BAB IV PERBANDINGAN PENYERTAAN MENURUT KUHP DAN HUKUM
ISLAM
A. Pertanggungjawaban pada Turut Serta dan Penyertaan Langsung
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana ada dibedakan antara pelaku dalam arti sempit dan pelaku dalam arti luas. Pelaku dalam arti sempit adalah
hanya mereka yang melakukan tindak pidana. Sedangkan pelaku dalam arti luas meliputi keempat klasifikasi pelaku, yaitu mereka yang melakukan, mereka yang
menyuruh melakukan, mereka yang turut serta melakukan dan mereka yang menggerakkan.
122
Menurut Professor Simons, apa yang disebut daders tersebut dapat dibagi ke dalam: allen-daders, yakni pelaku-pelaku yang dengan seorang diri telah
melakukan tindak pidananya, kemudian middelijke daders, yakni pelaku-pelaku yang tidak melakukan sendiri tindak pidananya.
123
122
Mohammad Eka Putra dan Abul Khair, Op. Cit., h. 43-44.
123
P.A.F. Lamintang, Op. Cit., h. 615.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban pelaku yang termasuk pada Pasal 55 KUHP pada penyertaan
sama saja dengan pelaku tunggal dader. Bedanya pada turut serta pelakunya lebih dari satu orang dan perlunya kerja sama dari orang lain agar delik yang
diingkan terwujud. Karena sesungguhnya dasar dibentuknya delik penyertaan adalah untuk memperluas pengertian pelaku dalam tindak pidana.
Untuk adanya pertanggungjawaban pidana diperlukan syarat bahwa pembuat mampu bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat
dipertanggungjawabkan apabila ia tidak mampu bertanggung jawab. Pertanyaan yang muncul adalah, bilamanakah seseorang itu dikatakan mampu bertanggung
jawab? Apakah ukurannya untuk menyatakan adanya kemampuan bertanggung jawab itu?
124
Dari pasal 44 tersebut dan dari beberapa pendapat sarjana hukum, Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada:
Dalam KUHP tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggung jawab. Yang berhubungan dengan itu ialah Pasal 44: “Barang siapa melakukan
perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit tidak dipidana”.
125
a Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang
buruk sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum. b
Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
Pertanggungjawaban Pidana atau yang dikenal dengan konsep “liability” dalam konsep falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke 20, Roscoe Pound
menyatakan bahwa “I... use the simple word “liability” for the situasion the whereby one may exact legally and other is legally subjected to the exaction”.
Pertanggungjawaban pidana diartikan oleh Pound, adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah
124
Johny Krisnan, Tesis, Sistem Pertanggungjawaban Pidana dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, h. 37.
125
Ibid. , h. 37-38.
dirugikan, menurutnya juga bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah hukum semata tetapi menyangkut masalah nilai-
nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.
126
“The quality or state of being legally obligated or accountable, legal responsibility to another or to society, enforceable by civil remedy or criminal
punishment.” Yang terjemahannya adalah kualitas atau keadaan yang secara hukum berkewajiban atau bertanggung jawab, tanggung jawab hukum yang lain
atau masyarakat, dilaksanakan oleh hukuman perdata atau pidana”. Dalam Black’s Law Dictionary defenisi liabilty:
127
Menurut Hattum dalam suatu kasus pembunuhan dengan niat yang berbeda, dimana pelaku pertama berniat membunuh sedangkan pelaku yang kedua
berniat menganiaya maka pelaku kedua yang turut melakukan tindak pidana tidak dituntut karena telah turut melakukan pembunuhan, melainkan ia hanya dapat
Berdasarkan itu maka para peserta pada turut serta medeplegen dapat dipidana dan diminta pertanggungjawaban pidana. Berbeda halnya dengan
menyuruh dimana auctor physicus tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Salah satu syarat seseorang dapat dipidana medepleger adalah karena kesamaan niat untuk melakukan suatu perbuatan. Lalu bagaimanakah jika niat
kedua pelaku berbeda?
126
Usammah, Tesis Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008, h.76.
127
Black’s Law Dictionary 9th Edition. h. 997.
dituntut karena telah turut melakukan suatu penganiayaan yang menyebabkan matinya orang.
