i. Sistem Informasi K3
Sistem informasi merupakan salah satu hal yang berpengaruh dalam perilaku pemakaian APD pada pekerja. System informasi pemakaian APD biasanya berupa
apakah pekerja pernah memperoleh informasi mengenai APD. Selain itu, kuantitas dan kualitas informasi tersebut juga sangat mempengaruhi pemakaian APD.
Misalnya saja, jika informasi APD sangat jarang ditemui oleh pekerja, maka pekerja cenderung pemakaian APD nya rendah Suma’mur, 1989.
Penelitian yang dilakukan oleh Noviadi 2001 tentang penggunaan alat pelindung telinga menunjukkan bahwa sistem informasi K3 bagian produksi
Ammonia PT. PUSRI Palembang untuk penggunaan APD telinga yang dilihat dari ada atau tidaknya tanda bahaya bila tidak menggunakan APD telinga tergolong
cukup baik, yaitu sebesar 91,7. Semakin baik sistem informasi K3 di suatu perusahaan, maka akan semakin banyak informasi dan pengetahuan yang akan
diterima oleh mereka.
2.2 Telinga
2.2.1 Fisiologi Pendengaran
Pendengaran adalah persepsi saraf mengenai energi suara. Gelombang suara adalah getaran udara yang merambat dan terdiri dari daerah-daerah bertekanan tinggi
karena kompresi pemampatan molekul-molekul udara yang berselang seling dengan daerah bertekanan rendah karena penjarangan molekul tersebut Sherwood, 2001.
Universitas Sumatera Utara
Sewaktu suatu gelombang suara mengenai jendela oval, tercipta suatu gelombang tekanan di telinga dalam. Gelombang tekanan menyebabkan perpindahan
mirip gelombang pada membran basilaris terhadap membrana tektorium Sewaktu menggesek membrana tektorium, sel-sel rambut bertekuk. Hal ini menyebabkan
terbentuknya potensial aksi. Apabila deformitasnya cukup signifikan, maka saraf- saraf aferen yang bersinaps dengan sel-sel rambut akan terangsang untuk melepaskan
potensial aksi dan sinyal disalurkan ke otak Ganong, 2003. Frekuensi gelombang tekanan menentukan sel-sel rambut yang akan berubah
dan neuron aferen yang akan melepaskan potensial aksi. Misalnya, sel-sel rambut yang terletak dibagian membranan basilaris dekat jendela oval adalah sel-sel yang
mengalami perubahan oleh suara berfrekuensi tinggi, sedangkan sel-sel rambut yang terletak di membrana basilaris yang paling jauh dari jendela oval adalah sel-sel yang
mengalami perubahan oleh gelombang berfrekuensi rendah. Otak menginterpretasikan suatu suara berdasarkan neuron-neuron yang diakftifkan. Otak
menginterpretasikan intensitas suara berdasarkan frekuensi impuls neuron dan jumlah neuron aferen yang melepaskan potensial aksi Higler, 2000.
