Roeslan Saleh. Ada beberapa alasan mengapa penyertaan dapat memperluas dipidananya perbuatan, yaitu:
a Penyertaan dipandang bentuk khusus dari tindak pidana.
b Penyertaan merupakan suatu delik, hanya bentuknya istimewa.
C. Pembagian Penyertaan Menurut KUHP
1. Pembuat
Pembuat dalam pengertian dader, ialah pembuat tunggal, ialah orang melakukan tindak pidana secara pribadi, artinya tidak ada orang lain yang terlibat
baik secara fisik objektif maupun secara psikis subjektif. Syaratnya ialah perbuatannya telah memenuhi semua unsur tindak pidana yang dirumuskan
undang-undang. Sedangkan pembuat dalam arti yang disebut dalam rumusan pasal 55 ayat
1 tidak melakukan tindak pidana secara pribadi, melainkan bersama-sama dengan orang lain dalam mewujudkan tindak pidana itu. Jika dilihat dari sudut
perbuatan masing-masing maka perbuatan itu merupakan perbuatan yang berdiri sendiri, dimana perbuatan tersebut hanyalah memenuhi sebagian syarat dari unsur
tindak pidana. Semua syarat tindak pidana terpenuhi tidak oleh perbuatan satu peserta, akan tetapi oleh rangkaian perbuatan semua peserta.
50
Menurut hukum pidana yang berlaku di negara kita siapakah yang dapat dikatakan dader?
51
50
Ibid., h.84.
51
P.A.F. Lamintang, Op. Cit., h. 599.
Dari rumusan-rumusan tindak pidana di dalam KUHP, yang sebagian besar dimulai dengan perkataan: “Barang siapa ...” dan dari sejumlah unsur
subjektif yang harus terdapat pada pelakunya, seperti: opzet, oogmerk, culpa, dan voormen.
52
Beberapa orang penulis berpendapat bahwa badan-badan hukum itu dapat menjadi dader dari suatu tindak pidana, yaitu sesuai kenyataan bahwa hal tersebut
telah diatur dalam Pasal 59 KUHP. Ketentuan pidana seperti yang telah diatur di dalam Pasal 59 KUHP tersebut sebenarnya hanya merupakan suatu
pengecualian. Dari jenis-jenis hukuman yang telah diancamkan oleh undang-undang
kepada para pelakunya, seperti hukuman denda, hukuman penjara atau hukuman kurungan yang semuanya itu hanya dapat dilaksanakan oleh manusia.
Dari ketentuan-ketentuan di dalam hukum acara pidana, di mana orang tidak dapat menjumpai suatu ketentuan pun yang mengatur masalah penuntutan
terhadap badan-badan hukum.
53
a. Pelaku Plager
Jadi dapa disimpulkan bahwa pembuat dalam pengertian dader mempunyai perbedaan dengan pleger dalam delik penyertaan. Berikut pemaparan
pembuat menurut delik penyertaan.
Menurut Hazewinkel Suringa yang dimaksud dengan pleger adalah setiap orang yang dengan seorang diri telah memenuhi semua unsur dari delik seperti
yang telah ditentukan di dalam rumusan delik yang bersangkutan, juga tanpa
52
Loc. Cit.
53
Ibid., h. 599-600.
adanya ketentuan pidana yang mengatur masalah deelneming itu, orang-orang tersebut tetap dapat dihukum.
54
b. Menyuruh Doenplegen
Dalam praktek sukar menentukannya, karena pembuat undang-undang tidak menentukan secara pasti siapa yang menjadi pleger. Kedudukan plager
dalam Pasal 55 sering dipermasalahkan. Terutama dalam penyertaan medeplegen.
Menyuruh yaitu dimana auctur intelectualis menyuruh auctor physicus dalam hal ini auctor physicus yang tidak dapat diminta pertanggung jawabannya
untuk melakukan tindak pidana. Auctur intelectualis tidak berbuat secara langsung, melainkan menggunakan orang lain sebagai alat untuk mengendalikan
auctor physicus tersebut. Dari pengertian di atas di dapat dipahami beberapa hal. Pertama peserta yang ada pada doenplegen yaitu:
1 Auctur intelectualis sebagai pembuat tidak langsung
2 Auctor physicus sebagai pembuat langsung
Menurut keterangan MvT, auctor physicus berdasarkan perbuatannya dapat dibagi menjadi:
a. Tindak pidana terwujud adalah atas perbuatan auctur physicus
sepenuhnya. Artinya auctor intelektualis tidak berperan secara nyata dalam tindak pidana tersebut.
b. Auctur physicus murni sebagai alat.
