Pengajuan Praperadilan Oleh Pihak Tersangka Terhadap Sah Atau Tidaknya Penahanan Yang Dilakukan Penyidik Kejaksaan Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor.01/PID/PRA.PER/2011/PN. STB.)

(1)

PENGAJUAN PRAPERADILAN OLEH PIHAK TERSANGKA TERHADAP SAH ATAU TIDAKNYA PENAHANAN YANG DILAKUKAN

PENYIDIK KEJAKSAAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan Nomor.01/Pid/Pra.Per/2011/PN. STB.)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

DIAN NOVITA SARI 080200019

Departemen Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENGAJUAN PRAPERADILAN OLEH PIHAK TERSANGKA TERHADAP SAH ATAU TIDAKNYA PENAHANAN YANG DILAKUKAN

PENYIDIK KEJAKSAAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan Nomor.01/Pid/Pra.Per/2011/PN. STB.)

S K R I P S I

Ditijukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Melengkapi Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

DIAN NOVITA SARI 080200019

Departemen Hukum Pidana

Disetujui oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

(DR. M.Hamdan, SH., MH.) NIP: 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Abul Khair, S.H., M.Hum) (Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum.)

NIP.196107021989031001 NIP.197407252002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

DAFTAR ISI

Abstraksi ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 8

D. Keaslian Penulisan... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ... 10

1. Pengertian, Tujuan dan Wewenang Praperadilan ... 10

1.1.Pengertian Praperadilan... 10

1.2.Tujuan Praperadilan... 11

1.3.Wewenang Praperadilan... 16

2. Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi ... 28

3. Perbedaan Penahanan pada Masa HIR dengan... 28

4. KUHAP... 31

F. Metode Penelitian... 34

G. Sistematika Penulisan... 37

BAB II UPAYA PRAPERADILAN MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP TERSANGKA DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI...38


(4)

A. Penyidikan dan Penyidik dalam Tindak Pidana Korupsi..38

1. Penyidikan dalam Tindak Pidana Korupsi ...38

2. Penyidik dalam Tindak Pidana Korupsi ...45

B. Upaya Paksa yang dapat Dilakukan Penyidik dalam Tindak Pidana Korupsi ... 55

1. Penangkapan ... 56

1.1.Pengertian Penangkapan ... 56

1.2.Alasan Penangkapan ... 57

1.3.Cara Penangkapan ... 57

2. Penahanan ... 58

2.1. Pengertian Penahanan ... 58

2.2. Wewenang Dan Jangka Waktu Penahanan... 59

2.3. Alasan penahanan ... 62

2.4. Tata cara penahanan ... 68

2.5. Jenis penahanan ... 69

3. Penggeledahan ... 73

3.1.Pengertian Penggeledahan ... 73

3.2.Tata cara penggeledahan ... 74

4. Penyitaan ... 76

4.1.Pengertian Penyitaan ... 76

4.2.Tata Cara Penyitaan ... 77

4.3.Penyimpanan Benda Sitaan ... 78


(5)

C.Upaya Praperadilan sebagai Sarana Kontrol dan Melindungi Hak Tersangka dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana

Korupsi... 83

BAB III PEMERIKSAAN PRAPERADILAN MENGENAI SAH TIDAKNYA PENAHANAN YANG DILAKUKAN PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan No.01/ Pid/ Pra.Per/ 2011/ PN.STB)... 92

A.KASUS ... 92

1. Kasus Posisi ... 92

2. Dasar Mengajukan Praperadilan ... 95

3. Pertimbangan Hakim ... 107

4. Putusan ... 127

B. ANALISIS KASUS... 128

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 131

A.Kesimpulan ... 131

B.Saran ... 132


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena hanya dengan berkat dan rahmat-Nya lah penulis memiliki kesehatan, kekuatan dan kemampuan untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

Sudah menjadi kewajiban dari setiap mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk dapat menyelesaikan suatu karya ilmiah sebagai syarat dalam menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul “ Analisis Putusan Pengadilan Negeri Nomor 830/ Pid. B/2010/ PN. Mdn. terhadap Perkara Kasus Pencurian dengan Pemberatan Pasal 363 KUHP “. Pada penyajiannya, penulis menyadari terdapat berbagai kekurangan dan kesalahan, yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan ilmiah yang dimiliki oleh penulis. Oleh sebab itulah penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan dari karya ilmiah ini.

Pada kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara beserta seluruh staf-stafnya.