Penghantaran konduksi gelombang bunyi ke cairan di telinga dalam melalui membran timpani dan tulang-tulang pendengaran, yang merupakan jalur utama untuk
pendengaran normal, disebut hantaran osikular. Gelombang bunyi juga menimbulkan getaran membran timpani kedua yang menutupi fenestra rotundum. Proses ini, yang
tidak penting untuk pendengaran normal, disebut hantaran udara. Hantaran jenis ketiga, hantaran tulang adalah penyaluran getaran dari tulang-tulang tengkorak ke
Universitas Sumatera Utara
cairan di telinga dalam. Hantaran tulang yang cukup besar terjadi apabila kita menempelkan garpu tala atau benda lain yang bergetar langsung ke tengkorak. Jaras
ini juga berperan dalam penghantaran bunyi yang sangat keras Ganong, 2003. 2.3 Kebisingan
2.3.1 Definisi Kebisingan
Kebisingan merupakan suara atau bunyi yang secara fisis merupakan penyimpangan tekanan, pergeseran partikel dalam medium elastis seperti misalnya
udara. Secara fisiologis merupakan sensasi yang timbul sebagai akibat propagasi energi getaran dari suatu sumber getar yang sampai ke gendang telinga. Kebisingan
dapat juga diartikan bentuk suara yang tidak sesuai dengan tempat dan waktunya, sehingga secara umum kebisingan dapat diartikan sebagai suara yang merugikan
manusia dan lingkungan. Bising dikategorikan pada polutan lingkungan atau buangan yang tidak terlihat, tapi efeknya cukup besar. Sedangkan definisi dari bunyi
sendiri merupakan bentuk gelombang longitudinal yang merambat secara perapatan dan perenggangan terbentuk oleh partikel zat perantara serta ditimbulkan oleh
sumber bunyi yang mengalami getaran Alfarisi, 2008. Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan
dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan Kep MENLH No: Kep-48MENLH111996.
Kebisingan adalah suara atau bunyi yang tidak dikehandaki atau dapat diartikan pula sebebagai suara yang salah pada tempat dan waktu yang salah Chandra, 2007.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Mekanisme Kebisingan
Bunyi dinyatakan sebagai sensasi pendengaran yang lewat telinga dan timbul karena penyimpangan tekanan udara. Penyimpangan ini biasanya disebabkan oleh
beberapa benda yang bergetar, misalnya dawai gitar yang dipetik atau garpu tala yang dipukul. Sewaktu fluktuasi tekana udara ini membentur gendang pendengaran
membran timpani dari telinga kita maka membran ini akan bergetar sebagai jawaban pada fluktuasi tekanan udara tersebut. Getaran ini melalui saluran dan proses
tertentu akan sampai diotak kita dimana hal ini diinterprestasikan sebagai suara. Pada kondisi atau aktifitas tertentu, misalnya saat seseorang berpindah dari satu lokasi ke
lokasi lain dengan perbedaan tingkat ketinggian lokasi cukup besar dalam waktu relatif singkat, akan timbul perbedaan tekanan udara antara bagian depan dan
belakang gendang telinga. Akibatnya gendang telinga tidak dapat bergetar secara efisien, dan sudah barang tentu pendengaran akan terganggu Tambunan, 2005.
Suara bising akan dapat terjadi apabila ada 3 tiga hal yaitu : sumber bising, mediaudara, dan penerima. Dari sumber bising, suara akan merambat melalui udara
dalam bentuk gelombang sampai suara tersebut diterima oleh pendengarpenerima. Kebisingan tidak akan terjadi tanpa adanya mediaudara. Pengurangan kebisingan
dapat dilakukan dengan jalan penggunaan isolasiisolator antara sumber dan penerima Doelle, 1993.
Telinga manusia hanya mampu menangkap suara yang ukuran intensitasnya bekisar antara 20-20.000Hz dan dengan frekuensi suara sekitar 80 dB batas aman
Chandra, 2007. Lebar responden telinga manusia diantara 0 dB-140 dB yang dapat
Universitas Sumatera Utara
didengar. Batas intensitas suara tertinggi adalah 140 dB dimana untuk mendengarkan suara itu sudah timbul perasaan sakit pada alat pendengaran Doelle, 1993. Pajanan
terhadap suara atau bunyi yang melampaui batas aman di atas dalam waktu yang lama dapat menyebabkan terjadinya ketulian sementara atau permanen Chandra, 2007.