Kedua yang menjadi ciri-ciri dari doenplegen yaitu: 1
Alat yang dipakai adalah manusia.
54
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru: Bandung, 1990, h. 594.
2 Alat tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Simons, auctur physicus tidak dapat dipertanggungjawabkan karena:
55
a Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu adalah
seseorang yang ontoerekeningsvatbaar seperti yang tercantum dalam Pasal 44 KUHP.
b Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana mempunyai
suatu kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari tindak pidana yang bersangkutan dwaling.
c Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu sama
sekali tidak mempunyai schuld, baik dolus maupun culpa ataupun apabila orang tersebut tidak memenuhi unsur opzet seperti yang telah
disyaratkan oleh undang-undang bagi tindak pidana tersebut. d
Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak memenuhi unsur oogmerk padahal unsur tersebut tidak disyaratkan di
dalam rumusan undang-undang mengenai tindak pidana. e
Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu telah melakukannya di bawah pengaruh suatu overmacht atau di bawah
pengaruh suatu keadaan yang memaksa, dan terhadap paksaan dimana orang tersebut tidak mampu memberikan suatu perlawanan.
f Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana dengan
itikad baik telah melaksanakan suatu perintah jabatan padahal perintah
55
Ibid., h. 610.
jabatan tersebut diberikan oleh seorang atasan yang tidak berwenang memberikan perintah semacam itu.
g Apabila orang yang disuruh melakukan suatu itndak pidana itu tidak
mempunyai suatu hoedanigheid atau suatu sifat tertentu seperti yang telah disyaratkan oleh undng-undang yaitu sebagai suatu sifat yang
harus dimiliki oleh pelakunya sendiri. Sedangkan menurut VOS, auctur physicus
tidak dapat dipertanggungjawabkan karena :
56
a Orang yang disuruh melakukan adalah tidak mampu bertanggungjawab
atas perbuatannya oleh karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya dan terganggu jiwanya karena penyakit, sebagaimana yang
dimaksudkan oleh Pasal 44 ayat 1 KUHP yang berbunyi “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan
kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.”
b Auctur physicus itu terpaksa melakukan perbuatan tindak pidana karena
adanya pengaruh daya paksa overmacht sebagai mana yang dimaksud Pasal 48 KUHP yang berbunyi “Barang siapa melakukan perbuatan
karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.” c
Manus ministra melakukan perbuatan yang pada kenyataannya tindak pidana oleh sebab karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah
56
Adami Chazawi, Op. Cit., h. 91.
dengan iktikad baik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat 2 KUHP.
d Pada diri auctur physicus tidak terdapat kesalahan baik berupa
kesengajaan atau kealpaan. e
Auctur physicus dalam melakukan perbuatan yang tidak memenuhi salah satu dari unsur tindak pidana yang dirumuskan undang-undang.
Misalnya tindak pidana itu membutuhkan kualitas pribadi tertentu pembuatnya, atau memerlukan unsur kesengajaan atau unsur melawan
hukum, tetapi pada orang itu maupun pada perbuatannya tidak ada. Menurut Moeljatno auctur physicus tidak dapat dipertanggungjawabkan
karena :
57
a Tidak mempunyai kesengajaan, kealpaan, ataupun kemampuan
bertanggungjawab. b
Berdasarkan Pasal 44 KUHP yaitu karena cacat jiwa atau terganggu karena penyakit.
c Dalam keadaan daya paksa seperti yang dimaksud Pasal 48 KUHP.
d Berdasarkan Pasal 51 ayat 2 KUHP yaitu jika diperintah dengan itikad
baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkupan pekerjaannya.
e Orang yang disuruh tidak punya sifatkualitas yang disyaratkan dalam
delik.
57
Ibid., h. 93.
