tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum di dalam pasal 4 UUSPN adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.3

Berdasarkan tujuan pendidikan tersebut maka seseorang dituntut untuk memberikan perubahan pada dirinya. Hal tersebut dapat dilakukan dalam skala kecil diawali dengan suatu proses belajar. Namun proses pembelajaran yang bagaimanakah yang dapat memberikan perubahan tingkah laku atau perubahan kepribadian pada diri

1

http://wawasanedukasi.blogspot.co.id/2014/soft-skilss dan karakter mulia.html?m=1. Diakses pada tanggal 2 Desember 2016

2

Wiji Suwarno, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Jogjakarta: Ar-Ruz, 2006), 21

3

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam ( Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), 200


(15)

3

seseorang? Tingkah laku dalam belajar menurut pandangan modern mengandung pengertian yang luas, meliputi segi jasmaniah (struktural) dan segi rohaniah (fungsional) yang kedua-duanya saling berkaitan dan berinteraksi satu sama lain, pola tingkah laku itu sendiri terdiri dari keterampilan, kebiasaan, emosi, apresiasi, jasmani, hubungan sosial, budi pekerti dan sebagainya. Jadi dilihat dari pengertian di atas bahwa proses belajar adalah perubahan tingkah laku siswa yang secara aktif yang menghasilkan perubahan pada diri individu murid, baik mengenai tingkat kemajuan dalam proses perkembangan intelek khususnya, maupun proses perkembangan psikis, sikap, pengertian, kecakapan, minat, penyesuaian diri.4

Sejalan dengan pengertian di atas, menurut UNESCO, tujuan belajar yang dilakukan oleh peserta didik harus dilandaskan pada 4 pilar yaitu learning how to know, learning how to do, learning how to be dan learning how to live together.

Pilar pertama dan kedua lebih diarahkan untuk membentuk sense of having yaitu bagaimana pendidikan dapat mendorong terciptanya sumber daya manusia yang memiliki kualitas hidup sehingga mendorong sikap proaktif, kreatif dan inovatif di tengah kehidupan bermasyarakat. Dua landasan yang pertama mengandung maksud bahwa proses belajar yang dilakukan peserta didik mengacu pada kemampuan mengaktualkan dan mengorganisir segala pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki masing-masing individu dalam menghadapi segala jenis pekerjaan berdasarkan basis yang dimilikinya (memiliki Hard Skill). Sementara pilar ketiga dan

4


(16)

4

keempat diarahkan untuk membentuk karakter bangsa atau sense of being, yaitu bagaimana harus terus belajar dan membentuk karakter yang memiliki integritas dan tanggung jawab serta memiliki komitmen untuk melayani sesama. Sense of being ini penting karena sikap dan perilaku seperti akan mendidik siswa untuk belajar saling memberi dan menerima serta belajar untuk menghargai serta menghormati perbedaan atas dasar kesetaraan dan toleransi. Dengan kata lain peserta didik memiliki kompetensi yang memungkinkan mereka dapat bersaing untuk memasuki dunia kerja. Dua landasan yang terakhir mengacu pada kemampuan mengaktualkan dan mengorganisir berbagai kemampuan yang ada pada masing-masing individu dalam suatu keteraturan sistematik menuju suatu tujuan bersama. Maksudnya bahwa untuk bisa menjadi seseorang yang diinginkan dan bisa hidup berdampingan bersama orang lain baik di tempat kerja maupun di masyarakat maka harus mengembangkan sikap toleran, simpati, empati, emosi, etika dan unsur psikologis lainnya.

Banyak faktor penyebab menurunnya moralitas remaja diantaranya adalah pengaruh arus globalisasi, kurangnya pendidikan moral sejak dini, pengaruh lingkungan dan kurangnya pengawasan yang ketat dari para orang tua.

Kondisi sosial demikian ini berimplikasi pada kualitas layanan pendidikan yang belum memenuhi standar kualitas yang dipersyaratkan, kualitas pengawalan keluarga terhadap anggota keluarga terhadap etika dan moral melalui pendidikan keluarga cenderung menurun. Berangkat dari keresahan ini mendorong masyarakat intelek khusunya bidang pendidikan ingin memberikan solusi dengan cara


(17)

5

memperkuat pendidikan karakter yang dimulai dari penguatan pendidikan budi pekerti dan pengendalian soft skil.5

Jika dilihat pada realita di atas menurut penulis maka sistem pendidikan yang paling tepat yang dapat membentuk generasi unggul dalam bidang intelek dan moral adalah pendidikan yang terdapat pada pondok pesantren dimana proses belajar dan mengajar di pesantren bukanlah sekedar menguasai ilmu-ilmu keagamaan, melainkan juga proses pembentukan pandangan hidup dan perilaku para santri.

Pendidikan dalam pesantren juga sangat efektif, serta mendapat kontrol yang besar dari pihak pengurus, ustadz, kyai (pendidik) selama 24 jam. Semua kegiatan santri mendapat perhatian dan pengawasan secara intensif. Diisi dengan proses belajar mengajar terus menerus, segala aktivitas dan interaksi juga dilakukan sebagai bagian dari proses pembelajaran.

Dalam hal ini pola pendidikan pesantren sangat relevan jika dikaitkan dengan pembentukan soft skill karena individu dituntut untuk mampu mengatasi segala permasalahan yang timbul sebagai hasil interaksi dengan lingkungan sosial dan mampu menampilkan diri sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku. Oleh karena itu setiap indvidu dituntut untuk menguasai keterampilan-keterampilan sosial dan kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat sekitar.

5


(18)

6

Pondok Pesantren Mambaus Sholihin merupakan salah satu pondok pesantren yang notabene menganut sistem pendidikan salaf modern terdapat pembelajaran kitab kuning dengan metode klasikal dan juga menyelenggarakan pendidikan formal sebagai upaya pengembangan dan tuntutan zaman. Selain itu, Pondok Pesantren Mambaus Sholihin ini juga mengembangkan bahasa Arab dan Bahasa Inggris dengan mewajibkan santri berkomunikasi dengan dua bahasa asing tersebut sebagai bekal hidup di era globalisasi yang menuntut semua orang berperilaku dan bersikap secara internasional tetapi juga tetap memegang agama sebagai pondasi hidup.6

Lembaga pendidikan yang diterapkan di Pondok Pesantren Mambaus Sholihin memiliki peran yang sangat penting untuk membekali generasi muda dalam menghadapi ganasnya arus era globalisasi yang harus dihadapi dengan bijak. Jika tidak, maka dapat merusak generasi. Maka sampai hari ini sistem pendidikan pesantren lah satu-satunya lembaga pendidikan yang ideal bagi generasi bangsa yang ingin tercerahkan baik secara keilmuan dan akhlak.7

Dari wacana di atas, penulis ingin mengetahui lebih jauh tentang bagaimana sistem pendidikan pondok pesantren yang memiliki peran penting dalam membentuk soft skill santri serta bagaimana upaya yang diterapkan di pondok pesantren sehingga nanti menjadi santri yang berkarakter. Hal semacam inilah yang mendasari penulis mengangkat sebuah permasalahan dengan judul “Kiprah peran pondok pesantren

6

http://mambastpos.blogspot.co.id/2014/12/soft skills dan karakter mulia.html?m=1. Diakses pada tanggal 2 Desember 2016

7

http://mambastpos.blogspot.co.id/2014/03mengenal-pondok-pesantren-mambaus.html?m=1. Diakses pada tanggal 2 Desember 2016


(19)

7

dalam membentuk soft skill (Studi Kasus Pondok Pesantren Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik) serta apa saja yang menjadi faktor pendukung dan penghambat dalam pembentukan soft skill santri”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kiprah peran pondok pesantren Mambaus Sholihin dalam membentuk Soft Skill santri di Suci Manyar Gresik?

2. Apa faktor pendukung dan penghambat Pondok Pesantren Mambaus Sholihin dalam membentuk Soft Skill?

C. Tujuan Penelitian

Ada beberapa tujuan yang bisa dirumuskan dari penelitian ini, diantaranya:

1. Untuk mendeskripsikan kiprah peran pondok pesantren Mambaus Sholihin dalam membentuk soft skill santri di Suci Manyar Gresik

2. Untuk menjabarkan faktor pendukung dan penghambat pondok pesantren Mambaus Sholihin dalam membentuk soft skill santri

D. Manfaat penelitian


(20)

8

1. Dilihat dari segi teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wacana tentang Kiprah Peran Pondok Pesantren Mambaus Sholihin dalam membentuk Soft Skill santri dan menambah khazanah keilmuan dan wawasan bagi penulis khusunya dan pembaca pada umumnya.

2. Dilihat dari segi praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi lembaga-lembaga pendidikan terutama pondok pesantren dalam membentuk Soft Skill pada santri dan juga dapat menjadi bahan evaluasi bagi pihak-pihak yang terkait dalam pendidikan.

E. Penelitian Terdahulu

1. Berdasarkan penelitian terdahulu, yaitu penelitian yang dilakukan oleh

“Muhammad Asrofi” dalam penelitiannya yang berjudul “Peran Pondok Pesantren Fadlun Minallah Dalam Menanamkan Pendidikan Karakter Santri di Wonokromo Pleret Bantul”. Dia adalah mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, penelitian ini dilakukan pada tahun 2013. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode analisis deskriptif. Temuan hasil penelitian ini mengenai program-program pendidikan pondok pesantren Fadlun Minallah dalam meningkatkan karakter santri yakni dengan menggunakan metode keteladanan, kedisiplinan, nasehat, pegawasan


(21)

9

2. Berdasarkan penelitian terdahulu, yaitu penelitian yang dilakukan oleh “Wuri Wurdayani” dalam penelitiannya yang berjudul “ Implementasi Pendidikan Karakter Kemandirian di Muhammadiyah Boardhing School (MBS)”. Dia adalah mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, penelitian ini dilakukan pada tahun 2015. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Temuan dalam penelitian menunjukkan hasil bahwa dalam rangka implementasi pendidikan karakter kemandirian MBS memiliki kebijakan untuk membangun kemandirian dalam diri santri baik kemandirian dalam hal belajar, kemandirian mengatur diri pribadi dan kemandirian manajemen waktu selama santri berada di lingkungan MBS. Selain itu dalam upaya implementasi pendidikan karakter kemandirian dalam proses pembelajaran guru menggunakan strategi penugasan yang menuntut santri untuk secara mandiri memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan pesantren, membuat kontrak belajar dan mengintegrasi pendidikan karakter kemandirian dalam proses belajar mengajar di kelas.

