Proses Pembuatan Mi Basah Matang

12

2. Proses Pembuatan Mi Basah Matang

Proses pembuatan mi basah matang terdiri dari proses pencampuran, pengadukan, pembentukan lembaran, pengistirahatan aging , penipisan, pemotongan, perebusan pengukusan, pendinginan dan pemberian minyak sawit. Bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan mi basah matang adalah tepung terigu, garam dapur, air dan garam alkali Bogasari, 2005. Terigu merupakan bahan dasar utama dalam pembuatan mi. Garam berfungsi memberikan rasa, memperkuat tekstur, membantu reaksi gluten dan karbohidrat, pengikat air serta meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mi Astawan, 1999. Air berfungsi untuk melarutkan garam dapur dan garam alkali, serta membantu pada pembentukan gluten Winarno dan Rahayu, 1994. Garam alkali yang digunakan dapat terdiri atas natrium karbonat Na 2 CO 3 , kalium karbonat K 2 CO 3 atau kalium polifosfat KH 2 PO 4 . Garam alkali berfungsi meningkatkan pH, menyebabkan warna sedikit kuning dengan flavor yang lebih baik. Natrium karbonat lebih berperan untuk kehalusan tekstur, kalium karbonat untuk meningkatkan kekenyalan sedangkan kalium polifosfat untuk meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mi Badrudin, 1994. Bahan pengembang dapat pula digunakan dalam pembuatan mi. Bahan pengembang yang umum digunakan adalah Carboxymethyl Cellulose CMC, Na-kaseinats dan Na-alginat. Bahan-bahan tersebut berfungsi untuk mempercepat pengembangan adonan dan mencegah penyerapan minyak sewaktu penggorengan Sunaryo, 1985. Proses pembuatan mi basah matang terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahap pencampuran bahan, pengadukan, pembentukan lembaran, aging, penipisan lembaran, pemotongan lembaran, penaburan mi dengan tepung, perebusan, dan pelumasan. Tahap pencampuran dalam proses pembuatan mi bertujuan menghasilkan campuran yang homogen, menghidrasi tepung dengan air dan membentuk adonan dari jaringan gluten sehingga adonan menjadi elastis dan halus. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses pencampuran adalah jumlah air yang 13 ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan. Umumnya air yang ditambahkan sekitar 34-40 dari bobot tepung. Jika air yang ditambahkan kurang dari 34, adonan menjadi kalis, rapuh dan sulit dibentuk menjadi lembaran. Sebaliknya jika air yang ditambahkan lebih dari 40, adonan menjadi basah dan lengket Bogasari, 2005. Suhu adonan yang terbaik adalah 25 sampai 40°C. Apabila suhunya kurang dari 25°C adonan menjadi keras, rapuh dan kasar sedangkan bila suhunya lebih dari 40°C adonan menjadi lengket dan mi kurang elastis Badrudin, 1994. Pengadukan dilakukan dalam dua tahap. Pengadukan pertama dilakukan dengan kecepatan lambat selama 1 menit. Selanjutnya pengadukan dilakukan dengan kecepatan sedang selama 4 menit. Pengadukan ini berfungsi mendistribusikan air secara merata pada tepung Bogasari, 2005. Pembentukan lembaran sheeting bertujuan menghaluskan serat- serat gluten dan mebuat adonan menjadi lembaran Bahrudin, 1994. Pembentukan lembaran dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah pembentukan lembaran dari adonan dengan jarak roll 3 mm. Tahap kedua, lembaran yang telah terbentuk dilipat menjadi tiga bagian dan dilewatkan kembali pada roll yang berjarak 3 mm sebanyak dua kali. Tahap ketiga, lembaran tersebut dilipat menjadi dua bagian dan dilewatkan kembali di antara dua roll yang berjarak 3 mm. Selanjutnya lembaran digulung dan diistirahatkan selama 15 menit untuk menyempurnakan pembentukan gluten. Setelah diistirahatkan, lembaran ditipiskan sampai terbentuk lembaran dengan ketebalan 1,5 mm. Lembaran dengan ketebalan 1,5 mm inilah yang siap untuk dipotong menjadi untaian benang-benang mi. Hasil yang didapatkan setelah tahap pemotongan lembaran adalah berupa mi basah mentah. Untuk memperoleh produk mi basah matang, mi dikukus atau direbus. Perebusan dilakukan