Menurut MvT WvS Belanda menyuruh melakukan adalah dia yang melakukan tindak pidana akan tetapi tidak secara pribadi, melainkan dengan
perantaraan orang lain sebagai alat dalam tangannya, apabila orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan atau tanpa tanggung jawab karena keadaan
yang tidak diketahui, disesatkan atau tunduk pada kekerasan. Dari keterangan MvT itu dapat ditarik unsur-unsur dari bentuk menyuruh,
yaitu:
58
a Melakukan tindak pidana dengan perantaraan orang lain sebagai alat di
dalam tangannya. b
Orang lain itu berbuat: a.
Tanpa kesengajaan. b.
Tanpa kealpaan. c.
Tanpa tanggung jawab, oleh sebab keadaan: 1.
Yang tidak diketahuinya. 2.
Karena disesatkan. 3.
Karena tunduk pada kekerasan. Sebagai hal yang juga penting, dari apa yang diterangkan oleh MvT ialah
bahwa jelas orang yang disuruh melakukan itu tidak dapat dipidana, sebagai konsekuensi logis dari keadaan subjektif batin: tanpa kesalahan, atau tersesatkan
dan atau tidak berdaya karena pembuat materiilnya tunduk pada kekerasan objektif.
59
58
Ibid., h. 85.
59
Loc. Cit.
Berdasarkan keterangan MvT tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa penentuan bentuk pembuat penyuruh lebih ditekankan pada ukuran objektif, ialah
kenyataannya tindak pidana itu dilakukan oleh orang lain yang ada dalam kekusaannya sebagai alat, yang dia berbuat tanpa kesalahan, dan tanpa tanggung
jawab. Walaupun sesungguhnya juga tetap memperhatikan hal-hal yang ternyata subjektif, yakni dalam hal tidak dipidananya pembuat materiilnya auctur
phisycus karena dia berbuat tanpa kesalahan, dan dalam hal tidak dapat dipertanggungjawabkan karena keadaan batin orang yang dipakai sebagai alat itu,
yakni tidak tahu dan tersesatkan, sesuatu yang subjektif. Sedangkan alasan karena tunduk pada kekerasan adalah bersifat objektif.
60
Dari penjelasan di atas menurut Adami Chazawi ada 3 tiga hal yang menyebabkan mengapa auctus physicus tidak dapat dipidana, yaitu:
61
1. Tanpa Kesengajaan atau Tanpa Kealpaan
Perbuatan auctur physicus pada kenyataannya merupakan telah mewujudkan tindak pidana, namun tidak ada kesalahan di dalamnya, baik karena
kesengajaan atau karena kealpaan. Karena alasan tanpa kesengajaan, seorang pemilik uang palsu actus
intelectualis menyuruh pembantunya berbelanja di pasar dengan menyerahkan 10 lembar uang yang diketahuinya palsu. Pembantu dalam kasus ini sebagai actus
physicus dalam kejahatan mengedarkan uang palsu pasal 245 KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas
yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank sebagai mata uang atau uang kertas asli
60
Ibid., h. 87.
61
Ibid., h. 86-90.
dan tidak dipalsu, padahal ditiru atau dipalsu olehnya sendiri, atau waktu diterima diketahuinya bahwa tidak asli atau dipalsu, ataupun barang siapa menyimpan atau
memasukkan ke Indonesia mata uang dan uang kertas yang demikian, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan
tidak dipalsu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Dalam kejahatan mengedarkan uang palsu, terkandung unsur kesengajaan. Dalam
hal ini pembantu ini tidak mengetahui tentang palsunya uang yang dibelanjakannya. Keadaan tidak diketahuinya itu artinya pada dirinya tidak ada
unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan. Karena kealpaan seorang ibu membenci pada seorang pemulung karena
seringnya mencuri benda-benda yang diletakkan di pekarangan rumah. Pada suatu hari ia mengetahui pemulung yang dibencinya itu sedang mencari benda-benda
bekas di bawah jendela rumahnya yang loteng. Untuk membuat penderitaan bagi pemulung itu, dia menyuruh pembantunya untuk menumpahkan air panas dari
jendela, dan mengenai pemulung itu. Pada diri pembantu tidak ada kelalaian karena telah diketahuinya bahwa selama ini tidak ada orang di bawah jendela dan
pembantu itu telah sering pula membuang air dari jendela. 2.
