BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menghasilkan suatu produk dan jasa yang dapat dipasarkan dan dapat mencapai tujuan sesuai dengan apa yang diharapkan perusahaan, maka
perusahaan tersebut harus beroperasi dengan cara mengkombinasikan antara sumber daya-sumber daya yang ada. Sumber daya tersebut bisa berupa modal,
manusia, dan mesin. Apabila semua sumber daya tersebut dapat dikelola dengan baik maka akan dapat mempermudah perusahaan tersebut dalam mencapai
tujuannya. Menurut Ekowati 2009 salah satu peran yang dimainkan departemen
sumberdaya manusia dalam mencapai tujuan tersebut adalah “ employee champion “, dimana para manajer sumber daya manusia melakukan pengelolaan
kontribusi bagi karyawannya. Dalam paradigma yang memandang sumber daya manusia sebagai modal intelektual organisasi, departemen sumber daya manusia
memiliki peran yang sangat penting dalam membangun dan meningkatkan nilai sumber daya manusia. Manajer sumber daya manusia perlu mengembangkan
program yang mampu mengkaitkan kontribusi karyawan dengan kesuksesan organisasi. Untuk itu perlu diciptakan integrasi yang kuat antara karyawan dan
organisasi. Menurut Paul F. Buller dalam Ekowati, 2009 dikatakan bahwa
kesuksesan organisasi dapat dilihat melalui partnership yang baik antara sumber
Universitas Sumatera Utara
daya manusia dan perencanaan strategis yang dilakukan oleh organisasi. Implikasi peran departemen sumber daya manusia sebagai pejuang karyawan dapat
ditunjukkan dengan menciptakan kualitas kehidupan kerja yang mendorong karyawan memaksimalkan kontribusinya pada pencapaian sasaran organisasi. Hal
ini dilakukan dengan membangun berbagai praktik pengelolaan yang memberikan kesempatan pengembangan secara adil bagi setiap individu yang bekerja. Adapun
efektivitas dari program ini yaitu mampu mengurangi permasalahan yang dihadapi oleh sebagian organisasi saat ini.
Akan tetapi, dalam prakteknya belum banyak perusahaan menerapkan kualitas kehidupan kerja karyawan sebagai salah satu misinya dalam
mengembangkan sumber daya. Pihak manajemen masih lebih memperhatikan kepentingan dalam pencapaian tujuan perusahaan dibandingkan kepentingan
karyawan Kossen, 1986. Pada prinsipnya kualitas kehidupan kerja karyawan perlu diciptakan oleh organisasi untuk memberikan keseimbangan pada karyawan
dalam melaksanakan pekerjaan dan kehidupan pribadi. Program kualitas kehidupan kerja karyawan ini dilakukan karena beberapa alasan yaitu organisasi
memiliki tujuan untuk memikat, memotivasi dan mempertahankan karyawan yang memiliki kompetensi sesuai harapan.
Kualitas kehidupan kerja merupakan terminologi yang digunakan untuk merefleksikan perasaan pekerja terhadap hubungan antara pekerjaan dan
lingkungan pekerjaan. Menurut Jewell dan Siegel 1998 lingkungan kerja yang mendukung dapat meningkatkan kinerja karyawan. Lingkungan kerja yang
kondusif tersebut antara lain suasana kerja yang nyaman dan hubungan atasan dan
Universitas Sumatera Utara
bawahan yang baik. Selain lingkungan yang kondusif, ada berbagai macam komponen dari kesejahteraan karyawan juga yang secara umum sangat penting
diperhatikan yaitu lingkungan kerja yang aman dan sehat, hubungan yang baik dengan supervisor, dukungan dan persahabatan rekan sekerja, kerja yang sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan individu, derajat kepuasan dengan situasi kerja dan kesempatan untuk bertumbuh dan pengembangan diri jika diperlukan.
Istilah yang digunakan untuk menjelaskan hasil interaksi individu, pekerjaan, organisasi global dan multidimensi ini adalah kualitas kehidupan kerja.
