Kekerasan Fisik yang Dilakukan Orangtua Mengakibatkan Matinya Anak Kandung

perjanjian; d ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atai pemeliharaan kepada orang tersebut. Pasal 49 ayat 1 2. Menelantarkan orang yang bergantung secara ekonomi, dengan unsur-unsur yang harus dipenuhi yaitu: a setiap orang; b menelantarkan orang yang ketergantungan ekonomi karena dibatasi danatau dilarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut Pasal 49 ayat 2

4. Kekerasan Fisik yang Dilakukan Orangtua Mengakibatkan Matinya Anak Kandung

Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak secara konkret mengatur mengenai tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak kandungnya tetapi matinya korban dirumuskan sebagai akibat dari tindak pidana kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang di muat dalam Pasal 44 UU PKDRT yaitu : 1 Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 lima belas juta rupiah 2 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 tiga puluh juta rupiah 3 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 empat puluh lima juta rupiah 4 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencarian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 empat bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 lima juta rupiah Universitas Sumatera Utara Berdasarkan rumusan Pasal 44 ayat 3 UU PKDRT, maka untuk terbuktinya pasal ini harus dipenuhi unsur-unsur : a. Setiap orang b. Yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam ayat 2 c. Dalam lingkup rumah tangga d. Mengakibatkan matinya korban 67 Jika kita melihat frasa “perbuatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat 2” dalam Pasal 44 ayat 3 maka perbuatan pokok dalam pasal ini adalah melakukan perbuatan yang mengakibatkan korban “sakit” lalu “jatuh sakit atau luka berat”. Dengan demikian konstruksi selanjutnya dari pasal ini yakni frasa “mengakibatkan matinya korban”maka “matinya korban” muncul sebagai “sakit” yang menimbulkan “jatuh sakit atau luka berat” diderita korban. Dapat dikatakan “matinya korban” hanya merupakan akibat yang tidak dimaksud oleh pelaku. Jika konstruksinya pasal ini seharusnya sama dengan konstruksi Pasal 44 ayat 2 UU PKDRT yakni pemberatannya merupakan akibat yang tidak disengaja sehingga. Sehingga konstruksi dari Pasal 44 ayat 2 dan ayat 3 adalah jatuh sakit, luka berat dan matinya korban hanya “merupakan akibat kekerasan fisik yang tidak dimaksud”. hal hal 68 Matinya korban yang tidak dimaksud pelaku, merupakan ciri pembeda tindak pidana kekerasan fisik dalam UU PKDRT khususnya tindak pidana penganiayaan dalam KUHP pada umumnya dengan tindak pidana pembunuhan. Oleh karena kalau matinya korban adalah disengaja atau dimaksud oleh pelaku 67 Guse Prayudi, Op.Cit., hal 55 68 Ibid, hal 56 Universitas Sumatera Utara maka harus dijerat dengan pasal pembunuhan Pasal 338 KUHP 69 Dengan demikian, dengan melihat rumusan jadi dari kekerasan fisik yang mengakibatkan kematian dalam Pasal 44 ayat 3 UU PKDRT, nyata UU ini tetap membedakan antara “kekerasan fisik” dengan “pembunuhan. Hal ini harus digaris bawahi jangan sampai ada perkara sengaja menghilangkan nyawa orang lain pembunuhan dalam lingkup rumah tangga apalagi menghilangkan nyawa dengan direncanakan terlebih dahulu pembunuhan berencana diajukan sebagai perkara tindak pidana KDRT 70 Penerapan Pasal 44 ayat 3 UU PKDRT ini terdapat celah hukum, oleh karena “matinya korban” merupakan akibat dari “jatuh sakit atau luka beratnya korban”, maka akan muncul permasalahan jika terdapat kasus seperti berikut yaitu : pelaku dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu melakukan kekerasan fisik sehingga korban mengalami luka berat akhirnya korban mati. Kasus tersebut akan membawa dua 2 dampak yakni: 1 kasus diatas tetap dikategorikan tindak Lebih jelas lagi disebutkan oleh R.Soesilo 1976 untuk membedakan antara “kekerasan fisik yang mengakibatkan kematian” dengan “sengaja menghilangkan nyawa orang lain” adalah sebagai berikut: “luka berat atau mati di sini harus hanya merupakan akibat yang tidak dimaksud oleh si pembuat. Apabila kematian itu dimaksud maka perbuatan itu masuk pembunuhan Pasal 338 KUHP. Lain lagi halnya dengan seorang sopir yang mengendarai mobilnya kurang hati-hati menubruk orang sehingga mati. Perbuatan ini bukanlah suatu penganiayaan berakibat matinya orang Pasal 351 ayat 3, oleh karena sopir tidak ada pikiran maksud sama sekali untuk menganiaya, pun tidak masuk pembunuhan Pasal 338 KUHP karena kematian orang itu tidak dikehendaki oleh supir. Peristiwa itu dikenakan Pasal 359 KUHP karena salahnya menyebabkan matinya orang lain” 69 hal 56 70 hal 57 Universitas Sumatera Utara pidana KDRT dengan cara memberikan penadsiran bahwa “mengakibatkan jatuh sakit atau luka beratnya sehingga korban mati” dalam Pasal 44 ayat 3 UU PKDRT ini diartikan baik “sebagai akibat, sebagai maksuddisengaja maupun sebagai maksud yang direncanakan.” Meskipun hal ini dapat mempunyai dampak yuridis yang berat.; 2 kasus diatas bukan termasuk tindak pidana KDRT, penyidik atau penuntut umum, menggunakan aturan KUHP untuk menyelesaikan perkara tersebut, yakni apabila jatuh sakitluka berat sehingga korban mati dimaksuddisengaja pelaku diberlakukan Pasal 354 ayat 2 KUHP, apabila jatuh sakitluka berat sehingga korban mati dimaksuddisengaja dan direncanakan dahulu diberlakukan Pasal 355 ayat 2 KUHP. Universitas Sumatera Utara

