pokok perjanjian tersebut. Tetapi ada pengecualiannya terhadap undang-undang yang dibutuhkan bahwa formalitas tersebut untuk beberapa perjanjian baru dapat
berlaku dengan suatu formalitas tertentu yang dinamakan perjanjian formal. Misalnya perjanjian perdamaian yang dilakukan secara formal.
3. Asas-asas Hukum Perjanjian
Istilah asas merupakan terjemahan dari bahasa latin principium, bahasa Inggris principle dan bahasa Belanda beginsel, yang artinya yaitu sesuatu yang
menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat. Ada dua hal yang terkandung dalam makna asas yakni, pertama, asas
merupakan pemikiran, pertimbangan, sebab yang luas atau umum, abstrak the broad reason. Kedua, asas merupakan hal yang mendasari adanya norma hukum
the based of rule of law. Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang
dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak, oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata diberikan
berbagai asas umum, yang merupakan pedoman atau patokan serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga
pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya atau pemenuhannya. Ada beberapa asas umum
Hukum Perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni :
Universitas Sumatera Utara
a. Asas personalia
Asas personalia dijumpai pada Pasal 1315 KUH Perdata yang berbunyi : “pada umumnya tidak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau
meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”. Dari rumusan tersebut dapat dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat
oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subjek hukum pribadi, hanya dan akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.
41
1 Untuk dan atas namanya serta kepentingan dirinya sendiri. Dalam
hal ini, maka ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata berlaku baginya secara pribadi ;
Meskipun secara sederhana dikatakan bahwa ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata menunjuk pada asas personalia, namun ketentuan pasal tersebut juga
menunjuk pada kewenangan bertindak dari seseorang yang membuat atau mengadakan perjanjian.
Pada umumnya sesuai dengan asas personalia, yang diberikan dalam Pasal 1315 KUH Perdata, masalah kewenangan bertindak seseorang sebagai individu
dapat dibedakan atas :
2 Sebagai wakil dari pihak tertentu ;
3 Sebagai kuasa dari orang atau pihak yang memberikan kuasa.
41
Salim, Op.Cit, hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
b. Asas konsensualitas
Menurut asas ini, perjanjian sudah timbul dan mengikat sejak tercapainya konsensus atau kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai objek perjanjian
meskipun kesepakatan itu telah dicapai secara lisan semata-mata. Asal dari kesepakatan mengenai objek perjanjian ini dapat ditetapkan apa yang menjadi hak
dan kewajiban dari kedua belah pihak. Misalnya dalam perjanjian jual beli,
42
perjanjian dianggap sudah lahir sejak adanya penawaran atas barang dari penjual, dan oleh pembeli penawaran tesebut disetujui saat itulah dianggap perjanjian telah
dilahirkan.
Asas konsensualitas memperlihatkan, bahwa adanya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua atau lebih orang telah mengikat dan karenanya telah
melahirkan kewajiban bagi salah satu pihak dalam perjanjian tersebut. Segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau konsensus, meskipun
kesepakatan tersebut telah tercapai secara lisan semata-mata. Ini berarti pada prinsipnya perjanjian yang mengikat dan berlaku sebagai perikatan bagi para
pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas, walau demikian untuk menjaga kepentingan pihak debitur atau yang berkewajiban memenuhi prestasi
diadakanlah bentuk-bentuk formalitas dipersyaratkan adanya suatu tindakan nyata tertentu. Ketentuan yang mengatur asas ini dapat terlihat pada pasal
mengenai sahnya suatu perjanjian yakni Pasal 1320 KUH Perdata.
42
Kansil, Hukum Dagang Indonesia Buku Ke satu Hukum Dagang Menurut KUHD dan KUH Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, 1994, hal. 195.
Universitas Sumatera Utara
c. Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya ”. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk : “1 Membuat atau tidak membuat suatu perjanjian ;
2 Mengadakan perjanjian dengan siapapun ; 3 Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya ;
4 Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan”. Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham
individualisme yang secara embrional lahir pada zaman yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat pada zaman renaissance melalui
antara lain ajaran-ajaran Hugo de Groth, Thomas Hobes, John Locke dan Rosseau.
43
Seperti halnya asas konsensualitas, asas kebebasan berkontrak menemukan dasar hukumnya pada rumusan Pasal 1320 KUH Perdata. Jika asas konsensualitas
dasar keberadaan pada poin pertama pasal tersebut yaitu kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, maka asas kebebasan berkontrak dasarnya dalam rumusan
poin keempat Pasal 1320 KUH Perdata yaitu suatu sebab yang tidak terlarang.
43
Salim,Op.Cit.hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
Dengan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan
atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah suatu perbuatan yang terlarang,
seperti yang termuat dalam Pasal 1337 KUH Perdata yaitu : “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan
kesusilaan atau ketertiban umum ”. Asas kebebasan berkontrak ini memungkinkan para pihak untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang
melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang.
44
d. Asas pacta sunt servanda perjanjian berlaku sebagai undang-undang
Asas pacta sunt servanda perjanjian berlaku sebagai undang-undang diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang menyatakan : “suatu
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Pasal tersebut merupakan konsekuensi logis dari ketentuan
Pasal 1233 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa “setiap perikatan dapat lahir dari undang-undang maupun karena perjanjian”. Jadi perjanjian adalah sumber
perikatan. Sebagai perikatan yang dibuat secara sengaja atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui oleh para
pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah dikehendaki oleh mereka. Dalam hal ini salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakannya,
44
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip KeterbukaanAanvulend Recht Dalam Hukum Perdata, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006, hal. 275
Universitas Sumatera Utara
maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksakan pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku.
45
Setiap kreditur yang tidak memperoleh pelaksanaan kewajiban oleh debitur dapat berhak memaksakan pelaksanaannya dengan meminta bantuan
Suatu prestasi untuk melaksanakan suatu kewajiban selalu memiliki dua
unsur penting. Pertama, berhubungan dengan tanggung jawab hukum atas
pelaksanaan prestasi tersebut oleh debitur schuld. Dalam hal ini ditentukan siapa debitur yang berkewajiban untuk melaksanakan prestasi, tanpa mempersoalkan
apakah pemenuhan kewajiban tersebut dapat dituntut oleh kreditur yang berhak
atas pelaksanaan kewajiban tersebut. Kedua, berkaitan dengan
pertanggungjawaban pemenuhan kewajiban, tanpa memperhatikan siapa debiturnya haftung. Pada umumnya dalam setiap perikatan, pemenuhan prestasi
yang berhubungan dengan kedua hal tersebut terletak pada debitur, berarti debitur yang berkewajiban untuk memenuhi perikatan adalah juga yang seharusnya dapat
dimintakan pertanggungjawabannya untuk memenuhi kewajiban yang dibebankan padanya didasarkan yang lahir dari hubungan hukum diantara pihak dalam
perikatan tersebut. Dalam kontrak demikian, berarti suatu perjanjian tanpa haftung adalah
perjanjian yang tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh kreditur. Perjanjian yang dapat dilaksanakan adalah perjanjian yang pelaksanaannya ditentukan oleh
undang-undang suatu negara.
45
Gunawan Widjaja, Op.cit, hal. 282
Universitas Sumatera Utara
pada pejabat negara yang berwewenang, yang akan memutuskan dan menentukan sampai seberapa jauh suatu prestasi yang telah gagal, tidak sepenuhnya atau tidak
sama sekali dilaksanakan, atau dilaksanakan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan masih dapat dilaksanakan, semuanya dengan jaminan harta
kekayaan debitur.
4. Berakhirnya Perjanjian