Latar Belakang Masalah Implementasi Konsep Good Governance Dalam Proses Penyusunan Kebijakan Daerah Karo Periode 2009-2014 Di DPRD Karo

1 BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Pasca reformasi 1998, Indonesia sering disebut-sebut masih berada dalam masa transisi demokrasi. Sebuah masa perubahan dari rezim otoritarian menuju sebuah rezim baru yang mungkin berujung pada konsolidasi atau pembentukan demokrasi atau malah rezim orotitarian baru yang lebih kejam dari sebelumnya. Dalam konteks Indonesia, untuk mewujudkan demokrasi dalam masa yang sering disebut sebagai masa transisi ini, pendapat yang berkembang luas kemudian adalah berkutat pada bagaimana membentuk tipe-tipe pemerintahan yang tepat untuk “mengakhiri masa transisi” tersebut. Salah satu bentuk perubahan pola pemerintahan adalah dimunculkannya desentralisasi untuk mendorong otonomi daerah. Desentralisasi muncul dari kritik mengenai pola pemerintahan yang cenderung terpusat dan mengabaikan daerah. Pemekaran daerah adalah suatu proses membagi satu daerah administratif daerah otonom yang sudah ada menjadi dua atau lebih daerah otonom baru berdasarkan UU RI nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hasil amandemen UU RI nomor 22 tahun 1999. Landasan pelaksanaannya didasarkan pada PP nomor 129 tahun 2000. Sejak era reformasi, kegiatan pembangunan di Indonesia menerapkan model desentralisasi melalui kebijakan otonomi daerah. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan 2 kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranan, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah, termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Seiring dengan prinsip itu, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Kenyataannya, kontribusi desentralisasi dalam mensejahterakan masyarakat tidak kunjung terlaksana. Permasalahan demi permasalahan muncul seiring dengan merebaknya semangat, euphoria, suka cita pemerintah 3 kabupatenkota menikmati setiap sisi potensial kekayaan alamnya tanpa berpikir bahwa sumber daya alam akan habis suatu waktu, memperluas kewenangannya walaupun untuk itu harus bersinggungan dengan kewenangan tetangganya. Permasalahan tersebut tidaklah belum pelik bila kita telisik lebih jauh, bahwa titik permasalahan paling krusial adalah desentralisasi belum dapat menjamin kesejahteraan rakyat di daerah. Memang penitikberatan desentralisasi pada kabupatenkota masih belum menggembirakan. Banyak sekali persoalan yang harus dibenahi bersama-sama antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupatenkota sendiri. Desentralisasi agaknya masih mengecewakan, karena tidak serta merta membuahkan demokratisasi, good governance, dan penguatan masyarakat sipil di tingkat daerah. Jika mendengar istilah good governance yang ada di benak kita hanyalah definisi penyelenggaraan pemerintahan yang baik, tapi penyelenggaraan seperti apa dan bagaimana hal tersebut dilakukan masih belum dapat dibayangkan. Secara umum, penyelenggaraan yang dimaksud terkait dengan isu transparansi, akuntabilitas publik dan sebagainya. Padahal untuk mewujudkan pemahaman good governance sebenarnya sangatlah pelik dan kompleks, tidak hanya sekedar memperjuangkan transparansi dan akuntabilitas pada level tertentu. Good governance lebih dari sekedar usaha untuk memperbaiki kepemerintahan semata, akan tetapi kenyataannya jauh lebih pelik dan kompleks. Permasalahan ini semakin rumit manakala tuntutan good governance mengharuskan perubahan berbagai aspek terkait dari semua sistem 4 penyelenggaraan pemerintahan yang sudah tertanam lama, terlebih-lebih jika dihadapkan pada sistem pemerintahan yang sudah sangat patologis. Perubahan yang diinginkan adalah meliputi aspek kinerja kepegawaian sampai dengan pertanggungjawaban penyelenggaraan pada level elit pemerintahan. 1 Dalam konteks good governance, pemerintah ditempatkan sebagai fasilitator atau katalisator, sementara tugas untuk memajukan pembangunan terletak pada semua komponen negara, meliputi dunia usaha dan masyarakat. Dengan begitu, kehadiran good governance ditandai oleh terbentuknya “kemitraan” antara pemerintah dengan masyarakat, organisasi politik, organisasi massa, LSM, dunia usaha serta individu secara luas guna terciptanya manajemen pembangunan yang bertanggungjawab. 