Karena Tersesatkan Apa yang dimaksud dengan tersesatkan disini adalah kekeliruan atau
kesalahpahaman akan suatu unsur tindak pidana yang disebabkan oleh pengaruh dari orang lain in casu manus domina dengan cara-cara yang isinya tidak benar
atau palsu, yang atas kesalahpahaman itu memutuskan kehendak dan berbuat. Keadaan yang menyebabkan orang lain timbul kesalahapahaman itu adalah oleh
sebab kesengajaan oleh penyuruh. Sehingga apa yang diperbuat oleh orang yang tersesatkan oleh karenanya dipertanggungjawabkan pada orang yang sengaja
menyebabkan keadaan tersesatkan tersebut. Seorang berkehendak untuk mencuri sebuah koper milik seorang
penumpang kereta api. Sejak semula di stasiun, sebelum orang itu naik kereta, orang jahat itu telah menguntitnya dan kemudian ikut pula menaiki kereta. Ketika
pemilik koper itu sedang tertidur lelap, dimana kereta api sedang berhenti pada suatu stasiun, orang jahat tadi menyuruh seorang kuli angkut untuk menurunkan
koper itu dan membawanya kesebuah taksi yang kemudian dipesan. Pada peristiwa ini, kuli tadi telah melakukan perbuatan mengambil koper milik orang
lain oleh sebab tersesatkan. Disini telah terjadi pencurian koper, tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan pada kuli, melainkan pada orang jahat yang menyuruh.
2. Karena Kekerasan
Apa yang dimaksud dengan kekerasan geweld itu adalah perbuatan dengan menggunakan kekuatan fisik yang besar, yang ditujukan pada orang,
mengakibatkan orang itu fisiknya tidak berdaya. Dalam hal bentuk penyuruh, kekerasan ini datangnya dari auctur intelectualis yang ditujukun pada auctur
physicus, sehingga orang yang menerima kekerasan fisik ini tidak mampu berbuat lain atau tidak ada pilihan lain selain apa yang dikehendaki oleh pembuat
penyuruh. Lalu menjadi pertanyaan mungkinknah seseorang yang tidak berkualitas,
menyuruh seseorang yang berkualitas misalnya dalam kejahatan jabatan?
Misalnya saja seorang yang bukan pegawai negeri menyuruh seseorang yang pegawai negeri untuk melakukan kejahatan jabatan?
Untuk menjawab tersebut ada 2 jawaban para sarjana. a.
Mungkin karena bentuk doenplegen bukanlah pembuat tunggal dader, tetapi tanggung jawabnya saja yang disamakan dengan
pembuat tunggal, maka dia tidak harus memiliki kualitas itu. Orang yang berkualitas itu adalah dader saja, bukan termasuk doen pleger.
Pendapat ini dianut Jonkers, Vos, dan Pompe. b.
Tidak mungkin karena tidak mungkin seorang yang bukan pegawai negeri menyuruh melakukan kejahatan jabatan pada seorang pegawai
negeri, karena tidak mungkin dapat menyuruh lakukan sesuatu yang dia sendiri tidak dapat melakukan itu. Artinya yang dapat menjadi
penyuruh adalah pegawai negeri sipil juga. Pendapat ini dianut oleh Van Hammel dan Simons.
Orang yang menyuruh melakukan mengambil peran sendiri pula, tetapi berbeda dengan pembujuk karena ia mempergunakan seorang perantara yang
dapat dipidana guna mencapai tujuannya. Kadang-kadang juga diungkapkan seperti berikut ini, orang yang “menyuruh melakukan” itu mempergunakan orang
lain sebagai “alat tak berkehendak”. Tidak dapat dipidananya itu mungkin dari ketidakmampuan bertanggungjawab sebagaimana pasal 44 KUHP atau dari
ketiadaan kesengajaan yang dipersyaratkan untuk si perantara. Ciri menyuruh melakukan asli, yakni mempergunakan orang lain yang tidak mampu
bertanggung jawab atau yang tidak tahu seakan-akan sebagai alat tak berkehendak di tangannya sendiri untuk mencapai tujuan-tujuan jahat.
