Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Areal Tanaman Kelapa Sawit (Studi Kasus Di PTPN III Kebun Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan)

(1)

KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA PADA

AREAL TANAMAN KELAPA SAWIT (STUDI KASUS DI

PTPN III KEBUN BATANG TORU KABUPATEN

TAPANULI SELATAN)

TESIS

Oleh

NABILAH SIREGAR

117030049/BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA PADA

AREAL TANAMAN KELAPA SAWIT (STUDI KASUS DI

PTPN III KEBUN BATANG TORU KABUPATEN

TAPANULI SELATAN)

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Magister Sains dalam Program Studi Biologi pada Program Pascasarjana Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara

Oleh

NABILAH SIREGAR

117030049/BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

(4)

PERNYATAAN ORISINALITAS

KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA PADA AREAL TANAMAN KELAPA SAWIT (STUDI KASUS DI PTPN III KEBUN

BATANG TORU KABUPATEN TAPANULI SELATAN)

TESIS

Dengan ini saya nyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah dijelaskan sumbernya dengan benar.

Medan, 15 Juli 2014

Nabilah Siregar NIM. 117030049


(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademis Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Nabilah Siregar

NIM : 117030049

Program Studi : Magister Biologi Jenis Karya Ilmiah : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas Tesis saya yang berjudul:

Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Areal Tanaman Kelapa Sawit (Studi Kasus Di PTPN III Kebun Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan)

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Medan, 15 Juli 2014

Nabilah Siregar NIM. 117030049


(6)

Telah diuji pada Tanggal 15 Juli 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Dr. Delvian, S.P., M.P

ANGGOTA : 1. Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc 2. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc 3. Dr. It Jamilah, M.Sc


(7)

ABSTRACT

The first thing that must be known to study the potential of vesicular arbuscular mycorrhizal is to know the diversity of these organisms. Data of diversity vesicular arbuscular mycorrhizal used to obtain the selection of of potential and effective isolates. The aim of this research was to know the density of spore, colonization percentage, and types of vesicular arbuscular mycorrhizal of oil palm tree in PTPN III Batang Toru Estate at different soil fertility conditions. Methods of soil and root were sampling directly from the field (Afdeling I, II, and III) and trapping. The soil chemical characters was observed at Laboratory of Research Technology, Faculty of Agriculture, North Sumatera University. The observation chemical of the soil showed that the soil conditions in all of Afdeling are less fertile. The highest number of spores were found in the field and trapping in Afdeling I; 248 and 336 spores/50 g soils respectively. Percentage of vesicular arbuscular mycorrhizal colonization were highest in Afdeling I by 42%. Vesicular arbuscular mycorrhizal spores knowed that there consisted of two genera Glomus (42 types) and

Acaulospora (3 types).

Keywords: Diversity, vesicular arbuscular mycorrhizal, oil palm, spores, colonization


(8)

ABSTRAK

Hal pertama yang harus diketahui untuk mempelajari potensi fungi mikoriza arbuskula adalah mengetahui keanekaragaman dari organisme tersebut. Dengan adanya data keanekaragaman fungi mikoriza arbuskula, maka dapat dilakukan seleksi guna mendapatkan isolat fungi mikoriza arbuskula yang potensial dan efektif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepadatan spora, persentase kolonisasi, dan tipe fungi mikoriza arbuskula pada areal tanaman kelapa sawit PTPN III Kebun Batang Toru dengan kondisi kesuburan tanah yang berbeda. Metode pengambilan sampel tanah dan akar dilakukan secara langsung dari lapangan (Afdeling I,II dan III) serta trapping. Pengamatan sifat kimia tanah dilakukan di Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Hasil pengamatan sifat kimia tanah menunjukkan bahwa kondisi tanah pada ketiga Afdeling tergolong rendah. Jumlah spora tertinggi dari hasil lapangan dan tarpping

diperoleh pada Afdeling I, yaitu masing-masing 248 dan 336 spora/50 g tanah. Persentase kolonisasi fungi mikoriza arbuskula yang tertinggi juga pada Afdeling I, yaitu 42%. Tipe spora fungi mikoriza arbuskula yang diperoleh terdiri dari dua genus, yaitu Glomus (42 tipe) dan Acaulospora (3 tipe).


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt atas segala tahmat dan karuni-NYA sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan judul “Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula pada Areal Tanaman Kelapa Sawit, Studi Kasus Di PTPN III Kebun Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan”.

Selama pelaksanaan penelitian ini penulis telah banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Delvian, S.P, M.P dan Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc sebagai dosen pembimbing atas segala bantuan, bimbingan, dan arahan yang telah diberikan kepada penulis.

2. Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc dan Dr. It Jamilah, M.Sc sebagai dosen penguji yang telah banyak memberikan saran dan kritikan demi kesempurnaan tesis ini.

3. Pimpinan serta staf pegawai di Departement Biologi FMIPA USU dan Laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian USU

4. Manajer dan staf pegawai PTPN III Kebun Batang Toru di Kabupaten Tapanuli Selatan.

5. Ayahanda dan Ibunda serta keluarga yang telah banyak memberikan doa dan motivasi kepada penulis.

6. Seluruh rekan-rekan yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati menerima kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dan akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.


(10)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Nabilah Siregar

Tempat dan Tanggal Lahir : Padangsidimpuan, 23 November 1988 Alamat Rumah : Jl. Raja Inal Siregar Gg. Ar-Raihan No. 4

Padangsidimpuan

Telepon/Hp : 081370273489

e-mail

DATA PENDIDIKAN

SD : Negeri 142437 Padangsidimpuan Tamat : 2001 SMP : Negeri 2 Padangsidimpuan Tamat : 2004

SMA : Negeri 2 Plus Sipirok Tamat : 2007


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstract i

Abstrak ii

Kata Pengantar iii

Riwayat Hidup iv

Daftar Isi v

Daftar Tabel vii

Daftar Gambar viii

Daftar Lampiran ix

BAB I. PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 2

1.3 Tujuan Penelitian 2

1.4 Manfaat Penelitian

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 3

2.1 Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) 3

2.2 Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) 3

2.2.1 Struktur FMA 5

2.2.2 Simbiosis FMA pada Akar 6

2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberadaan FMA 6 2.2.4 Keanekaragaman FMA dari Hasil Penelitian 9

BAB III. METODE PENELITIAN 11

3.1 Waktu dan Tempat 11

3.2 Bahan dan Alat 11

3.3 Pengambilan Sampel Tanah dan Akar 11

3.4 Pengamatan Sampel Tanah dan Akar 12

3.4.1 Ekstraksi Spora dan Identifikasi FMA 12

3.4.2 Kolonisasi FMA pada Akar Tanaman 13

3.5 Pemerangkapan (Trapping) 14

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 15

4.1 Sifat Kimia Tanah 15

4.2 Kepadatan Spora Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) 16

4.3 Persentasi Kolonisasi Akar 18


(12)

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 32

5.1 Kesimpulan 32

5.2 Saran 32

DAFTAR PUSTAKA 33


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Keanekaragaman FMA dari hasil penelitian 9 Tabel 2. Hasil analisis tanah yang dijadikan sampel isolasi spora FMA 15 Tabel 3. Tipe dan karakteristik spora FMA dari lapangan 22


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Klasifikasi FMA 5

Gambar 2. Ilustrasi petak contoh pengambilan sampel tanah dan akar 12 Gambar 3. Kepadatan spora FMA lapangan dan hasil trapping 16 Gambar 4. Kolonisasi akar oleh FMA yang ditandai dengan adanya (a) hifa

dan (b) vesikula 19


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Data hasil analisis tanah 39


(16)

ABSTRACT

The first thing that must be known to study the potential of vesicular arbuscular mycorrhizal is to know the diversity of these organisms. Data of diversity vesicular arbuscular mycorrhizal used to obtain the selection of of potential and effective isolates. The aim of this research was to know the density of spore, colonization percentage, and types of vesicular arbuscular mycorrhizal of oil palm tree in PTPN III Batang Toru Estate at different soil fertility conditions. Methods of soil and root were sampling directly from the field (Afdeling I, II, and III) and trapping. The soil chemical characters was observed at Laboratory of Research Technology, Faculty of Agriculture, North Sumatera University. The observation chemical of the soil showed that the soil conditions in all of Afdeling are less fertile. The highest number of spores were found in the field and trapping in Afdeling I; 248 and 336 spores/50 g soils respectively. Percentage of vesicular arbuscular mycorrhizal colonization were highest in Afdeling I by 42%. Vesicular arbuscular mycorrhizal spores knowed that there consisted of two genera Glomus (42 types) and

Acaulospora (3 types).

Keywords: Diversity, vesicular arbuscular mycorrhizal, oil palm, spores, colonization


(17)

ABSTRAK

Hal pertama yang harus diketahui untuk mempelajari potensi fungi mikoriza arbuskula adalah mengetahui keanekaragaman dari organisme tersebut. Dengan adanya data keanekaragaman fungi mikoriza arbuskula, maka dapat dilakukan seleksi guna mendapatkan isolat fungi mikoriza arbuskula yang potensial dan efektif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepadatan spora, persentase kolonisasi, dan tipe fungi mikoriza arbuskula pada areal tanaman kelapa sawit PTPN III Kebun Batang Toru dengan kondisi kesuburan tanah yang berbeda. Metode pengambilan sampel tanah dan akar dilakukan secara langsung dari lapangan (Afdeling I,II dan III) serta trapping. Pengamatan sifat kimia tanah dilakukan di Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Hasil pengamatan sifat kimia tanah menunjukkan bahwa kondisi tanah pada ketiga Afdeling tergolong rendah. Jumlah spora tertinggi dari hasil lapangan dan tarpping

diperoleh pada Afdeling I, yaitu masing-masing 248 dan 336 spora/50 g tanah. Persentase kolonisasi fungi mikoriza arbuskula yang tertinggi juga pada Afdeling I, yaitu 42%. Tipe spora fungi mikoriza arbuskula yang diperoleh terdiri dari dua genus, yaitu Glomus (42 tipe) dan Acaulospora (3 tipe).