Kualitas kehidupan kerja merupakan tingkat kepuasan, motivasi, keterlibatan, dan pengalaman komitmen perseorangan mengenai kehidupan
mereka dalam bekerja. Dimana filosofi ini bertujuan meningkatkan martabat karyawan, memperkenalkan perubahan budaya, memberikan kesempatan
pertumbuhan dan pengembangan Gibson dalam Ekowati, 2009. Menrut Lau May 1998 kualitas kehidupan kerja didefinisikan sebagai strategi tempat kerja
yang mendukung dan memelihara kepuasan karyawan dengan tujuan untuk meningkatkan kondisi kerja karyawan dan organisasi serta keuntungan untuk
pemberi kerja. Sedangkan menurut Walton dalam Kossen, 1986 mendefinisikan kualitas kehidupan kerja sebagai persepsi karyawan terhadap suasana dan
pengalaman pekerja di tempat kerja mereka. Suasana pekerjaan yang dimaksudkan adalah berdasarkan kepada delapan
aspek, yaitu kompensasi yang mencukupi dan adil, kondisi-kondisi kerja yang aman dan sehat, kesempatan untuk mengembangkan dan menggunakan kapasitas
manusia, peluang untuk pertumbuhan dan mendapatkan jaminan, integrasi sosial
Universitas Sumatera Utara
dalam organisasi pekerjaan, hak-hak karyawan, pekerja dan ruang hidup secara keseluruhan, dan tanggung jawab sosial organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa
pentingnya suatu penghargaan kepada sumber daya manusia di lingkungan kerja Luthan dalam Ekowati, 2009. Sehingga penghargaan yang diberikan oleh
perusahaan tersebut akan membentuk persepsi karyawan menjadi lebih baik terhadap rasa aman, rasa puas, dan kesempatan untuk bertumbuh di dalam
pekerjaannya Wayne dalam Ekowati, 2009. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 2 menetapkan bahwa ”Setiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Menurut Dr. Muznni Tambusai dalam Tjandra, 2002, maksud
dari pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah pekerjaan yang bersifat manusiawi, yang memungkinkan karyawan berada dalam kondisi selamat dan
sehat, bebas dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Data menunjukkan bahwa kasus kecelakaan kerja yang mengalami kenaikan yang terjadi di Jakarta, sejak
2003 sampai triwulan pertama 2004 tercatat terjadi 20.937 kasus kecelakaan kerja, atau 49 kasus perhari. Dari jumlah itu, 5 korban di antaranya meninggal dunia.
Namun sampai Agustus 2004, jumlah kecelakaan kerja menggelembung hingga 86.880 kasus, atau 143 kasus perhari. Suara Merdeka, 30 Nov 2005. hal 5.
Menurut perkiraan ILO 2004, setiap tahun di seluruh dunia 2 juta orang meninggal karena masalah-masalah akibat kerja. Dari jumlah ini, 354.000 orang
mengalami kecelakaan fatal. Disamping itu, setiap tahun ada 270 juta pekerja yang mengalami kecelakaan akibat kerja dan 160 juta yang terkena penyakit
akibat kerja.
Universitas Sumatera Utara
Awal tahun 2007, angka kecelakaan kerja di Indonesia menempati peringkat 52 dari 53 negara di dunia. Data 2007 menyatakan, jumlah kecelakaan
kerja sebanyak 65.474 kasus dengan meninggal 1.451 orang, cacat tetap 5.326 orang dan sembuh tanpa cacat 58.697 orang. Tingkat pelanggaran peraturan
perundangan ketenagakerjaan tahun 2007 sebanyak 21.386 pelanggaran http:koranindonesia.com2008040165474-kecelakaan-kerja-terjadi-sepanjang
-2007. Menurut data PT Jamsostek, pekerja yang meninggal dunia karena kecelakaan pada tahun 2008 mencapai 2.124 orang. Jumlah pekerja yang
meninggal itu merupakan peningkatan dari tahun 2007 yang mencapai 1.883 orang dan pada tahun 2006 sebanyak 1.597 orang. Sedangkan pada tahun 2005
mencapai 2.045 orang. Sementara angka kasus kecelakaannya tertinggi dalam empat tahun terakhir, yakni 99.023 pekerja. Kasus kecelakaan kerja pada tahun
2008 sebanyak 93.823 orang, dengan jumlah pekerja yang sembuh 85.090 orang, sedangkan yang cacat total 44 orang. Selain itu, menurut data Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Depnakertrans, sepanjang tahun 2009 telah terjadi sebanyak 54.398 kasus kecelakaan kerja di Indonesia. Angka tersebut menurun
sejak 2007 yang sempat mencapai 83.714 kasus dan pada 2008 sebanyak 58.600 kasus.
