Nilai-Nilai Sosiologi Cerita Rakyat Selendang Delima Masyarakat Melayu Langkat

(1)

NILAI-NILAI SOSIOLOGI CERITA RAKYAT

SELENDANG

DELIMA

MASYARAKAT MELAYU LANGKAT

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O

L

E

H

NAMA

: MUHAMMAD CITRA HANJAYA

NIM

: 040702013

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA MELAYU

MEDAN


(2)

NILAI-NILAI SOSIOLOGI CERITA RAKYAT SELENDANG DELIMA MASYARAKAT MELAYU LANGKAT

SKRIPSI SARJANA Dikerjakan

O L E H

MUHAMMAD CITRA HANJAYA 040702013

Pebimbing I Pembimbing II

Drs. Yos Rizal, MSP

NIP 19650909 199403 1 004 NIP 19600101 198803 1 007

Drs.Baharuddin,M.Hum

Skripsi ini disajikan kepada panitia Ujian fakultas Sastra USU melengkapii salah satu syarat ujian SARJANA dalam bidang Ilmu Bahasa dan Sastra Melayu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA MELAYU

MEDAN


(3)

Pengesahan

Diterima Oleh :

Panitia ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Ilmu Bahasa & Sastra Daerah Fakultas Sastra USU Medan

Tanggal : Hari :

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dekan

NIP 19650909 199403 1 004 Prof.Syaifuddin,M.A,Ph.D

Panitia Ujian

No Nama Tanda Tangan

1. ……….... ( )

2. ……….... ( )

3. ……….... ( )

4. ……….... ( )

5. ……….... ( )

6. ……….... ( )


(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senatiasa memberikan nikmat dan rahmatnya, sehingga sekripsi ini dapat diselesaikan. Syalawat beriring salam penulis atas NAbi Muhammad SAW sebagai penuntun kita dari alam kegelapan ke alam yang “terang benderang”.

Skripsi ini berjudul “NILAI-NILAI SOSIOLOGI CERITA RAKYAT

SELENDANG DELIMA MASYARAKAT MELAYU LANGKAT”. Skripsi ini

merupakan tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana pada fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Jurusan Sastra Daerah Program Studi Bahasa dan Sastra Melayu.

Selama penyusunan skripsi ini, penulis banyak mengalami kesulitan, tetapi berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, penulis dapat memyelesaikan skripsi ini. Untuk itu sewajarnyalah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof.Syahfuddin,M.A,Ph.D (selaku Dekan fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara) yang telah banyak memberikan masukan, nasehat, serta bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Drs.Yos Rizal,MSP baik sebagai Dosen sekaligus pembimbing I yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(5)

3. Bapak Drs.Baharuddin,M.Hum baik sebagai Ketua Jurusan Sastra Daerah maupun sebagai pembimbing II yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak warisman sinaga, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Sastra Daerah.

5. Semua dosen di lingkungan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. 6. Teristimewa kepada Ayahanda Drs. Tengku Ismeth dan Almarhumah Ibunda khadijah tercinta yang telah membantu penulis secara moril maupun materil.

7. Ibunda Hj. Tengku Maherani, dan suaminya Fahzrul Cahyari Nasution, selaku saudara dan sekaligus orang tua angkat penulis yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan semangat untuk dapat menyelesaikan kuliah secepatnya, tanpa ada dorongan dari beliau mungkin penulis tidak dapat secepatnya menyelesaikan skripsi.

8. Saudara-saudaraku yang tercinta: T.Ferisha Saviera,T. Ferdyan Andry, T.Reza Rupiandy, T.Ilham Fadillah, T.Indah Permata Sari, T. Bella Safira, T. Ayu Syahfitri, dan seluruh keluarga yang telah banyak memberikan doa dan semangat kepada penulis dalam menempuh perkuliahan sampai selesai.

9. Teristimewa buat Eni Febrisari, Rahmad Hdayat, SS, Fuad Syahrial, SS, Armen Sofyan Hrp, SS, Eri Syahputra, SS, Jandriwico Simamora, Eka Rwanda Sitepu, Rina fauza, Mustafid, Adi Maizal, Ema Novirsari,SS,


(6)

Laily Hazwani,SS, Sunarto,SS, dan seluruh mahasiswa jurusan sastra daerah yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, telah banyak

10. memberikan masukkan-masukkan yang berharga dalam penyelesaian Skripsi ini.

Penulis tidak dapat membalas kebaikan dan bantuannya yang telah diberikan, sehingga terwujudnya skripsi ini, Hanya Allah yang dapat membalasnya. Akhirnya, penulis menyadari sedalam-dalamnnya bahwa skripsi ini hanya merupakan salah satu persyaratan untuk menempuh ujian kesarjanaan pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Kalau dilihat dari isinya mungkin masih jauh dari apa yang di harapkan , namun itulah kemampuan penulis. Dengan rendah hati penulis menerima kritikan dan saran yang membangun dari pembaca, sehingga skripsi ini lebih disempurnakan dan bermanfaat bagi kita semua, khususnya mahasiswa Fakultas Sastra Dan Masyarakat Melayu.

Semoga Allah SWT akan Selalu Memberikan taufik dan hidayahNya kepada orang-orang yang mau berbuat baik.

Medan, 2010

Penulis

Nim : 040702013


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberi rahmat serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun judul skripsi ini adalah NILAI-NILAI SOSIOLOGI CERITA RAKYAT SELENDANG

DELIMA MASYARAKAT MELAYU LANGKAT. Skripsi ini diharapkan dapat

dijadikan sebagai dasar penyusunan skripsi untuk para penulis lain.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangannya karena keterbatasan yang penulis miliki, namun penulis berusaha sebaik mungkin untuk mendeskripsikan Tinjauan sosiologis yang terdapat dalam cerita Rakyat Selendang Delima tersebut. Pada kesempatan ini penulis mengharapkan kritik dan saran dari para Dosen Penguji dan pembimbing agar skripsi ini dapat menjadi lebih baik lagi.

Medan, 2010

Penulis

Nim : 040702013


(8)

DISETUJUI OLEH :

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

JURUSAN SASTRA DAERAH

KETUA JURUSAN

NIP 19600101 198803 1 007

Drs.Baharuddin,M.Hum


(9)

DAFTAR ISI

Halaman UCAPAN TERIMA KASIH ... I

KATA PENGANTAR ... IV DAFTAR ISI ... VI BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1.2 Rumusan Masalah ... 1.3 Tujuan Penelitian ... 1.4 Manfaat Penelitian ... 1.5 Orisinilitas Penelitian ... 1.6 Objek Penelitian ... 1.7 Landasan Teori ... 1.7.1 Teori Struktural... 1.7.2 Sosiologi Sastra ... 1.8 Metode Penelitian ... 1.8.1 Jenis Penelitian ... 1.8.2 Metode Penelitian Data ... 1.8.3 Metode Analisis Data ... BAB II ANALISIS STRUKTUR CERITA RAKYAT SELENDANG DELIMA

MASYARAKAT MELAYU LANGKAT ... 2.1 Analisis Struktur cerita... 2.2 Ringkasan Cerita ... 2.3 Tema ... 2.4 Alur ... 2.5 Latar ... 2.6 Watak dan Perwatakan ... BAB III NILAI-NILAI SOSIOLOGI CERITA RAKYAT

SELENDANG DELIMA PADA MASYARAKAT

MELAYU LANGKAT ... 3.1 Patuh Kepada Nasihat ... 3.2 Bekerja Keras ... 3.3 Sifat Jahat ... 3.4 Kasih Sayang Saudara Kandung ... 3.5 Memaafkan Sesama Manusia ...


(10)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 4.1 Kesimpulan ... 4.2 Saran ... DAFTAR PUSTAKA ...


(11)

(12)

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang dan Masalah

Karya sastra diciptakan untuk dinikmati dan dijadkan sebagai kebudayaan, dipahami dan dimanfaatkan oleh pembaca. Perkembangan karya sastra dari zaman ke zaman tidak luput dari populasi manusia yang semakin terus bertambah. Seiring perkembangan dan kemajuan zaman, karya sastra semakin berkembang pula.

Melayu mempunyai banyak kesusasteraan dan masih berkisar pada sastra lisan. Sebagaimana kita ketahui, bahwa alat utama dari kesusasteraan itu adalah bahasa. Bahasa adalah pendukung kesusasteraan, sedangkan tulisan hanya merupakan lambang-lambang pengganti bahasa ( parkamin, 1973:11). Sastra itu sebagian besar tersimpan di dalam ingatan orang tua, pawang atau tukang cerita yang jumlahnya semakin berkurang dimakan usia. Di mana pengarang hasil sastra lisan biasanya tidak diketahui dengan pasti (anonim).

Sastra lisan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sastra tertulis. Dengan adanya sastra tertulis, sastra lisan terus hidup berdampingan dengan sastra tertulis. Oleh sebab itu, studi tentang sastra lisan merupakan hal penting bagi para ahli yang ingin memahami peristiwa perkembangan sastra, asal mula timbulnya genre sastra, sertapenyimpangan-penyimpangan


(14)

yang terjadi. Hal ini disebabkan adanya hubungan antara studi sastra lisan dengan sastra tertulis sebagaimana adanya kelangsungan tidak terputus antara sastra lisan dan sastra tertulis (Wellek, 1996:47).

Sastra lisan merupakan bagian dari satu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat serta diwariskan turun-menurun secara lisan sebagai milik bersama. Ragam sastra yang demikian tidak hanya berfungsi sebagai alat hiburan, pengisi waktu senggang, dan penyalur perasaan serta pendengaran, melainkan juga sebagai alat pemeliharaan norma-norma masyarakat.

Sastra lisan, termasuk cerita lisan tersebut. Merupakan warisan budaya nasional yang masih mempunyai nilai-nilai positif untuk dikembangkan dan dimanfaatkan dalam kehidupan yang akan datang, antara lain dalam hubungan dengan pembinaan apresiasi sastra. Sastra lisan juga telah lama berperan sebagai wahana pemahaman gagasan pewarisan tata nilai yang tumbuh dalam masyarakat. Bahkan, sastra lisan telah berabad-abad berperan sebagai dasar komunikasi antara penulis dan masyarakat, dalam arti sebuah karya sastra yang berdasarkan lisan akan lebih mudah diterima karena ada unsur yang dikenal masyarakat (Rusyana, 1995).

Dalam keadaan masyarakat yang tengah membangun, seperti halnya masyarakat Indonesia sekarang ini, berbagai bentuk kebudayaan lama termasuk sastra lisan, bukan mustahil akan terabaikan di tengah-tengah kesibukan pembangunan dan pembaharuan yang sedang meningkat.


(15)

Sehingga dikhawatirkan lama kelamaan akan hilang tanpa bekas atau berbagai unsurnya yang asli sudah tidak muncul lagi dalam cerita.

Berdasarkan kedudukan dan peranan sastra lisan yang cukup penting, maka penelitian sastra lisan perlu dilakukan upaya penyelamatan karya sastra. Mengingat terjadinya perubahan dalam masyarakat, seperti adanya kemajuan dalam teknologi, seperti radio dan televisi dapat menyebabkan hilangnya sastra lisan di seluruh Nusantara. Dengan demikian, penelitian sastra lisan berarti melakukan penyelamatan karya sastra dari kepunahan, yang dengan sendirinya merupakan usaha pewarisan nilai budaya, karena dalam sastra lisan itu banyak ditemui nilai, cara hidup serta berfikir masyarakat (nilai-nilai sosiologis masyarakat) yang memiliki sastra lisan. Demikain halnya dengan sastra lisan Melayu Langkat.