3. Berdasarkan penelitian terdahulu, yaitu penelitian yang dilakukan oleh “Kuni Adibah” dalam penelitiannya yang berjudul “Tradisi Pesantren dalam membentuk karakter (Studi lapangan pondok pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta)”. Dia adalah mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, penelitian ini dilakukan pada tahun 2015. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode analisis deskriptif dan hasl


(22)

10

penelitian menunjukkan bahwa tradisi di pondok pesantren Wahid Hasyim diselenggarakan secara terus menerus (kontinyu). Setiap tradisi yang ada di pondok pesantren Wahid Hasyim mempunyai nilai-nilai karakter yang ingin dibangun diantaranya: Nilai karakter terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Nilai karakter terhadap Alam Lingkungan, Nilai karakter terhadap Diri Sendiri, Nilai karakter terhadap keluarga, Nilai karakter terhadap Orang lain, Nilai karakter terhadap Masyarakat dan Bangsa. Pembentukan karakter melalui tradisi di pondok pesantren Wahid Hasyim menggunakan tujuh metode yaitu melalui Belajar dan Mengajar, Keteladanan, Menentukan Prioritas, Praksis Prioritas, Refleksi, Pengkondisian lingungan dan Teguran.

F. Definisi Operasional

1. Kiprah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti aksi, langkah, perbuatan serta sepak terjang

2. Peran adalah tuntutan yang diberikan secara struktural dimana di dalamnya terdapat serangkaian tekanan dan kemudahan yang menghubungkan pembimbing dan mendukung fungsinya dalam mengorganisasi

3. Pondok pesantren sebagai satuan pendidikan luar sekolah merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional yang lebih menekankan aspek moralitas kepada santri karenanya untuk nilai-nilai tersebut diperlukan gemblengan yang matang kepadanya, dan untuk memudahkan itu diperlukan sebuah asrama sebagai tempat tinggal dan belajar di bawah bimbingan seorang kyai. Dalam praktiknya, di samping menyelenggarakan kegiatan pengajaran,


(23)

11

pesantren juga sangat memperhatikan pembinaan pribadi melalui penanaman tata nilai dan kebiasaan di lingkungan pesantren.

4. Soft skill adalah kemampuan yang dimiliki seseorang, yang tidak bersifat kognitif, tetapi lebih bersifat afektif dalam berhubungan dengan diri sendiri dan dengan orang lain yang meliputi bekerjasama dalam berkelompok, disiplin dalam waktu dan perilaku serta bersikap jujur.

G. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dipaparkan dengan tujuan untuk memudahkan pembahasan masalah-masalah dalam penelitian ini. Dan agar dapat dipahami permasalahannya lebih sistematis dan kronologis, maka pembahasan ini akan disusun penulis sebagai berikut:

Bab Pertama, bab ini memuat pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, penelitian terdahulu, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, adalah kajian teori yang berisi pembahasan teoritis dan masalah yang diidentifikasikan tentang konsep pendidikan pondok pesantren yang meliputi: sejarah perkembangan pondok pesantren, pengertian pondok pesantren, tujuan pendidikan pondok pesantren, karakteristik pondok pesantren.

Tinjauan tentang soft skill yang meliputi pengertian soft skill, macam-macam soft skill dan peran pendidikan pondok pesantren dalam membentuk soft skill.


(24)

12

Bab ketiga, bab ini menjelaskan tentang metode penelitian yang digunakan, pendekatan dan jenis penelitian, lokasi penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, uji keabsahan data, teknik analisis data dan tahap-tahap penelitian.

Bab keempat, bab ini memuat gambaran umum Pondok Pesantren Mambaus Sholihin yang berisi sejarah dan perkembangannya, letak dan keadaan geografis, visi misi dan tujuan, struktur organisasi, keadaan guru dan santri, fasilitas pondok, program pendidikan pondok serta kegiatan santriwati pondok pesantren. Dilanjutkan dengan paparan hasil penelitian berupa hasil observasi dan wawancara.

Bab kelima, yakni penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan ini merupakan jawaban dari pokok masalah yang pada bab pertama yang selanjutnya penyusun memberikan sumbang sarannya sebagai refleksi atas realitas yang ada saat ini.


(25)

BAB II KAJIAN TEORI A. Tinjauan Tentang Pendidikan Pondok Pesantren

1. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren

Menelusuri tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan keagamaan islam di Indonesia, termasuk awal berdirinya pondok pesantren tidak terlepas hubungannya dengan sejarah masuknya islam di Indonesia. Pendidikan islam di Indonesia bermula ketika orang-orang yang masuk islam ingin mengetahui lebih banyak ajaran agama baru yang dipeluknya, baik mengenai tata cara beribadah, membaca Al-Quran dan pengetahuan islam yang lebiih luas dan mendalam. Mereka ini belajar di rumah, surau, langgar atau masjid. Di tempat-tempat inilah orang yang baru masuk islam dan anak-anak mereka belajar membaca Al-Quran dan ilmu-ilmu agama lainnya secara individual dan langsung.1

Dalam perkembangannya, keinginan untuk lebih memperdalam ilmu-ilmu agama telah mendorong tumbuhnya pesantren yang merupakan tempat untuk melanjutkan belajar agama setelah tamat belajar di surau, langgar atau masjid. Model pendidikan pesantren ini berkembang di seluruh Indonesia dengan nama dan corak yang sangat bervariasi. Di Jawa disebut pondok pesantren, di Aceh

1

Departeme Agama RI,Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah (Jakarta: Ditpekapontren Ditjen Kelembagaan Agama Islam 2003), 7


(26)

14

dikenal rangkang, di Sumatra Barat dikenal surau. Nama yang sekarang diterima umum adalah pondok pesantren.

Sejarah pendidikan di Indonesia mencatat bahwa pondok pesantren adalah bentuk lembaga pendidikan pribumi tertua di Indonesia. Ada dua pendapat mengenai awal berdirinya pondok pesantren di Indonesia. Pendapat pertama menyebutkan bahwa pondok pesantren berakar pada tradisi islam sendiri dan pendapat kedua mengatakan bahwa sistem pendidikan model pondok pesantren adalah asli Indonesia.

Dalam pendapat pertama ada dua versi, ada yang berpendapat bahwa pondok pesantren berawal sejak zaman Nabi masih hidup. Dalam awal-awal dakwahnya, Nabi melakukannya dengan sembunyi-sembunyi dengan peserta sekelompok orang, di lakukan di rumah-rumah seperti yang tercatat dalam sejarah salah satunya adalah rumah Arqam bin Abu Arqom. Sekelompok orang yang tergolong dalam As Sabiqunal Awwalun inilah yang kelak menjadi perintis dan pembuka jalan penyebaran agama islam di Arab, Afrika dan akhirnya menyebar ke seluruh dunia.

Versi kedua menyebutkan bahwa pondok pesantren mempunyai kata yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyebaran islam di Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat yang melaksanakan amalan-amalan


(27)

15

dzikir dan wirid tertentu. Pemimpin tarekat itu disebut kyai yang mewajibkan pengikutnya melaksanakan suluk selama 40 hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama sesama anggota tarekat dalam sebuah masjid untuk melakukan ibadah-ibadah di bawah bimbingan kyai. Untuk keperluan suluk ini, para kyai menyediakan ruangan khusus untuk penginapan dan tempat memasak yang terdapat d kiri kanan masjid.2

Pendapat kedua mengatakan, pondok pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan pengambil alihan dari sistem pondok pesantren yang diadakan orang-orang Hindu di Nusantara. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa jauh sebelum datangnya islam ke Indonesia, lembaga pondok pesantren pada masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu. Fakta lain yang menunjukkan bahwa pondok pesantren bukan berasal dari tradisi islam adalah tidak ditemukannya lembaga pondok pesantren di negara-negara islam lainnya.

Sebagai suatu sistem, pesantren jauh dahulu lebih muncul bila dibandingkan dengan sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Pesantren mempunyai ciri tersendiri antara lain pesantren tidak menganut sistem klasikal (tidak menggunakan kelas) karena santri tinggal dalam asrama (pondok) dan pengajarannya dilakukan secara penuh 24 jam. Dalam proses pengajaran secara penuh tersebut terjadi suatu proses interaksi antara komponen-komponen dan

2


(28)

16

elemen-elemen dalam satu sistem yang terkait sehingga membentuk satu karakter yang disebut santri, yang mempunyai kepekaan tinggi dalam masalah agama islam. Pengasuh pondok pesantren tidak terlalu mengatur santri tetapi mengasuh dan memberikan bimbingan kepada santri yang paling penting dari pengasuh pondok adalah sosok yang menjadi teladan.

Dengan sistem yang dinamakan pesantren, proses internalisasi ajaran islam kepada santri bisa berjalan secara penuh. Dalam pesantren dengan pimpinan dan keteladanan para kyai dan ustadz serta pengelolaan yang khas akan tercipta satu komunitas tersendiri yang didalamnya terdapat semua aspek kehidupan seperti ekonomi, budaya dan organisasi.

Dalam perkembagan selanjutnya karena dipengaruhi oleh perkembangan pendidikan dan tuntutan dinamika masyarakat tersebut, beberapa pondok pesantren menyelenggarakan pendidikan jalur sekolah (formal) dan kegiatan lain yang bertujuan untuk pemberdayaan potensi masyarakat di sekitarnya.3

Kurikulum yang dipergunakan pondok pesantren dalam melaksanakan pendidikannya tidak sama dengan kurikulum yang dipergunakan dalam lembaga pendidikan formal, bahkan tidak sama antara satu pondok pesantren dengan pondok pesantren lainnya. Pada umumnya, kurikulum pondok pesantren yang menjadi arah pembelajaran tertentu (manhaj) diwujudkan dalam bentuk penetapan kitab-kitab tertentu sesuai dengan tingkatan ilmu pengetahuan santri. Sebenarnya

3


(29)

17

model pembelajaran yang diberikan oleh pondok pesantren kepada santrinya sejalan dengan salah satu prinsip pembelajaran modern yang dikenal dengan pendekatan belajar tuntas (mastery learning) yaitu dengan mempelajari sampai tuntas kitab pegangan yang dijadikan rujukan utama untuk masing-masing bidang ilmu yang berbeda. Akhir pembelajaran dilakukan berdasarkan tamatnya kitab yang dipelajari.

