Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Restorative Justice Dalam Kecelakaan Lalu Lintas (Studi Kasus 3969/Pid.B/2010/Pn-Medan)

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS (STUDI KASUS 3969/PID.B/2010/PN-MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas – Tugas dan Memenuhi Syarat – Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh

090200291

RIZKI PRANANDA TAMBUNAN

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS (STUDI KASUS 3969/PID.B/2010/PN-MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas – Tugas dan Memenuhi Syarat – Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh

090200291

RIZKI PRANANDA TAMBUNAN

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Pidana

NIP. 195703261986011001 Dr. H. M. Hamdan, S.H, M.H

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Liza Erwina, S.H., M.Hum.

196110241989032002 196005201998021001

Alwan, S.H., M.hum.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013


(3)

Abstrak

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN KONSEP RESTORATIVE JUSTICE

DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS (STUDI KASUS PUTUSAN NO. 3969/PID.B/PN.MEDAN

NAMA : RIZKI PRANANDA TAMBUNAN NIM : 090200291

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan angkutan jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara.

Faktor penyebab kecelakaan lalu lintas di jalan raya adalah unsur-unsur sistem transportasi antara lain: manusia, kendaraan, jalan serta lingkungannya. Upaya pencegahan kecelakaan dilakukan dengan upaya geometri jalan dan upaya pengaturan lingkungan.Upaya penanganan geometri dilakukan dengan peningkatan kapasitas jalan, yaitu penghilangan jalur lambat menjadi jalur utama.Sedangkan penanganan lingkungan dilakukan dengan peningkatan sarana komunikasi berupa telepon, faksimail dan pos, pengaturan manusia, faktor kendaraan dan perlengkapan prasarana jalan.Sedangkan itu peraturan dan pertanggungjawaban pidana terhadap si pengemudi yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.Terdapat suatu metode penyelesaian perkara pidana dalam kecelakaan lalu lintas yaitu metode perdamaian.Didalam perdamaian baik korban maupun pelaku diperbolehkan untuk mengadakan perdamaian dalam hal penggantian hukuman.Restorative justice atau sering diterjemahkan dalam keadilan restorative merupakan suatu metode pendekatan yang dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan atas kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan nikmat kesehatan dan hikmat kepada penulis sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik sesuai dengan waktu yang telah direncanakan.

Skripsi berjudulTINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM

KECELAKAAN LALU LINTAS (STUDI KASUS 3969/PID.B/2010/PN-MEDAN) yang disusun untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini Penulis menyadari bahwa hasil yang diperoleh masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati Penulis akan menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

Namun terlepas dari segala kekurangan yang ada pada penulisan skripsi ini, Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih setinggi-tingginya dan tak terhingga kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Runtung S.H, M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta seluruh Pembantu Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Kepada Orangtua Drs. H Sahat Prawira Tambunan dan Ibunda Hj. Syafridar SE yang

selalu memberikan dukungan moral dan materiil serta doa dan kasih sayang yang sedari kecil diberikan. Tanbpa cinta, dukungan dan doanya sangat sulit bagi Penulis untuk mencapai cita – citanya.

3. Bapak Prof. Dr. Syahrial Pasaribu selaku rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program sarjana ini.


(5)

4. Dr. H. M. Hamdan, S.H., M.H., sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

5. Liza Erwina, S.H., M.Hum. sebagai Dosen Pembimbing I dan Alwan, S.H., M.hum sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktunya kepada Penulis untuk membimbing, mengarahkan, dan memeberikan masukan yang berguna kepada Penulis sehingga skripsi ini selesai.

6. Seluruh dosen dan Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan membimbing Penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi Perpustakaan serta para pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Kepada seluruh sepupu Nita Nurvita, Monda Fauziah Siregar yang terus memberikan dukungan kepada Penulis

9. Spesial thanks buat teman dekat Noviza Amalia yang terus mendukung dan selalu mengingatkan penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini

10.Seluruh teman – teman stambuk 2009 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Akhir kata kiranya diharapkan oleh Penulis skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan dan pengembangan Ilmu Hukum di Indonesia. Dan semoga dengan skripsi ini dapat memberikan masukan yang berguna bagi Nusa dan Bangsa.


(6)

Medan, Oktober 2013 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan manfaat Penulisan ... 7

D. Tinjauan Kepustakaan ... 8

E. Metode Penelitian ... 17

F. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II : FAKTOR-FAKTORPENYEBAB TERJADINYA, KECELAKAAN LALU LINTAS ... 20

A. Peraturan Lalu Lintas di Jalan Raya dalam Undang-Undang No. 22Tahun 2009 ... 20

B. Jenis dan Dampak Kecelakaan Lalu Lintas ... 22

C. Faktor Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas ... 23

D. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kecelakaan Lalu Lintas ... 25

BAB III : PENERAPAN KONSEP RESTORATIVE JUSTICE PADA KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS ... 28

A. Perkembangan Konsep Restorative Justice ... 30

B. Pelaksanaan restorative justice di Indonesia ... 41

C. Tindak Pidana yang diselesaikan Melalui Proses Restorative Justice ... 46


(8)

BAB IV : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA KASUS PENGEMUDI KENDARAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN DALAM

KECELAKAAN LALU LINTAS ... 50

A. Dasar Hukum dan Pengaturan Sanksi Pidana Bagi Pengemudi Kendaraan yang Ditinjau dari KUHP dan UU No. 22 Tahun 2009 ... 53

B. Kasus Posisi ... 56

C. Pertanggungjawaban pidana dalam kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian dan kerugian materil ... 75

D. Analisis Kasus... 80

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 84

A. Kesimpulan ... 84

B. Saran ... 90 DAFTAR PUSTAKA


(9)

Abstrak

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN KONSEP RESTORATIVE JUSTICE

DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS (STUDI KASUS PUTUSAN NO. 3969/PID.B/PN.MEDAN

NAMA : RIZKI PRANANDA TAMBUNAN NIM : 090200291

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan angkutan jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara.

Faktor penyebab kecelakaan lalu lintas di jalan raya adalah unsur-unsur sistem transportasi antara lain: manusia, kendaraan, jalan serta lingkungannya. Upaya pencegahan kecelakaan dilakukan dengan upaya geometri jalan dan upaya pengaturan lingkungan.Upaya penanganan geometri dilakukan dengan peningkatan kapasitas jalan, yaitu penghilangan jalur lambat menjadi jalur utama.Sedangkan penanganan lingkungan dilakukan dengan peningkatan sarana komunikasi berupa telepon, faksimail dan pos, pengaturan manusia, faktor kendaraan dan perlengkapan prasarana jalan.Sedangkan itu peraturan dan pertanggungjawaban pidana terhadap si pengemudi yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.Terdapat suatu metode penyelesaian perkara pidana dalam kecelakaan lalu lintas yaitu metode perdamaian.Didalam perdamaian baik korban maupun pelaku diperbolehkan untuk mengadakan perdamaian dalam hal penggantian hukuman.Restorative justice atau sering diterjemahkan dalam keadilan restorative merupakan suatu metode pendekatan yang dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dibentuk mempunyai tujuan agar terwujudnya pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan yang aman, tertib, lancar dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional serta terwujudnya etika dalam berlalu lintas dan terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyrakat.

Dengan adanya Undang-undang yang mengatur lalu lintas dan angkutan jalan ini dapat menyeimbangkan antara peranan transportasi saat ini dengan adanya permasalahan mengenai transportasi tersebut.

Menyadari peranan transportasi, maka lalu lintas dan angkutan jalan harus ditata dalam satu sistem transportasi nasional secara terpadu agar mampu mewujudkan tersedianya jasa transportasi yang serasi dengan tingkat kebutuhan lalu lintas dan pelayanan angkutan yang tertib, selamat, aman, nyaman, cepat, tepat, teratur dan lancar.

Lalu lintas dan angkutan jalan yang mempunyai karakteristik dan keunggulan tersendiri perlu dikembangkan dan dimanfaatkan sehingga mampu menjangkau seluruh wilayah pelosok daratan dengan mobilitas tinggi dan mampu memadukan roda transportasi lain.

Untuk mencapai daya guna dan hasil guna nasional yang optimal, di samping harus ditata roda transportasi laut, udara, lalu lintas dan angkutan jalan yang mempunyai kesamaan wilayah pelayanan di daratan dengan perkeretaapian, angkutan sungai, danau, dan penyebrangan, maka perencanaan dan pengembangannya perlu ditata dalam satu kesatuan sistem secara tepat, serasi, seimbang, terpadu sinergetik antara satu dengan yang lainnya, mengingat penting dan


(11)

strategisnya peranan lalu lintas dan angkutan jalan yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka lalu lintas dan angkutan jalan dikuasai oleh Negara yang pembinaannya dilakukan oleh pemerintah.

Penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan perlu diselenggarakan secara berkesinambungan dan terus ditingkatkan agar daya jangkau dan pelayanannya lebih luas kepada masyarakat, dengan memperhatikan sebesar-besarnya kepentingan umum dan kemampuan masyarakat, kelestarian lingkungan, kordinasi antara wewenang pusat dan daerah antara instansi, sektor, dan unsur yang terkait serta terciptanya keamanan dan ketertiban dalam menyelenggarakan lalu lintas dan angkutan jalan, sekaligus mewujudkan sistem transportasi nasional yang handal dan terpadu.

Keseluruhan hal tersebut tercantum dalam satu undang-undang yang utuh yakni di dalam Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Undang-undang ini menggatikan Undang-Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, dan juga belum tertata dalam satu kesatuan sistem yang merupakan bagian dari transportasi secara keseluruhan.

Dalam undang-undang ini juga diatur mengenai hak, kewajiban serta tanggungjawab para penyedia jasa terhadap kerugian pihak ketiga sebagai akibat dari penyelenggaraan angkutan jalan.

Pada perkembangannya, lalu lintas jalan dapat menjadi masalah bagi manusia, karena semakin banyaknya manusia yang bergerak atau berpindah-pindah dari satu tempat ketempat lainnya, dan semakin besarnya masyarakat yang menggunakan sarana transportasi angkutan jalan, maka hal inilah yang akan mempengaruhi tinggi rendahnya angka kecelakaan lalu lintas.