c. Turut Serta Medeplegen
Menurut R. Sugandi dalam bukunya KUHP dan Penjelasannya, turut serta diartikan melakukan bersama-sama. Dalam tindak pidana ini pelakunya paling
sedikit harus ada dua orang, yakni yang melakukan dan turut melakukan. Dan dalam tindakannya keduanya harus melakukan perbuatan pelaksanaan. Jadi
keduanya melakukan tindak pidana itu. Tetapi apabila kedua pelaku itu hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya
membantu, maka kedua pelaku itu tidak dapat dikategorikan sebagai orang yang turut melakukan, akan tetapi hanya sebagai orang yang “membantu melakukan”
sebagai mana dimaksud pasal 56.
62
Menurut Mahrus Ali turut serta ialah orang yang melakukan kesepakatan dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan pidana dan secara bersama-
sama pula ia turut beraksi dalam pelaksanaan perbuatan pidana dan secara bersama-sama pula disepakati. Jadi, dalam penyertaan bentuk turut serta ini, dua
orang atau lebih yang dikatakan sebagai medepleger tersebut semuanya harus terlibat aktif dalam suatu kerja sama pada suatu perbuatan pidana yang mereka
lakukan.
63
62
R.Sugandi, KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1980, h. 70.
63
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, h. 126.
Menurut Schaffmeister turut serta ialah seorang pembuat ikut serta mengambil prakarsa dengan berunding dengam orang lain dan sesuai dengan
perundingan itu mereka itu bersama-sama melaksanakan delik.
64
1. Bersepakat.
Dari defenisi diatas di dapatin beberapa unsur yaitu:
2. Bersama orang lain membuat rencana.
3. Melakukan perbuatan pelaksanaan.
4. Bersama-sama melaksanakannya.
Sedangkan syarat turut serta menurut Teguh Prasetyo yaitu sebagai berikut:
65
1. Mereka memenuhi semua rumusan delik.
2. Salah satu memenuhi semua rumusan delik.
3. Masing-masing hanya memenuhi sebagian rumusan delik.
4. Adanya kerja sama secara sadar, kerja sama yang dilakukan secara
sengaja untuk bekerja sama dan ditujukan kepada hal yang dilarang undang-undang.
5. Adanya pelaksanaan secara fisik kerja sama yang erat dan langsung
atas suatu perbuatan yang langsung menimbulkan selesainya delik yang bersangkutan.
Dalam turut serta ditemui mengenai penentuan kualitas dari peserta. Penetuan tersebut yaitu pandangan secara sempit objektif dan pandangan secara
luas subjektif.
64
Schaffmeister, Keizer dan Sutorius, Hukum Pidana, Diterjemahkan oleh J.E. Shetapy, Yogyakarta: Liberty, 1995, h. 255.
65
Teguh Prasetyo, Op. Cit., h. 208.
1. Pandangan secara sempit objektif
Menurut pandangan secara sempit, para peserta harus memenuhi semua rumusan unsur delik.
2. Pandangan secara luas subjektif
Menurut pandangan secara luas, para peserta memiliki peran tersendiri hingga terjadinya suatu perbuatan pidana. Ada yang menjadi pembuat pelaksana,
dan ada yang menjadi pembuat peserta. Sejalan dengan apa yang disampaikan Schaffmeister dan Teguh Prasetyo,
1. Antara para peserta ada kerja sama yang diinsyafi.
Hoge Raad dalam arrestnya menyatakan dua kriteria pembuat peserta.
2. Para peserta telah sama-sama melaksanakan tindak pidana yang
dimaksudkan
66
d. Penganjur Uitlokker
.
Penganjur sudah dirumuskan dengan jelas secara limitatif pada Pasal 55 ayat 1 angka 2 yaitu mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu
dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan,
sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. Menurut Adami Chazawi rumusan undang-undang tersebut terdiri dari 2
dua unsur, yaitu :
66
Ibid., h. 102.
