Hubungan Faktor Internal dan Eksternal Petugas Ground Handling terhadap Penggunaan APT di Avron Bandara Polonia Medan Tahun 2013

(1)

T E S I S

PERBANDINGAN KENYAMANAN PASIEN YANG

DILAKUKAN BRONKOSKOPI SERAT OPTIK LENTUR

DENGAN ANASTESI LOKAL SECARA

SPRAY

DAN NEBUL

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

SUDARTO NIM 097107010

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN USU/SMF PARU RSUP

H.ADAM MALIK MEDAN


(2)

PERBANDINGAN KENYAMANAN PASIEN YANG

DILAKUKAN BRONKOSKOPI SERAT OPTIK LENTUR

DENGAN ANASTESI LOKAL SECARA

SPRAY

DAN NEBUL

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Paru Dalam Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Pada Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

SUDARTO NIM 097107010

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA

UTARA MEDAN


(3)

(4)

TESIS

PPDS MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA / RUMAH SAKIT UMUM HAJI ADAM MALIK MEDAN

Judul Penelitian : PERBANDINGAN KENYAMANAN PASIEN YANG DILAKUKAN BRONKOSKOPI SERAT OPTIK LENTUR DENGAN ANASTESI LOKAL SECARA SPRAY DAN NEBUL DI RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

Nama Peneliti : Sudarto

Fakultas : Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Program Studi : Program Magister Kedokteran Klinik Pendidikan Dokter Spesialis Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi

Jangka Waktu : 3 (tiga) bulan Biaya Penelitian : Rp.15.000.000;

Lokasi Penelitian : Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Pembimbing : dr. Pantas Hasibuan, Mked(Paru),SpP(K)

dr. Noni Novisari Soeroso, Mked(Paru),SpP dr. Putri Chairani Eyanoer, MSEpid, PhD


(5)

PERNYATAAN

Judul Penelitian: Perbandingan Kenyamanan Pasien Yang Dilakukan

Bronkoskopi Serat Optik Lentur Dengan Anastesi Lokal Secara Spray dan Nebul di RSUP H. Adam Malik Medan

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar sarjana di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat orang lain yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam rujukan.

Yang Menyatakan, Peneliti


(6)

Telah duji pada Tanggal 03 Juli 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Prof. dr. H. Luhur Soeroso, Sp.P(K) Prof. dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P(K)

dr. Hilaluddin Sembiring, Sp.P(K), DTM&H dr. Zainuddin Amir, M.Ked(Paru), Sp.P(K) dr. Pantas Hasibuan, M.Ked(Paru), Sp.P(K) dr. Widirahardjo, Sp.P(K)

dr. Pandiaman S Pandia, M.ked(Paru), Sp.P(K)

DR. dr. Amira Permatasari Tarigan, M.ked(Paru), Sp.P dr. Parluhutan Siagian, M.ked(Paru), Sp.P

dr. Bintang YM Sinaga, M.ked(Paru), Sp.P dr. Noni Novisari Soeroso, M.ked(Paru), Sp.P


(7)

ABSTRAK

Objektif : Untuk membandingkan kenyamanan pasien-pasien yang dilakukan bronkoskopi serat optik lentur dengan anastesi lokal secara spray dan nebul di ruang Instalasi Diagnostik Terpadu (IDT) RSUP H. Adam Malik Medan

Metode : Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimental dengan sampel adalah pasien-pasien yang dilakukan bronkoskopi serat optik lentur dengan anastesi lokal. Sampel berjumlah 64 orang. Setiap sampel akan di anastesi dengan cara spray ataupun nebul, jika kurang memadai, operator dapat menambahkan anastesi secara spray as you go melalui skop bronkoskopi. Sampel dipilih secara acak untuk ditentukan cara anastesi lokal yang dilakukan kepadanya. Sebelum pelaksanaan prosedur setiap pasien dilakukan persiapan prebronkoskopi dan mendapat premedikasi diazepam 5 mg im 3 jam sebelum prosedur dan sulfas atropin 0,25 mg subkutan 30 menit sebelum prosedur dilakukan. Saat bronkoskopi berlangsung, pasien dipantau keadaan umumnya dengan menggunakan oksimeter. Jumlah batuk yang terjadi dihitung mulai saat bronkoskop di insersikan sampai prosedur bronkoskopi selesai. Setelah prosedur selesai, pasien diminta menunjukkan salah satu titik pada garis Visual Analogue Scale (VAS) untuk mengetahui ketidaknyamanan yang dirasakannya saat prosedur bronkoskopi berlangsung.


(8)

Hasil : Sampel terdiri dari 64 orang yang terbagi atas 2 kelompok yaitu 32 orang kelompok spray dan 32 orang nebul. Pada kedua kelompok dilakukan tambahan anastesi dengan spray as you go. Rerata pengunaan lidokain pada kedua kelompok adalah berbeda secara statistik (p=0.002) dimana pada kelompok nebuls penggunaan lidokain (170.94 mg) lebih sedikit dibandingkan kelompok spray (204.38 mg). Tingkat keberhasilan anastesi pada kedua kelompok tidak berbeda (p=0.516) dan yang terbanyak adalah pada tingkatan baik. Frekuensi jumlah batuk yang terjadi pada kelompok spray adalah antara 0 sampai 10 kali dengan frekuensi terbanyak 0 kali 37.5% dan kelompok nebul antara 0 sampai 9 kali dengan frekuensi terbanyak 0 kali 25.0%. Rata-rata nilai VAS pada kelompok spray 1.60 cm dan pada kelompok nebul 1.65 cm (p=0.288). Skala ketidaknyamanan pada kelompok spray terbanyak pada skala 1 ( tidak terasa sensasi yang tidak menyenangkan/ not unpleasant) 68.75% dan pada kelompok nebul terbanyak juga pada skala 1 sebanyak 59.37% (p=0.325). Uji Wilcoxon menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna jumlah batuk (p=0.375) dan nilai VAS pada kedua kelompok (p=0.410). Kesimpulan : Cara anastesi lokal secara spray maupun nebuls memberikan rasa

nyaman yang sama pada pasien yang dilakukan bronkoskopi serat optik lentur.


(9)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur dan terima kasih penulis ucapkan kepada Allah SWT, sebab berkat rahmat dan kasih karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul ” Perbandingan Kenyamanan Pasien Yang Dilakukan Bronkoskopi Serat Optik Lentur Dengan Anastesi Lokal Secara Spray dan Nebul Di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan”,

Tulisan ini merupakan persyaratan dalam penyelesaian pendidikan keahlian di Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/ SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam karya tulis ini, namun penulis berharap tulisan ini bisa berguna dalam prosedur pelaksanaan bronkoskopi.

Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan penelitian ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak baik dari guru-guru yang penulis hormati, teman sejawat asisten Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU, paramedis dan non medis serta dorongan dari pihak keluarga. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang saya hormati :

Prof. Dr. H. Luhur Soeroso, Sp P (K) sebagai Ketua Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/ SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan, yang terus menerus memberikan bimbingan ilmu pengetahuan, menanamkan disiplin, ketelitian dan perilaku yang baik serta pola berpikir dan bertindak ilmiah, yang sangat berguna bagi penulis untuk masa mendatang.


(10)

Prof. Dr. H. Tamsil Syafiuddin, Sp P(K) sebagai koordinator penelitian ilmiah di Departemen Pulmonolgi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/ SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan dan Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia cabang Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan, dorongan, bimbingan, pengarahan dan masukan dalam rangka penyusunan dan penyempurnaan tulisan ini.

Dr. H. Zainuddin Amir,Mked(Paru), Sp P(K) sebagai Ketua TKP PPSD FK USU yang senantiasa tiada jemunya membantu, mendorong dan memotivasi serta membimbing dan menanamkan disiplin, ketelitian, berpikir dan berwawasan ilmiah serta selalu mendorong penulis dalam menyelesaikan tulisan ini.

Dr. Pantas Hasibuan, Mked(Paru), Sp P(K) sebagai Sekretaris Departemen Pulmonolgi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/ SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan, yang telah banyak memberikan penulis bimbingan, saran, dorongan dan nasihat yang bermanfaat dalam menjalani dan menyelesaikan pendidikan.

Dr. dr. Amira Permatasari Tarigan, Mked(Paru),Sp P sebagai Ketua Program Studi Departemen Pulmonolgi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/ SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan, yang banyak memberikan bimbingan, bantuan, dorongan dan nasehat yang berguna selama penulis menjalani masa pendidikan.

Dr. Noni N Soeroso,Mked(Paru), Sp P sebagai Sekretaris Program Studi Departemen Pulmonolgi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/ SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan, yang telah banyak memberikan bimbingan, pembelajaran serta disiplin yang baik selama mengikuti pendidikan.


(11)

Yang terhormat Dr. Pantas Hasibuan, Mked(Paru), Sp P(K), Dr. Noni N Soeroso,Mked(Paru), Sp P, Dr.Putri Chairani Eyanoer, MSEpid, PhD sebagai pembimbing penulis dalam tulisan ini yang telah banyak memberi bimbingan, bantuan tehnis, masukan, dan dorongan dalam penyempurnaan penelitian bagi penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.

Penghargaan dan rasa terimakasih juga tak lupa penulis sampaikan kepada yang terhormat Dr. H. Hilaluddin Sembiring, DTM&H, Sp P(K), Dr. Widirahardjo, Sp P(K), Dr. H. Pandiaman Pandia, Mked(Paru), Sp P(K), Dr Parluhutan Siagian,Mked(Paru) Sp P, Dr Bintang YM Sinaga, Mked(Paru) Sp P, Dr. Setia Putra Tarigan Sp P, Dr. Syamsul Bihar, Mked(Paru), Sp P yang telah banyak memberikan bantuan, masukan dan pengarahan selama menjalani pendidikan.

Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran USU Medan, Direktur RSUP H Adam Malik Medan, Kepala Instalsasi Diagnostik Terpadu RSUP HAM yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada penulis dalam melaksanakan dan menyelesaikan penelitian ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada teman sejawat peserta Program Studi Pendidikan Spesialisasi Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi, pegawai tata usaha, perawat/petugas poliklinik, ruang rawat inap, ruang bronkoskopi RSUP H Adam Malik Medan atas bantuan dan kerja sama yang baik selama menjalani masa pendidikan.