Keragaman model pendekatan kurikuler juga terdapat dalam sistem dan penamaan batasan penjenjangan. Ada yang menggunakan istilah marhalah atau kompetensi tertentu, ada yang menggunakan istilah sanah atau taun, bahkan ada pula yang berjenjang seperti ibtida’i (pemula), tsanawy (lanjutan) dan ‘aly (tinggi).

Selama kurun waktu yang sangat panjang pondok pesantren telah memperkenalkan dan menerapkan beberapa metode pembelajaran seperti wetonan (bendongan), sorogan, hapalan (tahfidz), mudzakarah (musyawarah/munadzarah), halaqah (seminar) dan majlis ta’lim.4

2. Pengertian Pondok Pesantren

Pengertian pondok pesantren terdapat berbagai variasi antara lain: Pondok pesantren adalah lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama islam.5

4

Ibid., 11

5

Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan(Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2005), 82


(30)

18

Pondok pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan kepada satu pengetian. Suku Jawa biasanya menggunakan sebuatan pondok/pesatren dan sering menyebutnya sebagai pondok pesantren, di Sumatera Barat disebut Surau, sedangkan di Aceh disebutMeunasah rangkang dan dayah.6

Menurut Prof. Dr. H. A. Mukti Ali, pondok pesantren adalah tempat untuk menseleksi calon-calon ulama dan kyai. Perkataan “seleksi” dipergunakan dengan pengertian bahwa ulama atau kyai itu tidak bisa dididik, juga tidak bisa dididik oleh pondok pesantren. Tetapi orang menjadi ulama dan kyai itu karena ia memang mempunyai bakat ulama atau kyai itu, dan pondok pesantren adalah tempat untuk menyeleksi orang-orang yang memang sudah mempunyai bakat ulama atau kyai itu.7

Zamakhsarih Dofir juga menegaskan bahwa sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan islam tradisional, di mana para siswanya tinggal bersama dan belajar bersama di bawah bimbingan seorang (lebih) yang lebih dikenal dengan sebutan “kyai”. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam lingkungan komplek pesantren di mana kyai bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar dan kegiatan-kegiatan yang lain. Komplek pesantren ini dikelilingi dengan tembok

6

Haidar Putra Dauly, Historisitasn dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah

(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2001), 36

7


(31)

19

untuk dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlaku.8

Namun demikian perlu dicatat bahwa pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan agama islam memiliki ciri tertentu. Ciri-ciri ini adalah:

a. Kyai

Kyai pada hakikatnya adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang mempunyai ilmu di bidang agama dalam hal ini agama islam. Terlepas dari anggapan kyai sebagai gelar yang sakral, maka sebutan kyai muncul di dunia pondok pesantren.9 Eksistensi pesantren nyaris tidak dapat sepenuhnya lepas dari pembahasan tentang peran kyai. Sebab kyai merupakan leader, dimana pesantren berdialektika dan menggagas peran-peran pentingnya dalam perjalanan sejarah islam nusantara.10

Kyai atau pengasuh pondok pesnatren merupakan elemen yang sangat esesnsial bagi suatu pesantren. Rata-rata pesantren yang berkembang di Jawa dan Madura sosok kyai begitu sangat berpengaruh, karismatik dan berwibawa sehingga amat disegani oleh masyarakat di lingkungan pesantren. Di samping itu, kyai pondok pesantren biasanya juga sekaligus sebagai penggagas dan

8

Zamakhsarih Dhofir, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1994), 44

9

Bahri Gazali,Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2001), 21

10


(32)

20

pendiri dari pesantren yang bersangkutan. Oleh karenanya sangat wajar jika dalam pertumbuhannya pesantren sangat bergantung pada peran seorang kyai. b. Santri

Santri adalah siswa atau murid yang belajar di pesantren. Seorang ulama bisa disebut sebagai kyai kalau memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam pesantren tersebut untuk mempelajari ilmu-ilmu agama islam melalui kitab-kitab kuning. Oleh karena itu eksistensi kyai biasanya juga berkaitan dengan adanya santri di pesantrennya.

Pada umumnya santri terbagi dalam dua kategori. Pertama, santri mukim yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap di pesantren. Santri mukim yang paling lama tinggal (santri senior) di pesantren tersebut biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memegang tanggungjawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Santri senior juga memikul tanggung jawab mengajar santri-santri junior tentang kitab-kitab dasar dan menengah. Dalam sebuah pesantren besar biasanya terdapat santri yang merupakan putra-putra kyai besar dari pesantren lain yang juga belajar di sana. Mereka biasanya memeproleh perlakuan istimewa dari kyai. Santri-santri berdarah inilah yang nantinya akan menggantikan ayahnya dalam mengasuh pesantren asalnya.

Kedua santri kalong yaitu para siswa yang berasal dari desa-desa di sekitar pesantren. Mereka bolak balik dari rumahnya sendiri. Para santri kalong berangkat ke pesantren ketika ada tugas belajar dan aktifitas pesantren


(33)

21

lainnya. Mereka hanya belajar di pesantren dan setelah selesai waktunya mereka pulang ke rumah masing-masing. Apabila pesantren memiliki lebih banyak santri mukim dari pada santri kalong, maka pesantren tersebut adalah pesantren besar. Sebaliknya pesantren kecil memiliki lebih banyak santri kalong dari pada santri mukim.11

Seorang santri lebih memilih menetap di suatu pesantren karena ada tiga alasan. Pertama, berkeinginan mempelajari kitab-kitab lain yang membahas islam secara lebih mendalam langsung di bawah bimbingan seorang kyai yang memimpin pesantren tersebut. Kedua, berkeinginan memperoleh pengalaman kehidupan pesantren, baik dalam bidang pengajaran, keorganisasian maupun hubungan dengan pesantren-pesantren lain. Ketiga, berkeinginan memusatkan perhatian pada studi di pesantren tanpa harus disibukkan dengan kewajiban sehari-hari di rumah. Selain itu dengan menetap di pesantren yang sangat jauh letaknya dari rumah, para santri tidak akan tergoda untuk pulang balik meskipun sebenarnya sangat menginginkannya. c. Pondok atau Asrama

Pondok atau tempat tinggal para santri merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakannya dengan sistem pendidikan lainnya yang berkembang di kebanyakan wilayah islam negara-negara lain. Bahkan sistem pondok ini pula yang membedakan pesantren dengan sistem pendidikan suaru

11


(34)

22

di Minangkabau (Sumatera Barat). Dalam kategori hampir serupa di Afganistan para murid dan guru yang belum menikah tinggal di masjid.

Setidaknya ada beberapa alasan mengapa pesantren harus menyediakan pondok (asrama) untuk tempat tinggal para santrinya. Peratama, kemasyhuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang islam merupakan daya tarik para santri dari jauh untuk menggali ilmu dari kyai tersebut secara terus menerus dalam waktu yang sangat lama. Sehingga untuk keperluan itulah seorang santri harus menetap. Kedua, hampir semua pesantren berada di desa-desa terpencil jauh dari keramaian dan tidak tersedianya perumahan yang cukup untuk menampung para santri, dengan demikian diperlukan pondok khusus. Ketiga, adanya timbal balik antara santri dan kyai, dimana para santri menganggap kyainya seolah-olah seperti bapaknya sendiri, sedangkan kyai memperlakukan santri seperti anaknya sendiri juga. Sikap timbal balik ini menimbulkan suasana keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan secara terus menerus

Selain beberapa alasan di atas, kedudukan pondok juga sangat besar manfaatnya. Dengan sistem pondok santri dapat konsentrasi belajar sepanjang hari. Kehidupan dengan model pondok atau asrama juga sangat mendukung bagi pembentukan kepribadian santri baik dalam tata cara bergaul dan bermasyarakat dengan sesama santri lainnya. Pelajaran yang diperoleh di kelas dapat sekaligus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari di


(35)

23

lingkungan pesantren. Dalam lingkungan pondok inilah para santri tidak hanyahavingtetapibeingterhadap ilmu.12

d. Pengajian

Berdasarkan catatan sejarah, pesantren telah mengajarkan kitab-kitab klasik, khususnya karangan-karangan madzhab Syafi’iyah. Pengajaran-pengajaran kitab kuning berabahasa Arab dan tanpa harakat atau sering disebut kitab gundul merupakan satu-satunya metode yang secara formal diajarkan dalam komunitas pesantren di Indonesia. Pada umumnya, para santri datang dari jauh dari kampung halaman dengan tujuan ingin memperdalam kitab-kitab klasik tersebut baik kitab Ushul Fiqh, Fiqh, Kitab Tafsir, Hadits dan lain sebagainya. para santri biasanya juga mengembangkan keahlian dalam berbahasa Arab (Nahwu dan Shorof) guna menggali makna dan tafsir di balik teks-teks klasik tersebut. Dari keahlian ini mereka dapat memperdalam ilmu-ilmu yang berbasis pada kitab-kitab klasik.

Ada beberapa tipe pondok pesantren misalnya pondok pesantren salaf, khalaf, modern, pondok takhassus al-Quran. Boleh jadi lembaga pondok pesantren mempunyai dasar-dasar ideologi keagamaan yang sama dengan pondok pesantren yang lain, namun kedudukan masing-masing pondok pesantren sangat bersifat personal dan sangat tergantung pada kualitas keilmuan yang dimiliki seorang Kyai.