2.3.3 Jenis Kebisingan
Kebisingan diklasifikasikan ke dalam dua jenis golongan besar yaitu : 1. Kebisingan tetap steady noise
2. Kebisingan tidak tetap non steady noise
A. Kebisingan Tetap steady noise
Kebisingan tetap steady noise dibedakan menjadi dua, yaitu: Tambunan, 2005
a. Kebisingan dengan frekuensi terputus discrete frekuensi noise
Kebisingan ini berupa “nada-nada” murni pada frekuensi yang beragam, contohnya suara mesin, suara kipas dan sebagainya.
b. Broad Band Noise
c. Kebisingan dengan frekuensi terputus dan broad band noise sama-sama
digolongkan sebagai kebisingan tetap steady noise. Perbedaannya adalah broad band noise terjadi pada frekuensi yang lebih bervariasi bukan nada
murni.
B. Kebisingan Tidak Tetap
Kebisingan tidak tetap non steady noise dibedakan menjadi tiga, yaitu : a.
Kebisingan fluktuatif fluctuating noise
Universitas Sumatera Utara
Kebisingan yang selalu berubah-ubah selama rentang waktu tertentu. b.
Intermitten noise Sesuai dengan terjemahannya, intermitten noise adalah kebisingan yang
terputus-putus dan besarnya dapat berubah-ubah, contohnya kebisingan lalu lintas.
c. Impulsif noise
Kebisingan impulsif dihasilkan oleh suara-suara berintensitas tinggi memekakkan telinga dalam waktu relative singkat, misalnya suara ledakan
senjata api dan alat-alat sejenisnya.
2.3.4 Sumber-sumber Bising
Sumber bising adalah suatu hal yang tidak dapat diragukan lagi sebagai asal atau aktivitas yang menghasilkan suara bising yang merusak pendengaran baik
bersifat sementara ataupun permanen. Sumber bising utama dalam pengendalian bising lingkungan diklasifikasikan dalam kelompok :
a. Bising interior, berasal dari manusia, alat-alat rumah tangga, mesin gudang
dan aktifitas di dalam ruangan atau gedung. b.
Bising luar, bising yang dikategorikan berasal dari aktifitas diluar ruangan seperti transportasi udara, termasuk bus, mobil, sepeda motor, transportasi air,
kereta api dan pesawat terbang dan bising yang berasal dari industri. Untuk bising transportasi yang paling penting diketahui bahwa makin besar
kendaraan akan semakin keras suara bising yang dihasilkan Doelle, 1993.
Universitas Sumatera Utara
2.3.5 Pengukuran Kebisingan
Beberapa alat yang digunakan untuk mengukur kebisingan, yaitu : a.
Audiometer, biasanya dipakai untuk mengukur kebisingan yaitu dengan membandingkan dengan suara yang intensitasnya diketahui.
b. Noisemeter, alat ini mengambil suara dalam sebuah mikrofon dan
memindahkan energinya ke impuls listrik. Hasil pengukurannya merupakan energi total, dicatat sebagai aliran listrik yang hampir sama dengan kebisingan
yang ditangkap. c.
The Equivalent Continous Level, alat ini digunakan untuk menganalisa suatu kebisingan yang sangat fluktuatif, misalnya kebisingan lalu-lintas.
d. Octave Band Analizer, alat ini digunakan untuk menganalisa suatu kebisingan
dengan spektrum frekuensi yang luas Oloan, 2005. e.
Sound Level Meter, Alat ini digunakan untuk mengukur kebisingan antara 30- 130 dB dan dari frekuensi 20-20.000 Hz. Sound Level Meter terdiri dari
mikrofon, amplifier, dan sirkuit attenuator dan beberapa alat lain. Sound Level Meter
dilengkapi dengan tombol pengaturan skala pembobotan seperti A, B, C dan D. Skala A, contohnya adalah rentang skala pembobotan yang
melingkupi frekuensi suara rendah dan frekuensi suara tinggi yang masih dapat diterima oleh telinga manusia normal. Sementara itu skala B, C dan D
digunakan untuk keperluan-keperluan khusus, misalnya pengukuran kebisingan yang dihasilkan oleh pesawat terbang bermesin jet Sihar, 2005.
