Wasiat Wajibah. Analisis Yuridis Terhadap Wasiat Wajibah Dalam Perspektif Fikih Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang Ahli Waris Yang Beragama Non-Muslim)

38 orang tersebut tidak berhak untuk mewasiatkan sesuatupun, karena bukan merupakan haknya. 64 5 Ijab dan kabul tidak mengandung ta’liq. Ta’liq di sini Maksudnya adalah menetapkan suatu syarat yang tidak sesuai dengan maksud dari pada wasiat, seperti mensyaratkan agar harta wasiat harus digunakan pada sesuatu yang haram. 65 Sighat ijab dan kabul yang dipergunakan dalam melaksanakan wasiat dapat menggunakan redaksi yang jelas dengan kata-kata wasiat dan bisa juga dilakukan dengan kata-kata samaran, karena menurut mereka bahwa wasiat adalah akad yang boleh dalam arti bahwa wasiat itu dapat dibatalkan atau dicabut kembali oleh si pemberi wasiat 66

4. Wasiat Wajibah.

Wasiat wajibah adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata, yaitu wasiat dan wajibah. Kata wasiat berasal dari bahasa arab dapat berarti membuat wasiat atau berwasiat, dan terkadang digunakan untuk sesuatu yang diwasiatkan. 67 Kata wajibah berasal dari kata wajib yang telah mendapatkan imbuhan kata ta’nis. Menurut Abdul Wahab Khallaf, wajibah adalah sesuatu yang disuruh syari’at untuk secara kemestian dilakukan oleh orang mukallaf, karena secara langsung dijumpai petunjuk tentang kemestian memperbuatnya. 68 64 Ibid. 65 Ibid, Hal. 54 66 Sabiq, Al-Sayyid, Fiqh Sunnah, Ttp, Dar Al-Saqafah, Tt, Hal. 544 67 Ramlan Yusuf Rangkuti, Fikih Kontenporer Di Indonesia Studi Tentang Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2010 Hal. 370 68 Abdul Wahab Khallaf, Usul Fiqh, Maktabah Ad-Dakwah Al-Islamiyah Syabab Al-Azhar, Mesir, Hal. 105 Universitas Sumatera Utara 39 Pengertian wajibah mengandung makna bahwa wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak tergantung kepada kemauan atau kehendak si pewasiat yang meninggal dunia. Dimana pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan atau ditulis atau dikehendaki, tapi pelaksanaannya didasarkan kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakan. 69 Menurut pengertian istilah ulama fikih, Abu Zahrah, setelah mengemukakan berbagai defenisi yang dibarengi dengan analisis, mengatakan defenisi yang relatif lebih sempurna adalah yang terdapat dalam Undang-Undang wasiat Mesir No. 71 Tahun 1946, “wasiat adalah mentasarrufkan peninggalan yang ditangguhkan waktunya sampai setelah terjadinya kematian”. Kata wajibah merupakan istilah fikih, yang berasal dari kata wajib yang telah mendapat penambahan. Zaki Sya’ban menyebutkan pengertian wajib itu: “sesuatu perbuatan yang diperintahkan Allah untuk melaksanakannya secara keharusan, baik dia diperoleh dari kata perintah itu sendiri atau dari tanda-tanda lain yang dapat dipahami sebagai perintah. 70 Dapat disimpulkan, bahwa wasiat wajibah adalah suatu perintah yang syar’i Allah yang merupakan keharusan untuk mentasarrufkan peninggalan yang ditangguhkan waktunya sampai setelah terjadinya kematian. 71 Menurut Fatchur Rahman, yang dimaksud dengan wasiat wajibah adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk 69 Suparman Usman, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisna Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2002, Haal. 163 70 Ibid, Hal. 371 71 Ibid, Hal. 372 Universitas Sumatera Utara 40 memaksa atau memberikan putusan wajib wasiat bagi orang-orang yang telah meninggal, yang diberikan kepada orang-orang tertentu, dalam keadaan tertentu. 72 Sedangkan menurut Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, yang dimaksud dengan wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak tegantung kepada kehendak orang yang meninggal dunia. Wasiat ini tetap dilaksanakan, baik diucapkan atau dikehendaki maupun tidak oleh orang yang meninggal dunia. Jadi pelaksanaan tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan atau ditulis atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya didasarkan kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakan. 73 Pendapat Ibn Hazm mengenai wasiat wajibah adalah wasiat yang ditetapkan oleh penguasa dan dilaksanakan oleh hakim untuk orang-orang tertentu yang tidak diberi wasiat oleh orang yang meninggal dunia, dan tidak memperoleh warisan karena terdindingi oleh ahli waris yang lain, atau terhalang mewarisi, sementara si mayit meninggalkan harta yang baginya berlaku wasiat wajibah. 74 Yang dimaksud dengan wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung pada kemauan atau kehendak yang meninggal dunia. 75 Dapat disimpulkan bahwa wasiat wajibah secara etimologis berarti wasiat yang hukumnya wajib. Sedangkan secara terminologi, wasiat wajibah adalah suatu 72 Fatchur Rahman, Op Cit, Hal. 63 73 Suparman Usman, Op Cit, Hal. 89 74 Ramlan Hal. 373 75 H. Arif Furqan, Op Cit, Hal. 120 Universitas Sumatera Utara 41 tindakan pembebanan oleh hakim atau lembaga yang mempunyai hak agar harta seseorang yang telah meninggal dunia tetapi tidak melakukan wasiat secara sukarela diambil sebagian dari harta benda peninggalannya untuk diberikan kepada orang tertentu dan dalam keadaan tertentu pula. Namun demikian, penguasa atau hakim sebagai aparat negara tertinggi mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberi surat putsan wajib wasiat yang terkenal dengan wasiat wajibah, kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Dikatakan wasiat wajibah disebabkan karena: 76 1. Hilangnya unsur ikhtiyar bagi sipemberi wasiat dalam munculnya unsur kewajiban melalui perundang-undangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan dari si penerima wasiat. 2. Ada kemiripan dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam penerimaan laki-laki 2 dua kali lipat bagian perempuan. Menurut Ahmad Rofiq, wasiat wajibah adalah wasiat yang dibebankan oleh hakim agar seseorang yang telah meninggal dunia yang tidak melakukan wasiat secara sukarela, harta peninggalannya dapat diambil untuk diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula. 77 Dari penjabaran di atas tadi, terdapat dua unsur yang penting yang membedakan antara wasiat biasa dengan wasiat wajibah, yaitu: 76 Factur Rahman, Op Cit, Hal. 63 77 Ahmad Rofiq, Hukum Waris Islam Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 200, Hal. 462. Universitas Sumatera Utara 42 1. Wasiat wajibah ditetapkan berdasarkan ketetapan hukum dan perundang- undangan yang dibuat oleh penguasa atau hakim, sehingga pelaksanaannya berdasarkan ketetapan perundang-undangan atau aturan hukum dan tidak bergantung kepada ada atau tidaknya seseorang berwasiat semasa hidupnya. Oleh karena itu, ketentuan seperti ini berbeda dengan wasiat biasa, di mana pelaksanaannya sangat bergantung kepada kehendak si pewasiat. Batasan pengertian di atas juga menunjukkan bahwa wasiat wajibah sebenarnya tidak murni wasiat, dalam tata aturannya terdapat aspek-aspek yang sama dengan kewarisan, seperti tidak dibutuhkannya ijab dan qabul dari si pemberi wasiat dan si penerima wasiat. Disamping itu, wasiat wajibah berlaku secara terpaksa oleh peraturan perundang-undangan. 2. Wasiat ini diperuntukkan kepada saudara yang suatu halangan syarak misalnya saudara yang beragama non-muslim atau karena terdindingi oleh ahli waris yang lain, sehingga tidak berhak menerima warisan. Berbeda dengan wasiat biasa, di mana wasiat itu boleh diperuntukkan kepada orang lain yang bukan ahli waris atau bukan karib kerabat. Wasiat wajibah ini sendiri pada mulanya dipergunakan pertama kali di Mesir melalui Undang-Undang Hukum Waris tahun 1946 untuk menegakkan keadilan dan membantu cucu yang tidak memperoleh hak warisnya. Sehingga ketentuan hukum ini bermanfaat bagi anak-anak dari anak laki-laki yang meninggal atau anak laki-laki dari anak laki-laki terus ke bawah. Sedangkan untuk garis anak perempuan hanya berlaku untuk anak dari anak perempuan saja tidak berlanjut sampai generasi selanjutnya. Universitas Sumatera Utara 43 Selain di negara Mesir, diberlakukan pula di negara-negara yang mayoritas Islam, termasuk salah satunya adalah negara kita Indonesia. Pelaksanaan wasiat wajibah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Wasiat Mesir pada Pasal 78, mewajibkan pelaksanaan wasiat wajibah tanpa tergantung perizinan ahli waris, kendatipun si mati tidak mewasiatkannya, setelah dipenuhi biaya perawatan dan pelunasan hutang dan wasiat wajibah tersebut harus didahulukan dari pada wasiat-wasiat lainnya. Artinya kalau ada sisa setelah pelaksanaan wasiat wajibah baru dilaksanakan wasiat-wasiat yang lain menurut urutan-urutan yang telah ditentukan oleh undang-undang wasiat, baru kemudian dibagi-bagikan kepada ahli waris sesuai dengan bagian masing-masing. 78 Undang-Undang Mesir Nomor 7 tahun 1946 tentang wasiat menetapkan bahwa wasiat diwajibkan berdasarkan hukum perundang-undangan, meskipun orang yang meninggal tidak menghendakinya. Wasiat ini diperuntukkan bagi keturunan dari orang yang meninggal dunia, baik yang meninggal secara hakiki 79 maupun meninggal secara hukmi 80 , sementara orang tua dari yang meninggal dunia ini masih hidup atau meninggal bersama pewaris. 78 Fatchur Rahman, Op Cit, Hal. 65 79 Mati hakiki dapat dipahami sebagai kematian yang terjadi dengan segala sebab yang mengakibatkan ia mati sebagai orang yang pernah hidup. Kematian ini dianggap hal biasa dan pasti dialami oleh setiap orang. Istilah hakiki hanya menunjuk kepada pengertian bahwa kematian orang tersebut dapat dibuktikan secara nyata, dapat disaksikan secara faktual dengan segala ciri indikasi keadaan orang yang telah mati. Sedangkan secara sebab yang mengakibatkan ia mati tidaklah menjadi maksud dari istilah hakiki yang memanfaatkan keberadaan seseorang apa adanya tanpa memperhatikan latar sebab kematiannya. 