Dengan penuh rasa hormat tak terhingga dan terima kasih yang tiada terbalas penulis sampaikan kepada orang tua yang telah dengan penuh kesabaran


(12)

memberikan dukungan, motivasi, bimbingan, kasih sayang dan selalu setia senantiasa memberi dorongan semangat serta banyak pengorbanan, penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan atas semuanya.

Akhirnya pada kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan, kekhilafan dan kesalahan yang pernah diperbuat selama ini. Semoga ilmu, keterampilan dan pembinaan kepribadian yang penulis dapatkan selama ini dapat bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa dan mendapat restu dari Tuhan Yang Maha Esa.

Medan, Juli 2013 Penulis


(13)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Data Pribadi :

Nama Lengkap : Sudarto

Tempat/tgl lahir : Medan / 08 Januari 1979

Agama : Islam

Alamat : Jl. Rencong No.46 Medan

Email

Riwayat Pendidikan :

SD 060806 tamat 1991 SMP N 11 Medan tamat 1994 SMU UISU Medan tamat 1997 FK USU Medan tamat 2003

Organisasi Profesi :

Ikatan Dokter Indonesia


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN ………..………..……… i

TESIS ……… ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vii

RIWAYAT HIDUP ... xi

DAFTAR ISI ……… xii

DAFTAR ISTILAH ……… xv

DAFTAR GAMBAR ……… xvi

DAFTAR TABEL ……… xvii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

1.1. Latar Belakang ………..………. … 1

1.2. Perumusan Masalah ……… 6

1.3. Tujuan Penelitian ……… 7


(15)

1.3.2. Tujuan Khusus ……… 7

1.4. Manfaat Penelitian ……… 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……… 8

2.1 Bronkoskopi ……… 8

2.1.1 Sejarah Bronkoskopi ……… 8

2.1.2 Jenis Bronkoskopi ……… 9

2.1.3 Indikasi Bronkoskopi ………. 10

2.1.4 Kontraindikasi dan Komplikasi …..…….. 14

2.2 Persiapan Sebelum Bronkoskopi ……… 16

2.3 Anastesi Lokal Pada Bronkoskopi ……… 24

2.4 Lidokain ……… 29

2.5 Penilaian Kenyamanan Pasien ……… 32

2.6 Kerangka Konsep Penelitian ……… 38

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 39

3.1 Desain Penelitian ……… 39

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ……….… 39

3.3 Subjek Penelitian ……… 39


(16)

3.3.2 Sampel ……… 39

3.3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ……… 39

3.3.3.1. Kriteria Inklusi ……… 39

3.3.3.2. Kriteria Eksklusi ……… 40

3.4 Besar Sampel ……… 40

3.5 Standar Operasional Prosedur Pelaksanaan – Bronkoskopi di Ruangan IDT RSUP HAM Medan………. 41

3.5.1. Persiapan Pasien ………. 41

3.5.2. Persiapan Alat ………. 42

3.5.3. Cara Kerja Pelaksanaan BSOL dengan – Anastesi Lokal Cara Spray/semprotan – dan Dilanjutkan Spray as you go ……..…….. 43

3.5.4. Cara Kerja Pelaksanaan BSOL dengan- Anastesi Lokal Cara Nebulisasi Lidokain- dan Dilanjutkan Spray as you go ………... 44

3.5.5. Penilaian Visual analog scale dan jumlah batuk …… 45

3.6 Definisi Operasional ……… 47


(17)

3.8 Analisis Data ……… 50

3.9 Pengolahan Data ……… 51

3.10 Jadwal Penelitian ……… 51

3.11 Biaya Penelitian ……… 52

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……… 53

4.1. Hasil Penelitian ………. 53

4.1.1. Karakteristik Penderita ………. 54

4.1.2. Penilaian Kenyamanan ………. 55

4.2. Pembahasan ………. 58

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………. 70

5.1. Kesimpulan ………. 70

5.2. Saran ………. 71

DAFTAR PUSTAKA ……… 72

LAMPIRAN

1. DAFTAR PENDERITA


(18)

DAFTAR ISTILAH

AGDA : Analisa Gas Darah Arteri

ASA : Association of Anesthesiologists BAL : Broncho Alveolar Lavage BSOL : Bronkoskopi Serat Optik Lentur BTS : British Thoracic Society

CO2 : Carbon Dioxyde

EKG : Elektokardiografi ETT : Endotracheal Tube

IDT : Instalasi Diagnostik Terpadu NRS : Numerical Rating Scale VAS : Visual Analogue Scale VRS : Verbal Rating Scale


(19)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1: Bronkoskopi kaku ... 9

Gambar 2.2: Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL) ... 10

Gambar 2.3: Penyemprotan rongga mulut dan faring ….………. 26

Gambar 2.4: Mouthpiece nebulizer & Facemask nebulizer …… 28

Gambar 2.5: Struktur kimia lidokain ………. 30

Gambar 2.6: Numerical Rating Scale …………..…………... 34

Gambar 2.7: Face Pain Rating Scale ………..……….. 35

Gambar 2.8: Visual Analogue Scale ………..………..……. 36

Gambar 4.1: Diagram distribusi jenis kelamin ……… 59

Gambar 4.2: Distribusi berdasarkan kelompok umur ………. 60

Gambar 4.3: Tingkat keberhasilan anastesi lokal ……… . 61

Gambar 4.4: Cara pengambilan bahan pemeriksaan ……… 64

Gambar 4.5:Frekuensi jumlah batuk pada kedua kelompok ... 65

Gambar 4.6: Skala keparahan batuk ………. 66


(20)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1: Karakteristik subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin ……… 54

Tabel 4.2: Distribusi berdasarkan kelompok umur ……….. 54

Tabel 4.3: Karakteristik subjek berdasarkan berat badan ……… 55

Tabel 4.4: Jumlah dosis lidokain yang digunakan ……….. 55

Tabel 4.5 : Tingkat keberhasilan anastesi lokal ………. 56

Tabel 4.6: Cara pengambilan bahan pemeriksaan dan lamanya waktu BSOL .. 56

Tabel 4.7: Skala keparahan batuk saat BSOL ..……… 57

Tabel 4.8: Skala ketidaknyamanan ………... 58


(21)

ABSTRAK

Sektor transportasi telah dikenal sebagai salah satu sektor yang sangat berperan dalam pembangunan ekonomi yang menyeluruh. Namun sektor ini dikenal pula sebagai salah satu sektor yang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan misalnya kebisingan mesin alat transportasi seperti pesawat terbang. Pada pengukuran secara objektif intensitas dan spektrum kebisingan di avron Bandar Udara Polonia saat aktivitas petugas ground handling diperoleh hasil intensitas 78-105 dB dengan rerata bisingnya adalah 92,1dB.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan faktor internal dan eksternal petugas ground handling terhadap penggunaan APT di avron Bandara Polonia Medan. Penelitian ini bersifat analitik dengan desain penelitian cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh seluruh petugas ground handling di avron Bandara Polonia Medan tahun 2013. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 96 orang. Analisis data dilakukan dengan uji statistik logistic regression.

Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa pengetahuan dan sikap .yang memiliki pengaruh (p < 0,05) terhadap penggunaan APT di avron Bandara Polonia Medan, dengan sikap sebagai variabel dominannya.

Diperlukan peningkatan pengetahuan dan sikap serta tindakan dengan memberikan pendidikan informal melalui pelatihan kerja untuk meningkatkan pemahaman dan tindakan petugas ground handling tentang pentingnya penggunaan APT. Selain itu perlu peningkatan kualitas dan kuantitas penyebaran informasi-informasi mengenai K3 dan memperkuat pengawasan terhadap penggunaan APT. Pihak bandara dan Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Medan melakukan pemeriksaan berkala fungsi pendengaran untuk petugas ground handling.


(22)

ABSTRACT

Transportation sector has been known as one of the sectors which play a very important role in the entire economic development. However, this sector is also known as one of the sectors which cost negative effects on environment such as noise pollution of the transportation machines like the sound of an airplane. By the objective measurement, the intensity and the spectrum of noise at the avron of Polonia airport at the time of the activities of ground handling personnel showed that the intensity was 78-105 dB with its average noise of 92.1 dB.

The aim of the research was to analyze the correlation of the internal factors and the external factors of ground handling personnel with the use of APT (Ear Protective Device) at the avron of Polonia airport, in 2013. The research was analytic with cross sectional design. The population was all ground handling personnel at the avron of Polonia airport, in 2013, and 96 of them were used as the samples. The data were analyzed by using statistic logistic regression test.

The result of multivatriate analysis showed that knowledge and attitude had the correlation to the influence (p < 0.05) on the use of APT at the avron of Polonia airport Medan, especially attitude as the dominant variable.

It is recommended that knowledge, attitude, and action should be improved by providing informal education, either through employee workshop or through other activities in order to increase the understanding and action of the ground handling personnel about the importance of using APT. Besides, the significant socialization on both quality and quantity of OHS information and also strong supervision are needed. The airport Authors and Medan Port Health Office Class I must regularly check the hearing function of ground handling personnels at airport.


(23)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada era globalisasi dan pasar bebas (World Trade Organization/WTO) dan (General Agreement on Tariffs and Trade/GATT) yang akan berlaku tahun 2020 mendatang, kesehatan dan keselamatan kerja (K3) merupakan salah satu prasyarat yang ditetapkan dalam hubungan ekonomi perdagangan barang dan jasa antar negara yang harus dipenuhi oleh seluruh negara anggota, termasuk Indonesia. Untuk mengantisipasi hal tersebut serta mewujudkan perlindungan masyarakat pekerja Indonesia telah menetapkan Visi Indonesia Sehat yaitu gambaran masyarakat Indonesia di masa depan, yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Pembangunan Indonesia dilaksanakan pada segala bidang guna mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur dan merata baik materi maupun spiritual (Depkes RI, 2009).

Keadaan yang disebutkan di atas menyebabkan penggunaan mesin-mesin, pesawat-pesawat, instalasi-instalasi modern serta bahan berbahaya semakin meningkat. Hal tersebut disamping memberi kemudahan proses produksi dapat pula menambah jumlah dan ragam sumber bahaya di tempat kerja. Maka akan terjadi pula lingkungan kerja yang kurang memenuhi syarat, proses dan sifat pekerjaan yang


(24)

berbahaya, serta peningkatan intensitas kerja operasional tenaga kerja. Masalah tersebut diatas akan sangat mempengaruhi dan mendorong peningkatan jumlah maupun tingkat keseriusan kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja dan pencemaran lingkungan, sehingga dinggap sangat perlu untuk meningkatkan kualitas dan kedisiplinan untuk melaksanakan Sistem Manajemen Keselamatan Kesehatan Kerja (SMK3) (Depnaker RI, 1999).