selama 2 menit, sedangkan pengukusan dilakukan selama 13 menit. Pemasakan bertujuan agar terjadi 14 proses gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga mi menjadi kenyal Badrudin, 1994. Gelatinisasi ini membuat pati meleleh dan akan membentuk lapisan tipis film pada permukaan mi yang dapat memberikan kelembutan mi, meningkatkan daya cerna pati dan mempengaruhi daya rehidrasi mi Badrudin, 1994. Setelah pemasakan, mi didinginkan dalam air es selama 1 menit untuk menghentikan reaksi kimia yang masih terjadi. Tahap terakhir dalam pembuatan mi basah matang adalah pemberian minyak sawit. Pelumuran mi dengan minyak sawit dilakukan agar mi tidak menjadi lengket satu sama lain serta untuk memberikan citarasa agar mi tampak mengkilap Mugiarti, 2000 ; Bogasari, 2005. E. KERUSAKAN MI BASAH Kerusakan mi basah matang terhjadi pada penyimpanan suhu kamar setelah 40 jam Astawan, 1999. Kerusakan yang terjadi salah satunya disebabkan oleh tumbuhnya kapang. Pertumbuhan kapang ditandai dengan adanya miselium kapang pada permukaan mi. Miselium kapang pada mi umumnya berwarna putih atau hitam Hoseney, 1998. Kerusakan mi dapat dilihat dari perubahan warna dan diikuti dengan perubahan aroma mi menjadi asam diikuti dengan pembentukan lendir. Pembentukan lendir menandakan adanya pertumbuhan bakteri dan diikuti dengan timbulnya bau asam Hoseney, 1998. Mikroba yang terdapat pada mi dapat berasal dari bahan baku mi yaitu tepung. Menurut Christensen 1974 mikroorganisme yang terdapat pada tepung adalah kapang, kamir, dan bakteri. Bakteri yang terdapat pada tepung adalah Pseudomonas, Micrococcus, Lactobacillus serta beberapat spesies Achromobacterium. Kapang yang ditemukan pada tepung antara lain berasal dari genus Aspergillus, Rhizopus, Mucor, Fusarium, dan Penicillium. Selain berasal dari tepung, mikroorganisme yang tumbuh pada mi kemungkinan juga berasal dari air yang digunakan dalam pembuatannya. Mikroorganisme yang terdapat dalam air yang 15 tidak tercemar adalah kamir, spora Bacillus, spora Clostridium dan bakteri autotrof Alcamo, 1983. Mi basah mudah mengalami kerusakan atau kebusukan sehingga banyak usaha dilakukan untuk memperpanjang umur simpan mi basah. Salah satunya adalah dengan penambahan bahan tambahan pangan tertentu. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Gracecia dan Priyatna 2005 terhadap pedagang pasar tradisional dan pedagang produk olahan mi di daerah Jabotabek, menunjukkan bahwa umur simpan mi basah mentah dapat mencapai 4 hari, sementara umur simpan mi basah matang dapat mencapai 14 hari. Umur simpan dengan lama tersebut ternyata disebabkan penambahan formalin pada mi. Menurut Yohana 2007, umur simpan mi basah matang kontrol tanpa pengawet hanya berkisar antara 24 – 36 jam. Secara umum, ciri-ciri kerusakan mi basah mentah dan mi basah matang hampir sama Gracecia, 2005 ; dan Priyatna, 2005. Berdasarkan survei dapat diketahui bahwa kerusakan mi basah mentah ditandai dengan timbulnya kapang adanya bintik-bintik warna hitam merah biru, munculnya bau asam, mi menjadi hancur, patah-patah, atau menjadi lembek. Begitupula untuk mi basah matang, ciri kerusakan ditandai dengan adanya bau asam, tekstur menjadi lengket, berlendir, lembek, atau mi menjadi hancur. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Anggraeni 2007 menunjukkan pH mi basah matang menurun dengan cepat selama penyimpanan. Penyimpanan mi basah matang selama 48 jam tidak mempengaruhi warna mi Pahrudin, 2006. 16 III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu bahan untuk pembuatan mi dan bahan analisis. Bahan yang digunakan untuk pembuatan mi adalah tepung terigu merk Cakra Kembar, NaCl, garam alkali Na 2 CO 3 , air, minyak sawit, dan ekstrak fuli pala dengan etil asetat. Bahan yang digunakan untuk analisis adalah media PCA Plate Count Agar, APDAAcidified Potato Dextrose Agar , NaCl, plastik HDPE, aquades, alkohol 70, dan spirtus.

2. Alat