BAB III FAKTOR – FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA

PEMBUNUHAN OLEH ORANGTUA TERHADAP ANAK KANDUNG Perkembangan teori-teori tentang kejahatan dewasa ini semakin luas dan faktor-faktor penyebab kejahatan tersebut dibagi dalam empat aliran, yaitu : 1. Aliran klasik Menurut aliran klasik ini, seorang individu tidak hanya hedonis tetapi juga rasional, dan dengan demikian selalu mengkalkulasi untung rugi dari setiap perbuatannya, termasuk ketika melakukan kejahatan. Kemampuan ini memberikan mereka tingkat kebebasan tertentu dalam memilih tindakan yang akan diambil apakah melakukan kejahatan atau tidak. Oleh karena itu, aliran ini berfaham indeterminasi mengenai kebebasan kehendak free will manusia yang menekankan pada perbuatan pelaku kejahatan. Mengingat kehidupan sosial diikat dengan kontrak sosial, maka setiap perbuatan yang melanggar norma-norma sosial yang berlaku dipandang sebagai tindakan menghianati kontrak sosial itu sendiri. Penghianatan terhadap kontrak sosial harus dihukum setimpal dengan kerugian yang ditimbulkan. 71 2. Aliran Neo-Klasik Aliran neo-klasik pada dasarnya bertolak pada pemikiran aliran klasik. Namun demikian para sarjana pada aliran neo-klasik ini justru menginginkan pembaharuan pemikiran dari aliran klasik setelah pada kenyataannya pemikiran 71 Indah Sri Utari, Aliran dan Teori dalam Kriminologi, Penerbit Thafa Media, Yogyakarta : 2012, hal 66- 67 Universitas Sumatera Utara pada aliran klasik justru menimbulkan ketidakadilan. Aliran neo-klasik tidak dilandaskan pada pemikiran ilmiah, namun aspek-aspek kondisi pelaku dan lingkungannya mulai diperhatikan. Hal tersebut yang bebeda dari aliran klasik. 72 3. Aliran Positif Secara garis besar aliran positifis membagi dirinya menjadi dua pandangan yaitu: a. Determinisme Biologis Teori-teori yang termasuk dalam aliran ini mendasari pemikiran bahwa perilaku manusia sepenuhnya tergantung pada pengaruh biologis yang ada pada dirinya. b. Determinisme Cultural Teori-teori yang masuk dalam aliran ini mendasari pemikiran mereka pada pengaruh sosial, budaya dari lingkungan di mana seseorang itu hidup. 73 4. Aliran Kritis Aliran kritis dikenal juga dengan istilah “Critical Criminology” atau “kriminologi baru”. Aliran kritis sesungguhnya memusatkan perhatian pada kritik terhadap intervensi kekuasaan dalam menentukan suuatu perbuatan sebagai kejahatan. Itulah sebabnya, aliran ini menggugat eksistensi hukum pidana. Pendukung aliran ini menganggap bahwa pihak-pihak yang membuat hukum pidana hanyalah sekolompok kecil dari anggota masyarakat yang kebetulan memiiki kekuasaan untuk membuat dan membentuk hukum pidana tersebut. Jadi, 72 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2001, hal 22 73 Ibid, hal 23 Universitas Sumatera Utara hal yang dikatakan sebagai kejahatan dalam hukum pidana dapat saja dianggap oleh masyarakat umum sebagai hal yang bukan tindak kejahatan tidak jahat. Dan tentunya, hal tersebut terjadi jika persepsi para pembuat hukum pidana berbeda dengan persepsi masyarakat luas pada umumnya. 74 a. Hubungan antara kondisi-kondisi ekonomi dengan kriminalitas. Buku-buku kriminologi lainnya juga dapat memuat beberapa teori-teori mengenai faktor–faktor penyebab terjadinya kejahatan yaitu teori-teori yang berpusat kepada pengaruh-pengaruh kebudayaan. Teori-teori ini sama sekali mengabaikan arti dari pada struktur biologis dan psikologis dari pada individu. Dalam pada itu keterangan tentang sebab-musabab kejahatan dicarinya dalam beberapa keadaan-keadaan seperti : Pendapat bahwa kehidupan ekonomi adalah fundamental, dan oleh karena itu merupakan pengaruh yang menentukan kehidupan sosial dan kultural. Teori- teori determinisme ekonomi menganggap bahwa kehidupan sosial umumnya sangat dipengaruhi oleh sistem ekonomi yang ada, maka dianggap bahwa masalah-masalah sosial misalnya kejahatan, juga merupakan hasil dari dan dipengaruhi oleh kehidupan ekonomi yang ada. Dalam bidang ini sering tidak ada perspektif yang dapat dibuat berdasarkan asumsi teoritis mengenai hubungan- hubungan yang mungkin ada antara kondisi ekonomi dengan kejahatan. Kesimpulannya adalah, bahwa hubungan umum antara kondisi ekonomi dengan kejahatan adalah demikian tidak menentunya, sehingga tidak dapat ditarik kesimpulan yang tjelas dan tegas. Oleh karena itu ada suatu kecenderungan untuk 74 Sri Utari, Indah, Op.Cit., hal 84 Universitas Sumatera Utara menerima kondisi ekonomi hanya sebagai salah satu faktor lingkungan dalam faktor-faktor yang multiple sifatnya, yang ada hubungan-hubungannya dengan kejahatan. b. Teori Differensial Association