Tenaga kerja merupakan asset perusahaan yang harus diberi perlindungan terhadap aspek K3 mengingat ancaman bahaya potensial yang berhubungan dengan kerja. Pemerintah telah menetapkan kebijakan perlindungan tenaga kerja terhadap aspek K3 melalui peraturan perundangan. Peraturan perundangan K3 merupakan salah satu upaya dalam pencegahan kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, peledakan, kebakaran, dan pencemaran lingkungan kerja yang penerapannya menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan serta kondisi lingkungan kerja. Selain peraturan perundangan K3, komitmen perusahaan dalam menerapkan SMK3 juga tidak kalah penting guna mencegah kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, dan lain-lain (Silaban, 2008).

K3 baru menjadi perhatian utama pada tahun 70-an searah dengan semakin ramainya investasi modal dan pengadopsian teknologi industri nasional (manufaktur). Perkembangan tersebut mendorong pemerintah melakukan regulasi dalam bidang ketenagakerjaan, termasuk pengaturan masalah K3. Hal ini tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Setiap tempat kerja atau perusahaan harus melaksanakan program K3. Tempat kerja dimaksud berdimensi sangat luas mencakup


(25)

segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan tanah, dalam air, di udara maupun di ruang angkasa (Depnaker RI, 1999).

Upaya kesehatan kerja sangat penting untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan, serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan. Oleh karena itu kesehatan kerja diatur dalam bab tersendiri, yaitu Bab XII yang terdiri dari Pasal 164 sampai dengan Pasal 166. Upaya kesehatan kerja meliputi pekerja di sektor formal, yaitu pekerja yang bekerja dalam hubungan kerja dan informal, yaitu pekerja yang bekerja di luar hubungan kerja. Upaya kesehatan kerja dimaksud berlaku bagi setiap orang selain pekerja yang berada di lingkungan tempat kerja (Sitompul, 2010).

UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) juga mengatur tentang kesehatan kerja dalam satu paragraf dengan keselamatan kerja. Pengaturan tersebut ada dalam Pasal 86 dan 87 UU Ketenagakerjaan. Dalam passal tersebut antara lain ditentukan sebagai berikut:

a. Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja;

b. Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

c. Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.


(26)

Menurut teori yang dikemukakan oleh H.L. Blum bahwa status kesehatan sangat dipengaruhi oleh faktor keturunan, pelayanan kesehatan, perilaku dan lingkungan. Sedangkan untuk meningkatkan status kesehatan seseorang diperlukan lingkungan yang kondusif. Salah satu cara adalah bebas dari polusi, baik polusi udara maupun polusi suara. Akan tetapi lingkungan yang bebas polusi sangat jarang kita temui pada saat sekarang ini. Hal ini terjadi karena bertambahnya urbanisasi sehubungan dengan bertambahnya transportasi yang pesat dan pertambahan penggunaan mesin-mesin baru, yang lebih besar dan berkekuatan dimana-mana, bising telah menjadi hasil sampingan yang tidak dapat diabaikan dari kehidupan kita yang telah dimekanisasi dan merupakan bahaya yang serius pula terhadap kesehatan kita (Doelle,1993).

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah kepentingan pengusaha, pekerja dan pemerintah di seluruh dunia. Menurut perkiraan ILO, setiap tahun di seluruh dunia 2 juta orang meninggal karena masalah-masalah akibat kerja. Dari jumlah ini, 354.000 orang mengalami kecelakaan fatal. Disamping itu, setiap tahun ada 270 juta pekerja yang mengalami kecelakaan akibat kerja dan 160 juta yang terkena penyakit akibat kerja. Biaya yang harus dikeluarkan untuk bahaya-bahaya akibat kerja ini amat besar. ILO memperkirakan kerugian yang dialami sebagai akibat kecelakaan-kecelakaan dan penyakitpenyakit akibat kerja setiap tahun lebih dari US$1.25 triliun atau sama dengan 4% dari Produk Domestik Bruto (GDP) (Depnaker RI, 2006).


(27)

Masalah-masalah K3 merupakan bagian penting dalam agenda ILO. Konferensi Perburuhan Internasional setiap tahunnya membicarakan standar-standar K3 sebagai bagian dari pendekatan yang terintegrasi dan mencapai persetujuan mengenai strategi K3 global yang menghimbau dilakukannya suatu aksi yang “jelas dan terpusat” untuk mengurangi angka kematian, luka-luka dan penyakit akibat kerja, termasuk akibat kebisingan. Pengaruh khusus akibat kebisingan berupa gangguan pendengaran, gangguan kehamilan, pertumbuhan bayi, gangguan komunisasi, gangguan istirahat, gangguan tidur, psikofisiologis, gangguan mental, kinerja, pengaruh terhadap perilaku pemukiman, ketidak nyamanan, dan juga gangguan berbagai aktivitas sehari-hari (Mansyur, 2003). Cacat pendengaran akibat kerja (occupational deafness/ noise induced hearing loss) adalah hilangnya sebahagiaan atau seluruh pendengaran seseorang yang bersifat permanen, mengenai satu atau kedua telinga yang disebabkan oleh bising terus menerus dilingkungan tempat kerja (Adriana et al, 2003).

Saat ini kebisingan telah menjadi masalah yang banyak di hadapi penduduk kota besar. Kebisingan merupakan salah satu faktor penting penyebab terjadinya stress dalam kehidupan modern. Karena merupakan suatu unsur lingkungan yang dapat mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan hidup. Untuk kegiatan pembangunan secara fisik seperti sarana transportasi harus dikendalikan tingkat kebisingannya sehingga tidak melampaui batas (Wardhana, 2004).

Pada tahun 2004, lebih dari 275 juta orang di dunia mengalami gangguan pendengaran dimana 80% dari mereka berasal dari negara-negara berpenghasilan


(28)

rendah dan menengah. Penyakit infeksi seperti meningitis, campak, gondok dan infeksi telinga kronis dapat menyebabkan gangguan pendengaran. Penyebab umum lainnya termasuk paparan berlebihan, kepala kebisingan dan cedera telinga, penuaan dan penggunaan obat-obatan. Setengah dari semua kasus gangguan pendengaran dan ketulian dapat dihindari melalui pencegahan primer yaitu penggunaan alat pelindung diri (APD). Sebagian besar dapat diobati melalui diagnosis dini dan manajemen yang sesuai. Tergantung pada penyebab gangguan pendengaran, dapat ditangani secara medis, pembedahan atau melalui perangkat seperti alat bantu dengar dan implan koklea. Produksi alat bantu dengar memenuhi kurang dari 10% dari kebutuhan global. Di negara-negara berkembang, 1 dari 40 orang yang membutuhkan alat bantu dengar (WHO, 2012).

Berdasarkan survei “Multi Center Study” di Asia Tenggara, Indonesia termasuk 4 negara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi yaitu 4,6%, sedangkan 3 negara lainnya yakni Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India (6,3%). Walaupun bukan yang tertinggi tetapi prevalensi 4,6% tergolong cukup tinggi, sehingga dapat menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat. Sementara itu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan pada tahun 2007 terdapat 240 juta penduduk dunia menderita gangguan pendengaran dan 70 sampai 150 juta diantaranya terdapat di Asia Tenggara (Alfarisi, 2008).

Sektor transportasi telah dikenal sebagai salah satu sektor yang sangat berperan dalam pembangunan ekonomi yang menyeluruh. Namun sektor ini dikenal pula sebagai salah satu sektor yang menimbulkan dampak negatif terhadap


(29)

lingkungan misalnya udara (polusi) dan kebisingan mesin alat transportasi seperti pesawat terbang. Penelitian yang dilakukan oleh Sintorini et al (2007) menunjukkan bahwa kebisingan akibat pesawat terbang di landasan pacu sebesar 87,93 dB, padahal batas yang ditetapkan menurut Kep- 51/MEN/1999 adalah 85dB.

Pengendalian kebisingan dengan cara penggunaan Alat Pelindung Telinga (APT) merupakan alternatif terakhir bila pengendalian yang lain telah dilakukan. APT berfungsi untuk melindungi alat pendengaran (telinga) dan bahaya kebisingan dan melindungi telinga dari percikan api atau logam yang panas. Secara umum alat pelindung telinga dapat dibagi menjadi dua yaitdan ear muff. Ear plug atau sumbat telinga merupakan alat pelindung telinga yang cara penggunaannya dimasukan pada liang telinga. Sedangkan tutup telinga (ear muff) merupakan alat pelindung telinga yang penggunaanya ditutupkan pada saluran daun telinga (Suma’mur, 2001).

Penelitian yang dilakukan oleh Sitompul (2010) menunjukkan bahwa pekerja atau petugas ground handling di Bandar Udara Polonia sekitar 20% (20 dari 100 petugas ground handling) mengalami gangguan pendengaran akibat kebisingan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Amel (2012) di PT. Gapura Angkasa Bandar Udara Polonia mengenai tingkat kebisingan yang diterima oleh para petugas ground handling menunjukkan bahwa keluhan telinga berdengung pada petugas ground handling di Bandara Polonia Medan sebesar 52% dan 73% petugas ground handling menderita gangguan pendengaran akibat bising.


(30)

Pada pengukuran secara objektif intensitas dan spektrum kebisingan di avron Bandar Udara Polonia saat aktivitas petugas ground handling diperoleh hasil intensitas 78-105 dB dengan rerata bisingnya adalah 92,1dB. Hal ini telah melebihi ambang batas kebisingan, yaitu 85dB. Selain itu paparan bising pada petugas ground handling di bandara Polonia Medan adalah 9 jam / hari dan pemakaian alat pelindung diri khususnya APT pada petugas ground handling di bandara Polonia Medan hanya 12%. Hasil pantauan peneliti terlihat beberapa petugas tidak menggunakan APT saat menjalankan tugasnya. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor penyebab petugas tidak menggunakan APT di avron Bandara Polonia Medan Tahun 2013.

1.2 Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini adalah masih rendahnya penggunaan APT dalam mencegah gangguan pendengaran di avron Bandara Polonia Medan Tahun 2013.

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan faktor internal (pengetahuan, sikap, jenis kelamin, pendidikan, umur dan lama bekerja) dan eksternal (pengawasan pimpinan, peraturan bandara dan sistem informasi K3) petugas ground handling terhadap penggunaan APT di avron Bandara Polonia Medan tahun 2013.