Salah satu genre prosa rakyat dari kesusasteraan melayu adalah cerita rakyat yang lahir dari etnik masyarakat Melayu Langkat. Sastra lisan Melayu Langkat merupakan salah satu warisan budaya bangsa yang perlu diselamatkan. Salah satu usaha penyelamatannya adalah dengan mengadakan penelitian dan inventarisasi. Di samping itu, penelitian ini bermanfaat pula sebagai salah satu upaya pembinaan dan pengembangan sastra lisan yang bersangkutan, serta sekaligus mempunyai manfaat dalam rangka pembinaan dan pembagunan budaya daerah yang menjadi bagian dari budaya Nasional.


(16)

Dari sekian banyak sastra lisan Melayu Langkat, satu diantaranya adalah cerita rakyat Selendang Delima yang selanjutanya akan disingkat menjadi SD. SD adalah cerita rakyat Melayu Langkat yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat serta merupakan cerminan masyarakatnya. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara penulis tanggal 20 oktober 2008 dengan salah seorang nara sumber, Sahridin telah berusia 68 Tahun bertempat tinggal Di kampung Perhiasan, Kecamatan Selesai, Kabupaten Langkat, beliau mengatakan bahwa cerita ini dahulunya sangat populer dalam masyarakat Melayu Langkat.

SD menceritakan musibah dialami oleh kerajaan bernama Bandar Pirus, akibat datangnya seekor burung garuda yang menyambar dan melenyapkan kampung Bandar Pirus itu, sehingga kampung itu musnah semuanya. Adapun yang dapat selamat hanyalah seorang anak muda yang bernama Mambang Segara dan adiknya yang bernama Sri Bunian.

Penulis mengharapkan agar cerita rakyat SD ini perlu dilakukan penelitian yang ditinjau dari aspek nilai-nilai sosiologis di dalam masyarakat. Dengan dilakukan penelitian tersebut, penulis dapat mengetahui adanya hubungan masyarakat dengan cerita rakyat SD, dan apakah masyarakat masih mempercayai serta mempengaruhi perilaku kehidupan masyarakat Melayu Langkat.

Ditinjau dari segi kemasyarakatan, penelitian ini juga mempunyai arti penting dapat digunakan sebagai bahan pengajaran bahasa dan sastra


(17)

Indonesia dan Daerah. Secara tidak langsung penelitian ini juga memberikan sumbangan bahan pembinaan kepribadian bangsa, terutama sastra lisan yang memuat unsur pendidikan budi pekerti luhur.

1. 2 Rumusan Masalah

Untuk lebih memfokuskan pembahasan maka diperlukan perumusan masalah yang tepat agar pembahasan terhadap cerita rakyat Selendang Delima tidak meluas dan tidak mencapai sasaran yang dikehendaki.

Permasalahan yang akan dibicarakan dalam tulisan ini pada hakikatnya mencakup aspek nilai-nilai sosiologis dalam cerita rakyat tersebut maka dianggap perlu untuk menelaah terlebih dahulu dari aspek-aspek pembangun dari cerita rakyat tersebut atau unsur-unsur pembentuk dalaman cerita (unsur intrinsik) rakyat SD.

Adapun masalah yang akan dibahas dalam skrisi ini adalah : 1. Struktur Intrinsik apa sajakah yang membangun cerita SD ?

2. Nilai-nilai sosiologi apa sajakah yang terdapat dalam cerita rakyat SD ?

1. 3 Manfaat Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah maka kajian sosiologis dalam cerita rakyat SD secara khusus bertujuan untuk :

1. Mengetahui struktur intrinsik cerita rakyat SD yang terdiri dari tema, alur, latar dan perwatakan.


(18)

2. Mengetahui nilai-nilai sosiologi dalam cerita rakyat SD.

Manfaat yang diharapkan oleh penelitian harus :

1. membantu pembaca untuk memahami unsur-unsur yang membangun cerita rakyat SD.

2. membantu pembaca untuk memahami adanya nilai-nilai sosiologi dalam cerita rakyat SD.

3. memelihara karya sastra lisan agar terhindar dari kemusnahan dan dapat diwariskan pada generasi yang akan datang.

1. 4 Anggapan Dasar

Suatu penelitian memerlukan anggapan dasar yang dapat memberikan gambaran arah pengumpulan data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Syah (1997:3), mengatakan ”anggapan dasar adalah titik tolak pemikiran untuk peneyelidikan tertentu, titik tolak yang dapat diterima kebenarannya”. Berdasarkan pemikiran pendapat di atas maka penulis memiliki anggapan dasar bahwa dalam cerita rakyat SD memiliki nilai-nilai sosiologi dari masyarakat pemilik cerita tersebut.


(19)

1. 5 Orisinalitas Penelitian

Penelitian terhadap cerita rakyat SD ini telah dilakukan oleh Trisna Jayawati dan kawan-kawan yang bekerjasama dengan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Utara pada tahun 1997. Dengan menerbitkan naskah cerita rakyat SD. Namun mereka hanya membuat naskah saja, tidak mengkaji lebih lanjut atau menerbitkan hasil penelitian mereka ke dalam buku, melainkan hanya menceritakan kembali cerita tersebut tanpa menganalisis cerita rakyat SD baik dengan pendekatan sastra maupun dengan pendekatan sosiologi sastra.

Oleh karena itu, penulis beranggapan bahwa kajian yang penulis kerjakan terhadap cerita rakyat SD merupakan karya ilmiah yang asli (orisinil) dan belum pernah dikaji oleh peneliti manapun. Adapun kajian yang penulis fokuskan adalah nilai-nilai sosiologi yang terkandung di dalam cerita SD.

1. 6 Objek Penelitian

Naskah yang menkjadi objek penelitian penulis adalah kumpulan cerita Rakyat Melayu Sumatera Utara yang diteliti oleh Trisna Jayawati, Sulistiati, dan Yeni Mulyani pada tahun 1997 dengan data sebagai berikut :

a. Judul Buku : Cerita Rakyat Selendang Delima

b. Penulis : Trisna Jayawati, Sulistiati, dan Yeni Mulyani c. Cover Depan : Tidak Bergambar Berwarna Merah dan Kuning d. Cover Belakang : Tidak Bergambar Berwarna Kuning


(20)

e. Tebal Halaman : 187 Halman f. Ukuran : 12 x 17,5 g. Tahun Penerbit : 1997

h. Penerbit : Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Utara

1.7 LANDASAN TEORI

Untuk membahas tentang struktur dalam teori struktural dan nilai-nilai sosiologi yang terkandung di dalam cerita rakyat SD digunakan teori pendekatan yaitu teori strukutural dan teori Sosiologi Sastra. Kedua teori pendekatan tersebut digunakan untuk mengetahui sekaligus mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terdapat di dalam cerita tersebut. Berikut akan dipaparkan kedua teori pendekatan tersebut.

1.7.1 Teori Struktural

Pendekatan Struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan Strukturalisme Praha. Pendekatan ini mendapat pengaruh langsung dari teori Saussure yang mengubah linguistik dari pendekatan diakronik


(21)

ke sinkronik. Studi linguistik tidak lagi ditekankan pada sejarah perkembangannya, melainkan pada hubungan antar unsurnya. Masalah unsur dan hubungan antar unsur merupakan hal yang penting dalam pendekatan ini.

Sebuah karya sastra, fiksi atau puisi, menurut strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh unsur (pembangunnannya). Disatu pihak, struktur karya satra dapat diartikan sebagai susunan penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah (Abrams dalam Nurgiyanto, 2001 : 46).

Di pihak lain, Struktur karya sastra juga menyarankan pada pengertian hubungan antar unsur (intrinsik) yang bersifat timbal-balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh. Secara sendiri, terisolasi dari keseluruhannya, bahan, unsur atau bagian-bagian tersebut tidak penting setelah ada dalam hubungannya dengan bagian-bagian yang lain, serta bagaimana sumbangannya terhadap keseluruhan wacana.

Selain istilah struktural yang terdapat di atas, dunia kesasteraan mengenal istilah struturalisme. Strukturalisme dapat di pandang sebagai salah satu pendekatan kesasteraan yang menekankan pada


(22)

kajian hubungan antar unsur pembangunan karya yang bersangkutan. Jadi strukturalisme (disamakan dengan pendekatan objektifnya Abrams) dapat dipertentangkan dengan pendekatan yang lain, seperti pendekatan mimetik, ekspresif, dan pragmatik (Abrams dalam Teeuw, 1989: 89).

Namun di pihak lain, strukturalisme, menurut Hawkes (dalam Nurgiyantoro, 2004: 47), pada dasarnya juga dapat dipandang sebagai cara berfikir tentang dunia yang lebih merupakan susunan hubungan dari pada susunan benda. Dengan demikian, kodrat setiap unsur dalam bagian sistem struktur itu baru mempunyai makna setelah berada dalam hubungannya dengan unsur-unsur yang lain yang terkandung di dalamnya. Kedua pengertian tersebut tidak perlu dipertentangkan namun justru dapat dimanfaatkan secara saling melengkapi.

Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini, dapat dilakukan dengan mengidentifikasikan, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik cerita yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasikan dan dideskripsikan, misalnya bagaiman keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Setelah coba dijelaskan bagaimana fungsi masing-masing unsur dalam menunjang makna keseluruhannya, dan


(23)

bagaimana hubungan antar unsur itu sehingga secara bersama membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang padu. Misalnya, bagaimana hubungan antar peristiwa yang satu dengan yang lain, kaitannya dengan pemplotan yang tidak selalu kronologis, kaitannya dengan tokoh dan penokohan, dengan latar dan sebagainya.

Dengan demikian pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan kekaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah keseluruhan. Analisis struktural tidak cukup dilakukan hanya sekedar mendata unsur tertentu sebuah karya sastra, misalnya peristiwa, plot, tokoh, latar, atau yang lain. Namun yang lebih penting adalah menunjukan bagaimana hubungan anatar unsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai. Hal itu perlu dilakukan mengingat bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks dan unik, disamping setiap karya mempunyai ciri ke kompleksan dan keunikan tersendiri. Hal ini antara lain yang membedakan antara karya yang satu dengan yang lain. Namun, tidak jarang analisis fragmentaris yang terpisah-pisah. Analisis yang demikian inilah yang dapat dituduh sebagai pemisah karya sastra sehingga justru menjadi tidak bermakna.


(24)

Analisis struktural dapat berupa kajian yang menyangkut relasi unsur-unsur dan mikrotes, suatu keseluruhan wacana, interstekstual (Hartoko dan Rahmanto, 1996: 136), Analisis unsur-unsur mikrotes itu misalnya berupa analisis dalam kata-kata kalimat, atau kalimat-kalimat dalam alinea atau konteks wacana yang lebih besar. Namun, ia dapat juga berupa analisis dan hubungan antar unsur satu keseluruhan wacana dapat berupa analisis bab per bab, atau bagian-bagian secara keseluruahan seperti dibicarakan di atas. Analisis relasi intertekstual berupa kajian hubungan antarteks, baik dalam satu periode (misalnya untuk karya-karya sastra Melayu zaman Hindu) maupun dalam periode-periode yang berbeda (misalnya antar karya-karya sastra Melayu zaman Hindu dengan sastra Melayu zaman Islam).