128
Akan tetapi beliau berpendapat, bahwa orang tersebut dapat saja dihukum dengan suatu hukuman yang lebih berat daripada sekedar dihukum karena telah
melakukan suatu penganiayaan yang menyebabkan matinya orang, yaitu apabila ia mengetahui bahwa peserta yang lain itu memang bermaksud membunuh
korban.
129
Sedangkan menurut Professor Langimeijer, baik orang yang mempunyai opzet untuk membunuh korban, maupun orang yang turut melakukan dengan
maksud semata-mata menganiaya korban itu kedua-duanya harus dipersalahkan karena turut serta melakukan suatu penganiayaan berat yang menyebabkan
matinya orang lain.
130
Hoge Raad dalam putusannya tanggal 9 Februari 1914, N.J. 1914 halaman 648, menyatakan bahwa untuk dapat dipidana pada medepleger harus ada
kesamaan niat dari pelaku. Dalam hal ini Mahkamah Agung Republik Indonesia berpendapat lain dalam putusannya tanggal 26 Juni 1971 nomor 15 KKr.1970
yang menyatakan bahwa walaupun terdapat perbedaan niat pelaku, tetapi terdapat perbuatan yang menunjang terjadinya suatu delik maka para pelaku dapat
dipidana dengan penyertaan.
131
Dari pemaparan di atas dapat diketahui ada dua pandangan, yaitu pandangan subjektif dan pandangan objektif. Lalu bagaimana mengenai
128
P.A.F. Lamintang, Op. Cit., h. 619.
129
Loc. Cit.
130
Ibid., 620.
131
Ibid., 621-622.
pertanggugjawaban pidananya para pelaku? Apakah harus mengikuti ajaran subjektif atau ajaran objektif pada medeplegen? Belum ada ketentuan pasti
mengenai hal tersebut dikarenakan Undang-Undang sendiri tidak memberikan penjelasannya, sehingga hakim bebas mengikutin ajaran subjektif atau objektif.
Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syariat Islam ialah pembebanan seseorang akibat perbuatannya yang dikerjakannya dengan kemauan
sendiri, dimana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat dari perbuatannya itu.
132
Dalam hukum pidana Islam menurut Ismail Muhammad Syah dikenal beberapa prinsip, yaitu:
133
a. Pertama, hukuman hanya ditimpahkan kepada orang yang berbuat jarimah
atau pidana, tidak boleh orang yang tidak berbuat jahat dikenai hukuman sesuai dengan firman Allah dalam Qur’an Surat 6 Al-An’am ayat 164:
Artinya : Dan tidaklah seseorang berbuat dosa melainkan kemudaratannya kembali
kepada dirinya sendiri, dan seseorang yang berdosa dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.
b. Kedua, adanya unsur kesengajaan, seseorang dihukum karena kejahatan
apabila ada unsur kesengajaan untuk berbuat jahat itu, tidak ada kesengajaan berarti karena kelalaian, tersalah atau keliru atau terlupa, walaupun tersalah,
keliru atau lupa ada hukumannya namun bukan hukuman karena kejahatan, melainkan untuk kemaslahatan dan bersifat mendidik.
132
Topo Santoso, Op. Cit., h. 166.
133
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992, h. 228-229.
c. Ketiga, hukuman hanya dijatuhkan apabila kejahatan tersebut secara
meyakinkan bila telah diperbuat. Dalam masalah meragukan hukuman tidak boleh dijatuhkan, sebagaimana menurut hadis Nabi:
Artinya: Tinggalkanlah menghukum dalam masalah yang syubhat, karena sesungguhnya hakim itu apabila bersalah karena memaafkan lebih baik daripada
bersalah karena menghukum. d.
Keempat, berhati-hati menghukum, membiarkan tidak menghukum dan menyerahkannya kepada Allah apabila kekurangan bukti.
Dalam syariat Islam pertanggungjawaban pidana didasarkan pada tiga hal, yaitu:
134
a. Adanya perbuatan yang dilarang.
b. Perbuatan itu dikerjakan dengan kemampuan sendiri.
c. Pelaku mengetahui akibat dari perbuatan itu.
Apabila adanya ketiga hal tersebut di atas, maka pertanggungjawaban pidana itu ada pada seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau kejahatan,
namun sebaliknya jika tidak maka tidak ada perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu tidak dapat diminta pertanggungjawaban
pidana pada orang gila, anak-anak yang belum mencapai umur baliqh atau orang yang dipaksakan untuk melakukan perbuatan kejahatan yang mengancamkan
jiwanya.