80 Mati hukmy merupakan kematian yang dipersangkakan secara yuridis oleh suatu lembaga legal yang menangani perkara yang diajukan kepadanya untuk memintakan keputusan hukum. Istilah hukmy hanya menunjuk sebagai hasil ketetapan-ketetapan lembaga hukum legal yang diminta untuk Universitas Sumatera Utara 44 Ketentuan tentang wasiat wajibah ini termaktub dalam pasal 76 dan 77 Undang-Undang Mesir Nomor 7 tahun 1946: 81 Pasal 76: “Sekiranya seorang pewaris tidak berwasiat untuk keturunan dari anak yang telah meninggal sebelum dia pewaris, atau meninggal bersama-sama dengan dia, sebesar bagian yang seharusnya diterima anak itu dari warisan, maka keturunannya tersebut akan menerima bagian itu melalui wasiat wajib dalam batas 13 harta dengan syarat: a. Keturunan tersebut tidak mewarisi. b. Orang yang meninggal pewaris belum pernah memberikan harta dengan cara-cara yang lain sebesar bagiannya itu. Sekiranya telah pernah diberi tetapi kurang dari bagian yang seharusnya dia terima, maka kekurangannya dianggap sebagai wasiat wajibah. Wasiat ini menjadi hak keturunan derajat pertama dari anak laki-laki dan perempuan serta keturunan seterusnya menurut garis laki-laki. Setiap derajat menghijab keturunan dari jurai yang lainnya. Setiap derajat membagi wasiat tersebut seolah-olah sebagian warisan dari orang tua mereka itu.” menilai tentang keberadaan seseorang. Boleh jadi orang yang menjadi objek penilaian tidak benar- benar mati tetapi memiliki fakta yuridis berdasar penilaian para hakim suatu lembaga hukum legal yang dalam konteks sekarang seperti di indonesia adalah pengadilan agama. Indikasi pembuktian seseorang mati tetap merupakan suatu anggapan dan penilaian yang karenanya ia tersebut mati hukmy, tidak disebut mati hakiki. 81 Alyasa Abubakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairi Dan Penalaran Fiqh Madzhab, Jakarta: INIS, 1998, Hal. 193-194 Universitas Sumatera Utara 45 Pasal 77: “Kalau seorang memberi wasiat lebih dari bagian yang seharusnya diterima, maka kelebihan itu dianggap sebagai wasiat ikhtiyariyah. Sekiranya kurang, kekurangan itu disempurnakan melalui wasiat wajibah. Kalau berwasiat kepada sebagian keturunan dan meninggalkan sebagian yang lain, maka wasiat wajibah diperlakukan kepada semua keturunan dan wasiat yang dianggap berlaku sepanjang sesuai dengan ketentuan pasal 76 di atas.” Dari ketentuan pasal-pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut Undang- Undang Mesir Nomor 7 tahun 1946 tentang wasiat, wasiat wajibah berarti pemberian wasiat yang diwajibkan oleh Undang-Undang yang diperuntukkan bagi cucu yang ditinggal mati oleh orang tuanya sementara kakek dan neneknya masih hidup, sedangkan di kemudian hari saat kakek nenek ini meninggal dunia tidak meninggalkan wasiat untuknya. Wasiat wajibah ini menurut Ibn Hazm: “Setiap muslim diwajibkan untuk berwasiat bagi kerabatnya yang tidak bisa mewarisi, baik yang disebabkan karena adanya perbudakan, kekufuran non-muslim, karena terhijab atau karena tidak mendapat warisan bukan ahli waris. Maka hendaknya ia berwasiat untuk mereka yang baik menurutnya. Apabila ia tidak berwasiat bagi mereka maka ahli waris atau wali yang mengurus wasiat tersebut harus memberikan wasiat tersebut kepada mereka kerabat menurut kepatutan. Andaikata kedua orang tua atau salah satunya itu kufur atau menjadi budak, maka ia wajib berwasiat kepada keduanya atau salah satu dari keduanya. Apabila ia tidak berwasiat, maka harus diberikan sebagian harta Universitas Sumatera Utara 46 itu kepada orang tua. Setelah itu ia boleh berwasiat sekehendaknya. Apabila berwasiat bagi tiga orang kerabat di atas, hal itu telah mamadai,...”. 82 Dari pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa menrut Ibnu Hazm wasiat wajibah adalah wasiat yang diberikan kepada kerabat yang karena alasan tertentu tidak mendapatkan bagian warisan serta tidak diberi wasiat oleh orang yang meninggal dunia, sementara orang yang meninggal dunia tersebut mempunyai harta yang baginya berlaku kewajiban untuk berwasiat. Pada mulanya wasiat wajibah yang di kenal di Indonesia hanya di peruntukkan untuk anak angkat danatau orang tua angkat, sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: 1. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan anak angkatnya. 2. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat wajibah sebanyak- banyaknya sepertiga dari harta warisan orang tua angkatnya. Hukum Islam klasik, anak angkat memiliki perdebatan yang panjang. Hal ini berkaitan dengan kisah pada masa Nabi Muhammad saw mengangkat Zaid ibn Harisah menjadi anak. Belakangan orang sering memanggil Zaid dengan mengimbuhkan label bin Muhammad. Sementara di masyarakat Arab ketika itu juga 82 Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Juz IX, Beirut: Dar Al-Alaq, Tt, Hal. 314 Universitas Sumatera Utara 47 terjadi terhadap Salim ibn ‘Atabah yang diadopsi oleh sahabat Abu Huzaifah. Salim pun dipanggil dengan panggilan Salim ibn Huzaifah. Kemudian Allah SWT menurunkan surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5, yang artinya sebagai berikut: “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu zhihar ialah perkataan seorang suami kepada isterinya, “Punggungmu haram bagiku seperti punggung ibuku’, atau perkataan lain yang sama maksudnya. Adalah menjadi adat kebiasaan bagi orang Arab jahiliah bahwa bila dia berkata demikian kepada isterinya maka isterinya itu haram baginya untuk selama-lamanya. Tetapi setelah Islam datang maka yang haram untuk selama-lamanya itu dihapuskan dan isteri-isteri itu kembali halal baginya dengan membayar kafarat denda. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan Yang Sebenarnya dan dia Menunjukkan jalan yang benar.” “Panggilah mereka anak-anak angkat itu dengan memakai nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada Sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka panggilah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maula-mu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi yang ada dosanya apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Universitas Sumatera Utara 48 Berdasarkan konteks hukum Islam tersebut di atas, maka sangat jelaslah adanya larangan pengangkatan anak dengan menisbahkan namanya terhadap anak angkatnya, tidak ada hubungan kekerabatan kewarisan bahkan tetap berlaku hukum mahram bukan muhrim. Pasal 171 huruf h Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf f menyebutkan bahwa wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Aturan mengenai wasiat ini di atur di dalam Kompilasi Hukum Islam mulai dari Pasal 194 sampai dengan Pasal 209. Pasal 194 sampai dengan Pasal 208, mengatur wasiat pada umunya yang bersifat lazim sebagaimana yang ada dalam fikih klasik sebagai peninggalan para yuris Islam. Tetapi pada pasal 209 memuat tentang wasiat wajibah terhadap orang tua angkat dan anak angkat. Pada Pasal 209 Kompilasi Hukum islam di atas khususnya pada ayat 2, memberikan gambaran bahwa anak angkat dapat menerima wasiat wajibah sebanyak- banyaknya 13 dari harta warisan orang tua angkatnya. Adanya ketentuan wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam merupakan jembatan yang menutupi ketimpangan yang terjadi selama ini antara anak angkat dan orang tua angkat yang tidak terjadi saling mewarisi, karena memang tidak ada Universitas Sumatera Utara 49 ketentuan saling mewarisi antara keduanya. Sedangkan anak angkat yang telah sangat berjasa, merawat dan memelihara orang tua angkat tidak mendapat harta peninggalan ketika orang tua angkatnya meninggal dunia, atau sebaliknya, kecuali orang tua angkat atau anak angkat itu telah lebih dahulu membuat wasiat. Bila tidak ada anak angkat atau orang tua angkat itu tidak mendapat harta apapun. Hal ini telah terasa tidak adil dalam masyarakat. Anak angkat yang telah mengabdi begitu lama untuk kemaslahatan orang tua angkat atau sebaliknya tidak mendapat bagian harta. Kompilasi Hukum Islam menberikan wasiat wajibah kepada anak angkat karena kenyataan hubungan yang tidak dapat dipungkiri secara hukum, maka Pasal 209 memodifikasi sesuatu keseimbangan hak dan kedudukan antara anak angkat dan orang tua angkat dalam hubungan waris mewarisi. Modifikasi ini berujud bahwa anak angkat berhak mendapatkan sepertiga dari harta yang ditinggalkan oleh orang tua angkatnya, berdasarkan konstruksi hukum wasiat wajibah. Demikian juga sebaliknya orang tua angkat berhak mendapatkan sepertiga dari harta yang ditinggalkan anak angkatnya berdasarkan pada konstruksi wasiat wajibah. Di dalam kehidupan masyarakat di negara kita Indonesia, kebanyakan dalam masyarakat kita, seseorang yang memiliki anak angkat biasanya karena tidak memiliki anak kandung. Dengan kata lain, pasangan suami isteri yang tidak memiliki keturunanlah yang biasanya mengangkat anak orang lain sebagai anak angkat. Kebanyakan di Indonesia, anak angkat diangkat sebagai anak sejak bayi atau sejak Universitas Sumatera Utara 50 kecil, kemudian dipelihara, diberi kasih sayang selayaknya seperti anak kandungnya sendiri. Dalam kenyataan, ketika orang tua angkatnya telah meninggal dunia, anak angkat yang belum dewasa justru bisa saja terlantar hidupnya. Anak angkat tersebut pastinya belum bisa atau belum mampu mandiri. Sementara keluarga dekat dari orang tua angkatnya akan datang dan mengambil harta peninggalan orang tua angkat tanpa memperdulikan nasib anak angkat tersebut. Alasannya bisa saja didasarkan pada hukum kewarisan, bahwa anak angkat bukanlah ahli waris dari orang tua angkatnya tersebut. Atas dasar inilah, kenyataan terlantarnya anak angkat dan tidak adanya pembelaan terhadap mereka memungkinkan timbulnya pemikiran untuk melindungi mereka. Menurut M. Marwan, perbedaan yang pokok dari sistem pengangkatan anak dalam hukum Islam dan lainya adalah bahwa dalam hukum Islam sebenarnya merupakan hadhanah atau anak asuh yang diperluas dan sama sekali tidak merubah hubungan nasab dan mahram antara anak angkat dengan orang tua angkat, saudara angkat, dan lainnya. 83 Jadi anak yang tadinya tidak mempunyai hubungan darah dengan ayah dan ibu angkatnya, setelah adopsi dianggap sebagai anak sendiri. Secara sosiologisnya, anak angkat adalah anak yang secara sengaja diambil karena adanya kepentingan orang tua angkat dan anak angkat itu sendiri, kepentingannya adalah sebagai pengganti bagi anak kandung dalam tujuan kasih sayang. Sehingga wajar-wajar sajalah anak angkat tersebut memperoleh suatu hak 83 Fahmi Al Amruzi, Op Cit, Hal. 81 Universitas Sumatera Utara 51 kenikmatan harta dari orang tua angkatnya. Dengan asumsi tersebutlah dan ditambah dengan kebolehan adanya wasiat dalam hukum Islam, para yuris Islam di Indonesia memuat pasal di dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai wasiat wajibah untuk anak angkat atau orang tua angkat. Kompilasi Hukum Islam di sini telah menjembatani kenyataan demikian untuk menempatkan anak angkat hanya dalam perwasiatan harta bukan melewati hak kewarisan. Dari hal tersebut di atas memberikan gambaran bahwa seharusnya sebelum meninggalnya orang tua angkat, maka ada baiknya orang tua angkat itu membuat wasiat atau memberikan wasiat harta kepada anak angkatnya. Dapat dimaklumi pula bahwa Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam yang memberlakukan wasiat wajibah ini merupakan alternatif jalan terakhir jika orang tua angkat sewaktu hidupnya tidak sempat memberi wasiat kepada anak angkatnya. Dapat diperhatikan, bahwa Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam ini masih sangat belum lengkap, sehingga masih memungkinkan tejadi polemik perdebatan maupun kesalahan interprestasi. Adapun menurut Rachmadi Usman, meskipun dirumuskan kurang tepat, tetapi Pasal 209 ini harus ditafsirkan sebagai berikut: 84 1. Seorang anak angkat telah mempunyai hubungan kewarisan dengan orang tua kandungnya maupun kerabat-kerabatnya. 