Perkembangan Konsep RestorativeJustice PENERAPAN KONSEP RESTORATIVE JUSTICE PADA KASUS

Karena kelemahan dari peradilan pidana yang ada saat ini adalah pada posisi korban dan masyarakat yang belum mendapatkan posisinya sehingga kepentingan keduanya menjadi terabaikan. Sementara dalam model penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restorative peran aktif kedua pihak ini menjadi penting disamping peran pelaku. Berkaitan dengan posisi pelaku dan korban maka dari berbagai model penyelesaian perkara dalam sistem peradilan pidana terdapat sejumlah kelemahan. 1. Korban, bahwa korban yang semestinya hadir sebagai pihak yang menjadi pusat dari mekanisme yang berjalan diluar pelaku terlihat belum menjadi bagian dari berbagai mekanisme yang ada. a. Keberadaan korban menyebabkan pertimbangan penerapan pendekatan keadilan restorative tidak dapat diterapkan untuk semua jenis tindak pidana b. Keinginan korban untuk ikut berpartisipasi secara sukarela merupakan tantangan tersendiri dalam penyelenggaraan penanganan perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restorative. Contoh kasus, kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian korban terlihat bahwa pertemuan antara pelaku dan keluarga korban dapat dilakukan sepanjang hal ini dapat difasilitasi oleh mediator.

A. Perkembangan Konsep RestorativeJustice

Restorative justiceSystem merupakan sebuah konsep penegakan hukum yang menitik beratkan kepada kepentingan pelaku, korban dan masyarakat.Di samping itu, Restorative Universitas Sumatera Utara justiceSystem bertujuan juga untuk mengembalikan kondisi masyarakat yang telah terganggu oleh adanya perbuatan kejahatan. Keadilan restoratif restoratif justice merupakan hal yang relatif baru di Indonesia. Namun demikian, saat konsep restorative justicediharapkan memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyikapi masalah, khususnya kepada delinkuensi anak. “Menurut Tony F. Marshall restorative justiceadalah : “Restorative justice is a process whereby parties with a stake in a specific offence collectively resolve how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future”. 19 Di Indonesia banyak hukum adat yang bisa menjadi restorative justice, namun keberadaannya tidak diakui negara atau tidak dikodifikasikan dalam hukum nasuonal.Hukum adat bisa menyelesaikan konflik yang muncul di masyarakat dan memberikan kepuasan pada pihak yang berkonflik.Munculnya ide restorative justicesebagai kritik atas penerapan sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif menyelesaikan konflik Terjemahan bebas == Keadilan restoratif adalah suatu proses dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah bagaimana menangani akibat di masa yang akan datang. Restorative justiceadalah konsep pemidanaan, tetapi sebagai konsep pemidanaan tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum pidana formal dan materil.Restorative justiceharus juga diamati dari segi kriminologi dan sistem pemasyarakatan.Dari kenyataan yang ada, sistem pemidanaan yang berlaku belum sepenuhnya menjamin keadilan terpadu integrated justice, yaitu keadilan bagi pelaku, keadilan bagi korban, dan keadilan bagi masyarakat.Hal inilah yang mendorong kedepan konsep “restorative justice”. 