(12)

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan suatu peristiwa yang terjadi dijalan raya secara tidak disangka dan tidak disengaja yang mengakibatkan korban manusia maupun harta benda.1

Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 1993 tentang prasarana dan lalu lintas jalan Pasal 93 menyatakan bahwa kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak disangka – sangka dan tidak disengaja melibatkan kendaraan yang sedang bergerak dengan atau tanpa pemakai jalan raya lainnya, mengakibatkan korban manuia dan kerugian harta.2

Menurut Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, menyatakan bahwa kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa dijalan yang tidak di duga dan tidak disengaja melibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.3

Sedangkan itu, dalam Pasal 24 Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang lalu lintas dan angkutan jalan menyebutkan bahwa :

Menurut pengertian umum, kecelakaan lalu lintas merupakan suatu peristiwa yang tidak disangka – sangka dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya, yang mengakibatkan korban manusia (mengalami luka ringan, luka berat dan meninggal) dan harta benda.

Ada beberapa faktor yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas tersebut seperti faktor manusia, faktor kendaraan dan faktor jalan itu sendiri.Kombinasi ketiga faktor ini dapat saja terjadi, anatar manusia dengan kendaraan misalnya berjalan melebihi batas kecepatan yang ditetapkan kemudian ban pecah sehinggan mengalami kecelakaan lalu lintas.

1

UU No. 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 2

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas 3


(13)

1. Untuk keselamatan, keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan, setiap orang yang menggunakan jalan wajib :

a. Berperilaku tertib dengan mencegah hal – hal yang dapat merintangi, membahayakan kebebasan dan keselamatan lalu lintas atau yang dapat menimbulkan kerusakan jalan dan bangunan di jalan.

b. Menempatkan kendaraan atau benda – benda lainnya di jalan sesuai dengan peruntukannya.

2. Pengemudi dan pemilik kendaraan bertanggung jawab terhadap kendaraan berikut muatannya yang ditinggalkan dijalan.4

Untuk itulah para pengemudi dan pemilik kendaraan lebih berhati – hati dalam melaju di jalan agar tidak terjadinya hal – hal yang tak diinginkan.Selain itu pembinaan di bidang lalu lintas jalan yang meliputi aspek – aspek pengaturan, pengendalian dan pengawasan lalu lintas tersebut harus ditujukan untuk keselamatan, keamanan, dan kelancaran lalu lintas.

Setiap pengguna jalan wajib turut serta terlibat dalam menciptakan situasi yang kondusif dan lalu lintas yang tertib dan lancar.Ketertiban lalu lintas merupakan keadaan dimana manusia dalam mempegunakan jaan secara teratur, tertib dan lancer atau bebas dari kejadian kecelakaan lalu lintas.Maka dalam hal ini diperlukan aturan hukum yang dapat mengatur lalu lintas untuk mewujudkan ketertiban dalam berlalu lintas.Diharapkan peraturan yang ada saat ini dapat menjadi pedoman dalam mengantisipasi terjadinya permasalahan lalu lintas dan kecelakaan yang dapat mengakibatkan kerugian materi maupun korban jiwa.

Akibat hukum dari kecelakaan lalu lintas adalah adanya pidana bagi si pembuat atau penyebab terjadinya peristiwa itu dan dapat pula disertai tuntutan perdata atas kerugian material yang ditimbulkan. Sebagaimana dinyatakan oleh Andi Hamzah, bahwa “Dalam berbagai macam

4


(14)

kesalahan, di mana orang yang berbuat salah menimbulkan kerugian pada orang lain, maka ia harus membayar ganti kerugian

Kebiasaan dalam praktek di masyarakat, para pihak yang terlibat kecelakaan seringkali melakukan penyelasaian sendiri masalah ganti kerugian tersebut, dengan memberikan ganti kerugian, santunan, bantuan kepada pihak yang dianggap sebagai korban (yang lebih menderita) secara sukarela, bahkan kadang tidak mempersalahkan salah benarnya.

Kebiasaan tersebut diibaratkan dalam sebuah perdamaian yang mana antara si korban dan si pelaku bersama – sama duduk dalam satu pertemuan untuk sama – sama berbicara.

Perdamaian sendiri sebenarnya bukanlah bentuk dari restorative justicesesungguhnya.Semua bentuk pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan korban luka ringan, luka berat bahkan meninggalnya seseorang dapat diterapkan dengan sistem restorative justice.

Di Indonesia, praktik secara restorative justiceini juga telah dilakukan yang dikenal dengan penyelesaian secara kekeluargaan. Praktik – praktik yang ada tetap mempunyai dasar

restorative justiceyang telah diakui banyak Negara yang mana dalam pelaksanaannya kini telah diimplementasikan dalam sejumlah aturan dan pola atau cara.

Restorative justicemenawarkan solusi terbaik dalam menyelesaikan kasus kejahatan atau pelanggaran yaitu dengan memberikan keutamaan pada inti permasalahan dari suatu kejahatan.Penyelesaian yang penting untuk diperhatikan adalah memperbaiki kerusakan atau kerugian yang disebabkan terjadinya kejahatan atau pelanggaran tersebut.Perbaikan tatanan sosial masyarakat yang terganggu karena peristiwa kejahatan atau pelanggaran merupakan bagian penting dari konsep restorative justice tersebut.


(15)

Berdasarkan latar belakang inilah, penulis ingin mengangkat judul skripsi tentang

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN KONSEP RESTORATIVE

JUSTICEDALAM KECELAKAAN LALU LINTAS sebagai studi hukum. B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dikemukakan di depan, maka dapat ditemukan masalah bagaimana penerapan restorative justice dalam kecelakaan lalu lintas, namun untuk membatasi agar tidak terlalu luas permasalahan yang harus diteliti, maka penulis member batasan penelitiannya sebagai berikut :

1. Apakah faktor - faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pada kasus pengemudi kendaraan yang mengakibatkan kematian dalam kecelakaan Lalu Lintas?

3. Bagaimana penerapan konsep restorative justicedalam kasus Kecelakaan lalu lintas?

C. Tujuan dari Penulisan

Yang mana tujuan dari penulisan skripsi yang hendak dicapai adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui peraturan tentang kecelakaan lalu lintas yang diatur didalam Undang

– Undang Nomor 22 Tahun 2009

2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan tentang kecelakaan lalu lintas yang diatur didalam Kitab Undang – undang Hukum Pidana

3. Untuk mengetahui dan memahami tentang konsep restorative justiceyang ditujukan terhadap pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas

4. Untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat – syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(16)

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Dapat memberikan hasil analisis dan pemahaman tentang bagaimana penerapan ketentuan pidana pada kasus kecelakaan lalu lintas menggunakan kendaraan bermotor.

2. Dapat memberikan hasil analisis dan pemahaman tentang pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku kasus kecelakaan lalu lintas menggunakan kendaraan bermotor. Serta diharapkan dapat memberi kontribusi yang memadai dalam memperkaya khasanah ilmu hukum sebagai bahan referensi dan perbendaharaan perpustakaan.

3. Dapat memberikan hasil analisis dan pemahaman tentang bagaimana penerapan restorative justice pada kasus kecelakaan lalu lintas

D. Tinjauan Pustaka

Manusia merupakan makhuk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain untuk menginginkan agar kepentingan-kepentingannya terlindungi dari bahaya yang mengancamnya maka memerlukan bantuan manusia lain dengan adanya orang lain maka tercipta suatu hubungan antara manusia dengan manusia atau yang disebut hidup bermasyarakat, di dalam hidup bermasyarakat harus tunduk pada aturan yang berlaku. Kehidupan bermasyarakat terdapat norma-norma atau aturan-aturan yang berfungsi untuk merigatur tata pergaulan dimasyarakat dan hukum tidak lepas dari kehidupan manusia karena manusia mempunyai kepentingan.

Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya yang mengancam kepentingannya sehingga seringkali mengakibatkan kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.Kepentingan tersebut adalah suatu tuntunan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi.


(17)

Norma atau kaidah yang terdapat di dalam masyarakat meliputi kaidah kepercayaan, kaidah kesusilaan, kaidah sopan santun, dan kaidah hukum.Masing-masing kaidah mempunyai tuntutan dan sanksi bagi mereka yang metanggarnya.

Terciptanya kepatuhan warga masyarakat harus ada kaidah atau norma, maka pengawasannya dilakukan oleh masyarakat dan lembaga yang ditunjuk oleh negara sebagai lembaga yang menguasai kehidupan bermasyarakat. Tujuan diadakannya kaidah atau norma adalah untuk menciptakan rasa aman, damai, dan harmonis daiam bermasyarakat

Kaidah hukum mempunyai keistimewaan sendiri karena pelaksanaannya dapat dipaksakan terhadap pelangarnya berupa sanksi yang lebih berat dibanding pelanggar Terhadap kaidah lainnya. Kaidah hukum mengatur tentang apa yang seharusnya dan apa yang dilarang dalam kehidupan masyarakat dan bernegara, sehingga pelanggaran kaidah hukum merupakan ancaman terhadap keamanan dan ketertiban negara secara langsung maupun tidak langsung.

Sanksi bertujuan untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat, yang telah terganggu oleh pelanggaran-pelanggaran kaedah, yang dimaksud dengan sanksi adalah suatu reaksi akibat atau konsekuensi pelanggaran kaedah sosiat.Sanksi dalam arti luas dapat bersifat menyenangkan atau positif, yang berupa penghargaan atau ganjaran seperti rasa hormat atau simpati.

Sanksi pada lazimnya adalah yang bersifat negatif dengan ancaman hukuman hendak dicegah oleh masyarakat penyimpangan atau pelanggaran kaedah sosial, sedangkan penghargaan digunakan untuk mendorong agar setiap orang mentaati atau mematuhi kaedah.


(18)

Seiring dengan perkembangan masyarakat suatu perbuatan yang berupa kejahatan maupun pelanggaran selalu mengikuti perkembangan masyarakat walaupun masyarakat sendiri tidak menghendakinya.

Moeljatno berpendapat bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan tersebut disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.5

Roeslan Saleh berpendapat bahwa perbuatan pidana adatah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum.Perbuatan-perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil dapat pula dikatakan bahwa perbuatan pidana tersebut adaiah perbuatan yang anti sosial.6

Ketika terjadi suatu perbuatan pidana maka titik tolak perhatian umum adalah pada pihak korban, sedangkan pengertian korban terdapat pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006

Berdasarkan definisi tersebut di atas bahwa unsur formal harus sesuai dengan rumusan undang-undang, selain itu juga harus ditinjau dari segi materialnya yaitu segi pergaulan masyarakat dan untuk siapa aturan-aturan hukum itu berlaku.

