perjanjian; d ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atai pemeliharaan kepada orang tersebut. Pasal 49 ayat 1
2. Menelantarkan orang yang bergantung secara ekonomi, dengan unsur-unsur
yang harus dipenuhi yaitu: a setiap orang; b menelantarkan orang yang ketergantungan ekonomi karena dibatasi danatau dilarang untuk bekerja
yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut Pasal 49 ayat 2
4. Kekerasan Fisik yang Dilakukan Orangtua Mengakibatkan Matinya Anak Kandung
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak secara konkret mengatur mengenai tindak pidana pembunuhan yang dilakukan
oleh orangtua terhadap anak kandungnya tetapi matinya korban dirumuskan sebagai akibat dari tindak pidana kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
yang di muat dalam Pasal 44 UU PKDRT yaitu : 1
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 lima belas juta rupiah
2 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan
korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun atau denda paling banyak Rp
30.000.000,00 tiga puluh juta rupiah
3 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan
matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 empat puluh
lima juta rupiah
4 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh
suami terhadap istri atau sebaliknya yang menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencarian atau
kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 empat bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 lima juta
rupiah
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan rumusan Pasal 44 ayat 3 UU PKDRT, maka untuk terbuktinya pasal ini harus dipenuhi unsur-unsur :
a. Setiap orang
b. Yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam ayat 2
c. Dalam lingkup rumah tangga
d. Mengakibatkan matinya korban
67
Jika kita melihat frasa “perbuatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat 2” dalam Pasal 44 ayat 3 maka perbuatan pokok dalam pasal ini adalah
melakukan perbuatan yang mengakibatkan korban “sakit” lalu “jatuh sakit atau luka berat”. Dengan demikian konstruksi selanjutnya dari pasal ini yakni frasa
“mengakibatkan matinya korban”maka “matinya korban” muncul sebagai “sakit” yang menimbulkan “jatuh sakit atau luka berat” diderita korban. Dapat dikatakan
“matinya korban” hanya merupakan akibat yang tidak dimaksud oleh pelaku. Jika konstruksinya pasal ini seharusnya sama dengan konstruksi Pasal 44 ayat 2 UU
PKDRT yakni pemberatannya merupakan akibat yang tidak disengaja sehingga. Sehingga konstruksi dari Pasal 44 ayat 2 dan ayat 3 adalah jatuh sakit, luka
berat dan matinya korban hanya “merupakan akibat kekerasan fisik yang tidak dimaksud”.
hal hal
68
Matinya korban yang tidak dimaksud pelaku, merupakan ciri pembeda tindak pidana kekerasan fisik dalam UU PKDRT khususnya tindak pidana
penganiayaan dalam KUHP pada umumnya dengan tindak pidana pembunuhan. Oleh karena kalau matinya korban adalah disengaja atau dimaksud oleh pelaku
67
Guse Prayudi, Op.Cit., hal 55
68
Ibid, hal 56
Universitas Sumatera Utara
maka harus dijerat dengan pasal pembunuhan Pasal 338 KUHP
69
Dengan demikian, dengan melihat rumusan jadi dari kekerasan fisik yang mengakibatkan
kematian dalam Pasal 44 ayat 3 UU PKDRT, nyata UU ini tetap membedakan antara “kekerasan fisik” dengan “pembunuhan. Hal ini harus digaris bawahi
jangan sampai ada perkara sengaja menghilangkan nyawa orang lain pembunuhan dalam lingkup rumah tangga apalagi menghilangkan nyawa
dengan direncanakan terlebih dahulu pembunuhan berencana diajukan sebagai perkara tindak pidana KDRT
70
Penerapan Pasal 44 ayat 3 UU PKDRT ini terdapat celah hukum, oleh karena “matinya korban” merupakan akibat dari “jatuh sakit atau luka beratnya
korban”, maka akan muncul permasalahan jika terdapat kasus seperti berikut yaitu : pelaku dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu melakukan kekerasan