Karena pandangan keotonomian karya di atas, disamping itu juga pandangan bahwa setiap karya sastra memiliki sifat keunikannya tersendiri, analisis terhadap sebuah karya sastra pun tidak perlu dikait-kaitkan dengan karya-karya yang lain. Karya-karya yang lain pun berarti sesuatu yang diluar karya yang di analisis itu. Atau, jika melibatkan karya-karya lain, hal itu sangat bersifat sangat terbatas pada karya-karya tertentu yang berkaitan. Pandangan disini sejalan dengan konsep analisis di dunia strukturalsme linguistik yang


(25)

memisahkan kajian aspek kebahasan pada tataran fonetik, morfomik, sintaksis, antara hubungan paradigmatik dan sintagmatik (Abrams dan Teeuw, 1989: 188). Hal itu bisa dimengerti sebab analisis struktural dalam bidang kesastraan mendasarkan diri pada model strukturalisme dalam bidang lingusitik.

Pandangan diatas sebenarnya bukannya tidak ada keuntungannya. Sebab, analisis karya sastra, dengan demikian, tidak lagi membutuhan berbagai ilmu pengetahuan lain sebagai referensi, misalnya dari referensi sosiologi, psikologi, filsafat, dan lain-lain. Namun penekanan pada sifat otonomi karya sastra dewasa ini dipandang orang sebagai kelemahan aliran strukturalisme dan atau kajian struktural. Hal ini disebabkan sebuah karya sastra tidak mungkin dipisahkan sama sekali dari latar belakang sosial budaya dan atau latar belakang sejarahnya.

Melepaskan karya sastra dari latar belakang sosial budaya dan sejarahnya, akan menyebabkan karya itu menjadi kurang bermakna, atau paling tidak maknanya menjadi sangat terbatas, atau bahkan makna menjadi sulit ditafsirkan. Hal itu berarti karya sastra menjadi kurang berarti dan bermanfaat bagi kehidupan. Oleh karena itu, analisis


(26)

struktural sebaiknya dilengkapi dengan analsis yang lain, yang dalam hal ini dikaitkan dengan keadaan sosial budaya secara luas.

1.7.2 Sosiologi Sastra

Membicarkan sosiologi sastra adalah membicarakan sampai dimana hubungan antar sosiologi dan sastra, dan membicarakan hasil sastra yang relevan. Sastra tercipta untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan manusia dalam suatu masyarakat. Sebagai sesuatu yang perlu dinikmati, karya sastra harus mengandung keindahan yang berasal dari keorisinalitasan sehingga dapat memenuhi dan memuaskan kehausan estetis masyarakat penikmatnya. Sebagai suatu yang perlu dipahami, karya sastra memendam kompleksitas yang dapat dimengerti dengan usaha yang sungguh-sungguh dan teliti oleh masyarakat pembacanya. Dengan demikian, untuk mengungkapkan kandungan karya sastra yang dibutuhkan kepekaan yang luar biasa. Sebagai suatu yang perlu dimanfaatkan, karya sastra mengandung nilai berharga yang dapat dipergunakan untuk kesejahteraan manusia.

Banyak kenyataan sosial yang dihadapi manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Kenyataan sosial itu dapat berupa tantangan untuk mempertahankan hidup, kebahagiaan dalam situasi


(27)

keberhasilan, frustasi dalam situasi kegagalan, kesedihan dalam suasana kemalangan, dan lain sebagianya. Kenyataan sosial tersebut muncul sebagai akibat hubungan antar manusia, hubungan antara masyarakat dan hubungan antar peristiwa dalam batin seseorang.

Hal diatas senada dengan apa yang disampaikan oleh Damoncy (1984: 4-5) bahwa :

Kenyataan sosial tersebut mendapatkan perhatian sang pengarang, baik karena dia menyaksikannya maupun karena dia mengalaminya sendiri. Dengan demikian, sastra, melalui ramuan pengarang, mereflesikan gambaran kehidupan. Namun, tujuan utama sang pengarang bukanlah hanya menampilkan kenyataan sosial atau gambaran kehidupan, melainkan dia hendak menjadikan sastra sebagai resep kehidupan yang mampu menangkal penyakit dan manjur sebagai obat penyembuh. Sastra menjadi peralatan kehidupan manusia. Sastra dengan demikian berperan sebagai : 1. Pelipur lara 2. Ungkapan kekesalan 3. Kritik sosial 4. Kritik, dan 5. Nasehat.

Secara sosiologi, sastra adalah strategi (sikap) untuk menghadapi situasi yang dialami manusia demi mengembangkan kemasyarakatan, situasi yang dialami manusia demi mengembangkan kemasyarakatan atau kesejahteraan manusia, demi mengembangkan kemasyarakatan atau kesejahteraan manusia itu sendiri sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian, pengarang merupakan ahli strategi.


(28)

Pengarang harus mampu menilai sesuatu dengan tepat dan teliti. Pengarang tidak akan dapat mengetahui dan mengantisipasi masa depan sesuatu dengan tepat, apa yang akan memberikan harapan dan apa yang akan menyuguhkan ancaman, apabila dia tidak mengetahui keadaan sesuatu dengan jelas. Dengan demikian, seorang ahli strategi yang bijaksana tidak akan puas dengan strategi yang hanya memuaskan dirinya sendiri. Pengarang akan waspada terhadap ancaman atau bahaya yang sewaktu-waktu dapat menghadang.

Dari uraian diatas dapat dilihat tiga aspek yang saling berhubungan yaitu hubungan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Hubungan ini bersifat sosial dan tertuang dalam satu karya sastra sebagai sarana penghubung antar sastrawan dan masyarakat pembaca. Dengan demikian, pembicara ini bersifat sosiologi yang disebut sosiologis sastra.

Secara singat dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra adalah studi sosiologis terhadap karya sastra yang membicarakan hubungan dan pengaruh timbal balik antara sastrawan, sastra dan masyarakat, dengan menitik beratkan pada realitas dan gejala nilai-nilai sosiologis yang ada diantara ketiganya. Dengan batasan seperti itu tampaklah kecenderungan ke arah relasi antara kenyataan yang hidup dalam


(29)

masyarakat yang dirujuk karya sastra tersebut serta sikap budaya dan kreativitas pengarang sebagai seorang anggota masyarakat.

Danandjaya (1999: 414) mengungkapkan bahwa :

”berbagai alasan dapat mendorong seseorang untuk menganalisis keadaan sosial suatu masyarakat melalui karya sosial suatu masyarakat melalui karya sastra. Misalnya dengan membaca karangan Ranggawarsito maka ia dapat menemukan suatu khazanah nasehat-nasehat bijaksana mengenai sikap dan perilaku seseorang di dalam masyarakat. Bahkan untuk karya sastra yang semacam itu, sangat relevan untuk mengerti kode etika dan harapan-harapan yang berlaku di dalam masyarakat”. Untuk mengetahui sikap dan perilaku seseorang di dalam suatu masyarakat tertentu, apabila di daerah yang belum dikenal seseorang, maka seseorang itu dapat membaca atau menganalisis karya sastra. Sebab, karya sastra semacam itu akan membicarakan suatu gambaran tentang sikap perilaku masyarakat melukiskan sikap dan perilaku suatu masyarakat pada zamannya. Atau dengan kata lain bahwa karya sastra merupakan pencerminan masyarakat pada zamannya.

Pencerminan suatu masyarakat yang dimaksud seperti yang diungkapkan Semi (1984: 55) bahwa :

”Kesusastraan mencerminkan sistem sosial yang ada dalam masyarakat, sistem kekerabatan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan”. Karena itu, karya sastra hanyalah merupakan cermin dari pengarang semata. Kalaupun pengarang menggambarkan sesuatu keadaan umum masyarakat


(30)

dalam karya sastranya, maka gambaran itu hanyalah karena telah menjadi persoalan pribadinya sendiri”.

Sastra sebagai ungkapan pribadi pengarang, juga dikemukakan Sumarjo (1986: 3) yakni : ” sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, penasaran, ide, semangat, dan keyakinan yang dapat membangkitkan gairah pembaca melalui bahasa.

Berdasarkan kedua pendapat yang berbeda tersebut, penulis berada diantaranya. Artinya, dari satu sisi, benar bahwa karya sastra merupakan karya individual pengarang dan karena itu tidak harus mencerminkan keadaan suatu masyarakat, pada zamannya. Kalaupun sastra melukiskan keadaan suatu masyarakat, hal itu karena telah menjadi persoalan pribadi pengarang. Akan tetapi, dari sisi lain, benar bahwa karya sastra merupakan pencerminan suatu masyarakat pada zamannya.

Dalam hal ini Salleh (1980: 64) berpendapat bahwa :

”Seorang sosiologi dan sastrawan bahwa sosiologi menerima sumbangan sastra, dan begitu pula sastra yakni masalah-masalah sosiologi dapat dijadikan sebagai sarana pengembangan. Sosiologi dapat dijadikan sebagai sarana pengembangan sosiologi”.

Dengan demikian, jelaslah bahwa sosiologi dapat dijadikan sebagai salah satu pendekatan sastra, sebab antara sosiologi dan sastra saling menguntungkan. Hanya perlu disadari bahwa karya sastra


(31)

bukanlah merupakan cermin yang didahului pikiran masyarakat zamannya, melainkan karya sastra hanyalah cerminan masyarakat zamannya.

Hal ini merupakan bahwa kehadiran sastra mempunyai peranan penting dalam membentuk struktur masyarakat. Pengarang dan karyanya merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka membicarakan sebuah karya sastra. Disatu sisi, pengarang adalah anggota dari kelompok masyarakat yang hidup di tengah-tengah kelompok masyarakat tersebut.

Soemarjo (1995: 15) juga menekankan, bahwa kehadiran karya sastra merupakan salah satu wujud pelestarian dari keadaan sosio-kultur suatu masyarakat dimana ia tercipta. Lebih jauh lagi Yakub Soemarjo mengatakan ”karya sastra menampilkan wajah kultur zamannya, tetap lebih dari sifat-sifat sastra juga ditentukan oleh masyarakat”.

Pendapat Soemarjo di atas didukung pula oleh Semi (1989: 54) yang mengatakan bahwa :

a. Konteks Sosial yakni yang menyangkut posisi sosial dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalam faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang


(32)

sebagai perseorangan disamping mempengaruhi isi karya sastranya.

b. Sastra sebagai cermin masyarakat yang telaah adalah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat.

c. Sosial sastra dalam hal ini telah sampai berada jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sampai berada jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial dan sampai berapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat pembacanya.

Sosiologi pada sisi lain sebagi ilmu yang berbicara tentang aspek-aspek kemasyarakatan selalu dapat dimanfaatkan untuk pembicaraan sebuah cipta sastra, nilai-nilai sosiologi dalam sebuah karya sastra dapat terwujudkan untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam.