(18)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Fungi mikoriza arbuskula (FMA) adalah kelompok fungi tanah yang bersifat obligat dan merupakan sumberdaya hayati potensial yang terdapat di alam. Smith dan Read (2008) menyatakan bahwa FMA mampu bersimbiosis dengan 90% jenis tanaman. Pembentukan simbiosis mutualisme antara FMA dengan akar tanaman ditandai dengan pergerakan nutrisi. Fungi akan memperoleh unsur karbon dan nutrisi yang diserap oleh FMA akan ditransfer ke tanaman. Oleh karena itu, kemampuan FMA untuk meningkatkan

Selain bersifat obligat, FMA juga bersifat kosmopolitan (

ketersediaan nutrisi bagi tanaman dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman.

dapat ditemukan pada berbagai kondisi tanah) dengan cara menyebar secara aktif pada miselium dalam tanah

Potensi FMA sebagai pupuk hayati dapat digunakan untuk meningkatkan kesuburan tanah agar produktivitas tanaman kelapa sawit dapat meningkat. Hal ini disebabkan tanaman kelapa sawit merupakan jenis tanaman perkebunan yang menduduki posisi penting di sektor pertanian. Namun, penggunaan pupuk kimia menyebabkan rendahnya kesuburan tanah sehingga produktivitas tanaman kelapa sawit menurun. Dengan demikian, pemanfaatan FMA sebagai pupuk hayati dapat dijadikan alternatif lain untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia.

(Suhardi, 1988). Keberadaan FMA dapat merangsang perakaran dan meningkatkan daya tahan tanaman terhadap kekeringan (Brundrett et al., 1996); meningkatkan unsur hara (P, Zn dan Fe) pada daun, kandungan minyak esensial

(essensial oil), dan artemisinin pada tanaman Artemisia annua L. (Chaudhary et al.,

2008). Dengan demikian, FMA mulai banyak mendapat perhatian dan sering dijadikan sebagai bahan dalam suatu penelitian terutama untuk mempelajari potensinya.


(19)

Hal pertama yang harus diketahui untuk mempelajari potensi suatu organisme ialah melihat keberadaan dan keberagaman dari organisme tersebut. Demikian juga dengan studi keanekaragaman FMA pada areal tanaman kelapa sawit. Adanya data keanekaragaman FMA di areal tanaman kelapa sawit dapat dilakukan seleksi untuk memperoleh isolat FMA yang potensial dan spesifik pada tanaman kelapa sawit. Namun, keanekaragaman tipe-tipe FMA pada tanaman kelapa sawit masih kurang. Menurut Mansur et al. (2002), hampir 70% kegiatan penelitian FMA diarahkan pada manfaatnya dalam pertumbuhan tanaman dan kurang dari 15% yang mempelajari keanekaragaman FMA pada suatu ekosistem.

1.2Perumusan Masalah

Eksplorasi tipe-tipe FMA yang dilakukan pada areal tanaman kelapa sawit merupakan studi awal yang penting untuk dapat mengisolasi dan mengidentifikasi tipe-tipe FMA dominan dan spesifik yang ada. Informasi yang diperoleh dari keanekaragaman tipe-tipe FMA dijadikan sebagai material penting untuk memperoleh isolat FMA yang potensial. Berdasarkan pernyataan di atas, maka perlu dilakukan penelitian keanekaragaman FMA pada areal tanaman kelapa sawit PTPN III Kebun Batang Toru.

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kepadatan spora, persentase kolonisasi, dan tipe spora FMA pada areal tanaman kelapa sawit PTPN III Kebun Batang Toru dengan kondisi kesuburan tanah yang berbeda.

1.4Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi tentang keanekaragaman FMA pada areal tanaman kelapa sawit PTPN III Kebun Batang Toru sehingga dapat dilakukan penelitian lebih lanjut.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)

Kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq.) merupakan jenis tanaman tropis yang berasal dari Afrika Barat. Salah satu negara penghasil minyak sawit terbesar adalah Indonesia karena memiliki lahan yang subur dan luas, sehingga sesuai untuk pertumbuhan kelapa sawit. Tanaman ini dapat menghasilkan minyak makanan, minyak industri, bahan farmasi, maupun bahan bakar nabati (biodiesel) (Ebongue dan

Paul, 2012). Tanaman kelapa sawit tumbuh subur di dataran rendah dengan ketinggian

300-400 m dpl (diatas permukaan laut), suhu optimal 27-280

Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah podzolik, latosol, hidromorfik kelabu, regosol, dan aluvial. Untuk memperoleh hasil yang maximal tanaman kelapa sawit tumbuh baik pada tanah yang gembur, subur, datar, berdrainase baik, dan memiliki lapisan solum cukup dalam (80 cm) tanpa lapisan padas (Balitbang Pertanian, 2008). Tanah dengan kondisi seperti ini akan meningkatkan pertumbuhan dan produksi dari tanaman kelapa sawit. Jadi, peranan kesuburan tanah sangat penting dalam meningkatkan produktivitasnya.

C dan pH 5,5-7,0. Curah hujan yang baik antara 2000-2500 mm/tahun. Panjang penyinaran 6 jam/hari dengan kelembapan optimal 75%. Perakaran tanaman kelapa sawit berupa akar primer, sekunder, tersier, dan kuartener. Sistem perakaran yang ekstensif akan menghasilkan penyerapan hara dan air yang semakin tinggi dengan kesuburan tanah yang baik (Verhey, 2010).

2.2 Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)

Mikoriza terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu myces


(21)

dan Martin, 2010). Mikoriza untuk tumbuh dan berkembang memerlukan karbohidrat dari tanaman dan tanaman memerlukan unsur hara serta air melalui hifa selama siklus hidupnya.

Berdasarkan bentuk dan cara menginfeksi inangnya, mikoriza dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu ektomikoriza dan endomokoriza (Smith dan Read, 2008). Ektomikoriza memiliki jaringan hifa yang tidak masuk ke sel korteks, tetapi berkembang di antara sel membentuk mantel pada permukaan akar, memiliki batang tubuh dengan bentuk dan warna yang beragam dan dapat diperbanyak tanpa tanaman inang. Sedangkan endomikoriza memiliki jaringan hifa yang masuk ke dalam sel korteks, membentuk struktur khas seperti oval yang disebut vesikula atau bercabang yang disebut arbuskula. Dengan demikian, jenis endomokoriza disebut sebagai fungi mikoriza arbuskula atau mikoriza vesikula yang tidak memiliki batang tubuh dan tidak dapat diperbanyak tanpa tanaman inang (INVAM, 2013).

Fungi mikoriza arbuskula (FMA) termasuk dalam filum Glomeromycota, kelas Zygomycetes, dan ordo Glomales yang mempunyai 2 sub-ordo, yaitu Gigasporineae dan Glomineae. Gigasporineae dengan famili Gigasporaceae mempunyai dua genus, yaitu Gigaspora dan Scutellospora. Glomineae mempunyai empat famili, yaitu famili Glomaceae dengan genus Glomus dan Sclerocystis, famili Acaulosporaceae dengan genus Acaulospora dan Entrophospora, famili Paraglomaceae dengan genus Paraglomus, dan famili Archaeosporaceae dengan genus Archaeospora (INVAM, 2013), seperti Gambar 1 di bawah ini.


(22)

Gambar 1. Klasifikasi FMA (Sumber: INVAM, 2013)

2.2.1 Struktur FMA

Fungi mikoriza arbuskula (FMA) dibentuk oleh berbagai struktur yang berfungsi untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan pada akar tanaman inang. Struktur tersebut adalah hifa intraradikal, arbuskula (struktur hifa bercabang-cabang), vesikula (berdinding tipis yang mengandung cairan lemak), Auxiliary cell (sel pelengkap), dan spora (berwarna hialin sampai hitam)

Fungi mikoriza arbuskula (FMA) dapat diidentifikasi secara morfologi dengan melakukan observasi terhadap mikoriza tunggal yang diisolasi untuk memisahkan FMA dengan sampel tanah. Kriteria morfologis tidak dapat digunakan untuk melihat perbedaan mikoriza pada tingkat spesies karena mikoriza memiliki morfologi yang hampir sama. Namun, beberapa spesies memiliki perbedaan pada morfologi vesikula, diameter hifa, dan pola pertumbuhan akar. Oleh karena itu, tanah yang mengandung mikoriza akan menunjukkan morfologi akar dari tanaman perantara tertentu. Jika morfologi tersebut didefenisikan, maka kuantifikasi pembentukan mikoriza oleh spesies yang berbeda dapat terjadi. Dengan demikian, pendekatan morfologis masih


(23)

2.2.2 Simbiosis FMA pada Akar

Fungi mikoriza arbuskula (FMA) merupakan simbion yang paling luas penyebarannya. Simbiosis FMA diawali dari pergerakan hifa ekstraradikal (HE) yang berasal dari perkecambahan spora dalam tanah atau dari akar terkolonisasi, karena tanaman mengeksudasikan senyawa flavonoid. Hifa kemudian menyentuh permukaan akar, membentuk appresoria, dan menembus dinding sel akar untuk membentuk hifa intraradikal. Hifa intraradikal (HI) tumbuh menjalar di antara sel atau menembus sel epidermis dan mengolonisasi ruang intra- dan interseluler korteks akar. Selanjutnya HI berdiferensiasi membentuk arbuskula, vesikel, sel pelengkap, ataupun spora intraradikal.

Kemudian jaringan HE di dalam tanah segera terbentuk setelah terjadinya kolonisasi akar. Hifa ekstraradikal berfungsi untuk mengangkut hara dan air, produksi spora, agregasi tanah, dan melindungi tanaman inang dari serangan patogen. Keberadaan HE pada garis tengahnya yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan garis tengah akar mampu menembus pori mikro untuk mendapatkan air yang tidak dapat dijangkau oleh akar. Hal ini menyebabkan tanaman bermikoriza menjadi lebih adaptif menghadapi cekaman kekeringan. Sumbangan FMA terhadap serapan P dan air dipengaruhi oleh jenis FMA, tanaman, dan lingkungan. Hal ini mengindikasikan kesesuaian fungsional di antara FMA dan tanaman tidak selalu berkaitan dengan kolonisasinya (Smith dan Read, 2008).

2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberadaan FMA

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan FMA adalah sebagai berikut: a. Suhu

Suhu berpengaruh terhadap perkembangan spora, hifa pada sel akar dan perkembangan pada korteks akar. Selain itu, suhu juga berpengaruh pada ketahanan dan simbiosis. Suhu terbaik untuk perkembangan arbuskula adalah 300 C, koloni miselia 28–340 C, dan perkembangan vesikula pada suhu 350 C (Schenk dan


(24)

Schroder, 1974). Menurut hasil penelitian Daniel dan Trappe (1980) Glomus epigaens berkecambah pada suhu 18-250

b. Cahaya dan ketersediaan hara

C.

