melakukan tindak pidana secara langsung, bukan kepada pelaku tidak langsung. Kaidah ini diterapkan oleh Imam Abu Hanifah dengan sangat teliti.
83
Para fuqaha yang lain mengecualikan kaidah tersebut pada tindak pidana yang lain, yaitu tindak pidana pembunhan dan perlukaan. Mereka beralasan
bahwa hukuman yang telah ditentukan tersebut sesuai dengan tabiatnya dapat dilakukan langsung maupun tidak langsung. Jika kaidah tersebut hanya diterapkan
pada pelaku langsung onmiddellijke daders, hukuman yang telah ditentukan itu tidak bisa dijatuhkan kepada pelaku tidak langsung, padahal ia juga turut
melakukan unsur material tindak pidana, seperti pelaku langsung. Akan tetapi, para fuqaha membatasi pengecualian ini hanya kepada pelaku langsung. Adapun
pelaku tidak langsung tunduk kepada kaidah umum tersebut.
84
Jadi berdasarkan kaidah umu tersebut, pelaku tidak langsung penghasut, misalnya apabila turut melakukan tindak pidana yang diancamkan hukuman
tertentu, ia tidak dikenai hukuman tersebut sebab hukuman tersebut hanya dikenankan kepada pelaku langsung. Artinya, keturutsertaan tidak langsung
termasuk tindak pidana ta’zir, baik pidananya itu hudud, kisas, maupun ta’zir.
85
B. Pembagian Penyertaan Menurut Hukum Islam
1. Penyertaan Langsung
Dalam hukum Islam secara umum ada dua syarat penyertaan, yaitu:
83
Loc. Cit.
84
Ibid., h. 35-36.
85
Ibid., h. 36.
Pertama, para pelaku terdeiri atas beberapa orang. Jika hanya pelaku sendirian, atau tidak ada istilah keturutsertaan langsung atau keturutsertaan tidak
langsung.
86
Kedua, para pelaku dihubungkan kepada suatu perbuatan yang dilarang yang dijatuhi hukuman atas pelanggarannya. Jika perbuatan yang dihubungkan
kepadanya tidak demikian, berarti tidak ada tindak pidana dan selanjutnya tidak ada keturutsertaan.
87
Penyertaan langsung menurut Topo Santoso ialah apabila secara nyata pelaku dari suatu tindak pidana lebih dari seorang dalam hukum positif dikenal
sebagai turut serta pelaku mededader.
88
Penyertaan langsung menurut Assadullah Al Faruk ialah keterlibatan secara langsung oleh beberapa orang. Mereka melakukan tindak pidana tersebut
bisa karena kebetulan atau terjadi dengan tiba-tiba, atau tindak pidana terjadi karena telah direncanakan secara bersama-sama.
89
Umar Bin Khathab radhiyallahu ‘anhu berkomentar mengenai kasus keterlibatan secara langsung, “Jika semua penduduk Shan’a berkomplot untuk
membunuhnya, maka aku akan membunuh mereka semua karenanya.” Umar berkata demikian setelah ia membunuh tujuh orang yang telah berkomplot
membunuh salah seorang dari penduduk Shan’a.
90
86
Abdul Kadir Audah, Op. Cit., h. 36.
87
Loc. Cit.
88
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Bandung: Asy Syaamil Press Grafika, 2000, h. 154.
89
Asadullah Al Faruq, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, Bogor: Ghalia Indonesia,2009, h. 90.
90
Loc. Cit.
Dari perkataan diatas menunjukkan bahwa Umar menganggap bahwa pelaku yang telah berkomplot atau berencana untuk membunuhya itu sama saja
dengan turut serta dalam tindak pidana, sehingga ia membunuh semua orang- orang yang terlibat di dalamnya.