fisik sehingga korban mengalami luka berat akhirnya korban mati. Kasus tersebut akan membawa dua 2 dampak yakni: 1 kasus diatas tetap dikategorikan tindak
Lebih jelas lagi disebutkan oleh R.Soesilo 1976 untuk membedakan antara “kekerasan fisik yang mengakibatkan kematian” dengan “sengaja
menghilangkan nyawa orang lain” adalah sebagai berikut: “luka berat atau mati di sini harus hanya merupakan akibat yang tidak dimaksud
oleh si pembuat. Apabila kematian itu dimaksud maka perbuatan itu masuk pembunuhan Pasal 338 KUHP. Lain lagi halnya dengan seorang sopir yang
mengendarai mobilnya kurang hati-hati menubruk orang sehingga mati. Perbuatan ini bukanlah suatu penganiayaan berakibat matinya orang Pasal 351 ayat 3, oleh
karena sopir tidak ada pikiran maksud sama sekali untuk menganiaya, pun tidak masuk pembunuhan Pasal 338 KUHP karena kematian orang itu tidak
dikehendaki oleh supir. Peristiwa itu dikenakan Pasal 359 KUHP karena salahnya menyebabkan matinya orang lain”
69
hal 56
70
hal 57
Universitas Sumatera Utara
pidana KDRT dengan cara memberikan penadsiran bahwa “mengakibatkan jatuh sakit atau luka beratnya sehingga korban mati” dalam Pasal 44 ayat 3 UU
PKDRT ini diartikan baik “sebagai akibat, sebagai maksuddisengaja maupun sebagai maksud yang direncanakan.” Meskipun hal ini dapat mempunyai dampak
yuridis yang berat.; 2 kasus diatas bukan termasuk tindak pidana KDRT, penyidik atau penuntut umum, menggunakan aturan KUHP untuk menyelesaikan
perkara tersebut, yakni apabila jatuh sakitluka berat sehingga korban mati dimaksuddisengaja pelaku diberlakukan Pasal 354 ayat 2 KUHP, apabila jatuh
sakitluka berat sehingga korban mati dimaksuddisengaja dan direncanakan dahulu diberlakukan Pasal 355 ayat 2 KUHP.
Universitas Sumatera Utara
BAB III FAKTOR – FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN OLEH ORANGTUA TERHADAP ANAK KANDUNG
Perkembangan teori-teori tentang kejahatan dewasa ini semakin luas dan faktor-faktor penyebab kejahatan tersebut dibagi dalam empat aliran, yaitu :
1. Aliran klasik
Menurut aliran klasik ini, seorang individu tidak hanya hedonis tetapi juga rasional, dan dengan demikian selalu mengkalkulasi untung rugi dari setiap
perbuatannya, termasuk ketika melakukan kejahatan. Kemampuan ini memberikan mereka tingkat kebebasan tertentu dalam memilih tindakan yang
akan diambil apakah melakukan kejahatan atau tidak. Oleh karena itu, aliran ini berfaham indeterminasi mengenai kebebasan
kehendak free will manusia yang menekankan pada perbuatan pelaku kejahatan. Mengingat kehidupan sosial diikat dengan kontrak sosial, maka setiap perbuatan
yang melanggar norma-norma sosial yang berlaku dipandang sebagai tindakan menghianati kontrak sosial itu sendiri. Penghianatan terhadap kontrak sosial harus
dihukum setimpal dengan kerugian yang ditimbulkan.
71
2. Aliran Neo-Klasik
Aliran neo-klasik pada dasarnya bertolak pada pemikiran aliran klasik. Namun demikian para sarjana pada aliran neo-klasik ini justru menginginkan
pembaharuan pemikiran dari aliran klasik setelah pada kenyataannya pemikiran
71
Indah Sri Utari, Aliran dan Teori dalam Kriminologi, Penerbit Thafa Media, Yogyakarta : 2012, hal 66- 67
Universitas Sumatera Utara
pada aliran klasik justru menimbulkan ketidakadilan. Aliran neo-klasik tidak dilandaskan pada pemikiran ilmiah, namun aspek-aspek kondisi pelaku dan
lingkungannya mulai diperhatikan. Hal tersebut yang bebeda dari aliran klasik.
72
3. Aliran Positif
Secara garis besar aliran positifis membagi dirinya menjadi dua pandangan yaitu:
a. Determinisme Biologis
Teori-teori yang termasuk dalam aliran ini mendasari pemikiran bahwa perilaku manusia sepenuhnya tergantung pada pengaruh biologis yang
ada pada dirinya. b.
Determinisme Cultural Teori-teori yang masuk dalam aliran ini mendasari pemikiran mereka
pada pengaruh sosial, budaya dari lingkungan di mana seseorang itu hidup.