84 Rachmadi Usman, Hukm Kewarisan Islam Dalam Dimensi Kompilasi Hukum Islam, Mandar Maju, Bandung, 2009, Hal.187 Universitas Sumatera Utara 52 2. Orang tua angkatnya hanya mungkin memperoleh harta warisan anak angkatnya dengan jalan wasiat atau wasiat wajibah. Besarnya wasiat atau wasiat wajibah tersebut maksimal 13 sepertiga dari harta warisan anak angkatnya. 3. Demikian pula anak angkatnya hanya mungkin memperoleh harta warisan dari orang tua angkatnya juga dengan cara waiat atau wasiat wajibah. Besarnya pun maksimal 13 sepertiga dari harta warisan orang tua angkatnya. Sedangkan menurut M. Yahya Harahap, bahwa wasiat wajibah seseorang dianggap menurut hukum telah menerima wasiat meskipun tidak ada wasiat secara nyata in konkreto. Anggapan hukum itu lahir dari asas apabila dalam suatu hal hukum telah menetapkan harus wajib berwasiat, maka ada atau tidak ada wasiat dibuat, wasiat itu dianggap ada dengan sendirinya. 85 Ketidak lengkapan Pasal 209 yang mengatur tentang wasiat wajibah ini adalah sebagi berikut: 1. Tidak ada butir Pasal dari Pasal 194 sampai dengan Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan kewajiban bagi orang tua angkat untuk berwasiat kepada anak angkatnya ketika orang tua angkat masih hidup. 2. Hanya menyebut besaran maksimal yaitu 13 sepertiga harta wasiat wajibah yang justru akan membawa konflik dengan ahli waris yang sesungguhnya. 85 M. Yahya Harahap, Informasi Materi KHI, Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam, Al- Hikmah, Jakarta, Hal. 187 Universitas Sumatera Utara 53 Sebab dengan besaran maksimal 13 harta justru sangat mempengaruhi dalam perhitungan waris. 3. Tidak ada teknis hitungan batas wajar perolehan hak wasiat wajibah pada saat ketika ada ahli waris orang tua angkat dan pada saat tidak ada ahli waris orang tua angkat. 4. Tidak ada pengakuan secara yuridis bagaimana prosedur kemungkinan anak angkat memperoleh hak wasiat wajibahnya, sehingga hanya memungkinkan dengan jalan litigasi saja. Dengan kata lain, hak wasiat wajibah hanya mungkin diperoleh melewati jalan litigasi. Konteks kenyataannya, wasiat wajibah dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam sangat tidak jelas, di mana bukan hanya pembagian sistem wasiat wajibah akan mengurangi jatah bagian ahli waris yang berhak, tetapi juga memungkinkan konflik baru antara ahli waris dan anak angkat. Untuk itu diperlukan suatu aturan hukum, setidaknya doktrin hukum berdasarkan metode penemuan hukum agar kasus dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam dapat jelas dan mudah diterapkan. Namun pada sisi lain, anak angkat juga memiliki kewajaran dan kepatutan untuk mendapatkan haknya dari orang tua angkatnya sebab ia tercipta karena adanya kultur dalam masyarakat. Kehadiran wasiat wajibah dalam masyarakat muslim Indonesia adalah tututan perasaan keadilan hukum masyarakat. Sangatlah kecewa anak angkat atau sebaliknya yang telah bertahun-tahun bersama orang tua angkat atau anak angkat, merawat dan Universitas Sumatera Utara 54 menjaganya, akan tetapi ketika orang tua angkat atau anak angkat meninggal dunia, anak angkat harus angkat kaki dari rumah yang selama ini ditempati bersama. Anak angkat harus meninggalkan rumah, karena harta itu harus diserahkan kepada untuk ahli warisnya. Perasaan kecewa ini pula akan dialami oleh orang tua angkat yang telah meninggal, karena tidak sempat membalas jasa-jasa anak angkatnya. Dasar dari mengapa di dalam Kompilasi Hukum Islam memberikan wasiat wajibah kepada orang tua angkat atau anak angkat adalah dikarenakan tanggung jawab terhadap anak angkat tidak hanya terletak pada tanggung jawab untuk memberi nafkah dan perawatan, melainkan kedudukan anak angkat sama dengan kedudukan anak kandung, karena itu terkadang nama ayah angkat selalu melekat kepada anak angkatnya sebagai identitas diri pribadi. Anak angkat dianggap mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama seperti anak kandung terhadap kedua orang tuanya dan begitu pula sebaliknya. Atas dasar inilah maka antara anak angkat dan orang tua angkat saling mewarisi dan dianggap sebagai mahram orang yang haram dinikahi. 86 Akan tetapi status anak angkat tidak dihubungkan kepada orang tua angkatnya, tetapi tetap seperti sediakala, yaitu dinisbatkan kepada orang tua kandungnya. Status pengangkatan anak tidak menciptakan adanya hubungan hukum pewarisan antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, begitu juga dengan keluarganya. 87 86 M. Zein Satria Effendi, Analisis Fiqih Analisis Yuripsrudensi, Dalam Mimbar Hukum No. 37 Thn. IX, 1998, Hal. 92 87 Pagar, Kedudukan Anak Angkat Dalam Warisan: Suatu Telaah Atas Pembaharuan Hukum Islam Indonesia, Dalam Mimbar Hukum No. 54. Tahun 2001, Hal. 9 Universitas Sumatera Utara 55 Meskipun pengangkatan ini tidak merubah status nasab anak tersebut, akan tetapi hal itu tidaklah mengurangi nilai dan makna pengangkatan tersebut, terutama hal ini bisa dilihat dari: 88 1. Pengangkatan anak menciptakan hukum adanya peralihan pemeliharaan hidup sehari-hari yang pada mulanya di bawah kekuasaan orang tua kandungnya yang berpindah kepada orang tua angkatnya. 2. Tanggung jawab biaya pendidikan yang pada mulanya mesti ditanggulangi oleh orang tua kandung berpindah kepada orang tua angkat. 3. Pengangkatan anak tidak memadai kalau hanya dengan persetujuan kedua belah pihak saja, meskipun telah diresmikan melalui upacara adat dan agama, tetapi mesti diperoleh lewat ketetapan pengadilan, dengan demikian status anak akan menjadi jelas dan sah di mata hukum. 4. Adanya status anak angkat yang sah akan menciptakan akibat hukum dalam kewarisan, dimana anak akan memperoleh wasiat wajibah sebanyak- banyaknya sepertiga harta. Demikian juga dengan hal sebaliknya yaitu bila si anak yang meninggal dunia maka si orang tua angkat juga akan dapat memperoleh wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga harta dari harta si anak angkat. Di Indonesia, wasiat wajibah dijadikan sebagai dasar oleh Kompilasi Hukum Islam untuk memberikan bagian dari harta peninggalan pewaris kepada anak angkat yang tidak diberi wasiat oleh pewaris orang tua angkatnya, atau orang tua angkat 88 Ibid, Hal. 11 Universitas Sumatera Utara 56 yang tidak diberikan wasiat oleh pewaris anak angkatnya. Dalam Kompilasi Hukum Indonesia, penerima wasiat wajibah adalah anak angkat yang tidak menerima wasiat dari harta peninggalan orang tua angkatnya, ketika orang tua angkat tersebut meninggal dunia. Dan orang tua angkat yang tidak menerima wasiat dari harta peninggalan anak angkatnya ketika anak angkat tersebut meninggal dunia. Berdasarkan demikian, wasiat wajibah untuk orang tuang angkat atau anak angkat diperlukan, meskipun keberadaannya tidak harus dibuka selebarnya sehingga mempengaruhi bagian fard para ahli waris, dan tidak perlu juga harus dihapus ketentuan wasiat wajibah dalam rangka perwujudan apresiasi terhadap pewaris sebagai orang tua angkatnya yang mengangkatnya karena kasih sayang. Seiring berjalannya waktu, wasiat wajibah ini sendiri tidak hanya di peruntukkan untuk anak angkat danatau orang tua angkat saja, melainkan dapat juga diperuntukkan kepada ahli waris non-muslim. Seperti di dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 368.KAG1995, di mana di dalam putusan ini hakim memutuskan anak dari si pewaris yang meninggal dunia mendapatkan wasiat wajibah, dikarenakan anak dari si pewaris tersebut beragama non-muslim. Selain itu pada putusan Mahkmah Agung Republik Indonesia No. 51.KAG1999, di mana di dalam putusan ini hakim memutuskan ahli waris pengganti dari si pewaris yang mendapatkan wasiat wajibah, dikarenakan pula ahli waris pengganti dari si pewaris tersebut beragama non-muslim. Kemudian di tahun 2010, Mahkamah Agung Republik Indonesia memberikan putusan yang menetapkan bahwa istri dari di Universitas Sumatera Utara 57 pewaris yang beragama non-muslim juga mendapatkan wasiat wajibah, dengan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 16.KAG2010. Sehingga dalil Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 180 dapat dipahami bahwa kewajiban berwasiat adalah dengan ketetapan agama yang harus dilaksanakan dan bukan dengan keputusan hakim, namun demikian Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama pasal 2, dan dalam pasal 11 dinyatakan Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman dalam bidang perkara tertentu berdasarkan asas personalitas ke Islaman. 89 Dalam Kompilasi Hukum Islam, ahli waris yang berbeda agama tidak akan mendapatkan bagian warisan karena tidak termasuk sebagai ahli waris. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 disebutkan bahwa seseorang itu termasuk ahli waris apabila pada saat pewaris meninggal dunia ia dalam keadaan beragama Islam, memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris serta tidak terhalang secara hukum untuk memperoleh bagian warisan. Dengan mengacu pada ketentuan pasal 171 di atas, maka ahli waris yang terhalang tidak termasuk sebagai ahli waris dan oleh karena itu tidak akan memperoleh bagian warisan. Mengenai kerabat yang tidak termasuk sebagai ahli waris ini, Ibnu Hazm berpendapat kalau ia berhak memperoleh bagian dari harta peninggalan pewaris atas 89 Abdul Manan, Hakim Peradilan Agama, Hakim Dimata Hukum Ulama Di Mata Ummat, Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003, Hal. 93. Universitas Sumatera Utara 58 dasar wasiat wajibah. Ibnu Hazm berpendapat bahwa para kerabat yang tidak menerima warisan berhak menerima wasiat wajibah sebagaimana telah beliau tegaskan sebelumnya di atas. Oleh karena itu, menjadi kewajiban yang harus ditunaikan oleh ahli waris untuk memberikan wasiat tersebut kepada para kerabat yang tidak dapat menerima warisan, baik karena ia menjadi budak, karena berbeda agama, ataupun karena adanya kerabat lain yang menghijab, maupun karena ia bukan sebagai ahli waris. 90

