Efek Probiotik pada Profil Imunohistokimia Antioksidan Superoxide Dismutase (SOD) di Ginjal Tikus yang Dipapar Enteropathogenic E. coli (EPEC)

(1)

TIKUS YANG DIPAPAR

ENTEROPATHOGENIC E. coli

(EPEC)

KRISTINA DWI WULANDARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

KRISTINA DWI WULANDARI. The Effect of Probiotic on the Immunohistochemical Profile of Antioxidant Superoxide Dismutase (SOD) in the Kidney of Enteropathogenic E. coli (EPEC) Treated Rats. Under direction of TUTIK WRESDIYATI.

The study was conducted to evaluate the effect of probiotic Lactobacillus fermentum and Lactobacillus plantarum on the immunohistochemical profile of antioxidant copper,zinc-superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) in the kidney of

Enteropathogenic E. coli (EPEC) treated rats. A total of 90 male Sprague Dawley rats were used in this study. They were devided into 6 groups; (A) negative control group, (B) Lactobacillus plantarum treated group, (C) Lactobacillus fermentum treated group, (D) Lactobacillus plantarum and EPEC treated group, (E) Lactobacillus fermentum and EPEC treated group, and (F) EPEC treated (positive control) group. The content of antioxidant cooper,zinc superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) were analyzed immunohistochemically using monoclonal antibody of Cu,Zn-SOD. The result showed that Lactobacillus fermentum treatment for 1 to 3 weeks increased the content of Cu,Zn-SOD in rat kidney. Lactobacillus plantarum treatment for 3 weeks could not increased the content of Cu,Zn-SOD in rat kidney. In the EPEC treated rats, Lactobacillus fermentum gave better effect than Lactobacillus plantarum on the content of Cu,Zn-SOD in rat kidney.


(3)

KRISTINA DWI WULANDARI. Efek Probiotik pada Profil Imunohistokimia Antioksidan Superoxide Dismutase (SOD) di Ginjal Tikus yang Dipapar

Enteropathogenic E. coli (EPEC). Dibawah bimbingan TUTIK WRESDIYATI.

Saluran pencernaan merupakan organ tubuh yang memiliki permukaan yang sangat luas. Hal ini menjadikan saluran pencernaan mengalami lebih banyak kontak dengan lingkungan luar. Frekuensi kontak dengan lingkungan luar sering mengakibatkan saluran pencernaan rentan terhadap gangguan. Gangguan terhadap saluran pencernaan yang paling sering terjadi adalah diare. Enteropathogenic E. coli (EPEC) diidentifikasi sebagai bakteri yang paling sering menyebabkan diare pada anak. Perlekatan EPEC pada sel inang merangsang terjadinya proses inflamasi. Fagositosis merupakan komponen penting pada inflamasi. Proses fagositosis menyebabkan terbentuknya radikal bebas anion superoksida.

copper,zinc-superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) merupakan salah satu antioksidan endogen yang sangat berperan dalam mengkatalisasi radikal bebas anion superoksida menjadi hidrogen peroksida dan molekul oksigen.

Upaya yang dilakukan untuk mengurangi penyakit saluran pencernaan salah satunya dengan mengkonsumsi pangan fungsional. Pangan fungsional yang dapat menghambat bakteri patogen pada saluran pencernaan adalah probiotik golongan bakteri asam laktat (BAL). Penelitian mengenai potensi BAL dalam menjaga dan meningkatkan kesehatan saluran pencernaan telah banyak dilakukan. Namun demikian, belum dilakukan penelitian secara in vivo tentang pengaruh BAL terhadap kandungan Cu,Zn-SOD di organ tubuh khususnya ginjal.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh pemberian BAL yang memiliki potensi sebagai probiotik (Lactobacillus plantarum dan

Lactobacillus fermentum) terhadap profil imunohistokimia antioksidan Cu,Zn-SOD di jaringan ginjal pada tikus yang dipapar bakteri EPEC. Sebanyak 90 ekor tikus putih jantan galur Sprague Dawley telah digunakan dalam penelitian ini. Tikus dibagi menjadi 6 kelompok perlakuan: (A) kontrol negatif; (B) cekok L. plantarum; (B) cekok L. fermentum; (D) cekok L. plantarum dan EPEC; (E) cekok L. fermentum dan EPEC; (F) kontrol positif (cekok EPEC). Setiap kelompok perlakuan terdiri dari 5 ekor tikus. BAL dan EPEC diberikan secara oral menggunakan sonde. Semua kelompok tikus perlakuan diberi pakan ransum standar dan akuades ad libitum. L. plantarum dan L. fermentum diberikan sebanyak 108 cfu/ml pada hari ke-1 sampai hari ke-21, sedangkan dosis EPEC yang diberikan adalah 105 cfu/ml pada hari ke-8 sampai hari ke-14. Jaringan ginjal disampling di akhir perlakuan. Proses pengakhiran perlakuan (terminasi) dan sampling organ ginjal dilakukan tiga kali yaitu pada hari ke-8 (T1), hari ke-15 (T2), dan hari ke-22 (T3). Selanjutnya organ ginjal diproses dengan metode

embedding parafin. Potongan jaringan diwarnai dengan imunohistokimia terhadap antioksidan SOD. Pengamatan terhadap kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD dilakukan secara kualitatif, kuantitatif, dan dengan penghitungan persentase jumlah inti sel tubuli renalis yang memberikan reaksi positif dan negatif terhadap kandungan Cu,Zn-SOD.


(4)

selama tiga minggu tidak mampu meningkatkan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD di jaringan ginjal tikus. Pada tikus yang dipapar EPEC, pemberian probiotik

L. fermentum mempunyai efek yang lebih baik dari L. plantarum terhadap kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD di jaringan ginjal tikus.

Kata kunci: Probiotik, Imunohistokimia, Cu,Zn-SOD, Ginjal, EPEC


(5)

EFEK PROBIOTIK PADA PROFIL IMUNOHISTOKIMIA

ANTIOKSIDAN

SUPEROXIDE DISMUTASE

(SOD) DI GINJAL

TIKUS YANG DIPAPAR

ENTEROPATHOGENIC E. coli

(EPEC)

KRISTINA DWI WULANDARI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(6)

Superoxide Dismutase (SOD) di Ginjal Tikus yang Dipapar

Enteropathogenic E. coli (EPEC) Nama : Kristina Dwi Wulandari

NIM : B04070016

Disetujui Pembimbing

Prof. Drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D, PAVet NIP : 19640909 199002 2 001

Diketahui

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB

Dr. Nastiti Kusumorini NIP : 19621205 198703 2 001


(7)

Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini dengan baik. Penelitian yang berjudul Efek Probiotik pada Profil Imunohistokimia Antioksidan Superoxide Dismutase (SOD) di Ginjal Tikus yang Dipapar Enteropathogenic E. coli (EPEC) ini merupakan bagian dari proyek penelitian yang didanai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional RI melalui program Hibah Kompetensi Penelitian dengan nomor kontrak: 409/SP2H/DP2M/VI/2010, atas nama Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS.

Telah banyak pengalaman dan pembelajaran yang penulis peroleh selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D, PAVet selaku dosen pembimbing skripsi atas ilmu, waktu, arahan, kritik, dan saran yang mendukung terselesaikannya skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Tim Peneliti Hibah Kompetensi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi: Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS (dosen pengajar di Fakultas Teknologi Pertanian IPB), Prof. Drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D, PAVet (dosen pengajar di Fakultas Kedokteran Hewan IPB), dan Dr. Isma Isnafia Arief, S.Pt, M.Si (dosen pengajar di Fakultas Peternakan IPB) yang telah memberikan arahan dan ilmu selama pelaksaan penelitian.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Drh. Susi Soviana, M.Si selaku dosen pembimbing akademik atas waktu dan bimbingannya kepada penulis selama menempuh pendidikan di FKH IPB. Selanjutnya, penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Drh. Adi Winarno dan Drh. I Ketut Mudite Adnyane, M.Si atas ilmu dan saran yang telah diberikan untuk penyelesaian skripsi ini. Terimakasih kepada seluruh dosen FKH IPB yang telah memberikan ilmu dan nasehat kepada penulis selama berkuliah serta kepada staf Bagian Histologi Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi FKH IPB: Pak Maman dan Pak Iwan atas bantuannya selama penelitian.

Ungkapan rasa hormat dan terimakasih penulis sampaikan kepada orangtua tercinta, Bapak Soekrisno dan Ibu Kusmiati, kakak dan adik tersayang, Kristanti


(8)

yang diberikan tanpa henti kepada penulis.

Tak lupa ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada teman-teman sepenelitian: Fenny FU, Sri Rahmatul L, dan Yenni S atas kerjasama, dukungan, dan bantuan selama menjalankan penelitian dan penulisan skripsi ini. Terimakasih kepada keluarga besar GIANUZZI FKH 44, HIMPRO Ruminansia, A23 TPB IPB, HIMAREMA, OMDA Papua, dan teman-temanku: Eri S, Cefti L, Fuji M, Yunita A, Eka N, Kenyo P, Sandra H, Joko U, Nurhidayah, Sri Uthami, Syaprianti E, Banjar Arsi, Kak Sandra M, Agustin Iriani, Yayuk P, Awit Diah atas kebersamaan selama menempuh pendidikan di IPB serta segala doa dan dukungan selama penulisan skripsi ini.

Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan memberikan kontribusi nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, September 2011


(9)

Penulis bernama Kristina Dwi Wulandari dilahirkan pada tanggal 08 Februari 1990 di kota Biak dan merupakan putri kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Soekrisno dan Kusmiati. Penulis menempuh pendidikan di TK Angkasa Biak (1993-1995), pendidikan dasar di SD Inpres Angkasa Biak (1995-2001), pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 1 Biak (2001-2004), dan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Biak (2004-2007).

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur Ujian Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) dan masuk Fakultas Kedokteran Hewan. Selama menempuh pendidikan di IPB penulis aktif di Komunitas Seni Sunda GENTRA KAHEMAN IPB (2007-2008), PASKIBRA IPB (2007-2008), IMAKAHI (Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia) cabang FKH IPB sebagai anggota di bidang Kaderisasi (2008-2009), BEM Sinergis FKH IPB sebagai anggota di divisi enterpreneurship (2008-2009), VISI (Veterinary Integrity and Skill Improvement) IMAKAHI cabang FKH IPB sebagai

manager administrasi (2009-2010), HIMPRO RUMINANSIA FKH IPB sebagai kepala divisi di divisi Eksternal dan Pengabdian Masyarakat (2009-2010), dan Komunitas Seni STERIL FKH IPB sebagai anggota di divisi Seni Tradisional (2008-2010).

Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Histologi Veteriner I pada tahun ajaran 2009/2010, Histologi Veteriner II pada tahun ajaran 2009/2010, Anatomi Veteriner I pada tahun ajaran 2009/2010, Anatomi Topografi pada tahun ajaran 2010/2011, serta Ilmu dan Teknologi Reproduksi pada tahun ajaran 2010/2011. Penulis juga pernah mengikuti Pelatihan Penerapan Sistem HACCP pada Unit Usaha Pangan Asal Hewan pada tahun 2011. Penulis memperoleh beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) pada semester 6 sampai dengan semester 8. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian

yang berjudul “Efek Probiotik pada Profil Imunohistokimia Antioksidan

Superoxide Dismutase (SOD) di Ginjal Tikus yang Dipapar Enteropathogenic E. coli (EPEC)” dibawah bimbingan Prof. Drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D, PAVet.