Banyak hal-hal yang menjadi fokus pengamatan seorang sastrawan kehidupan pribadinya, lingkungan serta harapan-harapannya menjadi hal yang menarik dalam penelitian sebuah cipta sastra. Kompleks permasalahan itu merupakan hadiah seorang pengarang yang dapat memperluas wawasan pemikiran anggota masyarakat.


(33)

Dengan menggambarkan fenomena dari hasil pengamatan pengarang, masyarakat pembacanya memperoleh hal yang bermakna dalam hidupnya.

Pengarang sendiri mendapat sumber dalam aspek-aspek yang membangun keutuhan sebuah cerita adalah menyangkut perwatakan tokoh-tokohnya. Tokoh yang berfikiran primitif akan bertindak sebagai manusia yang modern yang serba luwes.

Ciri-ciri perwatakan seorang tokoh selalu berkaitan dengan pengarang, lingkungan dimana dia hidup. Demikian juga menyangkut tipe orang atau tokohnya. Biasanya dalam setiap cerita selalu terdapat beberapa tokoh, dalam hal inilah pengetahuan sosiologi berperna menggunakan isi sebuah karya sastra.

Hal diatas didukung oleh pernyataan Damono (1981: 178) yang mengataan :

Bahwa sosiologi sastra diaplikasikan pada tulis-tulisan para kritikus sejarahwan sastra yang menaruh perhatian utama pada cara atau keadaan seseorang pengarang dipengaruhi kelas sosialnya, ideologi sosialnya, kondisi ekonominya, profesinya, dan pembaca.


(34)

Waren dalam (Damono, 1996: 84) mengklasifikasikan sosiologi

sastra menjadi : Pertama, Sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra. Kedua, Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri; menjadi pokok penelaan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya.

Ketiga, Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh

sosial karya sastra.

Ian Watt dalam (Damono, 1996: 3-4) melihat hubungan

timbal-balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Oleh sebab itu, telaah sosiologi suatu karya sastra akan mencakup tiga hal yaitu : Pertama, konteks sosial pengarang yaitu menyangkut posisi sosial yang mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan disamping mempengaruhi isi karya sastranya. Kedua, Sastra sebagai cermin masyarakat yaitu sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra yaitu sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat pembaca.


(35)

1.8 METODE PENELITIAN 1.8.1. Jenis Penelitian

Metode / jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dan bersifat deskriptif, yang oleh Nawawi (1990: 63) diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan objek/subjek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta yang ada dan kemudian diinterpretasikan serta dianalisis secara rasional.

1.8.2.Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan maka digunakan metode pengumpulan data sebagai berikut :

a. Studi kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data dengan mempelajari buku-buku, jurnal penelitian, dan bahan-bahan tertulis lainnya yang berhubungan dengan topik penelitian.

b. Studi teks, yaitu pengumpulan data melalui naskah yang diteliti setelah terlebih dahulu membaca kemudian menafsirkan nilai-nilai moral yang terkandung dalam naskah.


(36)

1.8.3.Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini, karena penelitian yang digunakan adalah kualitatif maka peneliti bersikap netral sehingga tidak mempengaruhi data. Untuk itu peneliti hanya membaca dan memperhatiakan lalu berusaha menjabarkan atau menginterpretasikan data tersebut untuk dianalisis sehingga dapat memberikan kesimpulan setelah dilakukan pengecekan ulang atas data tersebut.

Informasi dan data yang diperoleh dari naskah disusun secara sistematis dan dikategorisasikan, selanjutnya informasi tersebut di desain sesuai dengan bagian-bagian yang telah ditentukan sehingga dapat menghasilkan sebuah laporan penelitian yang integretatif dan sistematis.


(37)

BAB II

ANALISIS STRUKTUR CERITA RAKYAT SELENDANG DELIMA

2.1. ANALISIS STRUKTUR CERITA

Analisis struktur yang dilakukan terhadap cerita rakyat SD ini merupakan langkah awal untuk memahami unsur-unsur ekstrinsik, khususnya nilai psikologi dari hikayat tersebut.

Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Teeuw (1989) bahwa kajian struktural dimaksudkan untuk membongkar, mengkaji, dan menganalisis unsur pembentuk dalam instrinsik dari sebuah karya sastra, yang berguna untuk pengkajian selanjutnya dari karya sastra tersebut.

Sebelum penulis mulai menganalisis struktur cerita rakyat Selendang Delima, ada baiknya penulis menyajikan ringkasan cerita Selendang Delima guna mempermudah pembaca sekalian untuk memahami analisis yang penulis lakukan nantinya.

2.2. Ringkasan Cerita

Pada zamandahulu kala ada sebuah kerajaan yang bernama Bandar Pirus, negeri ini sangat makmur dan peraturan-peraturan kerajaan sangat baik. Tapi tanpa disangka-sangka suatu hari datang musibah, datangnya seekor burung garuda yang menyambar dan melenyapkan kampung tersebut, sehingga kampung tersebut musnah


(38)

semuanya, hanya yang dapat selamat seorang anak muda yang bernama Mambang Segara dengan adiknya Sri Bunian. Jadi hanya tinggal berdua saja yang tinggal dirumah, sedangkan kampung sudah lengang, tidak ada apapun lagi. Kesudahannya si abang bertekad akan pergi dari kampung tersebut, karena sudah tidak ada apa-apa lagi makanan pun sudah habis, hanya tinggal sebuah kebun dengan buah-buahan,ini pun sudah hampir habis. Jadi kata si abang ”adikku Sri Bunian, tinggallah kamu di rumah baik-baik, biarlah abang membuat sebuah perahu.” jadi ditebang si abanglah sebuah pohon untuk membuat perahu.

Dari hari kehari si adik tinggal di rumah, dan apabila sore hari si abang pun kembali kerumah, pagi hari dia pergi lagi meneruskan pekerjaannya untuk membuat perahu. Pada suatu hari berkatalah si abang ”Adikku kalau lapar sekali engkau, makanlah buah-buahan yang lain, tapi buah yang satu ini jangan kau makan, itu namanya buah Delima, kalau kau makan juga datang aib pada dirimu.” baiklah bang, apa yang abang larang tidak akan kulakukan.”

Jadi pada suatu hari entah bagaimana ingin sekali adik memakan buah Delima itu, tapi ini tidak dikatakannya kepada abangnya. Maka terjadilah perubahan pada dirinya bulan demi bulan, karena di hamil buah itu bukan buah biasa, tapi buah jelmaan dewa, setiap hari terjadi perubahan hamilnya besar dan dia sangat malu.


(39)

Sewaktu abangnya pergi lagi mengerjakan perahunya yang hampir siap, dan ia hanya tinggal sendiri di rumah, lahirlah anaknya yang jelmaan dari buah Delima. Setelah itu dibersihkannya itu baik-baik dan dimasukannya ke dalam peti.

Ketika abangnya pulang Sri Bunian sudah tidak ada lagi hilang ghaib, akibat memakan buah Delima itu, hanya tinggal anaknya saja yang telah dimasukkannya ke dalam peti. Abangnya menjerit-jerit memanggilnya. Dan tidak berapa lama terdengarlah suara, ” Abangku, bila abang merantau bawalah peti ini baik-baik, jangan dibuka kalau belum tiba saatnya. Kalau abang nanti sudah senang, sudah menjadi raja barulah boleh abang buka.” jadi pesan adiknya itu dipatuhinya.

Maka setelah siap perahunya, berlayarlah dia merantau sehingga sampai di sebuah negeri. Di negeri tersebut dia diangkatsebagai raja. Karena baik dan perkasanya, banyak orang menyodorkan puteri-puterinya untuk dijadikan isteri sampai berjumlah tujuh orang yang enam satu istana, sedangkan isteri yang nomor tujuh dilainkan tempatnya, karena dialah yang paling dikasihi oleh Mambang Segara.

Kesukaan Raja-raja dahulu berlayar merantau melihat-lihat negeri lain, tidak seperti sekarang. Kalau raja hendak berlayar isterinya yang enam banyak berpesan, bawakan ini, bawakan itu, tapi isteri yang nomor tujuh tidak pernah berpesan apa-apa. Apa yang dibawakan dia selalu merasa senang.


(40)

Jadi sewaktu raja berlayar, datanglah keenam isterinya kerumah isteri yang bungsu dan mereka melihat sebuah peti dan bertanya ; ”Dik apa yang ada didalam peti itu?” ”O,... ini pesan suami kita, tidak boleh dibuka, kalau dibuka nanti dia murka, jadi saya tidak berani membukanya.” ”O,... jangan-jangan madu kita yang disembunyikannya di dalam. Kita sudah tujuh cukuplah jangan sampai delapan,” kata yang enam ini.”kakak, janganlah pesan suami kita tidak boleh kita langgar.” ”ah, bukalah kata yang enam ini”. Karena takutnya, maka dengan berat hati dibukalah peti itu oleh isteri yang bungsu. Maka keluarlah seorang puteri yang bernama Selendang Delima, yaitu anak Sri Bunian yang hilang jadi berarti adik Mambang Segara.

Sebaik puteri ini keluar, maka dia disiksa oleh isteri Mambang Segara yang enam inilah habis-habisan, dipukul tapi puteri Selendang Delima tidak mau bercakap, dia hanya menangis saja. ”sudahlah kak,”kata isteri yang bungsu. Jangan disiksa lagi.” maka pergilah isteri-isteri yang enam ini dan Selendang Delima diurus oleh isteri-isteri bungsu, dibedaki baik-baik dan setelah itu apabila pagi tiba diseretlah dia oleh isteri yang enam ini tadi, mukanya disapu dengan arang, disuruh menjemur padi dan macam-macam lagi. Penyiksaan yang diberikan oleh isteri yang enam ini, sore hari dia pulang ke rumah isteri yang bungsu.


(41)

Demikianlah sampai Mambang Segara pulang dari perantauan, diceritakanlah tentang putri yang dikeluarkan oleh isterinya yang enam, tapi itulah bodohnya orang dahulu, tidak ada bertanya puteri siapa sebenarnya.

Sudah demikian raja pergi lagi berlayar dan isteri yang enam banyak berkirim barang-barang sedangkan yang bungsu tidak ada meminta apa-apa dan terakhir bertanya kepada anak tadi (Selendang Delima). ” Selendang Delima, apa kirimanmu, aku mau berangkat.” Selendang Delima menjawab. ” saya tidak memesan apa-apa,cuma apabila tuan hendak pulang, ada sebuah rotan dan batu, tuan bawalah itu pulang untuk saya, apabila tuan lupa maka perahu akan terpacak tidak bisa berlayar.” Maka kata Mambang Segara, sungguh bijak engkau Selendang Delima yang tidak-tidak saja pesananmu, masak rotan da batu, begitupun tidak mengapa, mudah-mudahan kuingat nanti.

Maka berangkatlah Mambang Segara berlayar, beberapa bulan kemudian pulanglah di, dan dilaluinya pulau rindu, tapi Mambang Segara lupa mengambil rotan dab batu yang dipesankan Selendang Delima, maka tertahanlah dia lama sekali di pulau itu, dan dia bertanya kepada ahli nujum, mengapa bisa jadi begini. Maka setelah direnungkan oleh ahli nujum tersebut dia berkata, ”O,... Tuanku, rupanya tuanku lupa pesanan seorang anak, barang yang ajaib dari


(42)

pulau ini.” barulah Mambang Segara ingat maka diambilah rotan dan batu itu, barulah dia bisa berjalan. Samapi ke negeri dia disambut oleh rakyat. Dan raja membagi-bagikan pesanan ke enam dan tidak lupa juga untuk isterinya yang bungsu dan barulah diberikan rotan dan batu yang dipesan oleh anaknya Selendang Delima.

