Analisis Yuridis Terhadap Wasiat Wajibah Dalam Perspektif Fikih Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang Ahli Waris Yang Beragama Non-Muslim)

(1)

TESIS

Oleh

VIKA SYAFITRI

127011013/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

VIKA SYAFITRI

127011013/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nama Mahasiswa : VIKA SYAFITRI

Nomor Pokok : 127011013

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Dr. Utary Maharani Barus, SH, MHum 4. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum


(5)

Nama : VIKA SYAFITRI

Nim : 127011013

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS TERHADAP WASIAT WAJIBAH

DALAM PERSPEKTIF FIKIH ISLAM (STUDI

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK

INDONESIA TENTANG AHLI WARIS YANG

BERAGAMA NON-MUSLIM)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :VIKA SYAFITRI Nim :127011013


(6)

sampai dengan pasal 209 Kompilasi Hukum Islam dan dalam kitab-kitab Fikih Islam. Pasal 194 sampai dengan pasal 208 mengatur tentang wasiat biasa, sedangkan dalam pasal 209 mengatur tentang wasiat yang khusus diberikan untuk anak angkat atau orang tua angkat. Berdasarkan beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, ternyata wasiat wajibah juga diberikan kepada ahli waris yang beragama non-muslim, yaitu terdapat pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 368.K/AG/1995, putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 51.K/AG/1999, dan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 16.K/AG/2010, putusan-putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut menyatakan memberikan wasiat wajibah pada keluarga atau ahli waris non-muslim, jadi yurisprudensi tersebut berbeda dengan konsep Fikih Islam, dimana ahli waris yang berbeda agama tidak dapat mewarisi harta dari si pewaris yang beragama Islam.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan menurut hukum Islam. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif. Dalam metode penelitian yuridis normatif tersebut akan menelaah secara mendalam terhadap Al-Quran, buku-buku fikih Islam, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan pendapat ahli hukum. Teknik pengumpulan data dalam tesis ini dilakukan secara studi kepustakaan.

Dalam Fikih Islam tidak menyebutkan siapa saja yang berhak mendapatkan wasiat wajibah, karena pada masa dahulu para ulama lebih berpedoman kepada teks Al-Quran dan Sunnah, berbeda dengan ulama sekarang yang lebih rasional dalam memfatwakan hukum, selain itu memberi kesempatan kepada Hakim untuk berijtihad dalam memutuskan perkara di Pengadilan dengan cara menggali lebih dalam hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat. Pandangan Ulama Fikih Islam terhadap wasiat wajibah ini pada umumnya adalah pemberian wasiat berdasarkan atas ketetapan Hakim kepada orang-orang tertentu dengan batasan yang telah ditentukan yaitu tidak lebih dari sepertiga dari harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris. Yang menjadi dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam memberikan wasiat wajibah kepada keluarga yang non-muslim adalah didasarkan pada rasa keadilan yang dilihat dari kemanusiaan yang bertujuan untuk menjaga keutuhan keluarga atas realitas sosial di masyarakat Indonesia.


(7)

Compilation of the Islamic Law in the Book of Fiqh. Article 194 up to Article 208 regulate common will, while Article 209 regulates specific will for adopted child or adoptive parents. Based on several jurisprudences of the Supreme Court of the Republic of Indonesia, it is found that wajibah will is also given to non-Moslem heirs. It is found in the Ruling of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 368.K/AG/1995, in the Ruling of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 51.K/AG/1999, and in the Ruling of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 16.K/AG/2010. These Rulings of the Supreme Court of the Repubic of Indonesia give wajibah will to non-Moslem heirs so that the jurisprudences are different from the concept of the Islamic Fiqh in which the heir of another religion is prohibited to inherit the property of the testator who is Moslem.

The theory used in the research was the theory of justice according to Islam, along with judicial normative method which analyzed deeply the Al-Quran, Islamic Fiqh books, legal provisions, jurisprudences, and legal experts’ opinion. The data were gathered by using library research method.

The Islamic Fiqh does not mention who will get wajibah will since in those days the Islamic scholars were guided by the Al-Quran and As-Sunnah. The Islamic scholars today are more rational in giving law as advice and the judge is given the opportunity to give their ijtihad (interprete the Islamic law) in giving a verdict in Court by digging up laws in the society. The opinion of the Islamic Fiqh scholars on the wajibah is, generally, based on the judge’s verdict, in giving a will to a specific person, on condition that it is not more than one third of the testator’s property. The food for thought of the Supreme Court in giving wajibah will to non-moslem heirs is the sense of judgment viewed from humanity which is aimed to keep the unity in families and the reality found in the Indonesian society.


(8)

menyelesaikan penulisan ini yang merupakan syarat guna mencapai gelar Megister Kenotariatan. Berkat rahmat dan karunia-Nya yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi dan penulisan tesis ini dengan judul “ANALISIS YURIDIS TERHADAP WASIAT WAJIBAH DALAM PRESFEKTIF FIKIH ISLAM (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

TENTANG AHLI WARIS YANG BERAGAMA NON-MUSLIM)”. Penulisan

tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Megister Kenotariatan (M. Kn) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat beriring salam teruntuk Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan ajaran Islam sehingga kita keluar dari zaman kebodohan.

Harapan penulis, semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bukan hanya pada penulis sendiri, tetapi juga bagi masyarakat pada umumnya, dan bagi mahasiswa khususnya yang berada, di lingkungan pendidikan hukum. Penulis sangat menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, karena penulis adalah manusia biasa dan tak luput dari kesalahan dan kekurangan.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan baik moral maupun materil. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(9)

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku anggota Komisi Pembimbing dan yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan, dan saran, dalam penulisan tesis ini.

4. Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan, dan saran, dalam penulisan tesis ini.

5. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan, dan saran, dalam penulisan tesis ini.

6. Ibu Dr. Utary Maharani Barus, SH, M.Hum, selaku Dosen Penguji Program Pascasarjana Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan dan saran dalam penulisan tesis ini.

7. Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, M.Hum, selaku Dosen Penguji pada Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan dan saran dalam penulisan tesis ini.

8. Seluruh Dosen/pengajar mata kuliah pada Program Studi Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat selama penulis mengikuti pendidikan.

9. Seluruh Staf Biro Pendidikan Megister Kenotariatan yang telah banyak memberikan bantaun kepada penulis selama ini.

10. Sahabat-sahabatku di Program Studi Magister Kenotariatan Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara angkatan 2012 yang senantiasa


(10)

S.Pd dan Ibunda tercinta Harita, S.Pd yang salalu memberikan dukungan do’a, moral, dan materiil serta kasih sayang hingga dengan saat ini, serta kepada saudara-saudaraku, uni Maulia Oktaviani, S.E., Trya Adha S.I.Kom, Hazra Ristia, dan M. Aufar Zhafari, yang selalu memberikan dukungan yang tiada henti.

Hanya Allah SWT yang dapat membalas segala kebaikan dan jasa-jasa yang diberikan mereka semua. Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak atas segala kekurangan yang penulis sadari sepenuhnya terdapat dalam tesis ini guna perbaikan dikemudian hari.

.

Medan, November 2014 Penulis


(11)

2. Tempat, Tanggal Lahir : Jambi, 04 Mei 1990

3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Status : Belum Menikah

5. Agama : Islam

6. Alamat : Jl. Tulip II RT. 02 No. 63 Kota Jambi II. KELUARGA

1. Nama Ayah : Dasrul S.Pd

2. Nama Ibu : Harita S.Pd

3. Nama Saudara : Maulia Oktaviani S.E Trya Adha S.I.Kom Hazra Ristia

M. Aufar Zhafari III. PENDIDIKAN

1. SD : SD Neg. 80/IV Kota Jambi

2. SMP : SMP N 11 Kota Jambi

3. SMA : SMA N 4 Kota jambi

4. Perguruan Tinggi (S1) : Fakultas Hukum Universitas Jambi (UNJA)

5. Perguruan Tinggi (S2) : Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(12)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori dan Konsep ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Kerangka Konsepsional ... 18

G. Metode Penelitian ... 21

1. Jenis dan Penelitian... 22

2. Sumber Data ... 23

3. Teknik Pengumpulan Data ... 24

4. Analisis Data... 24

BAB II WASIAT WAJIBAH BERDASARKAN FIKIH ISLAM ... 25

A. Pengaturan Wasiat Wajibah Dalam Fikih Islam ... 25

1. Wasiat ... 25

2. Sumber-Sumber Hukum Wasiat ... 27

3. Rukun dan Syarat Wasiat... 32

4. Wasiat Wajibah... 38


(13)

B. Wasiat Wajibah Dalam Konteks Negara-Negara Islam ... 74

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA DALAM PUTUSANNYA TENTANG PEMBERIAN WASIAT WAJIBAH KEPADA AHLI WARIS NON-MUSLIM... 86

A. Putusan-Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengenai Wasiat Wajibah... 86

1. Duduk Perkara Putusan Wasiat Wajibah Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 368.K/AG/1995 ... 86

2. Duduk Perkara Putusan Wasiat Wajibah Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 51.K/AG/1999 ... 99

3. Duduk Perkara Putusan Wasiat Wajibah Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 16.K/AG/2010 ... 104

B. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengenai Wasiat Wajibah ... 110

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 119

A. Kesimpulan ... 119

B. Saran ... 120


(14)

sampai dengan pasal 209 Kompilasi Hukum Islam dan dalam kitab-kitab Fikih Islam. Pasal 194 sampai dengan pasal 208 mengatur tentang wasiat biasa, sedangkan dalam pasal 209 mengatur tentang wasiat yang khusus diberikan untuk anak angkat atau orang tua angkat. Berdasarkan beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, ternyata wasiat wajibah juga diberikan kepada ahli waris yang beragama non-muslim, yaitu terdapat pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 368.K/AG/1995, putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 51.K/AG/1999, dan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 16.K/AG/2010, putusan-putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut menyatakan memberikan wasiat wajibah pada keluarga atau ahli waris non-muslim, jadi yurisprudensi tersebut berbeda dengan konsep Fikih Islam, dimana ahli waris yang berbeda agama tidak dapat mewarisi harta dari si pewaris yang beragama Islam.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan menurut hukum Islam. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif. Dalam metode penelitian yuridis normatif tersebut akan menelaah secara mendalam terhadap Al-Quran, buku-buku fikih Islam, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan pendapat ahli hukum. Teknik pengumpulan data dalam tesis ini dilakukan secara studi kepustakaan.