Namun ada keadaan-keadaan khusus yang membuat hukuman pelaku berbeda satu sama lain, berbeda dengan yang dikatakan umar yang termasuk
penyertaan langsung yang direncanakan, sehingga hukuman pelaku sama. Pada dasarnya pada syariat Islam, banyak sedikitnya pelaku tindak pidana
tidak mempengaruhi hukuman. Namun demikian, masing-masing pelaku bisa mendapatkan hukuman berbeda karena keadaan mereka sendiri. Misalnya seorang
melakukan perbuatan tindak pidana karena ia gila, atau karena ia membela diri, atau karena ia dipaksa, sedangkan pelaku lainnya melakukan tindak pidana
dengan kesadarannya. Pada kasus yang demikian, hukuman bagi pelaku yang memiliki alasan tertentu tidak sama dengan hukuman bagi pelaku yang memang
menghendaki terjadinya tindak pidana tersebut.
91
Kapan seseorang dianggap sebagai pelaku langsung?
92
Seorang tersangka dianggap sebagai pelaku langsung apabila ketika melakukan suatu perbuatan, ia telah dianggap mulai melakukan perbuatan suatu
tindak pidana.
93
Ia juga dianggap sebagai pelaku langsung manakala ia melakukan suatu perbuatan yang dianggap sebagai maksiat dengan maksud untuk melakukan
tindak pidana, baik melakukannya sampai selesai ataupun tidak.
94
91
Ibid., h. 91.
92
Abdul Kadir Audah, Op. Cit., h. 38.
93
Loc. Cit.
Jika suatu tindak pidana dilakukan sampai selesai sempurna dan merupakan pidana hudud, yang wajib dijatuhkan atasnya adalah hukuman hudud.
Jika tindak pidana itu tidak selesai tidak sempurna, pelaku hanya dijatuhi hukuman ta’zir. Adapun jika suatu tindak pidana termasuk tindak pidana ta’zir,
hukumannya adalah ta’zir, baik tindak pidana itu dilakukan sampai selesai ataupun tidak.
95
a. Kebetulan Tawafuq
Penyertaan langsung terbagi menjadi dua, yaitu yang terjadi secara kebetulan tawafuq dan yang direncanakan tamalu.
Penyertaan secara tawafuq terjadi apabila sebelumnya belum ada kesepakatan para pelaku untuk melakukan suatu tindak pidana atau dengan kata
lain terjadi secara kebetulan. Misalnya saja pada saat terjadi kerusuhan terjadi pengeryokan yang mengakibatkan matinya seseorang. Tanggung jawab tawafuq
terbatas pada perbuatannya saja, tidak bertanggung jawab atas apa yang dilakukan peserta lain.
Dapat dipahami bahwa ada perbedaan niat dari para peserta dalam melakukan tindak pidana. Dalam penyertaan secara langsung secara tawafuq,
tidak ada kesepakatan para pelaku sebelumnya. Namun dalam hal ini sulit dipahami, apakah suatu delik tetap dapat terjadi
dengan atau tanpa bantuan peserta lain tersebut? Karena sebenarnya memang niat para peserta adalah berbeda. Situasi dan kondisi yang terjadi terhadap suatu tindak
pidana hanya kebetulan saja.
94
Loc. Cit.
95
Loc. Cit.
Dalam KUHP pada medeplegen, rencana memang sudah ada sebelumnya pada para peserta, dan jika niat hanya ada pada salah satu peserta, sedangkan
peserta yang lain tidak berniat dan hanya membantu agar terwujudnya suatu delik, maka termasuk dalam pembantuan yang hukumannya dikurangi sepertiga.
Tawafuq memang mirip dengan pembantuan, tetapi peran masing-masing peserta belum tentu untuk terwujudnya suatu delik. Para peserta hanya kebetulan
melakukan suatu tindak pidana secara bersama-sama. Lalu bagaimana dengan pertanggungjwaban para peserta? Para peserta
hanya bertanggungjawab atas tindak pidana yang mereka lakukan. Peserta tidak akan memikul beban pidana atas apa yang dilakukan peserta lainnya.