(10)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Efek Probiotik pada Profil Imunohistokimia Antioksidan Superoxide Dismutase (SOD) di Ginjal Tikus yang Dipapar Enteropathogenic E. coli (EPEC) adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan di dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2011

Kristina Dwi Wulandari


(11)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(12)

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN... ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Hewan Percobaan ... 4

2.2 Organ Ginjal ... 6

2.3 Bakteri Asam Laktat sebagai Probiotik ... 8

2.4 Escherichia coli sebagai Bakteri Enteropatogenik (EPEC) ... 10

2.5 Radikal bebas ... 12

2.6 Antioksidan Cu,Zn-SOD ... 13

2.5 Imunohistokimia ... 15

2.6 Penelitian Pendahuluan ... 16

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 17

3.1 Waktu dan Tempat ... 17

3.2 Bahan dan Alat ... 17

3.3 Metode Penelitian ... 18

3.3.1 Persiapan Hewan Percobaan ... 20

3.3.2 Perlakuan terhadap Hewan Percobaan ... 21

3.3.3 Pemrosesan Jaringan ... 22

3.3.4 Pewarnaan ... 25

3.4 Parameter dan Analisis Data ... 25

3.4.1 Parameter ... 25

3.4.2 Analisis Data ... 26

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

4.1 Hasil Pengamatan secara Kualitatif Kandungan Antioksidan Cu,Zn-SOD di Jaringan Ginjal Tikus Percobaan ... 28

4.2 Hasil Pengamatan secara Kuantitatif Kandungan Antioksidan Cu,Zn-SOD di Jaringan Ginjal Tikus Percobaan ... 35


(13)

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 49

5.1 Simpulan ... 49

5.2 Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 50


(14)

Halaman

1 Komposisi Campuran Ransum Basal Tikus ... 20

2 Kelompok Tikus Perlakuan... 21

3 Distribusi dan Frekuensi Antioksidan Cu,Zn-SOD di Jaringan Ginjal Tikus ... 29 4 Rata-rata Jumlah Inti Sel Ginjal dengan Berbagai Tingkat Kandungan

Cu,Zn-SOD di Jaringan Ginjal Tikus pada Terminasi Hari ke-8, 15, dan 22 per Bidang Pandang dengan Perbesaran 20x ... 36


(15)

Halaman

1 Struktur Internal Ginjal ... 7

2 Mekanisme Perlekatan EPEC pada Sel Inang... 11

3 Prinsip Teknik Imunohistokimia dengan Metode Polimer Peroksidase ... 16

4 Diagram Alir Alur Penelitian yang akan dilakukan ... 19

5 Skema Terminasi pada Kelompok Tikus Perlakuan ... 22

6 Fotomikrograf Jaringan Ginjal Tikus dengan Pewarnaan Imunohistokimia terhadap Antioksidan Cu,Zn-SOD, pada Terminasi Hari ke-8. ... 32

7 Fotomikrograf Jaringan Ginjal Tikus dengan Pewarnaan Imunohistokimia terhadap Antioksidan Cu,Zn-SOD, pada Terminasi Hari ke-15 ... 33

8 Fotomikrograf Jaringan Ginjal Tikus dengan Pewarnaan Imunohistokimia terhadap Antioksidan Cu,Zn-SOD, pada Terminasi Hari ke-22 ... 34

9 Fotomikrograf Jaringan Ginjal Tikus dengan Inti Sel Tubuli Renalis yang Bereaksi Terhadap Berbagai Tingkat Kandungan Cu,Zn-SOD ... 35

10 Persentase Jumlah Inti Sel Tubuli Renalis yang Bereaksi Positif (+) dan Negatif (-) Terhadap Kandungan Antioksidan Cu,Zn-SOD ... 44


(16)

Halaman

1 Proses Persiapan Jaringan ... 55

2 Prosedur Pewarnaan Imunohistokimia terhadap Cu,Zn-SOD ... 56

3 Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dengan uji lanjutan Duncan untuk jumlah inti sel tubuli renalis pada terminasi hari ke-8 yang memberikan reaksi positif kuat (+++) terhadap kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD .... 57

4 Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dengan uji lanjutan Duncan untuk jumlah inti sel tubuli renalis pada terminasi hari ke-8 yang memberikan reaksi positif sedang/lemah (++/+) terhadap kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD... 59

5 Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dengan uji lanjutan Duncan untuk jumlah inti sel tubuli renalis pada terminasi hari ke-8 yang memberikan reaksi negatif (-) terhadap kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD ... 61

6 Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dengan uji lanjutan Duncan untuk jumlah inti sel tubuli renalis pada terminasi hari ke-15 yang memberikan reaksi positif kuat (+++) terhadap kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD .... 63

7 Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dengan uji lanjutan Duncan untuk jumlah inti sel tubuli renalis pada terminasi hari ke-15 yang memberikan reaksi positif sedang/lemah (++/+) terhadap kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD... 65

8 Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dengan uji lanjutan Duncan untuk jumlah inti sel tubuli renalis pada terminasi hari ke-15 yang memberikan reaksi negatif (-) terhadap kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD ... 67 9 Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dengan uji lanjutan Duncan untuk

jumlah inti sel tubuli renalis pada terminasi hari ke-22 yang memberikan reaksi positif kuat (+++) terhadap kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD .... 69

10 Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dengan uji lanjutan Duncan untuk jumlah inti sel tubuli renalis pada terminasi hari ke-22 yang memberikan reaksi positif sedang/lemah (++/+) terhadap kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD... 71

11 Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dengan uji lanjutan Duncan untuk jumlah inti sel tubuli renalis pada terminasi hari ke-22 yang memberikan reaksi negatif (-) terhadap kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD ... 73


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saluran pencernaan manusia bila dibentangkan dapat mencapai luas 200 m2 yang berguna untuk meningkatkan daya serap makanan. Permukaan yang sangat luas menjadikan saluran pencernaan mengalami lebih banyak kontak dengan lingkungan luar. Hal ini terjadi karena saluran pencernaan selalu terekspos makanan selama proses mencerna makanan (Tamime 2005). Frekuensi kontak dengan lingkungan luar yang sering mengakibatkan saluran pencernaan rentan terhadap gangguan. Gangguan terhadap saluran pencernaan (gastroenteridis) bervariasi dari yang ringan hingga yang berat serta dapat pula menyebabkan kematian. Salah satu contoh gangguan terhadap saluran pencernaan yang paling sering terjadi adalah diare. Diare merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak-anak di negara yang sedang berkembang dengan perkiraan 1.3 milyar kejadian dan 3.2 juta kematian setiap tahun pada anak-anak (Prasetyo & Fadlyana 2004).

Escherichia coli (E. coli) merupakan bakteri patogen yang paling banyak menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan berupa diare. Terdapat enam kategori E. coli penyebab diare, yaitu enteropathogenic E. coli (EPEC),

enterotoxigenicE. coli (ETEC), enteroinvasiveE. coli (EIEC), enterohemorrhagic E. coli (EHEC) atau shiga toxin-producing E. coli (STEC), enteroaggregative E. coli (EAEC), dan diffusely adherent E. coli (DAEC). Strain EPEC diidentifikasi sebagai bakteri yang paling sering menyebabkan diare pada anak (Araujo et al.

2007). Budiarti (1997) menyatakan bahwa enteropathogenic E. coli (EPEC) merupakan salah satu penyebab utama diare pada anak-anak di Indonesia dengan prevalensi mencapai 55% dari keseluruhan kejadian diare. EPEC melekat pada mukosa usus dengan cara khusus. Perlekatan pada sel inang menyebabkan terjadinya kerusakan mikrovilli, peningkatan permeabilitas paraseluler, dan merangsang proses inflamasi (Savkovic et al. 2005).

Inflamasi merupakan respon tubuh dalam mengerahkan elemen-elemen sistem imun untuk menghancurkan benda asing dan mikroorganisme yang masuk


(18)

tubuh serta membersihkan jaringan yang rusak. Fagositosis merupakan komponen penting pada inflamasi. Selama proses fagositosis, reseptor fagosit yang mengikat mikroba mengirimkan sinyal yang mengaktifkan beberapa enzim dalam fagolisosom. Enzim tersebut mengubah molekul oksigen menjadi radikal bebas anion superoksida dan hidrogen peroksidase (Baratawidjaja 2006).

Radikal bebas adalah molekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Radikal bebas mempunyai banyak bentuk seperti radikal hidroksil, peroksil, anion superoksida, dan lain-lain. Peningkatan radikal bebas yang berlebihan ini akan menimbulkan stres oksidatif. Stres oksidatif adalah suatu kondisi terjadinya ketidakseimbangan antara radikal bebas yang terdapat di dalam tubuh dimana keberadaan radikal-radikal bebas melampaui kapasitas antioksidan yang terdapat di dalam tubuh. Stres oksidatif yang berlangsung terlalu lama dapat menimbulkan kerusakan mulai dari tingkat molekul DNA, protein, lipid, sampai dengan kerusakan pada tingkat selular, jaringan, dan organ yang menyebabkan disfungsi, luka sel (cell injury), degenerasi, penurunan fungsi, dan akhirnya dapat memicu terjadinya penyakit degeneratif dan memperpendek umur biologis atau penuaan serta kematian sel (Halliwell & Gutteridge 1999).

Ginjal sebagai salah satu organ penting dan mempunyai fungsi vital sangat memungkinkan terkena dampak langsung stres oksidatif. Kondisi stres oksidatif dapat mempengaruhi proses-proses fisiologis maupun biokimia tubuh yang mengakibatkan gangguan metabolisme dan fungsi. Telah dilaporkan bahwa keadaan stres tersebut menimbulkan penurunan kandungan antioksidan

copper,zinc-superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) di ginjal tikus (Wresdiyati et al.

2002).

Upaya yang dilakukan untuk mengurangi penyakit saluran pencernaan salah satunya dengan mengkonsumsi pangan fungsional. Pangan fungsional yang dapat menghambat bakteri patogen pada saluran pencernaan adalah probiotik. FAO (2002) mendefinisikan probiotik sebagai mikroorganisme hidup yang apabila dikonsumsi dalam jumlah yang cukup dapat memberikan manfaat kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Probiotik yang umum dipakai pada pangan komersial adalah golongan bakteri asam laktat (BAL). Lactobacillus dan


(19)

Bifidobacterium merupakan BAL yang telah terbukti sebagai probiotik yang memiliki pengaruh paling baik bagi kesehatan khususnya gastrointestinal pada manusia. BAL ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri enteric pathogen

seperti E. coli dengan cara memproduksi substansi penghambat seperti asam organik, hidrogen peroksida, dan bakteriosin. Senyawa ini tidak hanya dapat menghambat pertumbuhan bakteri tetapi dapat mempengaruhi metabolisme bakteri atau produksi toksin (Rolfe 2000).

