BAB 1 PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Proses perkembangan terhadap wacana tentang Pemilihan Kepala Daerah terus mengalami perkembangan dari sejak tahun 1945 hingga saat ini. Hal ini terbukti dengan
keluarnya berbagai produk hukum diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959,
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 dan diperbaharui dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan diperbaharui
lagi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
1
Reformasi telah membawa perubahan dalam Pemilihan Kepala Daerah dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Undang-
undang tersebut merupakan bagian dari paket liberalisasi politik yang dilakukan pemerintahan Presiden B.J. Habibie, yang terkesan dibuat terburu-buru disaat isu
desentralisasi begitu meluas dan menjadi wacana publik. Trauma terhadap pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah masa Orde Baru, yang ditandai dengan intervensi pusat secara
berlebihan, menjadi semangat pembuat Undang-Undang. Ihwal epala daerah diatur dalam Pasal 34 sampai Pasal 40 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang secara tegas
memuat ketentuan-ketentuan mengenai tugas, fungsi dan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam pelaksaan Pemilihan Kepala Daerah. Ketentuan lebih rinci tentang
Pemilihan Kepala Daerah tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 1512000 tentang .
1
Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Jakarta :LP3M, 2005. hal, 19.
Universitas Sumatera Utara
tata cara pemilihan, pengesahan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 34 Ayat 1 yang menyebutkan bahwa :
“Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui pemilihan secara bersama.”
Selanjutnya pada ayat 2 dikatakan:
“Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui tahapan pencalonan dan pemilihan.”
Berdasarkan PP No. 151 Tahun 2000, tahapan-tahapan itu terdiri dari 1 pendaftaran bakal calon; 2 penyaringan bakal calon; 3 penetapan pasanan calon; 4
rapat paripurna khusus; 5 pengiriman berkas pengiriman; 6 pelantikan. Semua tahapan itu dirancang agar Kepala Daerah terpilih adalah benar-benar seorang pemimpin
yang mumpuni, yaitu memnuhi kualifikasi administrasif yang disyaratkan, mengenal dan dikenal oleh masyarakat daerah, memiliki kompetensidan kapabilitas memimpin daerah
serta visi, misi dan strategi membangun daerah
2
Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 22 Tahun 1999 sangat sentral. Tafsir dari bunyi Pasal 34 tersebut adalah bahwa
siapapun yang memperoleh suara mayoritas secara otomatis akan mendapatkan posisi sebagai Kepala Daerah. Pemerintah pusat bertugas hanya mengesahkan hasil yang telah
diputuskan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal itu dipertegas Pasal 40 yang berbunyi “Pasangan Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah yang memperoleh
.
2
Ibid
Universitas Sumatera Utara
suara terbanyak pada pemilihan,…, ditetapkan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan disahkan oleh Presiden
3
“Kepala Daerah mempunyai masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk masa jabatan
.” Ketentuan persyaratan Kepala daerah diatur sedemikian rupa Pasal 33 dan tetap
membuka kemungkinan penilaian politis oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah karena mekansme pemilihan melalui fraksi alat partai. Dibandingkan dengan persyartan
dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1975, persyaratan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 lebih sederhana dan terukur. Sedangkan masa jabatan ditetapkan 5 tahun.
Dalam Pasal 41 dikatakan:
4
“Bagi kepala daerah yang pertnggungjawavabannya ditolak untuk kedua kalinya, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat mengusulkan pemberhentiannya kepada
Presiden .”
Adapun ketentuan mengenai pemberhentian terdapat dalam Pasal 49 sampai Pasal 54. Pada prinsipnya, kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk
memberhentikan Kepala Daerah sangat besar. Pada tingkat alas an pemberhentian yang paling banyak mendapat sorotan adalah butir g Pasal 49 berbunyi :” mengalami krisis
kepercayaan publik yang luas akibat kasus yang melibatkan tanggung jawabnya, dan keterangan atas kasus itu ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” Pada tingkat
lain, terkait pertanggungjawaban yang tertuang dalam Pasal 46 ayat 1 sampai 3 . Pada ayat 3 disebutkan:
5
Pemilihan Kepala daerah secara langsung adalah salah satu mekanisme baru dalam proses politik di Indonesia. Pemilihan Kepala Daerah Pemilihan Kepala Daerah
.”