Universitas Sumatera Utara
2.3.6 Nilai Ambang Batas NAB Kebisingan
Pengawasan kebisingan berpedoman pada nilai ambang batas NAB seperti pada tabel 2.1 dibawah ini :
Tabel 2.1. Intensitas dan Waktu Paparan Bising yang Diperkenankan Pemaparan tiap hari jam
Batas suara dB
16 80
8 85
4 90
2 95
1 100
½ 105
¼ 110
Sumber : Depkes RI, 1999 Dengan adanya pemaparan 8 jam tiap hari, batas suara yang masih
diperbolehkan adalah 85 dB A. Tingkat kebisingan maksimum yang dianjurkan maupun diperbolehkan adalah rata-rata nilai modus dari tingkat kebisingan pada
siang hari, petang hari dan malam hari. Siang hari adalah waktu yang digunakan oleh kebanyakan orang untuk bekerja dan berpergian. Petang hari adalah waktu yang
digunakan oleh kebannyakan orang untuk istirahat di rumah tetapi belum tidur. Malam hari adalah waktu yang digunakan kebanyakan orang untuk tidur.
Pembagian waktu pagi, siang dan malam hari disesuaikan dengan kegiatan kehidupan masyarakat setempat. Biasanya pagi hari adalah pukul 06.00 - 09.00, siang
hari adalah pukul 14.00 – 17.00 dan malam hari adalah pukul 17.00 – 22.00 Kep MENLH No: Kep-48MENLH111996.
Universitas Sumatera Utara
2.3.7 Gangguan Kebisingan pada Pendengaran
a. Adaptasi bila telinga terpapar oleh kebisingan Mula-mula telinga akan merasa terganggu oleh kebisingan tersebut, tetapi
lama-kelamaan telinga tidak merasa terganggu lagi karena suara terasa tidak begitu keras seperti pada awal pemaparan.
b. Peningkatan ambang dengar sementara Terjadi kenaikan ambang pendengaran sementara yang secara perlahan akan
kembali seperti semula. Keadaan ini berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam bahkan sampai beberapa minggu setelah pemaparan. Kenaikan ambang
pendengaran sementara ini mula-mula terjadi pada frekuensi 4.000 Hz, tetapi bila pemaparan berlangsung lama maka kenaikan nilai ambang pendengaran sementara
akan menyebar pada frekuensi sekitarnya. Makin tinggi intensitas dan lama waktu pemaparan makin besar perubahan nilai ambang pendengarannya. Respon tiap
individu terhadap kebisingan tidak sama tergantung dari sensitivitas masing-masing individu.
c. Peningkatan ambang dengar menetap Kenaikan terjadi setelah seseorang cukup lama terpapar kebisingan, terutama
terjadi pada frekuensi 4.000 Hz. Gangguan ini paling banyak ditemukan dan bersifat permanen, tidak dapat disembuhkan. Kenaikan ambang pendengaran yang menetap
dapat terjadi setelah 3,5 sampai 20 tahun terjadi pemaparan, ada yang mengatakan baru setelah 10-15 tahun setelah terjadi pemaparan. Penderita mungkin tidak
menyadari bahwa pendengarannya telah berkurang dan baru diketahui setelah
Universitas Sumatera Utara
dilakukan pemeriksaan audiogram. Hilangnya pendengaran sementara akibat pemaparan bising biasanya sembuh
setelah istirahat beberapa jam 1-2 jam. Bising dengan intensitas tinggi dalam waktu yang cukup lama 10-15 tahun akan menyebabkan robeknya sel-sel rambut organ
corti sampai terjadi destruksi total organ corti. Proses ini belum jelas terjadinya, tetapi mungkin karena rangsangan bunyi yang berlebihan dalam waktu lama dapat
mengakibatkan perubahan metabolisme dan vaskuler sehingga terjadi kehilangan pendengaran yang permanen. Umumnya frekuensi pendengaran yang mengalami
penurunan intensitas adalah antara 3.000-6.000 Hz dan kerusakan alat corti untuk reseptor bunyi yang terberat terjadi pada frekuensi 4.000 Hz 4 K notch. Ini
merupakan proses yang lambat dan tersembunyi, sehingga pada tahap awal tidak disadari oleh para pekerja. Hal ini hanya dapat dibuktikan dengan pemeriksaan
audiometri. Apabila bising dengan intensitas tinggi tersebut terus berlangsung dalam
waktu yang cukup lama, akhirnya pengaruh penurunan pendengaran akan menyabar ke frekuensi percakapan 500-2.000 Hz. Pada saat itu pekerja mulai merasakan
ketulian karena tidak dapat mendengar pembicaraan sekitarnya Tri, 2005.
