Dasar Hukum Penyertaan Menurut Hukum Islam

BAB III PENYERTAAN MENURUT HUKUM ISLAM

A. Dasar Hukum Penyertaan Menurut Hukum Islam

Allah telah menentukan sendiri sumber hukum agama atau ajaran Islam yang wajib diikuti oleh setiap muslim. Menurut Qur’an Surat An-Nisa ayat 59, setiap muslim wajib mentaati mengikuti kemauan atau kehendak Allah, kehendak Rasul dan kehendak ulil amri yakni orang yang mempunyai kekuasaan atau “penguasa”. Kehendak Allah berupa ketetapan tertulis dalam Qur’an, kehendak Rasul berupa Sunnah terhimpun sekarang dalam kitab-kitab hadis, kehendak penguasa kini dimuat dalam peraturan perundang-undangan dulu dan sekarang atau dalam hasil karya orang yang memnuhi syarat untuk ijtihad karena mempunyai kekuasaan berupa ilmu pengetahuan untuk mengalirkan ajaran hukum Islam dari dua sumber utamanya yakni Qur’an dan dari kitab-kitab hadis yang memuat Sunnah Nabi Muhammad. 78 Menurut Osman Raliby akal adalah ciptaan Allah untuk mengembangkan dan menyempurnakan sesuatu. Kemajuan umat manusia dapat terwujud karena manusia menggunakan akalnya. Untuk kesejahteraan manusialah akal itu diciptakan Tuhan. Oleh karena itu, dalam ajaran Islam ada yang menyatakan: al- ‘aqlu huwal –hayah, wal fadqu huwal-maut. Artinya, akal adalah kehidupan life, Pengaturan mengenai penyertaan tidak diatur dalam Qur’an maupun hadis, sehingga harus menggunakan sumber hukum yang ketiga yaitu ijtihad. Ijtihad merupakan akal pikiran manusia. 78 Mohammad Daud Ali, Op. Cit., h. 73-74. kalau akal hilang terjadilah kematian. Ada akal berarti hidup, tidak berakal lagi berarti mati. 79 Sumber hukum penyertaan adalah berdasarkan pendapat para fuqaha dengan berpedoman kepada Qur’an dan sunnah. Fuqaha adalah kata majemuk bagi faqih, yaitu seorang ahli fiqih. Fiqih adalah bidang jurisprudens atau hukum- hukum menyangkut peribadatan ritual baik perseorangan, atau di dalam konteks sosial umat Islam. 80 Harus dicermati terlebih dahulu bahwa para fuqaha hanya mencermati masalah “keturutsertaan langsung” isytirak mubasyir dan kurang memerhatikan masalah “keturutsertaan tidak langsung” isytirak bi at-tasabbub. Hal ini disebabkan dua hal berikut. 81 Sebab pertama, para fuqaha hanya memusatkan perhatian mereka untuk menerangkan hukum-hukum yang bentuk ukuran hukumnya telah ditentukan oleh syarak, yaitu semua tindak pidana hudud dan kisas, karena keduanya adalah tindak pidana yang bersifat tetap, tidak bisa diubah. Selain itu, hukuman- hukumannya telah ditetapkan, tidak bisa ditambah atau dikurangi. 82 Sebab kedua, kaidah prinsip umum dalam hukum Islam menetapkan bahwa hukuman yang telah ditentukan hanya dijatuhkan kepada orang yang 79 Ibid., h. 113. 80 Wikipedia 81 Abdul Qadir Audah., Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, terjemahan dari “At- Tasyri’al-Jina’ i al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy”, jilid 2, Bogor: PT Kharisma Ilmu , h. 35. 82 Loc. Cit. melakukan tindak pidana secara langsung, bukan kepada pelaku tidak langsung. Kaidah ini diterapkan oleh Imam Abu Hanifah dengan sangat teliti. 83 Para fuqaha yang lain mengecualikan kaidah tersebut pada tindak pidana yang lain, yaitu tindak pidana pembunhan dan perlukaan. Mereka beralasan bahwa hukuman yang telah ditentukan tersebut sesuai dengan tabiatnya dapat dilakukan langsung maupun tidak langsung. Jika kaidah tersebut hanya diterapkan pada pelaku langsung onmiddellijke daders, hukuman yang telah ditentukan itu tidak bisa dijatuhkan kepada pelaku tidak langsung, padahal ia juga turut melakukan unsur material tindak pidana, seperti pelaku langsung. Akan tetapi, para fuqaha membatasi pengecualian ini hanya kepada pelaku langsung. Adapun pelaku tidak langsung tunduk kepada kaidah umum tersebut. 84 Jadi berdasarkan kaidah umu tersebut, pelaku tidak langsung penghasut, misalnya apabila turut melakukan tindak pidana yang diancamkan hukuman tertentu, ia tidak dikenai hukuman tersebut sebab hukuman tersebut hanya dikenankan kepada pelaku langsung. Artinya, keturutsertaan tidak langsung termasuk tindak pidana ta’zir, baik pidananya itu hudud, kisas, maupun ta’zir. 85

B. Pembagian Penyertaan Menurut Hukum Islam