B. Pihak-Pihak Yang Dapat Menerima Wasiat Wajibah.

Dalam ensiklopedia hukum Islam menyebutkan, bahwa wasiat wajibah adalah wasiat yang diperuntukkan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya halangan syarak. Misalnya berwasiat kepada ibu-bapak yang beragama non-muslim, karena perbedaan agama menjadi penghalang bagi seseorang untuk menerima warisan, atau cucu yang tidak mendapatkan harta warisan disebabkan oleh keberadaan paman mereka. 91 Menurut Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid dalam bukunya yang berjudul hukum kewarisan Islam sebagai pembaharuan hukum positif di Indonesia, 92 pusat perhatian wasiat wajibah ini berfokus pada masalah cucu, sehingga ijtihad yang muncul seperti wasiat wajibah tersebut. Dalam perkembangan pemikiran hukum kewarisan Islam, para pemikir ahli hukum Islam tidak hanya melihat pada persoalan 90 Ibid. 91 Ensiklopedia Hukum Islam, Hal. 1930 92 Moh. Muhibbin, Op Cit, Hal. 150-151 Universitas Sumatera Utara 59 cucu saja, tetapi dengan memperluas cakrawala analisisnya, yakni dengan mengemukakan bahwa hukum kewarisan Islam mengenai pergantian tempat. Ahli pemikir Islam yang disebut di sini mislanya, Profesor Hazairin. Namun demikian, walaupun dalam lingkup yang sangat terbatas, wasiat wajibah mempunyai kemiripan dengan penggantian tempat. Kemiripan tersebut terletak pada orang yang meninggal lebih dahulu dari pada orang yang meninggalkan harta kekayaan. Perbedaan antara wasiat wajibah dengan pergantian tempat menurut mereka ini adalah, wasiat wajibah merupakan pranata untuk mengatasi satu jenis persoalan, sedangkan pergantian tempat merupakan pranata untuk mengatasi persoalan yang bersifat menyeluruh. Maksud menyeluruh di sini adalah menyeluruh persoalan kematian lebih dahulu daripada pewaris, baik dalam garis lurus kebawah, garis lurus ke atas maupun garis lurus ke samping. Tahir mahmood mengatakan: “doktrin representasi tidak diakui dalam hukum kewarisan Islam di mana para keluarga yang lebih dekat menyingkirkan yang lebih jauh dalam golongan yang sama. Cara pemecahannya dengan memperkenalkan prinsip wasiat wajibah. 93 Dari pernyataan Tahir Mahmood di atas, tampak bahwa ajaran tentang pergantian tempat tidak diakui dalam hukum kewarisan Islam, dan sebagai gantinya diperkenalkan wasiat wajibah. Wasiat wajibah, yang memberikan jalan keluar bagi cucu yang tidak mewaris, memperluas pengertian cucu sampai derajat yang tidak 93 Abdullah Siddik, Hukum Kewarisan Dan Perkembangan Di Seluruh Dunia Islam, Wijaya, Jakarta, 1984, Hal. 223 Universitas Sumatera Utara 60 terbatas jika cucu tersebut lewat garis laki-laki dan satu derajat jika lewat orang perempuan. Jika dilihat dari segi hal tersebut, maka masalah cucu dalam wasiat wajibah amat mirip dengan pergantian tempat. Penegasan mengenai yang berhak menerima wasiat wajibah dapat dilihat dari pernyataan Hasanain Muhammad Makhluf 1958:21 mengatakan: “... maka wajiblah wasiat bagi kedua orang tua apabila keduanya tidak menerima warisan, misalnya ada perbedaan agama. Demikian pula bagi kerabat yang tidak menerima warisan, seperti karena hamba sahaya, kufur, atau terhijab untuk menerima warisan, yaitu dari keturunan yang telah meninggal dunia pada saat bapaknya masih hidup.” 94