73
4. Aliran Kritis
Aliran kritis dikenal juga dengan istilah “Critical Criminology” atau “kriminologi baru”. Aliran kritis sesungguhnya memusatkan perhatian pada kritik
terhadap intervensi kekuasaan dalam menentukan suuatu perbuatan sebagai kejahatan. Itulah sebabnya, aliran ini menggugat eksistensi hukum pidana.
Pendukung aliran ini menganggap bahwa pihak-pihak yang membuat hukum pidana hanyalah sekolompok kecil dari anggota masyarakat yang kebetulan
memiiki kekuasaan untuk membuat dan membentuk hukum pidana tersebut. Jadi,
72
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2001, hal 22
73
Ibid, hal 23
Universitas Sumatera Utara
hal yang dikatakan sebagai kejahatan dalam hukum pidana dapat saja dianggap oleh masyarakat umum sebagai hal yang bukan tindak kejahatan tidak jahat.
Dan tentunya, hal tersebut terjadi jika persepsi para pembuat hukum pidana berbeda dengan persepsi masyarakat luas pada umumnya.
74
a. Hubungan antara kondisi-kondisi ekonomi dengan kriminalitas.
Buku-buku kriminologi lainnya juga dapat memuat beberapa teori-teori mengenai faktor–faktor penyebab terjadinya kejahatan yaitu teori-teori yang
berpusat kepada pengaruh-pengaruh kebudayaan. Teori-teori ini sama sekali mengabaikan arti dari pada struktur biologis dan psikologis dari pada individu.
Dalam pada itu keterangan tentang sebab-musabab kejahatan dicarinya dalam beberapa keadaan-keadaan seperti :
Pendapat bahwa kehidupan ekonomi adalah fundamental, dan oleh karena itu merupakan pengaruh yang menentukan kehidupan sosial dan kultural. Teori-
teori determinisme ekonomi menganggap bahwa kehidupan sosial umumnya sangat dipengaruhi oleh sistem ekonomi yang ada, maka dianggap bahwa
masalah-masalah sosial misalnya kejahatan, juga merupakan hasil dari dan dipengaruhi oleh kehidupan ekonomi yang ada. Dalam bidang ini sering tidak ada
perspektif yang dapat dibuat berdasarkan asumsi teoritis mengenai hubungan- hubungan yang mungkin ada antara kondisi ekonomi dengan kejahatan.
Kesimpulannya adalah, bahwa hubungan umum antara kondisi ekonomi dengan kejahatan adalah demikian tidak menentunya, sehingga tidak dapat ditarik
kesimpulan yang tjelas dan tegas. Oleh karena itu ada suatu kecenderungan untuk
74
Sri Utari, Indah, Op.Cit., hal 84
Universitas Sumatera Utara
menerima kondisi ekonomi hanya sebagai salah satu faktor lingkungan dalam faktor-faktor yang multiple sifatnya, yang ada hubungan-hubungannya dengan
kejahatan. b.
Teori Differensial Association Teori ini dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland, seorang ahli sosiologi
Amerika dalam bukunya Principles of Criminology 1934. Terdapat dua versi teori Asosiasi Diferensial, yaitu yang pertama dalam buku Principles of
Criminology yang menurunkan tiga pokok soal sebagai intisari dari teorinya: 1.
Any person can be trained to adopt and follow any pattern of behavior which he is able to execute. tiap orang akan menerima dan mengikuti pola-pola
perilaku yang dapat dilaksanakan 2.
Failure to follow a prescribed pattern of behavior is due to the inconsistencies and lack of harmony in the influences which direct the
individual. kegagalan mengikuti suatu pola tingkah laku yang seharusnya akan menimbulkan inkonsistensi dan ketidakharomonisan.
3. The confilct of cultures is therefore the fundamental principle in the
explenation of crime. konflik budaya merupakan prinsip dasar dalam menjelaskan kejahatan.
75
Pada tahun 1947 Edwin H. Sutherland menyajikan versi kedua dari teori Differntial Association dan menjelaskan sembilan 9 jalan proses terjadinya
kejahatan, yaitu:
75
Ibid, hal 90
Universitas Sumatera Utara
1. Tingkah laku jahat itu dipelajari. Sutherland menyatakan bahwa tingkah laku
itu tidak diwarisi sehingga tidak mungkin ada orang yang jahat secara mekanis.
2. Tingkah laku jahat itu dipelajari dari orang-orang lain dalam suatu proses
inteaksi. 3.