Dalam Fikih Islam tidak menyebutkan siapa saja yang berhak mendapatkan wasiat wajibah, karena pada masa dahulu para ulama lebih berpedoman kepada teks Al-Quran dan Sunnah, berbeda dengan ulama sekarang yang lebih rasional dalam memfatwakan hukum, selain itu memberi kesempatan kepada Hakim untuk berijtihad dalam memutuskan perkara di Pengadilan dengan cara menggali lebih dalam hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat. Pandangan Ulama Fikih Islam terhadap wasiat wajibah ini pada umumnya adalah pemberian wasiat berdasarkan atas ketetapan Hakim kepada orang-orang tertentu dengan batasan yang telah ditentukan yaitu tidak lebih dari sepertiga dari harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris. Yang menjadi dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam memberikan wasiat wajibah kepada keluarga yang non-muslim adalah didasarkan pada rasa keadilan yang dilihat dari kemanusiaan yang bertujuan untuk menjaga keutuhan keluarga atas realitas sosial di masyarakat Indonesia.


(15)

Compilation of the Islamic Law in the Book of Fiqh. Article 194 up to Article 208 regulate common will, while Article 209 regulates specific will for adopted child or adoptive parents. Based on several jurisprudences of the Supreme Court of the Republic of Indonesia, it is found that wajibah will is also given to non-Moslem heirs. It is found in the Ruling of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 368.K/AG/1995, in the Ruling of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 51.K/AG/1999, and in the Ruling of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 16.K/AG/2010. These Rulings of the Supreme Court of the Repubic of Indonesia give wajibah will to non-Moslem heirs so that the jurisprudences are different from the concept of the Islamic Fiqh in which the heir of another religion is prohibited to inherit the property of the testator who is Moslem.

The theory used in the research was the theory of justice according to Islam, along with judicial normative method which analyzed deeply the Al-Quran, Islamic Fiqh books, legal provisions, jurisprudences, and legal experts’ opinion. The data were gathered by using library research method.

The Islamic Fiqh does not mention who will get wajibah will since in those days the Islamic scholars were guided by the Al-Quran and As-Sunnah. The Islamic scholars today are more rational in giving law as advice and the judge is given the opportunity to give their ijtihad (interprete the Islamic law) in giving a verdict in Court by digging up laws in the society. The opinion of the Islamic Fiqh scholars on the wajibah is, generally, based on the judge’s verdict, in giving a will to a specific person, on condition that it is not more than one third of the testator’s property. The food for thought of the Supreme Court in giving wajibah will to non-moslem heirs is the sense of judgment viewed from humanity which is aimed to keep the unity in families and the reality found in the Indonesian society.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wasiat merupakan salah satu cara dalam peralihan harta dari satu orang ke orang lain. Sistem wasiat ini berjalan sejak zaman dulu, bukan hanya agama Islam saja yang mengatur, tetapi setiap komunitas memiliki pemahaman tentang wasiat. Sistem-sistem wasiat tersebut memiliki perbedaan dalam pelaksanaannya. Semuanya memiliki ketentuan masing-masing bagaimana sahnya pelaksanaan wasiat tersebut. Begitu pula di Indonesia, sama mempunyai aturan sendiri tentang wasiat ini. Di antaranya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk non muslim yang tidak tunduk pada hukum adatnya, sedangkan untuk umat Muslim diatur dalam Kompilasi Hukum Islam.

Secara garis besar wasiat merupakan penghibahan harta dari seseorang kepada orang lain atau kepada beberapa orang sesudah meninggalnya yang menghibah tersebut. Wasiat ialah suatu tasharruf (pelepasan) terhadap harta peninggalan yang dilaksanakan sesudah meninggal dunia seseorang. Menurut asal hukum, wasiat adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan kemauan hati dalam keadaan apa pun. Karenanya, tidak ada dalam syariat Islam suatu wasiat yang wajib dilakukan dengan jalan putusan hakim.1 Pendapat lain mengatakan wasiat adalah pesan terakhir dari seseorang yang mendekati kematiannya, dapat berupa pesan tentang apa yang harus


(17)

dilaksanakan para penerima wasiat terhadap harta peninggalannya atau pesan lain di luar harta peninggalan.2

Perihal wasiat juga diatur dalam Quran antara lain diatur dalam surat Al-Baqarah ayat 180, yang artinya berbunyi “diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatanya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. Makruf di sini artinya, adil dan baik. Wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu.

Dalam surat Al-Baqarah ayat 240 juga menyebutkan tentang wasiat, yang artinya berbunyi “dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara mu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga satu tahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri) maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka membuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah maha perkasa lagi bijaksana”.

Wasiat begitu penting dalam kewarisan hukum Islam karena tidak hanya dinyatakan dalam surat Al-Baqarah, akan tetapi juga dinyatakan dalam surat An-Nisaa ayat 11 dan 12. Dalam ayat-ayat ini dinyatakan kedudukan wasiat yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum dilakukan pembagian harta peninggalan pewaris kepada anak-anak, duda, janda, dan saudara-saudara pewaris.

2 Anwar Sitompul,Fara’id, Hukum Waris Islam Dalam Waris Islam Dan Masalahnya, Al


(18)

Surat An-Nisaa ayat 11 dinyatakan yang artinya berbunyi, “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta. Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguuhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Surat An-Nisaa ayat 12 dinyatakan yang artinya berbunyi, “dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah memenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar


(19)

utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam bagian yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) Syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.

Secara prinsip, wasiat dalam sistim hukum kewarisan Islam mengandung makna yang sangat penting guna menangkal jika terjadinya kericuhan dan perpecahan dalam keluarga, karena tidak menutup kemungkinan akan adanya anggota keluarga yang emosional dalam pembagian harta warisan.

Wasiat diartikan sebagai pernyataan keinginan pewaris sebelum kematian atas harta kekayaannya sesudah meninggalnya. Wasiat dalam sistem hukum Islam di Indonesia belum diatur secara material dalam suatu undang-undang seperti kewarisan barat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat. Wasiat hanya diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaimana termuat dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Wasiat diatur dalam Bab V yaitu pasal 194 sampai dengan pasal 209 Kompilasi Hukum Islam dan dalam kitab-kitab Fikih Islam.


(20)

Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf f menyebutkan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.

Pasal 194 sampai dengan pasal 208 mengatur tentang wasiat biasa, sedangkan dalam pasal 209 mengatur tentang wasiat yang khusus diberikan untuk anak angkat atau orang tua angkat. Dalam khasanah hukum Islam, wasiat tidak biasa ini disebut waiat wajibah.

Konsep wasiat harta dalam Islam ditujukan kepada kerabat jauh atau kerabat yang tak mendapat hak peroleh waris dan juga terhadap orang lain. Dari pemahaman inilah berkembang teori penalaran hukum atas hukum wasiat hingga sampai pada penalaran tentang kedudukan hukumnya. Dan terakhir menyangkut wasiat wajibah.

Wasiat wajibah ini di Indonesia sebenarnya hanya mulai dikenal di tahun 90-an, bersamaan dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam, sebagai perwujudan konsensus yuris Islam di Indonesia. Ini berarti bahwa wasiat wajibah merupakan produk baru hukum wasiat dalam hukum Islam di Indonesia.

Kompilasi hukum Islam di Indonesia mempunyai ketentuan tersendiri tentang konsep wasiat wajibah ini, yaitu membatasi orang yang berhak menerima wasiat wajibah ini hanya kepada anak angkat dan orang tua angkat saja. Terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberikan wasiat wajibah maksimal sebanyak spertiga dari harta warisan anak angkatnya. Sedangkan terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak spertiga dari harta orang tua angkatnya. Tidak diketahui pasti mengapa Kompilasi Hukum Islam di Indonesia


(21)

mengubah konsep wasiat wajibah ini hanya terbatas kepada anak angkat dan orang tua angkat saja.

Sayangnya, Kompilasi Hukum Islam tidak memberikan defenisi dalam ketentuan umum tentang wasiat wajibah tersebut. Secara teori, wasiat wajibah didefenisikan sebagai tindakan yang dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu.3

Menurut Fatchur Rahman, wasiat wajibah adalah hanya terhadap cucu laki-laki maupun perempuan baik pancar laki-laki-laki-laki maupun pancar perempuan yang orang tuanya mati mendahului atau bersama-sama dengan kakek atau neneknya.4 Sedangkan menurut Mohd Zamro Muda bahwa wasiat wajibah ialah sebahagian dari pada harta peninggalan yang diperuntukan oleh undang-undang untuk anak-anak yang kematian ibu atau bapak sebelum datuk atau nenek atau mereka meninggal serentak dan anak-anak tersebut tidak mendapat bahagian dari pada harta peninggalan datuk atau nenek mereka karena didindingi (dihijab) oleh bapak atau ibu saudara mereka. Justeru itu, diberi kepada mereka dengan kadar dan syarat-syarat tertentu sebagai wasiat dan bukan sebagai pusaka.5

Kompilasi Hukum Islam mempunyai ketentuan tersendiri tentang wasiat wajibah dan berbeda dalam pengaturannya dari negara-negara Islam yang lain.