135
Dalam hal pertanggungjawaban pidana, hukum Islam hanya membebankan hukuman pada orang yang masih hidup dan mukallaf, hukum
134
Usammah, Op. Cit., h. 92.
135
Loc. Cit.
Islam juga mengampuni anak-anak dari hukuman yang semestinya dijatuhkan pada orang dewasa kecuali ia yang telah baliqh. Hal ini didasarkan dalil Qur’an
surat An-Nur ayat 59... yang artinya “... dan apabila anak-anakmu telah sampai umur dewasa, maka hendaklah mereka juga meminta izin, seperti orang-orang
dewasa yang meminta izin..”
136
Para fuqaha dan ahli undang-undang sepakat menetapkan, seseorang diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya dan mempunyai kebebasan
menentukan hidupnya setelah cukup umur. Menurut pandangan Syafi’iyah, Hanbaliyah, dan Malikiyah, umur 15 tahun merupakan usia minimal untuk disebut
seorang anak telah cukup umur, baik lelaki maupun perempuan. Namun, seorang anak laki-laki bermimpi yang mengeluarkan sperma dan seorang perempuan haid,
sebelum berumur 10 tahun, tidak cukup untuk mempertanggungjawabkan beban dan resiko-resiko perbuatannya dan belum boleh mengurus dirinya sendiri jika
mereka belum bersikap dewasa, baik secara psikologi maupun akal. Karena itu wajib dipegang dalam menentukan anak cukup umur yang bisa dibebani
pertanggungjawaban pidana adalah dengan ketentuan kedewasaannya secara kejiwaan, bukan dari banyaknya umur dan tanda-tanda fisik.
137
Berdasarkan Qur’an Al Karim perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang yang bertanggungjawab diberi hukuman dengan hukuman yang tertentu
sesuai dengan keadilan menurut petunjuk Allah.
138
136
Usammah, Op. Cit., h. 92-93.
137
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, Jilid 1, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000, h. 785
138
Ismail Muhammad Syah, Op. Cit., h. 221.
Dasar dari siapa yang berbuat pidana, perbuatan kejahatan apa yang dipidana dan bagaimana hukumnya. Pertama didasarkan pada keimanan pada
Allah dan wahyu Allah Qur’an dan kedua didasarkan pada akal sehat manusia untuk mendapatkan kemslahatan di dunia dan di akhirat.
139
Ajaran Islam memandang bahwa hukuman yang diajtuhkan di dunia menghapsukan dosa dan siksanya di akhirat. Sabda Rasulullah yang artinya
“hukuman dunia had menghapuskan dosa di akhirat”.
140
Pada dasarnya menurut Syari’at Islam banyaknya pembuat jarimah tidak mempengaruhi besarnya hukuman yang dijatuhkan atas masing-masingnya seperti
kalau masing-masing dari mereka melakukan jarimah sendiri, meskipun masing- masingnya ketika bersama-sama dengan yang lainnya tidak melakukan semua
bagian-bagian perbuatan yang telah menimbulkan akibat yang terjadi. Apabila jarimah itu adalah jarimah pembunuhan maka hukuman terhadap mereka
diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut fuqaha yang terdiri dari Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Ats Tsauri, Imam Ahmad, dan Imam
Pada penyertaan langsung, tanggung jawab pelaku dimana penyertaan tersebut terjadi secara kebetulan maka tanggung jawab pelaku hanya sebesar
perbuatan yang ia lakukan dan tidak bertanggungjawab atas apa yang dilakukan pelaku lainnya, sedangkan pada penyertaan langsung yang direncanakan maka
para pelaku bertanggung jawab atas segala akibat yang terjadi pada tindak pidana yang direncanakan itu. Lalu bagaimankah pertanggungjawaban masing-masing
pelaku dan bagaimana dengan sanksi hukumannya?
139
Ibid., h. 221-222.
140
Ibid., h. 222.
Abu Tsaur, apabila ada beberapa orang membunuh satu orang maka mereka harus dibunuh semuanya. Pendapat ini merupakan pendapat Umar RA.