Perbuatan yang dimaksud tersebut adalah perbuatan yang harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan karena bertentangan dengan tata pergaulan dalam masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu sendiri.Dengan adanya perbuatan pidana di samping memenuhi syarat-syarat formal, unsur sifat melawan hukum adaiah syarat mutlak yang tidak dapat ditinggalkan.

5

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2002, Hlm 54. 6

Roeslan Saleh, /Perbuatan Pidana dan Pertanggunjawaban Dalam Hukum Pidana, PT AksaraBaru, Jakarta, 1981.Hlm 13.


(19)

Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yaitu seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

Tindak pidana pada suatu kecelakaan lalu lintas yang perlu mendapat perhatian adalah pelaku perbuatan pidana karena terjadinya korban dalam kecelakaan lalu-lintas adalah akibat kelalaian, kurang hati-hati, ketidak cermatan, atau keteledoran yang seharusnya tidak ada dalam diri pelaku pada saat beraktifitas di jalan raya.7

Untuk menentukan adanya kealpaan ini harus dilihat peristiwa demi peristiwa.Yang harus memegang ukuran normatif dari kealpaan itu adalah hakim.Hakimlah yang harus menilai suatu perbuatan itu concreto dengan ukuran nonna penghati-hati atau penduga-duga, seraya memperhitungkan di dalamnya segala keadaan dan keadaan pribadi sipembuat.Jadi segala keadaan yang objeknya dan yang menyangkut sipembuat sendiri harus diteliti dengan seksama.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu lintas Angkutan Jalan, pengertian lalu-lintas adalah gerak kendaraan orang-orang dan hewan di jalan. Sedangkan yang dimaksud dengan kendaraan adalah suatu alat yang dapat bergerak di jalan terdiri dan kendaraan bermotor dan kendaraan tidak bermotor.

Faktor yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas terjadi karena kesadaran yang kurang, maka penegakan hukum berfungsi sebagai pencegahan dalam penanggulangan.

Unsur kealpaan memerlukan pembuktian lebih lanjut, untuk dapat menuntut seseorang yang melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan kematian, maka diantara perbuatan dan matinya orang tersebut harus ada hubungan kausal.

8

Untuk menentukan kekurangan penghati-hati dari sipembuat dapat digunakan ukuran apakah ia “ada kewajiban untuk berbuat lain”. Kewajiban ini dapat diambil dari ketentuan

7

Soerjono Soekamto, Polisi dan Lalu lintas, Mandar Maju, Bandung, 1990, Hlm 6 8


(20)

Undang-undang atau dari luar Undang-undang, ialah dengan memperhatikan segala keadaan apakah yang seharusnya dilakukan olehnya. Kalau ia tidak melakukan apa yang seharusnya ia lakukan, maka hal tersebut menjadi dasar untuk dapat mengatakan bahwa ia alpa.

Moeljatno mengatakan bahwa jika hubungan kausal dapat ditentukan, bahwa matinya seseorang karena kelakuan pelaku tindak pidana, sehingga menyebabkan matinya seseorang maka pelaku tindak pidana dapat dituntut dan dipertanggung jawabkan, dapat juga dikatakan bahwa kelakuan pelaku tindak pidana menjadi penyebab matinya si korban.9

Terdakwa dapat dituntut dan dipertanggungjawabkan maka harus dibuktikan dulu adanya hubungan kausal antara matinya korban dengan perbuatan yang dilakukan, suatu kesalahan adalah syarat muttak bagi adanya pertanggungjawaban yang berupa pengenaan pidana,

Berdasarkan pada pendapat tersebul dapat disimpulkan bahwa agar terdakwa dapat dituntut dan dipertanggung jawabkan perbuatannya, maka harus dibuktikan terlebih dahulu adanya hubungan kausal antara matinya korban dengan perbuatan yang dilakukannya.

10

Moeljatno berpendapat bahwa adanya kesalahan terdakwa harus ada beberapasyarat: di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana berlaku asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.

11

Kesengajaan dan kealpaan merupakan dua bentuk kesalahan yang berlainan jenis, sehingga tidak perlu adanya hubungan antara keadaan batin dan perbuatannya, keduanya 1. Melakukan perbuatan pidana atau sifat melawan hukum.

2. Di atas umur tertentu mampu bertanggung jawab.

3. Mempunyai bentuk kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. 4. Tidak ada alasan pemaaf dan pembenar.

9

Moeljatno, Op. Cit, Hlm. 89 10

Yeni Widowaty et all, Hukum Pidana, Lab Hukum, UMY, Yogyakarta, 2007, Hlm32 11


(21)

merupakan delik yang telah dikualifisir oleh akibatnya.Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak menjelaskan pengertian dari kesengajaan maupun kealpaan. Perbuatan dapat dibedakan menjadi tiga corak sikap batin, yang menunjukkan tingkatan atau bentuk dari kesengajaan, yaitu:12

1. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk). Corak kesengajaan ini merupakan bentuk kesengajaan yang biasa dan sederhana. Perbuatan sipembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang. Kalau akibat ini tidak akan ada, maka dia tidak akan berbuat demikian.

2. Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn atau

(noodzakelijkheidbewitstzijri). Dalam hal ini perbuatan mempunyai dua akibat.

a) Akibat yang memang dituju sipembuat. Ini dapat merupakan deliktersendiri atau tidak. b) Akibat yang tidak diinginkan tetapi merupakan suatu keharusan untuk mencapai

tujuan, akibat ini pasti timbul atau terjadi.

3. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolits eventualisatau Voorwaardelijk opzet). Dalam hal ini ada keadaan yang semula mungkin terjadi kemudian terrnyata benar-benar terjadi. Menurut para ahli bahwa kealpaan mempunyai dua element yaitu:13

a) Mengadakan penduga-duga terhadap akibat bagi sipembuat (voor-zein-baarheid).

b) Tidak mengadakan penghati-hati mengenai apa yang diperbuat atau tidak diperbuat

(onvoorzictigheid).

Kitab Undang-undang Hukum Pidana, ancaman pidana bagi delik-delik dolus lebih berat dari ancaman delik-delik culpa, misalnya Pasal 388 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang pembunuhan (dolus) yang dilakukan dengan sengaja, maka dipidana penjara paling lama

12

Sudarto, Op.Cit, Hlm 103 13


(22)

lima belas tahun. Sedangkan Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana menyebabkan matinya orang lain karena kealpaannya, maka diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.14

Penyelesaian secara damai perkara tindak pidana lalu lintas jalan yang berakibat korban mati biasanya pembuat memberikan restitusi dengan suka rela kepada keluarga korban berupa sejumlah uang sesuai dengan kesanggupan, kemampuan ekonomi dan tingkat kesalahan baik pembuat maupun korban umumnya sekurang-kurangnya Rp. 100.000,- dan paling banyak sekitar Rp. 2.500.000,-, Jumlah uang restitusi dimaksudkan untuk membantu korban, dan restitusi

Perlindungan hukum bagi korban akibat kecelakaan diatur dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yaitu apabila korban meninggal, pengemudi atau pemilik atau pengusaha angkutan umum wajib memberi bantuan kepada ahli waris dan. korban berupa biaya pengobatan dan biaya pemakaman, sedangkan dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 yaitu setiap kendaraan umum wajib diasuransikan, terhadap kendaraan itu sendiri dan terhadap kerugian yang diderita pihak ke-tiga sebagai akibat pengoperasian kendaraan.

Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pengusaha atau perusahaan angkutan umum adalah perusahaan yang menyediakan jasa angkutan orang atau barang dengan kendaraan umum di jalan.

Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dimaksud dengan kendaraan umum adalah setiap kendaraan bermotor yang disediakan untuk dipergunakan oleh umum dengan dipungut bayaran.

14


(23)

tersebut tidak pernah diajukan oleh keluarga korban, karena dirasakan tidak etis berarti sungguh-sungguh atas kemauan, kemampuan dan kerelaan pembuat.15

1. Jenis Penelitian

Kasus-kasus kecelakaan yang disebabkan karena kelalaian pengendara atau sopir yang mengakibatkan banyak korban jiwa. Sanksi pidana bagi pengendara kendaraan bermotor maupun pengemudi yang karena kelalaiannya mengakibatkan adanya korban jiwa, tidak hanya seperti apa yang tercantum dalam ketentuan Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yaitu diancam dengan pidana penjara maksimal 5 tahun atau pidana kurungan maksimal 1 tahun, bahkan Undang-undang No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan juga memberi sanksi, dalam Pasai 28 dikatakan bahwa:

“Pengemudi kendaraan bermotor bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan atau pemilik barang dan atau pihak ketiga, yang timbul karena kelalaian atau kesalahan pengemudi didalam mengemudikan kendaraan bermotor.Jika kesalahan tidak ada maka pidana tidak dapat dijatuhkan”.

Pertanggungjawaban pidana bagi pengendara kendaraan bermotor maupun pengemudi yang karena kelalaiannya mengakibatkan matinya orang lain, disamping dapat dijatuhi sanksi pidana sebagaimana diatur didalam Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tetapi dapat juga diberikan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 tentang lalu lintas dan angkutan jalan.

E. Metode Penelitian

Bahwa jenis penelitian ini adalah menggunakan pendekatan normatif yaitu dengan berpedoman pada pustaka dalam mengumpulkan bahan akan tetapi selain itu data-data juga diambil dari penelitian yang dilakukan penulis di lapangan.Pengumpulan data dilakukan yakni

15

Iswanto, Restitusi Kepada Korban Mali Atau Luka Berat Sebagai Syarat Pidana BersyaratPada Tindak Pidana Lata Lintas Jalan, 2002, Hlm. 128.


(24)

metode penelitian kepustakaan (library research) dan metode penelitian lapangan (field research).

Metode penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan guna mengumpulkan sejumlah data dari berbagai literatur yang ada yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan pada Pengadilan Negeri Medan. 3. Sumber Data

a. Sumber Data Sekunder, yang terdiri dari:

1) Bahan hukum primer adalah peraturan perundang-undangan dan dokumen resmi yang berhubungan erat dengan permasalahan yang diteliti. Bahan hukum primer dalam penelitian ini bersumber dari:

a) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

b) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

c) Undang-undang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lain Lintas dan Angkutan Jalan Raya.