3
Ibid,hlm. 69
4
Ibid, hlm. 68
5
Loc. Ctl.hlm 69
Universitas Sumatera Utara
langsung merupakan salah satu bentuk dinamika demokratisasi lokal di Indonesia. Konsep yang ditawarkan Pemilihan Kepala Daerah Pemilihan Kepala Daerah langsung
adalah sebuah mekanisme yang melibatkan masyarakat secara langsung dalam memilih kepala daerahnya
6
Dasar hukum pelaksaaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung Pemilihan Kepala Daerah langsung adalah Undang-Undang
No.322004 tentang pemerintah daerah. Adapun petunjuk pelaksanannya tertuang dalam Peraturan Pemerintah PP No.62005 tentang tata cara pemilihan, pengesahan,
pengangkatan, dan pemberhentian Kepala Daerah. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa Undang-Undang No.322004 merupakan produk perundangan pertama dalam sejarah
. Dipilihnya sistem Pemilihan Kepala Daerah Pemilihan Kepala Daerah secara
langsung menandai popularitas paradigma demokrasi parsitipatoris dan sekaligus surutnya popularitas paradigma demokrasi representasi demokrasi perwakilan atau
pemenangan para penganjur demokrasi masa terhadap demokrasi elit. Artinya, Pemilihan Kepala Daerah Pemilihan Kepala Daerah langsung melengkapi pembaharuan sistem
politik kontemporer hasil reformasi politik dan hukum ketatanegaraan. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, baik Gubernur dan Wakil
Gubernur maupun BupatiWalikota dan Wakil Bupati Walikota, secara langsung oleh rakyat merupakan perwujudan pengembalian hak-hak dasar rakyat dalam memilih
pemimpin di daerah. Dengan demikian masyarakat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas dan rahasia tanpa intervensi
otonom, seperti mereka memilih lembaga eksekutif maupun wakil-wakilnya dalam lembaga legislatif.
6
Ibid, hlm. 98
Universitas Sumatera Utara
politik Indonesia yang mengatur Pemilihan Kepala Daerah Pemilihan Kepala Daerah langsung.
Pemilihan Kepala Daerah yang merupakan pemilihan langsung baru untuk pertama kali diselenggarakan di Kabupaten Karo dalam pemilihan bupati periode 2005-
2010. Perubahan sistem Pemilihan Kepala Daerah secara langsung ini memungkinkan masyarakat untuk menentukan siapa figur yang akan memimpin di daerahnya. Dengan
Pemilihan Langsung ini masyarakat akan mempunyai preferensi terhadap calon-calon yang diusung partai politik. Preferensi itu sendiri dapat diartikan………………….
Masyarakat itu sendiri tidak dapat melepaskan faktor etnisitas di dalam menentukan melihat preferensi terhadap calon-calon Kepala Daerah yang bersaing di
dalam Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung tersebut. Dengan demikian perilaku politik ada kaitannya dengan etnisitas.
Ada tiga hal yang melatarbelakangi pemilihan pokok penelitian atau pengkajian ini:
Pertama, Perilaku politik dari sesuatu masyarakat dipengaruhi dan mempunyai hubungan dengan etnisitaskesukubangsaan, karena etnisitas itu menjadi salah satu unsur
pembentuk perilaku politk, selain masih ada faktor-faktor yang lain, seperti pengaruh luar melalui difusi dan akulturasi, pendidikan, perubahan sosial dan lain-lain. Namun bagi
bangsa Indonesia faktor etnisitas itu dalam kehidupan politik sampai sekarang masih menjadi salah satu yang termasuk terpenting. Kesadaran akan etnisitas masih cukup besar
dan berpengaruh dalam kehidupan individu atau perorangan maupun dalam kehidupan kelompok atau masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Kedua, Pemilihan Kepala Daerah secara langsung baru untuk pertama kalinya diselenggarakan di Berastagi. Sebelumnya sebagaimana halnya di seluruh Indonesia,
kepala Daerah tidak dipilih secara langsung. Hal tersebut menarik untuk diteliti untuk mengetahui kesiapan masyarakat di dalam melaksanakan demokrasi langsung.