1. Unsur objektif, terdiri dari :
a. Unsur perbuatan, ialah: menganjurkan orang lain melakukan
perbuatan. Caranya : 3
Dengan memberikan sesuatu Memberi sesuatu mempunyai arti sesuatu yang berharga bagi orang yang
dianjurkan. Jika tidak berharga maka tidak akan mampu menggerakkan orang yang dianjurkan untuk mengikuti kehendak penganjur. Makna berharga bukan
hanya benda, melainkan juga jasa bahkan suatu pekerjaan dan fasilitas lainnya. 4
Dengan menjanjikan sesuatu Perbedaan antara menjanjikan dengan memberikan sesuatu adalah bahwa
sesuatu yang dijnjikan diberikan setelah pelaksanaan tindak pidana, sedangkan pada memberikan sesuatu, benda atau sesuatu yang digunakan untuk
menggerakkan pembuat materiil telah diberikan terlebih dahulu. 5
Dengan menyalahgunakan kekuasaan Menyalahgunakan kekuasaan adalah menggunakan kekuasaan yang
dimiliki secara salah. Kekuasaan ini adalah kekuasaan yang dalam hubungannya dengan jabatan atau pekerjaan baik dalam lapangan hukum publik maupun dalam
lapangan hukum privat. Ada beberapa unsur yang harus dipenuhi dalam menyalahgunakan
kekuasaan, yaitu: a.
Ada hubungan pekerjaan atau kekuasaan antara penganjur dan orang yang dianjurkan.
b. Tindak pidana yang dilakukan tersebut, dialkukan selama masih ada
hubungan pekerjaan atau kekuasaan antara penganjur dan orang yang dianjurkan.
6 Dengan menyalahgunakan martabat
Menyalahgunakan martabat ditujukan pada orang-orang yang memiliki kedudukan terhormat dan berwibawa. Misalnya saja tokoh masyarakat, pemuka
agama, tokoh politik, atau pejabat publik tertentu. Martabat menurut KBBI Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tingkat
hargat manusia. Terhormat menurut KBBI Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah mulia. Wibawa menurut KBBI Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
pembawaan untuk dapat menguasai dan mempengaruhi orang lain melalui sikap dan tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan penuh daya tarik.
67
7 Dengan kekerasan
Penganjuran dengan kekerasan ialah penganjuran dengan menggunakan kekuatan fisik kepada orang yang dianjurkan agar mengikuti kehendak penganjur.
Kekerasan dalam uitlokken berbeda dengan kekerasan dalam doenplegen. Perbedaannya adalah kekerasan pada uitlokken memungkinkan orang yang
dianjurkan untuk memilih pilihan lain agar tidak mengikuti kehendak penganjur. Sedangkan pada doenplegen, tidak ada pilihan lain lagi selain mengikuti kemauan
penyuruh. Namun tidak ada satuan pasti, tentang bagaimana keadaan yang dikatakan tidak ada pilhan lain atau ada pilihan lain. Semua tergantung kebiasaan.
8 Dengan ancaman
67
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Penganjuran dengan ancaman dilakukan dengan menekan atau intervensi kepada psikis orang yang dianjurkan dengan memberi rasa takut, khawatir dan
ketidakberdayaan. Syarat penganjur disertai ancaman bahwa orang yang dianjurkan berkeyakinan bahwa apa yang diancamkan penganjur benar-benar
akan terjadi dan bukan sekedar bualan belaka. 9
Dengan penyesatan Penganjuran dengan penyesatan ialah membuat kebohongan kepada orang
yang dianjurkan sehingga orang dianjurkan menjadi keliru akan pendiriannya. Pada doenplegen orang yang disuruh, benar-benar tidak mempunyai daya upaya
untuk memutuskan terhadap apa yang disuruh oleh penyuruh. 10
Dengan memberi kesempatan 11
Dengan memberi sarana 12
Dengan memberi keterangan 2.
Unsur subjektif yaitu sengaja Syarat menganjurkan menurut Adami Chazawi
68
1. Kesengajaan si penganjur, yang harus ditujukan kepada 4 empat hal
yaitu: :
a. Ditujukan pada digunakannya upaya-upaya penganjuran.
b. Ditujukan pada mewujudkan perbuatan menganjurkan berserta
akibatnya. c.
Ditujukan pada orang lain untuk melakukan perbuatan apa yang dianjurkan.
68
Ibid., h. 113
d. Ditujukan pada orang lain yang dapat dipertanggung jawabkan atau
dapat dipidana. 2.