2) Bahan Hukum Sekunder adalah bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini bersumber dari:

a) Literatur-literatur hukum pidana, terutama yang berkaitan dengan tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian dari berbagai pengarang. b) Makalah-makalah dan hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan tindak


(25)

4. Teknik Pengumpulan Data Studi Pustaka

Studi pustaka adalah merupakan kegiatan meneliti atau menggali bahan-bahan hukum atau data tertulis, baik yang berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah-majalah, jurnal-jurnal hasil penelitian, serta bahan-bahan tertulis yang berhubungan atau berkaitan dengan tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian.

5. Metode Penyajian Data dan Analisis

Dalam melakukan penyajian terhadap data yang diperoleh, penulis menggunakan teknik penyajian deskriptif kualitatif. Data yang diperoleh akan dijelaskan, dipilih dan diolah berdasarkan kualitasnya yang relevan dengan tujuan dan masalah yang diteliti sehingga permasalahan dapat terjawab. Dengan demikian, penulis akan dapat menarik kesimpulan tentang penerapan konsep restorative justice dengan kecelakaan lalu lintas.

F. Sistematika Penulisan Skripsi

BAB I : Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi.

BAB II : Dalam bab ini diuraikan mengenai tinjauan umum tentang peraturan lalu lintas di jalan raya, faktor-faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas, jenis dan dampak kecelakaan lalu lintas peraturan lalu linta di jalan raya, upaya pencegahan dan penanggulangan kecelakaan lalu lintas.

BAB III : Dalam bab ini diuraikan tentang hasil dan pembahasan, yaitu penerapan konsep

restorative justice pada kasus kecelakaan lalu lintas yang berkaitan dengan perkembangan konsep restorative justice, pelaksanaan restorative justice di Indonesia dan tindak pidana yang diselesaikan melalui restorative justice.


(26)

BAB IV : Dalam bab ini diuraikan tentang dasar pertanggungjawaban pidana pada kasus pengemudi kendaraan yang mengakibatkan kematian dalam kecelakaan lalu lintas yaitu berkaitan dengan dasar hukum dan pengaturan sanksi pidana bagi pengemudi kendaraan, posisi kasus kecelakaan lalu lintas, pertanggungjawaban pidana dalam kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kerugian materil.

BAB V : Dalam bab ini diuraikan tentang kesimpulan dan saran penulis berkaitan dengan permasalahan penelitian.

BAB II

FAKTOR – FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KECELAKAAN LALU LINTAS

A. Peraturan Lalu Lintas di Jalan Raya Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009

Bahwa peraturan hukum yang mengatur kecelakaan lalu lintas di jalan raya dapat menimbulkan kerugian materi, bahkan ada yang sampai dengan meninggal dunia disamping luka berat dan ringan dan/atau cacat seumur hidup.Pengaturan tentang kecelakaan lalu lintas dapat dilihat dari beberapa peraturan tentang lalu lintas itu sendiri dan beberapa penerapan yang terdapat didalam kitab undang – undang hukum pidana.

Menurut Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angakutan Jalan (LLAJ) bahwa yang dimaksud dengan:16

1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya. 2. Lalu Lintas adalah gerak Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan.

3. Angkutan adalah perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan.

16


(27)

BAB IV : Dalam bab ini diuraikan tentang dasar pertanggungjawaban pidana pada kasus pengemudi kendaraan yang mengakibatkan kematian dalam kecelakaan lalu lintas yaitu berkaitan dengan dasar hukum dan pengaturan sanksi pidana bagi pengemudi kendaraan, posisi kasus kecelakaan lalu lintas, pertanggungjawaban pidana dalam kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kerugian materil.

BAB V : Dalam bab ini diuraikan tentang kesimpulan dan saran penulis berkaitan dengan permasalahan penelitian.

BAB II

FAKTOR – FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KECELAKAAN LALU LINTAS

A. Peraturan Lalu Lintas di Jalan Raya Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009

Bahwa peraturan hukum yang mengatur kecelakaan lalu lintas di jalan raya dapat menimbulkan kerugian materi, bahkan ada yang sampai dengan meninggal dunia disamping luka berat dan ringan dan/atau cacat seumur hidup.Pengaturan tentang kecelakaan lalu lintas dapat dilihat dari beberapa peraturan tentang lalu lintas itu sendiri dan beberapa penerapan yang terdapat didalam kitab undang – undang hukum pidana.

Menurut Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angakutan Jalan (LLAJ) bahwa yang dimaksud dengan:16

1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya. 2. Lalu Lintas adalah gerak Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan.

3. Angkutan adalah perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan.

16


(28)

4. Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah serangkaian Simpul dan/atau ruang kegiatan yang saling terhubungkan untuk penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

5. Simpul adalah tempat yang diperuntukkan bagi pergantian antarmoda dan intermoda yang berupa Terminal, stasiun kereta api, pelabuhan laut, pelabuhan sungai dan danau, dan/atau bandar udara.

6. Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah Ruang Lalu Lintas, Terminal, dan Perlengkapan Jalan yang meliputi marka, rambu, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan, alat pengawasan dan pengamanan Jalan, serta fasilitas pendukung.

7. Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.

8. Kendaraan Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel.

9. Kendaraan Tidak Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan.

10. Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap Kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran.

11. Ruang Lalu Lintas Jalan adalah prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang yang berupa Jalan dan fasilitas pendukung.

12. Jalan adalah seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel.

1. Kecelakaan Lalu Lintas

a) Menurut Pasal 1 ayat (24) UU LLAJ Tahun 2009 menentukan sebagai berikut:17

“Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.

b) Menurut Pasal 229 UU LLAJ Tahun 2009 menentukan sebagai berikut:18 (1) Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas:

a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan; b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.

(2) Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.

17

Undang-Undang LLAJ Tahun 2009, OpCit, hlm. 9 18


(29)

(3) Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.

(4) Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat. (5) Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh

kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan.

2. Kendaraan Bermotor

Sebuah kendaraan yang disebut mobil adalah merupakan kendaraan beroda empat atau lebih yang terdapat mesin penggerak sendiri (self-propelled vehicle) dengan pengoperasian oleh seorang sopir/supir (menyupir).Untuk kendaraan roda kurang dari empat tidak disebut mobil, biasanya cuma disebut kendaraan roda tiga (bajaj, bemo) atau kendaraan roda dua saja.Mobil banyak jenisnya mulai dari sedan, van, truk, bus, dll.

B. Jenis dan Dampak Kecelakaan Lalu Lintas

Kejadian kecelakaan lalulintas sangat beragam baik dari proses kejadiannya maupun penyebabnya. Untuk kepentingan penanggulangannya perlu adanya suatu pola yang dapat menggambarkan karakteristik proses kejadian suatu kecelakaan lalu lintas, agar dapat disimpulkan faktor faktor penyebabnya sehingga dapat dirumuskan pola/upaya penanggulannya.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu diadakan pengelompokan/tipologi kecelakaan lalulintas menurut proses terjadinya, yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Kecelakaan kendaraan tunggal, yaitu kecelakaan yang terjadi hanya satu kendaraan saja. b. Kecelakaan pejalan kaki, yaitu kecelakaan yang melibatkan pejalan kaki.

c. Kecelakaan membeloh lebih dari dua kendraan, yaitu kecelakaan yang terjadi d. pada saat melakukan gerakan membelok dan melibatkan lebih dari dua kendaraan.


(30)

e. Kecelakaan membelok dua kendaraan, yaitu kecelakaan yang terjadi pada saat melakukan gerakan membelok dan melibatkan hanya dua buah kendaraan.

f. Kecelakaan tanpa gerakan membelok,yaitu kecelakaan yang terjadi pada saat berjalan lurus atau kecelakaan yang terjadi tanpa gerakan membelok.

C. Faktor Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas

Faktor penyebab kecelakaan biasanya diklasifikasikan identik dengan unsur-unsur sistem transportasi, yaitu pemakai jalan, pengemudi dan pejalan kaki, kendaraan, jalan dan Hngkungan, atau kombinasi dari dua unsur atau lebih.

a. Pemakai jalan

Menurut data statistik baik di Indonesia maupun diluar negri, penyebaba kecelakaan yang paling tinggi adalah pengemudi. Beberapa kriteria pengemudi sebagai penyebab kecelakaan adalah sebagai berikut:

- Pengemudi mabuk (drink driver)

Dimana pengemudi mengalami kehilangan kesadaran karena pengaruh alkohol, obat-obat terlarang, narkotik dan sebagainya.

- Pengemudi lelah (fatiguued or overlay tired driver)

Yaitu keadaan pengemudi membawa kendaraan dalam keadaan lelah atau mengantuk akibat kurang istirahat sehingga kurang waspada, kurang tangkas bereaksi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.

- Pengemudi kurang terampil (unskilled driver)

Yaitu keadaan dimana pengemudi kurang dapat diperkirakan kemampuan mengemudi kendaraannya, misalnya kemampuan unruk rnelakukan pengereman, kemampuan untuk menjaga jarak dengan kendaraan di depannya (gab) dan lain sebagainya.


(31)

b. Pejalan Kaki (Pedestrian)

Penyebab kecelakaan dapat ditimpakan pada pejalan kaki dalam berbagai kemungkinan, seperti penyebrang jalan pada tempat dan waktu yang tidak tepat, (tidak aman) berjalan terlalu ketengah jalan, kurang hati-hati dan lain sebagainya.

c. Kendaraan

Kendaraaan dapat menyebabkan kecelakaan apabila tidak dikendarai dengan sebagai mana mestinya.yaitu sebagai akibat kondisi teknisnya yang tidak layak jalan maupun penggunanya yang tidak sesuai dengan ketentuan.

• Kondisi teknis yang tidak layak jalan misalnya rem blong, mesin tiba-tiba mati, ban pecah, kemudi tidak berfungsi dengan baik, as atau kopel lepas, lampu mati (khususnya dimalam hari) reting mati dan lain sebagainya.

• Penggunaan kendaraan yang tidak sesuai dengan ketentuan. Misalnya penggunaan muatan yang tidak sesuai dengan ketentuan.

d. Jalan

Jalan dapat merupakan faktor penyebab kecelakaan antara lain untuk hal-hal sebagai berikut:

• Kerusakan pada permukaan jalan.