Dan Selendang Delima meminta selendang kepda makciknya yang nomor 7. Mintalah selendang satu aku mau mengayun rotan dan batu ini di bawah tangga. Maka rotan dan batu diayunnya di bawah tangga sambil bernyanyi.

Ayun-ayunlah ayun rotan dan batu Letakmu tuan di pulau rindu

Kaulah jelmaan ayah bundaku Sungguhlah dalam hatiku rindu Ayun-ayunlah rotan melingkar Hayolah tuan menjelmalah segera Obatkan hati pedih dan lara

Terdengarlah Mambang Segara, maka katanya ”Aduh merdunya suaramu, coba ulang lagi apa yang kau katakan, masak rotan dan batu yang kau ayun-ayun.” Selendang Delima diam saja, tapi dia mengulanginya lagi.

Ya Illahi Tuhanku Rabbi


(43)

Mambang Segara nama uwakku Sri Bunian nama Ibuku

Dewi laksana nama ayahku.

Maka datang Mambang Segara, dilemparkanya rotan dan batu itu kehalaman, dan menjelmalah berupa bayang-bayang ibunya Sri Bunian,” Oh, abang rupanya rupanya pedih sekali hati anakku dibuat oleh isteri abang yang enam itu, hanya isteri yang bungsulah yang sayang kepadanya, tapi mudah-mudahan Tuhan melindungi anakku dan diri abang.” barulah Mambang Segara sadar bahwa Selendang Delima ini adalah anak adiknya Sri Bunian. Maka dipanggilnyalah isterinya yang enam itu tadi mau disiksanya, tapi Selendang Delima melarangnya.

”Jangan, maafkanlah mereka . . . . kalau tidak karena perbuatan mereka mungkin kisah ini tidak terbuka. ” jadi dimaafkanlah isteri yang enam ini.

Pendek cerita tinggallah isteri yang bungsu dengan Selendang Delima bersama-sama. Maka kerajaan itu kembali makmur seperti sedia kala.


(44)

2.3. Tema

Masalah hidup dan kehidupan yang dihadapi dan dialami manusia amat luas dan kompleks, seluas dan sekompleks permasalahan kehidupan yang ada (Nurgiyantoro, 2001:71). Walau permasalahan yang dihadapi manusia tidak sama, ada masalah-masalah kehidupan tertentu yang bersifat universal. Artinya, hal itu akan dialami oleh setiap orang di manapun dan kapan pun walau dengan tingkat intensitas yang tidak sama.

Pengarang memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup dan kehidupan itu menjadi tema dan atau sub-subtema ke dalam karya sastra sesuai dengan pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan lingkungan. Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dangan makna (pengalaman) kehidupan. Melalui karyanya itulah pengarang menawarkan makna tertentu kehidupan, rnengajak pembaca untuk melihat, merasakan, dan menghayati makna (pengalaman) kebidupan tersebut dengan cara memandang permasalahan itu sebagaimana ia memandangnya.

Tema dalam sebuah karya sastra merupakan salah satu dan sejumlah unsur pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah kernenyeluruhan. Bahkan sebenarnya, eksistensi terna itu sendiri sangat bergantung dari berbagai unsur yang lain. Hal itu disebabkan tema, yang

notabene "hanya" berupa makna atau gagasan dasar umum suatu cerita,

tidak mugkin hadir tanpa unsur bentuk yang rnenampungnya. Dengan demikian, sebuah tema baru akan menjadi makna cerita jika ada dalam


(45)

keterkaitannya dengan unsur-unsur cerita yang lain, khususnya yang oleh Nurgiyantoro dikelompokkan sebagai fakta cerita (alur, latar, dan tokoh) yang mendukung dan menyampaikan tema tersebut.

Tema dapat digolongkan ke dalam beberapa tingkatan yang berbeda, tergantung dari segi mana hal itu dilakukan. Shipley dalam Nurgiyantoro (2001:80-82) membedakan tema dalam lima tingkatan. Pembagian Shipley ini berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa, yang tersusun dari tingkatan paling sederhana sampai tingkat yang paling tinggi yang hanya dapat dicapai oleh manusia. Kelima tingkatan tema yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Tema tingkat fisik, manusja sebagai mqlekui, man as molecul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaan, la lebih menekankan mobilitas fisik daripada konflik kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutan. Unsur latar dalam karya sastra dengan penonjolan tema tingkat ini mendapat penekanan.

b. Tema tingkat organik, manusia sebagai protoplasma, man as

protoplasm. Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut

dan atau mempersoalkan masalah seksualitas. Berbagai persoalan kehidupan seksual manusia mendapat penekanan, khususnya kehidupan seksual yang menyimpang.

c. Tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as


(46)

aksi-interaksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan, konflik, dan iain-lain yang menjadi objek pencarian tema. Masalah-masalah sosial itu antara lain berupa masalah ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan atasan-bawahan, dan berbagai masalah dan hubungan sosial lainnya yang biasanya muncul dalam karya yang berisi kritik sosial. d. Tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as

individualism. Di samping sebagai makhluk sosial, manusia

sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa "menuntut" pengakuan atas hak individualitasnya. Dalam kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia pun mempunyai banyak permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud reaksi manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya. e. Tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, yang

belum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainya. Masalah yang menonjol dalam tema tingkat ini adalah masalah hubungan manusia dengan Sang Pencipta, masalah religiusitas, atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan.

Adapun kegiatan untuk menafsirkan tema sebuah karya sastra memang bukan pekerjaan yang mudah. Karena tema tersembunyi di balik


(47)

cerita , penafsiran terhadapnya haruslah dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada secara keseluruhan membangun cerita itu. Menurut Mochtar Lubis ( 1989 : 25 ) untuk mengetahui tema sebuah karya sastra maka dapat dilihat dari tiga hal yang berkaitan, yaitu : (a) melihat persoalan yang paling menonjol; (b) menghitung waktu penceritaan; (c) melihat konflik paling banyak hadir.

Setelah membaca dan memahami cerita rakyat SD maka penulis dapat menyimpulkan bahwa SD termasuk cerita rakyat yang tergolong ke dalam jenis tema tingkat sosial. Dalam cerita rakyat ini menceritakan tentang kehidupan kakak yang menjadi seorang raja dan keponakan yang tabah serta pemaaf. Masalah yang menonjol dalam hikayat ini adalah masalah manusia dengan manusia.

Untuk menentukan tema dalam cerita SD ini maka penulis mengunakan pendapat mochtar Lubis yang menentukan tema sebuah karya sastra berdsarkan tiga hal , yaitu :

a. Persoalan yang paling menonjol dalam cerita rakyat SD adalah kesabaran,pemaaf dan kesetiaan.

b. Dari awal cerita sampai akhir cerita dalam cerita rakyat SD menceritakan tentang ketulusan hati seorang kakak dan adik serta Selendang Delima.


(48)

c. Konflik yang paling banyak hadir dalam cerita rakyat SD adalah Tentang keegoisan dan kebencian Istri-istri ke-1 sampai ke-6 terhadap istri ke-7 dan Selendang Delima .

Berdasarkan ketiga hal di atas maka dapat di tarik kesimpulan bahwa tema dalam cerita rakyat SD adalah tentang perjuangan hidup kakak dan adik yang tertimpa musibah bencana alam di kampungnya dan kemudian ingin mecari sebuah negeri yang dapat untuk melanjutkan dan bertahan hidup.

2.4. Alur

Alur merupakan unsur karya sastra yang penting, bahkan tidak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur karya sastra yang lain. Tinjauan struktural terhadap karya sastra pun sering lebih ditekankan pada pembicaraan alur, walau mungkin mempergunakan istilah lain. Masalah linearitas struktur penyajian peristiwa dalam karya sastra banyak dijadikan objek kajian. Hal itu kiranya juga beralasan sebab kejelasan alur, kejelasan tentang kaitan antarperistiwa yang dikisahkan secara linear, akan mempermudah pemahaman kita terhadap cerita yang ditampilkan. Kejelasan alur dapat berarti kejelasan cerita, kesederhanaan alur berarti kemudahan cerita untuk dimengerti. Sebaliknya, alur sebuah karya sastra yang kompleks, ruwet, dan sulit dikenali hubungan kualitas antar peristiwanya, menyebabkan cerita menjadi lebih sulit dipahami.


(49)

Alur sebuah cerita bagaimanapun tentulah mengandung unsur urutan waktu, baik ia dikemukakan secara eksplisit maupun implisit. Oleh karena itu, dalam sebuah cerita, tentulah ada awal kejadian, kejadian-kejadian berikutnya, dan barangkali ada pula akhirnya (Nurgiyantoro, 2001:141). Namun, plot sebuah hikayat sering tidak menyajikan urutan perisitiwa secara kronologis dan runtut, melainkan penyajian yang dapat dimulai dan diakhiri dengan kejadian yang mana pun juga tanpa adanya keharusan untuk memulai dan mengakhiri dengan kejadian awal dan kejadian terakhir. Dengan demikian, tahap awal cerita tidak harus berada di awal cerita atau djbagian awal teks, melainkan dapat terletak di bagian mana pun.

Hal yang demikian dapat terjadi disebabkan urutan waktu penceritaan sengaja dimanipulasikan dengan urutan peristiwa la mungkin dimaksudkan untuk mendapatkan bentuk pengucapan baru dan efek artistik tertentu, kejutan, ataupun sebentuk suspense di pihak pembaca. Teknik pengungkapan cerita, atau teknik pengaluran, yang demikian biasanya justru lebih menarik karena memang langsung dapat menarik perhatian pembaca. Pembaca tangsung berhadapan dengan konflik, yang tentu saja, ingin segera mengetahui sebab-sebab kejadian dan bagaimana kelanjutannya.

Pada dasarnya, alur sebuah cerita haruslah bersifat padu. Antara perisitiwa yang satu dengan yang lain, antara perisitwa yang diceritakan lebih dahuiu dnegan yang kemudian, ada hubungan, ada sifat saling keterkaitan. Kaitan antar peristiwa tersebut hendaklah jelas, logis, dapat dikenali


(50)

hubungan kewaktuannya lepas dari tempatnya daiam teks cerita yang mungkin di awal, tengah atau akhir. Alur yang memiliki sifat keutuhan dan kepaduan, tentu saja, akan menyuguhkan cerita yang bersifat utuh dan padu pula.

Untuk memperoleh keutuhan sebuah alur cerita, Tasrif dalam Muchtar Lubis (1989:10) mengemukakan bahwa sebuah alur haruslah terdiri dari lima tahapan. Kelima tahap tersebut penting untuk dikenali, terutama jika kita bermaksud menelaah alur karya sastra yang bersangkutan. Kelima tahapan itu adalah sebagai berikut:

(1) Tahap Situation (tahap penyituasian), tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian inforrnasi awal, dan lain-lain yang, terutama, berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.

(2) Tahap Generating Circumstances (tahap pemunculan konflik), masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Tahap pertama dan kedua pada pembagian ini, tampaknya, berkesesuaian dengan tahap awal pada penahapan.