2.3.8 Pembagian Efek Kebisingan terhadap Pendengaran
Secara umum efek kebisingan terhadap pendengaran dapat dibagi atas 2 kategori yaitu : Andriana, 2003
Universitas Sumatera Utara
a. Noise Induced Temporary Threshold Shift NITTS Seseorang yang pertama sekali terpapar suara bising akan mengalami berbagai
perubahan, yang mula-mula tampak adalah ambang pendengaran bertambah tinggi pada frekuensi tinggi. Pada gambaran audiometri tampak sebagai “notch” yang curam
pada frekuensi 4.000 Hz, yang disebut juga acoustic notch. Pada tingkat awal terjadi pergeseran ambang pendengaran yang bersifat
sementara, yang disebut juga NITTS. Apabila beristirahat diluar lingkungan bising biasanya pendengaran dapat kembali normal.
b. Noise Induced Permanent Threshold Shift NIPTS Didalam praktek sehari-hari sering ditemukan kasus kehilangan pendengaran
akibat suara bising, dan hal ini disebut dengan “occupational hearing loss” atau kehilangan pendengaran karena pekerjaan atau mana lainnya ketulian akibat bising.
Dikatakan bahwa untuk merubah NITTS menjadi NIPTS diperlukan waktu bekerja dilingkungan bising selama 10-15 tahun, tetapi hal ini bergantung juga
kepada : a. Tingkat suara bising
b. Kepekaan seseorang terhadap suara bising NIPTS biasanya terjadi disekitar frekuansi 4.000 Hz dan perlahan-lahan
meningkat dan menyebar ke frekuensi sekitarnya. NIPTS mula-mula tanpa keluhan, tetapi apabila sudah menyebar sampai ke frekuensi yang lebih rendah 2.000 Hz dan
3.000 Hz keluhan akan timbul. Pada mulanya seseorang akan mengalami kesulitan untuk mengadakan pembicaraan di tempat yang ramai, tetapi bila sudah menyebar ke
Universitas Sumatera Utara
frekuensi yang lebih rendah maka akan timbul kesulitan untuk mendengar suara yang sangat lemah. Notch bermula pada frekuensi 3.000-6.000 Hz, dan setelah beberapa
waktu gambaran audiogram menjadi datar pada frekuensi yang lebih tinggi. Kehilangan pendengaran pada frekuensi 4.000 Hz akan terus bertambah dan menetap
setelah 10 tahun dan kemudian perkembangannya menjadi lebih lambat.
2.3.9 Pengendalian Kebisingan
Kebisingan dapat dikendalikan dengan berbagai cara Chandra, 2007. Dikenal beberapa cara pengendalian kebisingan yaitu :
a. Mengurangi vibrasi sumber kebisingan, berarti mengurangi tingkat kebisingan
yang dikeluarkan sumbernya b.
Menutupi sumber suara c.
Melemahkan kebisingan dengan bahan penyerap suara atau peredam suara d.
Menghalangi merambatnya suara penghalang e.
Melindungi ruang tempat manusia atau makhluk lainnya berada dari suara f.