2. Bapak Dr. M. Hamdan SH. M. H. selaku Ketua Departemen Hukum Pidana

dan Ibu Liza Erwina SH. M. Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana, yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk membuat skripsi ini.


(7)

3. Bapak M. Nuh SH. M. Hum selaku Pembimbing ke I, yang telah menyediakan dan meluangkan waktunya untuk memberikan segala bimbingan dan saran kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Ibu Dr. Marlina SH. M. Hum selaku Pembimbing ke II, yang telah

meyediakan dan meluangkan waktunya untuk memberikan segala bimbingan dan saran kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak Syaiful Azam SH. M. Hum. selaku Dosen Wali penulis, terima kasih

atas saran dan petunjuknya kepada penulis selama penulis selama penulis menjalani studi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Seluruh staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang

telah memberikan serta mengajarkan segala ilmu pengetahuan kepada penulis selama penulis menyelesaikan studinya.

7. Kepada Bapak Subiharta SH. MH. selaku Hakim Ketua Majelis Pengadilan

Negeri Medan pada putusan yang di analisis Penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas waktu yang telah diberikan kepada Penulis sehingga dapat melakukan wawancara terkait dengan penulisan skripsi ini.

8. Kepada Bang Wahyu Probo SH. MH. terimakasih yang sebesar-besarnya

karena telah memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Khusus kepada kedua orang tua ku tercinta, Ayah dan Ibu, Johan Syahputra

dan Risnawati, terimakasih yang sebesar-besarnya karena telah bersusah payah melahirkan dan membesarkan penulis dengan cinta dan kasih saying


(8)

sehingga penulis dapat tumbuh sampai saat ini dan menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Kepada adikku tersayang Agus Dermawan, semoga sukses selalu.

11. Kepada keluarga besar ku, terima kasih atas semangat yang telah kalian

berikan kepada penulis.

12. Kepada teman-teman satu stambuk ’08 serta Abang dan Kakak Senior Penulis

di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terima kasih atas pertemanan yang telah kita lalui bersama serta bantuan yang telah kalian berikan.

13. Kepada teman-teman organisasi BTM Aladdinsyah, SH., terima kasih penulis

hanturkan atas pengalaman organisasi yang telah penulis alami mulai dari penulis masuk kuliah sampai sekarang.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang tidak dapat diucapkan satu per satu. Semoga kiranya kebaikan semua dapat menjadi amal jariyah dan memperoleh balasan dari Allah SWT.

Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi setiap pihak yang membacanya. Amin.

Medan, Januari 2012

Penulis,


(9)

ABSTRAKSI Dian Novita Sari * Abul Khair, SH., M.Hum ** Rafiqoh Lubis, SH. M.Hum***

Skripsi ini berbicara tentang bagaimana lembaga praperadilan mewujudkan perlindungan hak-hak tersangka dan harkat martabat, apabila tersangka mendapat perlakuan yang tidak sah atau tindakan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang. Dalam rangka menegakkan keadilan, kepastian hukum serta perlindungan hak-hak tersangka maka pembuat undang-undang membentuk suatu lembaga baru yang sebelumnya belum ada diatur oleh HIR. lembaga tersebut adalah lembaga praperadilan. Prapradilan ini merupakan suatu lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan maupun tindakan lain yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum.

Dari uraian di atas maka ditarik permasalahan yang mengangkat tentang :

- Bagaimanakah peranan Lembaga Praperadilan dalam melindungi hak

terangka

- Bagaimanakah implementasi pemeriksaan praperadilan mengenai sah

tidaknya penahanan yang dilakukan penyidik dalam tindak pidana korupsi (Studi Putusan no.01/Pid/Pra.Per/2011/PN.STB)?

Metode penelitian yang di gunakan adalah penelitian hukum normatif yakni penelitian yang mempelajari bagaimana norma-norma hukum. Penelitian ini menggunakan data skunder yang di peroleh dari berbagai literatur dan peraturan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Di samping itu skripsi ini menganalsis putusan praperadian khususnya menyangkut sah tidaknya penahanan yang dilakukan oleh penyidik dalam tindak pidana korupsi yang diperolehya dari pengadilan negeri Stabat.

Bahwa keberadaan lembaga praperadilan berkaitan langsung dengan perlindungan terhadap hak-hak asasi tersangka atau terdakwa yang sekaligus berfungsi sebagai sarana pengawasan secara horisontal. Yang dimaksud dengan pengawasan secara horisontal adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga praperadilan terhadap lembaga penyidik dan penuntut umum yang sifatnya sejajar dalam pelaksanaan penegakan hukum.