3Abdul Manan I,Beberapa Masalah Hukum Tentang Wasiat Dan Permasalahannya Dalam

Konteks Kewenangan Peradilan Agama,Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam Nomor 38 Tahun IX, 1998, Hl. 23

4Fatchur Rahman,Ilmu Waris, PT. Alma’arif, Bandung, 1975, Hal. 63

5Fahmi Al Amruzi, Rekonstruksi Wasiat Wajibah Dalam Kompilasi Hukum Islam, Aswaja


(22)

Konsep Kompilasi Hukum Islam adalah memberikan wasiat wajibah terbatas pada anak angkat dan orang tua angkat saja. Sementara negara-negara Islam lainnya melembagakan wasiat wajibah untuk mengatasi persoalan cucu yang orang tuanya meninggal dunia lebih dahulu daripada kakek atau neneknya.

Undang-Undang Wasiat Wajibah Mesir Nomor 71 Tahun 1946 disebutkan kandungan pokoknya sebagai berikut:6

1. Apabila mayit tidak mewasiatkan kepada keturunan dari anak laki-lakinya yang telah mati diwaktu dia masih hidup atau mati bersamanya sekali pun secara hukum, warisan dari peninggalannya seperti bagian yang berhak diterima oleh si anak laki-laki ini seandainya anak laki-laki ini hidup di waktu ayahnya mati. Maka wajiblah wasiat wajibah untuk keturunan anak laki-laki ini dalam peninggalan harta ayahnya menurut bagian anak laki-laki ini dalam batas-batas sepertiga; dengan syarat keturunan dari anak laki-laki ini bukan pewaris dan si mayit tidak pernah memberikan kepadanya tanpa imbalan melalui tindakan lain apa yang wajib diberikan kepadanya. Dan bila apa yang diberikan kepadanya itu kurang dari bagiannya maka wajiblah baginya wasiat dengan kadar yang menyempurnakan. Wasiat demikian diberikan kepada golongan tingkat pertama dari anak-anak laki-laki dari anak-anak perempuan dan kepada anak laki-laki dari anak-anak laki-laki dari garis laki-laki dan seterusnya kebawah; dengan syarat setiap pokok (yang menurukan)


(23)

menghijab cabang (keturunannya) bukan menghijab cabang pokok yang lain dan bagian setiap pokok dibagikan kepada cabangnya. Dan bila pembagian warisan itu turun ke bawah seperti halnya kalau pokok atau pokok-pokok mereka yang sampai kepada si mayit itu mati sesudah si mayit dan kematian mereka (pokok-pokok) dalam keadaan tertib seperti tertibnya tingkat-tingkat. 2. Apabila mayit mewasiatkan kepada orang yang wajib diwasiati dengan wasiat

yang melebihi bagiannya maka kelebihan wasiat itu merupakan wasiat ikhtiyariyyah. Dan bila ia mewasiatkan kepadanya dengan wasiat yang kurang dari bagiannya maka wajib disempurnakan. Bila ia mewasiatkan kepada sebagian orang yang wajib diwasiatkan dan tidak kepada sebagian yang lain maka orang yang tidak mendapatkan wasiat itu wajib diberi kadar bagiannya. Orang yang tidak diberi wasiat wajibah dikurangi bagiannya dan dipenuhi bagian orang yang mendapat wasiat yang kurang dari apa yang diwajibkan dari sisanya sepertiga. Bila hartanya kurang maka diambilkan dari bagian orang yang tidak mendapat wasiat wajibah dan dari orang yang mendapat wasiat ikhtiyariyyah.

3. Wasiat wajibah didahulukan atas wasiat-wasiat yang lain. Bila mayit tidak mewasiatkan kepada orang yang wajib diwasiati dan dia mewasiatkan kepada orang lain maka orang yang wajib diberi wasiat wajibah itu mengambil kadar bagiannya dari sisa dari sepertiga harta peninggalan bila sisa itu cukup; bila tidak maka dari sepertiga dari bagian yang diwasiatkan bukan dengan wasiat wajibah.


(24)

Berdasarkan aturan perundang-undangan Mesir, wasiat wajibah ternyata diperuntukkan pada orang-orang yang memiliki nasab kepada si mayyit (pewaris) namun mereka dalam perhitungan bagian (fard) waris tidak mendapatkannya atau karena terhijab oleh ahli waris yang lebih tinggi derajatnya. Pada biasanya mereka adalah para cucu lelaki atau perempuan dari pancar lelaki maupun dari pancar perempuan. Berbeda dengan maksud dari Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam, wasiat wajibah hanya diperuntukkan kepada anak angkat atau orang tua angkat saja.

Pengaturan wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam secara eksplisit dijelaskan dalam pasal 209. Pasal tersebut menunjukkan bahwa ketentuan pemberian wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam hanya diperuntukkan bagi anak angkat yang orang tua angkatnya meninggal dunia atau sebaliknya diberikan kepada orang tua angkat yang anak angkatnya meninggal dunia.

Wasiat wajibah ini mempunyai tujuan untuk mendistribusikan keadilan, yaitu memberikan bagian kepada ahli waris yang mempunyai pertalian darah namunnash

tidak memberikan bagian yang semestinya,7 atau orang tua angkat dan anak angkat yang mungkin sudah banyak berjasa kepada si pewaris tetapi tidak diberi bagian dalam ketentuan hukum waris Islam maka hal ini dapat dicapai jalan keluar dengan menerapkan wasiat wajib sehingga mereka dapat menerima bagian dari harta si pewaris.

Istilah wasiat wajibah sekarang menjadi doktrin hukum baru dalam perbendaharaan hukum Islam. Dasar hukum wasiat wajibah merupakan produk penalaran hukum para yuris Islam sehubungan dengan upaya pengembangan hukum

7 Abdul Manan II, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Kencana Prenada


(25)

normatif Islam tentang wasiat. Dan bisa jadi merupakan diskreasi atas kekosongan hukum kewarisan terhadap orang-orang tertentu yang menuntut suatu keadilan. Atau bisa jadi terjadi ketidak adilan bagi ahli waris lain yang merasa adanya wasiat wajibah yang dapat merugikan hak bagian mereka.

Dalam perkembangannya ternyata wasiat wajibah diberikan kepada pihak-pihak di luar anak angkat dan orang tua angkat. Berdasarkan beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, ternyata wasiat wajibah juga diberikan kepada ahli waris yang beragama non-muslim, yaitu terdapat pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 368.K/AG/1995, putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 51.K/AG/1999, dan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 16.K/AG/2010, putusan-putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut menyatakan memberikan wasiat wajibah pada keluarga atau ahli waris non-muslim, jadi yurisprudensi tersebut berbeda dengan konsep Fikih Islam, dimana ahli waris yang berbeda agama tidak dapat mewarisi harta dari si pewaris yang beragama Islam.

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang wasiat khususnya mengenai Wasiat wajibah, dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Wasiat Wajibah Dalam Prespektif Fikih Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang Ahli Waris Yang Beragama Non-Muslim)”. B. Perumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa tujuan dari penelitian ini, yaitu:

1. Mengapa dalam Fikih Islam tidak disebutkan siapa saja yang berhak mendapatkan wasiat wajibah?


(26)

2. Bagaimana pandangan Ulama Fikih Islam tentang wasiat wajibah?

3. Bagaimana dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan wasiat wajibah kepada keluarga atau ahli waris yang beragama non-muslim?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari latar belakang dan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui mengapa dalam Fikih Islam tidak menyebutkan siapa saja yang berhak mendapatkan wasiat wajibah.

2. Untuk mengetahui Bagaimana pandangan Ulama Fikih Islam tentang wasiat wajibah.

3. Untuk mengetahui apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam memutuskan wasiat wajibah kepada ahli waris yang beragama non-muslim.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian yang dilakukan ini dibedakan dalam dua, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis:

a. Manfaat Teoritis

Penulisan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut terhadap perkembangan pengetahuan di bidang Ilmu Hukum pada umumnya dan khususnya dalam Ilmu Hukum Waris Islam mengenai Wasiat Wajibah. Selain itu dapat juga sebagai referensi bagi pembaca umum dan mahasiswa Fakultas Hukum khususnya tentang Wasiat Wajibah.


(27)

b. Manfaat Praktis

Penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dan pemahaman kepada para mahasiswa, akademisi dan masyarakat umum yang berminat untuk mengetahui lebih dalam tentang Wasiat Wajibah.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dan secara khusus di lingkungan Pascasarjana program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara penelitian tentang “Analisis Yuridis Terhadap Wasiat Wajibah Dalam Presfektif Fikih Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang Ahli Waris Yang Beragama Non-Muslim) belum pernah ada yang menelitinya, tetapi pernah diteliti sebelumnya yang membahas tentang:

1. Achiriah, Nim: 992105031, Mahahsiswa Program Studi Megister Hukum, Fakultas Hukum, Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul: “Pelaksanaan Wasiat Wajibah Terhadap Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam di Kota Medan”.

2. Muhammad Hekiki Mikhai, Nim: 107011107, Mahasiswa Program Studi Megister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul: “Analisis Hukum Islam Tentang Penetapan Hak wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris Non Muslim (Studi Putusan No. 014/PDT.P/2012/PA.Sby)”.


(28)

3. Sahriani, Nim: 077011084, Mahasiswa Program Studi Megister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul: “Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Presfektif Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51.K/AG/1999)”.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Di dalam suatu penelitian diperlukan suatu dasar kerangka teori guna dimaksudkan untuk mengemukakan beberapa teori berdasarkan pemaparan yang ada kaitannya dengan permasalahan dalam penulisan penelitian, sehingga diharapkan dapat melahirkan suatu pemikiran yang dapat diterima sebagai suatu landasan berfikir.