Melindungi telinga dari suara Doelle, 1993 Penggunaan proteksi dengan sumbatan telinga dapat mengurangi kebisingan
sekitar 20-25 dB. Tetapi penggunaan tutup telinga ini pada umumnya tidak disenangi oleh pekerja, karena terasa risih adanya benda asing di telinganya. Untuk itu
penyuluhan terhadap mereka agar menyadari pentingnya tutup telinga bagi kesehatannya, dan akhirnya mau memakainya Notoatmodjo, 2003
Universitas Sumatera Utara
2.4 Perilaku
Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme makhluk hidup yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis
semua makhluk hidup berperilaku karena mereka semua mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia, pada hakikatnya
adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai kegiatan yang sangat luas sepanjang kegiatan yang dilakukannya, yaitu antara lain: berjalan,
berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan seterusnya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perilaku manusia
adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati dari luar Notoatmodjo, 1993.
2.4.1 Determinan Perilaku
Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme orang, namun dalam memberikan respons sangat
tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun
respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni:
a. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan,
yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
b. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial,
budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.
2.4.2 Bentuk Perilaku
Bloom 1908 seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia itu ke dalam tiga domain yaitu kognitif cognitive, afektif affective, dan psikomotor
pshycomotor Notoatmodjo, 2007. Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni :
a. Pengetahuan knowledge
b. Sikap attitude
c. Praktek atau tindakan practice.
2.4.3 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indera manusia, yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga Notoatmodjo, 2007.
Menurut Notoatmodjo 2007, pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu:
a. Tahu know
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali
recall sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan
Universitas Sumatera Utara
yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang
dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.
b. Memahami comprehension
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya
terhadap objek yang dipelajari. c.
Aplikasi application Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi real sebenarnya. Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum – hukum, rumus, metode, prinsip, dan
sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. d.
Analisa analysis Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
ke dalam komponen – komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari
penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan membuat bagan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
e. Sintesis synthetis
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian – bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi – formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat
merencanakan, dapat meringkas, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
f. Evaluasi evaluation
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini didasarkan pada
suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada Notoatmodjo, 2003.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden.
2.4.4 Sikap
Menurut Notoatmodjo 2007, sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata
menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari – hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap
stimulus sosial.
Universitas Sumatera Utara
Sikap adalah kecenderungan untuk bertindak, berpersepsi dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi kecenderungan
untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap boleh berupa benda, orang, tempat, gagasan, situasi atau kelompok.
Sikap mengandung daya pendorong atau motivasi. Sikap bukan sekedar rekaman masa lalu, tetapi juga menentukan apakah orang harus pro dan kontra
terhadap sesuatu, menentukan apakah yang disukai, diharapkan dan diinginkan, mengesampingkan apa yang tidak diinginkan dan apa yang harus dihindari.
Seperti halnya pengetahuan, sikap terdiri dari beberapa tingkatan Notoatmodjo, 2007 yaitu:
a. Menerima receiving
Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau memperhatikan stimulus yang diberikan. Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari
kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah. b.
Menanggapi responding Menanggapi diartikan member jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan
atau objek yang dihadapi. Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
c. Menghargai valuing
Mengahargai diartikan subjek atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus. Dalam arti membahasnya dengan orang lain dan bahkan
mengajak atau mempengaruhi orang lain.
Universitas Sumatera Utara
d. Bertanggung jawab responsible
Sikap yang paling tinggi tindakannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang telah diyakininya. Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya
dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung.
Secara langsung dapat dinyatakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek yang bersangkutan. Pertanyaan secara langsung juga dapat
dilakukan dengan cara memberikan pendapat dengan menggunakan kata “setuju” atau “tidak setuju” terhadap pertanyaan-pertanyaan terhadap objek tertentu.