(31)

1.4 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan faktor internal (pengetahuan, sikap, jenis kelamin, pendidikan, umur dan lama bekerja) dan eksternal (pengawasan pimpinan, peraturan bandara dan sistem informasi K3) petugas ground handling terhadap penggunaan APT di avron Bandara Polonia Medan tahun 2013.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Memberikan masukan bagi Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Medan mengenai faktor utama yang menyebabkan gangguan pendengaran bagi petugas ground handling sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan gangguan pendengaran tersebut.

b. Memberikan masukan bagi pihak Bandar Udara Polonia Medan agar memaksimalkan penggunaan APT bagi petugas ground handling dengan membuat kebijakan sehingga dapat mencegah gangguan pendengaran bagi petugas tersebut.

c. Bagi kalangan akademik, penelitian ini tentunya bermanfaat sebagai kontribusi untuk memperkaya khasanah keilmuan pada umumnya dan pengembangan penelitian sejenis di masa yang akan datang.


(32)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Alat Pelindung Telinga (APT) 2.1.1 Definisi dan Jenis APT

Alat Pelindung Telinga. Selain berguna untuk melindungi pemakainya dari bahaya percikan api atau logam-logam panas, alat ini juga bekerja untuk mengurangi intensitas suara yang masuk ke dalam telinga. Ada tiga macam alat pelindung telinga yaitu:

a. Sumbat telinga (ear plug), dapat mengurangi kebisingan 8-30 dB. Biasanya digunakan untuk proteksi sampai dengan 100 dB. Beberapa tipe dari sumbat telinga antara lain: Formable type, Costum-molded type, premolded type. b. Tutup telinga (ear muff), dapat menurunkan kebisingan 25-40 dB. Digunakan

untuk proteksi sampai dengan 110 dB.

c. Helm (helmet), menurunkan kebisingan 40-50 dB (Alfarisi, 2008). Berikut ini gambar masing-masing APT:


(33)

2.1.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemakaian APT a. Umur

Umur merupakan salah satu faktor karakteristik pekerja. Suma’mur (1989) menyatakan dalam statistik terlihat bahwa dengan usia muda sering mengalami kecelakaan kerja bila dibandingkan dengan usia yang lebih tua. Secara umum diketahui bahwa kapasitas fisik manusia seperti penglihatan dan kecepatan reaksi menurun setelah usia 30 tahun atau lebih. Sebaliknya mereka pada usia tersebut mungkin akan lebih berhati-hati, lebih dapat dipercaya dan lebih menyadari akan bahaya, dibandingkan dengan pekerja yang berusia muda. Menurut Suma’mur (1989), angka beratnya kecelakaan rata-rata lebih meningkat mengikuti pertambahan umur.

Penelitian yang dilakukan oleh Noviadi (2001) tentang penggunaan alat pelindung telinga menunjukkan bahwa umur pekerja di bagian produksi Ammonia PT. PUSRI Palembang umumnya > 41 tahun, yaitu sebesar 63,3%. Umur juga sebagai salah satu penentu kematangan berfikir dari seorang pekerja.

b. Jenis Kelamin

Jenis kelamin dalam kaitannya dengan perilaku selamat diutarakan oleh Suma’mur (1989) bahwa terdapat kelompok-kelompok tenaga kerja yang oleh karena alasan-alasan tertentu mendapat perhatian khusus dalam keselamatan kerja. Mereka itu salah satunya adalah wanita. Ketentuan-ketentuan keselamatan yang bertalian dengan pekerja secara umum berlaku pula bagi pekerja wanita, namun pada beberapa


(34)

hal perlunya ketentuan tambahan secara khusus. Contohnya ketentuan pembatasan untuk wanita pada pekerjaan-pekerjaan yang dapat membahayakannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Noviadi (2001) tentang penggunaan alat pelindung telinga menunjukkan bahwa jenis kelamin pekerja di bagian produksi Ammonia PT. PUSRI Palembang seluruhnya (100%) adalah laki-laki. Mayoritas pekerja di bagian produksi atau keteknikan umumnya adalah lelaki. Hal ini dikaitkan dengan pekerjaan yang memerlukan kondisi fisik yang kuat. Penelitian lain oleh Kesuma (1998) tentang penggunaan APT pada tenaga kerja bagian produksi di PT. Krakatau Steel Cilegon menunjukkan bahwa lama kerja pekerjanya tergolong lama (6-10 tahun), yaitu sebesar 45,8%.

c. Pendidikan

Pendidikan adalah usaha secara sadar dan sistematis yang berlangsung seumur hidup didalam mentransfer pengetahuan seseorang kepada orang lain. Usaha ini bisa dilakukan secara formal maupun non formal. Secara formal yakni ditempuh melalui tingkat-tingkat pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai pendidikan tinggi, terjadi diruang kelas dengan program yang bersifat “structure”. Sedangkan pendidikan non formal umumnya bersifat “unstructure”. Notoatmodjo (1981) menyatakan bahwa pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak didik untuk menuju kedewasaan. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan dapat mempengaruhi cara berpikir dalam menghadapi pekerjaan, menerima latihan kerja dan juga cara menghindari kecelakaan kerja, tersirat pula tujuan dari intervensi pendidikan adalah


(35)

memotivasi dan memampukan pekerja untuk mengambil tindakan yang efektif dalam meningkatkan kondisi kerja.

Penelitian yang dilakukan oleh Noviadi (2001) tentang penggunaan alat pelindung telinga menunjukkan bahwa pendidikan pekerja di bagian produksi Ammonia PT. PUSRI Palembang umumnya adalah SMA, yaitu sebesar 98,3%. Hasil analisis bivariat juga menunjukkan bahwa ada hubungan pendidikan pekerja di bagian produksi Ammonia PT. PUSRI Palembang dengan penggunaan APD telinga untuk mencegah gangguan pendengaran (p=). Pendidikan formal berkaitan dengan pengetahuan yang diterima oleh pekerja. Bila pendidikannya baik, maka akan baik pulalah pengetahuannya.

d. Pengetahuan tentang APT

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Lavine, pengetahuan pekerja dalam penggunaan alat pelindung diri yang baik dan aman mutlak dimiliki penggunanya mengingat bahaya yang dapat ditimbulkan, untuk itu pekerja harus tahu fungsi dari APT itu sendiri serta potensi bahaya pada tempat kerjanya. Dengan demikian pengetahuan akan timbul akibat rasa takut akan sesuatu yang mungkin terjadi dan jika pekerja tahu akan dampak atau


(36)

bahaya yang akan timbul jika tidak menggunakan APT, maka diharapkan pekerja akan memberikan perhatian dalam penggunaan APT (Elfrida, 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Noviadi (2001) tentang penggunaan alat pelindung telinga menunjukkan bahwa pengetahuan pekerja di bagian produksi Ammonia PT. PUSRI Palembang mengenai penggunaan APD telinga tergolong baik, yaitu sebesar 53,3%. Hasil analisis bivariat juga menunjukkan bahwa ada hubungan pengetahuan pekerja di bagian produksi Ammonia PT. PUSRI Palembang dengan penggunaan APD telinga untuk mencegah gangguan pendengaran (p=0,001). Penelitian lain oleh Kesuma (1998) tentang penggunaan APT pada tenaga kerja bagian produksi di PT. Krakatau Steel Cilegon menunjukkan bahwa pengetahuan pekerjanya tergolong baik, yaitu sebesar 52,1%.

e. Sikap tentang APT

Sikap adalah determinan perilaku karena berkaitan dengan persepsi, kepribadian dan motivasi. Sebuah sikap merupakan suatu keadaan sikap mental yang dipelajari dan diorganisasi menurut pengalaman dan yang menyebabkan timbulnya pengaruh khusus atau reaksi seseorang terhadap orang-orang, objek-objek dan situasi-situasi dengan siapa ia berhubungan. Karakteristik dari sikap senantiasa mengikutsertakan segi evaluasi yang berasal dari komponen afeksi, sedangkan kejadiannya tidak diikutsertakan dengan evaluasi emosional. Oleh karena itu sikap adalah relatif konstan dan agak sukar berubah. Jika ada perubahan dalam sikap berarti adanya suatu tekanan yang kuat dan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sikap melalui proses tertentu. Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa sikap


(37)

merupakan kumpulan dari berpikir, keyakinan dan pengetahuan. Namun disamping itu memiliki evaluasi negatif maupun positif yang bersifat emosional yang disebabkan oleh komponen afeksi. Semua hal ini dengan sendirinya berhubungan dengan objek atau masalah. Pengetahuan dan perasaan yang ada dalam sikap akan menghasilkan tingkah laku tertentu (Notoatmodjo, 2003).

Penelitian yang dilakukan oleh Noviadi (2001) tentang penggunaan alat pelindung telinga menunjukkan bahwa sikap pekerja di bagian produksi Ammonia PT. PUSRI Palembang mengenai penggunaan APD telinga tergolong positif, yaitu sebesar 60%. Hasil analisis bivariat juga menunjukkan bahwa ada hubungan sikap pekerja di bagian produksi Ammonia PT. PUSRI Palembang dengan penggunaan APD telinga untuk mencegah gangguan pendengaran (p=0,001). Penelitian lain oleh Kesuma (1998) tentang penggunaan APT pada tenaga kerja bagian produksi di PT. Krakatau Steel Cilegon menunjukkan bahwa sikap pekerjanya tergolong baik, yaitu sebesar 66,6%.

f. Lama Bekerja

Lama kerja seseorang dapat dikaitkan dengan pengalaman yang didapatkan ditempat kerja. Semakin lama masa kerja seseorang maka pengalaman yang akan diperoleh sewaktu bekerja akan lebih banyak. Dalam hal keselamatan dan kesehatan kerja pengalaman dalam memakai berbagai macam alat kerja secara aman tentunya akan semakin banyak pula. ILO (1989) menyatakan bahwa hasil studi di Amerika menemukan, kecelakaan kerja yang terjadi selain disebabkan oleh faktor manusia juga karena masih baru bekerja dan kurang dalam pengalaman.