Intensitas cahaya yang tinggi, kekahatan nitrogen dan fosfor yang sedang akan meningkatkan jumlah karbohidrat di dalam akar sehingga tanaman lebih peka terhadap kolonisasi FMA. Pertumbuhan perakaran yang sangat aktif jarang terkolonisasi FMA. Oleh karena itu, menurunnya pertumbuhan dan perkembangan akar akan meningkatkan kolonisasi FMA. Peranan FMA terhadap ketersediaan P bagi tanaman menunjukkan keterikatan antara FMA dan P tanah. Pada wilayah beriklim sedang, konsentrasi P yang tinggi menyebabkan kolonisasi FMA menurun. Hal ini disebabkan karena tingginya konsentrasi P dalam jaringan inang (Smith dan Read, 1997).

c. Kadar air tanah

Kandungan air tanah dapat berpengaruh baik secara langsung atau tidak langsung terhadap infeksi dan pertumbuhan fungi mikoriza. Pengaruh secara langsung tanaman bermikoriza dapat memperbaiki dan meningkatkan kapasitas serapan air. Sedangkan pengaruh tidak langsung karena adanya miselia eksternal yang menyebabkan FMA efektif dalam mengagregasi butir-butir tanah. Dengan demikian, kemampuan tanah menyerap air meningkat (Rothwell, 1984). Hasil penelitian Menge (1984) menunjukkan bahwa perkecambahan yang baik pada

Glomus epigaeus jika kandunga air tanah di antara kapasitas lapang. d. pH Tanah

Fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada umumnya lebih tahan terhadap perubahan pH tanah. Meskipun demikian, daya adaptasi masing-masing spesies FMA terhadap pH tanah berbeda-beda. Hal ini karena pH tanah mempengaruhi perkecambahan, perkembangan, dan peran FMA terhadap pertumbuhan tanaman


(25)

pH optimum untuk perkecambahan spora berbeda-beda tergantungan pada adaptasi FMA terhadap lingkungan. Hasil penelitian Bertham (2003) menunjukkan bahwa perkecambahan maksimum Glomus mosseae pada pH 6-9, sedangkan

Gigaspora corallodea dan Gigaspora heterogama dari jenis yang lebih asam dapat berkecambah dengan baik pada pH 4-6.

e. Bahan organik

Bahan organik merupakan salah satu komponen dalam tanah yang penting selain air dan udara. Jumlah spora FMA berhubungan erat dengan kandungan bahan organik dalam tanah. Jumlah maksimum spora ditemukan pada tanah yang mengandung bahan organik 1-2% dan kandungan spora sangat rendah pada tanah berbahan organik kurang dari 0,5%. Residu akar mempengaruhi ekologi FMA. Hal ini disebabkan serasah akar yang terkolonisasi mikoriza merupakan sarana penting untuk mempertahankan generasi FMA dari satu tanaman ke tanaman berikutnya. Serasah akar tersebut mengandung hifa, vesikel, dan spora yang dapat mengkolonisasi FMA (Whiffen, 2007).

f. Logam berat dan unsur lain

Adanya logam berat dalam larutan tanah dapat mempengaruhi perkembangan mikoriza. Beberapa spesies FMA diketahui mampu beradaptasi dengan tanah yang tercemar seng (Zn), tetapi sebagian besar spesies FMA peka terhadap kandungan Zn yang tinggi. Pada beberapa penelitian lain diketahui bahwa FMA tertentu toleran terhadap kandungan Mn, Al, dan Na yang tinggi (Janouskova et al., 2006).

g. Fungisida

Fungisida merupakan racun kimia yang digunakan untuk membunuh fungi penyebab penyakit tanaman. Penggunaan fungisida dalam dosis yang rendah disamping mampu memberantas fungi penyebab penyakit juga terbukti dapat menyebabkan turunnya kolonisasi FMA yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman dan penyerapan unsur P (Manjunath dan Bagyaraj, 1981).


(26)

2.2.4 Keanekaragaman FMA dari Hasil Penelitian

Keanekaragaman FMA dari hasil penelitian sudah dilakukan oleh sebagian peneliti dengan lokasi dan rizosfer tanaman yang berbeda. Nurhalisyah (2012), menyatakan bahwa pada lahan perkebunan kelapa sawit Kampung Jambuk, Kalimantan Timur jenis FMA yang diperoleh adalah Glomus dan Acalauspora. Tipe

Glomus terdiri dari 19 dan tipe Acalauspora terdiri dari 3. Hasil penelitian lainnya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Keanekaragaman FMA dari Hasil Penelitian

Peneliti Lokasi Jenis Tanaman Tipe FMA

Nadarajah dan Nawawi (1993) Widiastuti dan Kramadibrata (1993) Kartika (2006) Malaysia Jawa Barat Jambi

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.)

7 tipe Glomus,1tipe Sclerocystis, 2 tipe Acaulospora, dan 2 tipe Gigaspora.

7 tipe Glomus dan 4 tipe Acaulospora.

7 tipe Glomus dan 5 tipe Acaulospora.

Shi et al. (2007) Lereng pegunungan Tianshan (China)

Jombang (Taraxacum sp.)

10 tipe Glomus, 3 tipe Acaulospora, dan 1 tipe Archaeospora.

Muleta et al. (2007)

Hutan Kopi Bonga (Ethiopia)

Kopi (Coffea arabica) Glomus, Gigaspora,

Acaulospora, Entrophospora, dan Scutellospora.

Muzakkir (2010) Tanjung Alai (Sumatera Barat)

Jarak pagar (Jatropha curcas)

8 tipe Glomus, 3 tipe Acaulospora, 2 tipe Gigaspora, 2 tipe Scutellospora, 1 tipe Entrophospora, dan 1 tipe Sclerocystis.

Pulungan (2010) PTPN II Kebun Sei Semayang

Tebu (Saccharum officiarum L.)

10 tipe Glomus dan 1 tipe Acaulospora.

Songachan dan Kayang (2011)

Meghalaya (India) Sohphlang

(Flemingia vestita)

60 tipe Glomus, 23 tipe Acaulospora, 6 tipe Gigaspora, 16 tipe Scutellospora, 2 tipe Ambispora dan 1 tipe Pacispora.

Setiadi dan Setiawan (2011)

PT. INCO (Sulawesi Selatan)

Sengon buto (Enterolobium

Glomus, Acaulospora, dan Gigaspora


(27)

Lanjutan Hindumathi dan

Reddy (2011)

Andhra Pradesh, India (Adilabad, Nizamabad dan Karimnagar)

Kedelai (Glycine max) 12 tipe Glomus, 8 tipe Acaulospora, 3 tipe Gigaspora, dan 1 tipe Sclerocystis.

Puspitasari et al. (2012)

Desa Torjun (Madura)

Jagung (Zea mays)

11 tipe Glomus, 1 tipe Acaulospora, dan 2 tipe Gigaspora.

Nurhandayani et al. (2013)

Desa Rasau Jaya Umum (Pontianak)

Nanas (Ananas comosus) 4 tipe Glomus, 1 tipe Acaulospora, dan 1 tipe Gigaspora.


(28)

BAB III

METODELOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat

Pengambilan sampel tanah dan akar tanaman dilakukan di Perkebunan Kelapa Sawit PTPN III Kebun Batang Toru pada bulan September 2013. Ekstraksi spora, identifikasi, dan penghitungan kolonisasi FMA dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah Universitas Sumatera Utara pada bulan September-Desember 2013.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel tanah dan akar tanaman kelapa sawit; larutan glukosa 60%; larutan Melzer’s; polyvinyl alcohol lactoglycerol (PVLG); KOH 2,5%; HCL 2%; trypan blue 0,05%; chlorox 5,25%;

hyponex merah (25-5-20); dan benih Zea mays. Alat yang digunakan adalah saringan bertingkat dengan ukuran 250, 125, dan 53 µm serta pinset spora.

3.3 Pengambilan Sampel Tanah dan Akar

Teknik pengambilan sampel tanah dan akar dilakukan berdasarkan tingkat kesuburan tanah (rendah, sedang dan tinggi) yang diambil dari 3 Afdeling. Kesuburan tanah diasumsikan dari hasil produksi tanaman. Pembuatan plot pengamatan berdasarkan metode international center research in agroforestry (ICRAF) (Ervayenri et al., 1997). Plot diukur 20 m × 20 m secara acak dengan replikasi 3 kali pada setiap Afdeling (Gambar 2). Setelah itu, dilakukan penentuan titik pengambilan sampel tanah pada setiap sudut dan tengah plot. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada rizosfer dengan kedalaman 0-20 cm. Sampel tanah diambil ± 1 kg. Pengambilan sampel akar pada 2 sudut plot (2 titik). Selanjutnya dilakukan analisis kimia pada sampel tanah yang diambil untuk mengetahui sifat kimia tanah berupa kapasitas tukar kation (KTK), C-organik, pH dan fosfor (P).


(29)

d c

20 m

e

a b

20 m

Gambar 2. Ilustrasi petak contoh pengambilan sampel tanah dan akar

3.4 Pengamatan Sampel Tanah dan Akar

Pengamatan kelimpahan spora FMA dapat dilakukan dengan cara menghitung kepadatan spora dan persentase kolonisasi FMA pada akar tanaman inang (Abbot dan Robson, 1996). Dalam penelitian ini, dilakukan identifikasi tipe FMA dan persentase kolonisasi FMA.

3.4.1 Ekstraksi Spora dan Identifikasi FMA

Ekstraksi spora FMA berfungsi memisahkan spora FMA dengan sampel tanah sehingga dapat dilakukan identifikasi untuk mengetahui jumlah dan tipe spora FMA. Teknik dalam mengekstraksi spora FMA adalah tuang saring dan sentrifugasi (Brundrett et al., 1996) dilakukan dengan mengambil 50 g sampel tanah kemudian dimasukkan kedalam gelas ukur, ditambahkan 200 ml air, diaduk dan dibiarkan selama 30 menit. Campuran sampel tanah disaring menggunakan satu set saringan bertingkat dengan ukuran 250, 125, 53 µm. Sampel tanah yang tertinggal pada saringan paling atas disemprot dengan air. Saringan paling atas dilepas, kemudian saringan ke-2 kembali disemprot. Saringan ke-2 dilepas, sampel tanah yang tertinggal pada saringan paling bawah dipindahkan ke dalam tabung sentrifus. Selanjutnya,


(30)

hasil saringan tadi ditambahkan larutan glukosa 60% sebanyak 3 ml. Tabung sentrifus ditutup rapat dan dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 3 menit. Cairan supernatan hasil sentrifugasi dipindahkan kedalam saringan 53 µm, dicuci, kemudian dipindahkan ke cawan petri dan diamati dibawah mikroskop untuk penghitungan kepadatan spora dan pembuatan preparat untuk identifikasi spora FMA.