Meskipun angka kasus kecelakan kerja terus menurun hingga tahun 2009, namun fakta ini menunjukkan bahwa resiko pekerja atau individu dalam
melakukan tugas mereka “terancam” keselamatan dan kesehatannya. Mengamati data kecelakaan di atas terlihat bahwa Keselamatan dan Kesehatan Kerja K3
pada karyawan belum berjalan dengan baik. Jurnal Psikologi tahun 2001
Universitas Sumatera Utara
menyatakan bahwa dengan terjaminnya K3 oleh perusahaan maka ini akan menciptakan rasa nyaman dan rasa memiliki sense of belonging di perusahaan
tersebut. Silalahi 1995 mengatakan bahwa program K3 selain untuk mengurangi dan mencegah kecelakaan serta penyakit akibat kerja, juga bertujuan untuk
menciptakan kondisi kerja yang aman dan sehat. Kondisi-kondisi kerja yang aman dan sehat ini tergolong dalam beberapa aspek pada kualitas kehidupan kerja,
dimana individu tidak ditempatkan kepada keadaan yang dapat membahayakan fisik dan kesehatan mereka, waktu kerja mereka juga sesuai dengan jadwal yang
telah ditetapkan. Begitu juga umur adalah sesuai dengan tugas yang dipertanggungjawabkan kepada mereka Walton dalam Kossen, 1986. Oleh
karena itu, aspek ini harus menjadi perhatian bagi setiap perusahaan agar meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja bagi karyawan.
Keselamatan dan kesehatan kerja K3 merupakan suatu upaya untuk menciptakan suasana bekerja yang aman, nyaman, dan tujuan akhirnya adalah
mencapai produktivitas setinggi-tingginya. Ditinjau dari segi keilmuan, K3 dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan dan penerapannya guna mencegah
kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit yang disebabkan oleh pekerja di lingkungan kerja Manulang, 1990.
Suma’mur 1993 mengatakan kesehatan kerja adalah spesialisasi dalam ilmu kesehatan beserta prakteknya yang bertujuan agar pekerja memperoleh
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya baik fisik, mental, maupun sosial, dengan usaha preventif dan kuratif terhadap penyakit-penyakit atau gangguan-
gangguan kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan
Universitas Sumatera Utara
kerja serta terhadap penyakit umum. Sedangkan keselamatan kerja bertalian dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan, dan proses pengolahannya, landasan
tempat kerja, dan lingkungan serta cara-cara melakukan pekerjaan, dengan kata lain keselamatan adalah kemampuan untuk mengidentifikasikan dan
menghilangkan atau mengontrol resiko yang tidak bisa diterima. Hal utama yang membuat karyawan tidak nemerima resiko dalam
pekerjaannya adalah tingkat bahaya yang akan diterima oleh karyawan tersebut, karena bahaya merupakan suatu keadaan yang berpotensi untuk terjadinya
kecelakaan dan kerugian. Menurut Setyawati Djati 2008 secara umum terdapat dua golongan penyebab kecelakaan yaitu 1 tindakan atau perbuatan
manusia yang tidak memenuhi keselamatan unsafe human acts dan 2 keadaan lingkungan yang tidak aman unsafe condition. Dari beberapa penelitian yang
telah dilakukan, faktor manusia menempati posisi yang sangat penting terhadap terjadinya kecelakaan kerja yaitu antara 80-85 Suma’mur, 1993. Salah satu
faktor penyebab utama kecelakaan kerja yang disebabkan oleh manusia adalah stress dan kelelahan fatigue. Kelelahan kerja memberi kontribusi 50 terhadap
terjadinya kecelakaan kerja Setyawati, 2007. Menurut Nurmianto 2005, kelelahan kerja akan menurunkan kinerja dan
menambah tingkat kesalahan kerja. Meningkatnya kesalahan kerja akan memberikan peluang terjadinya kecelakaan kerja dalam industri. Maka dari itu,
perusahaan harus lebih berhati-hati akan terjadinya kelelahan bagi karyawan. Kata kelelahan fatigue menunjukkan keadaan yang berbeda–beda, tetapi semuanya
berakibat kepada pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh Suma’mur,
Universitas Sumatera Utara
1996. Kelelahan juga merupakan mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh menghindari kerusakan lebih lanjut, sehingga terjadilah pemulihan Grandjen,
1988. ILO 2003 mengatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi
terjadinya kelelahan kerja antara lain adanya monotoni pekerjaan; adanya intensitas dan durasi kerja mental serta fisik yang tidak proporsional; faktor
lingkungan kerja, cuaca dan kebisingan; faktor mental seperti tanggung jawab, ketegangan dan adanya konflik-konflik; serta adanya penyakit-penyakit, kesakitan
dan nutrisi yang tidak memadai. Sedangkan Grandjen 1988 mengatakan kelelahan kerja dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kelelahan otot
muscular fatigue dan kelelahan umum general fatigue. Gejala utama kelelahan umum adalah suatu perasaan letih yang luar biasa. Semua aktivitas menjadi
terganggu dan terhambat karena munculnya gejala kelelahan tersebut. Tidak adanya gairah untuk bekerja baik secara fisik maupun psikis, segalanya terasa
berat dan merasa “ngantuk”. Kelelahan umum biasanya ditandai berkurangnya kemauan untuk bekerja yang disebabkan oleh monotoni, intensitas dan lamanya
kerja fisik, keadaan dirumah, sebab- sebab mental, status kesehatan dan keadaan gizi.