2.4.5 Tindakan
Suatu rangsangan akan direspon oleh seseorang sesuai dengan arti rangsangan tersebut bagi orang yang bersangkutan. Respon atau reaksi inilah yang disebut
dengan perilaku, bentuk-bentuk perilaku itu sendiri dapat bersifat sederhana dan kompleks. Dalam peraturan teoritis,tingkah laku dibedakan atas sikap,dimana sikap
diartikan sebagai suatu kecenderungan potensi untuk mengadakan reaksi tingkah laku. Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan untuk terwujudnya
sikap agar menjadi suatu tindakan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan atau suatu fasilitas Notoatmodjo, 2007.
Menurut Notoatmodjo 1993, tindakan adalah gerakan atau perbuatan dari tubuh setelah mendapat rangsangan ataupun adaptasi dari dalam maupun luar tubuh
suatu lingkungan. Tindakan seseorang terhadap stimulus tertentu akan banyak ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan perasaannya terhadap stimulus tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Secara logis, sikap dapat dicerminkan dalam suatu bentuk tindakan namun tidak pula dapat dikatakan bahwa sikap dan tindakan memiliki hubungan yang sistematis.
Tindakan terdiri dari beberapa tingkatan,yaitu : a. Persepsi, mengenal dan memilih suatu objek sehubungan dengan tindakan yang
akan diambil. b. Respon terpimpin, dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar.
c. Mekanisme, apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah menjadi kebiasaan.
d. Adopsi, suatu tindakan yang sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.
Pengukuran tindakan dapat dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau
bulan yang lalu recall. Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.
2.5 Ground Handling Mulyanto, 1999
2.5.1 Pengertian Ground Handling
Ground handling berasal dari kata ground dan handling. Ground artinya darat
atau di darat, yang dalam hal ini di bandara airport. Handling berasal dari kata hand atau handle yang artinya tangan atau tangani. To handle berarti menangani,
Melakukan suatu pekerjaan tertentu dengan dengan penuh kesadaran. Handling berarti penanganan atau pelayanan service ot to service, sehingga pada banyak
Universitas Sumatera Utara
kesempatan, sering dijumpai pemakaian kata ground service. Dalam banyak kasus, sering juga ditemukan kata ground operation, baik ground handling, ground service,
ground operation maupun airport service, pada dasarnya mengandung maksud dan
pengertian yang sama, yaitu merujuk kepada suatu aktifitas perusahaan penerbangan yang berkaitan dengan penanganan atau pelayanan terhadap para penumpang berikut
bagasinya, kargo, pos, peralatan pembantu pergerakan pesawat di darat dan pesawat terbang itu sendiri selama berada di bandara, untuk keberangkatan departure
maupun untuk kedatangan atau ketibaan arrival. Secara sederhana ground handling atau tata operasi darat adalah pengetahuan dan keterampilan tentang penanganan
pesawat di apron, penanganan penumpang dan bagasinya di terminal dan kargo serta pos di area kargo.
2.5.2 Ruang Lingkup Ground Handling
Ruang lingkup atau batasan pekerjaan ground handling, yaitu pada fase atau tahap :
a. Pre-flight
Kegiatan penanganan terhadap penumpang berikut bagasinya dan kargo serta pos dan pesawat sebelum keberangkatan.
b. Post Flight
Kegiatan penanganan terhadap penumpang beserta bagasinya dan kargo serta pos dan pesawat setelah penerbangan, atau dengan kata lain
penanganan penumpang dan pesawat selam berada di Bandara. Secara teknis operasional, aktifitas ground handling dimulai pada saat pesawat
Universitas Sumatera Utara
mesin pesawat sudah dimatikan, roda pesawat sudah diganjal dan pintu pesawat sudah dibuka dan para penumpang sudah dipersilahkan untuk turun
atau keluar dari pesawat, maka pada saat itu para staf udara sudah memiliki kewenangan untuk mengambil alih pekerjaan dari pilot beserta awak kabin.