(38)

Penelitian yang dilakukan oleh Noviadi (2001) tentang penggunaan alat pelindung telinga menunjukkan bahwa lama bekerja pekerja di bagian produksi Ammonia PT. PUSRI Palembang tergolong lama (> 19 tahun), yaitu sebesar 61,7%. Semakin lama masa kerja, maka akan semakin memahami kondisi lingkungan kerja dari suatu pekerjaan. Selanjutnya, pekerja akan memiliki pengetahuan yang baik untuk mengendalikan risiko dari lingkungan kerja tersebut.

g. Pengawasan Pimpinan

Olishifski (1998) menyatakan bahwa pengawasan merupakan kegiatan rutin dalam bentuk observasi harian terhadap penggunaan alat pelindung diri yang dilakukan oleh pengawas yang ditunjuk dan umumnya dirancang sendiri untuk melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan kerja bawahannya. Tenaga kerja harus diawasi pada waktu mereka bekerja untuk memastikan bahwa mereka terus menerus menggunakannya secara benar (Dalam Kusuma, 2004).

Menurut Kelman (1958) perubahan perilaku individu dimulai dengan tahap kepatuhan (compliance), identifikasi, kemudian baru menjadi internalisasi. Mula-mula individu mematuhi tanpa kerelaan melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin menghindari hukuman (punishment) ataupun sanksi, jika seseorang tersebut tidak patuh atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika dapat mematuhi anjuran tersebut maka biasanya perubahan yang terjadi pada tahap ini sifatnya sementara, artinya bahwa tindakan dilakukan selama masih ada pengawas. Namun pada saat pengawasan mengendur perilaku itu pun ditinggalkannya lagi (Dalam Elfrida, 2006).


(39)

Penelitian yang dilakukan oleh Noviadi (2001) tentang penggunaan alat pelindung telinga memperoleh hasil setengah pekerja menyatakan bahwa tidak ada pengawasan yang dilakukan oleh manajemen bagian produksi Ammonia PT. PUSRI Palembang dalam mengawasi pemakaian APD telinga, yaitu sebesar 50%. Bila pekerja tidak bekerja dalam pengawasan, maka mereka tidak akan merasa punya kewajiban untuk menggunakan APD telinga. Penelitian lain oleh Kesuma (1998) tentang penggunaan APT pada tenaga kerja bagian produksi di PT. Krakatau Steel Cilegon menunjukkan bahwa pekerja menyatakan tidak ada pengewasan dalam pemakaian APT di lokasi kerja tersebut, yaitu sebesar 62,5%.

h. Peraturan Perusahaan

Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan pasal 108 menyatakan bahwa “Setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama”. Oleh karena itu upaya perlindungan terhadap pekerja akan bahaya khususnya pada saat melaksanakan kegiatan/proses di tempat kerja perlu dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan. Salah satu upaya perlindungan terhadap tenaga kerja tersebut adalah dengan penggunaan alat pelindung diri (APD).

Kebijakan sebuah perusahaan tentang pelaksanaan K3 dijelaskan dengan detail dalam bentuk peraturan-peraturan. Kepastian hukum yang kuat akan memberikan kemantapan dalam pengawasan. Karena apabila diberi teguran dan peringatan tidak dihiraukan maka perangkat peraturanlah yang akan berperan dalam


(40)

hal pemberian sanksi. Maka peraturan yang berkaitan dengan situasi kerja merupakan upaya yang dilakukan dalam meningkatkan efektifitas pelaksanaan program K3 di sebuah perusahaan. Adanya kebijakan dalam bentuk sanksi dan pemberian penghargaan/hadiah ternyata mempunyai makna dalam meningkatkan motivasi berperilaku pekerja terutama dalam penggunaan APD.

Penelitian yang dilakukan oleh Noviadi (2001) tentang penggunaan alat pelindung telinga menunjukkan bahwa kebijakan manajemen untuk bagian produksi Ammonia PT. PUSRI Palembang menyatakan kurang baik, karena tidak adanya sanksi, yaitu sebesar 53,3%. Bila suatu tempat kerja tidak diatur dengan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang baik, misalnya dengan adanya sanksi, maka keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja tersebut juga tidak akan berjalan baik. Manajemen adalah kontrol pekeja yang dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan perusahaan. Pengawasan merupakan kegiatan rutin dalam bentuk observasi harian terhadap penggunaan APD yang dilakukan pengawas. Pengawas biasanya berada di bagian yang sama dengan pekerja yang menjadi objek pengawasan. Kemungkinan karena pengawasan hanya dilakukan oleh pengawas lokal maka pengawas tersebut sendiri kurang tegas menghadapi pekerja yang lebih senior, maka pengawasan terkesan kurang mengena sasaran. Penelitian lain oleh Kesuma (1998) tentang penggunaan APT pada tenaga kerja bagian produksi di PT. Krakatau Steel Cilegon menunjukkan bahwa pekerja menyatakan ada peraturan yang mengatur pemakaian APT di lokasi kerja tersebut, yaitu sebesar 58,3%.


(41)

i. Sistem Informasi K3

Sistem informasi merupakan salah satu hal yang berpengaruh dalam perilaku pemakaian APD pada pekerja. System informasi pemakaian APD biasanya berupa apakah pekerja pernah memperoleh informasi mengenai APD. Selain itu, kuantitas dan kualitas informasi tersebut juga sangat mempengaruhi pemakaian APD. Misalnya saja, jika informasi APD sangat jarang ditemui oleh pekerja, maka pekerja cenderung pemakaian APD nya rendah (Suma’mur, 1989).

Penelitian yang dilakukan oleh Noviadi (2001) tentang penggunaan alat pelindung telinga menunjukkan bahwa sistem informasi K3 bagian produksi Ammonia PT. PUSRI Palembang untuk penggunaan APD telinga yang dilihat dari ada atau tidaknya tanda bahaya bila tidak menggunakan APD telinga tergolong cukup baik, yaitu sebesar 91,7%. Semakin baik sistem informasi K3 di suatu perusahaan, maka akan semakin banyak informasi dan pengetahuan yang akan diterima oleh mereka.

2.2 Telinga

2.2.1 Fisiologi Pendengaran

Pendengaran adalah persepsi saraf mengenai energi suara. Gelombang suara adalah getaran udara yang merambat dan terdiri dari daerah-daerah bertekanan tinggi karena kompresi (pemampatan) molekul-molekul udara yang berselang seling dengan daerah bertekanan rendah karena penjarangan molekul tersebut (Sherwood, 2001).


(42)

Sewaktu suatu gelombang suara mengenai jendela oval, tercipta suatu gelombang tekanan di telinga dalam. Gelombang tekanan menyebabkan perpindahan mirip gelombang pada membran basilaris terhadap membrana tektorium Sewaktu menggesek membrana tektorium, sel-sel rambut bertekuk. Hal ini menyebabkan terbentuknya potensial aksi. Apabila deformitasnya cukup signifikan, maka saraf-saraf aferen yang bersinaps dengan sel-sel rambut akan terangsang untuk melepaskan potensial aksi dan sinyal disalurkan ke otak (Ganong, 2003).

Frekuensi gelombang tekanan menentukan sel-sel rambut yang akan berubah dan neuron aferen yang akan melepaskan potensial aksi. Misalnya, sel-sel rambut yang terletak dibagian membranan basilaris dekat jendela oval adalah sel-sel yang mengalami perubahan oleh suara berfrekuensi tinggi, sedangkan sel-sel rambut yang terletak di membrana basilaris yang paling jauh dari jendela oval adalah sel-sel yang mengalami perubahan oleh gelombang berfrekuensi rendah. Otak menginterpretasikan suatu suara berdasarkan neuron-neuron yang diakftifkan. Otak menginterpretasikan intensitas suara berdasarkan frekuensi impuls neuron dan jumlah neuron aferen yang melepaskan potensial aksi (Higler, 2000).

Penghantaran (konduksi) gelombang bunyi ke cairan di telinga dalam melalui membran timpani dan tulang-tulang pendengaran, yang merupakan jalur utama untuk pendengaran normal, disebut hantaran osikular. Gelombang bunyi juga menimbulkan getaran membran timpani kedua yang menutupi fenestra rotundum. Proses ini, yang tidak penting untuk pendengaran normal, disebut hantaran udara. Hantaran jenis ketiga, hantaran tulang adalah penyaluran getaran dari tulang-tulang tengkorak ke


(43)

cairan di telinga dalam. Hantaran tulang yang cukup besar terjadi apabila kita menempelkan garpu tala atau benda lain yang bergetar langsung ke tengkorak. Jaras ini juga berperan dalam penghantaran bunyi yang sangat keras (Ganong, 2003).

2.3 Kebisingan

2.3.1 Definisi Kebisingan

Kebisingan merupakan suara atau bunyi yang secara fisis merupakan penyimpangan tekanan, pergeseran partikel dalam medium elastis seperti misalnya udara. Secara fisiologis merupakan sensasi yang timbul sebagai akibat propagasi energi getaran dari suatu sumber getar yang sampai ke gendang telinga. Kebisingan dapat juga diartikan bentuk suara yang tidak sesuai dengan tempat dan waktunya, sehingga secara umum kebisingan dapat diartikan sebagai suara yang merugikan manusia dan lingkungan. Bising dikategorikan pada polutan lingkungan atau buangan yang tidak terlihat, tapi efeknya cukup besar. Sedangkan definisi dari bunyi sendiri merupakan bentuk gelombang longitudinal yang merambat secara perapatan dan perenggangan terbentuk oleh partikel zat perantara serta ditimbulkan oleh sumber bunyi yang mengalami getaran (Alfarisi, 2008).

Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan (Kep MENLH No: Kep-48/MENLH/11/1996). Kebisingan adalah suara atau bunyi yang tidak dikehandaki atau dapat diartikan pula sebebagai suara yang salah pada tempat dan waktu yang salah (Chandra, 2007).


(44)

2.3.2 Mekanisme Kebisingan

Bunyi dinyatakan sebagai sensasi pendengaran yang lewat telinga dan timbul karena penyimpangan tekanan udara. Penyimpangan ini biasanya disebabkan oleh beberapa benda yang bergetar, misalnya dawai gitar yang dipetik atau garpu tala yang dipukul. Sewaktu fluktuasi tekana udara ini membentur gendang pendengaran (membran timpani) dari telinga kita maka membran ini akan bergetar sebagai jawaban pada fluktuasi tekanan udara tersebut. Getaran ini melalui saluran dan proses tertentu akan sampai diotak kita dimana hal ini diinterprestasikan sebagai suara. Pada kondisi atau aktifitas tertentu, misalnya saat seseorang berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain dengan perbedaan tingkat ketinggian lokasi cukup besar dalam waktu relatif singkat, akan timbul perbedaan tekanan udara antara bagian depan dan belakang gendang telinga. Akibatnya gendang telinga tidak dapat bergetar secara efisien, dan sudah barang tentu pendengaran akan terganggu (Tambunan, 2005).