C. Dasar Filosofi Fikih Islam Tidak Menyebutkan Pihak-Pihak Yang Dapat Menerima Wasiat Wajibah.

Hukum Islam berkembang sejalan dengan perkembangan dan perluasan wilayah Islam serta hubungannya dengan budaya dan masyarakat lain. Dalam mana penetapan hukum Islam di zaman Nabi, terlihat bahwa hukum Islam mengubah, menentukan dan mengontrol kondisi sosial masyarakat. Akan tetapi dalam perkembangannya terutama setelah Nabi meninggal, terlihat pula bahwa teks-teks hukum banyak yang tidak menjangkau secara lansung akan kejadian-kejadian dan masalah-masalah yang baru muncul. Untuk memecahkan masalah baru itulah 94 Suparman Usman, Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1997, Hal. 174 Universitas Sumatera Utara 61 dilakukan ijtihad, yaitu dimana melakukan penalaran sehingga menghasilkan pendapat pribadi yang orisinal. Salah satu usaha ijtihad yang dilakukan itu yaitu menganalogikan peristiwa hukum baru tersebut kepada peristiwa hukum baru tersebut kepada peristiwa hukum yang secara tekstual dan eksplisit telah dinyatakan kedudukan hukumnya baik dalam Al-Quran maupun dalam Sunnah berdasarkan adanya alasan hukum yang sama diantara keduanya. Dalam bidang hukum kewarisan misalnya masih dijumpai adanya perbedaan pendapat tentang wasiat wajibah, dimana seorang anak angkat tidak berhak memperoleh warisan dari orang tua angkatnya, dan sebaliknya secara mutlak, meskipun kasih sayang yang mereka bina bertahun-tahun, akibatnya bisa memutuskan silahturahmi antara keluarga anak angkat dengan orang tua angkatnya, dan sebaliknya. Ataupun mengenai ahli waris yang beragama non-muslim yang tidak berhak memperoleh warisan dari pewaris baik itu antara orang tua kandung kepada anak kandungnya, antara saudara kandung dengan saudara kandungnya, dan antara suami isteri yang semuanya berbeda agama antara pewaris kepada ahli waris yang beragama non-muslim tersebut. Sehingga dikemudian hari bisa saja akan berakibat memutuskan tali silahturahmi antara keluarga yang telah terbina cukup lama. Pandangan dari kitab-kitab fikih tradisional itu dapat dimaklumi, karena kitab- kitab itu ditulis jauh sebelum lahirnya paham kebangsaan, ketika itu praktek kenegaraan masih memakai konsep umat. Berbeda dengan paham kebangsaan, konsep umat menyatukan berbagai kelompok masyarakat dengan tali agama, Universitas Sumatera Utara 62 sedangkan paham kebangsaan menitikberatkan dalam penegakan hukum sesuai dengan kondisi dan situasi yang berlaku dalam suatu negara. Paham kebangsaan ini baru lahir sesudah perang dunia I, kemudian negara-negara Islam pun menganutnya. Dengan lahirnya paham kebangsaan ini produk hukum Islam yang dihasilkan oleh negara tidak lagi terikat pada satu mazhab, melainkan juga diambil dari pemikiran mazhab lain, seperti mazhab Maliki, Hambali, Hanafi, dan bahkan dari mazhab Syi’ah dan Zahiri, serta lainnya. 95 Para pakar hukum Islam Indonesia sering melemparkan gagasan tentang pembaharuan hukum Islam dengan menggunakan berbagai istilah, misalnya restrukturisasi, reinterprestasi, redefinisi, reformulasi, reaktualisasi, maupun modernisasi. Gagasan tersebut didasarkan kepada Al-Quran Surah Al-Maidah yang menyatakan bahwa agama Islam telah sempurna. Akan tetapi setelah Nabi Muhammad saw wafat, banyak ayat-ayat Al-Quran secara tekstual dipandang oleh kaum modernis sebagai ayat-ayat yang tidak relevan lagi dengan realitas sosial atau kemajuan zaman. Oleh sebab itu, diperlukan pemikiran pembaharuan hukum Islam agar sesuai dengan kondisi zaman dengan cara memahami Al-Quran dan Sunnah yang menjadi pokok ajaran Islam itu secara tekstual, kontekstual, atau keduanya. Pembaharuan dapat juga dilaksanakan dengan cara memperbaharui hasil-hasil pemikiran ijtihad para pemikir Islam dahulu yang sekarang tidak sesuai lagi dengan kepentingan umum dan perkembangan masyarakat serta keinginan zaman. 96 Mengingat bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi yang terakhir dan risalahnya berlaku bagi seluruh umat yang datang kemudian, maka syariat itu 95 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, Hal. 4 96 Masyfuk Zuhdi, Pembaharuan Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam, PT. A. Jawa Timur, Surabaya, 1995, Hal. 1-2 Universitas Sumatera Utara 63 haruslah bersifat universal agar dapat menjamin terciptanya kemaslahatan di setiap masa dan tempat. Akan tetapi, juga menjadi sunnah Allah, masyarakat manusia selalu mengalami perubahan dan perkembangan dalam berbagai bidang kehidupan. Kehidupan pada masa modern sekarang telah jauh berbeda dengan kehidupan di zaman Rasulullah saw. Perubahan sosial dalam berbagai aspeknya, selalu melahirkan tuntutan agar perangkat hukum yang menata masyarakat itu haruslah diikuti berkembang bersamanya. Perubahan sosial dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti kependudukan, habitat fisik, teknologi, atau struktur dan kebudayaan masyarakat, sedangkan prosesnya dapat didorong oleh kemajuan sistem pendidikan, sikap toleransi terhadap penyimpangan prilaku, sistem stratifikasi sosial yang terbuka, tingkat heterogenitas penduduk, dan rasa ketidak puasan terhadap kondisi kehidupan tertentu. 97 Perubahan sosial dengan berbagai faktor dan akibatnya memberikan pengaruh terhadap hukum, dalam arti menuntut adanya perubahan hukum dalam rangka menanggapi problema dimaksud, sebagaimana dikatakan oleh Soerjono Dirdjo Sisworo: terjadinya interaksi antara perubahan hukum dan perubahan masyarakat adalah fenomena nyata ... titik sentral sebagai penentu dari berbagai gejala yang juga menentukan watak dan perubahan hukum adalah manusia sendiri”. 98 Dalam hubungannya dengan masayarakat, hukum mempunyai dua fungsi, yaitu hukum berperan menciptakan perubaha struktur sosial dan memacu masyarakat 97 Soerjono Sukanto, Beberapa Permasalahan Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, UI Press, Jakarta, 1975, Hal. 139 98 Soejono Dirdjo Sisworo, Sosiologi Hukum: Studi Tentang Perubahan Hukum dan Sosial, Rajawali Pers, Jakarta, 1983, Hal. 83 Universitas Sumatera Utara 64 agar bergerak dan hukum itu berperan memelihara stabilitas sosial serta mengendalikan arah dan mengontrol lajunya perubahan masyarakat, agar tidak keluar dari ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dalam kaitan ini, hukum selalu ketinggalan dari, dan mengalami tarik menarik dengan tuntutan perubahan masyarakat yang dinamis. Pada satu sisi hukum mengekang berbagai gerakan masyarakat, dan sisi lainnya dinamika masyarakat selalu menuntut agar hukum menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman. 99 Menurut para pakar hukum Islam di Indonesia, pembaharuan hukum Islam yang terjadi saat ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 100 1. Untuk mengisi kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat dalam kitab-kitab Fikih tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap hukum terhadap masalah yang baru terjadi itu sangat mendesak untuk ditetapkan. 2. Pengaruh globalisasi ekonomi dan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga perlu ada aturan hukum yang mengaturnya, terutama masalah-masalah yang belum ada aturan hukumnya. 3. Pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang kepada hukum Islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum nasional. 4. Pengaruh pembaharuan pemikiran hukum Islam yang dilaksanakan oleh para mujtahid baik tingkat internasional maupun tingkat nasional, terutama hal-hal yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 99 Soerjono Sukanto, Op Cit, Hal. 146-147 100 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Pt. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, Hal. 153-154 Universitas Sumatera Utara 65