Ketiga, Pemilihan perilaku etnis Batak Toba didasarkan pada pertanyaan bagaimanakah berlakunya pengaruh etnisitas terhadap perilaku politik dalam Pemilihan
kepalan daerah langsung yang calonnya semua dari golongan etnis lain. Salah satu perwujudan dari etnistas dapat ditemukan sebagai budaya politik. Di
Indonesia sesuai dengan kemajemukan sukubangsa terdapat budaya politik dari kehidupan politik yang beraneka ragam, Maka dapat dilihat bahwa setiap etnis maupun
daerah mempunyai ciri-ciri atau corak khas tertentu yang membedakan antara satu dengan yang lainnya. Dan setiap etnis yang ada di Indonesia tersebut mempunyai pola
dan sistem budaya masing-masing yang mempengaruhi struktur dan sistem masyarakat dan politiknya sebagaimana yang dapat dlihat dari contoh-contoh berikut
7
1. Sistem kemasyarakatan suku Nias: Pada masa sebelum kedatangan orang Belanda 1669, orang Nias terpecah-pecah menjadi beberapa kesatuan setempat yang disebut
ori negeri. Tiap ori merupakan gabungan dari beberpa banua desa, dan tiap banua diperintah oleh seorang salawa Kepala Desa. Pada jaman Belanda, semua ori di
seluruh Nias dan pulau-pulau sekitarnya dipersatukan menjadi Afdeeling Nias dibawah seseorang asisstent resident. Para tuhenori masih dipertahankan oleh
Belanda untuk mengurusi ori-ori. Sejak jaman kemerdekaan Afdeeling Nias dijadikan salah satu kabupaten dari Propinsi Sumatra Utara. Kabupaten Nias, pada masa ini
7
Koentjaraningrat ed., Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan [1971] 1982 h. 48-50, 58-63, 110-112, 337-339 dan 250-254.
Universitas Sumatera Utara
terdiri dari 13 kecamatan, yang masing-masing dipimpin oleh seorang asisstent wedana. Tiap kecamatan terdiri dari beberapa banua desa yang masing-masing
diketuai oleh seorang salawa. 2. Sistem Kemasyarakatan Suku Mentawai: Pada masyarakat Mentawai Lama ada
seorang tokoh yang disebut rimata adalah terutama memelihara bangunan uma memelihara benda-benda keramat dalam uma, mengorganisasi, mengatur, dan
memimpin upacara-upacara serta aktivitas-aktivitas sosial yang bersangkut paut dengan kesatuan uma. Dalam pekerjaannya, seorang rimata dibantu oleh dua orang
pembantu. Dengan berkurangnya aktivitas kehidupan sosial yang berpusat kepada uma, maka uma bukan lagi berfungsi sebagai pusat keramat, dan demikian fungsi
rimata sebagai tokoh keramat dalam masyarakat menjadi hilang. Sejakk tahun 1954 tidak ada lagi rimata di Pagai dan Sipora. Pada masa sekarang kesatuan administratif
terkecil dalam masyarakat pedesaan di Mentawai adalah rukun tetangga, yang kira- kira sama dengan apa yang dulu merupakan kesatuan uma dengan rumah-rumah
disekelilingnya dibawah seorang rimata. Sekarang hanya ada seorang kepala RT. Sejumlah RT tergabung menjadi satu kampung di bawah seorang kepala kampung,
sedangkan sejumlah kampung-kampung merupakan satu kecamatan. Seluruh Mentawai merupakan satu daerah dibawah seorang Kepala Nagari, yang pangkatnya
sama dengan bupati. 3. Sistem kemasyarakatan suku Batak Karo: Kepemimpinan di bidang pemerintahan
dipegang oleh salah seorang turunan tertua merga taneh. Kepala Kuta disebut pengulu, kepala urung disebut raja urung atau sibayak untuk bagian kerajaan.
Kedudukan-kedudukan tersebut merupakan turun-temurun dan yang berhak ialah
Universitas Sumatera Utara
anak laki-laki tertua sintua atau bungsu singuda. Anak laki-laki yang lain sintengah tidak mempunyai hak menggantikan jabatan pimpinan, kecuali kedua
anak laki-laki itu tidak ada lagi atau tidak mampu. Selain daripada menjalankan pemerintahan sehari-hari kepala dalam pemerintahan itu juga melakukan tugas
peradilan, yaitu penghulu mengetuai sidang di bale kuta dan raja urung mengetuai bale urung. Pengadilan tertinggi ialah bale raja berempat yang merupakan sidang
dari kelima sibayak yang ada di tanah Karo. Kepemimpinan dalam bidang pemerintahan ini terdapat pada zaman sebelum tahun 1946.