12

Ahmad Sumpeno, Pembelajaran Pesantren:Suatu Kajian Komparatif, Proyek Pelapontren Depag RI, hal 12


(36)

24

e. Masjid

Seorang kyai yang ingin mengembangkan pesantren pada umumnya yang pertama menjadi prioritas adalah masjid. Masjid dianggap sebagai simbol yang tidak terpisahkan dari pesantren. Masjid tidak hanya sebagai tempat praktek ritual ibadah tetapi juga tempat pengajaran kitab-kitab klasik dan aktifitas pesantren lainnya.

Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme sari sistem pendidikan islam yang pernah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW. Artinya telah terjadi proses berkesinambungan fungsi masjid sebagai pusat kegiatan umat. Tradisi penggunaan masjid sebagai pusat aktifitas kaum muslim diteruskan oleh para sahabat dan khalifah berikutnya. Dimanapun kaum muslimin berada masjid menjadi pilihan ideal bagai tempat pertemuan, musyawarah, pusat pendidikan, pengajian, kegiatan administrasi dan kultural. Bahkan ketika belum ada madrasah dan sekolah yang menggunakan sistem klasikal masjid merupakan tempat paling representif untuk menyelengarakan pendidikan.13

Secara etimologis menurut M. Quraish Shihab, masjid berasal dari bahasa Arab “sajjada” yang berarti patuh, taat serta tunduk dengan penuh hormat dan ta’dhim. Sedangkan secara terminologis masjid merupakan aktifitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah. Upaya

13

DEPAG RI, Pola Pengembangan Pondok Pesantren (Jakarta: Ditpekapontren Ditjen Kelembagaan Agama Islam, 2003), 24


(37)

25

menjadikan masjid sebagai pusat pengkajian dan pendidikan islam berdampak pada tiga hal. Pertama, mendidik anak agar tetap beribadah dan selalu mengingat kepada Allah. Kedua, menanamkan rasa cinta pada ilmu pengetahuan dan menumbuhkan rasa solidaritas sosial yang tinggi sehingga bisa menyadarkan hak-hak dan kewajiban manusia. Ketiga, memberikan ketenteraman, kedamaian, kemakmuran dan potensi-potensi positif melalui pendidikan kesabaran, keberanian dan semangat dalam hidup beragama.

Kendatipun sekarang ini model pendidikan di pesantren mulai dialihkan di kelas-kelas seiring dengan perkembangan sistem pendidikan modern, bukan berarti masjid kehilangan fungsinya. Para kyai umumnya masih setia menyelenggarakan pengajian kitab kuning dengan sistem sorogan dan bandongan atau wetonan di masjid. Pada sisi lain para santri juga tetap menggunakan masjid sebagai tempat belajar karena alasan lebih tenang, sepi, kondusif juga diyakini mengandung nilai ibadah. Jadi pentingnya masjid sebagai tempat segala macam aktifitas keagamaan termasuk juga aktifitas kemasyarakatan karena spirit bahwa masjid adalah tempat yang mempunyai nilai ibadah tadi.14

3. Perkembangan Bentuk Pondok Pesantren

Menyadari bahwa pondok pesantren telah mengalami perkembangan bentuk dan keadaan semula, pada tahun 1979 Menteri Agama mengeluarkan peraturan No. 3 Tahun 1979 yang mengungkapkan bentuk pondok pesantren:

14


(38)

26

a. Pondok pesantren Tipe A yaitu pondok yang seluruhnya dilaksanakan secara tradisional

b. Pondok pesantren Tipe B yaitu pondok yang menyelenggarakan pengajaran secara klasikal (madrasi)

c. Pondok pesantren Tipe C yaitu pondok pesantren yang hanya merupakan asrama sedangkan santrinya belajar di luar

d. Pondok pesantren Tipe D yaitu pondok pesantren yang menyelenggarakan sistem pondok pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau madrasah

Secara umum pesantren dapat diklasifikasikan menjadi dua yakni pesantren salaf atau tradsional dan pesantren khalaf atau modern. Sebuah pesantren disebut pesantren salaf jika dalam kegiatan pendidikannya semata-mata berdasarkan pada pola-pola pengajaran klasik atau lama yakni berupa pengajian kitab kuning dengan metode pembelajaran tradisional serta belum dikombinasikan dengan pola pendidikan modern. Sedangkan pesantren khalaf atau modern adalah pesantren yang disamping tetap dilestarikan unsur-unsur utama pesantren, memasukkan juga ke dalamnya unsur-unsur modern yang ditandai dengan sistem klasikal atau sekolah dan adanya materi ilmu-ilmu umum dalam muatan kurikulum.

Pesantren yang bercorak tradisional ditandai oleh beberapa ciri, yaitu: pertama, menggunakan kitab-kitab klasik sebagai inti pendidikannya. Kedua, kurikulumnya terdiri atas materi khusus pengajaran agama. Ketiga, sistem pengajaran terdiri atas sistem pengajaran individual (sorogan) dan klasikal (bandongan, wetonan


(39)

27

dan halaqoh). Adapun ciri-ciri pesantren yang bercorak khalaf: pertama, kuriulumnya terdiri atas pelajaran agama dan pelajaran umum. Kedua, di lingkungan pesantren dikembangkan tipe sekolah umum. Ketiga, adakalanya tidak mengajarkan kitab-kitab klasik (kitab kuning).15

Di kalangan pondok pesantren sendiri, di samping istilah kitab kuning beredar juga istilah kitab klasik untuk menyebut jenis kitab yang sama. Kitab-kitab tersebut pada umummya tidak diberi harakat/syakal sering juga disebut kitab gundul. Ada juga yang menyebut dengan kitab kuno karena rentang waktu sejarah yang sangat jauh sejak di susun/diterbitkan sampai sekarang.

Dalam tradisi intelektual islam penyebutan istilah kitab karya ilmiah para ulama itu dibedakan berdasarkan kurun waktu atau format penulisannya. Kategori pertama disebut kitab-kitab klasik (Al-Kutub Al-Qadimah) sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab modern (Al-Kutub Al-Ashriyyah). Pengajaran kitab-kitab ini meskipun berjenjang materi yang diajarkan kadang berulang-ulang. Penjenjangan dimaksudkan untuk pendalaman dan perluasan sehingga penguasaan santri terhadap isi/materi menjadi semakin mantap. Inilah salah satu ciri penyelenggaraan pembelajaran di pondok pesantren. Di bawah ini diberikan contoh jenis kitab yang diajarkan berdasarkan tingkatannya sebagai berikut:

15


(40)

28

a. Tingkat Dasar 1) Al-Quran

2) Tauhid :Al-Jawahr Al-Kalamiyyah Ummu Al-Barohim 3) Fiqh :Safinah Al-Sholah, Safinah Al-Naja, Sullam Al

Taufiq, Sullam Al-Munajat

4) Akhlaq :Al-Washaya Al-Abna’, Al-Akhlaq Li Al-Banin Al-Banat

5) Nahwu :Nahw Al-Wadlih Al Ajrumiyyah

6) Sharaf :Al-Amtsilah Al-Tashrifiyyah Matn Al-Bina Wa Al-Asas

b. Tingkat Menengah Pertama

1) Tajwid :Tuhfah Al-Athfal, Hidayah Al-Mustafid, Mursyid Al-Wildan, Syifa’ Al-Rahman

2) Tauhid :Aqidah Al-Awwam, Al-Dina Al-islami

3) Fiqh :Fath al-Qarib (Taqrib), Minhaj Al Qawim Safinah Al Sholah

4) Akhlaq :Ta’lim al Muta’allim

5) Nahwu :Mutammimah, Nazhm ‘Imrithi, Al Makudi, Al ‘Asymawi

6) Sharaf :Nazaham Maksud Al Kailani 7) Tarikh : Nur Al Yaqin

c. Tingkat Menengan Atas

1) Tafsir :Tafsir Al Quran Al Jalalain Al Maraghi

2) Ilmu Tafsir :Al Tibya Fi ‘Ulumu Al Quran, Mabahits Fi Ulumu Al Quran, Manahil Al Irfan

3) Hadits :Al Arbain Al Nawawi, Mukhtar Al Hadits, Bulugh Al Maram, Jawahir Al Bukhari, Al Jami’ Al Shaghir

4) Musthalah Al Hadits:Minhah Al Mughits Al Baiquniyyah

5) Tauhid :Tuhfah Al Murid, Al Husun Al Hamidiyah, Al Aqidah Al Islamiyah,Kifayah Al Awwam

6) Fiqh :Kifayah Al Akhyar

7) Ushul al fIqh :Al Waraqat, Al Sullam, Al Bayan, Al Luma’

8) Nahwu dan Sharaf :Alfiyah Ibnu Malik, Qawaid Al-Lughah Al Arabiyyah, Syarh Ibnu Aqil, Al-Syabrawi, Al-I’lal, I’lal Al Sharf

9) Akhlaq :Minhal Al Abidin, Irsyad Al ‘Ibad

10) Tarikh :Ismam Al Wafaq

11) Balaghah :Al Jauhar Al Maknum d. Tingkat tinggi

1) Tauhid :Fath Al Majid


(41)

29

3) Ilmu tafsir :Al Itqan Fi Ulum Al Quran, Itmam Al Dirayah

4) Hadits : Riyadh Al Shalihin, Al Lu’lu’ WaAl Marjan, Shahih Al Bukhari, Shahih Al Muslim, Tajrid Al Shalih

5) Mushtalah Al Hadits :Alfiyah Al Suyuthi

6) Fiqh :Fath Al Wahhab, Al Iqna’, Al Muhadzdzab, Al Mahalli, Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al -Arba’ah, Bidayah Al Mujtahid

7) Ushul Al Fiqh :Latha’ifa Al Isyarah, Ushul Al Fiqh, Jam’u Al Jawami’, Al Asybah Wa Al Nadhair, Al Nawahib Al Saniyah

8) Bahasa arab :Jami’ Al Durus Al Arabiyah 9) Balaghah :Uqud Al Juman, Al Balaghah Al

Mu’awwanah, Bidyah Al Hidayah 10) Tarikh :Tarikh Tasyri’