Suara bising akan dapat terjadi apabila ada 3 (tiga) hal yaitu : sumber bising, media/udara, dan penerima. Dari sumber bising, suara akan merambat melalui udara dalam bentuk gelombang sampai suara tersebut diterima oleh pendengar/penerima. Kebisingan tidak akan terjadi tanpa adanya media/udara. Pengurangan kebisingan dapat dilakukan dengan jalan penggunaan isolasi/isolator antara sumber dan penerima (Doelle, 1993).

Telinga manusia hanya mampu menangkap suara yang ukuran intensitasnya bekisar antara 20-20.000Hz dan dengan frekuensi suara sekitar 80 dB (batas aman) (Chandra, 2007). Lebar responden telinga manusia diantara 0 dB-140 dB yang dapat


(45)

didengar. Batas intensitas suara tertinggi adalah 140 dB dimana untuk mendengarkan suara itu sudah timbul perasaan sakit pada alat pendengaran (Doelle, 1993). Pajanan terhadap suara atau bunyi yang melampaui batas aman di atas dalam waktu yang lama dapat menyebabkan terjadinya ketulian sementara atau permanen (Chandra, 2007).

2.3.3 Jenis Kebisingan

Kebisingan diklasifikasikan ke dalam dua jenis golongan besar yaitu : 1. Kebisingan tetap (steady noise)

2. Kebisingan tidak tetap (non steady noise)

A. Kebisingan Tetap (steady noise)

Kebisingan tetap (steady noise) dibedakan menjadi dua, yaitu: (Tambunan, 2005)

a. Kebisingan dengan frekuensi terputus (discrete frekuensi noise)

Kebisingan ini berupa “nada-nada” murni pada frekuensi yang beragam, contohnya suara mesin, suara kipas dan sebagainya.

b. Broad Band Noise

c. Kebisingan dengan frekuensi terputus dan broad band noise sama-sama digolongkan sebagai kebisingan tetap (steady noise). Perbedaannya adalah broad band noise terjadi pada frekuensi yang lebih bervariasi (bukan nada murni).

B. Kebisingan Tidak Tetap

Kebisingan tidak tetap (non steady noise) dibedakan menjadi tiga, yaitu : a. Kebisingan fluktuatif (fluctuating noise)


(46)

Kebisingan yang selalu berubah-ubah selama rentang waktu tertentu. b. Intermitten noise

Sesuai dengan terjemahannya, intermitten noise adalah kebisingan yang terputus-putus dan besarnya dapat berubah-ubah, contohnya kebisingan lalu lintas.

c. Impulsif noise

Kebisingan impulsif dihasilkan oleh suara-suara berintensitas tinggi (memekakkan telinga) dalam waktu relative singkat, misalnya suara ledakan senjata api dan alat-alat sejenisnya.

2.3.4 Sumber-sumber Bising

Sumber bising adalah suatu hal yang tidak dapat diragukan lagi sebagai asal atau aktivitas yang menghasilkan suara bising yang merusak pendengaran baik bersifat sementara ataupun permanen. Sumber bising utama dalam pengendalian bising lingkungan diklasifikasikan dalam kelompok :

a. Bising interior, berasal dari manusia, alat-alat rumah tangga, mesin gudang dan aktifitas di dalam ruangan atau gedung.

b. Bising luar, bising yang dikategorikan berasal dari aktifitas diluar ruangan seperti transportasi udara, termasuk bus, mobil, sepeda motor, transportasi air, kereta api dan pesawat terbang dan bising yang berasal dari industri. Untuk bising transportasi yang paling penting diketahui bahwa makin besar kendaraan akan semakin keras suara bising yang dihasilkan (Doelle, 1993).


(47)

2.3.5 Pengukuran Kebisingan

Beberapa alat yang digunakan untuk mengukur kebisingan, yaitu :

a. Audiometer, biasanya dipakai untuk mengukur kebisingan yaitu dengan membandingkan dengan suara yang intensitasnya diketahui.

b. Noisemeter, alat ini mengambil suara dalam sebuah mikrofon dan memindahkan energinya ke impuls listrik. Hasil pengukurannya merupakan energi total, dicatat sebagai aliran listrik yang hampir sama dengan kebisingan yang ditangkap.

c. The Equivalent Continous Level, alat ini digunakan untuk menganalisa suatu kebisingan yang sangat fluktuatif, misalnya kebisingan lalu-lintas.

d. Octave Band Analizer, alat ini digunakan untuk menganalisa suatu kebisingan dengan spektrum frekuensi yang luas (Oloan, 2005).

e. Sound Level Meter, Alat ini digunakan untuk mengukur kebisingan antara 30-130 dB dan dari frekuensi 20-20.000 Hz. Sound Level Meter terdiri dari mikrofon, amplifier, dan sirkuit attenuator dan beberapa alat lain. Sound Level Meter dilengkapi dengan tombol pengaturan skala pembobotan seperti A, B, C dan D. Skala A, contohnya adalah rentang skala pembobotan yang melingkupi frekuensi suara rendah dan frekuensi suara tinggi yang masih dapat diterima oleh telinga manusia normal. Sementara itu skala B, C dan D digunakan untuk keperluan-keperluan khusus, misalnya pengukuran kebisingan yang dihasilkan oleh pesawat terbang bermesin jet (Sihar, 2005).


(48)

2.3.6 Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan

Pengawasan kebisingan berpedoman pada nilai ambang batas (NAB) seperti pada tabel 2.1 dibawah ini :

Tabel 2.1. Intensitas dan Waktu Paparan Bising yang Diperkenankan Pemaparan tiap hari (jam) Batas suara (dB)

16 80

8 85

4 90

2 95

1 100

½ 105

¼ 110

Sumber : Depkes RI, 1999

Dengan adanya pemaparan 8 jam tiap hari, batas suara yang masih diperbolehkan adalah 85 dB A. Tingkat kebisingan maksimum yang dianjurkan maupun diperbolehkan adalah rata-rata nilai modus dari tingkat kebisingan pada siang hari, petang hari dan malam hari. Siang hari adalah waktu yang digunakan oleh kebanyakan orang untuk bekerja dan berpergian. Petang hari adalah waktu yang digunakan oleh kebannyakan orang untuk istirahat di rumah tetapi belum tidur. Malam hari adalah waktu yang digunakan kebanyakan orang untuk tidur.

Pembagian waktu pagi, siang dan malam hari disesuaikan dengan kegiatan kehidupan masyarakat setempat. Biasanya pagi hari adalah pukul 06.00 - 09.00, siang hari adalah pukul 14.00 – 17.00 dan malam hari adalah pukul 17.00 – 22.00 (Kep MENLH No: Kep-48/MENLH/11/1996).


(49)

2.3.7 Gangguan Kebisingan pada Pendengaran

a. Adaptasi bila telinga terpapar oleh kebisingan

Mula-mula telinga akan merasa terganggu oleh kebisingan tersebut, tetapi lama-kelamaan telinga tidak merasa terganggu lagi karena suara terasa tidak begitu keras seperti pada awal pemaparan.

b. Peningkatan ambang dengar sementara

Terjadi kenaikan ambang pendengaran sementara yang secara perlahan akan kembali seperti semula. Keadaan ini berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam bahkan sampai beberapa minggu setelah pemaparan. Kenaikan ambang pendengaran sementara ini mula-mula terjadi pada frekuensi 4.000 Hz, tetapi bila pemaparan berlangsung lama maka kenaikan nilai ambang pendengaran sementara akan menyebar pada frekuensi sekitarnya. Makin tinggi intensitas dan lama waktu pemaparan makin besar perubahan nilai ambang pendengarannya. Respon tiap individu terhadap kebisingan tidak sama tergantung dari sensitivitas masing-masing individu.

c. Peningkatan ambang dengar menetap

Kenaikan terjadi setelah seseorang cukup lama terpapar kebisingan, terutama terjadi pada frekuensi 4.000 Hz. Gangguan ini paling banyak ditemukan dan bersifat permanen, tidak dapat disembuhkan. Kenaikan ambang pendengaran yang menetap dapat terjadi setelah 3,5 sampai 20 tahun terjadi pemaparan, ada yang mengatakan baru setelah 10-15 tahun setelah terjadi pemaparan. Penderita mungkin tidak menyadari bahwa pendengarannya telah berkurang dan baru diketahui setelah


(50)

dilakukan pemeriksaan audiogram.

Hilangnya pendengaran sementara akibat pemaparan bising biasanya sembuh setelah istirahat beberapa jam (1-2 jam). Bising dengan intensitas tinggi dalam waktu yang cukup lama (10-15 tahun) akan menyebabkan robeknya sel-sel rambut organ corti sampai terjadi destruksi total organ corti. Proses ini belum jelas terjadinya, tetapi mungkin karena rangsangan bunyi yang berlebihan dalam waktu lama dapat mengakibatkan perubahan metabolisme dan vaskuler sehingga terjadi kehilangan pendengaran yang permanen. Umumnya frekuensi pendengaran yang mengalami penurunan intensitas adalah antara 3.000-6.000 Hz dan kerusakan alat corti untuk reseptor bunyi yang terberat terjadi pada frekuensi 4.000 Hz (4 K notch). Ini merupakan proses yang lambat dan tersembunyi, sehingga pada tahap awal tidak disadari oleh para pekerja. Hal ini hanya dapat dibuktikan dengan pemeriksaan audiometri.

Apabila bising dengan intensitas tinggi tersebut terus berlangsung dalam waktu yang cukup lama, akhirnya pengaruh penurunan pendengaran akan menyabar ke frekuensi percakapan (500-2.000 Hz). Pada saat itu pekerja mulai merasakan ketulian karena tidak dapat mendengar pembicaraan sekitarnya (Tri, 2005).

2.3.8 Pembagian Efek Kebisingan terhadap Pendengaran

Secara umum efek kebisingan terhadap pendengaran dapat dibagi atas 2 kategori yaitu : (Andriana, 2003)


(51)

a. Noise Induced Temporary Threshold Shift (NITTS)

Seseorang yang pertama sekali terpapar suara bising akan mengalami berbagai perubahan, yang mula-mula tampak adalah ambang pendengaran bertambah tinggi pada frekuensi tinggi. Pada gambaran audiometri tampak sebagai “notch” yang curam pada frekuensi 4.000 Hz, yang disebut juga acoustic notch.