Bagi suatu penelitian, teori atau kerangka teoritis mempunyai beberapa kegunaan. Kegunaan tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut:8

a. Teori berguna untuk lebih mempertajam dan mengkhususkan faktor-faktor yang hendak diselediki atau diuji kebenarannya.

b. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan sistim klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan defenisi-defenisi. c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah

diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.

8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta,


(29)

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa mendatang.

e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.

Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau suatu proses tertentu terjadi.9 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.10 Teori bisa dipergunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Oleh karena itu, kegunaan teori hukum adalah sebagai pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah penelitian.11 Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan menurut hukum Islam.

Keadilan (A’dl) menurut hukum Islam tidak hanya merupakan dasar dari masyarakat Muslim yang sejati, sebagaimana di masa lampau dan seharusnya di masa yang akan mendatang.12

Berlaku adil sangat berkaitan dengan hak dan kewajiban. Hak yang dimiliki oleh seseorang, termasuk hak asasi harus diperlakukan secara adil. Hak dan

9 J.J.J. M. Wisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Fakultas Ekonomi Universitas

Indonesia, Jakarta, 1996, Hal. 203

10M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu Dan Penelitian,Mandar Maju, Bandung, 1994, Hal. 80. 11Mukti Fajar Nur Dewata Dan Yulianto Achmad,Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan

Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, Hal. 16.

12Zamakhsyari,Teori-Teori Hukum Islam Dalam Fiqih Dan Ushul Fiqih, Citapustaka Media


(30)

kewajiban terkait pula dengan amanah, sementara amanah wajib diberikan kepada yang berhak menerimanya. Oleh karena itu, hukum berdasarkan amanah harus ditetapkan secara adil tanpa dibarengi rasa kebencian dan sifat negatif lainnya.

Mendalamnya makna keadilan berdasarkan iman bisa dilihat dari kaitannya dengan amanat kepada manusia untuk sesamanya. Khususnya amanat yang berkenaan dengan kekuasaan memerintah. Kekuasaan pemerintahan adalah sebuah keniscayaan demi ketertiban tatanan hidup kita. Sendi setiap bentuk kekuasaan adalah sikap patuh dari banyak orang kepada penguasa. Kekuasaan dan ketaatan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, namun kekuasaan yang patut dan harus ditaatai hanyalah yang mencerminkan rasa keadilan karena menjalankan amanat Tuhan.

Menurut penelitian M. Quraish Shihab, paling tidak ada empat makna keadilan:13

a. Pertama, ‘adl dalam arti sama. Pengertian ini ditemukan di dalam Al-Quran Surah An-Nisa, Asy-Syura, Al-Ma’idah, An-Nahl, dan Al-Hujurat. Menurut Al-Baidhawi, kata ‘adl bermakna “berada dipertengahan dan mempersamakan. Pendapat seperti ini dikemukakan pula oleh Rasyid Ridha bahwa keadilan yang diperintahkan disini dikenal oleh pakar bahasa Arab dan bukan berarti menetapkan hukum (memutuskan perkara) berdasarkan apa yang telah pasti di dalam agama. Sejalan dengan pendapat ini, Sayyid Quthub menyatakan bahwa dasar persamaan itu adalah sifat kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap manusia. Ini berimplikasi pada persamaan hak karena


(31)

mereka sama-sama manusia. Dengan begitu, keadilan adalah hak setiap manusia dan dengan sebab sifatnya sebagai manusia menjadi dasar keadilan dalam ajaran-ajaran ketuhanan.

b. Kedua, ‘adldalam arti seimbang. Pengertian ini ditemukan di dalam Al-Quran Surah Al-Ma’idah dan Al-Infithar. M Quraish Shihab menjelaskan bahwa keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Keadilan di dalam pengertian ‘keseimbangan’ ini menimbulkan keyakinan bahwa Allah lah Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui menciptakan serta mengelola segala sesuatu dengan ukuran, kadar, dan waktu tertentu guna mencapai tujuan. Keyakinan ini nantinya mengantarkan kepada pengertian ‘keadilan illahi’.

c. Ketiga, ‘adl dalam arti perhatian terhadap hak individu dan memberikan hak itu kepada setiap pemiliknya. Pengertian inilah yang didefenisikan dengan “menempatkan sesuatu pada tempatnya” atau “memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat”. Lawannya adalah kezaliman, yakni pelanggaran terhadap hak pihak lain. Pengertian ini disebutkan di dalam QS. Al-An’am. Pengertian‘adl ini melahirkan keadilan sosial.

d. Keempat, ‘adl dalam arti yang dinisbahkan kepada Allah. ‘adl di sini berarti memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat saat terdapat banyak kemungkinan


(32)

untuk itu. Keadilan Allah mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya.

Dalam Islam, persyaratan adil sangat menentukan benar atau tidaknya dan sah atau batalnya suatu pelaksanaan hukum dalam beberapa hal. Umpamanya dalam kewarisan, sebagaimana dikemukakan oleh Hasanain Muhammad Makhluf, ahli Fikih Kontemporer asal Mesir, bahwa Islam mensyaria’atkan aturan hukum yang adil karena menyangkut penetapan hak milik seseorang, yakni hak yang harus dimiliki seseorang sebagai ahli waris dengan sebab meninggalnya seseorang yang lain14.

Keadilan dalam kewarisan tidak berarti membagi sama rata harta warisan semua ahli waris, tetapi berpihak kepada kebenaran sebagaimana yang telah digariskan Allah dalam Al-Qur’an. Jika laki-laki memperoleh lebih banyak dari perempuan ini terkait dengan tanggung jawab laki-laki yang lebih besar daripada perempuan untuk membiayai rumah tangganya. Jika menyimpang dari apa yang telah di gariskan dalam Al-Qur’an berarti pembagiannya telah dilakukan secara tidak adil.

Dalam wasiat, yang harus dibayarkan adalah maksimal sepertiga dari harta yang diwariskan orang yang wafat, tidak boleh lebih. Artinya orang yang memberikan wasiat melebihi sepertiga harta warisan telah berlaku aniaya, yang merupakan kebalikan dari adil.

Pengertian umum dari berlaku adil dalam masalah kewarisan dan wasiat juga termasuk larangan memakan harta orang lain dengan cara bathil, atau mengajukan kepada hakim untuk memakan sebagian harta orang lain (QS Al-Baqarah: 188).15

14Ibid, Hal. 106 15Ibid, Hal. 107


(33)

2. Kerangka Konsepsional

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsespsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.16

Suatu kerangka konsepsionil, merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.17

Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penlitian hukum, guna menghindari perbedaan penafsir dari istilah yang dipakai, selain itu juga dipergunakan sebagai pegangan dalam proses penelitian ini.

Selanjutunya, untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian dikemukakan dalam bentuk defenisi operasional sebagai berikut:

16Samasi,Metodologi Penelitian,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, Hal. 3 17Soerjono Soekanto,Op Cit, Hal.132


(34)

a. Wasiat menurut Kompilasi Hukum Islam adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.18

Menurut Ahmad Rafiq secara etimologi, para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang didasarkan pada orang yang menyatakan wasiat meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa menuntut imbalan atautabarru.19

Wasiat adalah pesan seseorang untuk memberikan suatu kepada orang lain setelah ia meninggal dunia.20

Wasiat adalah suatu tidakan untuk mengalihkan harta atau hak dari seseorang kepada orang lainnya dan berpindah-pindahnya setelah meninggal yang berwasiat. Juga dapat diartikan sebagai suruhan atau melakukan suatu perbuatan sesudah wafatnya seseorang.21

b. Wasiat wajibah menurut Ahmad Rafiq adalah tindakan yang dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau memberi putusan wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula.22

18Johni Najwan,Hukum Kewarisan Islam,Yayasan Baitul Hikmah, Padang, 2003, Hal. 206 19Abdul Manan II,Op Cit, Hal. 149

20Moh. Muhibbin Dan Abdul Wahid,Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum

Positif Di Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, 2009 Hal. 55

21Hasballah Thaib I, Hukum Benda Menurut Islam, Fakultas Hukum Universitas

Dharmawangsa, Medan, 1992, Hal. 36


(35)

Wasiat wajibah menurut Chairuman Pasaribu dan Suhrawarsi K. Lubis adalah wasiat yang dipandang sebagai telah dilakukan oleh seseorang yang akan meninggal dunia, walaupun sebenarnya ia tidak meninggalkan wasiat itu.23 Wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung pada kemauan atau kehendak yang meninggal dunia.24 c. Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama

Islam.25

Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama Islam.26

Hukum Islam adalah titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan (thalab), pemberian pilihan (takhyir), atau berupa ketetapan yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, sebagai syarat bagi adanya sesuatu yang lain, sebagai penghalang (mani’) bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai pemberitahuan sah atau batalnya suatu pekerjaan serta rukhshah dan azimah suatu pekerjaan.27

Hukum Islam itu adalah peraturan yang dirumuskan secara terperinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat, yang aturan tersebut digali dari dan berdasarkan kepada wahyu Allah SWT dan Sunnah Rasulullah, yang hanya mengatur tindakan lahiriah dari manusia yang dikenai hukum.28

23Ibid

24

Arif Furqan, Dkk,Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum,Departemen Agama RI, Jakarta, 2001, Hal. 120

25Ibid, Hal. 15

26Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di

Indonesia,Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 42

27Alaidin Koto,Filsafat Hukum Islam,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, Hal. 25 28Ibid,Hal 26


(36)

d. Kompilasi Hukum Islam bisa dikatakan sebagai materi hukum Islam yang paling sempurna untuk dijadikan pedoman bagi Hakim di lingkungan Peradilan Agama.29

Kompilasi Hukum Islam adalah hukum tidak tertulis, tetapi dihimpuan dalam sebuah buku.30

e. Fikih artinya paham atau pengertian. Ilmu fikih adalah ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan norma-norma hukum dasar yang terdapat di dalam Al-Quran dan ketentuan-ketentuan umum yang dapat dalam Sunnah Nabi yang direkam dalam kitab-kitab hadis.31

Ilmu fikih adalah ilmu yang berusaha memahami hukum-hukum yang terdapat di dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad untuk diterapkan pada perbuatan manusia yang telah dewasa yang sehat akalnya yang berkewajiban melaksanakan hukum Islam.

f. Non-muslim berarti orang yang tidak atau bukan beragama muslim.32 G. Metode Penelitian

Istilah metodologi berasal dari kata metode yang berarti jalan, namun demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan, dengan kemungkinan-kemungkinan, sebagai berikut:

1) Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian, 2) Suatu tekni yang umum bagi ilmu pengetahuan,

29Fahmi Amruzi,Op Cit,Hal. 47

30 Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Prenada Media,

Jakarta, 2011, Hal. 54

31Mohammad Daud Ali,Op Cit,Hal. 48

32 Pusat Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,


(37)

3) Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.33 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang disebut juga sebagai penelitian doktrinal. Penelitian yuridis normatif atau penelitian doktrinal ini adalah penelitian hukum yang menggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan-bahan pustaka dengan meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian, meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, teori hukum, buku-buku, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisa permasalahan yang dibahas34.

