86
untuk keluar dari kepompong mereka. Akibatnya, sikap eksklusif mereka justru akan semakin menguat. Dan sebagai counter-nya, mereka akan berusaha bangun
dengan sekuat tenaga. Sering kali, setelah mereka bisa bangun, mereka kemudian bisa jadi balik menyerang dengan berbagai macam sarana dan kesempatan yang
mereka punyai. Dengan kata lain, asimilasi total justru membawa pada perasaan tertekan. Asimilasi tidak boleh dipaksakan. Asimilasi adalah sebuah proses wajar.
Asimilasi bisa berjalan dengan baik jika mereka diberi rasa aman. Tanpa rasa aman, asimilasi tidak akan terjadi. Yang terjadi justru adalah eksklusifitas yang
semakin tinggi. Ketika eksklusivitas semakin tinggi, kerusuhan menjadi tak tertanggungkan.
Setelah kerusuhan itu, banyak orang tionghoa yang kehilangan segala- galanya. Mereka kehilangan harapan, harga diri sebagai manusia, harga diri
sebagai wanita, dan juga harta mereka. Dalam situasi itu, tidak dipungkiri bahwa banyak warga etnis tionghoa yang kemudian lari ke luar negeri. Bahkan,
menjelang kampanye pemilu 1999, mereka banyak yang mengantisipasi dengan pergi ke luar negeri. Mereka trauma dengan peristiwa Mei 1998 di mana mereka
menjadi korban.
4. Wajah Etnis Tionghoa Indonesia di Era Reformasi
Sikap politik para presiden RI mempengaruhi kehidupan orang Tionghoa, dengan kebijakan yang mereka keluarkan. Kehidupan orang Tionghoa sebenarnya
banyak mengalami perubahan. Sebagai perbandingan di era pemerintahan
Universitas Sumatera Utara
87
presiden Suharto, ada kebijakan yang melarang segala hal yang berkaitan dengan Tionghoa, mulai dari penggunaan nama, bahasa dan koran mandarin, sekolahan
denganberbahasamandarin,dsb.
51
Apalagi etnis ini masih dianggap sebagai orang asing, yang secara politik dapat dimanfaatkan oleh para pemimpin Indonesia. Saat presiden Suharto sering
beruilang-ulang dikatakan golongan minoritas Tionghoa mesti melakukan pembauran Suharto sebenarnya menganggap masyarakat Indonesia harmonis. Jika
terjadi kesenjangan kaya-miskin karena ada kapitalis Tionghoa. Kalau pembangunan kurang lancar karena kurang partisipasi warga Tionghoa yang
kurang sadar sebagai warga negara. Di lain sisi konglomerat Tionghoa dipandang sebagai etalase yang menampilkan wajah ekonomi Indonesia yang maju, namun
sekaligus sebagai kambing hitam politik. Ada pula pandangan ekstrem mengatakan, yang bikin kacau ekonomi juga konglomerat yang dapat fasilitas dari
pejabat karena kedekatan mereka, misal mendapat kemudahan kredit perbankan.
52
Kenyataannya, di kalangan para muda Tionghoa sebenarnya banyak mahasiswa yang terjun di bidang politik, misalnya Ulung Rusman dengan gagah
berani berdiri dibaris depan sebagai mahasiswa angkatan Reformasi dalam era pergerakan reformasi tahun 1998. Ester Indahyani Yusuf dan Surya Candra
menggeluti profesi advokad gratisantanpa bayaran di LBH Jakarta.
53
Mahasiswa yang terlibat dalam pergerakan mahasiswa tahun 1998-1999 itu mendirikan
51
Ivan Wibowo ed, Cokin? So What Gitu Loh, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008, hal.v
52
Ibid, hal. 436
53
Ibid, hal.xii.
Universitas Sumatera Utara
88
Jaringan Tionghoa Muda JTM yang terdiri dari berbagai elemen seperti peneliti, pengusaha,mahasiswa,LSM.
Pada pemerintahan transisi Presiden Habibie, etnis Tionghoa mulai sedikit demi sedikit diakui keberadaannya sebagai warga bangsa yang sama dengan
warga lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan mulai dihapuskannya kebijakan yang berbau stigma terhadap etnis Tionghoa, diantaranya adalah penggunaan kata
Tionghoa untuk mengganti sebutan ’cina’. Meski demikian, tetap saja ada beberapa menteri pada era Habibie seperti Menteri Koperasi, Adi Sasono yang
menggulirkan semangat ekonomi kerakyatan, dituduh anti-Tionghoa. Kebijakannya membuat kalangan Tionghoa was-was, karena berimplikasi
munculnya sentimen anti-Tionghoa dan terjadinya dikotomi antara kaum pribumi dan non pribumi. Agar isu ini tidak membangkitkan sentimen anti-Tionghoa yang
memicu tindak kekerasan terhadap etnis cina seperti di pra reformasi, maka dikeluarkanlah Inpres no 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak dibutuhkan lagi. Pada era pemerintahan Presiden Gus Dur pun kran demokrasi dan
kesetaraan sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang sama dengan etnis lainnya pun terbuka lebih lebar lagi bagi etnis Tionghoa, yakni misalnya: memasukkan
penanggalan tahun baru Imlek sebagai hari libur nasional. Meski kadang masih dipahami fakultatif, kebudayaan Barongsai kembali marak. Bahkan naga Cap Go
Meh Kalimantan Barat dapat memecahkan rekor Muri Kompas 5 Maret 2007.