19 Marlina, Pengantar Konsep diversi dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana, Medan : USU Press, 2010 Universitas Sumatera Utara sosial.Penyebabnya, pihak yang terlibat dalam konflik tersebut tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik.Korban tetap saja menjadi korban, pelaku yang dipenjara juga memunculkan persoalan baru bagi keluarga dan sebagainya. Menurut Setyo Utomo, bahwa terdapat ciri lain yang menonjol dari restorative justice, dimana kejahatan ditempatkan sebagai gejala yang menjadi bagian tindakan sosial dan bukan sekadar pelanggaran hukum pidana. Kejahatan dipandang sebagai tindakan yang merugikan orang dan merusak hubungan sosial.Berbeda dengan hukum pidana yang telah menarik kejahatan sebagai masalah negara.Hanya negara yang berhak menghukum, meskipun sebenamya komunitas adat bisa saja memberikan sanksi. Proses restorative justicepada dasarnya merupakan upaya pengalihan dari proses peradilan pidana menuju penyelesaian secara musyawarah, yang pada dasarnya merupakan jiwa dari bangsa Indonesia, untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara kekeluargaan untuk mencapai mufakat. Saat ini di dalam sistem hukum di Indonesia, sudah mulai mengarah kepada pengadopsian konsep restorative justicetersebut.Namun untuk sementara, masih diberlakukan secara partial dan memandang tingkat urgenitas yang sangat mendasar, yaitu dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 1 1 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal I angka 6 UU Sistem Peradilan Anak, yang menegaskan sebagai berikut: 20 “Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelakukorban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.” 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak Universitas Sumatera Utara Pengenalan Restorative justiceKeadilan Restoratif di dalam sistem hukum Indonesia masih bersifat parsial dan tidak komprehensif, yang tersebar dalam berbagai ketentuan peraturan serta beberapa praktek yang pernah muncul, yaitu sebagai berikut: Penerapan Restorative justiceKeadilan Restoratif juga terlibat pada beberapa kebijakan penegakan hukum, diantaranya : 1. Surat Edaran Mahkamah Agung sema No. 6 Tahun 1950, menyebutkan bahwa persidangan anak harus dilakukan secara tertutup. 2. Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA No. 6 Tahun 1987, tanggal 16 November 1987 tentang Tata Tertib Sidang Anak. 3. Surat Edaran Jaksa Agung Rl SE-002j. a41989 tentang Penuntutan terhadap Anak 4. Yurisprudensi Mahkamah Agung Rl Nomor 1644 KPid1988 tanggal 15 Mei 1991 dimana aaiam ratio aecidendt putusan disebutkan oahwa apabiia seseorang meianggar hukum adat kemudian Kepala dan Para Pemuka Adat memberikan reaksi adat sanksi adat maka yang bersangkutan tidak dapat diajukan lagi untuk kedua kalinya sebagai terdakwa dalam persidangan Badan Peradilan Negara Pengadilan Negeri dengan dakwaan yang sama meianggar hukum ada dan dijatuhkan pidana penjara menurut ketentuan KUH Pidana Pasal 5 ayat 3 sub b UU drt Nomor 1 Tahun 1951 sehingga dalam keadaan demikian pelimpahan berkas perkara serta tuntutan Kejaksaan di Pengadilan Negeri harus dinyatakan tidak dapat diterima niet ontvankelijk Verklaard. 5. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum B-532E111995, 9 Nov 1995 tentang Petunjuk Teknis Penuntutan Terhadap Anak 6. Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Universitas Sumatera Utara Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyeiesaian Kewajiban Pemegang Saham 7. Memorandum of Understanding No. 20PRS-2KEP2005 DitBinRehSos Depsos Rl dan DitPas DepKumHAM Rl tentang pembinaan luar lembaga bagi anak yang berhadapan dengan hukum 8. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Rl MAKumdil31iK20G5 tentang kewajiban setiap PN mengadakan ruang sidang khusus ruang tunggu khusus untuk anak yang akan disidangkan 9. Himbauan Ketua MAR untuk menghindari penahanan pada anak dan mengutamakan putusan tindakan daripada penjara, 16 Juli 2007 10. Peraturan KAPOLRl 102007, 6 Juli 2007 tentang Unit Pelayanan Perempuan dan Anak PPA dan 32008 tentang Pembentukan RPK dan Tata Cars Pemeriksaan SaksiKorban Tindak Pidana 11. TR1124XI2006 dari Kabareskrim POLRI, 16 Nov 2006 dan TR395V12008 9 Juni 2008, tentang Pelaksanaan Diversi Dan Restorative justiceDalam Penanganan Kasus Anak Pelaku Dan Pemenuhan Kepentingan Terbaik Anak dalam Kasus Anak Baik Sebagai Pelaku, Korban Atau Saksi 12. Kesepakatan Bersama antara Departemen Sosial Rl Nomor : 12PRS-2KPTS2009, Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Rl Nomor : M.HH.04.HM.03.02 Th 2009, Departemen Pendidikan Nasional Rl Nomor llXllKB2009, Departemen Agama Rl Nomor : 06XII2009, dan Kepolisian Negara Rl Nomor : B43 XI 12009 tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan dengan Hukum, tanggal 15 Desember 2009 Universitas Sumatera Utara 13. Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Rl, Jaksa Agung Rl, Kepala Kepoiisian Negara RI, Menteri Hukum Dan HAM Rl, Menteri Sosial Rl, Menteri Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Rl, N0.166KMASKBXII2009, N0.148 AAJA122009, NO. B45XI 12009, NO.M.HH-08 HM.03.02 Tahun 2009, NO. 10PRS- 2KPTS2009, NO. 02Men.PP dan PAXII2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum. 14. Surat Kapolri No Pol: B3022XII2009SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution ADR 15. Peraturan Kepala Kepoiisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Kemudian dalam Konterensi Internasional Pembaharuan Hukum Pidana International Penal Reform Conference tahun 1999 dikemukakan bahwa salah satu unsur kunci dari agenda baru pembaharuan hukum pidana the key elements of a new agenda for penal reform adalah perlunya memperkaya sistem peradilan formal dengan sistem atau mekanisme informal dengan standar-standar hak asasi manusia the need to enrich the formal judicial system with informal, locally based, dispute resolution mechanism which meet human rights standards yang mengindentifikasikan sembilan strategi pengembangan dalam melakukan pembaharuan hukum pidana melalui pengembangan restorative justice, alternative dispute resolution, informal justice, alternatives to custody, alternative ways of dealing with jitveniles, dealing with violent crime, reducing the prison population, the proper management of prisons dan the role of civil in penal reform. Begitu pula dalam Konggres PBB ke-10 tahun 2000 dokumen ACONF. 1 874Rev.3, antara lain dikemukakan bahwa untuk memberikan perlindungan kepada korban kejahatan, Universitas Sumatera Utara hendaknya diintrodusir mekanisme mediasi dan peradilan restorativerestorative justice. Kemudian, sebagai tindak lanjut pertemuan internasional tersebut mendorong munculnya dokumen internasional yang berkorelasi dengan peradilan restoratif dan mediasi dalam perkara pidana berupa the Recommendation of the Council of Eure 1999 No. R 99 19 tentang “mediation in Penal Mattres”, berikutnya the EU Framework Decision 2001 tentang “the Stannding of Victim in Criminal Proceedings” dan The UN Principles 2002 Resolusi ecosoc 200212 tentang “Basic Principples on the Use Restorative justice Programme in criminal Matters” Maraknya wacana terhadap fenomena restorative justicemerupakan antiklimaks atas hancurnya sistem pemidanaan yang ada pada saat ini. Sistem Pemasyarakatan sebagai pengganti sistem kepenjaraan ternyata sudah terbukti sama sekali tidak efektif dalam menekan tingginya angka kejahatan. Restorative justicelebih memandang pemidanaan dari sudut yang berbeda, yaitu berkaitan mengenai pemenuhan atas kerugian yang diderita oleh korban dan sekaligus diharapkan mampu mengembalikan magis religius dalam komunitas masyarakat si pelaku, sehingga kedamaian menjadi tujuan akhir dari konsep ini. Munculnya konsep