BAB III PANDANGAN ULAMA TENTANG WASIAT WAJIBAH

A. Pro dan Kontra Para Ulama Terhadap Wasiat Wajibah

Ibn Hazm berpendapat bahwa, wasiat bagi ahli waris yang tidak berhak menerima warisan hukumnya wajib. Bahkan ia mengatakan, fardu hukumnya bagi setiap orang Islam untuk memberikan wasiat kepada ibu bapak dan karib kerabat yang tidak mewarisinya baik karena perbedaan agama, perbudakan, atau karena ada ahli waris lain yang mendidinginya. Untuk mereka ini, menurut beliau diberi wasiat berupa bagian yang pantas. Jika yang meninggal dunia tidak berwasiat sebelumnya, hendaklah dikeluarkan sebagian dari harta peninggalannya untuk memenuhi kefarduan wasiat yang belum ditunaikannya. 101 Adanya kewajiban bagi penguasa untuk mengeluarkan sebagian dari harta peninggalan seseorang, meskipun dia tidak berwasiat sebelumnya. Maksudnya kewajiban untuk mengeluarkan sebagaian dari harta peninggalan sebagai wasiat, tidak lagi disandarkan kepada ada atau tidaknya seseorang berwasiat semasa hidupnya, tetapi didasarkan kepada hukum yang ditetapkan oleh penguasa. Sehingga sekiranya seorang tidak berwasiat semasa hidupnya, namun secara serta merta ia dianggap telah berwasiat. Dapat ditarik kesimpulan bahwa, Ibn Hazm mendefenisikan wasiat wajibah sebagai wasiat yang ditetapkan oleh penguasa untuk orang-orang tertentu yang diberi 101 Ramlan Yusuf Rangkuti, Op Cit, Hal. 375 65 Universitas Sumatera Utara 66 wasiat oleh orang yang meninggal dunia, sementara pewaris meninggalkan harta yang baginya berlaku kewajiban wasiat. Adapun dasar hukum yang menjadi rujukan Ibn Hazm akan wasiat wajibah bagi setiap orang Islam yang memiliki sejumlah harta kepada kedua orang tua dan karib kerabatnya, yaitu: 102 1. Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 180. Menurut beliau ayat tersebut mempunyai tunjukan yang pasti dan tidak beralternatif makna, yaitu wajib hukumnya berwasiat terhadap kedua orang tuanya dan karib kerabatnya oleh setiap orang yang memiliki jumlah harta sebelum dia meninggal dunia. 2. Hadis Rasulullah SAW dalam riwayat Bukhari dari Abdullah ibn Yusuf, dari Malik, dari Nafi, dari Abdullah yang berbunyi: Rasulullah SAW bersabda: tidak ada hak seorang muslim terhadap sesuatu yang dia wasiatkan bermalam selama dua malam kecuali wasiatnya itu telah tertulis disisinya. Ibn Umar berkata: saya tidak melewatkan semalam pun semenjak saya mendengar Rasulullah SAW bersabda demikian kecuali di samping saya ada wasiat saya. 3. Hadis riwayat Malik dari Hasyim bin Urwah dari bapaknya, dari Aisyah isteri Nabi SAW menceritakan: bahwa seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah SAW: sesungguhnya ibuku mati tiba-tiba, dan kuat dugaan saya, sekiranya ia sempat berbicara pasti ia bersedekah ini dapat diketahui dari kegemarannya 102 Ibid, Hal. 376 Universitas Sumatera Utara 67 berbuat baik dan berwasiat. Apakah aku harus bersedekah dari harta yang ditinggalkannya jawab Nabi SAW: Ya. Badran Abu al-Ainaini, memberi komentar atas pendapat Ibn Hazm yang mengatkan bahwa penguasa wajib mengeluarkan sebagain dari peninggalan seseorang yang meninggal dunia sebagai wasiat darinya meskipun dia tidak berwasiat sebelumnya, dilandasi dengan suatu pemikiran bahwa penguasa punya kewajiban untuk menjamin hak-hak rakyatnya yang belum terlaksana. 103 Adapun orang yang berhak menerima wasiat wajibah itu, menurut Ibn Hazm, adalah para kerabat yang tidak menerima warisan, sebagaimana yang beliau tegaskan: 104 “diwajibkan kepada setiap muslim untuk berwasiat kepada kerabatnya yang tidak memperoleh warisan, baik karena perbudakan, atau karena berbeda agama, atau karena ada ahli waris yang mendindinginya, atau karena mereka tidak termasuk ahli waris, maka hendaklah ia berwasiat untuk orang-orang tersebut, hendaklah ahli waris atau pemegang wasiat mengeluarkan sebagaian dari harta peninggalannya. Jika kedua ibu bapaknya, atau salah satu dari keduanya menganut agama lain, atau menjadi budak, maka wajib pula baginya untuk memberikan wasiat kepada keduanya atau untuk salah satu dari keduanya. Jika ternyata dia tidak berwasiat kepada mereka, maka mestilah dikeluarkan wasiatnya untuk memberikan harta tersebut kepada mereka dan setelah itu, baru boleh berwasiat bagi orang lain”. 103 Ibid, Hal. 377 104 Ibid, Hal. 379 Universitas Sumatera Utara 68 Ibn Hazm juga memberikan batasan untuk jumlah harta yang boleh diwasiatkan, yaitu hanya sepertiga dari harta kekayaan pewaris, baik itu pewaris memiliki ahli waris ataupun tidak, disetujui ahli waris lain ataupun tidak. Bila seseorang berwasiat lebih dari sepertiga hartanya, kemudian ia memperoleh tambahan harta sehingga apa yang telah diwasiatkan tersebut sudah berada dalam batas sepertiga, karena telah bertambah harta si pewaris, maka wasiatnya itu tidak dikeluarkan, kecuali tetap dalam batas sepertiga dari kekayaannya pada saat pewasiat membuat wasiatnya, karena melebihkan wasiat dari ukuran sepertiga itu adalah akad yang haram. Kitab Undang-Undang Hukum Wasiat menetapkan wasiat wajibah atas dasar hasil mengkompromikan pendapat-pendapat Ulama salaf dan Ulama khalaf, yakni: 105 1. Tentang kewajiban berwasiat kepada kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka ialah diambil dari pendapat-pendapat fuqaha’ dan tabi’in besar ahli fikih dan ahli hadist. Antara lain Said Ibnu-Musaiyab, Hasanul- Bishry, Thawus, Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan Ibnu Hazm. 2. Pemberian sebagian harta peninggalan si mati kepada kerabat-kerabat yang tidak menerima pusaka yang berfungsi wasiat wajibah, bila si mati tidak berwasiat, adalah diambil dari pendapat mazhab Ibnu Hazm yang dinukil dari fuqaha’ tabi’in dan dari pendapat mazhab Imam Ahmad. 3. Pengkhususan kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka kepada cucu-cucu dan pembatasan penerimaan kepada sebesar sepertiga peninggalan 105 Faturahman, Op Cit, Hal. 65 Universitas Sumatera Utara 69 adalah didasarkan pendapat mazhab Ibnu Hazm dan berdasarkan qaidah syaria’ah: “pemegang kekuasaan mempunyai wewenang memerintahkan perkara yang mubah, karena ia berpendapat bahwa hal itu akan membawa kemaslahatan umum. Bila penguasa memerintahkan demikian, wajiblah ditaati”. Jadi dengan demikian, menurut sebagian fuqaha’ perintah penguasa itu mewujudkan hukum syara’. Bagian yang wajib dikeluarkan, menurut Ibnu Hazm boleh dibatasi tentang maksimal dan minimalnya oleh si pewasiat sendiri dan ahli waris. Sedang surat Al-Baqarah ayat:180 menjelaskan bahwa wasiat kepada kerabat- kerabat itu ialah wasiat bil-ma’ruf. Istilah ma’ruf dalam ayat tersebut ialah sesuatu usaha yang dapat menenangkan jiwa dengan tidak menyampingkan kemaslahatan- kemaslahatan. 106 Oleh karena itu adalah suatu keadilan bila pemerintah mewajibkan kepada para ahli waris untuk memberikan pemerintah mewajibkan kepada para ahli waris untuk memberikan bagian dari harta peninggalan yang dipusakai kepada cucu- cucu orang yang meninggal yang orang tua cucu-cucu tersebut telah mati mendahului orang yang mewariskan, sebesar bagian orang tuanya dengan ketentuan tidak boleh melebihi dari sepertiga harta peninggalan. Menurut Misbachul Munir dalam menanggapi perundang-undangan Mesir adalah sebagai berikut: 107 106 Ibid, Hal. 66 107 Misbachul Munir, Batasan Ahli Waris Pengganti Menurut Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam Dalam Artikel PA Lumajang, Http:Www.Palumajang.NetInfo.Php?Page=Artikel- Detail.HtmlArtikel.Id, 11 April 2014 Universitas Sumatera Utara 70 1. Kalau dari garis keturunan laki-laki maka berlaku seterusnya sampai ke bawah, tetapi kalau dari garis keturunan anak perempuan, hanya tebatas pada anak-anak dari anak perempuan pewaris saja. 2. Pewaris di masa hidupnya belum pernah memberikan harta kepada yang berhak menerima wasiat wajibah tersebut seukuran hak wasiat wajibahnya. 3. Besarnya wasiat wajibah hanyalah sepertiga harta, entah yang berhak menerima itu banyak atau sedikit, campuran antara laki-laki atau perempuan atau tidak. Kalau yang berhak menerima wasiat wajibah tersebut campuran antara laki-laki dan perempuan, maka bagian mereka adalah dua banding satu. 4. Wasiat wajibah didahulukan dari wasiat biasa. Kalau pewaris telah membuat wasiat kepada mereka yang berhak menerima wasiat wajibah tetapi jumlahnya kurang dari sepertiga, maka dicukupkanlah sampai jumlah sepertiga, tetapi bila telah melebihi sepertiga, maka kelebihan itu dianggap wasiat biasa. Kalau yang berhak menerima wasiat wajibah tersebut lebih dari seorang, ada yang diberi wasiat biasa dan ada yang tidak, maka yang belum diberi tersebut berhak mendapatkan bagian wasiat wajibah. Kalau si pewaris membuat surat wasiat biasa dan ada pula meninggalkan mereka yang berhak menerima wasiat wajibah, maka wasiat wajibah dibayar dahulu dalam batas sepertiga, kemudian diambilkan untuk wasiat biasa dalam batas ssepertiga pula sesudah diambil untuk wasiat wajibah. Universitas Sumatera Utara 71 Menurut pendapat ulama muta’akhirin, wasiat wajibah ditunjukan pada kerabat dekat atau yang memiliki hubungan nasab, namun tidak mendapatkan hak waris bukan terhadap anak angkat sebagaimana yang disampaikan dalam teori hukum yang dikemukakan Wahbah Zuhaili, sebagai berikut: 108 “Telah dijelaskan bahwa wasiat kepada kerabat itu adalah disunatkan menurut jumhur ulama’. Di antara mereka itu adalah para imam mazhab empat. Wasiat itu tidak wajib bagi seseorang kecuali sebab hak dari Allah atau bagi para hamba Allah. Sebagai ahli fikih, seperti Ibnu Hazm Adh-Dhahiri dan At-Thobari dan Abu Bakar bin Abdil Aziz dari ulama’ mazhab Hambali berpendapat bahwa wasiat itu adalah kewajiban agama dan pembayaran kewajiban bagi kedua orang tua dan para kerabat yang tidak dapat waris karena terhalang dari mewarisi”. Adapun Undang-Undang Mesir Suria mengambil pendapat yang kedua: ”dan karena wasiat ini tidak memenuhi ketentuan-ketentuan wasiat yang dilakukan secara sukarela karena ketiadaan ijab dari orang yang memberi wasiat dan tidak ada qabul dari orang yang menerima wasiat, maka wasiat wajibah ini menyerupai pembagian warisan, sehingga diperlakukan seperti perlakuan warisan, yaitu bagi laki-laki mendapatkan bagian dua kali dari bagian perempuan, dan ahli waris yang asal menutupi cabangnya, dan setiap cabang mengambil bagian dari asalnya saja. Fatchur Rahman, wasiat wajibah adalah hanya terhadap cucu laki-laki maupun perempuan baik pancar laki-laki maupun pancar perempuan yang orang tuanya mati 108 Fahmi Amruzi, Op Cit, Hal. 27-28 Universitas Sumatera Utara 72 mendahului atau bersama-sama dengan kakek danatau neneknya. 109 Menurut Mohd Zamro Muda, bahwa wasiat wajibah ialah sebahagian dari pada harta peninggalan yang diperuntukkan oleh undang-undang untuk anak-anak yang kematian ibu atau bapak sebelum datuk atau nenek mereka atau mereka meninggal serentak dan anak- anak tersebut tidak mendapat bagian daripada harta peninggalan datuk atau nenek mereka karena terdindingi dihijab oleh bapak atau ibu saudara mereka. Justeru itu, diberikan kepada mereka dengan kadar dan syarat-syarat tertentu sebagai wasiat dan bukannya sebagai pusaka. 110 Dasar hukum keharusan wasiat wajibah bagi ahli waris pengganti, diperoleh dalam kitab al-muhalla karya Ibnu Hazm, sebagai berikut: 111 “setiap muslim diwajibkan untuk memberikan berupa wasiat wajibah bagi kerabat-kerabatnya yang tidak memperoleh warisan, diakibatkan karena status mereka hamba sahaya, atau karena mereka non-muslim, atau karena ada ahli waris yang menghijab mereka dari perolehan warisan atau karena memang pada dasarnya mereka tidak mewarisi...”. Dalam Fikih Islam, wasiat wajibah didasarkan pada suatu pemikiran, di satu sisi dimaksudkan untuk memberikan rasa keadilan kepada orang-orang yang dekat dengan pewaris tetapi secara sya’i tidak memperoleh bagian dari jalur faraidh, pada sisi lain, keempat mazhab telah mengharamkan, jika hal itu akan memberikan kemudharatan bagi ahli waris. 112 109 Fatchur Rahman. Op Cit, Hal. 63 110 Fahmi Amruzi, Op Cit, Hal. 23 111 Habiburrahman, Op Cit, Hal. 152 112 Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Dar al-Fiqri, Beirut Libanon, Hal. 1024 Universitas Sumatera Utara 73 Imam al-Syathibiy memberikan rambu-rambu untuk mencapai tujuan-tujuan syariat dan berisikan lima asas hukum syara’ yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara keturunan, memelihara akal, dan memelihara harta. Pemberian harta waris dengan hibah bukan dengan wasiat wajibah tampaknya akan lebih menjamin tercapainya tujuan-tujuan hukum syara’, maka kemaslahatan menjadi tujuan akhir. Teori mashlahah al-Syathibiy tampaknya masih relevan untuk menjawab segala persoalan hukum waris di masa depan, tanpa terjebak pada pemikiran-pemikiran dan teori-teori hukum yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam. 113 Berdasarkan teori mashlahah, Habiburrahman berpendapat bahwa pembagian harta waris oleh pewaris kepada ahli waris pengganti, anak angkat, dan ahli waris berbeda agama di Pengadilan Agama akan lebih baik ditempuh melalui hibah dan bukan melalui wasiat wajibah. Sehingga tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip, asas-asas, dan tujuan hukum syara’. 114 Habiburrahman juga memperoleh temuan bahwa alasan paling mendasar mengapa masyarakat muslim cenderung kurang peka dan merespons secara kritis ketentuan ahli waris pengganti, anak angkat, dan beda agama dengan pertimbangan wasiat wajibah dalam Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam adalah disebabkan pertimbangan kemaslahatan dan adat. Selain karena Inpres tersebut merupakan sumbangan pemikiran ulama di Indonesia, juga karena 113 Al-Syathibi, al-Muawafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, Hal. 7 114 Habiburrahman, Op Cit, Hal. 236 Universitas Sumatera Utara 74 pertimbangan kemaslahatan umat, yakni untuk tujuan kepastian hukum penyelesaian perkara waris yang sebelumnya banyak dipengaruhi oleh hukum adat dan hukum barat. 115 Selain itu Habiburrahman juga berpendapat bahwa kekeliruan sejumlah hakim di Pengadilan Agama yang telah mengeluarkan putusan hukum memberikan hak waris kepada ahli waris pengganti, anak angkat, dan ahli waris beda agama dengan pertimbangan wasiat wajibah, pada umumnya terlalu mempertimbangkan asas legalitas, yakni Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam tidak dicantumkan secara verbal kata-kata non-muslim, sehingga wasiat wajibah dijadikan pertimbangan hukum pemberian hak waris selain pertimbangan kemanusiaan. Padahal argumen tersebut merupakan suatu hal yang menyimpang dari ketentuan syariat dan ditolak oleh kalangan ulama jumhurmujtahid. 116