Penelitian hukum ini merupakan suatu penelitian hukum yang dikerjakan dengan tujuan menemukan asas atau doktrin hukum positif yang berlaku. Penelitian tipe ini lazim disebut sebagai studi dogmatik atau yang dikenal dengan doctrinal research35.

Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal dikonsepkan sebagai apa yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.36

33Soerjono Soekanto,Op Cit,Hal. 5

34Soerjono Soekanto Dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

Rajawali Pers, Jakarta, 2010, Hal. 13

35 Bambang Sugono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996,

Hal. 86

36 Muslam Abdurrahman, Sosiologi Dan Metode Penelitian Hukum, Umm Press, Malang,


(38)

Pangkal tolak pencarian asas dan doktrin ini adalah norma-norma hukum positif, maka sebenarnya kemungkinan penyelenggaraan penelitian doktrinal ini bergantung pada sudah atau belum selesainya dan pada sudah atau belum lengkapnya penelitian inventarisasi. Sementara itu, hasil-hasil yang akan diperoleh dalam penelitian ini akan ditentukan pula oleh bahan-bahan apa yang di dalam penelitian inventarisasi nyatanya diidentifikasikan dan diklasifikasikan sebagai hukum. Dalam hubungan ini, dapatlah secara ringkas disimpulkan bahwa konsepsi hukum yang dipilih dalam penelitian inventarisasi akan sepenuhnya menjadi predeterminan hasil akhir setiap penelitian doktrinal.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Pada penelitian ini biasanya yang diteliti hanya bahan buku pustaka atau data sekunder, yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tertier37. 2. Sumber Data

Berhubung metode penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, maka sumber data penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan penelitian yang berupa bahan-bahan hukum, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum tersier, yaitu:

a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdiri dari Al-Quran, buku-buku fikih Islam, aturan hukum yang berbeda terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan wasiat khususnya wasiat wajibah.


(39)

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil penelitian para ahli, hasil karya ilmiah, buku ilmiah, buku-buku fikih yang berhubungan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tertier adalah meliputi dari kamus hukum warisan, artikel-artikel, yang bertujuan untuk mendukung bahan hukum primer dan sekunder. 3. Teknik Pengumpul Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan studi pustaka, yaitu menghimpun data dari hasil penelaahan bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

Untuk memperoleh data sekunder yang berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, dalam penelitian ini akan menggunakan alat penelitian studi dokumen atau pustaka atau penelitian pustaka dengan cara mengumpulkan semua dokumen-dokumen, buku-buku, dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian ini.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan tahap yang paling penting dalam suatu penelitian. Karena dalam penelitian ini data yang diperoleh akan diproses dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai didapat suatu kesimpulan yang nantinya akan menjadi hasil akhir dari penelitian. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data yang bersifat kualitatif. Kegiatan ini diharapakan akan memudahkan dalam menganalisis permasalahan yang akan dibahas, menafsirkan dan kemudian menarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif, sehingga diharapkan akan memberikan solusi dan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini.


(40)

BAB II

WASIAT WAJIBAH BERDASARKAN FIKIH ISLAM

A. Pengaturan Wasiat Wajibah Dalam Fikih Islam. 1. Wasiat.

Secara garis besar wasiat merupakan penghibahan harta dari seseorang kepada orang lain atau kepada beberapa orang sesudah meninggalnya orang yang menghibahkan.

Secara etimologi wasiat mempunyai beberapa arti yaitu menjadikan, menaruh kasih sayang, menyuruh, dan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya. Pengertian wasiat secara etimologi hukum Islam adalah pemberian kepemilikan yang dilakukan seseorang untuk orang lain, sehingga ia berhak memilikinya ketika si pemberi meninggal dunia.38 Pemberian kepada orang lain tersebut dapat berupa barang, piutang, atau manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat meninggal dunia.

Wasiat ialah suatu tasharruf (pelepasan) terhadap harta peninggalan yang dilaksanakan sesudah meninggal dunia seseorang. Menurut asal hukum, wasiat adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan kemauan hati dalam keadaan apa pun.39 Wasiat ialah pesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah seseorang meninggal dunia.40

38H. M. Fahmi Al-Amruzi,Op Cit, Hal. 49 39Hasbi Ash-Shiddieqy,Op Cit, Hal. 273


(41)

Wasiat adalah pesan terakhir dari seseorang yang mendekati kematiannya, dapat berupa pesan tentang apa yang harus dilaksanakan para penerima wasiat terhadap harta peninggalannya atau pesan dari luar harta peninggalan.41

Wasiat adalah suatu tindakan untuk mengalihkan harta atau hak dari seseorang kepada orang lainnya dan berpindahnya setelah meninggal yang berwasiat. Dapat juga diartikan sebagai suruhan atau melakukan suatu perbuatan sesudah wafatnya seseorang.42

Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan bahwa yang dimaksud dengan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.

Dari paparan di atas mengenai apa itu wasiat, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa timbulnya wasiat itu haruslah dengan cara suka rela dan tidak ada paksaan dalam bentuk apapun, yang menyangkut pelimpahan hak, yang dilakukan dengan cara baik itu secara lisan atau tulisan yang tidak disyaratkan adanya suatu kontra prestasi, yang pelaksanaannya dilakukan sesudah pemberi wasiat itu meninggal dunia.

Menurut pandangan ilmu hukum, bahwa wasiat merupakan perbuatan hukum sepihak (merupakan pernyataan sepihak), jadi dapat saja wasiat dilakukan tanpa dihadiri oleh penerima wasiat, dan bahkan dapat saja dilakukan dalam bentuk tertulis. Bahkan dalam prakteknya dewasa ini, untuk menghindari terjadinya hal-hal yang

41Anwar Sitompul,Op Cit. 60

42 Abdurrahman Al-Jaziri,Kitabul Fiqhi ‘Ala Masahibil Arba’ah,Juz III, Darul Fikri, Beirut,


(42)

tidak dikehendaki dibelakangan hari, sering wasiat itu dilakukan dalam bentuk akta authentik, yaitu diperbuat secara notarial, apakah dibuat oleh atau di hadapan notaris, atau disimpan dalam protokol notaris.43

Al-Quran masih mengakui hak untuk membuat pernyataan wasiat dalam pembagian waris, dimana harta waris tersebut dideskripsikan sebagai porsi dari harta yang masih tersisa, setelah pembagian wasiat dan utang-utang.44

Kitab Undang-Undang Wasiat Mesir dalam pasal 38 membolehkan wasiat tidak boleh melebihi dari sepertiga bagian dari harta peninggalan kepada orang yang dapat menerima pusaka tanpa tergantung perizinan ahli waris sebagaimana hanya membolehkan wasiat kepada orang yang tidak menerima pusaka.45

2. Sumber-Sumber Hukum Wasiat

Sumber-sumber hukum wasiat itu ialah Al-Kitab, As-Sunnah, Al-Ijma’ dan Al-Ma’qul.46

1. Al-Kitab, antara lain ialah firman Allah dalam surat Al-Baqarah, Al-Maidah, An-Nisaa.

Al-Baqarah ayat 180, yang artinya:

“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk

43

Suhardi K. Lubis, Komis Simanjuntak,Hukum Waris Islam,Sinar Grafika, Jakarta, 2007, Hal. 47 44Abdul Aziz Mohammed Zaud,The Islamic Law Of Bequest,Scorpion Publishing Ltd, London, 1986, Hal. 11

45

M. Yusuf Musa, T.T.,At Tirkah Wal Mirats Fil-Islami,Darul Ma’rifah, Kairo, Cet. II, Hal. 126 46


(43)

ibu, bapak, karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.

Al-Baqarah ayat 181, yang artinya:

“Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Al-Baqarah ayat 182, yang artinya:

“(Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Al-Baqarah ayat 240, yang artinya:

“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara mu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga satu tahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri) maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka membuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah maha perkasa lagi bijaksana”.

An-Nisaa ayat 11 dan 12, yang artinya:

“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,


(44)

maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta. Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuanmu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguuhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah memenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,


(45)

tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam bagian yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) Syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”.

Al-Maidah ayat 106, yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang ia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu, “(Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan Persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa”.