Pada tingkat awal terjadi pergeseran ambang pendengaran yang bersifat sementara, yang disebut juga NITTS. Apabila beristirahat diluar lingkungan bising biasanya pendengaran dapat kembali normal.

b. Noise Induced Permanent Threshold Shift (NIPTS)

Didalam praktek sehari-hari sering ditemukan kasus kehilangan pendengaran akibat suara bising, dan hal ini disebut dengan “occupational hearing loss” atau kehilangan pendengaran karena pekerjaan atau mana lainnya ketulian akibat bising.

Dikatakan bahwa untuk merubah NITTS menjadi NIPTS diperlukan waktu bekerja dilingkungan bising selama 10-15 tahun, tetapi hal ini bergantung juga kepada :

a. Tingkat suara bising

b. Kepekaan seseorang terhadap suara bising

NIPTS biasanya terjadi disekitar frekuansi 4.000 Hz dan perlahan-lahan meningkat dan menyebar ke frekuensi sekitarnya. NIPTS mula-mula tanpa keluhan, tetapi apabila sudah menyebar sampai ke frekuensi yang lebih rendah (2.000 Hz dan 3.000 Hz) keluhan akan timbul. Pada mulanya seseorang akan mengalami kesulitan untuk mengadakan pembicaraan di tempat yang ramai, tetapi bila sudah menyebar ke


(52)

frekuensi yang lebih rendah maka akan timbul kesulitan untuk mendengar suara yang sangat lemah. Notch bermula pada frekuensi 3.000-6.000 Hz, dan setelah beberapa waktu gambaran audiogram menjadi datar pada frekuensi yang lebih tinggi. Kehilangan pendengaran pada frekuensi 4.000 Hz akan terus bertambah dan menetap setelah 10 tahun dan kemudian perkembangannya menjadi lebih lambat.

2.3.9 Pengendalian Kebisingan

Kebisingan dapat dikendalikan dengan berbagai cara (Chandra, 2007). Dikenal beberapa cara pengendalian kebisingan yaitu :

a. Mengurangi vibrasi sumber kebisingan, berarti mengurangi tingkat kebisingan yang dikeluarkan sumbernya

b. Menutupi sumber suara

c. Melemahkan kebisingan dengan bahan penyerap suara atau peredam suara d. Menghalangi merambatnya suara (penghalang)

e. Melindungi ruang tempat manusia atau makhluk lainnya berada dari suara f. Melindungi telinga dari suara (Doelle, 1993)

Penggunaan proteksi dengan sumbatan telinga dapat mengurangi kebisingan sekitar 20-25 dB. Tetapi penggunaan tutup telinga ini pada umumnya tidak disenangi oleh pekerja, karena terasa risih adanya benda asing di telinganya. Untuk itu penyuluhan terhadap mereka agar menyadari pentingnya tutup telinga bagi kesehatannya, dan akhirnya mau memakainya (Notoatmodjo, 2003)


(53)

2.4 Perilaku

Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup berperilaku karena mereka semua mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai kegiatan yang sangat luas sepanjang kegiatan yang dilakukannya, yaitu antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan seterusnya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati dari luar (Notoatmodjo, 1993).

2.4.1 Determinan Perilaku

Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni:

a. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.


(54)

b. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

2.4.2 Bentuk Perilaku

Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia itu ke dalam tiga domain yaitu kognitif (cognitive), afektif (affective), dan psikomotor (pshycomotor) (Notoatmodjo, 2007). Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni :

a. Pengetahuan (knowledge) b. Sikap (attitude)

c. Praktek atau tindakan (practice).

2.4.3 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu:

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan


(55)

yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum – hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

d. Analisa (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen – komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.


(56)

e. Sintesis (synthetis)

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian – bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi – formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkas, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada (Notoatmodjo, 2003).

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden.

2.4.4 Sikap

Menurut Notoatmodjo (2007), sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari – hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial.


(57)

Sikap adalah kecenderungan untuk bertindak, berpersepsi dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap boleh berupa benda, orang, tempat, gagasan, situasi atau kelompok.

Sikap mengandung daya pendorong atau motivasi. Sikap bukan sekedar rekaman masa lalu, tetapi juga menentukan apakah orang harus pro dan kontra terhadap sesuatu, menentukan apakah yang disukai, diharapkan dan diinginkan, mengesampingkan apa yang tidak diinginkan dan apa yang harus dihindari.

Seperti halnya pengetahuan, sikap terdiri dari beberapa tingkatan (Notoatmodjo, 2007) yaitu:

a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau memperhatikan stimulus yang diberikan. Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah.

b. Menanggapi (responding)

Menanggapi diartikan member jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi. Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

c. Menghargai (valuing)

Mengahargai diartikan subjek atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus. Dalam arti membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi orang lain.


(58)

d. Bertanggung jawab (responsible)

Sikap yang paling tinggi tindakannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang telah diyakininya. Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung dapat dinyatakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek yang bersangkutan. Pertanyaan secara langsung juga dapat dilakukan dengan cara memberikan pendapat dengan menggunakan kata “setuju” atau “tidak setuju” terhadap pertanyaan-pertanyaan terhadap objek tertentu.

2.4.5 Tindakan

Suatu rangsangan akan direspon oleh seseorang sesuai dengan arti rangsangan tersebut bagi orang yang bersangkutan. Respon atau reaksi inilah yang disebut dengan perilaku, bentuk-bentuk perilaku itu sendiri dapat bersifat sederhana dan kompleks. Dalam peraturan teoritis,tingkah laku dibedakan atas sikap,dimana sikap diartikan sebagai suatu kecenderungan potensi untuk mengadakan reaksi (tingkah laku). Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan untuk terwujudnya sikap agar menjadi suatu tindakan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan atau suatu fasilitas (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Notoatmodjo (1993), tindakan adalah gerakan atau perbuatan dari tubuh setelah mendapat rangsangan ataupun adaptasi dari dalam maupun luar tubuh suatu lingkungan. Tindakan seseorang terhadap stimulus tertentu akan banyak ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan perasaannya terhadap stimulus tersebut.


(59)

Secara logis, sikap dapat dicerminkan dalam suatu bentuk tindakan namun tidak pula dapat dikatakan bahwa sikap dan tindakan memiliki hubungan yang sistematis.

Tindakan terdiri dari beberapa tingkatan,yaitu :

a. Persepsi, mengenal dan memilih suatu objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.

b. Respon terpimpin, dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar. c. Mekanisme, apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara

otomatis atau sesuatu itu sudah menjadi kebiasaan.

d. Adopsi, suatu tindakan yang sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

Pengukuran tindakan dapat dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.

2.5 Ground Handling (Mulyanto, 1999) 2.5.1 Pengertian Ground Handling

Ground handling berasal dari kata ground dan handling. Ground artinya darat atau di darat, yang dalam hal ini di bandara (airport). Handling berasal dari kata hand atau handle yang artinya tangan atau tangani. To handle berarti menangani, Melakukan suatu pekerjaan tertentu dengan dengan penuh kesadaran. Handling berarti penanganan atau pelayanan (service ot to service), sehingga pada banyak


(60)

kesempatan, sering dijumpai pemakaian kata ground service. Dalam banyak kasus, sering juga ditemukan kata ground operation, baik ground handling, ground service, ground operation maupun airport service, pada dasarnya mengandung maksud dan pengertian yang sama, yaitu merujuk kepada suatu aktifitas perusahaan penerbangan yang berkaitan dengan penanganan atau pelayanan terhadap para penumpang berikut bagasinya, kargo, pos, peralatan pembantu pergerakan pesawat di darat dan pesawat terbang itu sendiri selama berada di bandara, untuk keberangkatan (departure) maupun untuk kedatangan atau ketibaan (arrival). Secara sederhana ground handling atau tata operasi darat adalah pengetahuan dan keterampilan tentang penanganan pesawat di apron, penanganan penumpang dan bagasinya di terminal dan kargo serta pos di area kargo.

2.5.2 Ruang Lingkup Ground Handling

Ruang lingkup atau batasan pekerjaan ground handling, yaitu pada fase atau tahap :

a. Pre-flight

Kegiatan penanganan terhadap penumpang berikut bagasinya dan kargo serta pos dan pesawat sebelum keberangkatan.

b. Post Flight

Kegiatan penanganan terhadap penumpang beserta bagasinya dan kargo serta pos dan pesawat setelah penerbangan, atau dengan kata lain penanganan penumpang dan pesawat selam berada di Bandara. Secara teknis operasional, aktifitas ground handling dimulai pada saat pesawat


(61)

mesin pesawat sudah dimatikan, roda pesawat sudah diganjal dan pintu pesawat sudah dibuka dan para penumpang sudah dipersilahkan untuk turun atau keluar dari pesawat, maka pada saat itu para staf udara sudah memiliki kewenangan untuk mengambil alih pekerjaan dari pilot beserta awak kabin.

2.5.3 Tujuan Ground Handling

Ground Handling mempunyai tujuan atau target-target/sasaran-sasaran yang ingin dicapai, yaitu:

a. Flight Safety

b. On Time Performance c. Customer Satisfaction d. Reliability

2.6 Kerangka Teori

Kerangka teori dalam penelitian ini dirangkum berdasarkan tinjauan teori yang ada, khususnya mengenai hubungan antar satu variabel dengan variabel yang lain yang berhubungan dengan terjadinya penggunaan APT untuk mencegah gangguan pendengaran.


(62)

Kerangka teori penggunaan APT untuk mencegah gangguan pendengaran dapat dilihat pada Gambar 3.3 berikut ini:

Gambar 2.2 Kerangka Teori

Sumber: Notoatmodjo (2007); Kesuma (1998); Noviadi (2001); Sintorini (2007); Amel (2012)

Penggunaan APT Karakteristik Pekerja:

- Umur

- Jenis kelamin - Pendidikan - Lama bekerja Pengetahuan Sikap APT: - Kondisi - Perawatan - Kenyamanan Kebijakan Pengawasan Keteladanan Pelatihan Tanda bahaya Rekan kerja Lingkungan kerja


(63)

2.7 Landasan Teori

Menurut Green yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007), yang mendasari timbulnya perilaku dapat dikelompokkan menjadi faktor prediposing, enabling, dan reinforcing. Ketiga faktor tersebut dapat dibagi menjadi dua secara umum, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang mendasari tindakan seseorang yang berasal dari dalam diri seseorang tersebut. Faktor internal dalam penggunaan APT dalam pencegahan gangguan pendengaran di avron Bandara Polonia Medan antara lain: umur, jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan, sikap dan lama bekerja. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang mendasari tindakan seseorang yang berasal dari luar diri seseorang tersebut. Faktor eksternal dalam penggunaan APT dalam pencegahan gangguan pendengaran di avron Bandara Polonia Medan antara lain: pengawasan pimpinan, peraturan bandara, dan sistem informasi kesehatan dan keselamatan kerja.