B. Wasiat Wajibah Dalam Konteks Negara-Negara Islam.

Sebenarnya istilah wasiat wajibah dipergunakan pertama kali di negara Mesir, yaitu melalui perundang-undangan Hukum Waris pada tahun 1946, yang bertujuan untuk menegakkan keadilan dan membantu para cucu dari si pewaris yang dikarenakan tidak memperoleh warisan. Ketentuan seperti halnya di atas tadi, bermanfaat bagi anak-anak dari anak laki-laki yang meninggal atau anak laki-laki dari anak laki-laki terus kebawah. Sedangkan untuk garis anak perempuan hanya berlaku untuk anak dari anak 115 Ibid, Hal. 237 116 Ibid. Universitas Sumatera Utara 75 perempuan saja tidak berlanjut sampai generasi selanjutnya. Dan pemberian wasiat wajibah ini tidak boleh melebihi dari sepertiga tirkah yaitu harta yang ditinggalkan oleh si pewaris. 117 Kemudian diikuti lah konsep wasiat wajibah ini oleh negara-negara Islam lainnya, seperti negara Tunisia, negara Yunisia, negara Maroko, Kuwait, dan kemudian barulah diikuti oleh negara kita Indonesia. Wasiat wajibah yang terjadi di Mesir adalah untuk membantu para cucu dari pancar laki-laki yang kemungkinan tidak memperoleh warisan akibat terhijab oleh anak laki-laki terlebih bagi cucu pancar perempuan, antara lain sebagai berikut: 118 1. Cucu laki-laki pancar laki-laki. Ia terhijab jika ada anak laki-laki dari pewaris. Tetapi ia tidak terhijab dengan adanya anak perempuan. Cucu laki-laki pancar laki-laki mendapat ashobah bila tidak ada anak laki-laki langsung dari pewaris. Jika ia bersama dengan cucu perempuan pancar laki-laki maka mereka berbagi 2:1 mewarisi secara bersama. Namun mereka tidak memperoleh apa-apa jika ada ashabul furud yang menghabisi harta. Ia dapat menghijab semua saudara pewaris dan seterusnya. 2. Cucu perempuan pancar laki-laki memperoleh separoh bila ia seorang diri dan dua pertiga bila ia dua orang atau lebih. Dan beroleh ushubah bila ia bersama dengan orang yang sederajat dengannya seperti cucu laki-laki pancar laki-laki. Ia dapat menghijab saudara seibu dan saudari seibu pewaris. Namun ia dapat 117 Fahmi Al-Amruzi, Op Cit, Hal. 128 118 Ibid, Hal. 129-130 Universitas Sumatera Utara 76 dihijab oleh adanya dua orang anak perempuan pewaris, maupun far’u waris yang lebih tinggi seperti anak laki-laki pewaris. 3. Cucu laki-laki maupun perempuan pancar perempuan adalah dzawil arham yaitu mereka tak dapat mewarisi harta pewaris jika masih ada para ashabul furud kecuali suamiisteri dari si pewaris. Undang-undang wasiat wajibah Mesir nomor 71 Tahun 1946 secara umum mengandung hukum-hukum sebagai berikut: 119 1. Apabila si pewaris tidak mewasiatkan kepada keturunan dari anak laki-lakinya yang telah meninggal dunia lebih dahulu, atau meninggal secara bersamaan, maka cucu dari anak laki-laki tersebut wajib mendapat wasiat wajibah dari harta warisan pewaris sebesar bagian dari anak laki-laki pewaris yang meninggal tersebut, tetapi tidak boleh melebihi spertiga dari harta warisan, dengan syarat cucu tersebut bukan ahli waris dan belum ada bagian untuknya melalui jalan lain hibah. Bila hibah tersebut lebih sedikit dari bagian wasiat wajibah, maka harus ditambahkan kekurangannya; 2. Wasiat demikian diberikan kepada golongan tingkat pertama dari anak-anak laki-laki, dari anak perempuan, dan kepada anak laki-laki dari anak laki-laki dari garis laki-laki dan seterusnya ke bawah; dengan syarat setiap orang tua meng-hijab anaknya; 119 Habiburrahman, Op Cit, Hal. 167 Universitas Sumatera Utara 77 3. Apabila pewaris mewasiatkan kepada orang yang wajib diwasiati dengan wasiat yang melebihi bagiannya, maka kelebihan wasiat itu merupakan wasiat ikhtiyarah. Dan bila dia mewasiatkan kepadanya dengan wasiat yang kurang dari bagiannya, maka wajib disempurnakannya. Bila dia mewasiatkan kepada sebagian orang yang wajib diwasiati dan tidak kepada sebagian yang lain, maka orang yang tidak mendapatkan wasiat itu wajib diberikan kadar bagiannya. Orang yang tidak diberi wasiat wajibah dikurangi bagiannya dan dipenuhi bagian yang mendapat wasiat yang kurang dari apa yang diwajibkan, dari sisanya sepertiga. Bila hartanya kurang, maka diambilkan dari bagian orang yang tidak mendapatkan wasiat wajibah dan dari orang yang mendapatkan wasiat ikhtiyarah; 4. Wasiat wajibah itu didahulukan atas wasiat-wasiat yang lain. Bila pewaris tidak mewasiatkan kepada orang yang wajib diwasiati dan dia mewasiatkan kepada orang lain, maka orang yang wajib diberikan wasiat wajibah tersebut adalah mengambil kadar bagiannya dari sisa dari sepertiga harta warisan bila sisa itu cukup, bila tidak maka dari sepertiga dan dari bagian yang diwasiatkan bukan dengan wasiat wajibah. Berdasarkan aturan perundang-undangan Mesir tersebut, wasiat wajibah ternyata diperuntukkan pada orang-orang yang memiliki nasab kepada si pewaris, namun mereka dalam penghitungan bagian waris tidak mendapatkannya atau karena Universitas Sumatera Utara 78 terhijab oleh waris yang lebih tinggi derajatnya. Biasanya mereka adalah para cucu laki-laki atau cucu perempuan dari panacar laki-laki maupun dari pancar perempuan. Ketentuan wasiat wajibah ini seperti yang sudah disinggung di atas, bahwa sebelumnya telah diperkenalkan oleh undang-undang waris Mesir Tahun 1946 dengan membuat ketentuan mengenai kewajiban adanya wasiat bagi cucu yang yatim dari pewaris. Hal ini lah yang kemudian diikuti oleh negara Syiria dan negara Tunisia. Dalam undang-undang tunisia, ketentuan wasiat wajibah hanya diperutukkan bagi cucu yatim dari generasi pertama, baik laki-laki maupun perempuan pasal 192, dengan catatan bahwa cucu laki-laki mendapat bagian dua kali lebih besar dari bagian cucu perempuan. 120 Prinsip wasiat wajibah yang diadopsi oleh negara Tunisia dari Hukum wasiat Mesir Tahun 1946 juga diberlakukan di negara Maroko dengan beberapa perubahan. Maroko merupakan negara keempat yang mengadopsi prinsip wasiat wajibah ini demi menjamin cucu yatim. Menurut Undang-Undang Maroko tahun 1958, hak untuk mendapatkan wasiat wajibah tersedia bagi anak dan seterusnya ke bawah dari anak laki-laki pewaris yang telah meninggal dunia lebih dahulu dari si pewaris. Aturan ini tidak ditemukan dalam madzhab manapun dalam fikih tradisional, sebab warisan hanya diperutukkan bagi ahli waris yang masih hidup. 121 120 M. Atho’ Muzdhar Dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern Studi Perbandingan Dan Keberanjakan UU Modern Dari Kitab-Kitab Fikih, Ciputat Press, 2006, Hal. 93 121 Ibid, Hal. 115 Universitas Sumatera Utara 79 Undang-undang wasiat wajibah di negara Kuwait Nomor 5 Tahun 1977, secara umum menyebutkan sebagai berikut: 122 1. Bila seseorang yang meninggal kakeknenek tidak berwasiat kepada cucu dari anak-anaknya yang meninggal sebelumnya atau meninggal bersamaan dengan kakek, bagian warisan ayah dari harta yang ditinggalkan kakek saat meninggal akan berpindah kepada anaknya cucu sebagai harta wasiat yang harus diberikan kepadanya tapi tidak boleh melebihi sepertiga jumlah harta yang boleh diwasiatkan. Cucu tersebut tidak termasuk ahli waris kakek yang meninggal yang tidak memberinya dengan cara lain. Tanpa pertimbangan lain, itulah hak yang harus diberikan kepadanya. Wasiat itu menjadi hak keturunan generasi pertama dari anak perempuan dari orang yang meninggal. Akan tetapi wasiat itu menjadi hak bagi garis keturunan laki-laki ke bawah yang akan menghalangi keturunananya sendiri, tetapi bukan keturunan garis lain garis perempuan. Bagian anak laki-laki dari orang yang meninggalkan dibagi diantara anak- anak cucu-nya ke bawah sesuai prinsip kewarisan yang seakan-akan hubungan itu melalui orang yang dihubungkan kepada orang yang meninggal setelah dia dan kematiannya terjadi pada saat generasi itu masih memiliki hubungan dengannya. 2. Jika orang yang meninggal berwasiat kepada cucu yang melebihi harta yang harus diwasiatkan, pengaruhnya dianggap sebagai wasiat biasa optional dan 122 Ibid, Hal. 172-173 Universitas Sumatera Utara 80 jika dia berwasiat kurang dari batas itu, kewajiban memenuhi wasiat itu sebatas memenuhi haknya. Jika wasiat itu mestinya diberikan kepada beberapa orang akan tetapi si mati hanya berwasiat untuk beberapa orang diantaranya, tidak kepada yang lainnya, maka wasiat itu harus juga diberikan kepada mereka yang tidak diberi wasiat sesuai haknya. Orang-orang yang tidak diberi wasiat wajibah dan juga orang-orang yang diberi wasiat kurang dari jumlah itu akan mengambil haknya dari sisa sepertiga harta yang boleh diwasiatkan. Jika sisa harta tidak cukup, maka wasiat yang diberikan itu menjadi bersifat optional. 3. 1 Wasiat wajibah lebih diutamakan daripada wasiat biasa optional. 2 Jika si pewaris tidak berwasiat kepada cucu-cucu yang seharusnya mendapat wasiat wajibah, tapi justru berwasiat kepada yang lainnya, maka cucu-cucu itu akan mengambil haknya dari sisa sepertiga harta yang diwasiatkan jika masih ada sisa, atau mengambil harta yang diwasiatkan kepada orang lain itu. Salah satu hasil dari upaya pembaharuan hukum Islam di dunia Islam adalah produk wasiat wajibah yang sekarang juga masuk dan diberlakukan di negara Indonesia. Meskipun kenyataannya hasil produk wasiat wajibah ini masih jauh dari kesempurnaan karena banyaknya kekaburan tentang pembagiannya, dan boleh jadi, consensus ulama Indonesia yang menghasilkan wasiat wajibah adalah hanya mengambil kreasi dari peraturan perundang-undangan Mesir Nomor 71 tahun 1946. Universitas Sumatera Utara 81 Ada anggapan bahwa wasiat wajibah yang ada di Indonesia adalah adopsi pemahaman hukum yang ada di Mesir sekalipun ada perbedaannya di mana wasiat yang terjadi di Mesir adalah untuk membantu para cucu pancar laki-laki yang tidak memperoleh warisan akibat terhijab oleh anak laki-laki terlebih bagi cucu pancar perempuan, antara lain sebagai berikut: 1. Pancar laki-laki. Ia terhijab jka ada anak laki-laki dari pewaris. Tetapi ia tidak terhijab dengan adanya anak perempuan. Cucu laki-laki pancar laki-laki mendapat ashobah bila tidak ada anak laki-laki langsung pewaris, jika ia bersama dengan cucu perempuan pancar laki-laki, maka mereka berbagi 2:1 mewarisi secara bersama, namun mereka tidak beroleh apa-apa jika ada ashabul furud yang mengabisi harta. Ia dapat menghijab semua saudara pewaris dan seterusnya. 2. Cucu perempuan pancar laki-laki memperoleh separoh bila ia seorang diri dan dua pertiga bila ia dua orang atau lebih. Dan beroleh ushubah bila ia bersama dengan orang yang sederajat dengannya seperti cucu laki-laki pancar laki-laki. Ia dapat menghijab saudara seibu dan saudari seibu pewaris. Namun ia dapat dihijab oleh adanya dua orang anak perempuan pewaris, maupun far’u waris yang lebih tinggi seperti anak laki-laki pewaris. 3. Cucu laki-laki maupun perempuan pancar perempuan adalah dzawil arham yaitu mereka tidak dapat mewarisi harta pewaris jika masih ada para ashabul furud kecuali suamiisteri pewaris. Universitas Sumatera Utara 82 Para cucu di atas memungkinkan tidak memperoleh waris dalam berbagai keadaan. Maka dengan diadakannya pemberian wasiat wajibah akan terjadilah kemungkinan memperoleh waris. Untuk itu ada beberapa yuris Islam cara pembagian untuk mereka seperti kelompok ahli tanjil, kelompok ahli qarabah dan kelompok ahli rahim. Di Indonesia pada mulanya membatasi persoalan wasiat wajibah ini terhadap anak angkat dan orang tua angkat yang jelas bukan memiliki kekerabatan apapun sekalipun jauh. Mereka akan mendapat wasiat wajibah sebagaimana para cucu yang memungkinkan memperoleh wasiat wajibah. Problem lain adalah menyangkut akibat hukum terhadap anak angkat atau orang tua angkat berupa masalah kewarisan. Apakah mereka berhak mendapat warisan dari orang tua angkat mereka atau tidak, begitu pula sebaliknya terhadap orang tua angkat mereka. Menurut hukum Islam yang umum, anak angkat atau pun orang tua angkat tidak sama dengan kedudukannya sebagai anak kandung ataupun orang tua kandung yang berhak secara ijbari memperolehnya. Namun dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia, anak angkat atau pun orang tua angkat menjadi populer dengan adanya ketentuan hukum bahwa mereka berhak atas wasiat wajibah. Istilah wasiat wajibah sekarang ini menjadi doktrin hukum baru dalam pembendaharaan hukum Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam yang sekarang menjadi acuan oleh Pengadilan Agama bahwa anak angkat atau orang tua angkat berhak mendapatkan wasiat wajibah, dengan syarat tidak boleh lebih dari sepertiga dari harta si pewaris. Dan pada kenyataannya dalam praktek, banyak dikalangan ahli Universitas Sumatera Utara 83 waris lain atau keluarga dekat yang tidak menyetujui adanya pemberlakuan hukum seperti demikian. Hal demikian beralasan, karena selama ini masyarakat Islam merasa asing dengan pemberlakuan tersebut, karena mengetahui bahwa dalam hukum Islam anak angkat tidak dapat diakui untuk bisa dijadikan dasar dan sebab mewarisi, karena prinsip pokok dalam hukum kewarisan Islam adalah adanya hubungan darah atau karena adanya hubungan perkawinan. Dengan demikian, akan timbul banyak persoalan dalam kajian ilmu hukum normatif, antara lain sebagai berikut: 1. Persoalan wasiat wajibah yang tidak dikenal dalam masa awal Islam. Yang dikenal adalah hanya masalah wasiat saja tanpa ada tambahan lebel “wajibah” atau wajib. 2. Produk penemuan hukum para yuris Islam tentang wasiat wajibah dalam dunia Islam. 3. Persoalan anak angkat yang memiliki hukum tersendiri dalam kajian normatif awal Islam maupun periode penalaran hukum Islam. 4. Proses penemuan hukum tentang terjadinya hak bagi anak angkat memperoleh wasiat wajibah khususunya di Indonesia. 5. Persoalan cara pembagian dalam wasiat wajibah yang memungkinkan multi tafsir atau bahkan menimbulkan sengketa baru bagi para ahli waris. Konsep yang mendasar dari Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam tersebut, bahwa wasiat mengutamakan orang lain yang bukan ahli waris. Sedang orang tersebut biasanya adalah anak angkat. Tampaknya Kompilasi Hukum Islam telah Universitas Sumatera Utara 84 menjembatani kenyataan untuk menempatkan anak angkat danatau orang tua angkat hanya dalam perwasiatan harta bukan melewati hak kewarisan seperti sebagian pendapat yang mengambil dasar pada hukum adat. Kemudia Kompilasi Hukum Islam memasukkan kerabat seperti para cucu dalam bagian warisan melewati jalur ahli waris pengganti. Cara ini berbeda dengan kebanyakan di negara-negara mayoritas muslim, di mana wasiat wajibah diperuntukkan bukan terhadap anak angkat danatau orang tua angkat tetapi kepada kerabat sedarah yang tidak memperoleh hak warisnya karena terhadap oleh penghalang pewaris. Selain wasiat wajibah yang diberlaku di Indonesia terhadap anak angkat atau orang tua angkat, di Indonesia juga memberikan wasiat wajibah kepada pihak-pihak di luar anak angkat dan orang tua angkat saja. Berdasarkan beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, ternyata wasiat wajibah juga diberikan kepada ahli waris yang beragama non-muslim. Ada 3 tiga putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang memutuskan wasiat wajibah ini diberikan kepada ahli waris non-muslim, yaitu: 1. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 368.KAG1995. Dimana pada putusan tersebut memberikan wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim, yang mana dalam putusan ini di berikan kepada anak perempuan kandung dari si pewaris. 2. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 51.KAG1999. Dimana pada putusan tersebut memberikan wasiat wajibah kepada ahli waris Universitas Sumatera Utara 85 non muslim, yang mana dalam putusan ini diberikan kepada ahli waris pengganti dari si pewaris. 3. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 16.KAG2010. Dimana pada putusan tersebut memberikan wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim, yang mana dalam putusan ini diberikan kepada isteri dari si pewaris. Universitas Sumatera Utara 86