(46)

2. As-Sunnah, antara lain hadist yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqas r.a. ujarnya:47

“Rasulullah s.a.w. datang mengunjungi saya pada tahun haji wada’ di waktu saya menderita sakit keras. Lalu saya bertanya: “hai Rasulullah! Saya sedang menderita sakit keras. Bagaimana pendapat tuan. Saya ini orang berada, tetapi tidak ada yang dapat mewarisi hartaku selain seorang anak saya perempuan, apakah sebaiknya saya mewasiatkan dua pertiga hartaku (untuk beramal)?” “Jangan”, jawab Rasulullah. “Lalu sepertiga?”, sambungku lagi. Rasulullah menjawab: “Sepertiga”. Sebab seperrtiga itu banyak dan besar, karena jika kamu meninggalkan ahli waris dalam keadaan yang cukup adalah lebih baik dari pada kamu meninggalkan mereka dalam kedaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak.” (Rw. Bukhari-Muslim).

3. Al-Ijma’, ummat Islam sejak zaman Rasulullah s.a.w. sampai sekarang banyak menjalankan wasiyat. Perbuatan yang demikian itu tidak pernah diingkari oleh seorang pun. Ketiadaan ingkar seseorang itu menunjukkan adanya ijma’.48

4. Al-Ma’qul (logika), menurut thabi’at, manusia itu selalu bercita-cita supaya amal perbuatannya di dunia di akhirat dengan amal-amal kebajikan untuk menambah amal taqarrub-nya kepada Allah yang telah dimilikinya, sesuai

47Ibid,Hal 51 48Ibid.


(47)

dengan apa yang diperintahkan Nabi Muhammad s.a.w. dalam sabdanya yang artinya:

“Allah S.W.T. memerintahkan sedekah kepadamu sepertiga harta untuk menambah amal-amalmu sekalian, maka keluarkanlah sedekah itu menurut kemauanmu atau menurut kesukaanmu.” (Rw. Bukhari).49

Atau untuk menambah kekurangan-kekurangan amal-perbuatannya sewaktu ia masih hidup. Untuk menambah amal kebajikan yang telah ada dan menambah kekurangan-sempurnaan amal tersebut tidak ada jalan lain, selain memberikan wasiat.

Wasiat itu disyari’atkan untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Kalau kebutuhan tersebut dapat ditutup melalui wasiat adalah logis sekiranya wasiat itu disyariatkan. Karena di dalam wasiat itu terdapat unsur pemindahan hak milik dari seseorang kepada orang lain, sebagaimana dalam pusaka mempusakai, maka sudah selayaknya wasiat itu diperkenankan juga. Hanya saja pemindahan milik dalam wasiat itu terbatas kepada sepertiga harta peninggalan saja, agar tidak merugikan para ahli waris.

3. Rukun dan Syarat Wasiat

Sesungguhnya pembicaraan rukun dan syarat adalah menyangkut sah atau tidaknya suatu perbuatan yang akan dilakukan, hanya saja antara rukun dan syarat terdapat perbedaan dalam hal bahwa rukun merupakan esensi dari perbuatan itu


(48)

sendiri, sedangkan syarat bersifat eksternal. Berikut akan dijabari rukun dan syarat wasiat, yaitu:

a. Orang yang memberi wasiat;

Orang yang memberi wasiat hendaknya harus memilik syarat sebagai berikut: 1) Berakal. Apabila ia berwasiat ketika ia masih sehat kemudian ia gila terus

menerus sampai enam bulan, maka wasiatnya batal dan apabila ia berwasiat dalam keadaan sehat, kemudian ia menjadi dungu sampai ia meninggal maka wasiat tersebut menjadi batal.50Apabila seseorang lemah akalnya sehingga menghalangi ia untuk berpikir, maka sah wasiatnya atas hartanya saja dan tidak sah mengangkat pelaksana wasiat untuk anak-anaknya. Oleh sebab itu tidak dapat bertindak baik untuk dirinya sendiri dan karena itu tentu saja tidak dapat menentukan orang yang akan bertindak untuk orang lain.51

2) Baligh. Orang yang berwasiat disyaratkan telah sampai kepada keadaan baligh dan karena itu tidak sah wasiat yang dilakukan oleh orang yang dibawah umur, walaupun sudah mumayyiz.52

3) Merdeka. Tidaklah sah apabila wasiat yang dilakukan oleh seorang budak, kecuali wasiat itu disyaratkan kepada keadaannya sesudah merdeka. Para ulama, baik dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i atau lainnya sepakat bahwa wasiat harus dilakukan oleh orang yang merdeka.

50Abdurrahman Al-Jaziri,Op Cit,Hal. 317 51Ibid.Hal. 324

52


(49)

Hamba sahaya tidak sah berwasiat sebagaimana tidak sahnya orang yang terpaksa berwasiat.53

4) Tidak mempunyai hutang yang menghabiskan harta. Apabila harta peninggalannya tidak cukup untuk membayar hutang-hutangnya, maka wasiat tidak mungkin akan dilaksanakan, bahkan harta peninggalannya akan dibagi-bagi kepada orang-orang yang memberi hutang kepadanya.54 5) Dengan cara sukarela. Wasiat tidak sah apabila dilakukan secara

bercanda, kekeliruan, pemaksaan, ataupun ketidak sukarelaan, apabila hal ini terjadi, maka wasiat menjadi batal.55

b. Orang yang menerima wasiat;

Orang yang menerima wasiat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1) Penerima wasiat sudah ada pada waktu wasiat terwujud. Pada waktu wasiat terbentuk, harus jelas kepada siapa wasiat itu dialamatkan, dengan demikian tidaklah dinamakan wasiat apabila tidak diketahui alamatnya atau orang yang menerima wasiat belum ada pada waktu wasiat terjadi.56 2) Orang atau badan tertentu. Apabila penerima wasiat itu berupa badan

amal tidak disyaratkan pribadi orangnya, akan tetapi badan itu harus jelas dan tertentu, misalnya mengatakan: “saya wasiatkan hartaku kepada

53 Abdurrahman Al-Jaziri,Op Cit,Hal. 322 54M. Hasballah Thaib I,Op Cit,Hal. 45 55 Abdurrahman Al-Jaziri,Op Cit,Hal. 318 56M. Hasballah Thaib,Op Cit,Hal. 46


(50)

orang fakir atau orang-orang miskin”, wasiat itu sah, tidak menentukan orang miskin atau orang fakir tertentu, bahkan kalau ia tidak menentukan penerima wasiat sudah terkandung dalam badan amal.57

3) Penerima wasiat cakap untuk menerima wasiat. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa penerima wasiat disyaratkan cukup untuk memangku hak, maka tidaklah sah wasiat kepada orang yang tidak mempunyai kecakapan.58

4) Penerima wasiat bukan pembunuh dari pewasiat. Abu Yusuf berpendapat bahwa apabila penerima wasiat adalah pembunuh pemberi wasiat, maka wasiatnya batal.59

5) Penerima wasiat bukan badan maksiat.

6) Penerima wasiat bukan ahli waris dari pemberi wasiat. Wasiat kepada ahli waris tidak sah, kecuali ada persetujuan ahli waris yang lainnya dan besarnya wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga harta peninggalan, karena ahli waris sudah mendapat harta warisan sebagaimana yang ditetapkan syara’.60

Syarat orang yang diserahi menjalankan wasiat yang akhir ini ada:61

57Ibid,Hal. 47

58Abdurrahman Al-Jaziri,Op Cit,Hal. 318 59Said Sabiq,Op Cit,Hal. 593

60M. Hasballah Thaib,Op Cit,Hal. 50 61H. Sulaiman Rasjid,Op Cit,Hal. 373


(51)

1) Beragama Islam. Berarti orang yang akan menjalankan wasiat itu hendaklah orang Islam.

2) Sudah baligh (sampai umur). 3) Orang yang berakal.

4) Orang yang merdeka (bukan hamba sahaya). 5) Amanah (dapat dipercaya).

6) Cakap untuk menjalankan sebagaimana, yang dikehendaki oleh yang berwasiat.

Disyaratkannya beberapa syarat tersebut ialah karena penyerahan itu adalah penyerahan tanggung jawab. Oleh karena itu, orang yang diserahi itu apabila merasa bahwa sifat-sifat yang menjadi syarat tadi cukup ada pada dirinya serta dia merasa sanggup menjalankannya, hendaklah ia terima wasiat itu. Tetapi kalau ia merasa kurang cukup mempunyai sifat-sifat itu, atau kurang kemauan dan kesanggupan untuk menjalankan tanggung jawab yang begitu berat, lebih baik tidak diterimanya agar dapat diserahkan kepada orang lain sehingga pekerjaan tersebut tidak sia-sia.

c. Barang yang diwasiatkan;

Barang yang diwasiatkan ialah yang memenuhi syarat sebagai berikut:62 1) Benda tersebut merupakan kepunyaan pemberi wasiat.

2) Benda tersebut bermanfaat atau dapat menjadi objek dalam transaksi.

62 M. Hasballah Thaib II, Perbandingan Mazhab Dalam Ilmu Hukum Islam, Fakultas


(52)

3) Benda yang ditentukan telah ada pada waktu terjadinya wasiat.

4) Jumlah wasiat tidak lebih sepertiga dari jumlah harta kekayaan pemberi wasiat.

d. Bentuk dan pelaksanaan wasiat.

Bentuk dan pelaksanaan wasiat, yang terdiri dari ijab dan kabul itu harus memenuhi syarat agar ia dapat berfungsi sebagaimana mestinya menurut pandangan syara’. Syarat-syarat tersebut yaitu:63

1) Ijab dan kabul harus dapat bersambung.

a) Orang yang memberi ijab tidak menarik kembali ijabnya, sebelum diterima oleh pihak kedua.

b) Pihak pertama tidak merubah ucapan ijabnya.

c) Antara ijab dan kabul tidak dihalangi oleh diam yang memberi pengertian bahwa pihak kedua tidak dapat menerima.

d) Kedua belah pihak saling mengetahui apa yang dimaksud oleh pihak yang lain.

e) Ijab dan kabul itu berlangsung di dalam satu majis. 2) Sesuai dengan ijab kabul.