2.5.3 Tujuan Ground Handling
Ground Handling mempunyai tujuan atau target-targetsasaran-sasaran yang ingin dicapai, yaitu:
a. Flight Safety
b. On Time Performance
c. Customer Satisfaction
d. Reliability
2.6 Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penelitian ini dirangkum berdasarkan tinjauan teori yang ada, khususnya mengenai hubungan antar satu variabel dengan variabel yang
lain yang berhubungan dengan terjadinya penggunaan APT untuk mencegah gangguan pendengaran.
Universitas Sumatera Utara
Kerangka teori penggunaan APT untuk mencegah gangguan pendengaran dapat dilihat pada Gambar 3.3 berikut ini:
Gambar 2.2 Kerangka Teori
Sumber: Notoatmodjo 2007; Kesuma 1998; Noviadi 2001; Sintorini 2007;
Amel 2012 Penggunaan APT
Karakteristik Pekerja: - Umur
- Jenis kelamin - Pendidikan
- Lama bekerja
Pengetahuan Sikap
APT: - Kondisi
- Perawatan - Kenyamanan
Kebijakan Pengawasan
Keteladanan Pelatihan
Tanda bahaya Rekan kerja
Lingkungan kerja
Universitas Sumatera Utara
2.7 Landasan Teori
Menurut Green yang dikutip oleh Notoatmodjo 2007, yang mendasari timbulnya perilaku dapat dikelompokkan menjadi faktor prediposing, enabling, dan
reinforcing . Ketiga faktor tersebut dapat dibagi menjadi dua secara umum, yaitu
faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang mendasari tindakan seseorang yang berasal dari dalam diri seseorang tersebut. Faktor internal
dalam penggunaan APT dalam pencegahan gangguan pendengaran di avron Bandara Polonia Medan antara lain: umur, jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan, sikap dan
lama bekerja. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang mendasari tindakan seseorang yang berasal dari luar diri seseorang tersebut. Faktor eksternal dalam
penggunaan APT dalam pencegahan gangguan pendengaran di avron Bandara Polonia Medan antara lain: pengawasan pimpinan, peraturan bandara, dan sistem
informasi kesehatan dan keselamatan kerja. 2.8 Kerangka Konsep
Berdasarkan tinjauan pustaka dan landasan teoritis, maka yang menjadi kerangka konsep penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep penelitian di atas, dapat diketahui bahwa variabel independen pada penelitian adalah faktor internal dalam penggunaan APT
dalam pencegahan gangguan pendengaran di avron Bandara Polonia Medan antara lain: umur, jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan, sikap dan lama bekerja dan
faktor eksternal yaitu: pengawasan pimpinan, peraturan bandara, dan sistem informasi kesehatan dan keselamatan kerja. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah
penggunaan APT dalam pencegahan gangguan pendengaran.
Penggunaan APT Faktor Internal:
a. Umur
b. Jenis kelamin
c. Pendidikan
d. Pengetahuan
e. Sikap
f. Lama bekerja
Faktor Eksternal:
a. Pengawasan pimpinan,
b. Peraturan bandara,
c. Sistem informasi K3
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian survei bersifat analitik dengan desain cross sectional
yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara variabel-variabel independen terhadap dependen melalui pengujian hipotesis Soedigdo, 2006.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di avron Bandara Polonia Medan. Alasan dilakukan penelitian di lokasi ini adalah karena belum pernah dilakukan penelitian mengenai
pengaruh faktor internal umur, jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan, sikap dan lama bekerja dan eksternal pengawasan pimpinan, peraturan bandara dan sistem
informasi K3 petugas ground handling terhadap penggunaan APT dalam pencegahan gangguan pendengaran di avron Bandara Polonia Medan. Selain itu
avron Bandara Polonia adalah tempat yang sangat bising sesuai penelitian Sitompul 2010 yang memperoleh rerata intensitas kebisingannya adalah 92,1 dB, yang
memiliki potensi untuk menimbulkan gangguan pendengaran bagi pekerja yang bekerja di tempat tersebut.
Waktu penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Universitas Sumatera Utara