Orang yang memberi bantuan kepada orang lain dalam memperbuat jarimah dianggap sebagai kawan berbuat langsung, meskipun tidak ada
kesepakatan untuk itu sebelumnya, seperti mempelajari jalan untuk memudahkan melakukan tindak pidana. Perbedaan antara memberi bantuan dengan pembuat
asli adalah orang yang memperbuat pekerjaan yang dilarang, maka pemberi bantuan tidak berbuat atau mencoba berbuat melainkan hanya menolong pembuat
asli dengan perbuatan yang tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan yang dilarang ataupun sebagai pelaksana terhadap perbuatan tersebut.
96
b. Direncanakan Tamalu
Penyertaan secara tamalu terjadi apabila sebelumnya sudah ada kesepakatan para pelaku untuk melakukan suatu tindak pidana. Pada tamalu, para
pelaku harus bertanggung jawab atas perbuatannya secara keseluruhan.
96
Ahmad Hanafi, Op. Cit., h. 111-113.
Ada kesamaan niat para pelaku dalam mewujudkan suatu tindak pidana. Para peserta bertanggungjawab atas apa yang dilakukan peserta lain. Unsur-unsur
yang terdapat pada tamalu pada dasarnya sama dengan medeplegen. Juga dipandang sebagai turut berbuat langsung adalah peserta yang
menjadi sebab tidak langsung, apabila pembuat langsung hanya menjadi kaki tangannya semata-mata atau apabila si pembuat langsung hanya menjadi alat atau
instrumen saja dari orang yang menyuruh. Pada bentuk ini walaupun terdapat lebih dari satu orang pelaku tetapi yang
hanya dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya hanya satu orang yaitu yang menyuruh lakukan. Jadi dapat disimpulkan bahwa selain seperti bentuk
medeplegen, bentuk doenplegen juga termasuk dalam penyertaan langsung dalam hukum Islam.
2. Penyertaan Tidak Langsung
Penyertaan tidak langsung menurut Hanafi adalah setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan
yang dapat dihukum, atau menyuruh menghasut orang lain atau memberi bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam
persepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan.
97
Penyertaan tidak langsung menurut Assadullah Al Faruk ialah siapa saja yang terlibat secara sengaja dengan mengadakan perjanjian dengan orang lain
untuk melakukan suatu tindak pidana, atau karena ia memaksa, atau menyuruh,
97
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1967, h.144.
atau menghasut, atau memberi bantuan, atau menjanjikan hadiah tertentu, atau karena alasan apapun yang bisa menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana.
98
Turut berbuat tidak langsung menurut A. Jazuli adalah setiap orang yang melakukan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang
melanggar hukum, menyuruh orang lain untuk memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan.
99
Ada tiga unsur penyertaan tidak langsung menurut Abdul Kadir Audah, yaitu:
100
a. Perbuatan yang dapat dihukum.
Untuk terjadinya “keturutsertaan” disyaratkan adanya perbuatan yang dapat dijatuhi hukuman dan perbuatan tersebut harus terjadi meskipun tidak harus
selesai secara sempurna. Karena itu, dalam percobaan tindak pidana syuru, pelaku tidak langsung dapat dijatuhi hukuman. Demikian juga, untuk
menjatuhkan hukuman kepada pelaku tidak langsung, pelaku langsung tidaklah harus dijatuhi hukuman. Hal ini karena terkadang pelaku langsung memiliki niat
baik sehingga ia tidak dijatuhi hukuman, tetapi pelaku tidak langsung tetap dijatuhi hukuman atau pelaku langsung diampuni karena ia masih dibawah umur
atau gila sedangkan pelaku tidak langsung tetap dijatuhi hukuman.
101
b. Niat dari orang yang turut berbuat agar dengan sikapnya suatu
perbuatan yang dimaksudkan dapat terjadi.
98
Asadullah Al Faruq, Op. Cit., h. 91.
99
A. Jazuli, Fiqh Jinayah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Cet 2, h. 18.
100
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jina’i Al Islami, Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998 h. 365-366.