3) Ijab dan kabul harus tegas dan pasti.

4) Ijab dan kabul berasal dari orang-orang yang memenuhi persyaratan untuk itu. Persyaratan ini diperlukan karena apabila ucapan ijab dan kabul ke luar dari orang-orang yang tidak memenuhi syarat, berarti


(53)

orang tersebut tidak berhak untuk mewasiatkan sesuatupun, karena bukan merupakan haknya.64

5) Ijab dan kabul tidak mengandung ta’liq. Ta’liq di sini Maksudnya adalah menetapkan suatu syarat yang tidak sesuai dengan maksud dari pada wasiat, seperti mensyaratkan agar harta wasiat harus digunakan pada sesuatu yang haram.65

Sighat ijab dan kabul yang dipergunakan dalam melaksanakan wasiat dapat menggunakan redaksi yang jelas dengan kata-kata wasiat dan bisa juga dilakukan dengan kata-kata samaran, karena menurut mereka bahwa wasiat adalah akad yang boleh dalam arti bahwa wasiat itu dapat dibatalkan atau dicabut kembali oleh si pemberi wasiat66

4. Wasiat Wajibah.

Wasiat wajibah adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata, yaitu wasiat dan wajibah. Kata wasiat berasal dari bahasa arab dapat berarti membuat wasiat atau berwasiat, dan terkadang digunakan untuk sesuatu yang diwasiatkan.67

Kata wajibah berasal dari kata wajib yang telah mendapatkan imbuhan kata

ta’nis. Menurut Abdul Wahab Khallaf, wajibah adalah sesuatu yang disuruh syari’at untuk secara kemestian dilakukan oleh orang mukallaf, karena secara langsung dijumpai petunjuk tentang kemestian memperbuatnya.68

64Ibid. 65Ibid,Hal. 54

66Sabiq, Al-Sayyid,Fiqh Sunnah,Ttp, Dar Al-Saqafah, Tt, Hal. 544

67Ramlan Yusuf Rangkuti,Fikih Kontenporer Di Indonesia (Studi Tentang Kompilasi Hukum

Islam Di Indonesia),Pustaka Bangsa Press, Medan, 2010 Hal. 370

68Abdul Wahab Khallaf,Usul Fiqh,Maktabah Ad-Dakwah Al-Islamiyah Syabab Al-Azhar,


(54)

Pengertian wajibah mengandung makna bahwa wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak tergantung kepada kemauan atau kehendak si pewasiat yang meninggal dunia. Dimana pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan atau ditulis atau dikehendaki, tapi pelaksanaannya didasarkan kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakan.69

Menurut pengertian istilah ulama fikih, Abu Zahrah, setelah mengemukakan berbagai defenisi yang dibarengi dengan analisis, mengatakan defenisi yang relatif lebih sempurna adalah yang terdapat dalam Undang-Undang wasiat Mesir No. 71 Tahun 1946, “wasiat adalah mentasarrufkan peninggalan yang ditangguhkan waktunya sampai setelah terjadinya kematian”. Kata wajibah merupakan istilah fikih, yang berasal dari kata wajib yang telah mendapat penambahan. Zaki Sya’ban menyebutkan pengertian wajib itu: “sesuatu perbuatan yang diperintahkan Allah untuk melaksanakannya secara keharusan, baik dia diperoleh dari kata perintah itu sendiri atau dari tanda-tanda lain yang dapat dipahami sebagai perintah.70

Dapat disimpulkan, bahwa wasiat wajibah adalah suatu perintah yang syar’i (Allah) yang merupakan keharusan untuk mentasarrufkan peninggalan yang ditangguhkan waktunya sampai setelah terjadinya kematian.71

Menurut Fatchur Rahman, yang dimaksud dengan wasiat wajibah adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk

69Suparman Usman,Fiqh Mawaris Hukum Kewarisna Islam,Gaya Media Pratama,Jakarta,

2002, Haal. 163

70Ibid,Hal. 371 71Ibid, Hal. 372


(55)

memaksa atau memberikan putusan wajib wasiat bagi orang-orang yang telah meninggal, yang diberikan kepada orang-orang tertentu, dalam keadaan tertentu.72

Sedangkan menurut Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, yang dimaksud dengan wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak tegantung kepada kehendak orang yang meninggal dunia. Wasiat ini tetap dilaksanakan, baik diucapkan atau dikehendaki maupun tidak oleh orang yang meninggal dunia. Jadi pelaksanaan tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan atau ditulis atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya didasarkan kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakan.73

Pendapat Ibn Hazm mengenai wasiat wajibah adalah wasiat yang ditetapkan oleh penguasa dan dilaksanakan oleh hakim untuk orang-orang tertentu yang tidak diberi wasiat oleh orang yang meninggal dunia, dan tidak memperoleh warisan karena terdindingi oleh ahli waris yang lain, atau terhalang mewarisi, sementara si mayit meninggalkan harta yang baginya berlaku wasiat wajibah.74 Yang dimaksud dengan wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung pada kemauan atau kehendak yang meninggal dunia.75

Dapat disimpulkan bahwa wasiat wajibah secara etimologis berarti wasiat yang hukumnya wajib. Sedangkan secara terminologi, wasiat wajibah adalah suatu

72Fatchur Rahman,Op Cit,Hal. 63 73Suparman Usman,Op Cit, Hal. 89 74Ramlan Hal. 373


(56)

tindakan pembebanan oleh hakim atau lembaga yang mempunyai hak agar harta seseorang yang telah meninggal dunia tetapi tidak melakukan wasiat secara sukarela diambil sebagian dari harta benda peninggalannya untuk diberikan kepada orang tertentu dan dalam keadaan tertentu pula.

Namun demikian, penguasa atau hakim sebagai aparat negara tertinggi mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberi surat putsan wajib wasiat yang terkenal dengan wasiat wajibah, kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Dikatakan wasiat wajibah disebabkan karena:76

1. Hilangnya unsur ikhtiyar bagi sipemberi wasiat dalam munculnya unsur kewajiban melalui perundang-undangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan dari si penerima wasiat.

2. Ada kemiripan dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam penerimaan laki-laki 2 (dua) kali lipat bagian perempuan.

Menurut Ahmad Rofiq, wasiat wajibah adalah wasiat yang dibebankan oleh hakim agar seseorang yang telah meninggal dunia yang tidak melakukan wasiat secara sukarela, harta peninggalannya dapat diambil untuk diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula.77

Dari penjabaran di atas tadi, terdapat dua unsur yang penting yang membedakan antara wasiat biasa dengan wasiat wajibah, yaitu:

76Factur Rahman,Op Cit,Hal. 63

77Ahmad Rofiq,Hukum Waris Islam Di Indonesia,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 200, Hal.


(57)

1. Wasiat wajibah ditetapkan berdasarkan ketetapan hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa atau hakim, sehingga pelaksanaannya berdasarkan ketetapan perundang-undangan atau aturan hukum dan tidak bergantung kepada ada atau tidaknya seseorang berwasiat semasa hidupnya. Oleh karena itu, ketentuan seperti ini berbeda dengan wasiat biasa, di mana pelaksanaannya sangat bergantung kepada kehendak si pewasiat. Batasan pengertian di atas juga menunjukkan bahwa wasiat wajibah sebenarnya tidak murni wasiat, dalam tata aturannya terdapat aspek-aspek yang sama dengan kewarisan, seperti tidak dibutuhkannya ijab dan qabul dari si pemberi wasiat dan si penerima wasiat. Disamping itu, wasiat wajibah berlaku secara terpaksa oleh peraturan perundang-undangan.

2. Wasiat ini diperuntukkan kepada saudara yang suatu halangan syarak (misalnya saudara yang beragama non-muslim) atau karena terdindingi oleh ahli waris yang lain, sehingga tidak berhak menerima warisan. Berbeda dengan wasiat biasa, di mana wasiat itu boleh diperuntukkan kepada orang lain yang bukan ahli waris atau bukan karib kerabat.

Wasiat wajibah ini sendiri pada mulanya dipergunakan pertama kali di Mesir melalui Undang-Undang Hukum Waris tahun 1946 untuk menegakkan keadilan dan membantu cucu yang tidak memperoleh hak warisnya. Sehingga ketentuan hukum ini bermanfaat bagi anak-anak dari anak laki-laki yang meninggal atau anak laki-laki dari anak laki-laki terus ke bawah. Sedangkan untuk garis anak perempuan hanya berlaku untuk anak dari anak perempuan saja tidak berlanjut sampai generasi selanjutnya.


(1)

Islam yaitu menuruti rasa keadilan. Disamping menunjukkan bahwa Hukum Islam didasarkan kepada kemaslahatan dan menolak kemudharatan, ditambah lagi penerima wasiat wajibah tersebut bukanlah pembunuh atau penganiaya berat terhadap pewaris yang telah meninggal, dan tidak melakukan fitnah kepada pewaris yang sudah meninggal dunia sebagaimana yang tercantum pada Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam.

B. SARAN

1. Disarankan kepada calon pewaris, agar meninggalkan wasiat dalam bentuk harta kepada keluarga yang tidak akan mendapatkan warisan seperti cucu yang sudah menjadi yatim, karena dikhawatirkan ada diantara ahli waris yang ditinggalkan tidak akan memberi wasiat wajibah kepada mereka.

2. Disarankan kepada Ulama Fikih (ahli Hukum Islam), supaya terus berijtihad dalam hal-hal yang berkaitan dengan kewarisan agar lahir Fikih baru yang didasarkan kepada keadilan dan kemaslahatan.