Dalam melakukan perbuatan menganjurkan, harus menggunakan cara- cara menganjurkan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 55 ayat
1 angka 2. 3.
Terbentuknya kehendak yang dianjurkan pelaksana untuk melakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang dianjurkan adalah disebabkan
langsung oleh digunakannya upaya-upaya penganjuran oleh si penganjur adanya psychische causaliteit.
4. Orang yang dianjurkan pelaksana telah melaksanakan tindak pidana
sesuai dengan yang dianjurkan boleh pelaksaan itu selesai atau sebatas percobaan.
5. Orang yang dianjurkan adalah orang yang mampu bertanggungjawab.
Sedangkan syarat menganjurkan menurut Leden Marpaung
69
1. Kesengajaan si penganjur ditujukan pada dilakukannya delik tertentu
oleh yang dibujuk. :
Artinya kesengajaan si penganjur sama dengan kesengajaan si pelaku atau orang yang dianjurkan, yakni dilakukannya delik tertentu. Dalam hal adanya
kekeliruan, si penganjur tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Menganjurkan orang itu dilakukan dengan cara- cara yang ditentukan dalam Pasal
55 ayat 1 angka 2.
69
Leden Marpaung, Op. Cit., h. 85.
2. Orang yang dianjurkan itu telah terbujuk untuk melakukan delik
tertentu. Hal ini merumuskan hubungan kasual antara: a.
Si pembujuk. b.
Orang yang dibujuk. c.
Delik yang dilakukan. d.
Orang yang dianjurkan benar-benar telah melakukan delik setidaknya melakukan percobaan.
Orang yang dianjurkan tersebut memenuhi beberapa persyaratan sebagai pelaku dader. Dengan demikian, terhadap percobaan pogging, orang yang
dianjurkan juga tidak terkecualikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hoge Raad yang tercantum pada arrest tanggal 2 Januari 1933, No. 12582, yang berbunyi:
“Suatu uitlokking itu juga dapat dihukum walaupun perbuatan pelaku materiilnya itu hanya menghasilkan suatu percobaan yang dapat dihukum”.
Selain yang dikemukanan Adami dan Leden ada juga bentuk penganjur menurut doktrin, yaitu:
1 Penganjuran sampai tahap percobaan Uitlokking bij poging.
2 Penganjuran dimana perbuatan pelaku hanya sampai pada taraf
percobaan saja. 3
Penganjuran yang gagal mislucke uitlokking. 4
Pelaku tadinya tergerak untuk melakukan delik, namun kemudian mengurungkan niat tersebut.
5 Penganjuran tanpa akibat zonder gevold gebleiben uitlokking.
6 Pelaku sama sekali tidak tergerak untuk melakukan delik.
2. Pembantuan Medeplichtigo Pembantuan diatur dalam Pasal 56 KUHP yang berbunyi “Dipidana
sebagai pembantu suatu kejahatan: a.
Mereka yang sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.
b. Mereka yang sengaja memberikan kesempatan, sarana atau keterangan
untuk melakukan kejahatan.” Berdasarkan dari bunyi Pasal 56 KUHP diatas dapat maka dapat
disimpulkan dua bentuk pembantuan yaitu: a.
Sebelum dilaksanakannya kejahatan. b.
Saat dilaksanakannya kejahatan. Bantuan seseorang kepada orang lain tidak mungkin terjadi setelah tindak
pidana itu sendiri dilakukan, karena kalau hal demikian yang terjadi setelah tindak pidana itu sendiri dilakukan, karena kalau hal demikian yang terjadi, maka orang
itu tidak lagi disebut sebagai pembantu, tetapi sudah merupakan pelaku tindak pidana secara sendiri.
70
Bila bantuan itu diberikan sesudah kejahatan itu dilakukan, maka orang itu dipersalahkan melakukan perbuatan sekongkol atau tadah heling yang dapat
dituntut menurut pasal 480 atau peristiwa pidana yang tersebut dalam Pasal 221. Elemen sengaja harus ada, sehingga orang yang secara kebetulan dengan tidak
70
Mahrus Ali, Op. Cit., h. 132.
mengetahui telah memberikan kesempatan, daya upaya atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu tidak dihukum.