101
Abdul Kadir Audah., Op. Cit., h. 42.
Jika ia tidak berniat untuk melakukan tindak pidana tertentu yang dimaksudkan, dirinya tetap dianggap pelaku tidak langsung pada setiap tindak
pidana yang terjadi apabila tindak pidana tersebut masuk ke dalam kesengajaan dengan sadar kemungkinan akibat doluseventualisqasd muhtamal.
102
Akan tetapi, jika tindak pidana yang terjadi bukan yang dimaksudkan olehnya, tidak ada keturutsertaan. Misalnya, ada seseorang orang yang pertama
memberikan cangkul kepada seseorang orang kedua untuk mengolah tanahnya lalu orang kedua itu membunuh orang ketiga dengan cangkul tersebut maka orang
pertama tidak dianggap memberikan bantuan dalam pembunuhan tersebut.
103
c. Cara mewujudkan perbuatan tersebut, misalnya dengan mengadakan
kesepakatan, membujuk atau dengan membantu. Kesepakatan baru bisa terjadi karena adanya saling memahami dan
kesamaan kehendak untuk melakukan tindak pidana. Kesamaan niat merupakan hal yang menunjukkan akibat yang diingkan oleh para pelaku.
104
Menurut Imam Malik, orang yang bersepakat dengan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dan orang tersebut hanya menyaksikan tindak
pidana itu berlangsung, orang tersebut dianggap sebagai pelaku penyertaan langsung, bukan pelaku tidak langsung. Demikianlah teori Imam Malik mengenai
pelaku tidak langsung secara mutlak, baik saranacara mewujudkan perbuatan tidak langsung tersebut melalui persepakatan, penghasutan atau pembantuan.
105
102
Ibid., h. 45-46.
103
Ibid., h. 46.
104
Ibid., h. 42.
105
Ibid., h. 43.
Bujukan dan pemaksaan merupakan suatu hasutan yang menjadi penggerak seseorang dalam melakukan suatu tindak pidana. Bujukan dan hasutan
memiliki perbedaan. Bujukan tidak mempengaruhi kebebasan kehendak orang yang diperintah untuk memilih sehingga ia bisa melaksanakan tindak pidana itu
atau meninggalkannya, sedangkan pemaksaan mempengaruhi kebebasan kehendak orang tersebut. Artinya ia hanya bisa memilih antara dua hal,
melakukan tindak pidana atau menuai apa yang diancamkan kepadanya dan bersabar.
106
Apabila orang yang memerintahkanmembujuk itu memilki kekuasaan atas orang yang diperintah, seperti kekuasaan ayah terhadap anaknya atau guru
terhadap muridnya, perintah tersebut bisa disebut paksaan. Akan tetapi, apabila orang yang diperintah itu bukan anak kecil dibawah umur, tidak dungu atau gila
dan orang yang memerintah tidak memiliki kekuasaan atas dirinya, perintah tersebuat dianggap bujukan biasa yang menimbulkan tindak pidana atau tidak.
107
Pada kasus adanya kekuasaan pada diri orang yang memerintahkan, para fuqaha membedakan antara orang diperintahkan sudah mumayiz atau belum. Jika
orang diperintahkan itu belum mumayiz dan tidak mungkin baginya menentang orang yang memerintahkannya, berarti ia adalah alat bagi orang yang
memerintahnya meskipun ia yang melakukan tindak pidana secara langsung. Dalam kasus seperti ini, orang yang memerintahkan itu dianggap sebagai pelaku
langsung dan ia tidak dianggap sebagai pelaku tidak langsung.
108
106
Loc. Cit.
107
Loc. Cit.
108
Ibid., h. 43-44.