Teori ini dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland, seorang ahli sosiologi Amerika dalam bukunya Principles of Criminology 1934. Terdapat dua versi teori Asosiasi Diferensial, yaitu yang pertama dalam buku Principles of Criminology yang menurunkan tiga pokok soal sebagai intisari dari teorinya: 1. Any person can be trained to adopt and follow any pattern of behavior which he is able to execute. tiap orang akan menerima dan mengikuti pola-pola perilaku yang dapat dilaksanakan 2. Failure to follow a prescribed pattern of behavior is due to the inconsistencies and lack of harmony in the influences which direct the individual. kegagalan mengikuti suatu pola tingkah laku yang seharusnya akan menimbulkan inkonsistensi dan ketidakharomonisan. 3. The confilct of cultures is therefore the fundamental principle in the explenation of crime. konflik budaya merupakan prinsip dasar dalam menjelaskan kejahatan. 75 Pada tahun 1947 Edwin H. Sutherland menyajikan versi kedua dari teori Differntial Association dan menjelaskan sembilan 9 jalan proses terjadinya kejahatan, yaitu: 75 Ibid, hal 90 Universitas Sumatera Utara 1. Tingkah laku jahat itu dipelajari. Sutherland menyatakan bahwa tingkah laku itu tidak diwarisi sehingga tidak mungkin ada orang yang jahat secara mekanis. 2. Tingkah laku jahat itu dipelajari dari orang-orang lain dalam suatu proses inteaksi. 3. Bagian yang terpenting dari tingkah laku jahat yang dipelajari, diperoleh dalam kelompok pergaulan yang akrab. 4. Ketika perilaku kejahatan itu dipelajari, maka yang ddipelajari adalah : a cara melakukan kejahatan itu baik yang sulit maupun yang sederhana. b bimbingan yang bersifat khusus mengenai motif, rasionalisasi, serangan dan sikap. 5. Bimbingan yang bersifat khusus mengenai motif dan serangan itu dipelajari dari penafsiran terhadap undang-undang. 6. Seseorang menjadi delinkuen karena akses pola-pola pikir yang lebih melihat aturan hukum sebagai pemberi peuang melakukan kejahatan daripada melihat dhukum sebagai sesuatu yang harus diperhatikan dan dipatuhi. 7. Asosiasi diferensial bervariasi dalam frekuensi, durasi, serta intensitasnya. 8. Proses mempelajari perilaku jahat diperoleh melalui hubungan dengan pola- pola kejahatan dan mekanisme yang lazim terjadi dalam setiap proses belajar secara umum. 9. Sekalipun perilaku jahat merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai, namun tingkah laku kriminal tersebut tidak menjelaskan melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai dimaksud, sebab tingkah laku non kriminal Universitas Sumatera Utara pun merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama. 76 c. Teori Anomi Istilah anomie dipergunakan oleh dua tokoh yaitu Emile Durkheim dan Robert K. Merton.Teori anomi ialah adanya pembagian antara tujuan-tujuan dan sarana-sarana dalam suatu masyarakat yang terstruktur.Misalnya adanya perbedaan kelas-kelas sosial yang menimbulkan adanya perbedaan tujuan dan sarana yang tersedia. Menurut Merton, dalam setiap masyarakat terdapat tujuan- tujuan tertentu yang ditanamkan kepada seluruh warganya. Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat sarana-sarana yang dipergunakan.Tetapi dalam kenyataan tidak setiap orang dapat menggunakan sarana-sarana yang tersedia. Hal ini menyebabkan penggunaan cara yang tidak sah dalam mencapai tujuan. Setiap masyarakat selalu terdapat struktur sosial. Struktur sosial, yang berbentuk kelas-kelas, menyebabkan adanya perbedaan-perbedaan kesempatan dalam mencapai suatu tujuan. Misalnya, mereka yang kelas yang rendah mempunyai kesempatan yang lebih kecil dalam mencapai sebuah tujuan bila dibandingkan dengan mereka yang mempunyai kelas yang tinggi. 77 d. Teori Labeling Jika teori-teori sebelumnya terlalu menekankan pada soal watak atau perilaku, maka yang ingin dipersoalkan sekarang ialah bagaimana masyarakat bereaksi terhadap devian. Teori labeling menaruh perhatiannya terhadap rakyat lapisan bawah, golongan minoritas dan seterusnya. Selanjutnya mempersoalkan 76 Ibid hal 91-92 77 Made Darma Weda, Kriminologi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal 32 Universitas Sumatera Utara tentang kekuasaan yang diperoleh oleh mereka yang berkuasa yang dapat menekankan labeling yang dikehendaki terhadap kaum lemah ini. Dengan adanya perhatian terhadap rakyat lapisan bawah, golongan minoritas dari teori labeling, berartu teori labeling lebih mengutamakan dalam memberikan perlindungan hak asasi manusia bagi pihak penyelenggara negara yang diberi kekuasaan oleh rakyatnya untuk mewujudkan tujuan nasional. 