2.8 Kerangka Konsep

Berdasarkan tinjauan pustaka dan landasan teoritis, maka yang menjadi kerangka konsep penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(64)

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep penelitian di atas, dapat diketahui bahwa variabel independen pada penelitian adalah faktor internal dalam penggunaan APT dalam pencegahan gangguan pendengaran di avron Bandara Polonia Medan antara lain: umur, jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan, sikap dan lama bekerja dan faktor eksternal yaitu: pengawasan pimpinan, peraturan bandara, dan sistem informasi kesehatan dan keselamatan kerja. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah penggunaan APT dalam pencegahan gangguan pendengaran.

Penggunaan APT Faktor Internal:

a. Umur

b. Jenis kelamin c. Pendidikan d. Pengetahuan e. Sikap

f. Lama bekerja

Faktor Eksternal:

a. Pengawasan pimpinan, b. Peraturan bandara, c. Sistem informasi K3


(65)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survei bersifat analitik dengan desain cross sectional yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara variabel-variabel independen terhadap dependen melalui pengujian hipotesis (Soedigdo, 2006).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di avron Bandara Polonia Medan. Alasan dilakukan penelitian di lokasi ini adalah karena belum pernah dilakukan penelitian mengenai pengaruh faktor internal (umur, jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan, sikap dan lama bekerja) dan eksternal (pengawasan pimpinan, peraturan bandara dan sistem informasi K3) petugas ground handling terhadap penggunaan APT dalam pencegahan gangguan pendengaran di avron Bandara Polonia Medan. Selain itu avron Bandara Polonia adalah tempat yang sangat bising sesuai penelitian Sitompul (2010) yang memperoleh rerata intensitas kebisingannya adalah 92,1 dB, yang memiliki potensi untuk menimbulkan gangguan pendengaran bagi pekerja yang bekerja di tempat tersebut.


(66)

Tabel 3.1. Waktu dan Kegiatan Penelitian

No Kegiatan Bulan

Mar Apr Mei Juni Juli Agts Sept

1 Judul penelitian 2 Survei pendahuluan 3 Penyusunan proposal 4 Konsultasi proposal 5 Seminar proposal 6 Perbaikan proposal 7 Pengambilan data

8 Penyusunan hasil penelitian 9 Seminar hasil penelitian 10 Ujian tesis

11 Perbaikan ujian tesis

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh petugas ground handling di avron Bandara Polonia Medan tahun 2013 yang berjumlah 106 orang. Sampel adalah sebagian dari populasi yang bersifat representatif. Dalam penelitian ini, besar sampel diambil dengan menggunakan rumus Lameshow yang dikutip oleh Soedigdo (2006) sebagai berikut ini:

Z21-α/2 P (1-P)

d2

1,96 x 1,96 x 0,5 (1-0,5) 0,12

Dengan rumus ini diperoleh ssasmpel minimal sebesar 96 orang. Keterangan:

n = Besar sampel minimal Z21-α/2 = Nilai normalitas tabel Z

Kepercayaan 95%, maka Nilai Z tabel = 1,96 d = Derajat presisi

P = Proporsi pemakaian APT n=

n=


(1)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

a. Karakteristik petugas ground handling mayoritas berdasakan jenis kelamin laki-laki, berumur < 34,5 tahun, berpendidikan SMA, dan telah bekerja ≥ 13,7 tahun. Penggunaan APT di avron Bandara Polonia Medan tahun 2013 pada petugas ground handling tergolong tidak baik.

b. Variabel pengetahuan, sikap, pengawasan pimpinan, peraturan bandara dan sistem informasi K3 yang memiliki hubungan dengan penggunaan APT di avron Bandara Polonia Medan tahun 2013.

c. Pengetahuan dan sikap yang memiliki pengaruh (p < 0,05) terhadap penggunaan APT di avron Bandara Polonia Medan tahun 2013, dengan sikap sebagai variabel dominannya.

6.2Saran

a. Diperlukan peningkatan pengetahuan dan sikap serta tindakan dengan memberikan pendidikan informal melalui pelatihan kerja untuk meningkatkan pemahaman dan tindakan petugas ground handling tentang pentingnya penggunaan APT.

b. Pentingnya peningkatan kualitas dan kuantitas penyebaran informasi-informasi mengenai K3 untuk petugas ground handling terutama tentang


(2)

penggunaan APT di avron Bandara Polonia Medan dengan meningkatkan frekuensinya dan dengan memanfaatkan media yang ada.

c. Pihak bandara memperkuat pengawasan terhadap penggunaan APT pada petugas ground handling dengan membuat kawasan wajib APT dan pemasangan CCTV untuk memperkuat jangkauan pengawasan. Selain itu diperlukan pemberian sanksi bagi pelanggar penggunaan APT dengan sanksi administratif (teguran, peringatan atau pemecatan) agar tercipta efek jera pada petugas ground handling.

d. Pihak bandara mendukung, memperkuat dan mensosialisasikan peraturan mengenai penggunaan APT bagi petugas ground handling, termasuk pemberian sanksi administrasi bagi yang melanggar peraturan tersebut.

e. Pihak KKP Kelas I Medan bekerja sama dengan pihak Bandara Polonia agar melakukan pemeriksaan berkala fungsi pendengaran untuk petugas ground

handling dan hasilnya disampaikan pihak manajemen untuk dilakukan tindak

lanjut serta kepada petugas tersebut agar lebih meningkatkan perilaku sadar APT.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Adriana,C ;W. Arguelles. Mound,FM. Goycoolea, Carlos Peniche. 2003. Diffusion

Through Membrane of polyelectrolyte Complex of Chitosan and Alginate.

Macromol. Biosci, 3 : 535-539

Afifah, A. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Dermatitis Kontak Akibat Kerja Pada Karyawan Binatu. Skripsi Fakultas Kedokteran Undip, Semarang

Alfarisi, I.K. 2008. Mengatasi Kebisingan di Lingkungan Kerja. Jakarta: Pustaka Abadi

Amel, W. 2012. Kebisingan Pesawat Terbang Pada Petugas Ground Handling PT. GAPURA ANGKASA bandar udara Polonia, Medan. Skripsi FK USU Medan

Budiono. A.R. 1997. Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada)

Chandra, Budiman. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. EGC, Jakarta Depkes RI, 2008, Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2007. Jakarta

________. 2009. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008. Jakarta ________. 2010. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2009. Jakarta

Depnaker RI. 1999. Pembinaan Operasional P2K3 Modul Dasar-Dasar Keselamtan dan Kesehatan Kerja, Jakarta

___________. 2006. Situasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Indonesia Saat Ini. Jakarta

Doelle, L. 1993. Akustik Lingkungan. Erlangga. Jakarta

Elfrida. 2006. Pengaruh Kondisi Kerja Psikologis Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan Direktorat SDM PT. POS Indonesia. Skripsi Pendidikan Ekonomi FPIPS UPI Bandung


(4)

McGraw-Higler P., 2000. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi Kedua. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta

Kesuma, M.A. 1998. Studi Tentang Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan APT pada Tenaga Kerja Bagian Produksi di PT. Krakatau Steel Cilegon Jawa Barat Tahun 1998. Tesis Pascasarjana Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat UI, Depok

Lestari, A.M. 2008. Faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan APD Masker pada Tenaga Kerja Bagian Logistik PT. Zeta Agro Corporation Wanatirta, Breber. Skrips Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang, Semarang

Mansyur, M. 2003. Dampak Kebisingan Terhadap Kesehatan. Job Training Petugas Pengawas Kebisingan, Yogyakarta,

Mulyanto, F.H. 1999. Ground Handling: Tata Operasi Darat. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Nawawi, Hadari.2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gajah Mada University. Press, Yogyakarta

Notoatmodjo, S. 1993. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Cetakan I. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset

___________. 2003a. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip Prinsip Dasar. Cetakan 2. Jakarta: Rineka Cipta

___________. 2003b. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Cetakan I. Jakarta: Rineka Cipta

___________. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Cetakan I. Jakarta: Rineka Cipta

___________. 2007. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Cetakan II. Jakarta: Rineka Cipta

Noviadi, P. 2001. Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Alat Pelindung Pendengaran di Bagian Produksi Ammonia P-II PT. PUSRI Palembang Tahun 2000. Tesis Pascasarjana Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat UI, Depok


(5)

Silaban, G. 2008. Hak dan atau Kewajiban Tenaga Kerja dan Pengusaha / Pengurus Yang Ditetapkan dalam Peraturan Perundangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, (Medan : USU Press)

Sintorini, et all. 2007. Hubungan Tingkat Kebisingan Pesawat Udara Terhadap Kesehatan Pekerja Di Sekitar Landas Pacu 1 Dan 2 Bandar Udara Internasional Soekarno–Hatta, Banten. Skripsi Falkutas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan, Universitas Trisakti, Jakarta

Sitompul, R. 2010. Skrining Gangguan Pendengaran Pada Petugas Ground Handling di Avron Bandara Polonia Medan. Tesis S2 Fakultas Kedokteran USU, Medan

Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta

Sloane, ethel. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

Suma’mur, P.K, 2001, Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja, Penerbit Gunung Agung, Jakarta.

UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 86 ayat 1 - 3 Wardhana, W.A, 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. ANDI, Yogyakarta.

WHO. 2012. Deafness and Hearing Impairment.

Wibowo, A. 2010. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Penggunaan APD di Areal Pertambangan PT. Antam Bogor. Skripsi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta Widyaningsih, I. 2007. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Masker

Pada Pekerja Bagian Penghalusan dan Pemotongan di PT. Waroeng Batok Industry Cilacap. Skripsi Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Siliwangi, Jakarta


(6)

Yulianto, E.H. 2004. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan APD pada Petani Dalam Menyemprot Hama di Desa Doplang Kecamatan Jati Kabupaten Blora. Tesis Pascasarjana Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Undip, Semarang