Latar Belakang Masalah Kontaminasi Sistiserkus pada Daging dan Hati Sapi dan Babi yang Dijual di Pasar Tradisional pada Kecamatan Medan Kota

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Protein adalah bagian dari setiap sel, jaringan, dan organ di tubuh kita. Setiap hari, sebagian dari protein-protein ini akan didegradasi dan diganti. Untuk mengganti protein-protein yang telah hilang, tubuh dapat melakukan daur ulang terhadap protein tersebut sehingga dapat digunakan kembali. Namun, ada asam amino esensial yang tidak dapat dibentuk oleh tubuh sehingga setiap hari dianjurkan untuk mengkonsumsi protein hingga 35 dari kalori makanan yang kita makan Centers for Disease Control and Prevention, 2011. Daging merupakan salah satu makanan yang paling sering dimakan sebagai sumber protein. Terdapat banyak jenis daging dari hewan yang paling umum seperti hewan ternak dan unggas sampai hewan hanya dimakan di daerah tertentu seperti unta, kuda, burung unta, dan binatang liar lainnya. Bahkan pada beberapa daerah, daging juga didapatkan dari hewan seperti buaya, ular, dan kadal Food and Agricultural Organization of the United Nations, 2009a. Daging merupakan salah satu makanan yang paling sering dimakan sebagai sumber protein. Terdapat banyak jenis daging dari hewan yang paling umum seperti hewan ternak dan unggas sampai hewan hanya dimakan di daerah tertentu seperti unta, kuda, burung unta, dan binatang liar lainnya. Bahkan pada beberapa daerah, daging juga didapatkan dari hewan seperti buaya, ular, dan kadal FAO, 2009a. Daging babi, sebagai salah satu produk daging, merupakan daging yang paling banyak dimakan oleh masyarakat seluruh dunia yaitu sekitar 36 dari daging di seluruh dunia FAO, 2009a. Menurut American Meat Institute 2011, daging babi dikonsumsi karena rasanya nikmat dan kandungannya tinggi akan protein, seng, besi, dan vitamin B. Selain itu, daging sapi merupakan salah satu daging yang juga banyak diminati masyarakat dimana sekitar 24 daging yang dimakan di seluruh dunia Universitas Sumatera Utara merupakan daging sapi FAO, 2009a. Kandungan dalam daging sapi juga hampir menyerupai daging babi. Pada pemakan daging sapi sekitar 11 kebutuhan proteinnya lebih terpenuhi daripada yang tidak memakan daging sapi. Demikian pula kandungan seng, besi, dan vitamin B 12 yang masing-masing mempunyai nilai perbedaan 26, 13, dan 24 antara pemakan daging sapi dan yang bukan pemakan daging sapi National Cattlement’s Beef Association, 2005. Menurut Subagyo 2009, tingkat konsumsi daging Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, namun dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, adanya perubahan pola konsumsi, dan selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging secara nasional meningkat Kariyasa, 2005. Peningkatan tingkat konsumsi daging yang terjadi di Indonesia tampaknya dapat menimbulkan banyak hal yang merugikan. Menurut Trachtman 2007, di dalam daging yang kita makan terdapat berbagai mikroorganisme patogen seperti Campylobacter jejuni, E. coli O157:H7, L. monocytogenes, dan Salmonella typhi. Selain itu, dapat juga ditemukan bermacam-macam parasit seperti sistiserkus, sarkosistis, trikinela, onkoserka, dan parafilaria Turton, 2006. Salah satu infeksi parasit yang menjadi sorotan di Indonesia adalah taeniasis. Banyak spesies dari Taenia sp., namun yang dapat ditemukan di Indonesia hanya Taenia solium, Taenia saginata, dan Taenia asiatica Ito et al., 2003. Adapun infeksi Taenia sp. pada manusia disebut sebagai taeniasis sedangkan sistiserkosis adalah infeksi parasit pada jaringan yang disebabkan oleh kista dari cacing pita CDC, 2010. Taeniasis dan sistiserkosis telah menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia terutama di negara berkembang dengan kebersihan yang rendah World Health Organization, 2009. Menurut Center for Food Security and Public Health 2005, sekitar 50 juta orang mengidap taeniasis di seluruh dunia, sekitar 50.000 orang setiap tahunnya meninggal akibat infeksi cacing pita. Kasus taeniasis dan sistiserkosis dapat ditemukan di beberapa provinsi di Indonesia seperti Papua, Bali, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Lampung, Sulawesi Utara, Jakarta, Kalimantan Barat, dan Jawa Timur Universitas Sumatera Utara Suroso et al., 2005 dengan prevalensi tertinggi berada di Papua yaitu sekitar 42,7 Purba et al., 2003. Sebuah penelitian epidemiologi oleh Wandra menunjukkan bahwa pada tahun 2003, sekitar 3,4 masyarakat Sumatera Utara menderita taeniasis dan pada tahun 2005 angka taeniasis di Sumatera Utara adalah 2,2 Wandra et al., 2007. Sumatera Utara, sebagai salah satu daerah endemis dari empat provinsi utama ditemukannya kasus taeniasis dan sistiserkosis, memiliki kasus taeniasis dan sistiserkosis yang tidak lagi sebanyak dahulu. Hal ini disebabkan telah adanya kebiasaan masyarakat dalam menjaga babi di dalam kandang tanpa kontak langsung dengan feses manusia Ito et al., 2003. Namun, masih dapat ditemukan masyarakat yang mencoba mengkonsumsi organ viseral, misalnya hati, ketika memotong daging menjadi potongan-potongan kecil pada saat menyajikan daging sang-sang pada rumah, rumah makan, dan perayaan tertentu. Hal ini merupakan faktor risiko utama taeniasis atau sistiserkosis Wandra et al., 2007 sehingga pengendalian kasus sistiserkosis dan taeniasis di Medan tidak akan cukup hanya dengan mengobati penderita saja. Pengendalian taeniasis dan sistiserkosis sebaiknya diikuti dengan pemberantasan sistiserkus pada daging mengingat adanya sistiserkus pada daging merupakan faktor resiko dalam taeniasis. Atas dasar ini, penulis merasa perlu dilakukan penelitian mengenai tingkat kontaminasi sistiserkus pada daging yang dijual di pasar.

1.2. Rumusan Masalah