Penelitian mengenai potensi BAL dalam menjaga dan meningkatkan kesehatan saluran pencernaan telah banyak dilakukan. Namun demikian, belum dilakukan penelitian tentang pengaruh BAL terhadap kandungan Cu,Zn-SOD organ tubuh khususnya di ginjal. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengevalusi pengaruh BAL khususnya Lactobacillus plantarum dan

Lactobacillus fermentum terhadap kandungan antioksidan copper,zinc-superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) pada ginjal tikus percobaan secara imunohistokimia.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh pemberian bakteri asam laktat (BAL) yang memiliki potensi sebagai probiotik (Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus fermentum) terhadap profil imunohistokimia antioksidan copper,zinc-superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) di jaringan ginjal pada tikus yang dipapar bakteri enteropathogenic E.coli (EPEC).


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hewan Percobaan

Hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorik. Hewan percobaan banyak digunakan pada penelitian di bidang fisiologi, farmakologi, biokimia, patologi, komparatif zoologi, dan ekologi dalam arti luas. Di bidang kedokteran selain untuk keperluan penelitian, hewan percobaan juga sering digunakan untuk keperluan diagnostik (Malole & Pramono 1989). Menurut Wolfenshon dan Lloyd 2003, Hewan percobaan terdiri atas (1) hewan laboratorium berukuran kecil, seperti mencit, tikus, hamster, dan kelinci; (2) hewan domestik besar, seperti domba, babi, sapi, dan kuda; (3) karnivora, seperti anjing dan kucing; (4) primata, seperti Macaca; dan (5) hewan lainnya, seperti unggas, amphibi, dan hewan liar.

Pemilihan hewan percobaan untuk kepentingan diagnosis harus mempertimbangkan spesies dan kondisi fisiologisnya (Malole & Pramono 1989). Sebagai contoh, kelinci merupakan hewan percobaan yang paling cocok dan sering digunakan pada penelitian mengenai hiperkolesterolemia karena kelinci menyimpan lemak tubuh dalam jumlah yang besar. Berbeda dengan anjing, kucing, dan tikus yang resisten terhadap pakan yang mengandung kolesterol. Selain itu, primata merupakan hewan percobaan yang paling cocok untuk penelitian yang ada kaitannya dengan manusia. Hal ini dikarenakan primata memiliki kemiripan anatomis, fisiologis, dan patologis dengan manusia. Namun, banyak kendala yang ditemui dalam penggunaan primata sebagai hewan percobaan, seperti sulitnya pengadaan hewan, biaya yang tinggi, pemeliharaan yang relatif sulit, handling yang sulit, serta adanya bahaya penyakit menular (Sirois 2005).

Penggunaan hewan percobaan untuk pengujian secara in vivo biasanya menunjukkan hasil deviasi yang besar dibandingkan dengan percobaan in vitro


(21)

yang dipakai sebaiknya berasal dari spesies yang sama, umur dan jenis kelamin sama, serta dipelihara pada kondisi yang sama pula (Malole & Pramono 1989).

Hewan percobaan yang umum digunakan dalam penelitian ilmiah adalah tikus. Secara garis besar fungsi dan bentuk organ serta proses biokimia dan biofisik antara tikus dan manusia memiliki banyak kemiripan sehingga dapat diaplikasikan pada manusia (Hedrich 2006). Spesies tikus yang paling sering digunakan sebagai hewan model pada penelitian mengenai manusia maupun mamalia lain adalah tikus putih (Rattus norvegicus). Rattus norvegicus memiliki ciri-ciri rambut berwarna putih dan mata berwarna merah. Berat badan umum tikus jantan dewasa berkisar 267-500 g dan betina 225-325 g. Tikus disapih sampai umur 21 hari dan memasuki usia dewasa pada umur 40-60 hari (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Menurut Malole dan Pramono (1989), keunggulan tikus putih sebagai hewan percobaan karena siklus hidupnya yang relatif pendek dan dapat berkembangbiak dengan cepat. Hewan ini berukuran kecil sehingga pemeliharaannya relatif mudah serta relatif sehat sehingga cocok untuk berbagai penelitian.

Taksonomi tikus putih (Rattus norvegicus) menurut Hedrich (2006) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Subordo : Myomorpha Famili : Muroidae Subfamili : Murinae Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

Rattus norvegicus mempunyai 3 galur, yaitu Sprague Dawley, Wistar, dan

Long Evans. Galur Sprague Dawley memiliki tubuh yang ramping, kepala kecil, telinga tebal dan pendek dengan rambut halus, serta ukuran ekor lebih panjang daripada badannya. Galur Wistar memiliki kepala yang besar dan ekor yang


(22)

pendek. Galur Long Evans memiliki ukuran tubuh yang kecil serta bulu pada kepala dan bagian tubuh depan berwarna hitam (Malole & Pramono 1989). Pada penelitian ini, hewan percobaan yang digunakan adalah Rattus norvegicus galur

Sprague Dawley. Rattus norvegicus digunakan karena memiliki saluran pencernaan tipe monogastrik dengan pola makan omnivora sama seperti manusia (Malole & Pramono 1989). Selain itu, hewan ini tidak memiliki kantung empedu sehingga perlakuan dengan cekok tidak mengakibatkan muntah (Smith & Mangkoewidjojo 1988).

2.2 Organ Ginjal

Ginjal merupakan organ pada tubuh yang menjalankan banyak fungsi untuk homeostasis terutama sebagai organ ekskresi dan pengatur kesetimbangan cairan dan asam basa dalam tubuh. Ginjal memiliki variasi bentuk dan ukuran, terdapat sepasang, dan terletak di dalam rongga peritoneum secara retroperitoneal (Samuelson 2007). Ginjal diselubungi jaringan kapsul yang terbentuk dari serabut kolagen dan sedikit otot halus. Bagian medial ginjal merupakan daerah yang disebut hillus renalis, yaitu tempat masuknya pembuluh darah (arteri dan vena), pembuluh limfatik, saraf, dan keluarnya ureter. Sayatan longitudinal dari ginjal menunjukkan daerah parenkimatosa yang terbagi menjadi bagian luar dan bagian dalam. Bagian luar yang berwarna merah gelap yaitu korteks, sedangkan bagian dalam yang berwarna lebih terang yaitu medulla. Unit fungsional ginjal disebut nefron (Gambar 1). Nefron terdiri dari korpuskulus renalis/Malpighi (yaitu glomerulus dan kapsula Bowman), tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, tubulus kontortus distal yang bermuara pada tubulus pengumpul (Guyton & Hall 2006).

Ginjal mendapatkan suplai darah dari arteri renalis yang merupakan percabangan dari aorta abdominalis. Setelah memasuki ginjal melalui hillus renalis, arteri renalis akan bercabang menjadi arteri-arteri interlobaris yang akan mensuplai darah di antara piramida-piramida ginjal. Pada area pertemuan antara korteks dan medulla, arteri interlobaris membentuk arteri arkuata. Arteri arkuata selanjutnya bercabang menjadi arteri interlobularis. Arteri interlobularis kemudian membentuk arteriol aferen. Satu arteriol aferen membentuk sekitar 50 kapiler


(23)

yang membentuk glomerulus. Arteriol eferen meninggalkan setiap glomerulus dan membentuk jaring-jaring kapiler peritubular yang mengelilingi tubulus proksimal dan distal untuk memberi nutrisi pada tubulus tersebut dan mengalirkan zat-zat yang direabsorpsi. Selanjutnya, kapiler peritubular mengalir ke dalam vena korteks yang kemudian menyatu dan membentuk vena interlobularis. Vena arkuata menerima darah dari vena interlobularis dan bermuara ke dalam vena interlobaris yang bergabung untuk bermuara ke dalam vena renalis. Vena ini meninggalkan ginjal untuk bersatu dengan vena kava inferior (Sloane 2003).

Gambar 1 Struktur internal ginjal (Morales 2000).

Ginjal berfungsi mengatur volume dan komposisi cairan tubuh melalui proses penyeimbangan dan pengeliminasian. Ginjal mengeliminasi air, elektrolit, limbah metabolisme yang tidak berguna bagi tubuh seperti urea, asam urea, kreatinin, dan bahan-bahan lain yang berlebihan dalam tubuh (Samuelson 2007). Ginjal mengeliminasi air, elektrolit, limbah metabolisme, dan bahan-bahan berlebihan dalam tubuh melalui tiga proses utama, yaitu filtrasi glomerulus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus. Darah dari arteriol aferen disaring (difiltrasi) melalui kapiler-kapiler glomerulus ke dalam kapsula Bowman. Penyaringan darah difasilitasi oleh endotel glomerulus. Endotel ini berpori (berfenesta, bertingkap) dan sangat permeabel untuk semua substansi darah kecuali yang bermolekul besar seperti protein plasma dan sel darah merah sehingga cairan dan zat-zat hasil filtrasi (disebut filtrat glomerulus) pada dasarnya


(24)

bersifat bebas protein. Filtrat glomerulus yang dihasilkan dari proses filtrasi kemudian memasuki tubulus ginjal. Filtrat ini mengalir melalui bagian-bagian tubulus sebagai berikut tubulus proksimalis, ansa Henle, tubulus distalis, tubulus koligentes, dan akhirnya duktus koligentes sebelum diekskresikan sebagai urin. Di sepanjang jalan yang dilaluinya, sebelum menjadi urin, beberapa bahan-bahan yang masih berguna bagi tubuh direabsorpsi secara selektif di tubulus proksimalis (air, elektrolit, asam amino, gula, dan polipeptida) dan tubulus distalis (ion Na dan ion bikarbonat), kemudian dikembalikan ke dalam sirkulasi darah. Sedangkan ion K, H, dan amonium disekresikan di tubulus distalis (Guyton & Hall 2006).

Disamping menjaga keseimbangan cairan tubuh dan pembuangan limbah, ginjal mengatur tekanan darah dengan melepaskan hormon renin oleh sel-sel jukstaglomerular ke dalam sirkulasi darah (Samuelson 2007). Renin mengubah angiotensinogen protein plasma menjadi angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II oleh enzim yang terdapat di sel endotel paru. Angiotensin II adalah hormon aktif dan vasokontriktor kuat yang mula-mula berakibat konstriksi arterial sehingga meningkatkan tekanan darah sistemik. Selain itu, angiotensin II merangsang pembebasan hormon aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron terutama bekerja pada sel-sel tubuli kontortus distal ginjal untuk meningkatkan reasorpsi ion Na dan Cl dari filtrat glomerular. Karena air secara osmotis mengikuti NaCl, maka volume cairan pada sistem sirkulasi meningkat. Hal ini menaikkan tekanan darah sistemik dan meningkatkan kecepatan filtrasi glomerular di dalam ginjal (Eroschenko 2003).

2.3 Bakteri Asam Laktat sebagai Probiotik

Istilah probiotik pertama kali dikemukakan oleh Lilley dan Stiwel sebagai mikroorganisme hidup non-patogen yang mempunyai pengaruh menguntungkan terhadap kesehatan inangnya dan berpotensi dalam pencegahan serta pengobatan penyakit. Saat ini, FAO (2002) mendefinisikan probiotik sebagai mikroorganisme hidup yang apabila dikonsumsi dalam jumlah yang cukup dapat memberikan manfaat kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Manfaat kesehatan dari probiotik antara lain adalah (1) pengurangan dan pencegahan diare, (2) perbaikan keseimbangan mikroba usus oleh aktivitas antimikroba, (3) pengurangan gejala


(25)

intoleransi laktosa, (3) pencegahan alergi makanan, (4) penghambatan pertumbuhan bakteri yg menyebabkan pembusukan, (5) stimulasi dari sistem kekebalan tubuh, (6) pengurangan kasus konstipasi, dan (7) pengurangan gejala dermatitis atopik pada anak (McFarland 2000, Andersson et al. 2001, Salminen 2001).