Pembuatan preparat spora dilakukan dengan meletakkan spora hasil ekstraksi dalam larutan Melzer’s dan PVLG dengan cara terpisah pada satu object class. Setelah itu, spora-spora tersebut ditutup dengan menggunakan cover class dan diamati dibawah mikroskop. Perubahan warna spora pada larutan Melzer’ menentukan tipe spora yang ada.

3.4.2 Kolonisasi FMA pada Akar Tanaman

Pengamatan kolonisasi FMA pada sampel akar tanaman kelapa sawit dilakukan dengan pewarnaan akar (root staining). Langkah pertama adalah memilih akar-akar halus dengan diameter 0,5-2,0 mm dan dicuci dengan air mengalir hingga bersih. Sampel akar dimasukkan ke dalam larutan KOH 2,5% dan dibiarkan selama 7 hari sehingga akar berwarna putih atau pucat. Tujuannya adalah untuk mengeluarkan semua isi sitoplasma dari sel akar sehingga memudahkan pengamatan struktur kolonisasi FMA. Larutan KOH kemudian dibuang dan sampel akar dicuci pada air mengalir selama 5-10 menit. Selanjutnya sampel akar direndam dalam larutan HCl 2% dan dibiarkan selama dua malam. Larutan HCl 2% dibuang dengan mengalirkannya secara perlahan-lahan. Kemudian sampel akar direndam di dalam larutan trypan blue 0,05% selama 24 jam (Kormanik dan McGraw, 1982).

Penghitungan persentase kolonisasi akar menggunakan metode panjang akar terkolonisasi (Giovanetti dan Mosse, 1980). Potongan akar yang telah diwarnai diambil secara acak dengan panjang ± 1 cm sebanyak 10 potongan akar dan disusun pada satu object class. Potongan-potongan akar pada object class diamati untuk setiap bidang pandang. Bidang padang yang menunjukkan kolonisasi (terdapat hifa dan atau


(31)

tanda-tanda kolonisasi diberi tanda negatif (-). Persentase kolonisasi akar dihitung dengan menggunakan rumus:

% kolonisasi akar = ∑ bidangpandangbertanda (+)

∑ bidangpandangkeseluruhan × 100 %

3.5 Pemerangkapan (Trapping)

Teknik ini dilakukan untuk mendapatkan keanekaragaman spora FMA. Langkah pertama yang dilakukan adalah menyiapkan media tanam Zea mays dengan menggunakan pasir. Pasir dicuci sampai bersih dan dimasukkan dalam bak persemaian. Benih-benih Zea mays yang digunakan sebagai tanaman inang terlebih dahulu direndam dalam larutan chlorox 5,25% selama 5 menit sebagai upaya sterilisasi permukaan. Kemudian direndam dalam air selama 5 menit untuk memecahkan dormansi yang mungkin terjadi. Benih-benih tersebut disemaikan dalam bak persemaian hingga muncul dua helai daun. Setelah itu, penanaman dilakukan untuk trapping.

Teknik trapping yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan metode Brundrett et al. (1996) dengan menggunakan pot kultur terbuka. Media tanam yang digunakan berupa campuran sampel tanah ± 50 g dan pasir ± 150 g. Teknik pengisian media tanam dalam pot kultur adalah pot kultur diisi dengan pasir sampai sepertiga volume pot, kemudian dimasukkan sampel tanah dan terakhir ditutup dengan pasir sehingga media tanam tersusun atas pasir - sampel tanah dari lapangan - pasir. Setelah itu, pemeliharaan kultur dilakukan yang meliputi penyiraman, pemberian hara, dan pengendalian hama. Larutan hara yang digunakan adalah hyponex merah

(25-5-20) dengan konsentarsi 1 g/L. Pemberian larutan hara dilakukan setiap minggu sebanyak 20 mL tiap pot kultur. Teknik ini dilakukan selama 8 minggu, kemudian dilakukan stressing selama 2 minggu. Setelah itu, dilanjutkan dengan tahap ekstraksi spora untuk mengetahui jumlah dan jenis spora FMA.


(32)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sifat Kimia Tanah

Hasil pengukuran sifat kimia tanah dari lapangan dengan kedalaman 0-20 cm dapat diketahui dengan menganalisis beberapa parameternya, seperti pH, C-organik, fosfor (P), dan kapasitas tukar kation (KTK) yang dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil analisis tanah yang dijadikan sampel isolasi spora FMA

Parameter Sampel Tanah Kadar Keterangan

pH (H2

Afdeling I O) Afdeling II

Afdeling III 5,67 5,66 5,25 Agak masam Agak masam Masam C-Organik (%) Afdeling I Afdeling II Afdeling III 0,37 0,78 0,94 Sangat rendah Sangat rendah Sangat rendah P-Bray II (ppm)

Afdeling I Afdeling II Afdeling III 4,35 5,64 4,45 Sangat rendah Sangat rendah Sangat rendah KTK (m.e/100g) Afdeling I Afdeling II Afdeling III 8,26 6,40 7,81 Rendah Rendah Rendah

Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kesuburan tanah pada Afdeling I, II, dan III tergolong rendah. Kadar pH tanah yang rendah menunjukkan bahwa FMA yang diperoleh mampu beradaptasi pada pH masam. Tingginya kemasaman tanah disebabkan oleh banyaknya konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam tanah. Semakin banyak ion H+

Dalam penelitian ini, kandungan fosfor (P) yang diperoleh sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kemasaman tanah mempengaruhi ketersediaan unsur hara terutama P. Purwowidodo (2000) menyatakan ketersediaan P akan menurun pada pH maka pH tanah akan semakin masam (Sutedjo dan Kartasapoetra, 2002). Kadar C-organik yang diperoleh (sangat rendah) sejalan dengan pH tanah. Menurut Hariyono (2009) kandungan C-organik yang rendah diikuti dengan rendahnya pH tanah.


(33)

tukar kation (KTK). Rendahnya kadar KTK yang diperoleh menunjukkan bahwa kondisi tanah pada areal penelitian memiliki tingkat kesuburan yang rendah. Menurut Hardjowogeno dan Rayes (2003), KTK merupakan sifat kimia tanah yang erat kaitannya dengan ketersediaan hara bagi tanaman. Tinggi rendahnya kadar KTK dipengaruhi oleh C-organik dalam tanah. Dengan demikian, hasil analisis tanah menunjukkan bahwa kondisi tanah pada areal penelitian dapat digolongkan sama.

4.2 Kepadatan Spora Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)

Kepadatan spora FMA yang diperoleh dari lapangan maupun setelah trapping

dalam 50 g sampel tanah dapat dilihat pada Gambar 3. Jumlah spora hasil trapping

lebih tinggi dibandingkan hasil lapangan. Kepadatan spora yang tertinggi dari hasil lapangan dan trapping terdapat pada Afdeling I, masing-masing 248 dan 336 spora/50 g tanah.


(34)

Kepadatan spora FMA yang diperoleh dari hasil lapangan maupun trapping

pada Afdeling I, II, dan III tergolong sama. Hal ini disebabkan oleh adanya sifat kimia tanah yang sama dari setiap Afdeling sehingga mengakibatkan kondisi tanah pada setiap Afdeling juga sama. Berdasarkan Smith dan Read (1997), kepadatan spora FMA yang diperoleh pada setiap Afdeling dari hasil lapangan tergolong tinggi (225-248 spora/50 g tanah) dan trapping sangat tinggi (307-336 spora/50 g tanah). Hasil yang diperoleh ini lebih tinggi dibandingkan dari hasil penelitian Nadarajah (1999); Widiastuti (2004); dan Nurhalisyah (2012) pada areal perkebunan kelapa sawit yang masing-masing memperoleh 55-57; 2-52; dan 8 spora/50 g tanah. Perbedaan kepadatan spora ini dapat disebabkan oleh sifat kimia tanah yang berbeda pada masing-masing lokasi sehingga tingkat kepadatan spora yang diperoleh juga berbeda.

Dalam penelitian ini, kepadatan spora FMA yang tinggi disebabkan oleh sifat kimia tanah yang rendah sehingga menunjukkan adanya hubungan yang tidak sejalan antara sifat kimia tanah dengan kepadatan spora. Songachan dan Kayang (2011) menunjukkan bahwa kepadatan spora yang sangat tinggi (2.550 dan 2.522 spora/50 g tanah) diperoleh pada kandungan P 0,15% dan 0,47% (rendah) dengan pH 5,89 dan 5,66. Penelitian lainnya juga memperoleh hasil yang sama, yaitu kepadatan spora yang tinggi ditemukan pada sifat kimia tanah yang rendah (Setiadi dan Setiawan, 2011; Songachan dan Kayang, 2011). Dengan demikian, kepadatan spora yang tinggi dipengaruhi oleh kadar P yang rendah. Selain itu, beberapa hasil penelitian, seperti Hindumathi dan Reddy (2011); Songachan et al. (2011); Puspitasari et al. (2012); dan Margarettha (2010) menunjukkan bahwa kepadatan spora FMA yang tinggi diperoleh pada kondisi tanah (pH, C-organik, dan KTK) yang tinggi. Oleh karena itu, kepadatan spora yang tinggi tidak hanya ditemukan pada kadar pH, C-organik, dan KTK yang rendah melainkan pada kadar yang tinggi juga.

Jumlah spora FMA yang diperoleh dari hasil trapping pada Afdeling I, II, dan III menunjukkan nilai yang hampir sama. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan


(35)

tinggi dibandingkan dari lapangan. Perbedaan ini diduga karena adanya perlakuan

stressing pada saat trapping. Perlakuan stressing menyebabkan tanaman inang mengalami cekaman kekeringan, dan merangsang pembentukan spora yang lebih banyak. Widiastuti (2004) juga memperoleh hasil yang sama, bahwa kepadatan spora hasil trapping (1-237 spora/50 g tanah) lebih tinggi dibandingkan lapangan (2-52 spora/50 g tanah) pada areal perkebunan kelapa sawit. Hasil penelitian Pulungan (2010); Adawiyah (2009); dan Hartoyo et al. (2011) juga menunjukkan bahwa kepadatan spora hasil trapping lebih tinggi dibandingkan lapangan. Oleh karena itu, perlakuan stressing berpengaruh terhadap jumlah spora FMA. Delvian (2006) menyatakan bahwa produksi spora FMA meningkat pada kondisi kering. Hernandez

et al. (1986) juga menyatakan bahwa pada kondisi kering (cekaman air) akan merangasang pembentukan spora lebih awal.