4. Sistem kemasyarakatan Suku Jawa: secara administratif, suatu desa di Jawa disebut kelurahan atau dikepalai oleh seorang lurah. Sekelompok dari 15 sampai 25 desa
merupakan suatu kesatuan administratif yang disebut kecamatan dan dikepalai oleh seorang pegawai pamong praja yang disebut camat. Di dalam melaksanakan tugasnya
sehari-hari kepala desa dengan pembantu-pembantunya yang semuanya disebut pamong desa, mempunya dua tugas pokok, ialah tugas kesejahteraan desa dan tugas
dari penduduk desa sendiri, dengan ketentuan-ketentuan bagi calon yang dipilih dan memilih. Dengan adanya peraturan daerah yang berlaku atau yang disahkan untuk
misalnya Yogyakarta dan sekitarnya, dalam tiap-tiap kelurahan dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Kelurahan, yakni suatu badan yang merupakan wakil dari rakyat
untuk rakyat. Organisasi pemerintahan tersebut yang sekaligus menjadi badan pimpinan mencakup dari rakyat desa, mewajibkan lurah untuk mengangkat
pembantu-pembantu. Adapun pembantu-pembantu itu adalah 1 carik, yang bertindak sebagai pembantu umum dan penulis desa, 2 sosial yang memelihara
kesejahteraan penduduk baik rohani maupun jasmani, 3 Kemakmuran, yang
Universitas Sumatera Utara
memepunyai kewajiban memperbesar produksi pertanian, 4 Keamanan, yang bertanggung jawab atas ketentraman lehir dan batin penduduk desa, 5 Kaum, yakni
yang mengurus soal-soal nikah, talak, dan rujuk, dan kegiatan-kegiatan keagamaan, juga soal-soal kalo ada kematian.
5. Sistem kemasyarakatan suku Minangkabau: Kecuali kelompok-kelompok kekerabatan seperti paruik, kampueng dan suku, masyarakat Minangkabau tidak mengenal
organisasi-organisasi masyarakat yang bersifat adat yang lain. Demikian instruksi- instruksi dan aturan pemerintah, soal administratif masyarakat pedesaan, seringkali
disalurkan kepada penduduk desa melalui penghulu suku atau penghulu andiko. Sebuah suku disamping mempunyai seorang penghulu suku, juga mempunyai seorang
dubalang atau manti. Dubalang bertugas menjaga keamanan sebuah suku, sedangkan manti berhubungan dengan tugas-tugas keamanan. Adapun kampueng tidak perlu kita
perhatikan benar, karena tidak seluruh daerah di Minangkabau mempunyai pembagian kampueng sebagai kesatuan yang lebih kecil daripada suku.
Dari contoh yang terdapat dalam kehidupan suku-sukubangsa di Indonesia di atas dapat disimpulkan adanya kemajemukan atau keragaman struktur dan sistem
kemasyarakatan dan politik. Struktur dan sistem kemasyarakatan dan politik itu merupakan dua bentuk perwujudan etnisitas yang dalam skripsi ini menunjukkan masing-
masing sukubangsa mempunyai sistem politik sendiri yang akan mempengaruhi perilaku politiknya.
Kalau diperhatikan lebih mendalam dan lebih seksama lagi kenyataan kehidupan politik suku-sukubangsa itu berkaitan pula dengan jenis dan intensitas pengaruh yang
diserapnya. Ada yang menyerap pengaruh Hindu atau Islam atau Barat yang tinggi
Universitas Sumatera Utara
intensitasnya, ada yang kurang atau sangat sedikit dan ada pula yang tidak memperoleh pengaruh luar sama sekali. Kehidupan politik Jawa, misalnya, mendapat pengaruh Hindu
dan Islam yang sangat intensif, Bali pengaruh Hindu yang intensif, Aceh, Melayu dan Minangkabau pengaruh Islam yang intensif, sejumlah sukubangsa di Papua, terutama
yang masih terisolir, tidak mendapat pengaruh luar. Etnisitas merupakan faktor penting dalam perilaku pemilihan umum di Indonesia.