(51)

(3) Tahap Rising Action (tahap peningkatan konflik), konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkernbang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa drarnatik yang menjadi inti cerita bersifat semakin mencekam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari.

. (4) Tahap climax (tahap klimaks), konffik dan atau pertentangan-pertentarigan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperart sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. Sebuah cerita yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks, atau paling tidak dapat ditafsirkan demikian.

(5) Tahap Denouement (tahap penyelesaian), konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, subsubkonflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada, juga diberi jalan keluar, cerita diakhiri.

Setelah penulis membaca, menghayati, dan memahami centra rakyat SD maka dapat digambarkan alur yang terdapat dalam cerita tersebut adalah plot lurus atau progresif. Artinya bahwa dalam cerita rakyat SD pelukisan alur cerita diawali dengan awal situasi sampai dengan akhir situasi.


(52)

Adapun pentahapan alur dalam cerita rakyat SD adalah sebagai berikut :

1) Tahap Situation, tahap awal dalam cerita rakyat SD dimulai pada tahapan si pengarang mulai melukiskan sebuah kerajaan yang bernama Bandar Pirus yang mana mengalami sebuah bencana. Dengan datangnya seekor burung garuda yang memusnahkan seluruh kerajaan tersebut. Yang dapat terselamatkan hanya seorang kakak adik, yang bernama Mambang Segara dan Sri Bunian. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan cerita sebagai berikut.

"pada zaman dahulu kala ada sebuah kerajaan yang benama Bandar Pirus,negeri ini sangat makmur dan sejahtera. Namun, tidak berapa lama datanglah seekor burung garuda yang memusnahkan seluruh penduduk negeri itu. Hanya yang dapat selamat seorang anak muda yang bernama Mambang Segara dengan adiknya Sri Bunian. Kesudahanya abangnya bertekad akan pergi dari kampung tersebut.

Dari hari kehari si adik tinggal dirumah, dan apabila sore hari tiba si abang pun kembali ke rumah, pagi hari dia pergi lagi meneruskan pekerjaannya untuk membuat perahu. Pada suatu hari berkatalah si abang ”Adikku kalau lapar sekali engkau, makanlah buah-buahan yang lain, tapi buah yang satu ini jangan kau makan, itu namanya buah delima, kalau kau makan juga datang aib pada dirimu.” Baiklah bang, apa yang abang larang tidak akan pernah aku lakukan.


(53)

2) Tahap Generating Circumstances, yaitu tahap dimana peristiwa mulai bergerak memunculkan konflik. Peristiwa-peristiwa yang termasuk dalam tahapan ini adalah dimulai saat Sri Bunian memakan buah yang dilarang oleh Mambang Segara yaitu buah Delima. Karena buah Delima tersebut adalah buah jelmaan Dewa. Sehingga Sri Bunian tertimpa aib karena memakan buah Delima, sampai ia menggandung anak dari Jelmaan Dewa tersebut. Ini dikuatkan dari kutipan cerita sebagai berikut:

Jadi pada suatu hari entah bagaimana ingin sekali adik memakan buah Delima itu, lantas dimakannyalah buah itu, tapi ini tidak diberitahukannya kepada abangnya. Maka terjadilah perubahan pada dirinya bulan demi bulan, karena ia hamil buah itu bukan buah biasa, tapi buah jelmaan Dewa, setiap hari terjadi perubahan hamilnya semakin besar dan dia sangat malu.

Sewaktu abangnya pergi lagi mengerjakan perahunya yang hamper selesai, dan dia hanya tinggal sendiri dirumah, lahirlah anaknya yang jelmaan dari buah Delima. Setelah itu dibersihkannnya anak itu baik-baik dan dimasukkannya ke dalam peti.

Ketika abangnya pulang Sri Bunian sudah tidak ada lagi hilang ghaib, akibat memakan buah Delima itu, hanya tinggal anaknya saja yang telah dimasukkannya ke dalam peti. Abangnya menjerit-jerit memanggilnya. Dan tidak beberapa lama terdengarlah suara,


(54)

“Abangku, bila abang merantau bawalah peti itu baik-baik, jangan dibuka kalau belum tiba saatnya. Kalau abang nanti sudah senang, sudah menjadi Raja barulah abang boleh buka.” Jadi pesan adiknya ini dipatuhinya.

3) Tahap Rising Action (tahap peningkatan konflik), pada tahap ini cerita mulai bergerak ke arah konflik cerita. Adapun peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam tahapan pada cerita rakyat SD adalah ketika Mambang Segara telah siap menyelesaikan perahunya, berlayarlah dia merantau sehingga sampai di sebuah negeri. Di negeri tersebut dia diangkat menjadi Raja. Karena baik dan perkasanya, banyak orang menyodorkan putri-putrinya untuk dijadikan isteri sampai berjumlah tujuh orang yang enam satu istana, sedangkan isteri yang ke tujuh dilainkan tempatnya, karena dia yang paling disayang Mambang Segara.

Jadi sewaktu Raja berlayar, datanglah ke enam isterinya kerumah isterinya yang bungsu dan mereka melihat sebuah peti dan bertanya ; ”Dik apa yang ada di dalam peti itu?” ”O, ... jangan-jangan madu kita yang disembunyikannya di dalam. Kita sudah tujuh cukuplah jangan sampai delapan, ”kata yang enam ini.” ”Kakak, janganlah pesan suami kita tida boleh kita langgar.” ”Ah, bukalah kata yang enam ini”. Karena takutnya, maka dengan berat hati dibukalah peti itu


(55)

oleh isteri yang bungsu. Maka keluarlah seorang puteri yang bernama Selendang Delima, yaitu anak Sri Bunian.

Sebaik puteri itu keluar, maka dia disiksa oleh isteri Mambang Segara yang enam inilah habis-habisan, dipukul tapi puteri Selendang Delima tidak mau bercakap, dia hanya menangis saja. ”Sudahlah kak,” kata isteri yang bungsu. Jangan disiksa lagi.” maka pergilah isteri-isteri yang enam ini dan Selendang Delima diurus oleh isteri bungsu, dibedakin baik-baik dan setelah itu apabila pagi tiba diseretlah dia oleh isteri yang enam ini tadi, mukanya disapu dengan arang, disuruh menjemur padi dan macam-macam lagi. Penyiksaan yang diberikan oleh isteri yang enam ini, sore hari dia pulang ke rumah isteri yang bungsu.

Demikianlah sampai Mambang Segara pulang dari perantauan,diceritakanlah tentang putri yang dikeluarkan oleh isterinya yang enam, tapi itulah bodohnya orang dahulu, tidak adabertanya putri siapa sebenarnya.

Tahap Climax (tahap puncak cerita), tahap ini terdapat pada peristiwa ketika Mambang Segara pergi merantau dan istri ke enam banyak meminta sesuatu kepada Mambang Segara untuk dibawa pulang. Sedangkan, yang bungsu tidak ada meminta apa-apa begitu juga dengan Selendang Delima. Namun apabila Mambang Segara pulang, ada sebuah rotan dan batu, maka bawalah pulang untuk saya, apabila


(56)

Mambang Segara lupa maka perahu akan terpacak tidak bisa berlayar sehingga ia tidak bisa pulang ke negerinya lagi.

Hingga berangkatlah Mambang Segara berlayar, beberapa bulan kemudian pulanglah dia, dan dilaluinya pulau Rindu, tapi Mambang Segara lua membawa rotan dan batu yang dipesankan oleh Selendang Delima.

Peristiwa tersebut dapat dijumpai dalam kutipan cerita SD sebagai berikut :

Sudah demikian raja sering pergi lagi berlayar dan istri yang enam banyak berkirim barang-barang sedangkan yang bungsu tidak ada meminta apa-apa dan terakhir bertanya kepada anak tadi ( Selendang Delima). ”Selendang Delima, apa kirimanmu, aku mau berangkat.” Selendang Delima menjawab. ”saya tidak memesan apa-apa, cuman apabila tuan hendak pulang, ada sebuah rotan dan batu, tuan bawalah itu pulang untuk saya, apabila tuan lupa maka perahu akan terpacak tidak bisa berlayar.” Maka kata Mambang Segara, sungguh bijak engkau Selendang Delima yang tidak-tidak saja pesananmu, masak rotan dan batu, begitupun tidak mengapa, mudah-mudahan kuingat nanti.

Maka berangkatlah Mambang Segara berlayar, beberapa bulan kemudian pulanglah dia,dan dilaluinya pulau Rindu, tapi Mambang Segara lupa mengambi rotan dan batu yang dipesankan Putri


(57)

Selendang Delima, maka tertahanlah dia lama sekali di pulau itu, dan dia bertanya kepada ahli nujum, mengapa bisa jadi begini. Maka setelah direnungkan oleh ahli nujum tersebut dia berkata. ”O, . . . Tuanku, rupanya tuan lupa pesanan seorang anak, barang yang ajaib dari pulau ini.” Barulah Mambang Segara ingat, maka diambillah rotan dan batu itu, barulah dia bisa berjalan. Sampai ke Negeri dia disambut oleh rakyat, dan raja membagi-bagikan pesanan ke enam isterinya dan tidak lupa juga untuk isterinya yang bungsu yang paling dikasihinya dan barulah diberikan rotan dan batu yang dipesan oleh anaknya Selendang Delima.

4) Tahap Denoument (tahap penyelasaian cerita), peristiwa yang terdapat pada tahapan ini adalah ketika Selendang Delima meminta selendang kepada makciknya yang paling bungsu untuk mengayunkan rotan dan batu di bawah tangga. Kemudian dia mulai bernyanyi sambil mengayun-ayunkan rotan dan batu itu.

Maka terdengarlah oleh Mambang Segara dan dia menyuruh Selendang Delima untuk menggulangi lagi nyanyiannya itu karena terdengar sangat merdu.kemudian datanglah Mambang Segara sambil melemparkan rotan dan batu ke halaman rumah dan menjelmalah berupa bayang-bayang ibunya Sri Bunian. Peristiwa tersebut dapat dijumpai dalam kutipan cerita SD sebagai berikut :


(58)

Dan Selendang Delima meminta selendang kepada makciknya yang bungsu. Mintalah selendang satu aku mau mengayun rotan dan batu ini di bawah tangga. Maka rotan dan batu diayunnya di bawah tangga sambil bernyanyi.

Ayun-ayunlah rotan dan batu Letakmu tuan di pulau Rindu Kaulah jelmaan ayah bundaku Sungguhlah dendam hatiku rindu

Ayunlah ayun rotan melingkar Pedihnya hati bagai dibakar Hayolah tuan menjelmah segera Obatkan hati pedih dan lara.

Terdengarlah oleh Mambang Segara, maka katanya “Aduh merdunya suaramu, coba ulang lagi apa yang kau katakan, masak rotan dan batu yang kau ayun-ayunkan.” Selendang Delima diam saja, tapi dia menggulanginya lagi.