Perbedaan jumlah spora hasil lapangan dengan trapping terjadi karena kondisi tanaman dan faktor kemampuan infeksi dari FMA terhadap akar tanaman inang. Hal ini menunjukkan bahwa eksudat akar juga berpengaruh terhadap kepadatan spora. Eksudat yang dihasilkan mempengaruhi perkecambahan spora FMA, seperti laporan Bakhtiar (2002) bahwa komposisi eksudat tanaman inang mampu meningkatkan perkecambahan spora. Selain itu, Viierheilig (2003) menyatakan bahwa eksudat akar merupakan faktor penting yang mempengaruhi perkecambahan spora pada tahap awal.

4.3 Persentase Kolonisasi Akar

Hasil pengamatan persentase kolonisasi akar pada tanaman kelapa sawit menunjukkan asosiasi antara FMA dengan akar yang membentuk hifa atau vesikula pada struktur akar tanaman (Gambar 4). Rata-rata persentase kolonisasi sampel akar yang tertinggi terdapat pada Afdeling I sebesar 42% (Gambar 5).


(36)

(a) (b)

Hifa Vesikula

Gamabar 4. Kolonisasi akar oleh FMA yang ditandai dengan adanya (a) hifa dan (b) vesikula


(37)

Persentase kolonisasi pada Afdeling I,II, dan III memiliki nilai yang hampir sama dan tergolong sedang. Setiadi et al. (1992) menyatakan bahwa persentase kolonisasi tergolong sedang jika berada di antara 26-50%. Hasil penelitian Nurhalisyah (2012) juga memperoleh persentase kolonisasi yang tergolong sedang (35%) pada areal perkebunan kelapa sawit. Dalam penelitian ini, persentase kolonisasi yang diperoleh menunjukkan adanya hubungan yang sejalan atau berkorelasi positif dengan kepadatan spora (Gambar 6).

Gambar 6. Korelasi persentase kolonisasi dengan kepadatan spora (x) jumlah spora, (y) persentase kolonisasi

Berdasarkan Gambar 6, menunjukkan bahwa peningkatan persentase kolonisasi FMA dipengaruhi oleh peningkatan jumlah spora. Persentase kolonisasi akan meningkat sebesar 0,072% setiap penambahan 1 spora. Smith dan Read (1997) menyatakan bahwa persentase kolonisasi FMA akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah spora. Penelitian lainnya juga memperoleh hasil yang sama, bahwa persentase kolonisasi sejalan dengan kepadatan spora (Delvian, 2010; Songachan et al., 2011; Pindi, 2011; Nurhandayani et al., 2013).


(38)

Kemampuan kolonisasi akar oleh FMA dalam penelitian ini dipengaruhi oleh kandungan P yang sangat rendah. Oleh karena itu, kandungan P yang sangat rendah dapat merangsang kolonisasi FMA. Smith dan Read (1997) menyatakan bahwa pada ketersediaan P yang rendah akan merangsang kolonisasi FMA. Oleh karena itu, kolonisasi FMA lebih cepat terbentuk pada kondisi kandungan P yang rendah.

Faktor lain yang juga mempengaruhi persentase kolonisasi adalah curah hujan. Pada saat pengambilan sampel, curah hujan bulanan di lapangan berkisar 269 mm. Kriteria ini tergolong sedang karena berada di antara 101-300 mm (BMKG, 2013). Pada kondisi seperti ini kecepatan perkecambahan spora meningkat sehingga kolonisasi pada akar tanaman juga meningkat. Clark (1997) menyatakan bahwa adanya air yang cukup dari curah hujan akan membantu proses perkecambahan spora FMA sehingga meningkatkan kolonisasi FMA. Pengaruh perubahan musim ini berhubungan dengan aktivitas tanaman inang dan FMA itu sendiri. FMA adalah simbion obligat. Oleh karena itu, semua faktor yang mempengaruhi tanaman inang juga mempengaruhi FMA. Kondisi terbaik bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman inang akan memberikan pertumbuhan dan perkembangan terbaik bagi FMA.

4.4 Tipe dan Karakteristik Spora FMA

Pengamatan spora FMA yang ditemukan dari lapangan maupun trapping

memiliki tipe dan karakteristik yang berbeda. Perbedaan karakteristik yang ditemukan berdasarkan bentuk spora, permukaan spora, dinding spora, warna, dan tangkai spora (Hyphal attachment). Hasil isolasi dan identifikasi dari lapangan hanya terdapat 1 genus spora FMA yaitu Glomus yang terdiri dari 21 tipe spora. Kemudian hasil trapping terdapat 2 genus spora FMA yaitu Glomus 26 tipe spora dan

Acaulospora 3 tipe spora. Tipe dan karakteristik spora yang ditemukan dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini.


(39)

Tabel 3. Tipe dan karakteristik spora FMA dari lapangan dan trapping Tipe spora Reaksi dengan

Melzer’s Karakteristik Lapangan Trapping

Glomus sp. 1

Tidak bereaksi Spora berwarna coklat kehitaman, berbentuk bulat, permukaan relatif kasar dan berdinding tebal. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 2

Tidak bereaksi Spora berwarna coklat, berbentuk bulat, permukaan relatif kasar dan berdinding tebal. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 3

Tidak bereaksi Spora berwarna coklat, berbentuk bulat, permukaan relatif kasar dan berdinding tipis. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 4

Tidak bereaksi Spora berwarna coklat, berbentuk bulat, permukaan halus dan berdinding tebal. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 5

Tidak bereaksi Spora berwarna coklat kekuningan, berbentuk bulat, permukaan agak kasar, terdapat lipatan pada bagian dalam dan berdinding tipis. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 6

Tidak bereaksi Spora berwarna coklat kemerahan, berbentuk lonjong, permukaan halus dan berdinding tebal. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)


(40)

Lanjutan

Glomus sp. 7

Tidak bereaksi Spora berwarna coklat kehijauan, berbentuk bulat, permukaan kasar dan berdinding tipis. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 8

Tidak bereaksi Spora berwarna coklat kekuningan, berbentuk bulat, permukaan relatif kasar, terdapat lipatan pada bagian dalam dan berdinding tipis. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 9

− Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat, berbentuk bulat, permukaan kasar dan berdinding tebal. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 10

− Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat kekuningan, berbentuk bulat, permukaan halus, terdapat lipatan pada bagian dalam dan berdinding tebal. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 11

− Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat kekuningan, berbentuk bulat, permukaan agak kasar dan berdinding tebal. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 12

− Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat– orange, berbentuk bulat, permukaan halus, terdapat lipatan pada bagian dalam dan berdinding tebal. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)


(41)

Lanjutan

Glomus sp. 13

Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat kekuningan, berbentuk bulat, permukaan agak kasar dan berdinding tipis. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 14

Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat kekuningan, berbentuk bulat, permukaan halus dan berdinding tebal. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 15

Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat kehitaman, berbentuk bulat, permukaan kasar dan berdinding tebal. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 16

− Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat kekuningan, berbentuk bulat, permukaan halus dan berdinding tipis. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 17

− Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat kehitaman, berbentuk bulat, permukaan agak kasar dan berdinding tebal. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 18

Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat, berbentuk bulat, permukaan agak kasar dan berdinding tebal. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)


(42)

Lanjutan

Glomus sp. 19

− Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat kehijauan, berbentuk bulat, permukaan agak kasar, terdapat lipatan pada bagian dalam dan berdinding tipis. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 20

− Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat, berbentuk bulat, permukaan halus, terdapat lingkaran hitam pada bagian dalam dan berdinding tebal. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 21

− Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat kehijauan, berbentuk bulat, permukaan relatif kasar dan berdinding tipis. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 22

Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat kehitaman, berbentuk bulat, permukaan halus dan berdinding tebal. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 23

Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat kehijauan, berbentuk bulat, permukaan halus dan berdinding tebal. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 24

Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat kehijauan, berbentuk bulat, permukaan kasar dan berdinding tebal. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

− Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat kehijauan, berbentuk bulat, permukaan kasar, terdapat lipatan pada bagian dalam dan berdinding tipis. Tidak mempunyai tangkai spora


(43)

Lanjutan

Glomus sp. 26

Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat kehitaman, berbentuk bulat, permukaan kasar dan berdinding tipis. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 27

Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat kehijauan, berbentuk bulat, permukaan agak kasar dan berdinding tipis. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 28

Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat, berbentuk bulat, permukaan agak kasar dan berdinding tipis. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 29

Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat kemerahan, berbentuk bulat, permukaan relatif kasar dan berdinding tipis. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 30

Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat– orange, berbentuk bulat, permukaan agak kasar dan berdinding tipis. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 31

Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat kemerahan, berbentuk bulat, permukaan agak kasar dan berdinding tebal. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 32

Tidak bereaksi

Spora berwarna kuning kemerahan, berbentuk bulat, permukaan agak kasar dan berdinding tebal. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)


(44)

Lanjutan

Glomus sp. 33

Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat kehijauan, berbentuk lonjong, permukaan agak kasar dan berdinding tebal. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 34

Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat kemerahan, berbentuk bulat, permukaan arelatif kasar dan berdinding tebal. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 35

Tidak bereaksi

Spora berwarna kuning kehitaman, berbentuk bulat, permukaan halus, terdapat lingkaran pada bagian dalam dan berdinding tebal. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 36

Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat kemerahan, berbentuk bulat, permukaan kasar dan berdinding tipis. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 37

Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat– orange, berbentuk bulat, permukaan halus dan berdinding tipis. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 38

Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat kekuningan, berbentuk bulat, permukaan relatif kasar dan berdinding tebal. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 39

Tidak bereaksi

Spora berwarna merah kekuningan, berbentuk bulat, permukaan halus dan berdinding tebal.

Mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)


(45)

Lanjutan

Glomus sp. 40

Tidak bereaksi

Spora berwarna merah kekuningan, berbentuk bulat, permukaan halus dan berdinding tebal, memiliki gerigi. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 41

Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat kekuningan, berbentuk bulat, permukaan agak kasar dan berdinding tebal, terdiri dari 2 lapis. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Glomus sp. 42

Tidak bereaksi

Spora berwarna coklat kekuningan, berbentuk bulat, permukaan kasar dan berdinding tebal. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Acaulospora sp. 1

Bereaksi

Spora berwarna kuning, berbentuk bulat, permukaan kasar dan berdinding tebal. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Acaulospora sp. 2

Bereaksi

Spora berwarna kuning kehijauan, berbentuk bulat, permukaan kasar dan berdinding tebal. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)

Acaulospora sp. 3

Bereaksi

Spora berwarna merah, berbentuk bulat, permukaan kasar dan berdinding tebal. Tidak mempunyai tangkai spora (Hyphal attachment)


(46)

Berdasarkan Tabel 3 tipe spora hasil trapping lebih beragam dibandingkan dari lapangan. Hal ini diduga karena jumlah spora yang ditemukan di lapangan lebih sedikit dibandingkan hasil trapping. Jumlah spora yang lebih banyak pada saat isolasi kemungkinana akan diikuti dengan bertambahnya tipe spora FMA.