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK

INDONESIA DALAM PUTUSANNYA TENTANG PEMBERIAN WASIAT WAJIBAH KEPADA AHLI WARIS NON-MUSLIM

A. Putusan-Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengenai Wasiat Wajibah

1. Duduk Perkara Putusan Wasiat Wajibah Dalam Putusan Mahkamah

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Hukum Islam Tentang Penetapan Hak Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris Non Muslim”(Studi Putusan No. 0141/Pdt.P/2012/PA.Sby)

3 114 148

KAJIAN YURIDIS TENTANG WASIAT WAJIBAH KEPADA AHLI WARIS NON MUSLIM MENURUT HUKUM WARIS ISLAM

0 3 18

KAJIAN YURIDIS TENTANG WASIAT WAJIBAH KEPADA AHLI WARIS NON MUSLIM MENURUT HUKUM WARIS ISLAM (Studi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 368. K/AG/1995)

0 14 18

KAJIAN YURIDIS TENTANG WASIAT WAJIBAH KEPADA AHLI WARIS NON MUSLIM MENURUT HUKUM WARIS ISLAM (Studi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 368. K/AG/1995)

0 5 18

ANALISIS YURIDIS PEMBAGIAN HARTA WARIS MELALUI WASIAT WAJIBAH BAGI AHLI WARIS BEDA AGAMA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESIA (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 16K/AG/2010).

1 4 16

TERHADAP WASIAT WAJIBAH DALAM PERSPEKTIF FIKIH ISLAM (STUDI

0 1 13

BAB II DASAR-DASAR PENGATURAN WARISAN ANTARA SEORANG MUSLIM DENGAN NON MUSLIM DALAM HUKUM ISLAM A. Pembagian Warisan Dalam Pandangan Hukum Islam - Analisis Hukum Islam Tentang Penetapan Hak Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris Non Muslim”(Studi Putusan No.

0 0 41

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Islam Tentang Penetapan Hak Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris Non Muslim”(Studi Putusan No. 0141/Pdt.P/2012/PA.Sby)

0 0 23

Analisis Hukum Islam Tentang Penetapan Hak Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris Non Muslim”(Studi Putusan No. 0141/Pdt.P/2012/PA.Sby)

0 0 17