Keterangan :

Penulis, Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara

** Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

*** Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(10)

ABSTRAKSI Dian Novita Sari * Abul Khair, SH., M.Hum ** Rafiqoh Lubis, SH. M.Hum***

Skripsi ini berbicara tentang bagaimana lembaga praperadilan mewujudkan perlindungan hak-hak tersangka dan harkat martabat, apabila tersangka mendapat perlakuan yang tidak sah atau tindakan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang. Dalam rangka menegakkan keadilan, kepastian hukum serta perlindungan hak-hak tersangka maka pembuat undang-undang membentuk suatu lembaga baru yang sebelumnya belum ada diatur oleh HIR. lembaga tersebut adalah lembaga praperadilan. Prapradilan ini merupakan suatu lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan maupun tindakan lain yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum.

Dari uraian di atas maka ditarik permasalahan yang mengangkat tentang :

- Bagaimanakah peranan Lembaga Praperadilan dalam melindungi hak

terangka

- Bagaimanakah implementasi pemeriksaan praperadilan mengenai sah

tidaknya penahanan yang dilakukan penyidik dalam tindak pidana korupsi (Studi Putusan no.01/Pid/Pra.Per/2011/PN.STB)?

Metode penelitian yang di gunakan adalah penelitian hukum normatif yakni penelitian yang mempelajari bagaimana norma-norma hukum. Penelitian ini menggunakan data skunder yang di peroleh dari berbagai literatur dan peraturan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Di samping itu skripsi ini menganalsis putusan praperadian khususnya menyangkut sah tidaknya penahanan yang dilakukan oleh penyidik dalam tindak pidana korupsi yang diperolehya dari pengadilan negeri Stabat.

Bahwa keberadaan lembaga praperadilan berkaitan langsung dengan perlindungan terhadap hak-hak asasi tersangka atau terdakwa yang sekaligus berfungsi sebagai sarana pengawasan secara horisontal. Yang dimaksud dengan pengawasan secara horisontal adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga praperadilan terhadap lembaga penyidik dan penuntut umum yang sifatnya sejajar dalam pelaksanaan penegakan hukum.

Keterangan :

Penulis, Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara

** Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

*** Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

H.Latar Belakang

Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin hak warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Suatu Negara hukum menurut Sri Soemantri, harus memenuhi

beberapa unsur, yaitu:

1. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar

atas hukum atau peraturan perundang-undangan.

2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga Negara)

3. Adanya pembagian kekuasaan dalam Negara

4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.

Berkaitan dengan pernyataan tersebut, khusus mengenai butir 2, adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (HAM), dapat diartikan bahwa dalam setiap konstitusi selalu ditemukan adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (warga negara) karena itu merupakan salah satu unsur dari negara hukum. Hal ini juga terdapat pada Undang-Undang Dasar 1945, melalui beberapa pasal, yang pasalnya mengatur tentang HAM. Pada Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan : “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Sesuai dengan isi dari pasal tersebut, bahwa setiap orang tidak boleh terjadi diskriminasi terhadapnya.


(12)

Setiap orang pastilah berpotensi untuk melakukan tindakan melanggar

hukum baik sengaja maupun tidak sengaja1

Negara memberikan kewenangan kepada para penegak hukum untuk melakukan tindakan-tindakan upaya paksa terhadap seseorang yang melanggar ketentuan yang telah diatur oleh undang-undang. Upaya paksa ini merupakan pengurangan-pengurangan hak asasi dari seorang yang telah melakukan pelanggaran tadi. Kewenangan-kewenangan tersebut juga memiliki batasan-batasan tertentu yang telah diatur didalam undang-undang.

. Maka dari itu harus ada kepastian hukum mana tidak boleh dilakukan oleh setiap orang, agar tujuan dari hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dapat tercapai.

Para aparat penegak hukum juga tidak terlepas dari kemungkinan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewenangannya yang telah diatur undang-undang yang berlaku. Para penegak hukum sering juga melakukan kesalahan dan juga pelanggaran terhadap hak-hak asasi dari pelaku tindak pidana dalam melakukan upaya paksa. Maka dari itu KUHAP menjamin terlindunginya hak-hak pelaku tindak pidana baik sebelum maupun sesudah putusan hakim. Jika pelanggaran tersebut terjadi sebelum putusan pengadilan, maka

tersangka/terdakwa dapat mengajukan praperadilan, 2

1

Sengaja ini dapat diartikan kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatab yang dilarang atau diperintahkan oeh undang-undang. Sedangkan tidak sengaja bisa dikategorikan dalam culpa (kelalaian).

sedangkan jika pelanggaran

hak terjadi setelah putusan pengadilan yang telah inkracht maka terpidana dapat

2

R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan perkara Ganti Kerugian dalam KUHAP, Mandar Maju, Bandung , 2003, hlm.16.