Dalam penelitian ini, jumlah keseluruhan spora FMA yang dihasilkan sebanyak 45 tipe spora yaitu, 42 tipe Glomus dan 3 tipe Acaulospora. Hal ini menunjukkan bahwa tipe Glomus mempunyai tingkat penyebaran yang lebih luas dibandingkan Acaulospora (Tabel 4). Hasil penelitian Nadarajah dan Nawawi (1993); Nurhalisyah (2012); Widiastuti dan Kramadibrata (1993); dan Kartika (2006) juga menunjukkan bahwa tipe Glomus lebih sering ditemukan daripada tipe lainnya pada areal perkebunan kelapa sawit yang masing-masing memperoleh 7 tipe Glomus, 1 tipe Sclerocystis, 2 tipe Acaulospora, dan 2 tipe Gigaspora; 19 tipe Glomus dan 3 tipe

Acaulospora; 7 tipe Glomus dan 4 tipe Acaulospora; dan 7 tipe Glomus dan 5 tipe

Acaulospora. Selain itu, penelitian lain yang juga menunjukkan bahwa tipe Glomus

memiliki kehadiran paling tinggi (Songachan dan Kayang, 2011; Hindumathi dan Reddy, 2011; Muzakkir, 2010; Shi et al., 2007; Puspitasari et al., 2012; Pulungan, 2010; Nurhandayani et al., 2013). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tingginya tingkat penyebaran tipe Glomus disebabkan oleh daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan dibandingkan genus lainnya (Johnson-Green et al.,


(47)

Tabel 4. Sebaran tipe spora FMA di lapangan dan trapping

No Tipe Spora Lapangan Trapping

Afd. 1 Afd. 2 Afd. 3 Afd. 1 Afd. 2 Afd. 3

1 Glomus sp. 1 + - - - + -

2 Glomus sp. 2 + - - - - -

3 Glomus sp. 3 + - - + - -

4 Glomus sp. 4 + - - - - -

5 Glomus sp. 5 + - - - - -

6 Glomus sp. 6 + - + - - -

7 Glomus sp. 7 + - - + - -

8 Glomus sp. 8 - + - - - -

9 Glomus sp. 9 - + - - - -

10 Glomus sp. 10 - + - - - -

11 Glomus sp. 11 - + - - - -

12 Glomus sp. 12 - + - - - -

13 Glomus sp. 13 - + - - - -

14 Glomus sp. 14 - + + - + -

15 Glomus sp. 15 - - + - - -

16 Glomus sp. 16 - - + - - -

17 Glomus sp. 17 - - + - - -

18 Glomus sp. 18 - - + + - -

19 Glomus sp. 19 - - + - - -

20 Glomus sp. 20 - - + - - -

21 Glomus sp. 21 - - + - - -

22 Glomus sp. 22 - - - + - -

23 Glomus sp. 23 - - - + - -

24 Glomus sp. 24 - - - + - -

25 Glomus sp. 25 - - - + - -

26 Glomus sp. 26 - - - + + -

27 Glomus sp. 27 - - - + + -

28 Glomus sp. 28 - - - + + -

29 Glomus sp. 29 - - - + + -

30 Glomus sp. 30 - - - + + -

31 Glomus sp. 31 - - - + + -

32 Glomus sp. 32 - - - + - -

33 Glomus sp. 33 - - - - + -

34 Glomus sp. 34 - - - + + -

35 Glomus sp. 35 - - - - + -

36 Glomus sp. 36 - - - - + -

37 Glomus sp. 37 - - - - + -

38 Glomus sp. 38 - - - +

39 Glomus sp. 39 - - - +

40 Glomus sp. 40 - - - +

41 Glomus sp. 41 - - - + + +

42 Glomus sp. 42 - - - +

43 Acaulospora sp. 1 - - - +

44 Acaulospora sp. 2 - - - +

45 Acaulospora sp. 3 - - - +


(48)

Puspitasari et al. (2012) menyatakan keanekaragaman tipe spora FMA yang tinggi disebabkan oleh kondisi lingkungan yang lebih sesuai, optimal, dan kompatibel, serta tidak adanya jamur antagonis yang menghambat sporulasi FMA. Dengan demikian, kondisi seperti ini dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan spora FMA.

Faktor lain yang juga mempengaruhi tipe spora FMA adalah waktu pengambilan sampel. Dalam penelitian ini, pengambilan sampel hanya dilakukan dalam satu kali sehingga tipe-tipe spora FMA yang diperoleh belum tentu mewakili seluruh spora dari genus yang berbeda. Kemungkinan ada spora yang belum terbentuk saat dilakukan pengambilan sampel. Delvian (2003) menyatakan bahwa adanya perubahan tipe spora FMA dalam setiap pengamatan (pengambilan sampel), sehingga setiap tipe FMA membentuk spora pada saat yang berbeda, tergantung fenologi dan responnya terhadap tanaman inang. Hal ini didukung oleh penelitian Hall (1984) yang menunjukkan bahwa tipe spora FMA yang dihasilkan setiap tahunnya tidak sama karena ada beberapa tipe spora FMA yang penyebarannya terbatas. Oleh karena itu, spora yang terkumpul dari satu wilayah dalam satu waktu tidak mewakili seluruh spora yang ada dari tipe FMA yang ada pada wilayah tersebut.


(49)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:

1. Kepadatan spora FMA pada Afdeling I,II, dan III dari hasil lapangan maupun

trapping tergolong tinggi. Jumlah spora tertinggi dari hasil lapangan dan trapping

diperoleh pada Afdeling I, yaitu masing-masing 248 dan 336 spora/50 g tanah. 2. Persentase kolonisasi FMA yang tertinggi diperoleh pada Afdeling I, yaitu 42%. 3. Tipe spora FMA yang diperoleh pada rizosfer tanaman kelapa sawit terdiri dari

dua genus yaitu Glomus dan Acaulospora. Genus Glomus sebanyak 42 tipe dan

Acaulospora sebanyak 3 tipe.

5.2 Saran

1. Dalam penelitian eksplorasi FMA ini sebaiknya dilakukan pengambilan sampel lebih dari satu kali agar data keanekaragaman spora FMA yang diperoleh lebih valid.

2. Penelitian selanjutnya diperlukan identifikasi spora FMA sampai pada tingkat spesies untuk tanaman kelapa sawit.


(50)

DAFTAR PUSTAKA

Abbott, L.K. 1982. Comparative Anatomy of Vesicular Arbuscular Mycorrhizas Formadon Subterranean Clover. Aust. J. Bot 30: 485-499.

Abbot, L.K, dan A.D. Robson. 1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. ACIAR Monograph.

Adawiyah. 2009. Status dan Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Berdasarkan Gardien Salinitas di Hutan Pantai Pulau Pandang Batubara, Sumatera Utara. Tesis. Program Pascasarjana Universitasa Sumatera Utara. Medan.

Bakhtiar,Y. 2002. Selection of Vascular Mycorrhiza (VAM) Fungi, Host Plants and Spore Numbers for Producing Inoculum. Jurnal Biosains dan Bioteknologi Indonesia 2 (1): 36-40.

Balitbang Pertanian. 2008. Teknologi Budidaya Kelapa Sawit. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.

Bertham, Y.H. 2003. Teknik Pemurnian Biakan Monoxenic FMA dengan Metode Cawan Petri dan Tabung Reaksi. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia 5 (1): 18-26.

BMKG. 2013. Distribusi Curah Hujan September 2013. Diakses melalui

Brundrett, M., N. Bougher, B. Dell, T. Grave, dan N. Malajezuk. 1996. Working with Mycorrizha in Forestry and Agriculture. Australia Centre for Internasional Agricultural Researche (ACIAR). Canberra.

Cavagnaro, T.R, dan A.W. Martin. 2010. The Role of Mycorrhizas in Plant Nutrition: Field and Mutant Based Approaches.

Chaudhary, V., R. Kapoor, AK. Bhatnagar. 2008. Effectiveness of Two Arbuscular Mycorrhizal Fungi on Concentrations of Essential Oil and Artemisinin in Three Accessions of Artemisia annua L. Appl Soil Ecol. 40:174–181.

Clark, R.B. 1997. Arbuscular Mycorrihiza Adaptation, Spore Germination, Root Colonization, and Host Plant Growth and Mineral Acquisition at Low pH.


(51)

Daniels, B.A. dan J.M. Trappe. 1980. Factors Affecting Spore Germination of The Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Fungus, Glomus epigaeus. Mycologia 72: 457-471.

Delvian. 2003. Keanekaragaman dan Potensial Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) di Hutan Pantai. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Delvian. 2006. Peranan Ekologi dan Agronomi Cendawan Arbuskula Mikoriza. Karya Tulis. Medan. Departemen Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Medan.

Delvian. 2010. Keberadaan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan Gradien Salinitas. Jurnal Ilmu Dasar 11 (2): 133-142.

Ebongue, G.F.N, dan K. Paul. 2012. Control Approaches against Vascular Wilt Disease of Elaeis guineensis Jacq. Caused by Fusarium oxysporum f. sp. elaeidis. Journal of Biology and Life Science 3(1): 160-173.

Ervayenri, Y. Setiadi, N. Sukarno, dan C. Kusmana. 1997. Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AMF) Diversity in Peat Soil Influenced by Land Vegetation Types.

Proceedings of International Confrence on Mycorrhizas in Sustainable Tropical Agriculture and Forest Ecosystems: 85-90.

Giovanetti, M, dan B. Mosse. 1980. An Evaluation of Technique for Meaning Vesikular Mycorrhiza Infection in Roots. New Phytologiest 84: 489-500. Hall, I.R. 1984. Effect of Inoculant Mycorrhizal Fungi on White Clover Growth in

Soil Cores. Journal Agriculture Sci. 102: 719-723.

Hariyono. 2009. Kandungan C-organik dan N-Total pada Seresah dan Tanah pada 3 Tipe Fisiognomi (Studi Kasus di Wanagama I, Gunung Kidul, DIY). Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 9 (1): 49-57.