Bagian yang terpenting dari tingkah laku jahat yang dipelajari, diperoleh dalam kelompok pergaulan yang akrab.
4. Ketika perilaku kejahatan itu dipelajari, maka yang ddipelajari adalah : a
cara melakukan kejahatan itu baik yang sulit maupun yang sederhana. b bimbingan yang bersifat khusus mengenai motif, rasionalisasi, serangan dan
sikap. 5.
Bimbingan yang bersifat khusus mengenai motif dan serangan itu dipelajari dari penafsiran terhadap undang-undang.
6. Seseorang menjadi delinkuen karena akses pola-pola pikir yang lebih melihat
aturan hukum sebagai pemberi peuang melakukan kejahatan daripada melihat dhukum sebagai sesuatu yang harus diperhatikan dan dipatuhi.
7. Asosiasi diferensial bervariasi dalam frekuensi, durasi, serta intensitasnya.
8. Proses mempelajari perilaku jahat diperoleh melalui hubungan dengan pola-
pola kejahatan dan mekanisme yang lazim terjadi dalam setiap proses belajar secara umum.
9. Sekalipun perilaku jahat merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan
nilai-nilai, namun tingkah laku kriminal tersebut tidak menjelaskan melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai dimaksud, sebab tingkah laku non kriminal
Universitas Sumatera Utara
pun merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama.
76
c. Teori Anomi
Istilah anomie dipergunakan oleh dua tokoh yaitu Emile Durkheim dan Robert K. Merton.Teori anomi ialah adanya pembagian antara tujuan-tujuan dan
sarana-sarana dalam suatu masyarakat yang terstruktur.Misalnya adanya perbedaan kelas-kelas sosial yang menimbulkan adanya perbedaan tujuan dan
sarana yang tersedia. Menurut Merton, dalam setiap masyarakat terdapat tujuan- tujuan tertentu yang ditanamkan kepada seluruh warganya. Untuk mencapai
tujuan tersebut, terdapat sarana-sarana yang dipergunakan.Tetapi dalam kenyataan tidak setiap orang dapat menggunakan sarana-sarana yang tersedia. Hal ini
menyebabkan penggunaan cara yang tidak sah dalam mencapai tujuan. Setiap masyarakat selalu terdapat struktur sosial. Struktur sosial, yang
berbentuk kelas-kelas, menyebabkan adanya perbedaan-perbedaan kesempatan dalam mencapai suatu tujuan. Misalnya, mereka yang kelas yang rendah
mempunyai kesempatan yang lebih kecil dalam mencapai sebuah tujuan bila dibandingkan dengan mereka yang mempunyai kelas yang tinggi.
77
d. Teori Labeling
Jika teori-teori sebelumnya terlalu menekankan pada soal watak atau perilaku, maka yang ingin dipersoalkan sekarang ialah bagaimana masyarakat
bereaksi terhadap devian. Teori labeling menaruh perhatiannya terhadap rakyat lapisan bawah, golongan minoritas dan seterusnya. Selanjutnya mempersoalkan
76
Ibid hal 91-92
77
Made Darma Weda, Kriminologi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal 32
Universitas Sumatera Utara
tentang kekuasaan yang diperoleh oleh mereka yang berkuasa yang dapat menekankan labeling yang dikehendaki terhadap kaum lemah ini. Dengan adanya
perhatian terhadap rakyat lapisan bawah, golongan minoritas dari teori labeling, berartu teori labeling lebih mengutamakan dalam memberikan perlindungan hak
asasi manusia bagi pihak penyelenggara negara yang diberi kekuasaan oleh rakyatnya untuk mewujudkan tujuan nasional.
78
e. Teori Sobural
Teori sobural dikenalkan oleh J.E Sahetapy. Sahetapy menggunakan istilah sobural sebagai akronim, dari nilai-nilai sosial, aspek budaya dan faktor
stuktur dari suatu masyarakat tertentu, konsep dan pendekatan sobural harus menyadari bahwa orang tidak akan selalu duduk di puncak bayonet dan tugas dari
penegak hukum adalah merekayasa hukum dalam suatu konsep sobural, agar masyarakat merasa hidup dalam kesejahteraan yang bukan palsu. Merekayasa
hukum harus berwujud kesejahteraan yang penuh kedamaian, sehingga orang fisik lari, walaupun tidak ada yang mengejar.