Probiotik menghambat patogen yang berbeda melalui mekanisme yang berbeda. Beberapa mekanisme probiotik dalam meningkatkan kesehatan saluran pencernaan yaitu (1) stimulasi imunitas (kekebalan), (2) kompetisi untuk memperoleh nutrisi, (3) menghambat perlekatan bakteri pada permukaan epitel usus, dan (4) produksi substansi antimikroba (Rolfe 2000).

Probiotik yang umum dipakai pada pangan komersial adalah golongan bakteri asam laktat (BAL), namun sebenarnya mikroba probiotik dapat berupa bakteri Gram negatif, khamir, dan fungi (Rolfe 2000). BAL adalah bakteri gram positif yang bersifat mikroaerofilik, tidak berspora, dan mampu memfermentasikan karbohidrat menjadi asam laktat. Untuk dapat bersifat sebagai probiotik, BAL harus memenuhi beberapa syarat yaitu (1) tahan terhadap pH rendah asam lambung, (2) stabil terhadap garam empedu dan mampu bertahan hidup selama berada dalam usus kecil, (3) memproduksi senyawa antimikroba seperti asam laktat, hidrogen peroksidase, dan bakteriosin, (4) mampu menempel pada usus, membentuk koloni, memiliki aktivitas antagonis terhadap patogen, mampu mengatur sistem daya tahan tubuh, dan mempercepat penyembuhan infeksi, (5) tumbuh baik dan berkembang dalam saluran pencernaan, (6) dapat berkoagregasi (kemampuan untuk berinteraksi antar kultur untuk saling menempel) membentuk lingkungan mikroflora yang normal dan seimbang, serta (7) aman dikonsumsi manusia (Zubillaga et al. 2000, Yan & Polk 2010).

BAL diklasifikasikan menjadi 16 genera yaitu Aerogonococcus, Alloiococcus, Dolosigranulum, Globicatella, Carbobacterium, Enterococcus, Lactococcus, Lactobacillus, Lactosphera, Leuconostoc, Oenococcus, Pediococcus, Streptococcus, Tetragenococcus, Vogococcus, dan Wiessela (Farida 2006). BAL yang paling sering digunakan sebagai probiotik adalah genus

Lactobacillus, Bifidobacterium, dan Streptococcus. Lactobacillus dan


(26)

memiliki pengaruh paling baik bagi kesehatan khususnya gastrointestinal pada manusia. BAL ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri enteric pathogen

seperti Salmonella typhimurium, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Clostridium perfringens, dan Clostridium difficile. BAL menghambat pertumbuhan E. coli dengan cara memproduksi substansi penghambat seperti asam organik, hidrogen peroksida, dan bakteriosin. Senyawa ini tidak hanya dapat menghambat pertumbuhan bakteri tetapi dapat mempengaruhi metabolisme bakteri atau produksi toksin (Rolfe 2000).

2.4 Escherichia coli sebagai Bakteri Enteropatogenik (EPEC)

Bakteri enteropatogenik merupakan bakteri yang dapat menyebabkan terjadinya keracunan makanan yang disebabkan oleh masuknya mikroba patogen dari makanan ke dalam saluran pencernaan manusia (menyebabkan terjadinya infeksi). Setelah masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan, bakteri enteropatogenik ini akan tumbuh, berkembang biak, dan menimbulkan penyakit seperti diare. Salah satu enteropatogenik adalah Eschericia coli (E. coli).

E. coli merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk batang, tidak berspora, dan bersifat fakultatif anaerobik (David et al. 2008). Bakteri E. coli

umumnya menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan. Terdapat enam kategori E. coli penyebab diare, yaitu enteropathogenic E. coli (EPEC), enterotoxigenicE. coli (ETEC), enteroinvasiveE. coli (EIEC), enterohemorrhagic E. coli (EHEC) atau shiga toxin-producing E. coli (STEC), enteroaggregative E. coli (EAEC), dan diffusely adherent E. coli (DAEC). Strain EPEC didentifikasi sebagai bakteri yang paling sering menyebabkan diare pada anak (Araujo et al.

2007).

Tipe EPEC melekat pada mukosa usus dengan cara khusus. Pola

perlekatan ini terlihat pada mikroskop elektron, disebut perlekatan “merekat erat dan bertumpu” atau perlekatan “bentuk tumpuan” ( Attachment/Effacement “A/E” lesion). EPEC melekat dengan memproduksi bundle-forming pili/BFP dan mengaktifkan type III secretion systems/T3SS (Gambar 2). Bakteri ini memindahkan reseptor untuk perlekatannya disebut Tir (translicated intimin receptor) melalui T3SS ke dalam sitoplasma sel inang. Interaksi dari Tir


(27)

mendorong terjadinya perlekatan yang sangat erat antara bakteri dan sel inang. Setelah terfosforilasi oleh kinase sel inang, maka Tir mengikat NCK, yang mengaktifkan N-WASP dan selanjutnya mengaktifkan Arp2/3 serta menyebabkan terjadinya nukleasi aktin dan pembentukan alas (pedestal) di bawah bakteri (Gambar 2).

Gambar 2 Mekanisme perlekatan EPEC pada sel inang (Reis & Horn 2010).

Perlekatan pada sel inang menyebabkan terjadinya kerusakan mikrovilli, peningkatan permeabilitas paraseluler, dan merangsang proses inflamasi. Secara histologi, pada tikus yang diinfeksi EPEC, terlihat peningkatan jumlah neutrofil pada lamina propia dengan abses pada kripta, limfosit pada intraepitel, dan sel goblet pada saluran pencernaan (Savkovic et al. 2005). Infeksi EPEC menyebabkan perubahan konsentrasi kalsium intraseluler dan arsitektur sitoskeleton di bawah membran mikrovilli. Sel EPEC invasif dan menyebabkan inflamasi pada mukosa sel usus, sedangkan toksinnya menyebabkan diare berair (Lodes et al. 2004).


(28)

2.5 Radikal Bebas

Radikal bebas atau oksidan adalah molekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Dalam upaya penstabilan diri atau pemulihan keganjilan elektronnya, elektron pada radikal bebas tersebut secara cepat ditransfer atau menarik elektron makromolekul biologis sekitarnya seperti asam lemak jenuh, protein, polisakarida, asam nukleat, dan asam deoksiribonukleat. Radikal bebas sangat diperlukan bagi kelangsungan beberapa proses fisiologis dalam tubuh terutama untuk transportasi elektron. Namun, radikal bebas yang berlebihan dapat membahayakan tubuh karena dapat merusak makromolekul dalam sel seperti karbohidrat, protein, DNA, dan sebagainya. Makromolekul yang teroksidasi akan terdegradasi dan jika makromolekul tersebut merupakan bagian dari sel atau organelnya maka akan berakibat pada kerusakan sel (Halliwell & Gutteridge 1999).

Radikal bebas dapat berasal dari dalam tubuh (endogenus) maupun luar tubuh (eksogenus). Menurut Hwang et al. (2005) yang termasuk ke dalam radikal bebas endogenus adalah superoksida (O-), hidroksil (OH-), hidrogen peroksida (H2O2), dan peroksinitrit yang merupakan implikasi dari disfungsi endotelial, sedangkan yang merupakan radikal bebas eksogenus adalah radiasi, asap rokok, kabut asap, emisi kendaraan, NO2 dan NO. Secara umum, radikal bebas dapat terbentuk melalui salah satu cara sebagai berikut: (i) melalui absorpsi radiasi (ionisasi, uv, radiasi sinar tampak, radiasi panas), atau (ii) melalui reaksi reduksi-oksidasi dengan mekanisme reaksi fisik ikatan homolitik atau pemindahan elektron. Berbagai proses metabolisme normal dalam tubuh dapat menghasilkan radikal bebas dalam jumlah kecil sebagai produk antara. Di dalam sel hidup radikal bebas terbentuk pada membran plasma dan organel-organel seperti mitokondria, peroksisom, retikulum endoplasmik dan sitosol; melalui reaksi-reaksi enzimatik fisiologik yang berlangsung dalam proses metabolisme. Proses fagositosis oleh sel-sel fagositik termasuk neutrofil, monosit, makrofag, dan eosinofil juga menghasilkan radikal bebas yaitu anion superoksida (Rahman 2007).

Radikal bebas terpenting dalam tubuh adalah radikal derivat dari oksigen yang disebut kelompok oksigen reaktif (reactive oxygen species/ROS), termasuk


(29)

didalamnya adalah triplet (3O2), tunggal (O2), anion superoksida (O2-), radikal hidroksil (-OH), nitrit oksida (NO-), peroksinitrit (ONOO-), asam hipoklorus (HOCl), hidrogen peroksida (H2O2), radikal alkoksil (LO-), dan radikal peroksil (LO-2). Radikal bebas yang mengandung karbon (CCL3-) yang berasal dari oksidasi radikal molekul organik. Radikal yang mengandung hidrogen hasil dari penyerangan atom H (H-). Bentuk lain adalah radikal yang mengandung sulfur yang diproduksi pada oksidasi glutation menghasilkan radikal thiyl (R-S-). Radikal yang mengandung nitrogen juga ditemukan, misalnya radikal fenyldiazine (Arief 2006, Rahman 2007). Menurut Gitawati (1995), salah satu radikal bebas yang banyak dipelajari dan dikenal bersifat toksik bagi sel hidup adalah radikal bebas oksigen (superoksida) dan derivatnya (radikal hidroksil).

Peningkatan radikal bebas akan menimbulkan stres oksidatif sehingga kejadian ini akan menyebabkan terjadinya penurunan antioksidan. Telah dilaporkan bahwa keadaan stres menimbulkan penurunan kandungan antioksidan

copper,zinc-superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) pada hati dan ginjal tikus (Wresdiyati et al. 2002). Menurut Freisleben (2001), beberapa biomolekul yang dapat diserang radikal bebas adalah DNA/RNA, protein dan lipid (membran), dan lain-lain. Bila perubahan DNA tidak terlalu parah, maka masih bisa diperbaiki. Namun proses perbaikan DNA ini justru sering menimbulkan mutasi. Mutasi tersebut selanjutnya dapat menimbulkan kanker.

2.6 Antioksidan Cu,Zn-SOD

Antioksidan adalah senyawa atau bahan bioaktif yang dapat berfungsi untuk mencegah, menurunkan reaksi-reaksi oksidasi, memutus, menghambat, menghentikan, dan menstabilisasi radikal bebas. Antioksidan sebagai sistem perlindungan tubuh dapat dibedakan sebagai antioksidan endogen yang terdiri atas enzim-enzim seperti superoxide dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase serta antioksidan eksogen yang diperoleh dari bahan makanan seperti vitamin E dan C, thiol antioksidan (glutation, thioredoksin, dan asam lipoid), melatonin, karoten, flavonoid, dan berbagai bahan alami lain yang dapat mendetoksikasi radikal bebas (Nayak et al. 2001, Rahman 2007).


