81
efisien. Normalisasi ini berjalan dengan lebih mudah seiring dengan membaiknya hubungan antara Indonesia dengan RRC.
43
. Persoalan asimilasi yang keempat adalah keberadaan Bakom PBK. Bakom
PKB ini menjadi kelanjutan dari LPKB. Akan tetapi, badan ini sudah tidak memiliki taring dan sering hanya dijadikan alat untuk melaksanakan program-
program yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pembauran. Untuk itu, Bakom PKB akhirnya dibubarkan. Maka, semakin jelas bahwa etnis Tionghoa
tidak dilibatkan dalam memutuskan masalah pembauran etnis Tionghoa di Indonesia.
44
3. Stereotip dan kerusuhan Anti Cina
3.1. Stereotip yang dikenakan kepada etnis Tionghoa Kalau kembali merunut apa yang telah dibuat pada masa pemerintahan
Orde Baru, ada beberapa stereotip yang dikenakan kepada etnis Tionghoa. Berikut ini adalah beberapa stereotip yang bisa ditangkap. Dari peristiwa bahwa etnis
Tionghoa mulai dikejar dan diasingkan semenjak peristiwa G-30S, kita bisa melihat bahwa etnis Tionghoa dikaitkan dengan komunis. Cina dekat dan
mendukung komunisme. Ini terjadi karena dalam kenyataannya RRC memang sering mendukung partai-partai komunis di beberapa negara Asia Tenggara. Pada
zaman Soekarno menjadi Presiden, Soekarno begitu dekat dengan partai komunis sehingga mengeluarkan gagasan NASAKOM. Selain itu, Soekarno juga
43
Ibid., hal. 194-195.
44
Ibid., hal. 198-204.
Universitas Sumatera Utara
82
membangun poros Jakarta-Peking. Partai komunis itu didukung oleh RRC. Maka, muncul pandangan bahwa etnis Tionghoa adalah komunis, atau minimal dekat
dengan komunisme. Etnis Tionghoa juga disebut sebagai orang asing. Mereka bukan menjadi
salah satu suku atau bagian dari bangsa Indonesia. Mereka bukan pribumi. Pribumi diartikan sebagai kelompok yang memiliki daerah mereka sendiri.
45
Sebagai contoh, kita bisa menyebut orang Batak, dan kita bisa menunjukkan di manakah tanah Batak itu. Kita menunjuk orang Bugis, dan orang Bugis itu berasal
dari sebuah daerah Bugis. Orang Cina bukanlah tuan rumah di Indonesia. Nasion Indonesia dimiliki oleh orang pribumi, sementara mereka bukanlah orang pribumi.
Dengan demikian, meskipun mereka adalah WNI, mereka tetaplah orang asing. Supaya mereka bisa menjadi satu bagian, mereka harus betul-betul membaur.
Dalam kenyataannya, mereka dituntut untuk berasimilasi secara total. Di kalangan orang pribumi, berkembang stereotip bahwa etnis Tionghoa adalah
penguasa dalam bidang ekonomi. Etnis Tionghoa dipersepsi sebagai kelompok yang memiliki tingkat ekonomi lebih tinggi dan terpisah dari pribumi.
46
Ini menimbulkan kecemburuan bagi para pengusaha pribumi. Karena kecemburuan
itu, para pengusaha pribumi mengusulkan pembatasan terhadap kegiatan ekonomi etnis Tionghoa.
45
Leo Suryadinata, “Etnik Tionghoa, Pribumi Indonesia dan Kemajemukan: Peran Negara, Sejarah, dan Budaya dalam Hubungan Antaretnis”, www….., hal. 2.
46
Ibid., hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
83
Pemerintah kemudian
juga mengeluarkan keputusan atau larangan bagi
etnis Tionghoa untuk bergerak dalam bidang ekonomi. Pada persoalan agama, budaya, dan ada istiadat, pemerintah melihat bahwa semua hal itu memiliki
afinitas dengan tanah leluhur mereka. Karena RRC mendukung komunisme, maka segala yang mengarah pada tanah leluhur yaitu Cina adalah hal yang berbahaya
bagi pembauran asimilasi. Oleh karena itu, dapat dilihat adanya berbagai macam peraturan yang isinya adalah melarang perkembangan budaya, adat, dan agama
Cina. Sebagai warga masyakarat, etnis Tionghoa dikenal dan dipahami sebagai
orang yang hidup bergerombol di dalam kelompok dan daerah tersendiri. Mereka tidak tinggal bersama dengan masyarakat pribumi kebanyakan. Mereka biasanya
dikenal tinggal di kawasan elit bersama dengan etnis-etnis tionghoa lainnya. Sementar itu, kalau mereka tinggal dimasyarakat, mereka dikenal sebagi orang
yang tidak pernah keluar dan tidak aktif dalam kegiatan masyarakat. Akibat dari politik enclave yang diterapkan oleh Belanda, etnis Tionghoa lebih sering
ditemukan tinggal di daerah pecinan. Ini menimbulkan perasaan keterasingan antara etnis Tionghoa dengan pribumi.
3.2. Berbagai kerusuhan anti Cina Sikap anti Cina sebetulnya sudah beredar sejak lama. Bukan baru-baru ini
saja. Sikap anti Cina itu muncul karena berbagai stereotip yang telah digemborkan dan akhirnya menguasai pemikiran masyarakat. Di sini, kita akan mencoba
melihat berbagai kerusuhan anti Cina yang terjadi selama periode Orde Baru.