71
Niat untuk melakukan kejahatannya harus timbul dari orang yang diberi bantuan, kesempatan, daya upaya atau keterangan itu, jika niatnya itu timbul dari
orang yang memberi bantuan sendiri, maka perbuatan orang yang membantu termasuk uitlokken. Bantuan yang diberikan itu dapat berupa apa saja, baik moril
maupun materiil, tetapi sifatnya hanya membantu saja, tidak boleh demikian besarnya, sehingga orang itu dapat dianggap melakukan suatu anasir atau elemen
perbuatan pelaksanaan dari peristiwa pidana. Sebab jika demikian maka hal ini termasuk medeplegen.
72
Moeljatno mengatakan bahwa dengan sengaja membantu orang lain melakukan suatu kejahatan, dibedakan atas dua macam yaitu pembantuan pada
waktu dilakukannya kejahatan dan pembantuan sebelum dilakukannya kejahatan. Perbedaannya terletak pada peran pembantuan, dimana orang yang membantu
hanya melakukan peranan yang tidak penting atau tidak bersifat sangat menentukan bagi keberhasilan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.
Sedangkan dalam turut serta orang yang turut serta tersebut memiliki hubungan atau kerjasama dengan orang lain untuk melakukan perbuatan pidana.
73
Pada prinsipnya KUHP menganut sistem dapat dipidananya peserta pembantu tidak sama dengan pembuat. Pidana pokok untuk pembantu diancam
lebih ringan dari pembuat. Prinsip ini terlihat dalam Pasal 57 ayat 1 dan ayat 2
71
R. Soesilo, Pelajaran Lengkap Hukum Pidana Sistem Tanya Jawab, Bogor: Politeia, 1977, h. 78.
72
Ibid., h. 79.
73
Mahrus Ali, Op. Cit., h. 132.
KUHP yang menyatakan bahwa maksimum pidana pokok untuk pembantuan dikurangi sepertiga, dan apabila kejahatan yang dilakukan diancam dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup, maka maksimum pidana pokok untuk pembantu adalah lima belas tahun penjara. Pasal di atas juga membatasi
pertanggungjawaban pidana dalam delik penyertaan berbentuk pembantuan, yakni hanya pada perbuatan sengaja dipermudah atau diperlancar oleh pembantu beserta
akibat-akibatnya. Tujuan diadakannya pembatasan ini adalah agar tanggung jawab pembuat tidak melampaui batas-batas dari apa yang disengaja mereka sendiri dan
apabila tidak dibatasi, maka akibat-akibat sifat akasesor dari bentuk turur serta ini adalah terlalu luas, dan hal ini pun berlaku bagi bentuk penyertaan berbentuk
uitlokker.
74
Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP. Mirip dengan medeplegen.
Namun perbedaannya terletak pada: a. Saat dilaksanakannya kejahatan
75
1 Pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantumenunjang,
sedangkan pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan. 2
Pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa disyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuanberkepentingan
sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai
tujuan sendiri.
74
Ibid., h. 133.
75
Teguh Prasetyo, Op. Cit., h. 210.
3 Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana Pasal 60 KUHP,
sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana. 4
Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi sepertiga, sedangkan turut serta dipidana sama.
b. Sebelum dilaksanakannya kejahatan Cara yang dilakukan adalah dengan memberi kesempatan, sarana atau
keterangan. Mirip dengan penganjuran pada uitlokken. Perbedaannya pada niatkehendak, pada pembantuan kehendak jahat pembuat materiil sudah ada
sejauh semulatidak ditimbulkan pembantu, sedangkan dalam penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materiil ditimbulkan oleh
penganjur.
76
Hal senada juga dikatakan Frans Maramis “ dalam penganjuran inisiatif prakarsa melakukan tindak pidana datang dari si penganjur dimana untuk
membujuk ia memberikan sejumlah kemudahan, yaitu dengan memberikan kesempatan, sarana atau keterangan. Dalam membantu melakukan, inisiatif
prakarsa untuk melakukan tindak pidana berasal dari orang lain, sedangkan si pembantu hanya sekedar membantu dengan memberikan kesempatan, sarana atau
keterangan”.
77
76
Ibid., h. 211.
77
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013, h. 222.
BAB III PENYERTAAN MENURUT HUKUM ISLAM