(30)

Superoxide dismutase (SOD) merupakan antioksidan endogen enzimatik yang paling efektif dalam mengkatalisis dan mengkonversi radikal bebas anion superoksida menjadi molekul oksigen dan hidrogen peroksida. SOD bekerja melalui sistem pertahanan preventif, menghambat, atau merusak proses pembentukan radikal bebas (Gurer & Ercal 2000). Dalam cairan intraseluler, SOD berperan dalam proses degradasi senyawa spesies oksigen reaktif (ROS). Spesies oksigen reaktif adalah suatu senyawa yang mempunyai bentuk dan aktivitas sebagai radikal bebas yang terdapat dalam bentuk radikal bebas maupun molekul non-radikal bebas yang mempunyai gugus oksigen reaktif. Senyawa ini cenderung menyumbangkan atom oksigen atau elektron pada senyawa lainnya.

SOD ada dalam beberapa isoform, yang berbeda dalam sifat logam aktif, komposisi asam amino, kofaktor, dan faktor penting lainnya. SOD menurut distribusinya dikelompokkan menjadi tiga, yaitu sitosol Cu,Zn-SOD, mitokondria Mn-SOD, dan ekstra seluler EC-SOD (Landis & Tower 2005). Cu,Zn-SOD termasuk ke dalam jenis antioksidan primer yang berfungsi mencegah pembentukan radikal-radikal baru. Antioksidan ini mengubah radikal bebas sebelum bereaksi dengan molekul organik yang merupakan penyusun atau komponen sel menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya. Halliwell dan Gutteridge (1999) menyatakan bahwa Cu,Zn-SOD merupakan salah satu antioksidan endogen yang sangat berperan dalam mengkatalisasi radikal bebas anion superoksida menjadi hidrogen peroksida dan molekul oksigen.

Dalam beberapa jaringan tubuh Cu,Zn-SOD berfungsi sebagai bagian dari mekanisme pertahanan tubuh terhadap pengaruh buruk beberapa metabolisme oksigen (Fridovich 1995). Pada ginjal tikus Cu,Zn-SOD lebih banyak ditemukan pada bagian inti dan sitoplasma sel-sel tubuli renalis (tubuli distalis dan proksimalis). Tingginya kandungan Cu,Zn-SOD pada jaringan ginjal membuktikan bahwa ginjal mempunyai tingkat konsumsi oksigen yang sangat tinggi dan sangat rentan terkena dampak langsung dari radikal-radikal bebas yang terbentuk dari metabolisme parsial oksigen. Tingginya kandungan Cu,Zn-SOD pada ginjal juga merupakan indikasi tingginya kemampuan sistem pertahanan untuk tetap mempertahankan kapasitas antioksidan agar tetap mampu mengatasi


(31)

oksidan-oksidan yang terbentuk selama proses metabolisme yang berlangsung di dalamnya maupun yang terbentuk dari luar ginjal (Wresdiyati et al. 2002).

2.7 Imunohistokimia

Imunohistokimia merupakan teknik pewarnaan untuk mendeteksi keberadaan molekul tertentu dalam jaringan dengan menggunakan prinsip reaksi antigen dengan antibodi. Teknik menggabungkan tiga jenis disiplin ilmu yaitu imunologi, histologi, dan kimia. Imunologi menyangkut reaksi antigen dan antibodi, histologi berhubungan dengan penggunaan jaringan yang digunakan dalam pewarnaan, sedangkan kimia bersangkutan dengan reaksi-reaksi kimia didalam proses pewarnaan.

Tujuan dari teknik imunohistokimia adalah identifikasi dan karakterisasi komponen bioaktif sel/jaringan. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah polimer peroksidase. Teknik ini merupakan salah satu teknik terbaru dengan menggunakan dua antibodi yaitu antibodi primer dan antibodi sekunder. Antibodi primer yang digunakan adalah antibodi monoklonal terhadap Cu,Zn-SOD dan antibodi sekunder yang digunakan adalah antibodi yang sudah terkonjugasi dengan peroksidase. Agar kompleks antigen-antibodi dapat divisualisasikan, digunakan senyawa yang sesuai untuk melabel kompleks dengan memberikan reaksi warna yang tegas (kromogen), yaitu DAB

(3,3-diaminobenzidine) dalam tris buffer yang dicampur dengan H2O2. Pewarnaan ini memanfaatkan afinitas spesifik diaminobenzidine terhadap peroksidase. Peroksidase adalah enzim yang mengkatalis kromogen dalam rangka untuk menvisualisasikan warna pada sel-sel spesifik yang menghasilkan antibodi tertentu. Warna yang diperoleh berupa endapan warna coklat (kromoganin). Penelitian ini menggunakan polimer peroksidase dari produk DAKO. Prinsip pewarnaan imunohistokimia dengan metode polimer peroksidase dapat dilihat pada Gambar 3.


(32)

Antibodi sekunder terkonjugasi Antibodi primer

Cu,Zn-SOD

Antigen

Jaringan

Gambar 3 Prinsip teknik imunohistokimia dengan metode polimer peroksidase.

2.8 Penelitian Pendahuluan

Arief et al. (2008) telah melakukan isolasi bakteri asam laktat (BAL) golongan Lactobacillus, Lactococcus, dan Streptococcus dari daging sapi bangsa peranakan Ongol yang dijual di berbagai pasar tradisional di daerah bogor. Bakteri asam laktat tersebut selanjutnya diuji kemampuannya bertahan pada kondisi sesuai dengan kondisi saluran pencernaan manusia antara lain pH, garam empedu, serta aktivitas antimikrobanya terhadap bakteri patogen. Hasil penelitian pendahuluan tersebut menunjukkan bahwa terdapat 10 jenis bakteri asam laktat isolat indigenus yang mempunyai kemampuan bertahan pada pH asam lambung yaitu pH 2 dan pH usus 7.2 serta pada kondisi garam empedu 0.5% sesuai dengan kondisi saluran pencernaan. Bakteri asam laktat tersebut juga mempunyai aktivitas penghambatan yang baik terhadap tiga jenis bakteri enteropatogenik yaitu Salmonella thypimurium, E. coli, dan Staphylococcus aureus.

Bakteri asam laktat (BAL) ini juga mempunyai kemampuan bakterisidal terhadap mikroba patogen karena bakteri tersebut mampu menghasilkan senyawa bioaktif asam laktat, asam asetat, serta senyawa bakteriosin. Kesepuluh isolat ini layak dikatakan sebagai probiotik mengacu pada kriteria probiotik yang dikeluarkan oleh FAO (2002). Sifat fungsional lainnya telah diteliti oleh Astawan

et al. (2009) yaitu mengenai kemampuan bakterisidal dari 10 isolat BAL terhadap bakteri enteropathogenic E.coli (EPEC) secara in vivo. Hasilnya didapatkan 2 spesies BAL yang mempunyai kemampuan terbaik dalam melawan EPEC, yaitu

Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus fermentum. Kedua BAL inilah yang dipakai pada penelitian ini.


(33)

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2009 (perlakuan, sampling

sampai dengan embedding), Februari 2010 (sectioning), dan Juni-Desember 2010 (pewarnaan dan analisis data) di Animal Laboratory Seafast Center IPB dan Laboratorium Histologi Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

3.2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian antara lain cawan petri, wadah penampung, kapas, kertas tissue, alummunium foil, alat bedah (gunting, pinset, alas bedah), gelas kimia, gelas ukur, erlenmeyer, exhause fan, pipet tetes, pipet mohr, tissue basket, blok kayu, pemanas bunsen, embedding tissue console, spatula, mikrotom putar (rotatory mikrotom), waterbath, ultrasonic cleaner,

object glass, cover glass, kotak preparat, inkubator, mikropipet, tabung ependorf, mikroskop cahaya (Olympus CH-20), dan kamera (Nikon E600).

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain tikus putih jantan Albino Norways Rats (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley umur 5-6 minggu sebanyak 90 ekor dengan berat badan 140-240 gram, Bakteri Asam Laktat (BAL) indigenus isolat lokal yaitu Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus fermentum, kultur enteropathogenic E. coli (EPEC), ransum tikus percobaan (kasein, minyak jagung, mineral mix, vitamin mix, carboximethylcelulose, air, dan maizena), eter, NaCl fisiologis 0.9%, larutan Bouin (asam pikrat jenuh, formalin, dan asam asetat glasial dengan perbandingan 15:5:1), alkohol (70%, 80%, 90%, dan 100%), larutan clearing (xylol), parafin, akuades, pewarna

Hematoksilin-Eosin (HE), entelan, neophren in toluene 0.2%, Phosphate Buffer Saline (PBS), metanol, H2O2, serum normal, antibodi primer/monoklonal Cu,Zn-SOD (SIGMA S2147), antibodi sekunder terkonjugasi Dako Envision Peroksidase System (K1491), larutan kromogen Diamino Benzidine (DAB), air bebas ion (MiliQ), dan label.


(34)

3.3 Metode penelitian

Secara keseluruhan, alur penelitian yang akan dilakukan digambarkan dalam skema pada Gambar 4.

Penelitian Pendahuluan:

--- Penelitian Utama

Isolasi BAL golongan Lactobacillus, Lactococcus, dan Streptococcus dari daging sapi bangsa peranakan Ongol yang dijual di berbagai pasar tradisional di daerah Bogor

Pengujian kemampuan bakterisidal dari 10 isolat BAL terhadap bakteri

enteropathogenic E. coli (EPEC) secara in vitro

Didapatkan 10 jenis BAL isolat indigenus yang mempunyai kemampuan bertahan pada pH asam lambung yaitu pH 2 dan pH usus 7.2 serta pada kondisi garam empedu 0.5% sesuai dengan kondisi saluran pencernaan (Arief et al. 2008)

Didapatkan 2 spesies BAL yang mempunyai kemampuan terbaik dalam melawan EPEC, yaitu Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus fermentum


(35)

Penelitian Utama:

Gambar 4 Diagram alir alur penelitian yang akan dilakukan.

Pengujian BAL ( Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus farmentum ) pada kelompok tikus dengan perlakuan:

A: kontrol negatif : cekok ransum standar dan akuades (H1-H21) B: cekok Lactobacillus plantarum (H1-H21)

C: cekok Lactobacillus fermentum (H1-H21)

D: cekok Lactobacillus plantarum (H1-H21) dan EPEC (H8-H14) E: cekok Lactobacillus fermentum (H1-H21) dan EPEC (H8-H14) F: kontrol positif: cekok EPEC (H8-H14)

Terminasi

Hari perlakuan H0 H22

Cekok EPEC: D,E,F

T1 T2 T3

Analisa kandungan antioksidan intraselular (Cu,Zn-SOD) di jaringan

ginjal tikus percobaan

H8 H15


(36)

Persiapan hewan percobaan Hewan percobaan

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan Albino Norway Rats (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley umur 5-6 minggu hasil pengembangbiakan dari Badan POM RI sebanyak 90 ekor dengan berat badan 140-240 gram.

Kandang dan perlengkapan

Kandang yang digunakan adalah kandang yang berukuran 17.5 x 23.75 x 17.5 cm, dengan jumlah sesuai dengan jumlah tikus yang digunakan. Kandang terbuat dari stainless steel. Kandang tikus berlokasi pada tempat yang bebas dari suara ribut dan terjaga dari asap industri serta polutan lainnya. Lantai kandang mudah dibersihkan dan disanitasi. Suhu optimum ruangan untuk tikus adalah 22-24 oC dan kelembaban udara 50-60% dengan ventilasi yang cukup (namun tidak ada jendela terbuka).