Membantu orang lain melakukan tindak pidana dianggap sebagai pelaku tidak langsung meskipun sebelumnya ia tidak bersepakat untuk melakukan tindak
pidana tersebut. misalnya, orang yang mengawasi jalan untuk memudahkan pencurian atau pembunuhan bagi orang lain pelaku, ia dianggap sebagai orang
yang memberi bantuan kepada pelaku. Demikian pula dengan orang yang menggiring korban ke tempat kejadian perkara kemudian ia meninggalkannya
untuk kemudian dibunuh atau dirampas oleh pelaku tindak pidana, ia juga dianggap sebagai orang yang memberi bantuan kepada pelaku.
109
Para fuqaha membedakan antara pelaku langsung dan pembantu. Menurut mereka, pelaku langsung adalah orang yang melakukan atau mencoba melakukan
perbuatan yang dilarang, sedangkan pembantu adalah orang yang tidak melakukan atau mencoba melakukan, tetapi hanya membnatu pelaku asli dengan perbuatan-
perbuatan yang tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan yang dilarang. Karena itu, ia tidak dianggap sebagai pelaku perbuatan langsung.
110
Sedangkan menurut A. Hanafi unsur-unsur penyertaan tidak langsung sebagai berikut.
Jadi dapat dipahami bahwa pembantuan dalam hukum Islam pada dasarnya sama dengan pembantuan dalam KUHP. Hanya saja pembantuan dalam
hukum Islam termasuk dalam perbuatan tidak langsung yang diancam dengan sanksi ta’zir sedangkan dalam KUHP pembantuan tidak sama dengan dader, dan
ancaman hukumannya dikurangi sepertiga dari pelaku utama dalam arti daderplegen sesuai rumusan Pasal 56 KUHP.
109
Ibid., h. 44.
110
Loc. Cit.
Unsur pertama perbuatan dimana kawan berbuat tidak langsung memberi bagian dalam pelaksanaannya, tidak diperlukan harus selesai dan tidak juga
diperlukan si pelaku asli pelaku langsung harus dihukum pula. Jadi pada jarimah percobaan, kawan berbuat tidak langsung dapat dihukum pula.
Unsur kedua dengan kesepakatan atau hasutan atau bantuan, dimaksudkan oleh kawan berbuat tidak langsung untuk terjadinya suatu jarimah tertentu. Kalau
tidak ada jarimah tertentu yang dimaksudkan, maka ia dianggap turut berbuat pada setiap jarimah yang terjadi, apabila dimungkinkan oleh niatnya. Kalau
jarimah yang terjadi bukan yang dimaksudkan, maka tidak ada turut berbuat, meskipun karena kesepakatan dan lain-lain itu sendiri ia dijatuhkan hukuman.
Unsur ketiga penyertaan tidak langsung bisa terjadi dengan jalan : a.
Kesepakatan Kesepakatan terjadi biasanya karena adanya saling memahami dan karena
kesamaan kehendak berbuat jarimah. Kalau tidak ada kesepakatan sebelumnya, maka tidak ada penyertaan. Jadi tidak ada penyertaan kalau tidak ada kesepakatan
sebelumnya, tetapi bukan atas jarimah yang terjadi dan dikerjakan bersama. b.
Menghasut Menghasut ialah membujuk orang lain untuk melakukan jarimah, dan
bujukan itu menjadi pendorong untuk diperbuatnya suatu jarimah, dan bujukan itu menjadi pendorong untuk diperbuatnya suatu jarimah, walaupun tidak ada
bujukan atau hasutan, maka bujukan tersebut tidak dikatakan sebagai pendorongnya. Baik bujukan itu berpengaruh atau tidak terhadap adanya jarimah,
namun bujukan itu sendiri adalah suatu maksiat yang bisa dijatuhkan hukuman.
c. Memberi bantuan secara tidak langsung
Pembantu tindak pidana ini hanya menolong pelaku dengan perbuatan- perbuatan yang tidak bersangkut paut dengan perbuatan terlarang atau sebagai
pelaksanaan terhadap perbuatan itu Jadi dapat disimpulkan penyertaan tidak langsung bisa terjadi dengan jalan
adanya kesepakatan, adanya menghasut atau membujuk bujukan itu menjadi pendorong untuk dilakukannya tindak pidana, dan adanya memberi bantuan.