Kitab-kitab tersebut pada umumnya dipergunakan dalam pengajian standar oleh pondok-pondok pesantren. Selain yang telah dikemukakan di atas masih banyak kitab-kitab yang dipergunakan untuk pendalaman dan perluasan pengetahuan ajaran islam. Misalnya kitab-kitab sebagai berikut:

a. Dalam bidang Tafsir/Ilmu Tafsir 1) Ma’ani al-Quran

2) Al Basith

3) Al Bahal al Muhih 4) Jami’ al Ahkam al-Quran 5) Ahkam al-Quran

6) Mafatih al Ghaib

7) Lubab an Nuqul fi asbab Nuzul al-Quran 8) AlBurhan fi ‘Ulum al-Quran

9) I’jazal al-Quran b. Dalam bidang Hadits

1) Al Muwaththa’ 2) Sunan al Turmudzi 3) Sunan abu Daud 4) Sunan an Nasa’i 5) Sunan Ibn Najah


(42)

30

6) Al Musnad

7) At Targhib wa al Tarhib 8) Nail al Awthar

9) Subul al Salam c. Dalam bidang Fiqh

1) Al Syarh al Kabir 2) Al Umm

3) Al Risalah 4) Al Muhalla 5) Fiqh al Sunnah

6) Min Taujihah al Islam 7) Al Fatawa

8) Al Mughni Li Ibn Qudamah 9) Al Islam Aqidah Wa Syariah 10) Zaad al Maad

4. Karakteristik Pendidikan Pesantren

Potret pesantren dapat dilihat berbagai sistem pendidikan pesantren secara menyeluruh yang meliputi: materi pelajaran dan metode pengajaran, Jenjang Pendidikan. Masing-masing dapat diuraikan sebagai berikut.

a. Materi pelajaran dan metode pengajaran

Pada dasarnya pesantren hanya mengajarkan ilmu dengan sumber kajian atau mata pelajarannya kitab-kitab yang ditulis atau berbahasa Arab. Sumber-sumber tersebut mencakup al-Quran beserta Tajwid dan Tafsirnya, Aqa’id dan Ilmu Kalam, Fiqh dan Ushul Fiqh, al-Hadits dan Musthalah Hadits, Bahasa Arab dengan seperangkat ilmu alatnya, seperti Nahwu, Sharaf, Bayan, Ma’ani, Badi’ dan ‘Arudh, Tarikh, Manthiq dan Tasawuf. Sumber-sumber kajian ini biasa disebut sebagai “kitab-kitab kuning”.


(43)

31

Metode pembelajaran di pondok pesantren ada yang bersifat tradisional yaitu metode pembelajaran yang diselenggarakan menurut kebiasaan yang telah lama dilaksanakan pada pesantren atau dapat juga disebut sebagai metode pembelajaran asli pondok pesantren. Disamping itu ada pula metode pembelajaran modern yang merupakan metode pembelajaran hasil pembaharuan kalangan pondok pesnatren dengan memasukkan metode yang berkembang pada masyarakat modern walaupun tidak selalu diikuti dengan menerapkan sistem modern yaitu sistem sekolah atau madrasah.

Metode sorogan merupakan suatu metode yang ditempuh dengan cara guru menyampaikan pelajaran kepada santri secara individual, biasanya di samping di pesantren juga dilangsungkan di langgar, masjid atau terkadang malah di rumah-rumah. Penyampaian pelajaran kepada santri secara bergilir ini biasanya dipraktekkan pada santri yang jumlahnya sedikit.

Di pesantren sasaran metode ini adalah kelompok santri pada tingkat rendah yaitu mereka yang baru menguasai pembacaan al-Quran. Melalui sorogan, perkembangan intelektual santri dapat ditangkap kyai secara utuh. Dia dapat memberikan bimbingan penuh kejiwaan sehingga dapat memberikan tekanan pengajaran kepada santri-santri tertentu atas dasar observasi langsung terhadap tingkat kemampuan dasar dan kapasitas mereka. Sebaliknya, penerapan metode sorogan menuntut kesabaran dan keuletan pengajar, santtri dituntut memiliki


(44)

32

disiplin tinggi. Disamping itu aplikasi metode ini membutuhkan waktu yang lama yang berarti pemborosan, kurang efektif dan efisien.

Metode wetonan atau disebut bandongan adalah metode yang paling utama di lingkungan pesantren. Zamakhsyar Dhofier menerangkan bahwa metode wetonan (bandongan) ialah suatu metode pengajaran dengan cara guru membaca, menterjemahkan, menerangkan dan mengulas buku-buku islam dalam bahasa Arab sedang sekelompok santri mendengarkannya. Mereka memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit.

Penerapan metode tersebut mengakibatkan santri bersikap pasif. Sebab kreativitas dalam proses belajar mengajar didominasi ustadz atau kyai, sementara santri hanya mendengarkan dan memperhatikan keterangannya. Dengan kata lain santri tidak dilatih mengeskpresikan daya kritisnya guna mencermati kebenaran suatu pendapat.

Metode sorogan dan wetonan sama-sama memiliki ciri pemahaman yang sangat kuat pada pemahaman tekstual atau literal. Bersamaan dengan penggunaan metode ini berkembang pula tradisi hafalan. Bahkan di pesantren keilmuan hanya dianggap sah dan kokoh bila dilakukan melalui tansmisi dan hafalan, baru kemudian menjadi keniscayaan. Lebih jauh lagi parameter kealiman seseorang dinilai berdasarkan kemampuannya menghafal teks-teks. Dengan begitu tidak


(45)

33

mengherankan jika lulusan pesantren menunjukkan profil penyampaian ilmu agama kepada masyarakat.

Berbeda dengan ketiga metode tersebut, metode muhawarah adalah suatu kegiatan berlatih bercakap-cakap dengan bahasa Arab yang diwajibkan pesantren kepada santri selama mereka tinggal di pondok.16 Frekuensi penerapan metode yang dalam bahasa Inggris disebut conversation ini tidak ada keragaman di kalangan pesnatren. Sebagaian pesantren hanya mewajibkan pada saat-saat tertentu yang terkait dengan kegiatan lain. Sedangkan sebagian pesantren lainnya yang amat terbatas jumlahnya seperti pesantren Mambaus Sholihin mewajibkannya setiap hari. Banyak keuntungan yang dipetik melalui metode ini antara lain: dapat membentuk lingkungan yang komunikatif antaraksi yang menggunakan bahasa asing dan secara kebetulan dapat menambah perbendaharaan kata tanpa hafalan, pesantren yang menerapkan metode ini secara intensif selalu berhasil mengembangkan pemahaman bahasa sebab santri yang bertempat tinggal di asrama sangat mendukung terbentuknya lingkungan yang komunikatif itu.

Di samping metode muhawarah, terdapat metode mudzakarah. Metode mudzakarah merupakan suatu pertemuan ilmiah yang secara spesifik membahas masalah diniyah seperti aqidah, ibadah dan masalah agama pada umumnya. Aplikais metode ini dapat membangkitkan semangat intelektual santri. Mereka

16

Imron Arifin, Kepemimpinan Kiai Kasus Pondok Pesantren Tebuireng (Malang: Kalimasahada Press, 1993), 39


(46)

34

diajak berpikir ilmiah dengan menggunakan penalaran-penalaran yang disandarkan pada al-Quran dan as-Sunnah serta kitab-kitab islam klasik. Namun penerapan metode ini belum bisa berlangsung secara optimal. Ketika santri membahas aqidah dan ibadah khususnya selalu dibatasi pada madzhab tertentu. Dalam materi aqidah atau kalam dibatasi pada paham Asy’ariyah, sedang dalam materi ibadah dibatasi pada pemahaman fiqhiysh Imam Syafi’i.

Materi bahasan dari metode mudzakarah telah mengalami perkembangan sesuai dengan masalah-masalah aktual yang belakangan muncul di masyarakat. Metode ini bahkan diminati kyai yang tergabung dalam forum Bahtsul Masail dengan wilayah pembahasan yang sedikit meluas.

Selain itu terdapat juga metode hapalan dan metode munazharah (diskusi). Yang pertama adalah metode yang melekat pada sistem pendiidkan pesantren dimana cara dan kecenderungan dalam mengkaji dan menyelesakan suatu masalah dengan lebih memperhatikan aspek lahiriyah dari suatu teks. Adapun metode munazharah dimaksudkan sebagai metode penyajian bahan pengajaran dnegan cara santri membahasnya bersama-sama melalui tukar pendapat tentang suatu topik atau masalah tertentu yang ada dalam kitab kuning. Dalam hal ini kyai atau guru bertindak sebagai moderator, fasilitator atau instruktur.17

17

http://amrizalahmad.blogspot.com/2012/03/modernisasi-pendidikan-dalam-pesantren,html. Diakses pada tanggal 25 Desember 2016


(47)

35

Pembahasan selanjutnya berupa meode majelis ta’lim. Metode majelis ta’lim adalah suatu metode menyampaikan ajaran islam yang bersifat umum dan terbuka yang dihadiri jamaah yang memiliki berbagai latar belakang pengetahuan, tingkat usia dan jenis kelamin. Metode ini bukan saja melibatkan santri mukim dan santri kalong tetapi juga masyarakat sekitar pesantren yang memiliki kesempatan untuk mengikuti pengajian setiap hari. Pengajian melalui majelis ta’lim ini dilakukan pada waktu tertentu saja, tidak setiap hari sebagaimana pengajian melalui wetonan maupun bandongan. Pengajian majelis ta’lim ini bersifat bebas dan dapat menjalin hubungan yang akrab antara pesantren dan masyarakat sekitar.18

b. Jenjang pendidikan

Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal. Umumnya kenaikan tingkat seorang santri didasarkan kepada isi mata pelajaran tertentu yang ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajarinya. Apabila seorang santri telah menguasai satu kitab atau beberapa kitab dan telah lulus ujian (imtihan) yang diuji oleh kyainya, maka ia berpindah ke kitab lain yang lebih tinggi tingkatannya. Jelasnya, penjenjangan pendidikan pesantren tidak berdasarkan usia tetapi berdasarkan penguasaan kitab-kitab yang telah ditetapkan dari paling rendah sampai paling tinggi.