Ransum

Komposisi ransum basal disusun berdasarkan standar AOAC (2005) yaitu mengandung karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin, dan air. Komposisi ransum untuk tikus percobaan adalah sebagai berikut :

Tabel 1 Komposisi campuran ransum basal tikus

Bahan-bahan Jumlah (%)

Protein kasein X=1.60 x 100%N sampel (10% port) Minyak jagung [(8-X) x % ekstrak eter] / 100

Campuran mineral [(5-X) x % kadar abu] / 100

Campuran vitamin 1

CMC [(1-X) x % kadar serat kasar] / 100

Air [(5-X) x % kadar air] / 100


(37)

Perlakuan terhadap hewan percobaan

Awalnya dilakukan adaptasi tikus terhadap lingkungan selama lima hari dengan pemberian makanan berupa ransum basal pada semua tikus. Tikus dibagi dalam 6 kelompok perlakuan. Setiap kelompok perlakuan terdiri dari 5 ekor tikus. Kelompok tersebut terbagi atas kelompok perlakuan kontrol negatif (ransum normal), kontrol positif (cekok EPEC), perlakuan cekok BAL, dan perlakuan cekok BAL ditambah EPEC (Tabel 2).

Jumlah BAL yang diberikan disesuaikan dengan petunjuk Zoumoupopoulou et al. (2008). Dua kultur BAL terpilih yaitu Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus fermentum berumur satu hari pada media MRS broth sebanyak 1 ml dengan populasi 108 cfu diberikan sesuai dengan perlakuan pada tikus percobaan. Sedangkan populasi Enteropathogenic E.coli penyebab diare yang diberikan adalah 105 cfu/ml menurut Oyetayo (2004). BAL dan EPEC diberikan secara oral menggunakan sonde. Semua kelompok tikus perlakuan diberi pakan ransum dan akuades ad libitum.

Tabel 2 Kelompok tikus perlakuan

Kelompok Tikus Perlakuan

A Tikus kontrol negatif yaitu tikus tanpa perlakuan, hanya diberi ransum standar dan akuades mulai hari ke-1 sampai hari ke-21

B Tikus yang diberi Lactobacillus plantarum mulai hari ke-1 sampai hari ke-21

C Tikus yang diberi Lactobacillus fermentum mulai hari ke-1 sampai hari ke-21

D Tikus yang diberi Lactobacillus plantarum mulai hari ke-1 sampai hari ke-21 dan pemberian EPEC pada hari ke-8 sampai hari ke-14

E Tikus yang diberi Lactobacillus fermentum mulai hari ke-1 sampai hari ke-21 dan pemberian EPEC pada hari ke-8 sampai hari ke-14

F Tikus yang diberi EPEC selama 7 hari (hari ke-8 sampai hari ke-14)

Setelah perlakuan, dilakukan proses terminasi, ada tiga kali terminasi dengan selang waktu 7 hari. Hari ke-8 dilakukan terminasi terhadap keenam kelompok perlakuan dengan kode T1, hari ke-15 dilakukan terminasi terhadap keenam kelompok perlakuan dengan kode T2, hari ke-22 dilakukan terminasi terhadap keenam kelompok perlakuan dengan kode T3 (Gambar 5).


(38)

Gambar 5 Skema terminasi pada kelompok tikus perlakuan.

Pemrosesan Jaringan

Pengambilan Sampel (Sampling), Fiksasi, dan Pemotongan Organ

Pengambilan sampel ginjal dilakukan setelah tikus diberi perlakuan. Tikus dimatikan dengan cara cervicalis dislocatio lalu abdomen tikus dibedah dan organ ginjal diambil dengan sangat hati-hati untuk menghindari kerusakan jaringan. Sampel ginjal dicuci dengan menggunakan NaCl fisiologis 0.9% untuk menghilangkan darah kemudian direndam dengan larutan Bouin yang telah diberi label dan catatan waktu masuknya sampel ke dalam larutan. Larutan Bouin yang terdiri dari larutan asam pikrat jenuh, formalin (37% - 40%), dan asam asetat glasial disiapkan terlebih dahulu dengan perbandingan 15:5:1. Organ ginjal difiksasi dengan larutan Bouin selama 24 jam kemudian larutan Bouin diganti dengan alkohol 70% (stopping point). Organ ginjal yang telah difiksasi kemudian dipotong kecil berbentuk dadu dan dimasukkan ke dalam tissue basket serta diberi label.

Dehidrasi

Dehidrasi bertujuan untuk mengeluarkan air dari dalam jaringan dengan menggunakan seri alkohol bertingkat yaitu alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 95% (masing-masing 24 jam), alkohol absolut I, alkohol absolut II, dan alkohol absolut III (masing-masing 1 jam).

H0 H8

T1 T2 T3

H22 H15

Cekok EPEC: D,E,F


(39)

Penjernihan (Clearing)

Penjernihan bertujuan menggantikan tempat etanol dalam jaringan.

Reagen yang dipergunakan adalah xylol. Jaringan dipindahkan dari alkohol absolut III ke larutan penjernih (xylol). Penjernihan dilakukan dalam xylol I (1 jam), xylol II (1 jam), dan xylol III (30 menit pada suhu kamar dan 30 menit pada inkubator).

Infiltrasi Parafin

Infiltrasi parafin bertujuan untuk menggantikan kedudukan dehidran dalam jaringan dan bahan penjernih dengan parafin cair. Jaringan dimasukkan dalam parafin cair I, parafin cair II, dan parafin cair III (masing-masing 1 jam di dalam oven).

Penanaman Jaringan (Embedding)

Bahan dan alat yang digunakan dalam proses ini adalah inkubator,

embedding tissue console, pinset, parafin cair, gliserin, blok kayu, pinset, pemanas bunsen, tutup pagoda, spatula, dan kertas film (untuk label).

Tahap pertama tutup pagoda diolesi gliserin dan tetap dalam kondisi hangat (pengerjaan dilakukan diatas hot plate bersuhu 67 0C), kemudian parafin cair pada embedding tissue console dituangkan ke dalam tutup pagoda perlahan-lahan sampai permukaannya cembung. Jaringan secara hati-hati diletakkan ke dalam parafin dengan menggunakan pinset. Kemudian letaknya diatur sesuai dengan posisinya terhadap jaringan yang lain untuk mempermudah proses pemotongan. Pada setiap sampel diberikan label dengan nama sampelnya ditulis menggunakan pensil di atas kertas film.

Setelah jaringan ditanam, tutup pagoda dipindahkan dari keadaan hangat ke bagian dingin (cold plate) untuk beberapa saat agar membeku lalu dipindahkan ke dalam air sampai parafin membeku sempurna. Jika parafin telah membeku sempurna, parafin dikeluarkan dari pagoda dengan cara mengungkit salah satu sisi pagoda dengan pisau. Potongan parafin yang membungkus jaringan ditrimming

sampai membentuk kotak lalu ditempelkan pada balok kayu yang telah disediakan.


(40)

Pembuatan Blok Parafin

Pisau dipanaskan diatas pemanas bunsen dan parafin di sekitar sampel dirapikan dengan cara dipotong. Kayu tempat penempelan sampel diletakkan pada alas agar statis. Potongan- potongan parafin diletakkan diatas pisau kemudian pisau dipanaskan sampai parafin cair. Parafin cair pada pisau diteteskan ke balok kayu. Sampel yang ada diletakkan diatas pisau panas dan secara perlahan diletakkan di balok kayu yang telah dialasi parafin cair. Blok parafin disimpan dalam lemari es sebelum dipotong menggunakan mikrotom.

Penyayatan (Sectioning) dan Penempelan ke Gelas Objek

Blok parafin dipasang pada mikrotom dan diatur agar posisinya sejajar dengan posisi pisau. Blok parafin dipotong dengan ketebalan 4 µ m. Pada awal pemotongan dilakukan trimming karena jaringan yang terpotong masih belum sempurna. Setelah didapatkan hasil sayatan yang terbaik, hasilnya diambil dengan kertas yang basah pada bagian ujung lalu diapungkan diatas air dingin. Jika hasil potongan membentuk pita maka jaringan dipisahkan dengan jarum satu persatu. Potongan jaringan yang telah terpisah ditempatkan pada air hangat dengan suhu 37 0C untuk menghilangkan kerutan lalu ditempatkan pada gelas objek. Sediaan pada gelas objek lalu dilihat di bawah mikroskop untuk melihat ada tidaknya luka pisau dan ketebalan potongan, jika belum maka dicari potongan lain. Gelas objek dengan sediaan jaringan terpilih diberi label sesuai dengan perlakuan dan dikeringkan. Sediaan disimpan pada inkubator dengan suhu 37 0C selama semalam lalu siap diwarnai dengan pewarnaan HE. Untuk pewarnaan immunohistokimia, gelas objek dilem dahulu dengan neofren. Sebelum pengeleman, gelas objek dibersihkan terlebih dahulu dengan ultrasonic cleaner

menggunakan larutan pembersih (20 menit) kemudian secara berurutan larutan pada ultrasonic cleaner diganti dengan akuades sebanyak 3 kali (masing-masing selama 20 menit). Gelas objek yang telah bersih disimpan dalam inkubator dengan suhu 37 oC selama semalam lalu dilem dengan neofren.


(41)

Pewarnaan

Pewarnaan Immunohistokimia Superoxide Dismutase (Cu,Zn-SOD)

Pewarnaan khusus imunohistokimia terhadap Cu,Zn-SOD dilakukan untuk mengamati perubahan kandungan enzim antioksidan Cu,Zn-SOD pada jaringan ginjal. Langkah awal dilakukan deparafinisasi dengan xylol III-I, waktu untuk xylol III dan II selama 3 menit sedangkan untuk xylol I selama 5 menit. Kemudian dilakukan rehidrasi dengan alkohol absolut III-alkohol 80% masing-masing selama 3 menit dan terakhir dengan alkohol 70% selama 5 menit. Selanjutnya dimasukkan dalam akuades selama 15 menit. Setelah itu diinkubasi dalam substrat methanol yang ditambahkan H2O2 selama 15 menit untuk menghilangkan aktivitas peroksidase endogen, selanjutnya dicuci berturut-turut dengan akuades dan Phosphate Buffer Saline (PBS) masing-masing 2x10 menit. Setelah itu jaringan diinkubasi dalam serum normal-Bovine Serum Albumin (BSA) sebanyak 60 µL selama 30-60 menit pada suhu 37 oC untuk menutupi antigen non spesifik dan berikutnya jaringan dicuci dengan PBS selama 3x10 menit. Kemudian jaringan diinkubasi dalam antibodi monoklonal Cu,Zn-SOD (1:200) pada suhu 4 o

C selama 2 malam. Selanjutnya dicuci dengan PBS selama 3x5 menit dan diinkubasi dalam antibodi sekunder Dako Envision Peroxidase (Dako K 1491) selama 60 menit dalam ruang gelap. Hasil reaksi antigen dengan antibodi divisualisasikan dengan menggunakan DAB (Diamino Benzidine) dalam tris buffer yang ditambahkan H2O2 selama 25 menit (ditutup gelap), selanjutnya dicounterstain dengan hemaktosilin. Setelah itu dilakukan dehidrasi dan clearing, jaringan kemudian dimounting dengan entelan dan siap untuk diamati. Preparat yang telah siap untuk diamati menunjukkan reaksi positif apabila berwarna coklat. Warna coklat menunjukkan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD.