78 e. Teori Sobural Teori sobural dikenalkan oleh J.E Sahetapy. Sahetapy menggunakan istilah sobural sebagai akronim, dari nilai-nilai sosial, aspek budaya dan faktor stuktur dari suatu masyarakat tertentu, konsep dan pendekatan sobural harus menyadari bahwa orang tidak akan selalu duduk di puncak bayonet dan tugas dari penegak hukum adalah merekayasa hukum dalam suatu konsep sobural, agar masyarakat merasa hidup dalam kesejahteraan yang bukan palsu. Merekayasa hukum harus berwujud kesejahteraan yang penuh kedamaian, sehingga orang fisik lari, walaupun tidak ada yang mengejar. Konsep sobural, terlepas dari makna yuridis tentang apa itu kejahatan. Para ahli atau pakar melihat akar permahsalahan kejahatan tidak selalu sama, bahkan pihak penegak hukum acapkali memiliki sudut pandang tersendiri. Yang sering tidak diperhatikan atau acap kali dilupakan, akar permasalahan kejahatan di anggap wajar kalau itu semata-mata terjadi keprihatinan pihak penegak hukum. Untuk mewujudkan teori sobural bawha politik kriminal sebagai bagian integral politik sosial, bukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kejahatan, 78 Abdussalam, Kriminologi, Restu Agung, Jakarta:2002, hal 88 Universitas Sumatera Utara melainkan merekayasa hukum dalam kebenaran dan keadilan agar terciptanya kedamaian dan kesejahteraan. 79 Zastrow Browker 1984 menyatakan bahwa ada tiga teori utama yang mampu menjelaskan Penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga :, yaitu teori biologis, teori frustasi-agresi, dan teori kontrol. 80 Kedua, teori frustasi-agresi menyatakan bahwa kekerasan sebagai suatu cara untuk mengurangi ketegangan yang dihasilkan situasi frustasi. Teori ini berasal dari suatu pendapat yang masuk akal bahwa sesorang yang frustasi sering menjadi terlibat dalam tindakan agresif. Orang frustasi sering menyerang sumber frustasinya atau memindahkan frustasinya ke orang lain. Misalnya. Seorang remaja teenager yang diejek oleh orang lain mungkin membalas dendam, sama halnya seekor binatang kesayangan yang digoda. Seorang pengangguran yang tidak dapat mendapatkan pekerjaan mungkin memukul istri dan anak-anaknya. Pertama,teori biologis menjelaskan bahwa manusia, seperti juga hewan, memiliki suatu instink agressif yang sudah dibawa sejak lahir. Sigmund Freud menteorikan bahwa manusia mempunyai suatu keinginan akan kematian yang mengarahkan manusia-manusia itu untuk menikmati tindakan melukai dan membunuh orang lain dan dirinya sendiri. Robert Ardery yang menyarankan bahwa manusia memiliki instink untuk menaklukkan dan mengontrol wilayah, yang sering mengarahkan pada perilaku konflik antar pribadi yang penuh kekerasan. Konrad Lorenz menegaskan bahwa agresi dan kekerasan adalah sangat berguna untuk survive. 79 Ibid, hal 109-110 80 Zastrow Browker dalam Rochmat wahab, Op.cit., hal 6-7 Universitas Sumatera Utara Ketiga,teori ini menjelaskan bahwa orang-orang yang hubungannya dengan orang lain tidak memuaskan dan tidak tepat adalah mudah untuk terpaksa berbuat kekerasan ketika usaha-usahnya untuk berhubungan dengan orang lain menghadapi situasi frusstasi. Teori ini berpegang bahwa orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan orang lain yang sangat berarti cenderung lebih mampu dengan baik mengontrol dan mengendalikan perilakunya yang impulsif. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, matinya korban dalam hal ini anak kandung yang pelakunya adalah orangtua merupakan akibat dari kekerasan fisik. Seperti yang dijelaskan dalam bab sebelumnya, Pada Pasal 80 ayat 3 dan 4 UU Nomor 23 Tahun 2002 disebutkan bahwa kematian anak disebabkan karena orangtua yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak dan pada Pasal 44 ayat 3 UU PKDRT mengatur bahwa “dalam hal perbuatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat 2” kekerasan fisik mengakibatkan matinya korban. Artinya matinya korban dalam hal ini anak kandung merupakan akibat dari tindak pidana kekerasan fisik yang dilakukan oleh orangtuanya. Maka dari itu, dalam bab ini akan dibahas mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya pembunuhan oleh orangtua terhadap anak kandung yang kematian korban disebabkan karena kekerasan fisik dari orangtua dan untuk mengetahui faktor-faktor atau penyebab seseorang melakukan kejahatan, akan ditinjau dari hal-hal yang terdapat dari kriminologi. Karena menurut Bonger, kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan Universitas Sumatera Utara seluas-luasnya. Sutherland menyatakan bahwa kriminologi mencakup proses- proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas pelanggaran hukum. 81