Misal terdapat lubang-lubang yang sulit dikenali (terutama pada musim penghujan terisi air). • Konstruksi bahu jalan yang tidak benar. Misalnya bahu jalan yang terlalu rendah dengan

badan jalan, bahu jalan yang kurang lebar, atau bahkan tidak terdapat bahu jalan sama sekali. • Geometri jalan yang kurang sempurna, Misalnya derajad kemiringan (superelevasi) yang


(32)

bagi pengemudi, terlalu terjal/curam tanjakan jalan, terlalu kecilnya jari-jari tikungan dan lain sebagainya.

e.Lingkungan

Kadang-kadang lingkungan juga dapat menjadi penyebab terjadinya kecelakaan, misalnya pada saat kabut, asap tebal atau hujan lebat sedemikian hingga jarak pandang pengemudi menjadi berkurang

D. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kecelakaan Lalu Lintas

a. Upaya Geometri Jalan

Guna menurunkan angka kecelakaan lalu lintas di jalan perlu dilakukan perbaikan geometri jalan.Perbaikan tersebut berupa pengaturan lebar jalan yang cukup, permukaan jalan yang nyaman dilengkapi dengan rambu, marka jalan, lampu penerangan jalan yang sesuai dengan standar geometri jalan. Peningkatan prasarana jalan akan menurunkan jumlah kecelakaan. Disamping itu pembangunan jaringan jalan harus disesuaikan dengan pola tingkah laku dan kebiasaan pemakaian jalan.

b. Upaya Pengaturan Lingkungan, Manusia dan Kendaraan

1. Upaya Pengaturan Lingkungan

Upaya pengaturan lingkungan dilakukan dengan beberapa cara antara lain : Peningkatan sarana komunikasi misalnya telepon, faksimal dan pos. Dengan prasarana ini mungkin akan dapat mengurangi kebutuhan akan perjalanan dan transportasi secara umum. Karena orang akan mengirimkan data/informasi melalui fasilitas komunikasi, sehingga dalam menyelesaikan urusan kepada orang lain tidak harus dengan bertatap muka secara langsung. Langkah lain yang mungkin dapat ditempuh dengan cara peningkatan pajak kendaraan dan restribusi parkir.


(33)

Sehingga diharapkan akan dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan akan membudayakan pemakaian angkutan umum.

2. Upaya pengaturan faktor manusia Upaya pengaturan faktor manusia berupa: a. Faktor pemakai jalan.

Metode yang diterapkan dalam meningkatkan kemampuan pengemudi adalah dengan menyeleksi secara ketat seleksi pencarian SIM (Surat Ijin Mengemudi).Disini diharapkan pengemudi harus betul-betul trampil sebelum mendapat SIM.Pada akhirnya didalam mengemudi nantinya benar-benar menguasai kendaraan dan rambu-rambu yang ada di jalan raya.

b. Pendidikan di bangku sekolah

Pendidikan berlalulintas harus ditanamkan mulai dari TK sampai SMU.Pendidikan tersebut dapat diwujudkan melalui ekstra kurikuler.atau kedalam bentuk pelajaran ketrampilan. Misal dengan latihan pengaturan menyebrang pejalan kaki, sehingga diwaktu berangkat/ pulang sekolah dapat membantu polisi dalam mengatur lalulintas.

c. Pengawasan

Pengawasan, penegakan hukum dan pemberian sanksi hukuman harus terus diterapkan seefektif mungkin, agar pemakai jalan selalu mentaati peraturan.

3. Upaya Pengaturan FaktorKendaraan a. Karakteristik kendaraan

Karakteristik kendaraan juga sering membawa dampak tingginya intensitas dan kualitas kecelakaan lalulintas.Untuk menanggulangi kecelakaan lalulintas kendaraan harus dirancang, dilengkapi dengan peralatan, dan dirawat dengan sebaik-baiknya.Kecelakaan lalulintas dapat


(34)

terhindar apabila kondisi kendaraan prima, stabil, peralatan berfungsi dengan baik, bodi tidak keropos dan cukup kuat malindungi penumpangnya.

b. Faktor umur ban

Umur ban yang tepat dapat mencegah timbulnya kecelakaan. Tipisnya ban yang dipakai, kepekaan rem dan berfungsinya lampu-lampu kendaraan sangat erat dengan keselamatan pengemudi. Oleh karena itu pemeriksaan rutin melalui pengujian KIR kendaraan harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, tanpa adanya toleransi.


(35)

BAB III

PENERAPAN KONSEP RESTORATIVE JUSTICE PADA KASUS

KECELAKAAN LALU LINTAS

Restorative justice atau sering diterjemahkan sebagai keadilan restoratif merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional, pendekatan ini menitikberatkan adanya partisipasi langsung dari pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Terlepas dari kenyataan tersebut bahwa pendekatan ini masih diperdebatkan secara teoritis, akan tetapi pandangan ini pada kenyataannya berkembang dan banyak mempengaruhi kebijakan hukum dan praktik di berbagai negara.

Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restorative

Definisi tersebut mensyaratkan adanya suatu kondisi tertentu yang menempatkan keadilan restorativesebagai nilai dasar yang dipakai dalam merespon suatu perkara pidana. Dalam hal ini disyaratkan adanya keseimbangan fokus perhatian antara kepentingan pelaku dan korban serta memperhitungkan pula dampak penyelesaian perkara pidana tersebut dalam masyarakat.

menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana, seperti yang tergambar dari definisi yang dikemukakan oleh Dignan sebagai berikut:

Restorativejustice is a new framework for responding to wrong doing and conflict that is rapidly gaining acceptance and support by edsucational, legal, social work, and counceling professionals and community groups. Restorative justice is a valued-based approach to responding to wrongdoing and conflict, with a balanced focus on the person harmed, the person causing the harm, and the affected community.


(36)

Karena kelemahan dari peradilan pidana yang ada saat ini adalah pada posisi korban dan masyarakat yang belum mendapatkan posisinya sehingga kepentingan keduanya menjadi terabaikan. Sementara dalam model penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restorative peran aktif kedua pihak ini menjadi penting disamping peran pelaku.

Berkaitan dengan posisi pelaku dan korban maka dari berbagai model penyelesaian perkara dalam sistem peradilan pidana terdapat sejumlah kelemahan.

1. Korban, bahwa korban yang semestinya hadir sebagai pihak yang menjadi pusat dari mekanisme yang berjalan diluar pelaku terlihat belum menjadi bagian dari berbagai mekanisme yang ada.

a. Keberadaan korban menyebabkan pertimbangan penerapan pendekatan keadilan

restorative tidak dapat diterapkan untuk semua jenis tindak pidana

b. Keinginan korban untuk ikut berpartisipasi secara sukarela merupakan tantangan tersendiri dalam penyelenggaraan penanganan perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restorative.

Contoh kasus, kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian korban terlihat bahwa pertemuan antara pelaku dan keluarga korban dapat dilakukan sepanjang hal ini dapat difasilitasi oleh mediator.

A. Perkembangan Konsep RestorativeJustice

Restorative justiceSystem merupakan sebuah konsep penegakan hukum yang menitik beratkan kepada kepentingan pelaku, korban dan masyarakat.Di samping itu, Restorative


(37)

justiceSystem bertujuan juga untuk mengembalikan kondisi masyarakat yang telah terganggu oleh adanya perbuatan kejahatan.

Keadilan restoratif (restoratif justice) merupakan hal yang relatif baru di Indonesia. Namun demikian, saat konsep restorative justicediharapkan memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyikapi masalah, khususnya kepada delinkuensi anak.

“Menurut Tony F. Marshall restorative justiceadalah : “Restorative justice is a process whereby parties with a stake in a specific offence collectively resolve how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future”.19

Di Indonesia banyak hukum adat yang bisa menjadi restorative justice, namun keberadaannya tidak diakui negara atau tidak dikodifikasikan dalam hukum nasuonal.Hukum adat bisa menyelesaikan konflik yang muncul di masyarakat dan memberikan kepuasan pada pihak yang berkonflik.Munculnya ide restorative justicesebagai kritik atas penerapan sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif menyelesaikan konflik

(Terjemahan bebas ==> Keadilan restoratif adalah suatu proses dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah bagaimana menangani akibat di masa yang akan datang).

Restorative justiceadalah konsep pemidanaan, tetapi sebagai konsep pemidanaan tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum pidana (formal dan materil).Restorative justiceharus juga diamati dari segi kriminologi dan sistem pemasyarakatan.Dari kenyataan yang ada, sistem pemidanaan yang berlaku belum sepenuhnya menjamin keadilan terpadu (integrated justice),

yaitu keadilan bagi pelaku, keadilan bagi korban, dan keadilan bagi masyarakat.Hal inilah yang mendorong kedepan konsep “restorative justice”.

19

Marlina, Pengantar Konsep diversi dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana, Medan : USU Press, 2010


(38)

sosial.Penyebabnya, pihak yang terlibat dalam konflik tersebut tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik.Korban tetap saja menjadi korban, pelaku yang dipenjara juga memunculkan persoalan baru bagi keluarga dan sebagainya.

Menurut Setyo Utomo, bahwa terdapat ciri lain yang menonjol dari restorative justice,

dimana kejahatan ditempatkan sebagai gejala yang menjadi bagian tindakan sosial dan bukan sekadar pelanggaran hukum pidana. Kejahatan dipandang sebagai tindakan yang merugikan orang dan merusak hubungan sosial.Berbeda dengan hukum pidana yang telah menarik kejahatan sebagai masalah negara.Hanya negara yang berhak menghukum, meskipun sebenamya komunitas adat bisa saja memberikan sanksi.

Proses restorative justicepada dasarnya merupakan upaya pengalihan dari proses peradilan pidana menuju penyelesaian secara musyawarah, yang pada dasarnya merupakan jiwa dari bangsa Indonesia, untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara kekeluargaan untuk mencapai mufakat.

Saat ini di dalam sistem hukum di Indonesia, sudah mulai mengarah kepada pengadopsian konsep restorative justicetersebut.Namun untuk sementara, masih diberlakukan secara partial dan memandang tingkat urgenitas yang sangat mendasar, yaitu dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 1 1 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.

Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal I angka 6 UU Sistem Peradilan Anak, yang menegaskan sebagai berikut:20

“Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.”

20


(39)

Pengenalan Restorative justice(Keadilan Restoratif) di dalam sistem hukum Indonesia masih bersifat parsial dan tidak komprehensif, yang tersebar dalam berbagai ketentuan peraturan serta beberapa praktek yang pernah muncul, yaitu sebagai berikut:

Penerapan Restorative justice(Keadilan Restoratif) juga terlibat pada beberapa kebijakan penegakan hukum, diantaranya :

1. Surat Edaran Mahkamah Agung (sema) No. 6 Tahun 1950, menyebutkan bahwa persidangan anak harus dilakukan secara tertutup.

2. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1987, tanggal 16 November 1987 tentang Tata Tertib Sidang Anak.

3. Surat Edaran Jaksa Agung Rl SE-002/j. a/4/1989 tentang Penuntutan terhadap Anak

4. Yurisprudensi Mahkamah Agung Rl Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 dimana aaiam ratio aecidendt putusan disebutkan oahwa apabiia seseorang meianggar hukum adat kemudian Kepala dan Para Pemuka Adat memberikan reaksi adat (sanksi adat) maka yang bersangkutan tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagai terdakwa dalam persidangan Badan Peradilan Negara (Pengadilan Negeri) dengan dakwaan yang sama meianggar hukum ada dan dijatuhkan pidana penjara menurut ketentuan KUH Pidana (Pasal 5 ayat (3) sub b UU drt Nomor 1 Tahun 1951) sehingga dalam keadaan demikian pelimpahan berkas perkara serta tuntutan Kejaksaan di Pengadilan Negeri harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk Verklaard).

5. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum B-532/E/11/1995, 9 Nov 1995 tentang Petunjuk Teknis Penuntutan Terhadap Anak

6. Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada


(40)

Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyeiesaian Kewajiban Pemegang Saham

7. Memorandum of Understanding No. 20/PRS-2/KEP/2005 DitBinRehSos Depsos Rl dan DitPas DepKumHAM Rl tentang pembinaan luar lembaga bagi anak yang berhadapan dengan hukum

8. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Rl MA/Kumdil/31/i/K/20G5 tentang kewajiban setiap PN mengadakan ruang sidang khusus & ruang tunggu khusus untuk anak yang akan disidangkan

9. Himbauan Ketua MAR) untuk menghindari penahanan pada anak dan mengutamakan putusan tindakan daripada penjara, 16 Juli 2007

10. Peraturan KAPOLRl 10/2007, 6 Juli 2007 tentang Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) dan 3/2008 tentang Pembentukan RPK dan Tata Cars Pemeriksaan Saksi&/Korban Tindak Pidana

11. TR/1124/XI/2006 dari Kabareskrim POLRI, 16 Nov 2006 dan TR/395/V1/2008 9 Juni 2008, tentang Pelaksanaan Diversi Dan Restorative justiceDalam Penanganan Kasus Anak Pelaku Dan Pemenuhan Kepentingan Terbaik Anak dalam Kasus Anak Baik Sebagai Pelaku, Korban Atau Saksi

12. Kesepakatan Bersama antara Departemen Sosial Rl Nomor : 12/PRS-2/KPTS/2009, Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Rl Nomor : M.HH.04.HM.03.02 Th 2009, Departemen Pendidikan Nasional Rl Nomor ll/Xll/KB/2009, Departemen Agama Rl Nomor : 06/XII/2009, dan Kepolisian Negara Rl Nomor : B/43/ XI 1/2009 tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan dengan Hukum, tanggal 15 Desember 2009


(41)

13. Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Rl, Jaksa Agung Rl, Kepala Kepoiisian Negara RI, Menteri Hukum Dan HAM Rl, Menteri Sosial Rl, Menteri Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Rl, N0.166/KMA/SKB/XII/2009, N0.148 A/A/JA/12/2009, NO. B/45/XI 1/2009, NO.M.HH-08 HM.03.02 Tahun 2009, NO. 10/PRS-2/KPTS/2009, NO. 02/Men.PP dan PA/XII/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum.

14. Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR)

15. Peraturan Kepala Kepoiisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman

Kemudian dalam Konterensi Internasional Pembaharuan Hukum Pidana (International Penal Reform Conference) tahun 1999 dikemukakan bahwa salah satu unsur kunci dari agenda baru pembaharuan hukum pidana (the key elements of a new agenda for penal reform) adalah perlunya memperkaya sistem peradilan formal dengan sistem atau mekanisme informal dengan standar-standar hak asasi manusia (the need to enrich the formal judicial system with informal, locally based, dispute resolution mechanism which meet human rights standards) yang mengindentifikasikan sembilan strategi pengembangan dalam melakukan pembaharuan hukum pidana melalui pengembangan restorative justice, alternative dispute resolution, informal justice, alternatives to custody, alternative ways of dealing with jitveniles, dealing with violent crime, reducing the prison population, the proper management of prisons dan the role of civil in penal

reform.

Begitu pula dalam Konggres PBB ke-10 tahun 2000 (dokumen A/CONF. 1 87/4/Rev.3), antara lain dikemukakan bahwa untuk memberikan perlindungan kepada korban kejahatan,


(42)

hendaknya diintrodusir mekanisme mediasi dan peradilan restorative(restorative justice).

Kemudian, sebagai tindak lanjut pertemuan internasional tersebut mendorong munculnya dokumen internasional yang berkorelasi dengan peradilan restoratif dan mediasi dalam perkara pidana berupa the Recommendation of the Council of Eure 1999 No. R (99) 19 tentang “mediation in Penal Mattres”, berikutnya the EU Framework Decision 2001 tentang “the Stannding of Victim in Criminal Proceedings” dan The UN Principles 2002 (Resolusi ecosoc 2002/12) tentang “Basic Principples on the Use Restorative justice Programme in criminal Matters”

Maraknya wacana terhadap fenomena restorative justicemerupakan antiklimaks atas hancurnya sistem pemidanaan yang ada pada saat ini. Sistem Pemasyarakatan sebagai pengganti sistem kepenjaraan ternyata sudah terbukti sama sekali tidak efektif dalam menekan tingginya angka kejahatan. Restorative justicelebih memandang pemidanaan dari sudut yang berbeda, yaitu berkaitan mengenai pemenuhan atas kerugian yang diderita oleh korban dan sekaligus diharapkan mampu mengembalikan magis religius dalam komunitas masyarakat si pelaku, sehingga kedamaian menjadi tujuan akhir dari konsep ini.

Munculnya konsep restorative justicebukan berarti meniadakan pidana penjara, dalam perkara perkara tertentu yang menimbulkan kerugian secara massal dan berkaitan dengan berharga nyawa seseorang, maka pidana penjara masih dapat dipergunakan.Konsep restorative justicemerupakan suatu konsep yang mampu berfungsi sebagai akselerator dari asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan, sehingga lebih menjamin terpenuhinya kepastian hukum dan keadilan masyarakat.

Sesuai dengan prinsip restorative justicesecara umum dikenal bahwa masukan dan usulan dari korban dan masyarakat dalam proses tatap muka, tidak berbentuk berlawanan, nonformal


(43)

dan pertemuan secara sekarela dengan pelaku dalam suasana aman akan menghasilkan proses yang terbaik. Walaupun dalam proses sukarela yang melibatkan dua pihak yang sebelumnya terlibat dalam perlentangan akibat krimmal namun tidak selalu semudah yang kita bayangkan. Tindakan coercive kemungkinan dapat saja terjadi dalam suasana yang bersifat sukarela dan meggutamakan kejujuran dan ketulusan masing-masing. Jika lerjadi coercive maka proses selanjutnya harus dikembalikan ke sistem peradilan pidana formal (biasa) untuk menghindari terjadinya pemaksaan pada salah satu pihak. Namun kekurangan karena coercion harus ditanggapi secara rasional, restorativedan respek (saling menghormati) harus diutamakan karena kita mencari jalan peradilan yang adil dan sanksi yang diberikan tepat untuk mendapat hasil maksimum dan efek restorative pada korban, pelaku dan masyarakat.

Menurut pandangan restorative justicepengawasan yang keras/ketat dari sebuah kesepakatan bukan alasan yang tepat untuk menyebutnya sebagai hukuman.Pendendaan yang tidak dthubungkan dengan kesalahan yang dilakukan atau tidak menimbulkan sifat pemaksaan bukanlah sebuah hukuman atau punishment.Keraguan ini harus didasarkan pada lokasi psikologis dari perasaan tersiksa pelaku.Hukuman ilegal ataupun formal) adalah berlaku sebagai sebuahjjgrbuatari yang disengaja terhadap pelaku atas nilai kesalahannya.

Banyak versi konsep restorative justicediterima, bahwa pengadilan dapat menjatuhkan sanksi restorativeseperti ganti rugi resmi, melakukan kerja yang hasilnya untuk dana korban, atau kerja sosial dengan mempertimbangkan contoh sebagai berikut:

1. Korban dan masyarakat setempat tidak dipersiapkan untuk setuju pada keadaan yang tidak adil terhadap pelaku. Mediasi antara korban dan pelaku tidak dapat dipaksakan sehingga seorang hakim hendaknya memutuskan untuk melaksanakan restorative justice.


(44)

2. Pelaku bisamenolak untuk menerimatindakan restorative justice yang rasional, karena korban dan masyarakat tidak dapat memaksakan hal itu. Pilihan hanya untuk hakim untuk menjatuhkan sanksi. Namun sanksi yang dijatuhkan juga dapat berupa restorative justice.

3. Ada beberapa pelanggaran yang sunggguh-sungguh serius sehingga berdampak pada masyarakat lokal. Suatu intervensi publik memaksa atau sanksi oleh peradilan pidana mungkin lebih tepat sebagai rasa kekhawatiran korban dan masyarakat, sehingga aspek

restorative justicetetap ada walaupun prosesnya dijalankan lembaga peradilan pidana. Isi dari sanksi yang diputuskan harus diutamakan untuk kebaikan dan penyembuhan semuanya, kalau perlu mungkin pelaku dapat ditahan, namun harus diberi kesempatan restorative justice. Mengapa kita tidak menyebut hasil dari restorative justicesebagai suatu hukuman? Hal itu karena tidak ada tujuan atau maksud untuk membuat pelaku memperoleh penderitaan. Kepentingan restorative justicedan beban hanyalah sisi akibat lain dari tindakan restorative justice. Ketidakenakan pada pelaku mungkin dan kadang merupakan konsekuensi dari kewajiban restorative justice, tapi tidak bermaksud mengakibatkan supaya menderita/luka.

Restorative justicetidak melihal apa yang menjadi perasaan pelaku, sepanjang haknya sebagai warga negara dihormati dan sebuah kontribusi yang wajar dibuat untuk menyembuhkan kerugian, penderitaan, kegelisahan masyarakat yang diakibatkan kejadian itu.