(13)

mengajukan peninjauan kembali (PK).3

“Mengingat demi kepentingan pemeriksaan perkara diperlukan adanya pengurangan-pengurangan dari hak-hak asasi tersangka, namun bagaimanapun hendaknya selalu berdasar ketentuan yang diatu dalam undang-undang, maka untuk kepentingan pengawasan terhadap perlindungan hak-hak asasi tersangka/terdakwa diadakan suatu lembaga yang dinamakan Praperadilan.

Latar belakang terbentuknya kedua lembaga ini adalah sama. Latar belakang praperadilan menurut pedoman pelaksanaan KUHAP disebutkan :

4

Namun apabila hak pelaku tindak pidana (terpidana) dilanggar setelah

adanya putusan pengadilan yang sudah inkracht, maka terpidana tetap dapat diberi

kesempatan untuk memperjuangkan keadilan bagi dirinya dengan cara melakukan PK, karena PK disediakan semata-mata untuk memulihkan keadilan dan hak-hak

terpidana yang telah dirampas Negara secara tidak sah.5

Pengajuan praperadilan dalam praktik banyak diajukan oleh

tersangka/terdakwa guna melindungi haknya dari kesewenangan penegak hukum. Praperadilan ini juga memiliki kepastian hukum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Pasal 1 butir 10 dan Bab X, bagian

kesatu dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP.6

Menurut Pasal 1 butir 10 KUHAP menyatakan :

“Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang :

a. Sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan atas permintaan

tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

3

Adami Chazawi, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakan Hukkum dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan Sesat, Sinar Graha, Jakarta, 2010, hlm.6.

4

Hari Sasangka, Penyidikan, Penahanan, Penuntutan, dan Praperadilan dalam Teori dan Praktek untuk Praktisi, Dosen, dan Mahasiswa, Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm16.

5

Adami Chazawi, Loc. Cit.

6


(14)

c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak dilanjutkan ke pengadilan.”

Jadi, praperadilan ini lebih memiliki kepastian hukum dalam melindungi hak-hak tersangka/terdakwa dalam upaya paksa, seperti yang dinyatakan dalam pasal 77 KUHAP bahwa:

“Pengadilan Negeri berwenang untuk meeriksa dan memutus, sesuai dengan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

a. Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau

penghentian penuntutan;

b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidanya

dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”

Hal yang sama juga dikemukakan oleh R. Soeparmono dalam bukunya

Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian dalam KUHAP, tujuan diadakannya lembaga praperadilan adalah demi tegaknya hukum,

kepastian hukum dan perlindungan hak asasi tersangka7 dan M. Yahya Harahap

dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali

menambahkan bahwa tujuan praperadilan ini adalah untuk melakukan pengawasan horizantal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan

undang-undang.8

7

Ibid.

8

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 4. (selanjutnya disebut buku I)


(15)

Selain itu, pemberantasan korupsi di Negara kita dewasa ini semakin

gencar dilakukan9, semakin banyak kasus-kasus korupsi yang terungkap10. Untuk

mempermudah dalam proses pemeriksaan kasus korupsi, maka jika diperlukan aparat penegak hukum melakukan upaya paksa. Namun upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum ini juga harus sesuai dengan prosedur yang diatur di dalam undang-undang. Jika dikaitkan dengan lembaga praperadilan, apabila upaya paksa tersebut ini dilakukan tidak sesuai dengan undang-undang, maka orang tersebut dapat mempertanyakan kepada hakim mengenai sah tidaknya upaya paksa yang dilakukan terhadapnya melalui praperadilan seperti yang terjadi pada pengajuan permohonan praperadilan yang diajukan oleh Bupati Sragen, Untung Wiyono, terhadap sah tidaknya penahanan yang dilakukan penyidik KejaksaanTinggi Jateng. Untung Wiyono disangka melakukan tindak pidana korupsi APBD Sragen senilai 11,2 Miliar. Namun pada saat pemeriksaan pertama yang masih menyangkut tentang identitas dirinya, dirinya langsung

ditahan oleh penyidik11, Gayus Tambunan yang mengajukan gugatan praperadilan

atas penahanan yang dilakukan oleh pihak Kejaksaan. Penahanan itu terkait

dengan kasus mafia pajak yang dilakukan oleh Gayus Tambunan12

9

Keluarnya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan PemberantasanTindak PidanaKorupsi.