2 Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan negara. Dalam rangka hal tersebut, diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas, dan nyata sehingga penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, bersih dan bertanggung jawab serta bebas KKN. Hal ini sangat tergantung dari adanya aparatur pemerintah dan anggota DPRD yang berkemampuan sepadan dengan wewenang dan tanggung jawabnya. Perlu diperhatikan pula adanya mekanisme untuk meregulasi akuntabilitas pada setiap instansi pemerintah dan memperkuat 1 Ambar Teguh Sulistiyani, Memahami Konsep Good Governance dalam Perspektif Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Gava Media, 2011, hlm. 22. 2 Ibid, hlm. 22. 5 peran dan kapasitas parlemen, serta tersedianya akses yang sama pada informasi bagi masyarakat luas. Pemerintah adalah institusi yang menyelenggarakan kewenangan politik, ekonomi dan adminitratif untuk mengatur urusan negara di setiap tingkatan. Pemerintahan merupakan mekanisme yang kompleks, yang melibatkan proses dan institusi sebagai wahana warga dan kelompok masyarakat mengartikulasikan kepentingan, menjalankan hak dan kewajiban, dan memediasi perbedaan- perbedaan. Dalam perspektif ini pemerintah mencakup seluruh metode membagikan kekuasaan dan mengatur sumber daya dan masalah publik. Pemerintah yang baik akan mengalokasikan sumber daya dan masalah publik secara efisien, memperbaiki kegagalan pasar market failure, menyusun peraturan yang efektif dan menyediakan kebutuhan publik yang tidak disuplai oleh pasar. 3 Penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu negara tidak hanya terdapat di pusat pemerintahan saja. Pemerintah pusat memberikan wewenangnya kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri, dan di Pemerintahan berkenaan dengan sistem, fungsi, cara, perbuatam, kegiatan, urusan, atau tindakan memerintah yang dilakukan atau diselenggarakan atau dilaksanakan oleh pemerintah. Eksekutif adalah cabang kekuasaan dalam negara yang melaksanakan kebijakan publik melalui peraturan perundang-undangan yang telah disiapkan oleh lembaga legislatif maupun atas inisiatif sendiri. 3 Dede Mariana Caroline Paskarina, Demokrasi dan Politik Desentralisasi, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008, hlm. 157. 6 Indonesia yang dimaksud dengan pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah, diperlukan perangkat- perangkat dan lembaga-lembaga untuk menyelenggarakan jalannya pemerintahan di daerah sehari-hari. Perangkat-perangkat dan lembaga-lembaga daerah biasanya merupakan refleks dari sistem yang ada di pemerintah pusat. Untuk memenuhi fungsi perwakilan dalam menjalankan kekuasaan legislatif daerah sebagaimana di pemerintah pusat di daerah dibentuk pula Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 4 Dalam fungsi membuat peraturan legislasi, DPRD diberi kewenangan untuk membuat peraturan daerah, dalam pelaksanaannya fungsi ini dapat digunakan melalui hak inisiatifhak prakarsa dan hak amandemenhak perubahan. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD berfungsi sepenuhnya sebagai badan legislatif daerah dan pemerintah daerah sebagai eksekutif di daerah. Sebagai badan legislatif, dia harus dapat menyerap aspirasi masyarakat untuk disalurkan kepada eksekutif untuk dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan. Pemerintah Daerah menjalankan fungsi pemerintahan dan DPRD selain melaksanakan fungsi legislasi, juga melaksanakan fungsi penganggaran, dan fungsi pengawasan control sebagai tindak lanjut dari penyaluran aspirasi masyarakat kepada eksekutif terhadap kebijakan yang telah ditetapkannya. 4 H.A. Kartiwa, Implementasi Peran dan Fungsi DPRD dalam Rangka Mewujudkan “Good Governance”, Jurnal, 2006, hlm. 5. 