18

Mujamil Qomar,Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi


(48)

36

Sebagai konsekuensi dari cara penjenjangan di atas, pendidikan pesantren biasanya menyediakan beberapa cabang ilmu (Fununul ‘Ilm) atau bidang-bidang khusus yang merupakan fokus masing-masing pesantren untuk dapat menarik minat para santri menuntut ilmu di dalamnya. Biasanya keunikan pendidikan sebuah pesnatren telah diketahui oleh calon santri yang ingin mondok. Misalnya, karakteristik Pondok Pesantren Mambaus Sholihin terkenal dengan penguasaan bahasa arab dan bahasa inggris dalam kehidupan sehari-hari.

5. Tujuan Pendidikan Pondok Pesantren

Tujuan pendidikan merupakan bagian terpadu dari faktor-faktor pendidikan. Tujuan termasuk kunci keberhasilan pendidikan, di samping faktor-faktor lainnya yang terkait: pendidik, peserta didik, alat pendidikan dan lingkungan pendidikan. Keberadaan empat faktor ini tidak ada artinya bila tidak diarahkan oleh suatu tujuan. Tak ayal lagi bahwa tujuan menempati posisi yang amat penting dalam proses pendidikan sehingga materi, metode dan alat pengajaran selalu disesuaikan dengan tujuan.

Ironisnya, pesantren sebagai lembaga pendidikan tidak memiliki formulasi tujuan yang jelas, baik dalam tatanan institusional, kurikuler maupun instruksional umum dan khusus. Tujuan yang dimilikinya hanya ada dalam angan-angan. Mastuhu melaporkan bahwa tidak pernah dijumpai perumusan tujuan pendidikan


(49)

37

pesantren yang jelas dan standar yang berlaku umum bagi semua pesantren.19 Pokok permasalahannya bukan terletak pada ketiadaan tujuan melainkan tidak tertulisnya tujuan. Seandainya pesantren tidak memiliki tujuan tentu aktivitas lembaga di pendidikan islam yang menimbulkan penilaian kontroversional ini tidak mempunyai bentuk yang konkret. Proses pendidikan akan kehilangan orientasi sehingga berjalan tanpa arah dan menimbulkan kekacauan. Jadi semua pesantren memiliki tujuan hanya saja tidak dituangkan dalam bentuk tulisan. Akibatnya beberapa penulis merumuskan tujuan itu hanya berdasarkan perkiraan (asumsi) dan atau wawancara semata.20

Sebagai acuan pokok pelaksanaan pendidikan pesantren mengacu pada tujuan terbentuknya pesantren baik tujuan umum maupun tujuan khusus. Tujuan umum pesantren adalah membimbing peserta didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian islam yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi penyampai ajaran islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya. Sedangkan tujuan khusus pesantren adalah mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.

Tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan,

19

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Suatu Kajian tentang unsur dan Nilai sistem pendidikan Pesantren(Jakarta: INIS, 1994), 59

20


(50)

38

berakhlak mulia, bemanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat tetapi rasul yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti sunnah Nabi), mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam berkepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan islam dan kejayaan umat di tengah-tengah masyarakat dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian manusia.21

Tujuan institusional pesantren yang lebih luas dengan tetap mempertahankan hakikatnya dan diharapkan menjadi tujuan pesantren secara nasional pernah diputuskan dalam Musyawarah/Lokakarya Intensifikasi Pengembangan Pondok Pesnatren di Jakarta yang berlangsung pada 2 s/d 6 Mei 1978.

Tujuan umum pesantren adalah membina warga negara agar berkepribadian Muslim sesuai dengan ajaran-ajaran agama islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi kehidupannya serta menjadikannya sebagai orang yang berguna bagi agama, masyarakat dan negara.22

21

Ibid., 55-56

22

Keputusan A, Musyawarah/Lokakarya Intensifikasi Pengembangan Pondok Pesantren


(51)

39

Adapun tujuan khusus pesantren adalah sebagai berikut:

a. Mendidik siswa atau santri anggota masyarakat untuk menjadi seorang Muslim yang bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, memiliki kecerdasan, keterampilan dan sehat lahir batin sebagai warga negara yang berpancasila.

b. Mendidik siswa atau santri untuk menjadikan manusia Muslim selaku kader-kader ulama dan mubaligh yang berjiwa ikhlas, tabah, tangguh, wiraswasta dalam mengamalkan sejarah islam secara utuh dan dinamis.

c. Mendidik siswa atau santri untuk memperoleh kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya dan bertanggungjawab kepada pembangunan bangsa dan negara.

d. Mendidik tenaga-tenaga penyuluh pembangunan mikro (keluarga) dan regional (pedesaan/ masyarakat lingkungannya).

e. Mendidik siswa atau santri agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam berbagai sektor pembangunan khususnya pembangunan mental spiritual. f. Mendidik siswa atau santri untuk membantu meningkatkan kesejahteraan

sosial masyarakta lingkungan dalam rangka usaha pembangunan masyarakat bangsa.

Rumusan tujuan ini adalah yang paling rinci diantara rumusan yang pernah diungkapkan beberapa peneliti di atas, tetapi harapan untuk


(52)

40

memberlakukan tujuan tersebut bagi seluruh pesantren rupanya kandas. Kyai-kyai pesnatren tidak mentransfer rumusan tersebut secara tertulis sebagai tujuan baku bagi pesantrennya kendati orientasi pesantren tidak jauh berbeda dengan kehendak tujuan tersebut.

Semua tujuan yang dirumuskan melalui perkiraan (asumsi), wawancara maupun keputusan musyawarah/lokakarya hanya menyinggung tujuan dalam tataran institusional. Jikan tujuan institusional saja belom diformulasikan secara tertulis apalagi tujuan kurikuler dan tujuan instruksional baik umum maupun khusus. Mungkin belum terlintas dalam bayangan kyai untuk merumuskan kedua tujuan tersebut. Tidak adanya perumusan tujuan pesantren secara tertulis itu agaknya dipengaruhi oleh budaya yang berkembang di pesantren dimana kegiatan menulis terutama penulisan ilmiah belum menjadi tradisi di kalangan kyai, ustadz maupun santri. Mereka lebih condong menjadi bagian dariListening Speaking Society (masyarakat yang suka mendengar dan berbicara) daripada berupaya mewujudkan Reading Writing Society (masyarakat yang gemar membaca dna menulis) sebagai karakter masyarakat yang telah maju.

Dari beberapa tujuan tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan pesantren adalah membentuk kepribadian Muslim yang menguasai ajaran-ajaran islam dan mengamalkannya sehingga bermanfaat bagi agama, masyarakat dan negara.


(53)

41

B. TinjauanSoft Skill

1. Pengertian soft skill

Soft skillmerupakan keterampilan dan kecakapan hidup baik untuk sendiri, berkelompok serta dengan Sang Pencipta.23 Secara lebih rinci Soelistiyowati menjelaskan hakikat dan komponen, serta indikator soft skill. Soft skill adalah suatu kemampuan yang bersifat afektif yang dimiliki seseorang, selain kemampuannya atas penguasaan teknis formal intelektual suatu bidang ilmu, yang memudahkan seseorang untuk dapat diterima di lingkungan hidupnya, soft skill berpengaruh kuat terhadap kesusksesan seseorang dan memperkuat pembentukan pribadi yang seimbang dari segi hard skill. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa soft skill adalah kemampuan yang dimiliki seseorang, yang tidak bersifat kognitif, tetapi lebih bersifat afektif dalam berhubungan dengan diri sendiri dan dengan orang lain yang meliputi bekerjasama dalam berkelompok, disiplin dalam waktu dan perilaku serta bersikap jujur.

Konsep tentang soft skill sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep yang selama ini dikenal dengan istilah kecerdasan emosional (emotional intelligence).24 Yaitu kemampuan mengenali diri sendiri dan perasaan orang lain,

23

Elfindri,Soft Skill Untuk Pendidik(Jakarta: Bodouse Media, 2010), 67

24

Wiwik Yuni Prastiwi,Makalah Pengembangan Soft Skill dan Life Skill Peserta Didik dalam Menghadapi Era Globalisasi, artikel,At:infodiknas.com diakses pada tanggal 25 Desember 2016


(54)

42

kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dalam hubungannya dengan orang lain.25

Soft skill sendiri diartikan sebagai kemampuan diluar kemampuan teknis dan akademis yang lebih mengutamakan pada kemampuan mengelola diri sendiri disebut intrapersonal dan interpersonal yaitu kemampuan dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Dalam teori kompetensi, keahlian intrapersonal diartikan sebagai keinginan untuk memahami orang lain.

Soft Skill adalah istilah sosiologis yang berkaitan dengan EQ (emotional intelegent quotient) kumpulan karakter kepribadian, komunikasi dan kebiasaan pribadi yang menjadi ciri hubungan dengan orang lain. Soft skill melengkapi keterampilan-keterampilan keras (bagian dari seseorang IQ) yang merupakan persyaratan teknis pekerjaan dan kegiatan lainnya.26

Seseorang yang memiliki keterampilan EQ (soft skill) merupakan bagian penting dari kontribusi masing-masing untuk keberhasilan suatu organisasi, komunitas atau dalam pergaulan terutama yang yang berhubungan dengan saling berkorelasi di dalam tata pergaulan di sekolahnya yang face-to-face umumnya lebih berhasil, ketika mereka melatih siswa mereka untuk menggunakan keterampilan ini.

25

Agus Efendi,Revolusi Kecerdasan Abad 21(Bandung:Alfabeta, 2005), 171

26


(55)

43

Istilah soft skill mencakup sekelompok karakter kepribadian, kemampuan bahasa, kebiasaan pribadi dan sikap. Soft skill juga bisa diterjemahkan ke dalam kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu untuk dapat mengembangkan perasaan positif (positive feeling), selalu dan bisa untuk berpikir positif (positive thinking), dan mempunyai kebiasaan positif (positive habits) yang selalu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk orang lain. Dan soft skill sudah melekat pada manusia akan tetapi dengan kadar yang berbeda-beda.