3.4 Parameter dan Analisis Data Parameter

Pada pewarnaan imunohistokimia dilakukan pengamatan terhadap kandungan Cu,Zn-SOD pada jaringan ginjal masing-masing kelompok perlakuan. Pengamatan dilakukan secara kuantitatif, kualitatif, dan penghitungan persentase dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 20x. Pengamatan


(42)

Cu,Zn-SOD secara kualitatif dilakukan pada seluruh bagian ginjal yaitu pada inti dan sitoplasma tubuli renalis, glomerulus, dan daerah medulla. Pengamatan kuantitatif kandungan Cu,Zn-SOD dilakukan dengan cara menghitung jumlah inti sel tubuli renalis yang memberikan reaksi positif dan negatif terhadap kandungan dari Cu,Zn-SOD per lapang pandang dengan perbesaran 20x. Semakin banyak tanda positif (+), semakin tinggi kandungan Cu,Zn-SOD. Kandungan Cu,Zn-SOD dibedakan menjadi tiga tingkat kandungan, yaitu (i) positif kuat (+++), terlihat warna coklat tua, (ii) positif sedang/lemah (++/+), terlihat warna coklat muda sampai dengan coklat kebiru-biruan, (iii) hasil reaksi negatif (-), terlihat warna biru. Profil kandungan Cu,Zn-SOD juga dilihat dari penghitungan persentase jumlah inti sel tubuli renalis yang memberikan reaksi positif dan negatif terhadap kandungan Cu,Zn-SOD.

Analisis Data

Hasil pengamatan terhadap kandungan Cu,Zn-SOD (jumlah inti sel tubuli renalis pada berbagai tingkat kandungan Cu,Zn-SOD) dianalisis menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjutan Duncan.


(43)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pewarnaan imunohistokimia dilakukan untuk mengetahui kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD di jaringan ginjal tikus percobaan masing-masing kelompok perlakuan. SOD merupakan antioksidan endogen enzimatik yang bekerja melalui sistem pertahanan preventif, menghambat, atau merusak proses pembentukan radikal bebas. SOD efektif dalam mengkatalisis dan mengkonversi radikal bebas anion superoksida menjadi oksigen dan hidrogen peroksida (Gurer & Ercal 2000, Carroll et al. 2004). Pengukuran kandungan antioksidan SOD merupakan cara untuk mengetahui kondisi pertahanan sel terhadap radikal bebas. Aktivitas SOD bervariasi pada beberapa organ. Ginjal menunjukkan aktivitas SOD yang tinggi setelah hati dan kelenjar adrenal, diikuti darah, limpa, pankreas, otak, paru-paru, usus, ovarium, dan timus (Halliwell & Gutteridge 1999).

Cu, Zn-SOD merupakan jenis SOD yang paling berperan sebagai bagian dari mekanisme pertahanan tubuh terhadap pengaruh buruk beberapa metabolisme oksigen. Cu,Zn-SOD terdapat di dalam sitosol (sitoplasma) dan inti sel dari sel-sel eukariot, seperti khamir, tanaman, dan hewan (Miao et al. 2009). Pada ginjal tikus Cu,Zn-SOD ditemukan pada bagian inti dan sitoplasma sel-sel tubuli renalis (tubuli distalis dan proksimalis). Tingginya kandungan Cu,Zn-SOD pada jaringan ginjal membuktikan bahwa ginjal mempunyai tingkat konsumsi oksigen yang sangat tinggi dan sangat rentan terkena dampak langsung dari radikal-radikal bebas yang terbentuk dari metabolisme parsial oksigen. Tingginya kandungan Cu,Zn-SOD pada ginjal juga merupakan indikasi tingginya kemampuan sistem pertahanan untuk tetap mempertahankan kapasitas antioksidan agar tetap mampu mengatasi oksidan-oksidan yang terbentuk selama proses metabolisme yang berlangsung di dalamnya maupun yang terbentuk dari luar ginjal (Wresdiyati et al. 2002).

Reaksi positif pada pewarnaan imunohistokimia terhadap antioksidan Cu,Zn-SOD divisualisasikan berupa produk reaksi warna coklat. Kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD di jaringan ginjal ditunjukkan dengan intensitas dan distribusi warna coklat pada inti dan sitoplasma sel tubuli renalis. Semakin pekat


(44)

warna coklat yang terbentuk berarti kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD semakin banyak/tinggi. Reaksi negatif yaitu tidak terdapat kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD divisualisasikan berupa produk reaksi warna biru pada inti dan sitoplasma sel tubuli renalis.

Kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD di jaringan ginjal disajikan secara kualitatif, kuantitatif, dan persentase jumlah inti sel tubuli renalis pada berbagai tingkat kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD. Pengamatan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD secara kualitatif dilakukan pada keseluruhan jaringan ginjal yaitu pada inti dan sitoplasma tubuli proksimalis, distalis, glomerulus, dan medulla. Pengamatan kuantitatif kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD dilakukan dengan menghitung jumlah inti sel tubuli renalis yang memberikan reaksi pada berbagai tingkat kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD per lapang pandang dengan perbesaran 20x. Penghitungan persentase jumlah inti sel tubuli renalis didasarkan pada jumlah rata-rata inti sel yang bereaksi positif dan negatif terhadap kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD.

4.1 Hasil Pengamatan secara Kualitatif Kandungan Antioksidan Cu,Zn-SOD di Jaringan Ginjal Tikus Percobaan

Secara kualitatif kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD pada jaringan ginjal diamati dengan melihat perbedaan intensitas warna coklat pada keseluruhan jaringan ginjal yaitu pada inti dan sitoplasma tubuli proksimalis, tubuli distalis, glomerulus, dan medulla. Pengamatan secara kualitatif ini dilakukan pada keseluruhan jaringan ginjal tikus percobaan terminasi hari ke-8 (Gambar 6), terminasi hari ke-15 (Gambar 7), dan terminasi hari ke-22 (Gambar 8). Adanya kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD ditunjukkan dengan warna coklat dan diberi tanda (+) pada jaringan ginjal kelompok yang diamati. Semakin banyak tanda (+) maka semakin tinggi kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD. Perbedaan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD di jaringan ginjal masing-masing kelompok perlakuan pada terminasi hari ke-8, 15, dan 22 dapat dilihat pada Tabel 3.


(45)

Tabel 3 Distribusi dan frekuensi antioksidan Cu,Zn-SOD di jaringan ginjal tikus

Kelompok Distribusi dan Frekuensi Antioksidan Cu,Zn-SOD

T. Proksimalis T. Distalis Glomerulus Medulla

Terminasi Hari ke-8 (Sebelum Pemberian EPEC)

T1A ++ ++ + ++

T1B ++ ++ + ++

T1C +++/++ ++/+ ++/+ ++

T1D ++ ++/+ + ++

T1E +++ +++ ++ +++

T1F ++/+ ++ + +++/++

Terminasi Hari ke-15 (Setelah Seminggu Pemberian EPEC)

T2A ++ + + ++

T2B ++/+ + + ++

T2C +++ ++/+ + ++

T2D +/- +/- +/- +

T2E + + + ++/+

T2F +/- +/- +/- +/-

Terminasi Hari ke-22 (Seminggu Setelah Pemberian EPEC Dihentikan)

T3A ++ + + ++

T3B ++ ++/+ ++/+ ++/+

T3C +++ ++ ++ ++

T3D + +/- +/- +

T3E + + + +

T3F +/- +/- +/- +

Keterangan: (+): adanya kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD pada jaringan; (/): kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD berada diantara dua nilai; (-): tidak adanya kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD. T1: terminasi hari ke-8; T2: terminasi hari ke-15; T3: terminasi hari ke-22. A: kelompok kontrol negatif (perlakuan ransum standar); B: kelompok perlakuan L. plantarum; C: kelompok perlakuan L. fermentum; D: kelompok perlakuan L. plantarum + EPEC; E: kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC; F: kelompok kontrol positif (perlakuan EPEC).

. Hasil pengamatan secara kualitatif menunjukkan bahwa pada terminasi hari ke-8 kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD di jaringan ginjal tikus kelompok perlakuan L. fermentum dan L. fermentum + EPEC lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD kelompok perlakuan lainnya (Tabel 3, Gambar 6). Kelompok perlakuan kontrol negatif, kontrol positif, L. plantarum, dan L. plantarum + EPEC menunjukkan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD yang relatif sama (Gambar 6), terlihat dari intensitas dan distribusi warna coklat yang


(46)

relatif sama pada sel tubuli renalis, glomerulus, dan medula. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian L. fermentum selama satu minggu mampu meningkatkan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD di jaringan ginjal tikus, sedangkan pemberian

L. plantarum selama satu minggu belum mampu meningkatkan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD di jaringan ginjal tikus. Pada terminasi hari ke-8 ini, kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC, L. plantarum + EPEC , dan kontrol positif belum dipapar EPEC.

Pada terminasi hari ke-15, kelompok perlakuan L. fermentum memiliki kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD paling tinggi, terlihat dari intensitas dan distribusi warna coklat pada sel tubuli proksimalis dan sel tubuli distalis (Tabel 3, Gambar 7). Kelompok perlakuan L. plantarum memiliki kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD yang relatif sama dengan kelompok perlakuan kontrol negatif, terlihat dari intensitas dan distribusi warna coklat yang relatif sama pada sel tubuli renalis, glomerulus, dan medula (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian L. fermentum selama dua minggu mampu meningkatkan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD di jaringan ginjal tikus, sedangkan pemberian L. plantarum selama dua minggu belum mampu meningkatkan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD di jaringan ginjal tikus.

Pada terminasi hari ke-15 juga dapat dilihat bahwa kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC memiliki kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan L. plantarum + EPEC dan kontrol positif (Tabel 3, Gambar 7). Sedangkan kelompok perlakuan L. plantarum

+ EPEC dan kontrol positif memiliki kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD yang relatif sama, dan lebih rendah dari L. fermentum + EPEC. Kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC, L. plantarum + EPEC, dan kontrol positif merupakan kelompok perlakuan yang telah seminggu dipapar EPEC. Pemberian EPEC dapat meningkatkan jumlah radikal bebas dalam tubuh tikus percobaan sehingga antioksidan Cu,Zn-SOD yang dipakai untuk menetralisir radikal bebas tersebut juga meningkat. Hal inilah yang menyebabkan rendahnya kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD pada kelompok perlakuan kontrol positif. Selain itu, kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD pada kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC yang lebih tinggi dari kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD pada kelompok perlakuan L.


(47)

plantarum + EPEC menunjukkan bahwa L. fermentum lebih baik dari pada L. plantarum dalam hal kemampuan mempertahankan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD di jaringan ginjal tikus.

