Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

6

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ketika Republik Indonesia didirikan pada Agustus 1945, secara yuridis formal semua warga yang berada di wilayah Republik Indonesia secara politis “menjadi” seorang warga negara Republik Indonesia, baik dia keturunan “asli”, “indo”, “timur asing” maupun asal-usul jenis ras, suku, agama, daerah, atau lingkungan adat tertentu. Namun, di luar jangkauan tekad politis atau yuridis formal, kehidupan warga negara Indonesia “keturunan” Tionghoa, Arab, Indo- Eropa atau “non-pribumi lainnya tetap menghadap masalah dalam kehidupan sehari-hari. Secara khusus, warga negara Indonesia etnis Cina memikul beban sejarah, beban mitos, dan beban nyata kehidupan sehari-hari sejak proklamasi kemerdekaan hingga sekarang ini. Beban sejarah adalah akibat warisan pengalaman kolonial tatkala sebagai Golongan Timur Asing, warga golongan Cina . Setidaknya dari kalangan Tionghoa menegah atas dalam lapisan sosial ekonomi kolonial – menjadi penengah antara kolonial Belanda yang “putih Kristen” dan “bumiputera Islam” yang mayoritas merupakan penduduk “bumiputra” Indonesia. Beban mitos yang dipikul adalah pemukul-rataan bahwa semua warga negara etnis Cina adalah “kaya”, memperoleh akses pada kekuasaan tertinggi Universitas Sumatera Utara 7 dalam pemerintahan nasional sebagai mereka mendapat perlindungan dari kekuasaan kolonial Belanda. Sedangkan beban kenyataan kehidupan sehari-hari adalah sebagian dari mereka yang tidak berpendidikan tinggi, bukan pemilik perusahaan-perusahaan dengan aset terbesar dan terbanyak, tidak berlatar belakang sosial yang mantap, serta menghadapi perlakuan diskriminasi yang dirasakan menyakitkan. 1 Sejak Mei 1998, Pemerintah Indonesia telah memberikan kebebasan kepada warga Indonesia etnis Cina untuk berbicara secara terbuka, mendirikan partai politik, menjalankan dan mempraktekan adat kebiasaan mereka secara terbuka, seperti mempertunjukan tarian barongsai, belajar bahasa Mandarin, menerbitkan huruf Tionghoa dan sebagainya. Stasiun televisi menyiarkan berita sekarang diizinkan menyiarkan berita dalam bahasa Mandarin, beberapa warga negara Indonesia etnis Cina sekarang juga dilibatkan dalam Kabinet, seperti Kwik Kian Gie sebagai Menteri Keuangan pada masa pemerintahan Gus DurMegawati Soekarno Putri, dan Mari E. Pangestu sebagai Menteri Perdagangan dalam pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Sementara itu berbagai upaya dilakukan untuk menghapus praktek-praktek diskriminatif di bidang administratif untuk memperoleh Kartu Tanda Penduduk KTP, paspor, dan sebagainya. Pertengahan Juni 2006 dan akhir November 2008 DPR RI mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan 1 Wahyu Effendi, Tionghoa Dalam Cengkeraman SBKRI, Visimedia, Jakarta, 2008, hal. iv. Universitas Sumatera Utara 8 Republik Indonesia dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminatsi ras dan etnis. Isi kedua Undang-Undang tersebut sangat menggembirakan khususnya bagi kaum minoritas. Hal terpenting adalah bahwa Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 tahun 2006 tersebut menyebutkan tidak ada lagi praktek diskriminasi terhadap wagra negara etnis Cina. Mereka yang lahir di Indonesia secara otomatis menjadi warga negara Indonesia tanpa ada penyebutan pribumi dan nonpribumi. Undang-Undang Republik Indonesia tahun 2008 mempertegas dan memperluas penghapusan diskriminasi ras dan etnis, yang dilaksanakan berdasarkan asas persamaan, kebebasan, keadilan dan nilai-nilai universal dan diselenggarakan dengan memperhatikan nilai-nilai agama, sosial budaya dan hukum yang berlaku di Republik Indonesia. Kebijakan kolonial Belanda selama 300 tahun sangat jelas: Devide et Impera. Belanda secara sengaja membuat kebijakan untuk memisahkan warga etnis Cina dari warga Indonesia pribumi, misalnya dengan memberikan kewenangan untuk mengumpulkan pajak dan keistimewaan khusus di bidang perdagangan sebagai perantara antara Belanda dan warga Indonesia pribumi. Kebijakan pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 sampai dengan sekarang tidak konsisten dalam menghilangkan