2. Macam-macamsoft skill

Secara garis besar soft skill bisa digolongkan ke dalam dua kategori: intrapersonal dan interpersonal skill.

a. Intrapersonal skill adalah kemampuan memahami diri dan bertindak adaptif berdasarkan pengetahuan tentang diri. Kemampuan berefleksi dan keseimbangan diri serta kesadaran diri tinggi, meliputi27:

1) Time manajement(manajemen waktu)

Konsep manajemen waktu merupakan serangkaian kegiatan untuk dilakukan dalam kurun waktu tertentu. Tantangannya adalah mengelola pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut sedemikian rupa sehingga dapat selsesai dengan kualitas maksimal. Salah satu alat yang digunakan untuk mengelola waktu adalah penjadwalan. Inti dari penjadwalan adalah kita 27


(56)

44

membuat rencana pemanfaatan waktu. Dengan memiliki perencanaan yang baik setidaknya kita memiliki pola yang jelas untuk mengoptimalkan waktu dan mengurangi peluang kita terlupa akan suatu aktifitas.28

2) Transforming character(transformasi karakter)

Menurut bahasa karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut ahli psokologi karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu.

3) Accelerated learning process(teknik belajar cepat)

Pembelajaran Accelerated learning process (pembelajaran yang dipercepat) adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan suatu rangkaian pendekatan praktis dalam upaya meningkatkan hasil pembelajaran dan kondisi yang disukai oleh peserta didik. Accelerated learning process adalah dua kata yang digabung menjadi satu yaitu Accelerated yang berasal dari bahasa Inggris yang mempunyai arti dipercepat dan Learning yang mempunyai arti pembelajaran. Jadi Accelerated learning dari segi bahasa berarti pembelajaran yang dipercepat.29Sedangkan secara terminologi model

28

Adang Surahman,Sukses dengan Soft Skill...h.166

29


(57)

45

pembelajaran Accelerated learning (pembelajaran yang dipercepat) adalah suatu pola yang digunakan dalam pembelajaran yang didesain sedemikian rupa sehingga dapat menggugah kemampuan belajar peserta didik, membuat belajar lebih menyenangkan dan lebih cepat. Cepat, di sini diartikan dapat mempercepat penguasaan dan pemahaman matrei pembelajaran yang dipelajari sehingga waktu yang digunakan untuk belajar lebih cepat. Materi pelajaran yang sulit dibuat menjadi mudah, sederhana atau tidak bertele-tele sehingga tidak menjadi kejenuhan dalam belajar. Karena keberhasilan belajar tidak ditentukan atau diukur lamanya kita duduk untuk belajar tetapi ditentukan oleh kualitas cara belajar kita.30

b. Interpersonal skill adalah kemampuan untuk mengerti dan menjadi peka terhadap orang lain.

1) Social insight yaitu kemampuan seseorang untuk merasakan dan mengamati reaksi-rekasi atau perubahan terhadap orang lain yang ditunjukannya baik secara verbal atau non verbal. Kemampuan ini meliputi:

a) Kesadaran diri

Kesadaran diri adalah komponen kecerdasan emosioanal yang pertama. Kesadaran diri berarti mempunyai satu pemahaman emosi, kekuatan, kelemahan, kebutuhan dan pendorong diri sendiri.

Orang-30


(58)

46

orang dengan kesadaran diri kuat bukan berarti sangat kritis atau pun tidak secara realistis. Namun mereka lebih cenderung jujur dengan diri mereka sendiri dan dengan yang lain-lain.

b) Pemahaman situasi sosial dan etika sosial

Dalam bersosialisasi, seseorang harus memahami kaidah moral ini, ada perbuatan yang harus dilakukan seseorang dan ada pula perbuatan yag harus ditinggalkan olehnya. Ketika sesorang mampu memahami kaidah moral yang ada di dalam maysrakat, maka saat itu seseorang telah megembangkan kecerdasan moral di dalam dirinya. Kecerdasan moral adalah kemampuan individu untuk bersikap, bertindak dan hidup secara benar dengan kesadaran penuh serta mampu menyesuaikan dan memenuhi tuntunan norma-norma dari lingkungan sekitarnya.31

Dalam kehidupan sehari-hari persoalan aturan selalu berkaitan dengan situasi. Setiap situasi menuntut aturannya sendiri. Inilah yang dinamakan etika yaitu kaidah sosial yang mengatur perilaku mana yang harus dilakukan dan perilaku mana yang dilarang untuk dilakukan.

31


(59)

47

2) Social Communication yaitu kemampuan individu untuk menggunakan proses komunikasi dalam menjalin dan membangun hubungan interpersonal yang sehat

a) Communication skill (kemampuan komunikasi)

Komunikasi merupakan sarana yang paling penting dalam kehidupan manusia. Komunikasi merupakan unsur yang mendorong kemajuan peradaban manusia dan tanpa komunikasi peradaban manusia tidak akan berkembang dengan pesat. Melalui komunikasi menjadikan kehidupan manusia berbeda secara signifikan dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Komunikasi tidak diragukan lagi karena merupakan keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap orang yang menginginkan kesuksesan di dalam hidupnya.32

Kemampuan komunikasi akan terbentuk ketika kita membiasakan diri untuk membaca. Banyak membaca akan mempermudah jelas fikiran kita.

Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang disampaikan dengan intonasi disertai dengan perasaan sehingga yang kita sampaikan lawan bicara kita mudah mengikuti alur fikiran kita dan disampaikan tanpa menyinggung perasaan orang lain.

32


(60)

48

b) Kemampuan mendengarkan efektif

Sebuah hubungan komunikasi tidak akan berlangsung baik jika salah satu pihak tidak mengacuhkan sesuatu yang diungkapkannya. Mendengarkan membutuhkan perhatian dan sikap empati sehingga orang merasa dimengerti dan dihargai.

Dari hasil penelitian yang ada menunjukkan bahwa mendengar merupakan kegiatan yang paling banyak memakan waktu setiap harinya dari seluruh aktivitas seseorang. Untuk itu keterampilan mendengarkan yang efektif sangat penting dimiliki seseorang. Karena mendengar merupakan kegiatan komunikasi yang banyak menyita waktu dalam interaksi sosial seseorang.33

c) Relationship skill(kemampuan berhubungan dengan orang lain)

Kebiasaan untuk bekerja secara bersama mesti dilatih mengingat tidak mungkin kita mampu menyelesaikan pekerjaan secara individu. Kelemahan teman kita anggap sebagai sesuatu yang perlu, kita jadikan sebagai keterbatasan manusia. Biasakan diri untuk tidak menyatakan super dalam menangani masalah dalam bekerja.

33


(61)

49

C. Kiprah peran pondok pesantren dalam membentuksoft skill

Pondok pesantren memiliki berbagai peran penting dalam meningkatkan kuliats sumber daya manusia. Seperti yang umumnya diketahui pesantren sebenarnya tidak hanya memberikan pengetahuan dan keterampilan teknis tetapi yang jauh lebih penting adalah menanamkan nilai-nilai moral dan agama. Peran pesantren sebagai lembaga pendidkan yaitu membentuk karakter santri menjadi manusia yang memiliki kedewasaan ilmu, kedewasaan perilaku dan sebagai perkembangan masyarakat. Pendidikan adalah segala kegiatan pembelajaran yang belangsung sepanjang zaman dalam segala situasi kegiatan kehidupan. Pendidikan berlangsung di segala jenis, bentuk dan tingkat lingkungan hidup yang kemudian mendorong pertumbuhan segala potensi yang ada di dalam diri individu. Dengan kegiatan pembelajaran seperti itu, individu mampu mengubah dan mengembangkan diri menjadi semakin dewasa, cerdas dan matang. Jadi singkatnya pendidikan merupakan sistem proses perubahan menuju pendewasaan, pencerdasan dan pematangan diri. Dewasa dalam hal perkembangan badan, cerdas dalam hal perkembangan jiwa dan matang dalam hal berperilaku. Dalam langkah kegiatan pendidikan selanjutnya, ketiga sasaran ini menjadi kerangka pembudayaan kehidupan manusia.34

Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut maka pendidikan dalam pondok pesantren dirasa paling tepat karena telah memiliki pola pembelajaran yang khas, yang terbukti cukup efektif serta dilandasi pendidikan moral yang kuat. Selain itu proses belajar dan mengajar di pesantren bukan hanya sekedar menguasai ilmu-ilmu

34


(62)

50

keagamaan melainkan juga proses pembentukan pandangan hidup dan perilaku para santri.35Terdapat dua belas prinsip yang melekat pada pendidikan pesantren yaitu36:

1. Ikhlas dalam pengabdian

2. Kesederhanaan (sederhana bukan berarti miskin) 3. Kolektifitas (Barakatul Jama’ah)

4. Mengatur kegiatan bersama 5. Kemandirian

6. Tempat menuntut ilmu dan mengabdi (Thalabul ‘Ilmi Lil ‘Ibadah) 7. Kepatuhan terhadap kiai

Sedangkan ciri-ciri pendidikan pesantren dapat didefinisikan sebagai berikut37:

1) Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kyainya. Kiai sangat memperhatikan santrinya. Hal ini dimungkinkan karena mereka sama-sama tinggal dalam satu kompleks dan sering bertemu baik di saat belajar maupun dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan sebagian santri diminta menjadi asisten kyai (khadam)

2) Kepatuhan santri kepada kiai. Para santri menganggap bahwa menentang kiai, selain tidak sopan juga dilarang agama bahkan tidak memperoleh berkah karena durhaka kepadanya sebagai guru

35

M. Sulthon dan Moh. Khusnuridlo,Manajemen Pondok Pesantren dalam Perspektif Global

(Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2006),161

36

Nurcholish Madjid, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga

Pendidikan Islam di Indonesia(Jakarta: PT Grasindo, 2011), 113

37

M. Sulthon Masyhud dan Moh. Khusnurdilo,Manajemen Pondok Pesantren(Jakarta: DIVA PUSTAKA, 2005), 93-94


(63)

51

3) Hidup hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren. Hidup mewah hampir tidak ditemukan di sana. Bahkan sedikit santri yang hidupnya terlalu sederhana atau terlalu hemat sehingga kurang memperhatikan pemenuhan gizi

4) Kemandirian amat terasa di pesantren. Para santri mencuci pakaian sendiri, membersihkan kamar tidurnya sendiri dan memasak sendiri

5) Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan (ukhuwah islamiyah) sangat mewarnai pergaulan di pesantren. Ini disebabkan selain kehidupan yang merata di kalangan santri, juga karena mereka harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang sama seperti shalat berjamaah, membersihkan masjid dan ruang belajar bersama-sama

6) Disiplin sangat dianjurkan. untuk menjaga kedisiplinan ini pesantren biasanya memberikan sanksi-sanksi edukatif

Pondok pesantren harus memiliki target out put yang diharapkan salah satunya ialah prestasi dalam bidang non akademik (non academic acievement) dapat berwujud kemampuan emotional intelligence yang tinggi yang pada akhirnya dapat mendukung keberhasilan dalam aplikasi kemampuan akademik keagamaan, kemampuan akademik umum dan kecakapan hidup yang dimilikinya. Kemampuan tersebut misalnya adalah berupa rasa kasih sayang yang tinggi terhadap sesama, toleransi yang tinggi terhadap sesama, kedisiplinan, kejujuran, kegigihan, keingintahuan yang tinggi dan dapat bekerjasama dengan baik.