Hardjowigeno, S. 1993. Ilmu Tanah. Mediyatama sarana perkasa. Jakarta

Hardjowigeno, S, dan Rayes, L. 2003. Tanah Sawah: Karakteristik, Kondisi dan Permasalahan Tanah Sawah di Indonesia. Bayumedia Publishing, Malang. Jawa Timur.

Hartoyo, B., M. Ghulamahdi, L. K. Darusman, S. A. Aziz, dan I. Mansur. 2011. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuslula pada Rizosfer Tanaman Pegagan. Jurnal Littri 17 (1): 32-40.


(52)

Hernandez, A.P., El-Sharkawy, E. Sieverding, dan S. Toro. 1986. Influence of Water Stress on Growth and Formation of VA Mycorrhiza of 20 Cassava Cultivars. Dalam Gianinazzi-Pearson, V. dan S. Gianinazzi (Eds). Physiological and Genetical Aspect of Mycorrhizae. Proceeding of the 1st Europens Symposium on Mycorrhizae.

Hindumathi, A. dan B.N. Reddy. 2011. Occurrence and Distribution of Arbuscular Mycorrhizal Fungi and Microbial Flora in The Rhizosphere Soils of Mungbean [Vigna radiate (L.) Wilczek] and Soybean [Glycine max (L.) Merr.] from Adilabad, Nizamabad and Karimnagar Districts of Andhra Pradesh State, India.

Advances in Bioscience and Biotechnology 2: 275-286.

INVAM. 2013. International Culture Collection of (Vesicular) Arbuscular Mycorrhizal Fungi. Diakses melalui

April 2013.

Janouskova, M., D. Pavlikova, dan M. Vosatka. 2006. Potential Contribution of Arbuscular Mychorriza to Cadmium Immobilitation in Soil. Chemosphere 07. 007

Johson-Green, P.C., N.C. Kenkel, dan T. Booth. 1995. The Distribution and Phenology of Arbuscular Mycorrhizas Along an Inland Salinity Gradient.

Can. Journal. Bot. 73: 1318-1327.

Kartika, E. 2006. Isolasi, Karakterisasi dan Pengujian Keefektivan Cendawan Mikoriza Arbuskular Terhadap Bibit Kelapa Sawit pada Tanah Gambut Bekas Hutan. Jurnal Agronomi 10 (2): 63-70

Kormanik, P.P., dan A.C. McGraw. 1982. Quantification of VA Mycorrhizae in Plant Root. Dalam N.C. Shenk (Ed) Methods and Principles of Mycorrhizae Research. The American Phytop. Soc. 46: 37-45.

Maas, E.V., dan R.H. Nieman. 1978. Physiology of Plant Tolerance to Salinity. Dalam G.A. Jung (Ed). Crop Tolerance to Suboptimal Land Conditions. ASA Spec. Pub. 277-299.

Manjunath, A., dan D.J. Bagyaraj. 1981. Components of VA Mycorrhizas Inoculum and Their Effects of Growth of Onion. Phytol 87: 355-361.


(53)

Mansur, I., Y. Setiadi, dan R. Primaturi. 2002. Status of Research on Mycorrhizas Arbuscula Associated with Tropical Tree Species. Paper Presented at The Fourth International Wood Science Symposium (4th

Margarettha. 2010. Pemanfaatan Tanah Bekas Tambang Batubara dengan Pupuk Hayati Mikoriza sebagai Media Tanam Jagung Manis. Journal Hidrolitan

1(3): 1 – 10.

IWSS) LIPI-JSPS Core University Program in The Field of Wood Science. 2-3 September 2002. Research Centre for Physic Indonesian Institute of Science, Serpong, Tangerang. Indonesia.

Menge, J.A. 1984. Inoculum Production VA Mycorrhiza. CRC Press. Boca Raton. Florida.

Muleta, D., A. Fassil, N. Sileshi, G. Ulf. 2007. Composition of Coffee Shade Tree Species and Density of Indigenous Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AMF) Spores in Bonga Natural Coffee Forest, Southwestern Ethiopia. Forest Ecology and Management 241: 145-154.

Muzakkir. 2010. Keragaman dan Potensi Pemanfaatan FMA Indigenus Bersama Pupuk Hijau Terhadap Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) di Lahan Kritis. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Andalas. Padang.

Nadarajah, P., dan A. Nawawi. 1993. Mycorrhizal Status of Epiphytes in Malaysia Oil Palm Plantations. Mycorrhiza 4: 21-25.

Nadarajah, P. 1999. Vesicular Arbuscular Mycorrhizal Fungi in Two Malaysia Oil Palm and Cocoa Plantations and Adjacent Grassland. Makalah dalam The International Conference on Mycorrhizas. Mycorrhizas in Sustainable Tropical Agriculture and Forest Ecosystem. Research and Development Centre for Biology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Bogor.

Nurhalisyah. 2012. Deteksi Keberadaan Fungi Mikoriza pada Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan Timur. Jurnal Agroplantae 1 (2): 79-85.

Nurhandayani, R., R. Linda, dan S. Khotimah. 2013. Inventarisasi Jamur Mikoriza Vesikular Arbuskular dari Rhizosfer Tanah Gambut Tanaman Nanas [Ananas comosus (L.) Merr]. Protobiont 2 (3): 146 -151.

Pindi, P.K. 2011. Mycorrhizal Association of Some Agroforestry Tree Species in Two Social Forestry Nurseries. African Journal of Biotechnology 10 (51): 10425-10430.


(54)

Poerwowidodo. 2000. Telaah Kesuburan Tanah. Angkasa. Bandung.

Pulungan, A.S. 2010. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula di Perkebunan Tebu PTPN 2 Sei Semayang Sumatera Utara. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan.

Puspitasari, D., K.I. Purwani, dan A. Muhibuddin. 2012. Eksplorasi Vesicular Arbuscular Mycorrhiza (VAM) Indigenous pada Lahan Jagung di Desa Torjun, Sampang Madura. Jurnal Sains Dan Seni Its 1: 19-22.

Rothwell, F.M. 1984. Agregation of Surface Mine Soil by Interaction Between VAM Fungi and Lignin Degradation Product of Lespedeza. Plant Soil 80: 99-104. Schenck, N.C, dan N.V. Schroder. 1974. Temperature Respone of Endogone

Micorrhiza on Soybean Roots. Mycology: 600-605.

Setiadi, Y., Mansur, dan A. Setiawan. 1992. Mikrobiologi Tanah Hutan. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Tanaman Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Setiadi, Y., dan A. Setiawan. 2011. Studi Status Fungi Mikoriza Arbuskula di Areal Rehabilitasi Pasca Penambangan Nikel (Studi Kasus PT INCO Tbk. Sorowako, Sulawesi Selatan. Jurnal Silvikultur Trovika 3(1): 88-95.

Shi, Z. Y., Y.L. Zhang., L.X. Li., G. Feng., Y.C. Tian, dan P. Christie. 2007. Diversity of Arbuscular Mycorrhizal Fungi Associated With Desert Ephemerals in Plant Communities of Junggar Basin, North West China.

Journal. Applied Soil Ecology (35): 10 –20.

Siguenza, C., I. Espejel, dan E.B. Allen. 1996. Seasonality of Mycorrhizae in Coastal Sand Dunes of Baja California. Mycorryhiza 6: 151-157.

Smith, S.E., dan D.J. Read. 1997. Mycorrhizal symbiosis (Second Edition). Academic Press. Harcourt Brace dan Company Publisher. London.

Smith, S.E, dan D.J. Read. 2008. Mycorrhizal Symbiosis (Third Edition). Academic Press. Great Britain.

Songachan, L.S, dan H. Kayang. 2011. Diversity of Arbuscular Mycorrhizal Fungi in Pine Forest of Meghalaya, North East India. Mycosphere 2 (4): 497–505. Songachan, L.S, dan H. Kayang. 2011. Diversity and Species Composition of


(55)

Songachan, L.S., I. Lyngdoh, dan H. Kayang. 2011. Colonization of arbuscular mycorrhizal fungi in moderately degraded sub-tropical forest stands of Meghalaya, Northeast India. Journal of Agricultural Technology 7(6): 1673-1684.

Suhardi. 1988. Pedoman Kuliah Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA). Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi Universitas Gadjah Mada, PAU-Bioteknologi UGM.

Sutedjo, M.M, dan Kartasapoetra A.G. 2002. Pengantar Ilmu Tanah, Terbentuknya Tanah dan Tanah Pertanian. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta 152: 99-106. Widiastuti, H, dan K. Kramadibrata. 1993. Identifikasi Jamur Mikoriza Bervesikula

Arbuskula di Beberapa Kebun Kelapa Sawit di Jawa Barat. Menara Perkebunan 61: 13-20.

Widiastuti, H. 2004. Biologi Interaksi Cendawan Mikoriza Arbuskula Kelapa Sawit pada Tanah Masam sebagai Dasar Pengembangan Teknologi Aplikasi Dini. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Whiffen, L. 2007. Arbuscular Mycorrhizal Fungi and Carbon Sequestration in Soil.

A Research Thesis Submitted to Fulfil The Requirements for The Degree of Doctor of Philosophy. School of Biological Sciences, The University of Sydney.

Verhey, W. 2010. Growth and Production of Oil Palm. In: Verheye, W. (ed.), Land Use, Land Cover and Soil Sciences. Encyclopedia of Life Support Systems (EOLSS), UNESCO-EOLSS Publishers, Oxford, UK. Diakses melalui

http://www.eolss.net

Viierheilig, H., S. Lerat, dan Y. Piche. 2003. Systemic Inhibitition of Arbuscular Mycorrhizal Development by Root Exudates of Cucumber Plants Colonized By Glomus mosseae. Mycorrhiza 13:167-175.


(56)

(57)

Lampiran 2. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah

Sifat Tanah Sangat

Rendah Rendah Sedang Tinggi

Sangat Tinggi C-Organik

(%) < 1,00 1,00-2,00 2,01-3,00 3,01-5,00 > 5,00 P-Bray II

(ppm) < 8,00 8,0-15 16-25 26-35 > 35

KTK

(m.e/100g) < 5 10-16 17-24 25-40 > 40

Sangat

Masam Masam

Agak

Masam Netral

Agak

Netral Alkalis pH (H2O) < 4,5 4,5-5,5 5,6-6,5 6,6-7,5 7,6-8,5 > 8,5


(1)

Hernandez, A.P., El-Sharkawy, E. Sieverding, dan S. Toro. 1986. Influence of Water Stress on Growth and Formation of VA Mycorrhiza of 20 Cassava Cultivars. Dalam Gianinazzi-Pearson, V. dan S. Gianinazzi (Eds). Physiological and Genetical Aspect of Mycorrhizae. Proceeding of the 1st Europens Symposium on Mycorrhizae.

