Konsolidasi sebagai Satu Bangsa Indonesia: Sebuah Usaha Terus Menerus

95

6. Konsolidasi sebagai Satu Bangsa Indonesia: Sebuah Usaha Terus Menerus

Meski pemerintah pasca Reformasi telah menampakkan usaha-usaha konkret yang mendukung integrasi etnis Tionghoa sebagai bagian dari bangsa Indonesia dengan memberikan pengakuan simbolik terhadap eksistensi etnis Tionghoa, namun usaha ini baru merupakan sebuah permulaan. Konsolidasi masyarakat sebagai sebuah bangsa yang plural harus terus menerus diupayakan. Selain menggunakan strategi pengakuan simbolik secara politis, pendekatan kebudayaan hendaknya menjadi salah satu agenda integrasi dan konsolidasi yang mutlak diperlukan. Proses integrasi dan konsolidasi dengan menggunakan pendekatan budaya ini bertujuan agar transformasi sosial budaya sebagai sebuah bangsa yang plural akan semakin relevan dan signifikan. Hal ini dimaksudkan pula sebagai sebuah usaha untuk menyembuhkan luka-luka batin atas sejarah bangsa yang telah begitu sering dilanda pertikaian politik dan konflik etnisgolongan. Adapun pendekatan kebudayaan yang dapat dilakukan antara lain: 1. Pendidikan mulai berorientasi pada pembentukan kesadaran etis sebagai bangsa Indonesia yang multikultural. Proses ini sebagai usaha konsientisasi terhadap realitas bangsa Indonesia yang plural dan kesadaran untuk bekerja sama dengan tulus dengan ’yang lain’. Selain itu, pendidikan yang berorientasi pada kesadaran etis akan realitas bangsa yang pluriform ini akan memungkinkan setiap orang untuk kritis terhadap Universitas Sumatera Utara 96 adanya bentuk-bentuk diskriminasi dan strategi ’kambing hitam’ yang mungkin terjadi akibat dari kepentingan elit politikgolongan tertentu. 2. Pemerintah menjamin kebebasan ekspresi khas dari suatu realitas budaya etnis tertentu atau golongan tertentu yang disebut sebagai kaum ’minoritas’. Hal ini dimaksudkan sebagai sebuah usaha untuk mengikis sikap primordialisme dan sektarianisme yang mulai muncul pula di era pasca reformasi. 3. Memberlakukan diskriminasi secara positif bagi setiap entitas budaya yang dinilai sebagai budaya minoritas. Diskriminasi secara positif ini bertujuan untuk mengangkat dan memberikan keadilan bagi kaumkelompok tertentu yang selama ini dipandang sebagai ’minoritas’. Hal ini dilakukan untuk memberdayakan etnis minoritas, termasuk di dalamnya etnis Tionghoa agar lebih banyak terlibat dalam dinamika hidup masyarakat. 4. Meminimalisasi peran keterlibatan elit pemerintah dan militer hanya dalam pelayanan publik masyarakat Indonesia yang plural. Usaha ini dimaksudkan agar setiap kelompok masyarakat tertentu tidak terjebak dalam primordialisme yang terjadi atas kepentingan politik elit tertentu. Hal ini merupakan sebuah usaha untuk menyembuhkan luka sejarah bangsa Indonesia yang sebagian besar disebabkan oleh pertikaian kepentingan elit politik tertentu dengan menggunakan militer sebagai alat kekuasaan untuk merepresi golongan tertentu. Universitas Sumatera Utara 97 5. Revitalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa. Hal ini menjadi agenda strategi integrasi budaya yang amat signifikan dan relevan bagi realitas masyarakat Indonesia pasca reformasi. Hal ini diperlukan demi menunjang proses demokratisasi yang lebih etis serta memberi jaminan terhadap hak-hak asasi manusia yang hidup di negara ini. Menghindari euforia atas kebebasan terhadap etnis Tionghoa yang telah mulai digulirkan. Euforia ini dapat menyebabkan munculnya rasa superior yang berlebihan dan primordialisme dalam bentuk lain. Mulai terbukanya kran demokrasi dan kesejajaran bagi etnis Tionghoa era pasca reformasi ini harus ditanggapi secara positif oleh orang Tionghoa sendiri dengan semakin berjuang bagi kemajuan bangsa secara umum, tanpa harus menyembunyikan ataupun mengagung-agungkan identitas ke-Tionghoa-an mereka. Demikianlah, integrasi bangsa Indonesia dengan menggunakan pendekatan budaya ini diusahakan sebagai sebuah wujud rekonsiliasi sosial yang relevan serta signifikan dengan realitas bangsa ini beserta sejarah yang telah membentuknya. Secara khusus lagi, bagi etnis Tionghoa, perlu diadakan penyadaran yang berkelanjutan tentang posisi serta eksistensi etnis Tionghoa sebagai bagian yang sama dan sejajar dengan etnis-etnis yang lainnya dalam satu bangsa Indonesia. Dalam hal ini, luka-luka sejarah hendaknya tidak menjadikan primordialisme kelompok semakin kental tetapi semakin membuka ke arah rekonsiliasi sosial yang m emerdekakan. Realitas pluriformitas lantas menjadi Universitas Sumatera Utara 98 kekayaan yang melengkapi Indonesia sebagai sebuah bangsa; sementara luka sejarah atas diskriminasi dan konflik sosial yang terjadi dipandang sebagai proses pembelajaran ke arah tercapainya konsolidasi kebangsaan yang berkarakter multikultur nan adil, meski perlu disadari pula bahwa usaha itu tidak dapat sekaligus memberikan hasil yang tampak. Usaha untuk mendukung konsolidasi sebagai satu bangsa Indonesia ini harus terus menerus dilakukan, terlebih bagi kaum minoritas seperti etnis Tionghoa.

H. Kesetaraan Dan Pluralisme Dalam Undang-Undang Kewarganegaraan

Ratifikasi Undang-Undang Kwarganegaraan tahun 2006 pada 11 Juli oleh DPR dianggap sebagai tidankan yang revolusioner oleh berbagai kalangan karena Undang-Undang baru ini menggantikan Undang-Undang Kewarganegaraan yang sudah berumur 48 tahun. Diskriminasi rasial terhadap etnis Cina secara sistematis terus berlangsung selama puluhan tahun dengan alat sistem hukum, seperti Undang-Undang dan peraturan dalam bentuk kebijakan pemerintah, termasuk surat keputusan Presiden, Instruksi Presiden, dan surat keputusan Menteri. 56 Sentimen anti-Cina tumbuh dengan cepat di Indonesia setelah tuduhan percobaan kudeta oleh partai komunis Indonesia pada 30 September 1965 Indonesia menuduh Beijing berada dibelakang percobaan kudeta. Secara 56 Frans H Winarta, The Jakarta Post, Kamis, 28 september 2006, hal. 6 Universitas Sumatera Utara