(64)

52

Ketika anak masuk kedalam pondok pesantren maka secara tidak langsung mereka belajar arti hidup mandiri berpisah dengan kedua orang tua dan akan lebih banyak berinteraksi dengan orang lain di lingkungan pondok pesantren selain itu program pendidikan telah terjadwal secra terstruktur serta mendapatkan perhatian penuh dari pengasuh serta pengurus pondok pesantren maka dari hal tersebut sedikit banyak santri akan menguasai komponen-komponen pembentuk soft skill. Elfindri mengungkapkan komponen-komponen soft skill yang penting untuk dimiliki antara lain:

1. Taat beribadah

2. Keterampilan berkomunikasi 3. Terbentuknya sikap tanggungjawab 4. Kejujujuran

5. Manajemen waktu

6. Terbiasa bekerja kelompok

Mengintegrasikan atribut soft skill ke dalam pendidikan pondok pesantren berarti memadukan, memasukkan, dan menerapkan nilai-nilai yang sudah diyakini baik dan benar demi membentuk, mengembangkan dan membina kepribadian santri agar sesuai dengan tuntunan agama islam. Tidak semua atribut soft skill harus diimplementasikan secara sekaligus, tetapi atribut soft skill tersebut dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lingkungan pondok pesatren.


(1)

112

kewajibannya untuk membersihkan kamar tanpa harus disuruh terlebih dahulu.

f. Komunikasi yang baik merupakan komunikasi yang disampaikan dengan intonasi disertai dengan perasaan sehingga yang kita sampaikan lawan bicara kita mudah mengikuti alur fikiran kita dan disampaikan tanpa menyinggung perasaan orang lain. Seperti ketika diskusi dalam kegiatan FMK3 ketika santri menyatakan suatu pendapat disertai dengan bahasa yang baik dan sopan dan tidak menjatuhkan pendapat orang lain.


(2)

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

1. Pondok pesantren memiliki berbagai peran penting dalam meningkatkan kuliats sumber daya manusia. Seperti yang umumnya diketahui pesantren sebenarnya tidak hanya memberikan pengetahuan dan keterampilan teknis tetapi yang jauh lebih penting adalah menanamkan nilai-nilai moral dan agama. Peran pesantren sebagai lembaga pendidikan yaitu membentuk karakter santri menjadi manusia yang memiliki kedewasaan ilmu, kedewasaan perilaku dan sebagai perkembangan masyarakat. Selain itu dalam menyelenggarakan kegiatan pengajaran, pesantren juga sangat memperhatikan pembinaan pribadi melalui penanaman tata nilai dan kebiasaan di lingkungan pesantren.

2. Sedangkan faktor pendukung dalam membentuk soft skill santri melalui pendidikan pondok pesantren yang pertama adalah besarnya dukungan dan motivasi yang selalu diberikan oleh para ustadzah dan pengurus dalam melaksanakan kegiatan pondok. Yang kedua adalah peran pengasuh pondok pesantren dalam mengontrol dan membimbing dalam setiap kegiatan selain itu para ustadzah merupakan orang-orang yang mahir dalam bidangnya sehingga memberi kontribusi yang besar dalam meningkatkan soft skill sesuai dengan keahliannya. Adapun yang menjadi penghambat menurut hasil wawancara terletak pada kurangnya fasilitas terkait kegiatan pondok pesantren dan


(3)

114

kurangnya kesadaran dari para santri untuk melaksanakan segala aturan dengan hati yang ikhlas.

B. Saran

Bahwa dalam rangka untuk membentuk soft skill (karakter) santri, maka pengasuh serta pengurus pondok pesantren harus menanamkan nilai kesadaran kepada segenap santri akan kewajibannya selama berada di pondok pesantren karena

soft skill itu sendiri akan lahir apabila seseorang memiliki motivasi yang besar untuk

berubah lebih baik dari sebelumnya. Selain itu, pelayanan fasilitas yang memadai dalam proses setiap kegiatan juga dapat menunjang keterampilan santri atau atribut

soft skill karena apabila program yang telah dibentuk sudah bagus namun fasilitas

yang diberikan kurang memadai dapat menjadi penghambat dalam pembentukan soft


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qohthoni, Musnid bin Muhsin al-Qohthoni, 2006, Seindah Shalat Berjamaah, Terj Effendi Abu Ahmad, Solo: Al-Qowam

Arifin, Imron Arifin, 1993,Kepemimpinan Kiai Kasus Pondok Pesantren Tebuireng,

Malang: Kalimasahada Press

Arifin, M, 1991, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), Jakarta: Bumi Aksara

Arikunto, Suharsimi, 1996, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta

Azwar, Saifuddin, 2004,Metode Penelitian,Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Dauly, Haidar Putr, 2001, Historisitasn dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan

Madrasah,Yogyakarta: PT. Tiara Wacana

Daradjat, Zakiah, 1996, Shalat Menjadikan Hidup Bermakna, Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Departemen Agama RI, 2003, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, Jakarta: Ditpekapontren Ditjen Kelembagaan Agama Islam

Dhofir, Zamakhsarih, 1994,Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES

Efendi, Agus, 2005,Revolusi Kecerdasan Abad 21, Bandung:Alfabeta Elfindri, 2010,Soft Skill Untuk Pendidik,Jakarta: Bodouse Media, 2

Gazali, Bahri Gazali, 2001, Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan,Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya

Hajar, Ibnu, 2009,Kiai di Tengah Pusaran Politik,Jakarta: IRCiSoD

http://amrizalahmad.blogspot.com/2012/03/modernisasi-pendidikan-dalam-pesantren,html. Diakses pada tanggal 25 Desember 2016

http://mambastpos.blogspot.co.id/2014/03mengenal-pondok-pesantren-mambaus.html?m=1. Diakses pada tanggal 2 Desember 2016


(5)

http://mambastpos.blogspot.co.id/2014/12/soft skills dan karakter mulia.html?m=1. Diakses pada tanggal 2 Desember 2016

http://wawasanedukasi.blogspot.co.id/2014/soft-skilss dan karakter mulia.html?m=1. Diakses pada tanggal 2 Desember 2016

Iskandar, 2000,Metode Penelitian Kualitatif,Jakarta: Rineka Cipta

Keputusan A, 1978, Musyawarah/Lokakarya Intensifikasi Pengembangan Pondok

Pesantren, Jakarta: PPBKPP

Kholil, Syukur, 2006, Metodologi Penelitian Komunikasi, Bandung: Cita Pustaka Media

Madjid, Nurcholish, 2011, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan

Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia,Jakarta: PT Grasin

Mastuhu, 1994, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Suatu Kajian tentang unsur

dan Nilai sistem pendidikan Pesantren,Jakarta: INS

Masyhud, M. Sulthon dan Moh. Khusnurdilo, 2005,Manajemen Pondok Pesantren,

Jakarta: DIVA PUSTAKA

Moelong , Lexy J., 2009, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Nasir, Ridlwan, 2005, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok Pesantren

di Tengah Arus Perubahan,Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset

Nasution, 1996,Metode Research,Jakarta : Bumi Aksara

Qomar, Mujamil, 2002, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju

Demokratisasi Institusi,Jakarta: Erlanga

Ralibi, Imam Malik, 2008,Fun Teaching,Cikarang: Duha Hasanah Safaria, 2005,Interpersonal Intelligence, Yogyakarta: Amara Books Sagala, Syaiful, 2013,Etika dan Moralitas Pendidikan, Bandung: Kencana Salim, Syahrun, 2011,Metodologi Penelitian, Bandung: Citapustaka Media


(6)

Shalahuddin, Mahfudh Shalahuddin, 1987, Metodologi Pendidikan Agama,

Surabaya: PT. Bina Ilmu

Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Pendekatan Kuantitaif, Kualitatif dan R & D, Bandung: ALFABETA

Suhartono, Suparlan Suhartono, 2007, Filsafat Pendidikan, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media

Sulthon, M. dan Moh. Khusnuridlo, 2006, Manajemen Pondok Pesantren dalam

Perspektif Global,Yogyakarta: LaksBang PRESSindo

Sumpeno, Ahmad, Pembelajaran Pesantren:Suatu Kajian Komparatif, Proyek Pelapontren Depag RI

Surahman, Adang, 2005,Sukses dengan Soft Skill, Bandung: Direktorak ITB

Suryabrata, Sumadi, 1998,Metodelogi Penelitian, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Sutopo, 2006,Metode Penelitian Kualitatif,Surakarta:UNS Press

Sutrisno, 2005,Revolusi Pendidikan Di Indonesia,Yogyakarta: Ar-Ruz Media Suwarno, Wiji Suwarno, 2006,Dasar-dasar Ilmu Pendidikan,Jogjakarta: Ar-Ruz Tafsir, Ahmad, 1994, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja

Rosdak

Wiwik Yuni Prastiwi,Makalah Pengembangan Soft Skill dan Life Skill Peserta Didik

dalam Menghadapi Era Globalisasi, artikel,At:infodiknas.com diakses pada