Sesuai penjelasan di atas Budiono, dkk 2003 mengatakan bahwa kelelahan merupakan suatu perasaan yang bersifat subyektif sehingga mengarah
pada kondisi melemahnya tenaga untuk melakukan suatu kegiatan. Perasaan yang bersifat subyektif merupakan suatu perasaan psikis yang tidak dapat disamakan
dengan gejala mengenal, pengamatan, fikiran dan sebagainya. Oleh sebab itu,
Universitas Sumatera Utara
perasaan erat hubungannya dengan pribadi seseorang, maka tanggapan perasaan seseorang terhadap sesuatu tidak sama dengan tanggapan perasaan orang lain
terhadap hal yang sama. Gejala perasaan tidak berdiri sendiri, melainkan bersangkut paut dengan gejala-gejala jiwa yang lain bahkan perasaan dengan
keadaan tubuh juga merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan Ahmadi, 2003.
Hal ini dipertegas oleh Grandjen 1988 yang mengatakan bahwa kelelahan disebabkan oleh faktor fisik fisiologis dan tekanan mental
psikologis. Kelelahan fisiologis yaitu kelelahan yang disebabkan oleh faktor lingkungan fisik ditempat kerja, antara lain: kebisingan, suhu. Sedangkan
kelelahan psikologis disebabkan oleh faktor psikologis konflik- konflik mental, monotoni pekerjaan, bekerja karena terpaksa, pekerjaan yang bertumpuk-tumpuk.
Sedangkan menurut Suma’mur 1996, kelelahan yang disebabkan tekanan mental yaitu karena adanya perasaan lelah yang dialami oleh karyawan selama mereka
bekerja. Keadaan dan perasaan lelah yang timbul dikarenakan adanya reaksi fungsional dari pusat kesadaran cortex cerebri yang atas pengaruh dua sistem
antagonistic yaitu sistem penghambat inhibisi dan sistem penggerak aktivasi. Apabila sistem penggerak lebih kuat dari sistem penghambat, maka keadaan
orang tersebut ada dalam keadaan segar untuk bekerja. Sebaliknya, apabila sistem penghambat lebih kuat dari sistem penggerak maka orang akan mengalami
kelelahan. Itulah sebabnya, seseorang yang sedang lelah dapat melakukan aktivasi secara tiba-tiba apabila mengalami sesuatu peristiwa yang tidak terduga
ketegangan emosi. Demikian juga kerja yang monoton bisa menimbulkan
Universitas Sumatera Utara
kelelahan walaupun beban kerjanya tidak seberapa. Hal ini disebabkan karena sistem penghambat lebih kuat dari pada sistem penggerak Satalaksana, 1979.
Jika hal ini terjadi maka para karyawan akan rentan mengalami kecelakaan di tempat kerja.
Wicken, et al. 2004 mengatakan bahwa gangguan tidur sleep distruption dapat menyebabkan kelelahan, yang antara lain dapat dipengaruhi
oleh kekurangan waktu tidur dan gangguan pada circadian rhythms akibat jet lag atau shift kerja. Menurut Nurmianto 2005 kelelahan circadian yang disebabkan
oleh irama kerja siang atau malam dapat mengakibatkan fungsi tubuh bervariasi baik pada manusia maupun hewan berfluktuasi dalam perputaran 24 jam, yang
disebut juga sebagai circadian rhythm. Circadian dalam fungsi tubuh menunjukkan peningkatan pada siang hari dan menurun pada malam hari, seperti
suhu tubuh, denyut jantung, tekanan darah, volume pernafasan, produksi adrenalin, kemampuan mental, ekskresi, dan kapasitas fisik Grandjean, 1988.
Fungsi tubuh yang mengalami gangguan dapat mempengaruhi perasaan seseorang. Hal ini dipertegas oleh Ahmadi 2003 bahwa respon-respon tubuh
terhadap perasaan dapat terwujud dalam bentuk mimik wajah, pantomimik, dan gejala pada tubuh seperti denyut jantung bertambah cepat, muka pucat, dan lain
sebagainya. Sejumlah gejala tersebut manifestasinya timbul berupa keluhan oleh tenaga kerja dan seringnya tenaga kerja tidak masuk kerja. Ini diakibatkan oleh
menurunnya kinerja jasmani dan rohani yang dialami oleh karyawan Budiono, dkk., 2003.