Kalau orang yang menghasut ini adalah orang tua terhadap anaknya, atau guru terhadap muridnya, maka hal itu dianggap paksaan.
111
Syariat Islam menetapkan bahwa hukuman hudud dan jinayat hanya dapat dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana yang berbuat secara langsung, baik satu
orang atau lebih. Karena itu, pelaku yang terlibat secara tidak langsung, baik dalam sebuah tindak pidana tertentu, maka ia dikategorikan telah melakukan
kejahatan yang diancam dengan ta’zir. Dalam hal ini, qadhi memiliki kebebasan dalam menentukan besar kecilnya hukuman ta’zir.
112
Menurut jumhur ulama ada perbedaan pertanggaungjawaban turut serta secara langsung dalam tawafuq dan tamalu. Pada tawafuq masing-masing peserta
hanya bertanggung jawab atas akibat perbuatannya sendiri, dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Sedangkan tamalu para peserta harus
mempertanggungjawabkan akibat perbuatan mereka secara keseluruhan, kalau si korban sampai meninggal maka masing-masing peserta dianggap sebagai
pembunuh.
111
Topo Santoso, Op. Cit., h. 156.
112
Asadullah Al Faruq, Op. Cit., h. 91.
Akan tetapi, menurut Imam Abu Hanifah dan sebagai Fuqaha Syafi’iyah, tidak ada perbedaan antara pertanggungjawaban para peserta dalam tawafuq
maupun tamalu. Yaitu bahwa masing-masing peserta hanya bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri-sendiri dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan
secara keseluruhan.
113
Apakah pembedaan hukuman antara pelaku langsung dan pelaku tidak langsung dapat diberlakukan dalm tindak pidana ta’zir?
Dapat disimpulkan bahwa pandangan Abu Hanifah sama dengan pandangan delik penyertaan dalam hukum positif. Seperti hukuman
menggerakkan sama dengan turut serta. Sedangkan pandangan Topo Santoso sama dengan fuqaha pada umumnya yaitu ada perbedaan tanggung jawab antara
penyertaan langsung dan tindak langsung. Jadi menurut Topo Santoso, seharusnya hukuman menggerakkan berbeda dengan turut serta.
114
Adapun tindak pidana tazir dapat dilihat dari dua segi berikut ini.
115
Kedua, bila dikatakan bahwa kaidah aturan pembedaan tersebut berlaku untuk tindak pidana hudud dan qisas, dan sebab pembedaan tersebut adalah
Pertama, apabila tindak pidana ta’zir dianalogikan dengan tindak pidana hudud dan qisas, berarti tidak boleh mempersamakan hukuman pelaku langsung
asli dengan pelaku tidak langsung karena hukuman pelaku tidak langsung lebih ringan daripada hukuman pelaku tidak langsung. Alasan atas ketentuan tersebut
bahwa aturan yang berlaku pada tindak pidana hudud dan qisas pada umumnya juga berlaku pada tindak pidana ta’zir.
113
http:escampur-sari.blogspot.com201206hukum-pidana-islam.html
114
Ibid., h. 48.
115
Ibid., h. 48-49.
