77
2.2. Politik Asimilasi pada Periode 1969-1981: Periode Pemantapan
Setelah ditetapkan berbagai macam peraturan pada periode 1966 – 1969, ternyata masih banyak terdapat masalah di lapangan. Masih terdapat
permasalahan di lapangan. Sementara itu, dua pokok yang menjadi pembahasan dan pergulatan utama pada periode ini adalah soal gerakan ekonomi pribumi dan
pengawasan atas etnis Tionghoa lewat peraturan kewarganegaraan. Selain dua itu, masih juga diteruskan persoalan badan pengawas etnis Tionghoa dan
asimilasipendidikan. Dari peraturan selama periode 1966-1969, tersisa banyak permasalahan di
lapangan. Untuk itu, selama masa ini, ditetapkan banyak peraturan yang kiranya bisa mengatasi masalah-masalah teknis itu. Dalam hal ini adalah masalah: surat
kabar Cina, aksara Cina, dan tata cara ibadat Cina. Surat kabar Cina akhirnya dibredel dan dilarang. Setelah itu berjalan, aksara Tionghoa juga dilarang untuk
digunakan. Maka, surat kabar bagi orang Tionghoa mau tidak mau adalah surat kabar dari pemerintah dan mereka terputus dari akar budayanya. Represi terhadap
budaya cina itu sebetulnya terkait erat dengan isu seputar 1974-1980 yaitu persoalan program “ekonomi pribumi”. Represi ini lebih untuk memperlancar
program“ekonomipribumi”.
37
Stereotip bahwa etnis Tionghoa menguasai ekonomi di Indonesia menyebabkan perasaan iri di antara masyarakat pribumi. Mereka mendesak
pemerintah untuk memberi kesempatan kepada mereka untuk berkembang, dan
37
Ibid., hal. 118-125.
Universitas Sumatera Utara
78
memberikan pembatasan-pembatasan kepada para pengusaha Tionghoa. Dari sudut pandang cauvinisme, pengusaha pribumi sangat diuntungkan dengan
peraturan itu. Tetapi dari sudut pandang etnis Tionghoa, peraturan itu membatasi usaha mereka untuk semakin mengembangkan diri. Budaya mereka telah ditolak
habis-habisan, dan sekarang dalam bidang ekonomi pun mereka mengalami diskriminasi.
Setelah masalah “ekonomi pribumi”, yang menjadi masalah berikutnya adalah pengawasan atas etnis Tionghoa lewat kewarganegaraan. Pengawasan
dalam kelengkapan pemilikan dokumen kewarganegaraan dilakukan untuk pertama kali di DKI Jakarta dengan mewajibkan semua WNI keturunan asing,
termasuk juga anak-anak yang tinggal di wilayah DKI. Kelengkapan dokumen itu adalah: Surat Keterangan Pelaporan WNI yang biasa disebut Formulir K-1.
38
Dari surat itu, baru bisa dibuat KTP untuk WNI keturunan Tionghoa. Formulir ini
selanjutnya diterapkan untuk semua daerah. Untuk memantapkan pengawasan, suatu Instruksi Presiden mewajibkan setiap etnis Tionghoa Indonesia untuk
memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia SKBRI. PolitikAsimilasipadaPeriode1981-1998.
Secara garis besar, ada empat pokok yang menjadi titik perhatian pada periode ini. Yang pertama adalah pelarangan kembali budaya Cina. Perhatian
yang kedua adalah pembauran ekonomi, yaitu ekonomi pribumi gaya baru. Yang ketiga adalah penciptaan sistem pengawasan kewarganegaraan yang terpadu. Dan
38
Ibid., hal. 148-149.
Universitas Sumatera Utara
79
yang keempat adalah “reorganisasi”, yaitu pemangkasan Bakom PKB. Secara yuridis, segala budaya Cina telah ditolak dan dilarang oleh pemerintah
dalam segala bentuknya. Warisan budaya Cina itu dianggap berbahaya karena dapat menghambat proses asimilasi yang sedang digalakkan oleh pemerintah.