Universitas Sumatera Utara
84
Dengan melihat itu semua, kita bisa melihat konstelasi antara peraturan yang dibuat oleh pemerintah dengan stereotip yang berkembang dari masyarakat
terhadap etnis Tionghoa. a. Kerusuhan Ujung Pandang 15-19 September 1997.
47
Seorang anak wanita bernama Anni dibunuh oleh Benny yang adalah orang gila. Benny kemudian dikeroyok massa. Tetapi, massa mulai bergerak dan
kemudian memporak-porandakan toko-toko serta pasar yang ada di kota. Komnas Ham menyimpulkan bahwa kerusuhan Ujungpandang terjadi bukan semata oleh
pembunuhan Anni, tetapi akibat kesenjangan antargolongan dalam masyarakat. Kerusuhan ini berlangsung selama empat hari. Sasaran dari amuk masa adalah
toko-tokoataupusatperdaganganmiliketnisTionghoa. b. Kerusuhan Mei 1998 Jakarta
48
Kerusuhan terjadi dengan pengrusakan terhadap toko-toko, hotel, maupun tempat usaha milik orang Cina. Tetapi, kerusuhan itu juga memakan korban yaitu
para wanita dari etnis Tionghoa. Wanita itu dilecehkan dan dirampas kewanitaannya dengan cara yang paling biadab. Wanita menjadi sarana untuk
meneror.
49
Ini menimbulkan trauma tersendiri karena mereka akan sangat ketakutan untuk melaporkan kekejian semacam itu. Di sini, diduga bahwa konflik
47
Abdul Baqir Zein, Etnis Cina dalam Potret Pembauran di Indonesia, Jakarta: Prestasi Insan Indonesia, 2000, hal. 12-22.
48
Ibid., hal. 22-28.
49
Karlina Leksono, “The May 1998 Tragedy”, dalam Centre for the Study of the Chinese Southern Diaspora CSCSD, Workshop Chinese Indonesians: The Way Ahead, 15-16 February 1999 Coombs Lecture
Theatre, RSPAs, ANU.
Universitas Sumatera Utara
85
ini pertama-tama terjadi karena kepentingan politik. Akhirnya, banyak etnis Tionghoa yang kemudian lari keluar negeri.
c. Kerusuhan Bagansiapiapi – Riau, Selasa, 15 September 1998.
50
Awalnya Zulkifli, 17 tahun, yang berboncengan dengan temannya, Budi Hartono, disenggol oleh dua pengendara sepeda motor, masing-masing Supardi
alias A Can, 17 tahun, dan Munir alias A Bok, 18 tahun. A Can dan A Bok tidak kalah gesit. A Can dan A Bok langsung menyerang dengan menggunakan kayu
dan mengenai wajah Zulkifli hingga dia tersungkur tidak sadarkan diri. Untuk antisipasi hal-hal yang tidak diharapkan, muspika dan camat mengupayakan
perdamaian. Terjadilah perdamaian di antara dua belah pihak. Sehari kemudian, terdengar isu bahwa Zulkifli mati. Akibatnya, senin 14 September 1998, sekitar
dua ratus warga bergerak ke pusat kota dan menuntut agar A Bok dan A Can ditangkap dan diproses secara hukum. Selasa malam, massa kembali berkumpul di
pusat kota dan mulai merusak toko-toko, menjarah, membakar, dan sebagainya. Konflik seperti ini juga dulu pernah terjadi yaitu pada 12 Maret 1946.
3.3. Akibat dari berbagai stereotip dan kerusuhan anti Cina Berbagai macam stereotip dikenakan pada etnis Tionghoa. Stereotip itu
semakin lama justru membuat mereka menjadi semakin terdesak. Ketika mereka merasa terdesak, mereka akan saling mendukung. Dalam kondisi itu, relasi antara
sesama etnis Tionghoa justru akan semakin kuat. Mereka akan semakin takut
50
Ibid., hal. 28-30
.
Universitas Sumatera Utara
86
untuk keluar dari kepompong mereka. Akibatnya, sikap eksklusif mereka justru akan semakin menguat. Dan sebagai counter-nya, mereka akan berusaha bangun
dengan sekuat tenaga. Sering kali, setelah mereka bisa bangun, mereka kemudian bisa jadi balik menyerang dengan berbagai macam sarana dan kesempatan yang
mereka punyai. Dengan kata lain, asimilasi total justru membawa pada perasaan tertekan. Asimilasi tidak boleh dipaksakan. Asimilasi adalah sebuah proses wajar.
Asimilasi bisa berjalan dengan baik jika mereka diberi rasa aman. Tanpa rasa aman, asimilasi tidak akan terjadi. Yang terjadi justru adalah eksklusifitas yang
semakin tinggi. Ketika eksklusivitas semakin tinggi, kerusuhan menjadi tak tertanggungkan.
Setelah kerusuhan itu, banyak orang tionghoa yang kehilangan segala- galanya. Mereka kehilangan harapan, harga diri sebagai manusia, harga diri
sebagai wanita, dan juga harta mereka. Dalam situasi itu, tidak dipungkiri bahwa banyak warga etnis tionghoa yang kemudian lari ke luar negeri. Bahkan,
menjelang kampanye pemilu 1999, mereka banyak yang mengantisipasi dengan pergi ke luar negeri. Mereka trauma dengan peristiwa Mei 1998 di mana mereka
menjadi korban.
4. Wajah Etnis Tionghoa Indonesia di Era Reformasi