beratnya hukuman, maka pada tindak pidana ta’zir tidak ada pembedaan hukuman antara pelaku langsung dan pelaku tidak langsung karena perbuatan masing-
masing pelaku tersebut termasuk tindak pidana ta’zir. Karena itu, hukumannya juga ta’zir, sedangkan hukum Islam tidak membeda-bedakan antara satu pidana
ta’zir dan pidana ta’zir lainnya serta tidak menentukan jumlah dan bentuk hukumannya. Dalam hal ini, selama hakim mempunyai kebebasan dalam
menentukan besar kecilnya hukuman ta’zir, pembedaan antara hukuman perbuatan langsung dan perbuatan tidak langsung tidak perlu dilakukan. Karena
itu, hukuman pelaku tidak langsung bisa lebih berat, sama berat, atau bahkan lebih ringan daripada hukuman bagi pelaku langsung, berdasarkan keadaan masing-
masing pelaku dan perbuatannya. Berikut ini adalah keadaan-keadaan pelaku tidak langsung dan
hukumannya:
116
a. Menghukum Pelaku Berdasarkan Sengaja dengan Sadar
kemungkinan Akibat Pelaku tidak langsung diminta pertanggungjawaban pidana atas tindak
pidana yang dilakukan oleh pelaku langsung walaupun tindak pidana yang dilakukan pelaku langsung lebih dahsyat dari yang dikehedaki oleh pelaku tidak
langsung, selama tindak pidana yang terjadi tersebut dimungkinkan oleh niat sengaja dengan sadar kemungkinan keturutsertaannya dan ada juga
kemungkinan terjadinya bentuk tindak pidana yang dahsyat tersebut sebagai akibat dari pelaksanaan tindak pidana tersebut.
116
Ibid., h. 49-52.
Jika pelaku tidak langsung yang menghasut pelaku langsung untuk melakukan suatu tindak pidana, dan pelaku tidak langsung tersebut menyadari
bahwa ada akibat lain yang dapat ditimbulkan dari sekedar pidana yang dianjurkan, maka pelaku tidak langsung juga bertanggung jawab atas tidak pidana
lain yang dilakukan pelaku langsung. Maka hukumannya antara pelaku langsung dan pelaku tidak langsung adalah sama.
b. Pengaruh keadaan Pelaku Langsung atas Pelaku Tidak Langsung
1 Apabila pelaku langsung melakukan tindak pidana yang tidak
dimaksud oleh pelaku tidak langsung, pelaku tidak langsung tidak dihukum atas tindak pidana pelaku langsung kecuali jika
perbuatan tersebut dimungkinkan oleh sengaja dengan sadar kemungkinan akibat.
2 Dari segi keadaan pelaku langsung, apabila hukuman dihapuskan,
diberatkan atau diringankan, keadaan ini tidak berpengaruh pada pelaku tidak langsung karena perubahan tersebut hanya
didasarkan pada keadaan pelaku tidak langsung sendiri, bukan atas keadaan pelaku tidak langsung. Misalnya apabila pelaku
langsung adalah anak-anak belum dewasa atau orang gila, keduanya tidak dikenai hukuman, sedangkan pelaku langsung
akan dijatuhi hukuman. 3
Apabila pelaku langsung itu biasa melakukan tindak pidana residivis, hukuman atasnya diperberat, sedangkan terhadap
pelaku tidak langsung tidak dilakukan demikian.
4 Apabila pelaku langsung idiot atau gila maka ia dibebaskan,
sedangkan pelaku tidak langsung tidak. c.
Hukuman terhadap Bentuk-Bentuk Perbuatan Tidak Langsung Apabila Tindak Pidana yang Dimaksud Tidak Terjadi
Kaidah hukum Islam menetapkan bahwa tidak ada penjatuhan hukuman terhadap suara hati, bisikan jiwa, dan niat jahat seseorang selama ia belum
melakukan atau mengucapkannya, kaidah ini berdasarkan sabda Rasulullah “Sesungguhnya, Allah SWT mengampuni umatku atas bisikan atau gejolak
hatinya selama mereka belum melakukan atau mengucapkannya”. Pada dasarnya, hukum Islam menetapkan bahwa persepakatan,
penghasutan dan pemberian bantuan atas tindak pidana dianggap sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri. Berdasarkan ini, hukum Islam menghukum orang
yang bersepakat, menghasut atau membantu terjadinya suatu tindak pidana walaupun perbuatan tersebut tidak terlaksana. Sedangkan dalam KUHP jika tidak
terlaksana maka para pelaku tidak diuhukum.
C. Pertalian Perbuatan Langsung dengan Perbuatan Tidak Langsung Mubasjarah dengan Sabab