141
Sanksi atau hukuman dalam hukum pidana Islam disebut ‘uqubah yang memiliki arti siksaan atau balasan terhadap kejahatan. Abdul Qadir Audah
memberikan definisi hukuman sebagai pembalasan atas pelanggaran perintah syara’ yang ditetapkan untuk kemashlahatan masyarakat. Hukuman adalah salah
satu tindakan yang diberikan oleh syara’ sebagai pembalasan atas perbuatan yang melanggar ketentuan syara’, dengan tujuan untuk memelihara ketertiban dan
kepentingan masyarakat, sekaligus juga untuk melindungi kepentingan individu.
142
Menurut Abu Zahrah, hukuman merupakan siksaan bagi si pelaku kejahatan sebagai balasan baginya dan hukuman itu merupakan suatu ketetapan
syara’ di dalam menghilangkan mafsadah, dan menghilangkan mafsadah itu sendiri merupakan kemashlahatan.
143
Mengenai hukumannya dalam hukum Islam dibedakan antara tindak pidana hudud, tindak pidana qisas, hukumuan hudud, dan hukuman qisas. Ada
pula yang disebut tindak pidana taz’ir dan hukuman taz’ir. Kesemuanya memiliki jenis tindak pidana dan hukuman berbeda. Jadi dalam penentuan hukuman
penyertaan pada hukum pidana Islam harus ditentukan dulu jenis tindak
141
https:embundedaunan.wordpress.comcerita-indah
142
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, h. 137.
143
Abdul Qadir Audah., Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, terjemahan dari “At- Tasyri’al-Jina’ i al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy”, jilid 4, Bogor: PT Kharisma Ilmu
h. 106.
pidananya, lalu baru bisa menentukan hukuman pidana bagi para pelaku pada penyertaan menurut hukum Islam.
Hukumansanksi pidana pada hukum pidana Islam untuk penyertaan langsung pada tindak pidana hudud dan qisas adalah hukuman hudud dan qisas
dan untuk penyertaan langsung pada tindak pidana taz’ir adalah berupa hukuman taz’ir diamana ditentukan oleh hakim mengenai berat ringannya. Berbeda dengan
tindak pidana dan hudud dan qisas yang telah ditentukan oleh Allah hukumannya, taz’ir belum ditetapkan secara tetap mengenai hukumannya, oleh karena itu
diberikan kewenangan kepada hakim dalam menjatuhi hukuman. Beberapa tindak pidana hudud diantaranya meminum khamr sesuatu
yang memabukkan, berzina, qadzaf, liwath homo seksual, saraqah mencuri, muharibin merampok, bughat memberontak, murtad.
Hukumansanksi jarimah hudud dalam Qur’an hanya dapat ditemukan secara pasti dalam empat ayat, yaitu ayat dua dan empat Surat Al-Nur24, tentang
hukuman bagi pezina al-zani, dan penuduh zina qazhf, al-mubshanat, ayat 33 dan 38 Surah Al-Maidah tentang hukuman pengacau dan pencuri. Sedangkan
jarimah hudud lainnya yang telah disepakati para ulama, ketentuan sanksi hukumannya ditetapkan berdasarkan Hadis.
144
Hukumansanksi untuk tindak pidana hudud diantaranya hukuman jilid, dera, hukuman mati, potong tangan, penggantian harta, memerangi pelaku bughat
Beberapa tindak pidana qisas diantaranya tindak pidana terhadap jiwa dan tindak pidana terhadap tubuh.
144
Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta: Pemadani, 2005, h. 52.
sampai kembali tetapi tidak boleh dibunuh, dibunuh dengan pedang untuk yang murtad.
Sanksi untuk tindak pidana qisas diantaranya kejahatan terhadap jiwa dihukum mati, dan qisas terhadap kejahatan tubuh ialah penghukuman tubuh pula
seperti yang ia lukai pada korban.
Perbandingan Pertanggungjawaban Turut Serta dan Penyertaan langsung
Penyertaan Turut Serta
Pertanggungjawaban Para Pelaku hanya
sebatas perbuatan yang dilakukan
Direncanakan Sanksi Pidananya Sama
dengan dader, sesuai Rumusan Pasal 55.
Penyertaan Langsung
Pertanggung jawaban
Para Peserta sama
Kebetulan
Pertangungjawaban pelaku sama satu
sama lain Sanksinya
Berupa Hudud dan
Qisas Sanksinya
Berupa Hudud dan
Qisas
B. Pertanggungjawaban pada Menganjurkan dan Pelaku Tidak Langsung