Kelompok etnis mempunyai peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi, dan orientasi seseorang. Adanya rasa kesukuan atau kedaerahan mempengaruhi dukungan
seseorang terhadap partai politik. Etnis dapat mempengaruhi loyalitas seseorang terhadap partai tertentu.
Di Indonesia secara relatif terdapat kesetiaan etnis Ethnic loyalty yang relatif tinggi dan bahwa partai politik Indonesia dipengaruhi oleh etnisitas.
8
Kajian berupa penelitian mengenai perilaku politik etnis pernah dilakukan oleh Profesor.R.Willian Liddle.
Kesetiaan etnis di Indonesia masih tampak signifikan dan pengabaian faktor etnis dapat menimbulkan
kesalahpahaman mengenai politik di Indonesia. Maka dapat dikatakan hal diatas menunjukkan adanya pengaruh etnisitas terhadap perilaku politik seseorang.
9
8
Leo Suryadinata, Penduduk Indonesia, Etnis dan Agama dalam Era Perubahan Politik, Jakarta:LP3ES, 2003, hal.182
9
R.William liddle, Partisipasi dan Partai Politik di Indonesia Pada Awal Orde Baru, Jakarta:PT.Pustaka Utama Gtafiti, 1992, hal.22-81
Dimana Liddle melakukan penelitian tentang tingkah laku politik di sebuah daerah di Sumatera Utara yaitu Kabupaten Simalungun dan Pematang
Siantar sebagai kota utamanya. Dalam penelitian ini Liddle mencoba mengaitkan analisa makronya tentang tingkah laku politik lokal dengan apa yang kelihatan makro di tingkat
nasional.
Universitas Sumatera Utara
Di Kabupaten Simalungun dan Kota Pematang Siantar Liddle menemukan hubungan-hubungan antara partai lokal dengan kelompok Agama, budaya, etnis. Dimana
pada waktu itu rakyat Indonesia sangat mendambakan partai-partai yang akan mewakili kepentingan mereka yang bersifat primordial. Dari hasil penelitiannya Liddle mengetahui
bahwa proses perkembangan Simalungun dan Kota Pematang Siantar menjadi daerah dan kota perkebunan sejak zaman colonial Belanda telah turut membedakannya dari sebagian
besar daerah atau kota lain di Indonesia. Perbedaan etnis diikuti pula oleh perbedaan agama yang mereka peluk serta
lapangan pekerjaan yang menjadi sumber mata pencaharian mereka sehari-hari. Semua perbedaan diatas yaitu perbedaan etnis, agama, pekerjaan, menjurus pula pada perbedaan
organisasi sosial atau partai politik yang mereka pilih atau ikuti
10
Kenyatan-kenyataan yang ditemukan menimbulkan pertanyaan bagaimana hubungan ataupun pengaruh etnisitas, khususnya struktur masyarakat dan politiknya
kepada perilaku politik dari masyarakat sukubangsa itu dalam kehidupan politik sekarang yang dalam skripsi ini dipusatkan pada pemilihan kepala daerah. Pertanyaan itu sangat
relevan mengingat politik aliran . Dan Liddle
menyimpulkan bahwa primordialisme dan partai di Indonesia bagaikan zat dan sifatnya. Yang pertama merupakan kenyataan-kenyataan sosial budaya, dan yang kedua adalah
ekspresi alamiahnya di bidang politik.
11
10
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Umum, 1992, hal 201.
11
Clifford Geertz, The History of An Indonesian Town.
masih menyatakan dirinya dalam perilaku atau tindakan politik di Indonesia. Dan politik aliran itu masih terwujud dalam adanya
organisasi atau partai politik sektarian. Hal ini dapat kita lihat pada kecenderungan pada
Universitas Sumatera Utara
pemilihan partai terhadap suatu etnis tertentu, dimanasalah satu contohnya etnis suku Karo mempunyai kecenderungan terhadap partai PDI- Perjuangan.
Apa yang dikemukakan diatas berlaku pula dalam perilaku politik individu atau perorangan. Perilaku politik perorangan dipengaruhi oleh lingkungan sosial, budaya dan
politiknya, malah dapat juga ditemukan pengaruh lingkungan ekonomi. Oleh karena itu pemahaman mengenai lingkungan-lingkungan itu diperlukan dalam upaya memahami
perilaku politik perseorangan.
i.2. PERUMUSAN MASALAH