Ya illahi Tuhanku Rabbi

Sakitnya hati bagaikan kambing dikuliti Mambang Segara nama uwakku Sri Bunian nama ibuku


(59)

Maka datang Mambang Segara, dilemparkannya rotan dan batu itu kehalaman, dan menjelmalah berupa bayang-bayang ibunya Sri Bunian. Dan berkatalah Sri Bunian, “Oh, abangku rupanya pedih sekali hati anakku dibuat oleh isteri abang yang enam itu, hanya isteri yang bungsulah yang sayang kepadanya, tapi mudah-mudahan tuhan melindungi anakku dan diri abang.” Barulah Mambang Segara sadar bahwa Seledang Delima ini adalah anak adiknya Sri Bunian. Maka dipanggilnyalah isteri yang enam itu tadi mau disiksanya, tapi Selendang Delima melarangnya.

“jangan, maafkanlah mereka . . . . .kalau tidak karena perbuatan mereka mungkin kisah ini tidak terbuka.” Jadi dimaafkannyalah isteri yang enam ini. Pendek cerita tinggallah isteri yang bungsu dengan Selendang Delima bersama-sama. Maka kerajaan itu kembali makmur sedia kala. 2.5. Latar

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 201:2.18). Latar memberikan pijakan cerita secara kongkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Pembaca, dengan demikjan, merasa dipermudah untuk "mengoperasikan" daya imajinasi-nya, di samping dimungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar. Pembaca dapat


(60)

merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar yang diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah merasa menemukan dalam cerita itu sesuatu yang sebenarnya menjadi bagian dirinya. Hal ini akan terjadi jika latar mampu mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengar, perwatakannya ke dalam cerita.

Menurut Nurgiyantoro (2001:227) unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mernpengaruhi satu dengan yang iainnya. Ketiga unsur latar tersebut secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:

(1) Latar tempat, latar ini menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan daiam sebuah karya sastra. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat-tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata, misainya pantai, hutan, desa, kota, kamar, ruangan, dan lain-lain.

(2) Latar waktu, latar ini berhubungan dengan masalah ”kapan" terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Masalah "kapan" tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu


(61)

kemudian dipergunakan untuk mencoba masuk ke dalam suasana cerita. Pembaca berusaha memahami dan menikmati cerita berdasarkan acuan waktu yang diketahuinya yang berasal dart luar cerita yang bersangkutan. Adanya persamaan perkembangan dan atau kesejalanan waktu tersebut juga dimanfaatkan untuk mengesani pembaca seolah-olah cerita itu sebagai sungguh-sungguh ada dan terjadi,

(3) Latar sosial, latar ini menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikiran bersikap, dan lain-lain.

2.6. Watak dan Perwatakan

Dalam pembicaraan sebuah karya sastra, sering dipergunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama, Istilah-istilah tersebut, sebenarnya, tidak menyaran pada pengertian yang persis sama, walau ada di antaranya yang sinonim. Ada istilah yang pengertiannya menyaran pada tokoh cerita, dan pada,"teknik" pengembangannya dalam sebuah cerita.


(62)

Istilah "tokoh" menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawab terhadap pertanyaan: "Siapakah tokoh utama cerita rakyat itu?", atau "Ada berapa prang juinlah pelaku dalam cerita rakyat itu?", atau "Siapakah tokoh protagonis dan antagonis dalam cerita itu?", dan sebagainya. Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk para sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kuatitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi, karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan, menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita. Atau seperti dikatakan oleh Jones dalam (Nurgiyantoro, 1999:165), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jeias tentang seorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

Penggunaan istilah "karakater" (character) sendiri dalam berbagai literatur bahasa Inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yagn ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut (Stanton dalam Nurgiyantoro, 1999:165). Dengan demikian, character dapat berarti 'pelaku cerita' dan dapat pula berarti 'perwatakan'. Antara seorang tokoh dengan perwatakan yang dimilikinya, memang, merupakan suatu kepaduan yang utuh. Penyebutan nama tokoh tertentu, tidak jarang, langsung mengisyaratkan kepada kita perwatakan yang dimilikinya. Hal itu


(63)

terjadi terutama pada tokoh-tokoh cerita yang telah menjadi milik masyarakat, seperti Sampuraga dengan sifat-sifatjahatnya, dan lain-lain.

Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya sastra dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Berdasarkan perbedaan sudut pandang dan tinjauan, seorang tokoh dapat saja dikategorikan ke dalam beberapa jenis penamaan sekaligus, misalnya sebagai tokoh utama-protagonis-berkembang-tipikal. Adapun jenis-jenis tokoh cerita tersebut adalah:

a. Tokoh utama dan tokoh tambahan

Membaca sebuah karya sastra, kita akan dihadapkan pada sejumlah tokoh yang dihadirkan dj dalamnya, Namun, dalam kajtannya dengan keseluruhan cerita, peranan masing-masing tokoh tersebut tidak sama.

Dilihat dari segi peranan dan tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah .cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita, dan sebaliknya, ada tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama (central

character, main character), sedang yang kedua adalah tokoh tambahan


(64)

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya daiam sebuah cerita yang bersangkutan. la merupakan tokoh yang paling banyak dicerita, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Bahkan pada cerita rakyat tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam tiap hataman buku cerita yang bersangkutan.

b. Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis

Jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot dapat dibedakan acia.nya tokoh utama dan tokoh tambahan, dilihat dari

fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis

dan tokoh antagonis. Membaca sebuah karya sastra, pembaca, sering mengidentifikasikan diri dengan tokoh tertentu, memberikan simpati, dan simpati melibatkan diri secara emosional terhadap tokoh tersebut. Tokoh yang disikapi demikian oleh pembaca disebut sebagai tokoh protagonis. (Alterbend dan Lewis dalam Nurgiyantoro, 1999:178). Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita. Tokoh .protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan kita, harapan-harapan kita, sebagai pembaca. Maka kita sering mengenalinya sebagai memiliki kesamaan dengan kita, permasalahan yang dihadapinya seolah-olah juga sebagai permasalahan kita, demikian pula halnya dalam menyikapinya. Demikian pula sebaliknya,


(65)

tokoh antagonis, adalah tokoh yang menampilkan sesuatu yang tidak sesuai dengan pandangan kita, tidak sesuai dengan norma-norma, dan nilai-nilai yang tidak ideal bagi kita.

c. Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat

Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh sedehana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks atau tokoh bulat (complex atau round character).

Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja. Sebagai seorang tokoh manusia, ia tidak diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, la tidak memijiki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu.

Tokoh bulat atau kompleks adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadiannya, dan jati dirinya. la dapat saja memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia pun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam. Bahkan mungkin seperti bertentangan dan sulit diduga. Oleh karena itu, perwatakannya pun pada umumnya sulit dideskripsikan secara tepat.


(66)

1. watak atau tokoh cerita

Tokoh utama dalam cerita SD ini adalah Mambang Segara dan Sri Bunian yang mempunyai seorang anak yang bernama Selendang Delima. Sedangkan tokoh tambahan dalam cerita rakyat SD adalah Istri ke-1 sampai istri ke-7.

2. perwatakan dan penokohan

Tokoh cerita dan perwatakannya dalam SD adalah:

• Mambang Segara memiliki perwatakan yang tegas, adil, bertanggung jawab, arif, pemberani serta sangat menyayangi keluarga

• Sri Bunian memiliki perwatakan yang baik,keingintahuan yang tinggi sehingga menyebabkan musibah kepadanya,ceroboh,namun sayang terhadap abangnya.

• Istri ke-1 sampai istri ke-6 memiliki perwatakan yang jahat, sombong, egois, iri hati terhadap istri ke-7 Mambang Segara dan kepada Selendang Delima.

• Selendang Delima memiliki perwatakan yang pemaaf, sabar, patuh, tidak mudah putus asa, menyayangi istri ke-7 dan Mambang Segara.


(67)

BAB III

TINJAUAN SOSIOLOGIS TERHADAP CERITA RAKYAT SELENDANG DELIMA PADA MASYARAKAT MELAYU LANGKAT

3.1. Patuh Kepada Nasihat

Patuh adalah sifat seseorang yang tidak mau menyangkal atau membantah tentang apa yang dikatakan atau diinginkan orang lain. Patuh juga dapat diartikan bertekad baik, tidak sembrono kepada orang lain.

Untuk lebih jelas mengenai pengertian patuh kepada nasihat, penulis menurunkan pendapat Poerwadarminta yang memaparkan bahwa "Patuh adalah suka menurut (perintah dan sebagainya); taat (kepada perintah, aturan dan sebagainya); berdisiplin.". Adapun "Nasihat adalah ajaran atau pelajaran baik, anjuran, petunjuk, peringatan, teguran yang baik, ibarat yang terkandung dalam suatu cerita dan sebagainya."

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sifat patuh kepada nasihat adalah seseorang yang mematuhi ajaran atau teguran yang baik kepada orang lain yang ada didalam suatu cerita.

Sifat patuh Kepada nasihat ini merupakan sifat utama dari masyarakat Melayu dimana pun ia berada dan dalam kondisi apapun. Patuh bagi masyarakat Melayu merupakan pengejawantahan dari sifat menghormati kepada orang yang lebih tua atau lebih punya kuasa. Bahkan sikap patuh pada masyarakat Melayu juga merupakan wujud dari ajaran yang mereka


(68)

anut yaitu Islam. Dalam Islam sikap patuh kepada orang tua atau orang yang lebih tua bersifat wajib. Hal ini sesuai dengan pendapat Husny (1975:105) bahwa masyarakat Melayu adalah masyarakat yang patuh kepada agama, orang. tua, dan adat istiadat Terutama kepada agama, patuh kepada ajaran agama adalah kewajiban yang memang harus ditunaikan tanpa harus ada pertanyaan atau pelanggaran. Bahkan adat sendiri pun harus tunduk dan patuh kepada ketentuan agama seperti pepatah yang mengatakan: adat

bersendikan sarak, sarak bersendikan kitabullah. Artinya bahwa setiap

tindakan manusia Melayu harus bersandar kepada syariat Islam dan syariat (Islam itu sendiri harus bersandar kepada Kitabullah atau Al Quran. Sikap orang Melayu memang harus sesuai dengan petunjuk agama Islam karena bagi masyarakat Melayu secara umum ada anggapan bahwa Melayu itu identik dengan Islam, kalau tidak lelarn maka tidak disebut orang Melayu walaupun ia berasal dari suku Melayu tetapi bila ia tidak Islam maka ia tidak dapat disebut sebagai orang Melayu.

Pada sisi lain, patuh kepada orang tua, adat, atau orang yang lebih dituakan, bahkan suami. Kepatuhan dapat saja diberlakukan asalkan apa yang diperintahkan tersebut memiliki kebenaran. Artinya bahwa dapat saja kita tidak patuh kepada orang tua, adat, atau orang yang lebih tua bahkan istri bila apa yang mereka minta atau suruh tidak sesuai dengan ajaran agama atau nilai-nilai kebenaran universal maka tidak wajib seseorang itu untuk rnelaksanakannya. Sebaliknya, apabila apa yang diminta,


(69)

diperintahkan, dan dianjurkan itu benar adanya maka wajib kita mematuhinya.

Dalam cerita rakyat SD banyak sekali menganjurkan kita agar patuh terhadap nasihat. Dimana apabila kita melanggar nasihat itu maka akan dapat mengakibatkan kerugian diri sendiri dan orang lain. Orang yang tidak patuh terhadap nasihat akan dapat merugikan diri sendiri seperti pada kutipan cerita berikut.