Konsep sobural, terlepas dari makna yuridis tentang apa itu kejahatan. Para ahli atau pakar melihat akar permahsalahan kejahatan tidak selalu sama,
bahkan pihak penegak hukum acapkali memiliki sudut pandang tersendiri. Yang sering tidak diperhatikan atau acap kali dilupakan, akar permasalahan kejahatan di
anggap wajar kalau itu semata-mata terjadi keprihatinan pihak penegak hukum. Untuk mewujudkan teori sobural bawha politik kriminal sebagai bagian integral
politik sosial, bukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kejahatan,
78
Abdussalam, Kriminologi, Restu Agung, Jakarta:2002, hal 88
Universitas Sumatera Utara
melainkan merekayasa hukum dalam kebenaran dan keadilan agar terciptanya kedamaian dan kesejahteraan.
79
Zastrow Browker 1984 menyatakan bahwa ada tiga teori utama yang mampu menjelaskan Penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga :, yaitu
teori biologis, teori frustasi-agresi, dan teori kontrol.
80
Kedua, teori frustasi-agresi menyatakan bahwa kekerasan sebagai suatu
cara untuk mengurangi ketegangan yang dihasilkan situasi frustasi. Teori ini berasal dari suatu pendapat yang masuk akal bahwa sesorang yang frustasi sering
menjadi terlibat dalam tindakan agresif. Orang frustasi sering menyerang sumber frustasinya atau memindahkan frustasinya ke orang lain. Misalnya. Seorang
remaja teenager yang diejek oleh orang lain mungkin membalas dendam, sama halnya seekor binatang kesayangan yang digoda. Seorang pengangguran yang
tidak dapat mendapatkan pekerjaan mungkin memukul istri dan anak-anaknya.
Pertama,teori biologis menjelaskan bahwa manusia, seperti juga hewan, memiliki suatu instink agressif yang sudah dibawa sejak lahir. Sigmund Freud
menteorikan bahwa manusia mempunyai suatu keinginan akan kematian yang mengarahkan manusia-manusia itu untuk menikmati tindakan melukai dan
membunuh orang lain dan dirinya sendiri. Robert Ardery yang menyarankan bahwa manusia memiliki instink untuk menaklukkan dan mengontrol wilayah,
yang sering mengarahkan pada perilaku konflik antar pribadi yang penuh kekerasan. Konrad Lorenz menegaskan bahwa agresi dan kekerasan adalah sangat
berguna untuk survive.
79
Ibid, hal 109-110
80
Zastrow Browker dalam Rochmat wahab, Op.cit., hal 6-7
Universitas Sumatera Utara
Ketiga,teori ini menjelaskan bahwa orang-orang yang hubungannya dengan orang lain tidak memuaskan dan tidak tepat adalah mudah untuk terpaksa
berbuat kekerasan ketika usaha-usahnya untuk berhubungan dengan orang lain menghadapi situasi frusstasi. Teori ini berpegang bahwa orang-orang yang
memiliki hubungan erat dengan orang lain yang sangat berarti cenderung lebih
mampu dengan baik mengontrol dan mengendalikan perilakunya yang impulsif.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, matinya korban dalam hal ini anak kandung yang pelakunya adalah orangtua merupakan akibat dari kekerasan fisik. Seperti yang dijelaskan
dalam bab sebelumnya, Pada Pasal 80 ayat 3 dan 4 UU Nomor 23 Tahun 2002 disebutkan bahwa kematian anak disebabkan karena orangtua yang melakukan
kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak dan pada Pasal 44 ayat 3 UU PKDRT mengatur bahwa “dalam hal perbuatan
sebagaimana yang dimaksud pada ayat 2” kekerasan fisik mengakibatkan matinya korban. Artinya matinya korban dalam hal ini anak kandung merupakan
akibat dari tindak pidana kekerasan fisik yang dilakukan oleh orangtuanya. Maka dari itu, dalam bab ini akan dibahas mengenai faktor-faktor
penyebab terjadinya pembunuhan oleh orangtua terhadap anak kandung yang kematian korban disebabkan karena kekerasan fisik dari orangtua dan untuk
mengetahui faktor-faktor atau penyebab seseorang melakukan kejahatan, akan ditinjau dari hal-hal yang terdapat dari kriminologi. Karena menurut Bonger,
kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan
Universitas Sumatera Utara
seluas-luasnya. Sutherland menyatakan bahwa kriminologi mencakup proses- proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas pelanggaran
hukum.
81
A. Faktor Interen Intern Factor