7 Dengan dijalankannya fungsi legislasi oleh DPRD, maka seharusnya kebijakan pemerintah di daerah lebih mencerminkan kehendak masyarakat di daerahnya. DPRD dan Pemerintah Daerah memiliki tanggung jawab yang sama dalam mewujudkan pemerintah daerah yang efisien, efektif, transparan, dan akuntabilitas dalam memberikan pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan daerahnya. Dilihat dari proses, legislasi membutuhkan partisipasi masyarakat yang kuat, dilihat dari substansi, legislasi harus mencerminkan kepentingan publik dan strategis bagi percepatan pembangunan daerah. Dilihat dari sisi yuridis, legislasi harus merupakan perangkat hukum yang mampu membangun kepastian hukum. Setiap dimensi tersebut terajut sebagai simpul-simpul yang mempengaruhi kadar demokratisasi proses legislasi di daerah. Perumusan kebijakan daerah perlu perhatian dan melibatkan masyarakat agar nantinya semua kepentingan dan masalah yang dihadapi masyarakat dapat terakomodasi. Selanjutnya aspirasi itu dibahas menjadi salah satu formulasi kebijakan daerah. Formulasi sebagai tahap awal penyusunan peraturan untuk selanjutnya dibahas kembali untuk dijadikan sebagai kebijakan, kemudian melakukan uji publik sebelum disahkan menjadi kebijakan. Terkait peran DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan harus dilakukan secara bertanggung jawab. Artinya penyelenggara pemerintahan dituntut melaksanakan tugas dan kewajiban secara profesional. Dalam menjalankan tugasnya penyelenggara pemerintahan harus sadar untuk tidak hanya berorientasi pada hasil tetapi juga pada kebenaran dan kewajaran dalam proses pencapaiannya. 8 Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bertanggung jawab dan transparan akan menumbuhkan rasa percaya masyarakat pada pemerintah daerah. Dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik di suatu daerah, DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan dituntut harus mengelola sumber daya seefektif dan seefisien mungkin. Efektif berarti setiap upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah harus tepat sasaran dan sesuai dengan tujuan. Efisien artinya pemerintah daerah harus bersikap rasional dengan mempertimbangkan dari setiap sumber daya yang dipakai. Dengan praktek yang baik dari konsep efektif dan efisien tersebut, pemerintah daerah dapat berharap banyak akan sebuah tata kepemerintahan yang baik good governance di daerahnya. DPRD sebagai lembaga legislatif yang kedudukannya sebagai wakil rakyat tidak mungkin melepaskan dirinya dari kehidupan rakyat yang diwakilinya . Oleh karena itu secara material mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada rakyat atau publik yang diwakilinya. Namun kenyataannya banyak peraturan daerah yang dikeluarkan pemerintah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat di lapangan, hal ini disebabkan kurangnya responsibilitas dan observasi yang dilakukan anggota dewan ke lapangan sebelum merumuskan suatu kebijakan daerah tersebut. Satu hal yang lebih parah lagi ialah di dalam kalangan masyarakat terdapat semacam anggapan bahwa DPRD bekerja tidak begitu efektif. Hal itu ditandai dengan kurangnya kontak masyarakat dengan DPRD. Sikap skeptis masyarakat terhadap DPRD dan terhadap anggota DPRD semakin nyata lagi, lewat kesan pemberitaan, bahwa dalam sidang-sidang DPRD banyak kursi-kursi anggota 9 dewan yang kosong, juga anggota DPRD yang sering asal berkomentar, ada anggota dewan yang tidak tahu apa tugas dan fungsinya, bahkan ada yang tidak tahu dengan pasti peraturan perundang-undangan mana yang mengatur hal-hal tertentu sehubungan dengan suatu rancangan peraturan daerah. Ada pula anggota dewan yang sejak dilantik hingga akhir masa baktinya tidak pernah bicara di DPRD, atau bahkan selama masa bakti lima tahun hanya datang beberapa kali saja Sehubungan dengan penjelasan tersebut diharapkan dengan menerapkan konsep good governance ini sosok ideal DPRD yang bermoral, aspiratif dengan kepentingan rakyat, dan selalu memperjuangkan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Oleh sebab itu penelitian ini ingin mengetahui sejauh mana konsep good governance telah diimplementasikan dalam proses perumusan kebijakan daerah di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD Karo periode 2009-2014.

2. Perumusan Masalah