Pada suatu hari berkatalah si abang ”Adikku kalau lapar sekali engkau, makanlah buah-buahan yang lain, tapi buah yang satu ini jangan kau makan, itu namanya buah Delima, kalau kau makan juga datang aib pada dirimu.” baiklah bang, apa yang abang larang tidak akan kulakukan.”

Jadi pada suatu hari entah bagaimana ingin sekali si adik memakan buah Delima itu, lantas dimakannyalah buah itu, tapi ini tidak dikatakannya kepada abangnya. Maka terjadilah perubahan pada dirinya bulan demi bulan, karena dia hamil buah itu bukan buah biasa, tapi buah jelmaan Dewa.

Perbuatan melanggar nasihat juga dapat dilihat dari petikan cerita berikut. Jadi sewaktu raja berlayar, datanglah ke enam isterinya kerumah isteri yang bungsudan mereka melihat sebuah peti dan bertanya ; ”Dik, apa yang ada di dalam peti itu?” ”O,.... ini pesan suami kita, tidak boleh dibuka, kalau dibuka nanti dia murka, jadi saya tidak berani membukanya.” ”O, jangan-jangan madu kita yang disembunyikannya di dalam. Kita sudah tujuh cukuplah jangan sampai delapan, ”kata yang enam ini.” ”kakak, janganlah


(70)

pesan suami kita tidak boleh kita langgar.” ”Ah, bukalah kata yang enam ini”. Karena takutnya, maka dengan berat hati dibukalah peti itu oleh isteri yang bungsu.

3.2. Bekerja Keras

Keras berarti kokoh dan kuat, tidak mempunyai sifat mudah menyerah dan menyesal selalu ulet dan tekun.

Untuk lebih jelas mengenai pengertian patuh kepada nasihat, penulis menurunkan pendapat Poerwadarminta mengatakan "Keras adalah padat, kuat dan tidak mudah berubah bentuknya atau tak mudah pecah." (1996:492). Sedangkan "Kerja adalah perbuatan melakukan sesuatu: sesuatu yang diperbuat atau dilakukan." (1996:487).

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sifat rajin bekerja/kerja keras adalah sifat manusia yang mengerjakannya dengan menerapkan disiplin yang baik.

Bekerja keras merupakan kodrat manusia untuk bisa memperbaiki taraf hidupnya karena dengan bekerja keras manusia dapat mewujudkan semua keinginan yang ada dalam dirinya. Sehubungan dengan itu, masyarakat Melayu merupakan tipe masyarakat yang bekerja keras walaupun pada saat kedatangan kolonial Belanda terdapat mitos bahwa masyarakat Melayu termasuk ke dalam tipe masyarakat pemalas, Alatas (1998:65) mengatakan bahwa masyarakat Melayu bukanlah masyarakat


(71)

pemalas seperti yang disampaikan oleh kolonial Belanda. Masyarakat Melayu yang memiliki lahan tanah luas di Deli tidak mau bekerja sama dengan Belanda untuk mengembangkan perkebunan tembakau di tanah Deli. Bahkan mereka tidak mau bekerja pada pengusaha Belanda walaupun mereka diberi bayaran tinggi. Oleh karena itu, Beianda menyebut mereka sebagai masyarakat yang pemalas karena mereka tidak mau bekerja sama dengan pemerintah Belanda.

Masyarakat Melayu bila menginginkan sesuatu yang diinginkannya akan sangat bekerja keras sampai keinginannya tersebut tercapai. Sifat pekerja keras ini merupakan pengejawantahan dari adat-istiadat Melayu itu sendiri yang menasihati manusia untuk bekerja keras dalam hidup supaya hidup lebih berarti dan lebih terpandang.

Sehubungan dengan hal di atas maka tinjauan terhadap cerita rakyat

SD adalah rajin bekerja/kerja keras, tidak mudah menyerah. Nilai ini dapat

diketahui dari sikap Mambang Segara yang tidak mudah menyerah hidup berdua dengan adiknya tanpa ada seorangpun lagi di negerinya di sebabkan oleh bencana yang menghancurkan negerinya. mereka dituntut untuk mandiri dan berkerja keras untuk kelangsungan hidup mereka.

Maka akhir daripada kerja keras dan jerih payah Mambang Segara itu menghasilkan sebuah kesuksesan yang sangat besar. Karena kebaikannya dan keperkasaanya serta kerja keras itu dia diangkat sebagai Raja di sebuah negeri.


(72)

3.3. Sifat jahat

Orang yang bersifat jahat adalah orang yang berkepribadian buruk, selalu membuat keonaran dan keresahan dalam masyarakat. Sifat sombong, iri, dan dengki merupakan sifat jahat yang terdapat dalam hati manusia, yang selau mengangap dirinya paling hebat, mempunyai kelebihan dari orang lain, misalnya lebih dalam ilmu pengetahuanya, kekayaannya, kecantikannya, dasebagainya. Perasaan lebih baik dari orang lain ini akan kelihatan dalam sikap dan tindak tanduk sehari-hari serta penampilanya di tangah-tengahkehidupan bermasyarkat. Imam Syafi’l dan Muhammad Afif Az-Za’by (1992 : 64) mengatakan.“ aku banyak mengenal orang, tetapi aku tidak pernah merasa dengki kepada mereka. Itulah sebabnya mereka sayang kepadaku. Bagaimana mungkin seseorang akan berlemah lembut kepada seorang pedengki, bila pedengki itu tidak menghendaki sesuatupun selain hilangnya nikmat dari orang tersebut.“

Sifat jahat amatlah tercela, baik di sisi Allah maupun dimata manusia dan akan membawa kerugian dan bahaya besar. Orang yang memiliki sifat sombong contohnya, pasti tidak memiliki rasa rendah hati. Orang yang jahat selalu berada dalam kedengkian dan dusta serta tidak mampu menahan hawa nafsunya, juga tidak mungkin memberikan nasihat baik kepada orang lain kesukaannya adalah menghina dan mencemoohkan, terlebih terhadap


(1)

maafkanlah mereka...kalau tidak karena perbuatan mereka mungkin kisah ini tidak terbuka. ” Jadi dimaafkannyalah isterinya yang enam ini.


(2)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan yang terdapat pada bab-bab sebelumnya maka dapat di tarik kesimpulan dari pembahasan terhadap cerita Selendang

Delima ( SD ) sebagai berikut :

1. Tema dari cerita SD adalah kesabaran dan perjuangan yang tidak kenal lelah akan membuahkan kebahagiaan.

2. Alur dari cerita SD adalah alur maju (Progresif) dan dalam alur cerita tidak dapat alur mundur (flashback).

3. Watak dan perwatakan dalam cerita SD terdiri atas watak utama dan watak sampingan; Sedangkan perwatakan para tokoh adalah datar (flat) artinya tidak terdapat perubahan watak para tokoh dari awal sampai akhir.

4. Latar dalam cerita SD terdiri atas tiga yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial yang kesemua latar tersebut kebanyakan terjadi di lingkungan hutan dan istana.

5. Tinjauannya

a. Patuh kepada nasihat b. Rajin bekerja / kerja keras


(3)

d. Kasih sayang saudara kandung e. Sifat memaafkan sesama manusia

4.2 Saran

Berdasarkan hasil analisis terhadap cerita Selendang Delima maka dalam hal ini dapat diberikan saran sebagai berikut:

1. Dalam cerita-cerita rakyat banyak terdapat Tinjauan Sosiologi yang dapat dijadikan alat pembersihan jiwa para pembacanya.

2. Pelestarian dan penginvetarisasian cerita rakyat yang kini mulai surut hendaknya dibangkitkan kembali untuk menjaga nilai-nilai budaya kita 3. Adanya perhatian orang tua untuk tetap memperkenalkan cerita-cerita

rakyat yag bersifat mendidik kepada anak-anaknya sehingga cerita rakyat tetap dikenal oleh setiap lapisan masyarakat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abiding, Gaffar, dkk. 1990. Struktur Sastra Lisan Musi. Jakarta: Depdikbud RI.

Alatas Ali. 1998. Mitos Pribumi Malas. Jakarta. LP3ES

Ali, Munir 1989. Kajian Kesusasteraan Melayu Klasik. Flo Enterprise Sdn,Bhd.

Aminuddin. 1990. Sekitar Ilmu Sastra. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh. Damono Sapardi Djoko. 1999. Sosiologi Sastra. Jakatra. Pusat Pembinaan

dan Pengenbangan Bahasa.

Djamaris, Edward. 2000. Menggali Khasanah Sastra Melayu Klasik. Jakarta : Balai Pustaka.

Dunn, Robert 2003 ”Pasca Modernisme : “Populisme, Budaya Masyarakat dan Garda Depan” Dalam Prisma, No. 1, Th XXII, hlm 36-38.

Hampari, Hamzah 1988. Pemikiran Sastra Nusantara. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka Kementeriaan Pendidikan Malaysia.

Hamka . 1997. Pelajaran Agama Islam. Jakarta : Bulan Bintang.

Hartoko, Dock dan B.Rahmanto. 1996. Pemandu Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

H.T.Faruq. 1995 Penghantar sosologis sastra : dari Strukrurlisme Genetik Sampai Post-Modernisasi. Pustaka Pelajar : Yogyakarta.


(5)

Husny, T. Lah. 1978. Sejarah Lintas Budaya pesisir Melayu Sumatra timur. Medan: BP Husny.

Iskandar, Teuku 1996. Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad. Jakarta : Libra.

Junus, Umar. 1993 . Dari Pristiwa Imajinasi. Jakarta. Gramedia.

Kayam, Umar 1991. Seni Tradisi, Masyarakat. Jakarta : Pustaka Jaya.

Mangunwijoyo. Burhan. 1992. sastra dan Relegiositas. Jakarta : Pustaka Jaya.

Muchtar Lubis. 1998. Tekhnik Mengarang. Jakarta. : Nunang Jaya.

Nurgianto, Burhan. 2001. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gadjah mada University Press.

Osman Taib, Mohd. 1976. Panduan Pengumpulan Tradisi Lisan Malaysia, Kuala Lumpur : Malindo Perinters Sdn, Bhd.

Poerwadarnaminta, W.J.S.1997. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

Pusat Pembinaan Bahasa. 1998. Kamus besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.

Pudentia Dananjaya. 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan, Jakarta : Yayasan Indonesia Dan Asosiasi Tradisi Lisan.

Rene Wellek dan Austin Warren. Teori Kesusatraan. Di Indonesiakan Oleh Budianta.Yogyakarta. Yogyakarta University Press.


(6)

Ridla Rasyid Muhammad. 1997. Wahyu illahi Kepada Muhammad. Diterjemahkan oleh Josef C.D. Jakarta : Pustaka Jaya.

Sabiq , Sayid. 2003. Aqidah Islam Pola Hidup Manusia Beriman. Terjemahan Moh. Abdai Rathaomy. Bandung : CV. Diponegoro.

Sumardjo, Jakob san Saini KM. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta : Gramedia.

Semi, Atar. 1981. Kritik Sastra. Bandung : Angkasa Bandung.

Semi, Atar. 1989. Metode Penelitian sastra. Bandung : Angkasa Bandung Teew, A 1983. Membaca Dan Menulis Sastra. Jakarta : Gramedia.

1989. Sastra dan Ilmu Sastra, Penghantar Teori Sastra. Jakarta : Gramedia.