Restorative justicetidak hanya ditujukan pada pelaku saja sebagai pokok utarna prosesnya, sebaliknya untuk merehabilitasi keadilan dan hukum.Restorative justicedapat dijalankan walau pelakunya tidak diketahui atau tidak ditangkap.Saat kerugian diketahui kemudian ada korban dan faktor-laktor pendukung restorative justicedipenuhi seperti masyarakat mau mendukung supaya ada kompensasi dan perbaikan.jika nantinya pelaku tertangkap maka


(45)

pelaku diwajibkan menjalani proses penyembuhan. Pelaku bukan sebuah objek dari restorative justice, melainkan bagian dari pelaksanaan konsep restorative justice.

Di Indonesia pengembangan konsep restorative justicemerupakan sesuatu yang baru, yang mana kota Bandung menjadi salah satu tempat pejaksanaan pilot project Unicef terutang pengembangan konsep restorative justicepada tahun 2003.21

Restorative justicemerupakan upaya untuk mendukung dan melaksanakan ketentuan yang diatur dalam Pasal 16 ayat 3 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu bahwa "penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir”.

Tindak pidana, khususnya tindak pidana yang dilakukan oleh anak, dilihat sebagai suatu pelanggaran terhadap manusia dan hubungan antara manusia, yang menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam mencari solusi perbaikan, rekonsiliasi dan menen-teramkan hati.

22

21

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT Refika Aditama,Bandung, 2009 22

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pengadilan negeri ibaratnya adalah muara, yang menerima dan mengadili perkara-perkara yang dilimpahkan dari kejaksaan negeri. Dari daftar perkara pidana anak pada Kepaniteraan Pidana Pengadilan Negeri Bandung selama 1 tahun terakhir (Januari 2004-Mei 2005) tercatat sebanyak 70 ftujuh puluh) perkara anak, yang usianya berkisar antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun yang pada saat perkara dilimpahkan hampir semua terdakwa berada dalam tahanan.

Sejalan dengan tujuan restorative justice, Pengadilan Negeri Bandung telah membuat ruang sidang dan ruang tunggu khusus anak dan memisahkan terdakwa anak yang ditahan dan terdakwa dewasa sejak saat yang bersangkutan tiba dari rutan.


(46)

Sistem peradilan anak sendiri sebenarnya sudah baik, namun buruknya sebuah sistem tetaplah kembali pada kemauan dan kemampuan para pelaksanaanya untuk mengutamakan kepentingan dan perlindungan serta memberikan yang terbaik kepada anak yang berhadapan dengan hukum dengan prinsip the best interest of the children.

Kasus yang dapat diselesaikan dengan restorative justiceadalah kasus yang telah masuk dalam sistem peradilan pidana atau kasus yang belum masuk dalam sistem peradilan pidana (belum bersentuhan dengan sistem peradilan pidana).

Metode penyelesaian yang dilakukan dalam restorative justicedi Bandung adalah sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah yang telah melembaga dalam masyarakat, dapat mengakomodasi keterlibatan masyarakat atau pihak ketiga lainnya dalam proses penyelesaian (bukan lanya korban dan pelaku) dan tujuan yang hendak dicapai melalui proses musyawarah adalah untuk memulihkan segala kerugian dan “luka” yang lelah diakibatkan oleh perisliwa kenakalan anak tersebut.

B. Pelaksanaan Restorative Justice di Indonesia

Penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan restoratif belum memiliki justifikasi perundang-undangan yang jelas.Namun, Kendala tersebut dalam kenyataannya telah diupayakan untuk diterobos oleh para penegak hukum dilapangan.Polisi melalui diskresi yang dimilikinya, Jaksa melalui opportunitas-nya serta hakim melalui kebebasannya. Beberapa gambaran dari temuan dilapangan misalnya:23

a) Tim peneliti Balitbang HAM Departemen Hukum dan HAM RI pada tahun 2006

menemukan bahwa dalam kebanyakan kasus kekerasan dalam rumah tangga justru polisi bertindak sebagai mediator. Hal ini disebabkan suami atau istri korban justru memohon

23

Eva Achjani Zulfa, Restorative justice Di Indonesia (Peluang dan Tantangan Penerapannya) ditelusuri melalu


(47)

kepada penyidik agar perkaranya tidak dilanjutkan ke proses selanjutnya karena ingin mempertahankan rumah tangganya.

b) Penyelesaian perkara kejahatan yang terkait dengan harta kekayaan. Bagi korban yang

terpenting adalah pengembalian barang atau pembayaran kerugian yang timbul pada mereka, bukan pada masalah pemidanaannya.

c) Pada tanggal 19 Maret 2007, terjadi kecelakaan lalu lintas di daerah Jakarta Pusat oleh

seorang sopir angkutan umum yang menewaskan 2 (dua) orang korban. Seminggu kemudian perkara ini diselesaikan dengan cara damai di mana pelaku menyantuni keluarga korban dengan sejumlah uang sebagai modal dagang bagi istri korban. Alasan polisi melakukan ini semata-mata melihat bahwa tindak pidana ini merupakan kelalaian yang ancaman pidananya di bawah 5 (lima) tahun dan kondisi ekonomi baik pelaku maupun korban yang tidak menguntungkan.

Meskipun dalam hal ini penulis dapat menyatakan bahwa praktek-praktek tersebut merupakan bagian dari nilai-nilai yang terkandung dalam keadilan restoratif, namun hal tersebut diatas adalah kenyataan yang perlu dicarikan mekanime hukum sebagai landasannya.

Restorative justice telah menjadi suatu kebutuhan daam masyarakat. Hal ini erat kaitannya dengan prinsip dan tujuan pemidanaan dari peradilan adat yang menjadi akar dari adanya penerapan keadilan restoratif yang berbeda dengan sistem formal yang ada sehingga dampak dari putusan yang dihasilkan pun akan sangat berbeda (dalam hal ini penulis tidak melihat apakah dampak yang dimaksud merupakan dampak positif ataupun negatif). Meskipun dalam beberapa hal, keberadaan keadilan restoratif ini dalam masyarakat masih tetap menjadi


(48)

pilihan karena tujuan akhir yang tidak dapat diperoleh bila suatu perkara diselesaikan melalui sistem peradilan pidana, seperti :

a) Memberikan suatu keuntungan yang langsung dirasakan baik korban, pelaku maupun

masyarakat umum. Bentuk-bentuk gantirugi yang nyata dalam bentuk pengembalian barang yang dicuri, perbaikan kendaraan hingga pemberian uang duka dalam hal korban meninggal dunia, menjadi realita.

b) Mekanisme penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan restorative justice memberikan

peran masyarakat yang lebih luas. Dalam mekanisme penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan restorative justice, maka posisi masyarakat bukan hanya sebagai peserta laku atau peserta korban saja.Masyarakat dapat diberikan peran yang lebih luas untuk menjadi pemantau atas pelaksanaan suatu hasil kesepakatan sebagai bagian dari penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan ini.

c) Proses penanganan perkara dengan pendekatan restoratif justice dapat dilakukan secara cepat

dan tepat. Karena tidak melalui prosedur birokrasi yang berbelit-belit maka proses penyelesaian perkara pidana terutama yang diselesaikan diluar lembaga pengadilan baik didalam sistem peradilan pidana maupun penyelesaian oleh masyarakat sendiri atau bahkan oleh lembaga adat dapat dilakukan dengan singkat.

Suatu model penyederhanaan sistem penyelesaian suatu perkara pidana tertentu.Dalam Hukum acara pidana di Indonesia memang dikenal beberapa model mekanisme penyelesaian perkara pidana melalui peradilan biasa atau peradilan singkat.Namun terlihat bahwa mekanisme itu belum menjawab kebutuhan masyarakat sebagaimana dalam paparan diatas. Berangkat dari evaluasi atas penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan prinsip yang ada dalam keadilan restoratif sebagai ukuran dalam menilai kasus-kasus tersebut, sedikit banyak nilai-nilai utama


(49)

yang menjadi pilar dalam penyelesaian perkara pidana telah diterapkan meskipun dengan sejumlah kelemahan yang timbul atas pemahaman suatu pendekatan keadilan restoratif yang belum menyeluruh seperti pelibatan pelaku dan korban, asas praduga tak bersalah, persamaan dalam pencapaian proses penyelesaian dan upaya pencapaian penyelesaian yang mengacu kepada tujuan dari restorative justice yaitu mengacu kepada kebutuhan pelaku, korban dan masyarakat dalam memperbaiki relasi sosial antara mereka. Hal ini menandakan bahwa bila di Indonesia pendekatan ini akan dipakai sebagai bagian dari mekanisme penyelesaian perkara pidana, maka sistem peradilan pidana yang ada harus disesuaikan hingga bisa menjangkau dan mewadahi mekanisme penyelesaan perkara pidana melalui pendekatan ini.

Model keadilan restoratif harus dilaksanakan mulai dari kepolisian, saat pertama kali perkara dalam proses penyidikan. Di kejaksaan dan pengadilan pun demikian harus dilaksanakan.Peradilan jaman sekarang tidak membuktikan bahwa seseorang menjadi jera dan menyelesaikan masalah.Secara konseptual, keadilan restoratif ini adalah keadilan yang bisa melihat keadilan secara menyeluruh.Keadilan secara menyeluruh ini juga mencakup kemungkinan perbaikan yang dilakukan oleh pihak terhukum kepada korban.Dengan adanya kesempatan itu, konsep keadilan lebih bisa diterima semua pihak.Tidak seperti sekarang, di mana seseorang bisa saja melakukan balas dendam pada terhukum setelah korban keluar dari penjara, atau si korban merasa trauma berlebihan karena tindak pidana yang terjadi. Wajah lain dari hukum dan proses hukum yang formal adalah terdapatnya fakta bahwa keadilan formal di Indonesia, ternyata mahal, berkepanjangan, melelahkan, tidak menyelesaikan masalah, dan yang lebih parah lagi penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Inilah yang mengakibatkan mulai berpalingnya banyak pihak guna mencari alternatif penyelesaian atas masalahnya.