3. Disarankan kepada Hakim di Pengadilan Agama supaya terus menggali hukum-hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat dan berani memutuskan perkara warisan dengan memberikan hak wasiat wajibah kepada ahli waris yang tidak mendapatkan hak waris, melalui jalan ijtihad tetapi tidak bertentangan dengan tujuan syariat Islam itu sendiri.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku Al-Quran

Abdurrahman, Muslan, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, Umm Press, Malang, 2009

Abta, Asyhari, Junaidi Ab. Syakur,Ilmu Waris Al-Faraidl, Pustaka Hikmah Perdana, Surabaya, 2005

Abubakar, Alyasa, Ahli Waris Sepertalian Darah Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Madzhab,Jakarta, INIS, 1998

Amruzi, Fahmi, Rekonstruksi Wasiat Wajibah Dalam Kompilasi Hukum Islam, Aswaja Prassindo, Yogyakarta, 2012

Al-Jaziri, Abdurrahman, Kitabul Fiqhi ‘Ala Masahibil Arba’ah,Juz III, Darul Fikri, Beirut.

Al-Sayyid, Sabiq,Fiqh Sunnah,Ttp, Dar Al-Saqafah, tt.

Al-Syathibi,al-Muawafaqat fi Ushul al-Syari’ah,Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut Ali, Mohamad Daud,Hukum islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di

Indonesia,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998

Ali, Zainuddin,Metode Penelitian Hukum,Sinar Grafika, Jakarta, 2009

Al-Syahibi,al-muawafaqat fi Usuhul al-syari’ah,Dar al-kutub al-ilmiyah, Beirut Ash-Shiddieqy, Habsi,Fiqh Mawaris,Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2001

Asshabuni, Muhammad Ali, Pembagian Waris Menurut Hukum Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1995

Dewata, Mukti Fajar, dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010

Ensiklopedia Hukum Islam

Effendi, M. Zein Satria, Analisis Fiqih Analisis Yurisprudensi, Dalam Mimbar Hukum Nomor. 37 Tahun IX, 1998


(3)

Furqan, Arif, dkk,Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum,Departemen Agama RI, Jakarta, 2001

Gandasubrata, H.R. Purwoto S.,Renungan Hukum, Ikatan Hakim Indonesia, Jakarta, 1998

Habiburrahman,Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta 2011

Hadjazuli, Nurul Aen,Ushul Fiqih Metodologi Hukum Islam,Raja Grafindo, Jakarta, 2001

Harahap, M. Yahya, Informasi Materi KHI, Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam, Al-Hikmah, Jakarta

Hazm, Ibnu,Al-Muhalla,Juz IX, Beirut, Dar Al-Alaq, tt

Husein, Ibrahim, Fungsi dan Karakter Hukum Islam Dalam Kehidupan Ummat Islam,Gema Insani Press, Jakarta, 1996

Imara, Muhammad,Perbedaan dan Kemajemukan Dalam Bingkai Persatuan, Gema Insani Press, Jakarta, 1999

Khallaf, Abdul Wahab,usul Fiqh, Maktabah Ad-Dakwah Islamiyah, Syubab Al-Azhah, Mesir.

Koto, Aladin,Filsafat Hukum Islam,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012 Lubis, M. Solly,Filsafat Ilmu dan Penelitian,Mandar Maju, Bandung, 1994

Lubis, Suhardi. K, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2007

Manan, Abdul,Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006

____________, Beberapa Masalah Hukum Tentang Wasiat dan Permasalahannya Dalam Konteks Kewenangan Peradilan Agama, Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam Nomor 38 Tahun IX, 1998

, Hakim Peradilan Agama, Hakim Dimata Hukum Ulama Dimata Ummat, Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003

,Hukum Islam Dalam Berbagai Wacana,Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003 ____________, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,


(4)

____________, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006

Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2008

Mertokususmo, Sudikno,Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2001

Mughniyah, Muhammad Jawad,Fiqih Lima Mazhab, Lentera, Jakarta, 2000

Muhibbin, Moh, dan Abdul Wahid,Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, 2009

Musa, M. Yusuf,At Tirkah Wal Mirats Fil-Islami,Darul Ma’arifah. Kairo, Cet. II Muzdhar, Atho’, Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern

Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern Dari Kitab-Kitab Fiqih, Ciputat Press, Jakarta, 2003

Najwan, Johni,Hukum Kewarisan Islam,Yayasan Baitul Hikmah, Padang, 2003 Pagar, Kedudukan Anak Angkat Dalam Warisan Suatu Telaah Atas Pembatalan

Hukum Islam Indonesia,Dalam Mimbar Hukum Nomor. 54, 2001

Pusat Pengenmbangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994

Rahman, Fatchur,Ilmu Waris,PT. Alma’arif, Bandung, 1975

Rangkuti, Ramlan Yusuf, Fikih Kontenporer di Indonesia (Studi Tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia),Pustaka Bangsa Press, Medan, 2010.

Rasjid, Sulaiman,Fiqih Islam,Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2013 Rofiq, Ahmad,Fiqih Mawaris, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002

_____________,Hukum Islam di Indonesia,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995 _,Hukum Waris Islam di Indonesia,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000 Sabiq, Said,Fiqhus Sunnah,Juz IV, Cet. I, Darul Kitab Al-Arabiyah, Beirut, 1971 Sabiq, Al-Sayyid,Fiqh Al-Sunnah,Dar al-Fiqri, Beirut Libanon


(5)

Sembiring, Pahing, Hukum Islam, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 1961

Siddik, Abdullah, Hukum Kewarisan dan Perkembangan di Seluruh Dunia Islam, Wijaya, Jakarta, 1984

Sitompul, Anwar, Fara’id Hukum Islam Dalam Waris Islam dan Masalahnya, Al-Ikhlas, Surabaya, 1984

Sisworo, Soejono Dirdjo, Sosiologi Hukum, Studi Tentang Perubahan Hukum dan Sosial,Rajawali Pers, Jakarta, 1983

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Pres, Jakarta, 1982

________________, Beberapa Permasalahan Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia,UI Press, Jakarta, 1975

________________, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,Rajawali Pers, Jakarta, 2010

Sugono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996

Suhardi, K Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2007.

Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia Dalam Prespektif Islam, Adat, dan BW, PT Refika Aditama, Bandung, 2011

Teungku, Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Fiqih Mawaris, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2001

Thaib, Hasballah, Hukum Benda Menurut Islam, Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, Medan, 1992

______________, Perbandingan Mazhab Dalam Ilmu Hukum Islam, Fakultas Pascasarjana Konsentrasi Hukum Islam Universitas Sumatera Utara, Medan, 1999

Thalib, Sajuti,Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1981 Usman, Rachmadi, Hukum Kewarisan Islam Dalam Dimensi Kompilasi Hukum

Islam,Mandar Maju, Bandung, 2009

Usman, Suparman, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2002


(6)

_______________, Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris, Gaya Widya Pratama, Jakarta, 2002

Wisman, J. J. J. M.,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Jilid I,Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996

Zamakhsyani, Teori-Teori Hukum Islam Dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, Citapustaka Media Perintis, Bandung, 2013

Zaud, Abdul Aziz Mohammed, The Islamic Law of Bequest, Scorpion Publishing, Ltd, London, 1986

Zuhdi, Masyfuk, Pembaharuan Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam, PT. A. Jawa Timur, Surabaya, 1995

B. Peraturan Perundang-Undangan

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991, tentang Kompilasi Hukum Islam.

Undang-Undang Nomor. 14 Tahun 1970, tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor. 2 Tahun 1990, tentang Petunjuk Pelaksanaan Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989.

Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama. C. Internet

Misbachul Munir, Batasan Ahli Waris Pengganti Menurut Pasal 185 Kompilasi

Hukum Islam Dalam Artikel PA Lumajang,

http:www.palumajang.net/info.php?page=artikel-detail.html&artikel.id, 11 April 2014


Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Hukum Islam Tentang Penetapan Hak Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris Non Muslim”(Studi Putusan No. 0141/Pdt.P/2012/PA.Sby)

3 114 148

KAJIAN YURIDIS TENTANG WASIAT WAJIBAH KEPADA AHLI WARIS NON MUSLIM MENURUT HUKUM WARIS ISLAM

0 3 18

KAJIAN YURIDIS TENTANG WASIAT WAJIBAH KEPADA AHLI WARIS NON MUSLIM MENURUT HUKUM WARIS ISLAM (Studi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 368. K/AG/1995)

0 14 18

KAJIAN YURIDIS TENTANG WASIAT WAJIBAH KEPADA AHLI WARIS NON MUSLIM MENURUT HUKUM WARIS ISLAM (Studi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 368. K/AG/1995)

0 5 18

ANALISIS YURIDIS PEMBAGIAN HARTA WARIS MELALUI WASIAT WAJIBAH BAGI AHLI WARIS BEDA AGAMA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESIA (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 16K/AG/2010).

1 4 16

TERHADAP WASIAT WAJIBAH DALAM PERSPEKTIF FIKIH ISLAM (STUDI

0 1 13

BAB II DASAR-DASAR PENGATURAN WARISAN ANTARA SEORANG MUSLIM DENGAN NON MUSLIM DALAM HUKUM ISLAM A. Pembagian Warisan Dalam Pandangan Hukum Islam - Analisis Hukum Islam Tentang Penetapan Hak Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris Non Muslim”(Studi Putusan No.

0 0 41

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Islam Tentang Penetapan Hak Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris Non Muslim”(Studi Putusan No. 0141/Pdt.P/2012/PA.Sby)

0 0 23

Analisis Hukum Islam Tentang Penetapan Hak Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris Non Muslim”(Studi Putusan No. 0141/Pdt.P/2012/PA.Sby)

0 0 17