A. Faktor Interen Intern Factor

Dokumen yang terkait

Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

2 50 101

Tindak Pidana Kelalaian Berlalu Lintas Yang Menyebabkan Orang Lain Meninggal Dunia Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Putusan Nomor : 579/Pid.Sus/2013/PN.DPS)

2 67 120

Sistem Peradilan Pidana yang Edukatif Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana (Studi di Kabupaten Simalungun).

2 76 133

Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Yang Dilakukan Oleh Anak Di Bawah Umur Dan Penerapan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Padang Sidimpuan No:770/Pid.Su

1 85 157

Pengajuan Praperadilan Oleh Pihak Tersangka Terhadap Sah Atau Tidaknya Penahanan Yang Dilakukan Penyidik Kejaksaan Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor.01/PID/PRA.PER/2011/PN. STB.)

1 81 145

Pola Asuh Orangtua Difabel Terhadap Anak Yang Normal (Studi Deskriptif: Pada Keluarga Pasangan Tunanetra Yang Bekerja Sebagai Tukang Pijat di Kelurahan Sei Sikambing D Medan).

8 167 106

Analisis Yuridis Tndak Pidana Narkotika Yang dilakukan oleh Anak

19 195 122

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI BAWAH UMUR Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Yang Dilakukan Oleh Anak Di Bawah Umur.

4 20 19

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN ORANGTUA TERHADAP ANAK KANDUNGNYA A. Tindak Pidana Pembunuhan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) - Analisis Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Y

1 2 36

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Yang Dilakukan Orangtua Terhadap Anak Kandungnya

1 2 31