Universitas Sumatera Utara
89
Di era pemerintahan Presiden Megawati, terdapat politisi dalam kabinet Mega yang berasal dari warga Tionghoa, seperti Kwik Kian Gie.
Keterlibatan generasi muda Tionghoa dalam kancah politik juga tidak disangsikan lagi misal Wahyu Effendi dan Suma Mihardja yang terlibat aktif sejak
awal dalam penyusunan Undang-undang nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan Undang-Undang No. 23 tahun 2006.
Di era pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono muncul dua Undang- Undang yang makna keberadaan Undang-Undang itu begitu penting bagi warga
Tionghoa. Pada bulan Julii 2006, Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia disahkan DPR. Pada Pasal 2 dan penjelasannya
didefinisikan bahwa orang Tionghoa adalah orang Indonesia Asli. Peraturan ini kemudian disusul dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan. Pasal 106 Undang-Undang tersebut terdapat usaha untuk mencabut sejumlah peraturan pencatatan sipil zaman kolonial Belanda.
Salah satu contoh lain bagaimana era pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono mulai mengakui keberadaan etnis Tionghoa sebagai warga bangsa
secara penuh adalah anjuran tegas beliau pada suatu saat perayaan hari Imlek bahwa perkawinan umat Konghucu agar dicatatkan Oleh Kantor Catatan Sipil. Ini
adalah sikap positif dan kebangsaan era pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
54
54
Ibid; hal. 366
Universitas Sumatera Utara
90
Meski begitu, tetap saja ada kebijakan-kebijakan ambigu yang diberlakukan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam Republika
25 Februari 2008 presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam perayaan Imlek menandaskan dihapusnya diskriminasi antara Indonesia asli dan bukan asli. Status
kewarganegaraan Tionghoa di kedua Undang-Undang ini agak berbeda. Di Undang-Undang Kewarganegaraan, warga etnis Tionghoa disebut sebagai
warganegara Indonesia asli, namun untuk urusan administrasi, warga Tionghoa tidak termasuk dalam rumusan” asli”. Secara politik inilah yang disebut dengan
pasal-pasal karet, misalnya suatu aturan Undang-Undang tentang Pendidikan Nasional masih harus dijelaskan dengan Keppres dan PerMen. Kebijakan
Kewarganegaraan etnis Tionghoa dalam UU Kewarganegaraan Juli 2006 sudah cukup bagus namun dalam UU Administrasi Kependudukan yang keluar
setelahnya, terdapat pasal yang seolah-olah memberi definisi” warganegara asli” yang berbeda bagi etnis Tionghoa. Dalam bingkai demokrasi, produk UU ini
sudah mengalami perubahan dibandingkan era Orde Baru, semangat anti- Tionghoa sebenarnya sudah berkurang.
Pasca Reformasi, warga Tionghoa pun mulai memiliki kesempatan yang terbuka lebar untuk terjun dalam kancah kehidupan sosial ekonomi politik. Salah
satu contoh keterlibatan mereka dalam kehidupan politik bangsa ini tampak dalam diri para politikus seperti Kwik Kian Gie dari Partai PDI yang sempat jadi
Menteri dan Alvin Lie dari partai Demokrat. Mungkin inilah saatnya bagi warga Tionghoa untuk membuktikan diri dalam memberi kontribusi positif bagi semua
Universitas Sumatera Utara
91
aspek kehidupan seperti Ignatius Haryanto, Robertus Robert yang sering menulis diberbagai media, misalnya di majalah Mingguan Hidup tanpa harus secara
langsung mereka menulis tema tentang Tionghoa, ataupun Christoper Nugroho yang dipercaya menangani urusan sumber daya manusia di partai Demokrat.
Sistem Multi Partai setelah reformasi juga memberi peluang warga Tionghoa untuk berkecimpung dalam partai politik misalnya: dengan munculnya partai
Tionghoa. Kesadaran baru akan partisipasi sosial, ekonomi dan politik akan membuka wawasan berpikir seluruh warga Tionghoa. Untuk itu, sebuah
transformasi nilai–nilai hidup yang radikal amat diperlukan agar warga Tionghoa mendapatkan kesejahteraan dan kepuasan batin yang adilsetara dengan warga
yang lain.
5. Wajah Etnis Tionghoa Indonesia Pasca Reformasi: Menyembuhkan Luka Sejarah