restorative justicebukan berarti meniadakan pidana penjara, dalam perkara perkara tertentu yang menimbulkan kerugian secara massal dan berkaitan dengan berharga nyawa seseorang, maka pidana penjara masih dapat dipergunakan.Konsep restorative justicemerupakan suatu konsep yang mampu berfungsi sebagai akselerator dari asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan, sehingga lebih menjamin terpenuhinya kepastian hukum dan keadilan masyarakat. Sesuai dengan prinsip restorative justicesecara umum dikenal bahwa masukan dan usulan dari korban dan masyarakat dalam proses tatap muka, tidak berbentuk berlawanan, nonformal Universitas Sumatera Utara dan pertemuan secara sekarela dengan pelaku dalam suasana aman akan menghasilkan proses yang terbaik. Walaupun dalam proses sukarela yang melibatkan dua pihak yang sebelumnya terlibat dalam perlentangan akibat krimmal namun tidak selalu semudah yang kita bayangkan. Tindakan coercive kemungkinan dapat saja terjadi dalam suasana yang bersifat sukarela dan meggutamakan kejujuran dan ketulusan masing-masing. Jika lerjadi coercive maka proses selanjutnya harus dikembalikan ke sistem peradilan pidana formal biasa untuk menghindari terjadinya pemaksaan pada salah satu pihak. Namun kekurangan karena coercion harus ditanggapi secara rasional, restorativedan respek saling menghormati harus diutamakan karena kita mencari jalan peradilan yang adil dan sanksi yang diberikan tepat untuk mendapat hasil maksimum dan efek restorative pada korban, pelaku dan masyarakat. Menurut pandangan restorative justicepengawasan yang kerasketat dari sebuah kesepakatan bukan alasan yang tepat untuk menyebutnya sebagai hukuman.Pendendaan yang tidak dthubungkan dengan kesalahan yang dilakukan atau tidak menimbulkan sifat pemaksaan bukanlah sebuah hukuman atau punishment.Keraguan ini harus didasarkan pada lokasi psikologis dari perasaan tersiksa pelaku.Hukuman ilegal ataupun formal adalah berlaku sebagai sebuahjjgrbuatari yang disengaja terhadap pelaku atas nilai kesalahannya. Banyak versi konsep restorative justicediterima, bahwa pengadilan dapat menjatuhkan sanksi restorativeseperti ganti rugi resmi, melakukan kerja yang hasilnya untuk dana korban, atau kerja sosial dengan mempertimbangkan contoh sebagai berikut: 1. Korban dan masyarakat setempat tidak dipersiapkan untuk setuju pada keadaan yang tidak adil terhadap pelaku. Mediasi antara korban dan pelaku tidak dapat dipaksakan sehingga seorang hakim hendaknya memutuskan untuk melaksanakan restorative justice. Universitas Sumatera Utara 2. Pelaku bisamenolak untuk menerimatindakan restorative justice yang rasional, karena korban dan masyarakat tidak dapat memaksakan hal itu. Pilihan hanya untuk hakim untuk menjatuhkan sanksi. Namun sanksi yang dijatuhkan juga dapat berupa restorative justice. 3. Ada beberapa pelanggaran yang sunggguh-sungguh serius sehingga berdampak pada masyarakat lokal. Suatu intervensi publik memaksa atau sanksi oleh peradilan pidana mungkin lebih tepat sebagai rasa kekhawatiran korban dan masyarakat, sehingga aspek restorative justicetetap ada walaupun prosesnya dijalankan lembaga peradilan pidana. Isi dari sanksi yang diputuskan harus diutamakan untuk kebaikan dan penyembuhan semuanya, kalau perlu mungkin pelaku dapat ditahan, namun harus diberi kesempatan restorative justice. Mengapa kita tidak menyebut hasil dari restorative justicesebagai suatu hukuman? Hal itu karena tidak ada tujuan atau maksud untuk membuat pelaku memperoleh penderitaan. Kepentingan restorative justicedan beban hanyalah sisi akibat lain dari tindakan restorative justice. Ketidakenakan pada pelaku mungkin dan kadang merupakan