(50)

Sasaran akhir konsep keadilan restoratif ini mengharapkan berkurangnya jumlah tahanan di dalam penjara, menghapuskan stigma/cap dan mengembalikan pelaku kejahatan menjadi manusia normal, pelaku kejahatan dapat menyadari kesalahannya, sehingga tidak mengulangi perbuatannya serta mengurangi beban kerja polisi, jaksa, rutan, pengadilan, dan lapas, menghemat keuangan negara tidak menimbulkan rasa dendam karena pelaku telah dimaafkan oleh korban, korban cepat mendapatkan ganti kerugian, memberdayakan masyarakat dalam mengatasi kejahatan, dan pengintegrasian kembali pelaku kejahatan dalam masyarakat

C. Tindak Pidana yang Diselesaikan Melalui Proses Restorative Justice

Penegakan hukum merupakan aktualisasi dari aturan hukum yang masih berada dalam tahap cita-cita, dan diwujudkan secara nyata dalam kehidupan masyarakat sesuai dengan cita-cita atau tujuan hukum itu sendiri.Tujuan hukum pada hakikatnya adalah untuk menyatakan sesuatu aturan untuk menjamin kepastian hukum.

Elemen dasar dari penegakan hukum pidana seharusnya merupakan proses penemuan fakta, yang tidak memihak (impartial) dan penuh dengan resolusi atau pemecahan masalah yang harus dilakukan secara adil (fair) dan patut (equitable). Apapun teori kejadian yang dipakai, definisi


(51)

keadilan harus mencakup kejujuran (fairness), tidak memihak (impartiality), serta pemberian sanksi dan hadiah yang patut (appropriate reward and punishment).

Muladi, menyatakan bahwa penegakan hukum pidana selalu bersentuhan dengan moral dan etika. Hal ini didasarkan atas empat alas an, yaitu :

1. Sistem peradilan pidana secara khas melibatkan penggunaan paksaan, atau kekerasan (coercieon), dengan kemungkinan terjadinya kesempatan untuk menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power)

2. Hampir semua professional dalam penegakan hukum pidana merupakan pegawai emerintah (public servant) yang memiliki kewajiban khusus terhadap publik yang dilayani

3. Bagi setiap orang, etika dapat digunakan sebagai alat guna membantu memecahkan dilemma etis yang dihadapi seseorang di dalam kehidupan profesionalnya (enlightened moral judgment).

4. Dalam kehidupan profesi sering dikatakan bahwa a set of ethical requirements are as part of its meaning.

Penegakan hukum terhadap aturan-aturan hukum tidak terbatas pada tindakan dengan menghukum dan memasukkan ke dalam penjara sebanyak-banyaknya.Namun yang lebih subtansial adalah sebagaimana upaya penegak hukum dapat menimbing warga masyarakat agar tidak melakukan perbuatan melanggar hukum. Secara umum dalam konsep restorative justicetidak membatasi dan menempatkan tindakan pidana apa saja yang dapat diselesaikan. Setiap tindak pidana dapat diselesaikan dengan penyelesaian di luar peradilan formal melalui proess restorative justice, hanya saja peaksanaan proses tersebut harus sesuai dengan prinsip utama restorative justice.


(1)

Bahwa dalam penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan keadilan restoratif diharapkan semua pihak dalam posisi yang sama dan sederajat. Dimana keputusan diambil secara bersama antara para pihak yang terlibat (pelaku, korban, dan masyarakat). b) Honouring legally scesific upper limits on saction

Ketika seseorang menerima penggunaan keadilan restoratif, maka harus pula disadari untuk menerima keputusan yang dihasilkan. Seorang pelaku pidanatidak diposisikan untuk menerima pembalasan, akan tetapi baginya dibangun rasa penyesalan, dan menyadari kesalahan yang dibuatnya sebagai bagian dari tujuan bersama.

c) Respecful listening

Tujuan dari pendekatan restoratif membutuhkan rasa saling menghormati dan berempati antara pihak. Dalam pendekatan ini yang dibutuhkan bukan hanya, keberanian untuk mengemukakan pendapat dan keinginan, akan tetapi kemauan untuk mendengarkan keluhan dan keinginan dari pihak lain.

2. Nilai yang terkait untuk melupakan kejadian pada masa lalu

Melupakan kejadian masa lalu, namun bukan berarti membiarkan saja tanpa penyelesaian. Kemauan untuk melupakan kejadian masa lalu, bukan berarti alasan untuk menelantarkan dan mencegah proses penyelesaian yang sudah beriangsung. Diterimanya suatu kesepakatan mengandung arti suatu tugsa untuk membawa nilai baru dan paradigma masyarakat sekitarnya terhadap tindak pidana yang sudah terjadi.

3. Nilai yang terkandung dalam keadilan restoratif adalah mencegah ketidakadilan, maaf-memaafkan dan rasa berterimakasih.

Restorative justicetelah menjadi suatu kebutuhan daam masyarakat. Hal ini erat kaitannya dengan prinsip dan tujuan pemidanaan dari peradilan adat yang menjadi akar dari adanya


(2)

penerapan keadilan restoratif yang berbeda dengan sistem formal yang ada sehingga dampak dari putusan yang dihasilkan pun akan sangat berbeda/ (dalam hal ini penulis tidak melihat apakah dampak yang dimaksud merupakan dampak positif ataupun negatif). Meskipun dalam beberapa hal, keberadaan keadilan restoratif ini dalam masyarakat masih tetap menjadi pilihan karena tujuan akhir yang tidak dapat diperoleh bila suatu perkara diselesaikan melalui sistem peradilan pidana, seperti:

a. memberikan suatu keuntungan yang langsung dirasakan baik korban, pelaku maupun masyarakat umum. Bentuk-bentuk ganti rugi yang nyata dalam benruk pengembalian barang yang dicuri, perbaikan kendaraan hingga pemberian uang duka dalam hal korban meninggal dunia, menjadi realita.

b. Mekanisme penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan restorative justicememberikan peran masyarakat yang lebih luas. Dalam mekanisme penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan restorative justice, maka posisi masyarakat bukan hanya sebagai peserta laku atau peserta korban saja. Masyarakat dapat diberikan peran yang lebih luas untuk menjadi pemantau atas pelaksanaan suatu hasil kesepakatan sebagai bagian dari penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan ini.

c. Proses penanganan perkara dengan pendekatan restoratif justice dapat dilakukan secara cepat dan tepat. Karena tidak melalui prosedur birokrasi yang berbelit-belit maka proses penyelesaian perkara pidana terutama yang diselesaikan diluar lembaga pengadilan baik didalam sistem peradilan pidana maupun penyelesaian oleh masyarakat sendiri atau bahkan oleh lembaga adat dapat dilakukan dengan singkat.


(3)

Secara konseptual, keadilan restoratif ini adalah keadilan yang bisa melihat keadilan secara menyeluruh.Keadilan secara menyeluruh ini juga mencakup kemungkinan perbaikan yang dilakukan oleh pihak terhukum.kepada korban. Dengan adanya kesempatan itu, konsep keadilan lebih bisa diterima semua pihak.Tidak seperti sekarang, di mana seseorang bisa saja melakukan balas dendam pada terhukum setelah korban keluar dari penjara, atau si korban merasa trauma berlebihan karena tindak pidana yang terjadi. Wajah lain dari hukum dan proses hukum yang formal adalah terdapatnya fakta bahwa keadilan formal di Indonesia ternyata mahal, berkepanjangan, melelahkan, tidak menyelesaikan masalah, dan yang lebih parah lagi penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.

Konsep restorative justiceini diharapkan dapat menjadi solusi alterantif bagi kebijakan politik hukum legislasi untuk menyelesaikan masalah dalam hukum pidana.Karena, kebijakan legislasi yang pada prinsipnya merupakan kebijakan menentukan arah dan penguatan politik hukum nasional. Dengan demikian, kebijakan legislasi tersebut harus mencerminkan nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Dengan diterapkan restorative justicedengan beberapa landasarn berfikir sebagaimana disebutkan di atas maka sistem peradilan pidana dan pemidanaan diharapkan memberikan arah yang tepat dalam rangka memberikan keadilan bagi masyarakat dengan tujuan terciptanya kesejahteraan masyarakat.

B. Saran

Adapun saran yang dapat penulis berikan sehubungan dengan penulisan skripsi ini, yaitu: 1. Penulis menyarankan agar kiranya pemerintah dan aparat penegak hukum yang


(4)

akibat dari kelalaian / kealpaan dalam berlalu lintas melalui berbagai penyuluhan-penyuluhan.

2. Diharapkan kepada petugas lembaga pemasyarakatan untuk terus meningkatkan pembinaan kepada para narapidana (warga binaan), agar mereka dapat memiliki kesiapan, mental, pengetahuan dan keterampilan khusus sebelum terjun kembali didalam kehidupan masyarakat, agar mereka dapat terhindar dari pengaruh perbuatan yang merupakan tindak pidana.

3. Diharapkan kepada para penegak hukum yang bersangkutan agar memberikan contoh yang baik dalam berlalu lintas di jalanan, seperti mengendara dengan aman, menggunakan seatbelt, atau helm kepada pengguna kendaraan bermotor roda dua.

4. Diharapkan kepada para penegak hukum yang bersangkutan agar bisa menerapkan system pemidanaan restorative justice kepada para pelaku tindak pidana tanpa melihat dari unsur-unsur tertentu saja.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU

Abintoro, Prakoso, 2013, Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak, Yogyakarta, Laksbang Grafika

C.S.T. Kansil dan Christine S.T Kansil, 1994.Disiplin Berlalu Lintas di Jalan Raya.Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

E. Utrecht, 1986. Hukum Pidana I. Surabaya: Pustaka Tinta Mas.

E.Y. Kanter, 1982. Asas-asas Hukum Pidana Pidana dan Penerapannya. Jakarta: Penerbit Alumni.

Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung, Refika Aditama.

_________2010.Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana. Medan, USU Press

_________2011.Hukum Penitensier Indonesia.Bandung: Penerbit Rafika Aditama Moelijatno, 1993.Asas-asas Hukum Pidana.Jakarta: Rineka Cipta

Lamintang, 1997.Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti.

Leden Marpaung, 2005. Asas Teori Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika. Roeslan, Saleh, 1981. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana,

Jakarta, PT. Aksara Baru.

Siswanto, Sunarso, 2012. Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika.

Soerjono, Soekanto, 1990, Polisidan Lalu Lintas,Bandung, Mandar Maju.

Sudarto,1990, Hukum Pidana I, Semarang, Yayasan Sudarto Fakultas Hukum UNDIP. Syarifin Pipin, 2000.Hukum Pidana Indonesia.Bandung: CV. Pustaka Setia

B. PERUNDANG-UNDANGAN


(6)

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAPidana) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang No.14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.44 Tahun 1993 Tentang Peraturan Kendaraan dan Pengemudi

C. INTERNET