perbedaan antara warga asli Indonesia dan warga Indonesia etnis Cina. Tidak pernah ada kebijakan eksplisit yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia untuk menghilangkan jurang Universitas Sumatera Utara 9 antara si kaya yang dianggap sebagian besar warga keturunan Cina yang tinggal di kota-kota besar dan si miskin sebagian besar warga asli Indonesia. Pemerintah Indonesia tidak pernah melindungi atau membantu pengusaha kelas kecil dan menengah warga Indonesia asli dengan memberi dukungan kepada mereka yang konsisten. Sebaliknya secara tidak langsung pemerintah Indonesia melindungi dan membantu sekelompok kecil pengusaha warga keturunan Cina dengan memberi fasilitas khusus melalui kolusi. Pemerintah Indonesia menerapkan berbagai kebijakan diskriminatif banyak yang tidak tertulis terhadap warga etnis Cina dalam aspek kehidupan dan kegiatan lain. Misalnya, sangatlah sulit bagi warga etnis Cina untuk bisa bergabung di angkatan bersenjata, meniti karier di pemerintahan, masuk ke perguruan tinggi negeri. Dengan kata lain, satu-satunya karier yang masih terbuka bagi warga etnis Cina adalah bisnis dan perdagangan. Otoritas pemerintah Indonesia juga mempersulit warga etnis Cina secara administratif, seperti memperoleh Kartu Tanda Penduduk KTP, paspor, akta lahir, izin menikah, kecuali bila melakukan pembayaran “di balik pintu”. Dalam upaya pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa peran pemerintah adalah sangat penting. Tidak saja bersifat aktif melalui program-program pembinaan akan tetapi dapat juga dilakukan dengan melalui tindakan prefentif yakni dengan memberikan pelayanan yang sama terhadap mereka tanpa membedakan kelas, golongan, ekonomi, dan derajat kepangkatan. Universitas Sumatera Utara 10 Belakangan ini banyak kita lihat kasus-kasus yang mengarah kepada pecahnya integrasi nasional bangsa timbulnya berbagai permasalahan baik masalah suku, agama, ras atau golongan yang berawal dari ketidakseimbangan dan kecemburuan dalam kehidupan sosial masyarakat terutama sekali dalam pelayanan birokrasi pemerintah terhadap golongan-golongan tertentu yang seolah- olah ekslusif. Kesan birokrasi yang buruk tersebut memang sulit dihindari kalau kita memperhatikan apa yang banyak dilakukan oleh aparatur birokrasi pemerintah. Birokrasi telah banyak menganggap masyarakat atau rakyat adalah abdi, yang harus patuh dan berbakti kepada pemerintah, sehingga bukan rakyat yang mengawasi, tetapi pemerintah yang mengawasi rakyat. 2 Dengan demikian birokrasi kemudian menjadi tuan rumah bagi masyarakat , sehingga bukan birokrasi yang melayani masyarakat, tetapi masyarakat yang yang melayani birokrasi. Donald Warwick mengemukakan: ”Kritik-kritik menyatakan bahwa organisasi pemerintah yang menjadi tuan dan bukan pelayan masyarakat mengakibatkan takutnya orang dalam mengambil prakarsa, menumpuknya berkas-berkas laporan, terbuangnya waktu dan terkurasnya dana pemerintah”. 3 Demikian juga dengan hal implementasi kebijakan pemerintah tidak terlepas dari koreksi-koreksi tersebut diatas. Pemerintah yang langsung 2 Lijan Poltak, Reformasi Pelayanan Publik, Bumi Aksara, Jakarta, 2006, hal. 55. 3 Alfian dan Nazaruddin, Prefi Budaya Politik Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1991, hal. 227 . Universitas Sumatera Utara 11 berhubungan dengan masyarakat merupakan salah satu indikator dari penilaian pelayanan birokrasi dari masyakat. Misalnya dalam pelayanan pengurusan Kartu Tanda Penduduk KTP saja kadang-kadang mereka menunggu beberapa jam, hari, bahkan bulan yang sebenarnya kalau mengikuti prosedur bisa selesai dalam beberapa jam saja. Hal ini tentu saja disebabkan beberapa kendala baik teknis maupun non teknis, seperti tidak adanya petugas ditempat, karena libur atau sedang keluar. Keadaan demikian menimbulkan kesan-kesan yang tidak baik terhadap instansi pemerintah. Lebih buruk lagi jika timbul dari pemikiran masyarakat bahwa pelayanan yang diberikan oleh pemerintah tidak lagi bersifat pelayanan murni akan tetapi sudah mengarah kepada keuntungan pribadi yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip kerja organisasi publik.

B. Perumusan Masalah