39
Lebih lanjut, tidak hanya aksara Cina yang dilarang. Semua teks yang memakai tulisan mandarin dilarang. Bahkan, surat yang sedikit saja mengandung tulisan
mandarin ditolak dan tidak akan dikirimkan oleh Kantor Pos Indonesia. Penayangan film maupun video yang menggunakan bahasa Cina dilarang. Segala
hal yang berafinitas dengan budaya Cina dilarang.
40
Meskipun demikian, di sana- sini masih saja terdapat berbagai macam budaya Cina yang masih dijalankan
meski tidak dalam skala yang meriah dan nasional. Sebagai contoh, budaya Imlek masih dijalankan meski sejak tahun 1993 telah dilarang. Pemerintah seolah diam
saja dengan kenyataan itu semua. Pemerintah menyadari bahwa hal itu akan mendatangkan keuntungan yaitu pungutan-pungutan bagi mereka yang terang
melanggar peraturan dari pemerintah. Peraturan pemerintah menjadi senjata untuk merampok orang-orang Tionghoa. Ini pertama-tama untuk menunjukkan bahwa
pemerintah sebetulnya memiliki kuasa. Dari semua pelarangan budaya tersebut, motif di balik semua pelarangan adalah motif ekonomi. Aturan-aturan hukum
budaya tersebut memiliki basis ekonomi. Pemerintah ingin menunjukkan kekuatannya dalam melakukan tawar menawar ekonomi.
41
Berlakunya Keppres
39
Ibid., hal. 173.
40
Ibid
41
Ibid., hal. 179
.
Universitas Sumatera Utara
80
No. 14A tahun 1980 dan Keppres no. 18 tahun 1981 menjadi pilar utama dari kemenangan pengusaha pribumi. Meskipun demikian, ternyata pengusaha
nonpribumi yang besar bisa menyediakan barang dan jasa bagi pemerintah, tanpa harus berpartner dengan pengusaha pribumi. Ekonomi pribumi yang ditetapkan
tahun 1969–1981 ternyata tidak berhasil. Untuk itu, perlu dibentuk sebuah “ekonomi pribumi gaya baru”. Stereotip bahwa etnis Tionghoa menguasai
ekonomi masih diterapkan dan dijalankan. Untuk itu, berbagai macam larangan budaya digiatkan untuk memaksa mereka turut menjalankan program
“pembaurandibidangekonomi.”
42
Hal ketiga yang terkait dengan peraturan dalam asimilasi pada periode ini adalah penciptaan pengawasaan kewarganegaraan yang lebih terpadu. Pada
periode sebelumnya, etnis Tionghoa harus memiliki formulis K-1 dan KTP yang memiliki tanda “O”. Untuk memperoleh formulir K-1 tersebut, mereka terlebih
dahulu harus memiliki SKBRI yang proses untuk memperolehnya sangat lama dan mahal. Pada periode ini, persyaratan itu coba dilunakkan. Tanda “O” pada
KTP dihilangkan karena KTP lebih mudah untuk dipalsukan. Sementara itu, SKBRI dihilangkan karena semua etnis Tionghoa diandaikan sudah memiliki
SKBRI, apalagi proses untuk memiliki SKBRI cukup lama dan mahal. Etnis Tionghoa hanya harus memiliki formulir K-1 yang lebih bersifat individual dan
murah. Dengan demikian, pengawasan dapat berjalan dengan lebih efektif dan
42
Ibid., hal. 185.
Universitas Sumatera Utara
81
efisien. Normalisasi ini berjalan dengan lebih mudah seiring dengan membaiknya hubungan antara Indonesia dengan RRC.
43
. Persoalan asimilasi yang keempat adalah keberadaan Bakom PBK. Bakom
PKB ini menjadi kelanjutan dari LPKB. Akan tetapi, badan ini sudah tidak memiliki taring dan sering hanya dijadikan alat untuk melaksanakan program-
program yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pembauran. Untuk itu, Bakom PKB akhirnya dibubarkan. Maka, semakin jelas bahwa etnis Tionghoa
tidak dilibatkan dalam memutuskan masalah pembauran etnis Tionghoa di Indonesia.
44
3. Stereotip dan kerusuhan Anti Cina