Hindumathi, A. dan B.N. Reddy. 2011. Occurrence and Distribution of Arbuscular Mycorrhizal Fungi and Microbial Flora in The Rhizosphere Soils of Mungbean [Vigna radiate (L.) Wilczek] and Soybean [Glycine max (L.) Merr.] from Adilabad, Nizamabad and Karimnagar Districts of Andhra Pradesh State, India. Advances in Bioscience and Biotechnology 2: 275-286.

INVAM. 2013. International Culture Collection of (Vesicular) Arbuscular Mycorrhizal Fungi. Diakses melalui

April 2013.

Janouskova, M., D. Pavlikova, dan M. Vosatka. 2006. Potential Contribution of Arbuscular Mychorriza to Cadmium Immobilitation in Soil. Chemosphere 07. 007

Johson-Green, P.C., N.C. Kenkel, dan T. Booth. 1995. The Distribution and Phenology of Arbuscular Mycorrhizas Along an Inland Salinity Gradient. Can. Journal. Bot. 73: 1318-1327.

Kartika, E. 2006. Isolasi, Karakterisasi dan Pengujian Keefektivan Cendawan Mikoriza Arbuskular Terhadap Bibit Kelapa Sawit pada Tanah Gambut Bekas Hutan. Jurnal Agronomi 10 (2): 63-70

Kormanik, P.P., dan A.C. McGraw. 1982. Quantification of VA Mycorrhizae in Plant Root. Dalam N.C. Shenk (Ed) Methods and Principles of Mycorrhizae Research. The American Phytop. Soc. 46: 37-45.

Maas, E.V., dan R.H. Nieman. 1978. Physiology of Plant Tolerance to Salinity. Dalam G.A. Jung (Ed). Crop Tolerance to Suboptimal Land Conditions. ASA Spec. Pub. 277-299.

Manjunath, A., dan D.J. Bagyaraj. 1981. Components of VA Mycorrhizas Inoculum and Their Effects of Growth of Onion. Phytol 87: 355-361.


(2)

Mansur, I., Y. Setiadi, dan R. Primaturi. 2002. Status of Research on Mycorrhizas Arbuscula Associated with Tropical Tree Species. Paper Presented at The Fourth International Wood Science Symposium (4th

Margarettha. 2010. Pemanfaatan Tanah Bekas Tambang Batubara dengan Pupuk Hayati Mikoriza sebagai Media Tanam Jagung Manis. Journal Hidrolitan 1(3): 1 – 10.

IWSS) LIPI-JSPS Core University Program in The Field of Wood Science. 2-3 September 2002. Research Centre for Physic Indonesian Institute of Science, Serpong, Tangerang. Indonesia.

Menge, J.A. 1984. Inoculum Production VA Mycorrhiza. CRC Press. Boca Raton. Florida.

Muleta, D., A. Fassil, N. Sileshi, G. Ulf. 2007. Composition of Coffee Shade Tree Species and Density of Indigenous Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AMF) Spores in Bonga Natural Coffee Forest, Southwestern Ethiopia. Forest Ecology and Management 241: 145-154.

Muzakkir. 2010. Keragaman dan Potensi Pemanfaatan FMA Indigenus Bersama Pupuk Hijau Terhadap Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) di Lahan Kritis. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Andalas. Padang.

Nadarajah, P., dan A. Nawawi. 1993. Mycorrhizal Status of Epiphytes in Malaysia Oil Palm Plantations. Mycorrhiza 4: 21-25.

Nadarajah, P. 1999. Vesicular Arbuscular Mycorrhizal Fungi in Two Malaysia Oil Palm and Cocoa Plantations and Adjacent Grassland. Makalah dalam The International Conference on Mycorrhizas. Mycorrhizas in Sustainable Tropical Agriculture and Forest Ecosystem. Research and Development Centre for Biology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Bogor.

Nurhalisyah. 2012. Deteksi Keberadaan Fungi Mikoriza pada Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan Timur. Jurnal Agroplantae 1 (2): 79-85.

Nurhandayani, R., R. Linda, dan S. Khotimah. 2013. Inventarisasi Jamur Mikoriza Vesikular Arbuskular dari Rhizosfer Tanah Gambut Tanaman Nanas [Ananas comosus (L.) Merr]. Protobiont 2 (3): 146 -151.

Pindi, P.K. 2011. Mycorrhizal Association of Some Agroforestry Tree Species in Two Social Forestry Nurseries. African Journal of Biotechnology 10 (51): 10425-10430.


(3)

Poerwowidodo. 2000. Telaah Kesuburan Tanah. Angkasa. Bandung.

Pulungan, A.S. 2010. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula di Perkebunan Tebu PTPN 2 Sei Semayang Sumatera Utara. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan.

Puspitasari, D., K.I. Purwani, dan A. Muhibuddin. 2012. Eksplorasi Vesicular Arbuscular Mycorrhiza (VAM) Indigenous pada Lahan Jagung di Desa Torjun, Sampang Madura. Jurnal Sains Dan Seni Its 1: 19-22.

Rothwell, F.M. 1984. Agregation of Surface Mine Soil by Interaction Between VAM Fungi and Lignin Degradation Product of Lespedeza. Plant Soil 80: 99-104. Schenck, N.C, dan N.V. Schroder. 1974. Temperature Respone of Endogone

Micorrhiza on Soybean Roots. Mycology: 600-605.

Setiadi, Y., Mansur, dan A. Setiawan. 1992. Mikrobiologi Tanah Hutan. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Tanaman Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Setiadi, Y., dan A. Setiawan. 2011. Studi Status Fungi Mikoriza Arbuskula di Areal Rehabilitasi Pasca Penambangan Nikel (Studi Kasus PT INCO Tbk. Sorowako, Sulawesi Selatan. Jurnal Silvikultur Trovika 3(1): 88-95.

Shi, Z. Y., Y.L. Zhang., L.X. Li., G. Feng., Y.C. Tian, dan P. Christie. 2007. Diversity of Arbuscular Mycorrhizal Fungi Associated With Desert Ephemerals in Plant Communities of Junggar Basin, North West China. Journal. Applied Soil Ecology (35): 10 –20.

Siguenza, C., I. Espejel, dan E.B. Allen. 1996. Seasonality of Mycorrhizae in Coastal Sand Dunes of Baja California. Mycorryhiza 6: 151-157.

Smith, S.E., dan D.J. Read. 1997. Mycorrhizal symbiosis (Second Edition). Academic Press. Harcourt Brace dan Company Publisher. London.

Smith, S.E, dan D.J. Read. 2008. Mycorrhizal Symbiosis (Third Edition). Academic Press. Great Britain.

Songachan, L.S, dan H. Kayang. 2011. Diversity of Arbuscular Mycorrhizal Fungi in Pine Forest of Meghalaya, North East India. Mycosphere 2 (4): 497–505. Songachan, L.S, dan H. Kayang. 2011. Diversity and Species Composition of


(4)

Songachan, L.S., I. Lyngdoh, dan H. Kayang. 2011. Colonization of arbuscular mycorrhizal fungi in moderately degraded sub-tropical forest stands of Meghalaya, Northeast India. Journal of Agricultural Technology 7(6): 1673-1684.

Suhardi. 1988. Pedoman Kuliah Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA). Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi Universitas Gadjah Mada, PAU-Bioteknologi UGM.

Sutedjo, M.M, dan Kartasapoetra A.G. 2002. Pengantar Ilmu Tanah, Terbentuknya Tanah dan Tanah Pertanian. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta 152: 99-106. Widiastuti, H, dan K. Kramadibrata. 1993. Identifikasi Jamur Mikoriza Bervesikula

Arbuskula di Beberapa Kebun Kelapa Sawit di Jawa Barat. Menara Perkebunan 61: 13-20.

Widiastuti, H. 2004. Biologi Interaksi Cendawan Mikoriza Arbuskula Kelapa Sawit pada Tanah Masam sebagai Dasar Pengembangan Teknologi Aplikasi Dini. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Whiffen, L. 2007. Arbuscular Mycorrhizal Fungi and Carbon Sequestration in Soil.

A Research Thesis Submitted to Fulfil The Requirements for The Degree of Doctor of Philosophy. School of Biological Sciences, The University of Sydney.

Verhey, W. 2010. Growth and Production of Oil Palm. In: Verheye, W. (ed.), Land Use, Land Cover and Soil Sciences. Encyclopedia of Life Support Systems (EOLSS), UNESCO-EOLSS Publishers, Oxford, UK. Diakses melalui

http://www.eolss.net

Viierheilig, H., S. Lerat, dan Y. Piche. 2003. Systemic Inhibitition of Arbuscular Mycorrhizal Development by Root Exudates of Cucumber Plants Colonized By Glomus mosseae. Mycorrhiza 13:167-175.


(5)

(6)

Lampiran 2. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah

Sifat Tanah Sangat

Rendah Rendah Sedang Tinggi

Sangat Tinggi C-Organik

(%) < 1,00 1,00-2,00 2,01-3,00 3,01-5,00 > 5,00 P-Bray II

(ppm) < 8,00 8,0-15 16-25 26-35 > 35 KTK

(m.e/100g) < 5 10-16 17-24 25-40 > 40

Sangat

Masam Masam

Agak

Masam Netral

Agak

Netral Alkalis pH (H2O) < 4,5 4,5-5,5 5,6-6,5 6,6-7,5 7,6-8,5 > 8,5


Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Areal Tanaman Karet (Studi Kasus Di PTPN III Kebun Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan)

1 30 54

Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Di Hutan Pantai Sonang, Tapanuli Tengah

3 70 89

Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Berdasarkan Ketinggian Tempat (Studi Kasus Pada Hutan Pegunungan Sinabung Kabupaten Karo)

2 49 52

Pembukaan Lahan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Kebun Batang Toru, PTPN III (Persero) Tapanuli Selatan, Sumatera Utara

2 10 43

Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Areal Tanaman Kelapa Sawit (Studi Kasus Di PTPN III Kebun Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan)

0 0 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) - Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Areal Tanaman Kelapa Sawit (Studi Kasus Di PTPN III Kebun Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan)

0 1 8

Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Areal Tanaman Kelapa Sawit (Studi Kasus Di PTPN III Kebun Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan)

0 0 15

Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Areal Tanaman Karet (Studi Kasus Di PTPN III Kebun Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan)

0 0 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) - Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Areal Tanaman Karet (Studi Kasus Di PTPN III Kebun Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan)

0 0 7

Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Areal Tanaman Karet (Studi Kasus Di PTPN III Kebun Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan)

0 0 15