Pada terminasi hari ke-22, kelompok perlakuan L. fermentum masih memiliki kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD paling tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya. Kelompok perlakuan L. plantarum memiliki kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD yang relatif sama dengan kelompok perlakuan kontrol negatif. Perbedaan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD pada setiap kelompok perlakuan terminasi hari ke-22 ini terlihat dari intensitas dan distribusi warna coklat pada sel tubuli renalis dan glomerulus (Tabel 3, Gambar 8). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian L. fermentum selama tiga minggu masih mampu meningkatkan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD di jaringan ginjal tikus, sedangkan pemberian L. plantarum selama tiga minggu belum mampu meningkatkan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD di jaringan ginjal tikus.

Seperti halnya pada terminasi hari ke-15, terminasi hari ke-22 juga dapat dilihat bahwa kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC masih menunjukkan kandungan Cu,Zn-SOD yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan L. plantarum + EPEC dan kontrol positif (Tabel 3). Sedangkan kelompok perlakuan L. plantarum + EPEC dan kontrol positif memiliki kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD yang relatif sama, dan lebih rendah dari L. fermentum + EPEC. Hal ini menunjukkan bahwa satu minggu pasca pemberian EPEC, EPEC belum tereliminasi dari tubuh sehingga antioksidan masih dibutuhkan untuk menetralisir radikal bebas yang dihasilkan EPEC. Oleh karena itu, kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD di jaringan ginjal masih rendah. Selain itu, kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD pada kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC yang lebih tinggi dari kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD pada kelompok perlakuan L. plantarum + EPEC menunjukkan bahwa L. fermentum lebih baik dari pada L. plantarum dalam hal kemampuan mempertahankan kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD di jaringan ginjal tikus.


(48)

Gambar 6 Fotomikrograf jaringan ginjal tikus dengan pewarnaan imunohistokimia terhadap antioksidan Cu,Zn-SOD, pada terminasi hari ke-8. T1A: kelompok kontrol negatif (perlakuan ransum standar); T1B: kelompok perlakuan L. plantarum; T1C: kelompok perlakuan L. fermentum; T1D: kelompok perlakuan L. plantarum + EPEC; T1E: kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC; T1F: kelompok kontrol positif (perlakuan EPEC). Dapat dilihat bahwa kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD paling tinggi terdapat pada kelompok perlakuan T1E, diikuti kelompok perlakuan T1C. Kelompok perlakuan T1A, T1B, T1D, dan T1F memiliki kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD yang relatif sama. Skala = 50 µm.


(49)

Gambar 7 Fotomikrograf jaringan ginjal tikus dengan pewarnaan imunohistokimia terhadap antioksidan Cu,Zn-SOD, pada terminasi hari ke-15. T2A: kelompok kontrol negatif (perlakuan ransum standar); T2B: kelompok perlakuan L. plantarum; T2C: kelompok perlakuan L. fermentum; T2D: kelompok perlakuan L. plantarum + EPEC; T2E: kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC; T2F: kelompok kontrol positif (perlakuan EPEC). Dapat dilihat bahwa kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD paling tinggi terdapat pada kelompok perlakuan T2C. Kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD kelompok perlakuan T2A sama seperti T2B. Kelompok perlakuan T2D dan T2F memiliki kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD paling rendah. Skala = 50 µm.


(50)

Gambar 8 Fotomikrograf jaringan ginjal tikus dengan pewarnaan imunohistokimia terhadap antioksidan Cu,Zn-SOD, pada terminasi hari ke-22. T3A: kelompok kontrol negatif (perlakuan ransum standar); T3B: kelompok perlakuan L. plantarum; T3C: kelompok perlakuan L. fermentum; T3D: kelompok perlakuan L. plantarum + EPEC; T3E: kelompok perlakuan L. fermentum + EPEC; T3F: kelompok kontrol positif (perlakuan EPEC). Dapat dilihat bahwa kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD paling tinggi terdapat pada kelompok perlakuan T3C. Kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD kelompok perlakuan T3A sama seperti T3B. Kelompok perlakuan T3D dan T3F memiliki kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD paling rendah. Skala = 50 µm.


(51)

4.2 Hasil Pengamatan secara Kuantitatif Kandungan Antioksidan Cu,Zn-SOD di Jaringan Ginjal Tikus Percobaan

Pengamatan secara kuantitatif kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD di jaringan ginjal dilakukan dengan cara menghitung jumlah inti sel tubuli renalis pada berbagai tingkat kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD per lapang pandang dengan perbesaran 20x. Semakin banyak tanda positif (+), semakin tinggi kandungan Cu,Zn-SOD. Kandungan Cu,Zn-SOD dibedakan menjadi tiga tingkat kandungan, yaitu (i) positif kuat (+++), terlihat warna coklat tua, (ii) positif sedang/lemah (++/+), terlihat warna coklat muda sampai dengan coklat kebiru-biruan, (iii) hasil reaksi negatif (-), terlihat warna biru. Hasil perhitungan dan analisa statistik terhadap rata-rata jumlah inti sel tubuli renalis yang bereaksi terhadap berbagai tingkat kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD tersaji pada Tabel 4.

Gambar 9 Fotomikrograf jaringan ginjal tikus dengan inti sel tubuli renalis yang bereaksi terhadap berbagai tingkat kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD. +++ : positif kuat (warna coklat tua); ++ : positif sedang (warna coklat muda); +: positif lemah (warna coklat kebiru-biruan); - : negatif (warna biru). Pewarnaan imunohistokimia. Skala = 50 µm.


(1)

kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD

Univariate Analysis of Variance

Between-Subjects Factors

Value Label N

Perlakuan 1 T3A 3

2 T3B 3

3 T3C 3

4 T3D 3

5 T3E 3

6 T3F 3

Ulangan 1 6

2 6

3 6

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Jumlah_inti_sel_ginjal

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 142944.111a 8 17868.014 744.845 .000

Perlakuan 19232.444 5 3846.489 160.345 .000

Ulangan 41.444 2 20.722 .864 .451

Error 239.889 10 23.989

Total 143184.000 18

a. R Squared = ,998 (Adjusted R Squared = ,997)

Post Hoc Tests

Perlakuan


(2)

Perlaku

an N

Subset

1 2 3 4

T3D 3 44.6667

T3F 3 45.6667

T3E 3 77.0000

T3B 3 93.6667

T3A 3 96.6667

T3C 3 1.3967E2

Sig. .808 1.000 .470 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 23,989.

Jumlah_inti_sel_ginjal * Perlakuan

Jumlah_inti_sel_ginjal

Perlaku

an Mean N Std. Deviation

T3A 96.6667 3 1.52753

T3B 93.6667 3 5.03322

T3C 1.3967E2 3 7.57188

T3D 44.6667 3 4.04145

T3E 77.0000 3 6.08276

T3F 45.6667 3 1.52753


(3)

terhadap kandungan antioksidan Cu,Zn-SOD

Univariate Analysis of Variance

Between-Subjects Factors

Value Label N

Perlakuan 1 T3A 3

2 T3B 3

3 T3C 3

4 T3D 3

5 T3E 3

6 T3F 3

Ulangan 1 6

2 6

3 6

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Jumlah_inti_sel_ginjal

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 100125.000a 8 12515.625 515.046 .000

Perlakuan 5832.667 5 1166.533 48.005 .000

Ulangan 114.333 2 57.167 2.353 .145

Error 243.000 10 24.300

Total 100368.000 18

a. R Squared = ,998 (Adjusted R Squared = ,996)

Post Hoc Tests

Perlakuan


(4)

Perlaku

an N

Subset

1 2 3

T3C 3 39.0000

T3A 3 62.0000

T3B 3 70.3333

T3E 3 83.6667

T3D 3 88.0000

T3F 3 91.0000

Sig. 1.000 .065 .112

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 24,300.

Jumlah_inti_sel_ginjal * Perlakuan

Jumlah_inti_sel_ginjal

Perlaku

an Mean N Std. Deviation

T3A 62.0000 3 1.00000

T3B 70.3333 3 6.65833

T3C 39.0000 3 5.29150

T3D 88.0000 3 1.73205

T3E 83.6667 3 8.08290

T3F 91.0000 3 6.08276


(5)

antioksidan Cu,Zn-SOD

Univariate Analysis of Variance

Between-Subjects Factors

Value Label N

Perlakuan 1 T3A 3

2 T3B 3

3 T3C 3

4 T3D 3

5 T3E 3

6 T3F 3

Ulangan 1 6

2 6

3 6

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Jumlah_inti_sel_ginjal

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 14116.444a 8 1764.556 349.033 .000

Perlakuan 3488.944 5 697.789 138.024 .000

Ulangan 18.111 2 9.056 1.791 .216

Error 50.556 10 5.056

Total 14167.000 18

a. R Squared = ,996 (Adjusted R Squared = ,994)

Post Hoc Tests

Perlakuan


(6)

Perlaku

an N

Subset

1 2 3

T3C 3 6.3333

T3B 3 16.3333

T3A 3 17.0000

T3E 3 20.0000

T3F 3 41.3333

T3D 3 44.6667

Sig. 1.000 .085 .099

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 5,056.

Jumlah_inti_sel_ginjal * Perlakuan

Jumlah_inti_sel_ginjal

Perlaku

an Mean N Std. Deviation

T3A 17.0000 3 1.00000

T3B 16.3333 3 2.51661

T3C 6.3333 3 .57735

T3D 44.6667 3 .57735

T3E 20.0000 3 .00000

T3F 41.3333 3 5.13160


Dokumen yang terkait

Pengaruh Stres Terhadap Gambaran Imunohistokimia Antioksidan Copper,Zinc Superoxide Dismutase (Cu,Zn-Sod) Pada Ginjal Tikus

0 7 62

Deteksi Secara Imunohistokimia Antioksidan Copper,Zinc-Superoxide Dismutase (Cu,Zn-Sod) Pada Hati Tikus Di Bawah Kondisi Stres

0 5 69

Deteksi secara imunohistokimia antioksidan superoxide dismutase (sod) pada jaringan tikus hiperkolesterolemia

0 7 2

Profil Imunohistokimia Antioksidan Copper, Zinc-Superoxide Dismutase (Cu,Zn-SOD) pada Jaringan Ginjal Tikus dengan Perlakuan Stres dan Pemberian a[alfa]-Tokoferol

0 9 10

Dampak pemberian tepung buah pare terhadap profil imunohistokimia antioksidan Copper, Zinc-Superoxide dismutase (Cu, Zn-SOD) pada jaringan ginjal tikus diabetes mellitus

0 8 49

Pengaruh pemberian isoflavon kedelai, mineral Zn dan vitamin E terhadap profil imunohistokimia antioksidan Cooper, Zinc-Superoxide Dismutase (Cu,Zn-SOD) pada jaringan hati tikus

0 11 64

Profil Imunohistokimia Antioksidan Cu,Zn SOD pada Jaringan Ginjal Tikus dengan Pemberian Isoflavon Kedelai, Vitamin E dan Mineral Zn

0 16 61

Profil imunohistokimia antioksidan superoksida dismutase (SOD) pada usus halus tikus yang diberi probiotik dan enteropathogenic e. coli (EPEC)

2 8 165

Efek probiotik indigenus pada profil imunohistokimia antioksidan superoksida dismutase (SOD) di hati tikus yang dipapar enteropathogenic Escherichia coli (EPEC)

0 8 146

Efek Pemberian Teripang Pasir (Holothuria scabra J) terhadap Profil Imunohistokimia Antioksidan Dismutase (SOD) pada Pankreas Tikus Diabetes

0 3 35