konsekuensi dari kewajiban restorative justice, tapi tidak bermaksud mengakibatkan supaya menderitaluka. Restorative justicetidak melihal apa yang menjadi perasaan pelaku, sepanjang haknya sebagai warga negara dihormati dan sebuah kontribusi yang wajar dibuat untuk menyembuhkan kerugian, penderitaan, kegelisahan masyarakat yang diakibatkan kejadian itu. Restorative justicetidak hanya ditujukan pada pelaku saja sebagai pokok utarna prosesnya, sebaliknya untuk merehabilitasi keadilan dan hukum.Restorative justicedapat dijalankan walau pelakunya tidak diketahui atau tidak ditangkap.Saat kerugian diketahui kemudian ada korban dan faktor-laktor pendukung restorative justicedipenuhi seperti masyarakat mau mendukung supaya ada kompensasi dan perbaikan.jika nantinya pelaku tertangkap maka Universitas Sumatera Utara pelaku diwajibkan menjalani proses penyembuhan. Pelaku bukan sebuah objek dari restorative justice, melainkan bagian dari pelaksanaan konsep restorative justice. Di Indonesia pengembangan konsep restorative justicemerupakan sesuatu yang baru, yang mana kota Bandung menjadi salah satu tempat pejaksanaan pilot project Unicef terutang pengembangan konsep restorative justicepada tahun 2003. 21 Restorative justicemerupakan upaya untuk mendukung dan melaksanakan ketentuan yang diatur dalam Pasal 16 ayat 3 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu bahwa penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir”. Tindak pidana, khususnya tindak pidana yang dilakukan oleh anak, dilihat sebagai suatu pelanggaran terhadap manusia dan hubungan antara manusia, yang menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam mencari solusi perbaikan, rekonsiliasi dan menen-teramkan hati. 22 21 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT Refika Aditama,Bandung, 2009 22 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pengadilan negeri ibaratnya adalah muara, yang menerima dan mengadili perkara-perkara yang dilimpahkan dari kejaksaan negeri. Dari daftar perkara pidana anak pada Kepaniteraan Pidana Pengadilan Negeri Bandung selama 1 tahun terakhir Januari 2004-Mei 2005 tercatat sebanyak 70 ftujuh puluh perkara anak, yang usianya berkisar antara 13 tiga belas tahun sampai dengan 18 delapan belas tahun yang pada saat perkara dilimpahkan hampir semua terdakwa berada dalam tahanan. Sejalan dengan tujuan restorative justice, Pengadilan Negeri Bandung telah membuat ruang sidang dan ruang tunggu khusus anak dan memisahkan terdakwa anak yang ditahan dan terdakwa dewasa sejak saat yang bersangkutan tiba dari rutan. Universitas Sumatera Utara Sistem peradilan anak sendiri sebenarnya sudah baik, namun buruknya sebuah sistem tetaplah kembali pada kemauan dan kemampuan para pelaksanaanya untuk mengutamakan kepentingan dan perlindungan serta memberikan yang terbaik kepada anak yang berhadapan dengan hukum dengan prinsip the best interest of the children. Kasus yang dapat diselesaikan dengan restorative justiceadalah kasus yang telah masuk dalam sistem peradilan pidana atau kasus yang belum masuk dalam sistem peradilan pidana belum bersentuhan dengan sistem peradilan pidana. Metode penyelesaian yang dilakukan dalam restorative justicedi Bandung adalah sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah yang telah melembaga dalam masyarakat, dapat mengakomodasi keterlibatan masyarakat atau pihak ketiga lainnya dalam proses penyelesaian bukan lanya korban dan pelaku dan tujuan yang hendak dicapai melalui proses musyawarah adalah untuk memulihkan segala kerugian dan “luka” yang lelah diakibatkan oleh perisliwa kenakalan anak tersebut.

B. Pelaksanaan Restorative Justice di Indonesia