Universitas Sumatera Utara
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa karyawan yang bekerja pada shift malam memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami kecelakaan kerja
dibandingkan mereka yang bekerja pada shift normal shift pagi. Sharpe 2007 menyatakan bahwa pekerja pada shift malam memiliki resiko 28 lebih tinggi
mengalami cidera atau kecelakaan. Josling dalam Nurmianto, 2005 dalam artikelnya yang berjudul ‘Shift Work and Ill-Health’ mempertegas anggapan
tersebut dengan menyebutkan hasil penelitian yang dilakukan oleh The Circadian Learning Center di Amerika Serikat yang menyatakan bahwa para karyawan shift,
terutama yang bekerja di malam hari, dapat terkena beberapa permasalah kesehatan, antara lain gangguan tidur, kelelahan, penyakit jantung, tekanan darah
tinggi, dan gangguan gastrointestinal. Segala gangguan kesehatan tersebut jika ditambah dengan tekanan stress yang besar dapat secara otomatis meningkatkan
resiko terjadinya kecelakaan pada para karyawan shift malam. Cara mengatasi permasalahan ini, perusahaan harus merancang shift kerja
dengan sedemikianrupa agar mengurangi terjadinya kecelakaan kerja pada karyawan. Biasanya perusahaan yang berjalan secara kontiniu yang menerapkan
aturan shift kerja. Sistem shift merupakan suatu sistem pengaturan kerja yang memberi peluang untuk memanfaatkan keseluruhan waktu yang tersedia untuk
mengoperasikan pekerjaan Muchinsky, 1997. Sedangkan menurut Landy dalam Muchinsky, 1997, jadwal kerja shift adalah adanya pengalihan tugas atau
pekerjaan dari satu kelompok karyawan pada kelompok karyawan yang lain. Pigors dan Myers dalam Aamodt, 1991, mengatakan shift kerja adalah suatu
Universitas Sumatera Utara
alternatif untuk memperpanjang jam kerja bagi kehadiran karyawan bila itu dibutuhkan untuk meningkatkan hasil produksi.
Kesimpulan dari beberapa definisi di atas adalah, bahwa shift kerja merupakan sistem pengaturan waktu kerja yang memungkinkan karyawan
berpindah dari satu waktu ke waktu yang lain setelah periode tertentu, yaitu dengan cara bergantian antara kelompok kerja satu dengan kelompok kerja yang
lain sehingga memberi peluang untuk memanfaatkan keseluruhan waktu yang tersedia untuk mengoperasikan pekerjaan.
Pelaksanaan dari shift itu sendiri adalah dengan cara bergantian, yakni karyawan pada periode terntentu bergantian dengan karyawan pada periode
berikutnya untuk melakukan pekerjaan yang sama. Karyawan yang bekerja pada waktu normal digunakan istilah diurnal, yaitu individu atau karyawan yang selalu
aktif pada waktu siang hari atau setiap hari. Sedangkan karyawan yang bekerja pada waktu malam hari digunakan istilah nocturnal, yaitu individu atau karyawan
yang bekerja atau aktif pada malam hari dan istirahat pada siang hari Riggio, 1990.
Menurut Pribadi dalam Nurmianto, 2005 adapun hal yang harus diperhatikan dan diingat dalam merancang shift kerja. Hal-hal tersebut diantaranya adalah
waktu berkurangnya tidur atau istirahat hendaknya ditekan sekecil mungkin sehingga dapat meminimumkan kelelahan, serta mempertimbangkan penyediaan
waktu sebanyak mungkin untuk kehidupan keluarga dan kontak sosial. Hal ini kembali menegaskan bahwa shift kerja yang kurang efektif dapat menyebabkan
kelelahan bagi karyawan. Pada penelitian Lientje Setyawati Maurits dan Imam
Universitas Sumatera Utara
Djati Widodo yang berjudul ‘Faktor dan Penjadwalan Shift Kerja’, mengatakan bahwa kecelakaan dan kesehatan kerja selalu akan berhubungan dengan
kelelahan, shift dan waktu kerja. Dari banyaknya akibat negatif dari shift kerja, khususnya shift di malam
hari, maka berdasarkan studi-studi yang telah dilakukan, penelitian ini akan melihat perbedaan antara shift pagi dan malam terhadap kelelahan pada karyawan
di perusahaan produksi.
B. Rumusan Masalah