, Romli

10

Kapolri Jenderal Timur Pradopo mengungkapkan jumlah perkara kasus korupsi yang ditangani oleh Kepolisian pada tahun 2011 ini meningkat drastis. Pada 2010 lalu, polisi hanya menangani 585 perkara. Angka tersebut melonjak mencapai 1.323 perkara pada tahun ini. Sumber:

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/12/30/lx0qxx-jumlah-kasus-korupsi-meningkat.

Tidak Sah”, diakses tanggal 6 Januari 2012.

12


(16)

Atmasasmita, mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Depkum dan HAM yang mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan terkait penahanan dirinya oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Penahanan itu berkaitan dengan kasus dugaan korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) di Ditjen AHU, Depkum dan HAM, yang merugikan negara

sekitar Rp 400 miliar13, pengajuan praperadilan oleh Eko Endang Koswara,

Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Banten melalui pengacaranya, Gusti Hendra mendaftarkan gugatan praperadilan terhadap Kejaksaan Negeri (Kejari) Serang atas penahannya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan alat peraga

Teknlogi Informasi (TI) Rp 5,3 miliar14

Dari beberapa contoh kasus diatas, dapat dilihat bahwa praperadilan adalah lembaga yang ampuh untuk menegakkan hak-hak seseorang yang masuh disangka melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini dikarenakan pada hakikatnya praperadilan berfungsi untuk kepentingan pengawasan terhadap perlindungan hak-hak asasi tersangka/terdakwa.

.

15

Lebih lanjut dikatakan oleh M. Yahya Harahap, memang sangat beralasan untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, supaya tindakan itu benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang, dan

praperadilankan Jaksa Agung,diakses tanggal 6 Januari 2012.

Praperadilan Kejari Serang, diakses tanggal 6 Januari 2012. 15


(17)

benar proporsional dengan ketentuan hukum serta tidak merupakan tindakan yang

bertentangan dengan ketentuan hukum.16

Dari uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi tentang praperadilan yang diajukan oleh seorang yang disangka melakukan tindak pidana korupsi terhadap upaya paksa yang dilakukan penyidik, khususnya upaya paksa penahanan.

Sebagai bahan penelitiannya, penulis mengambil salah satu putusan pengadilan negeri stabat No. 01/Pid/Pra.Per/2011/PN.STB tentang praperadilan yang diajukan oleh tersangka tindak pidana korupsi terhadap penahanan yang dilakukan penyidik kejaksaan untuk dijadikan bahan kajian dalam penelitian ini.

Pada putusan tersebut yaitu permohonan praperadilan dimohonkan oleh Drs. Hasnil, AK., MM yang ditahan oleh termohon, Jaksa Agung Republik Indonesia di Jakarta cq. Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara di Medan cq. Kepala Kejaksaan Negeri Stabat di Stabat.

Disini, pemohon yang merupakan tersangka kasus korupsi ditahan oleh pihak kejaksaan, dan atas penahanan tersebut, tersangka Drs. Hasnil, AK., MM menilai bahwa penahanan atas dirinya tersebut adalah tidak sah. Atas penahanan yang dianggapnya tidak sah tersebut, maka tersangka Drs. Hasnil, AK., MM telah mengajukan permohonan pra peradilan kepada Pengadilan Negeri Stabat. Sebaliknya, pihak kejaksaan Negeri Stabat menyatakan bahwa penahanan terhadap diri Drs. Hasnil, AK., MM adalah telah memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku dan menurut pihaknya penahanan tersebut adalah sah. Bahwa setelah

16


(18)

adanya proses jawab menjawab antara pemohon dan termohon, kemudian hakim memutuskan bahwa penahanan atas diri pemohon Drs. Hasnil, AK., MM adalah tidak sah, maka dari itu harus di bebaskan dari Rumah Tahanan.

I. Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka pokok permasalahan yang diangkat adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana upaya praperadilan memberikan perlindungan terhadap

tersangka dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi?

2. Bagaimana pemeriksaan praperadilan mengenai sah tidaknya penahanan

yang dilakukan penyidik dalam tindak pidana korupsi (Studi Putusan No.01/Pid/Pra.Per/2011/PN.STB)?

J. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui upaya praperadilan dalam memberikan perlindungan

terhadap tersangka dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi

b. Untuk mengetahui bagaimana pemeriksaan praperadilan mengenai sah


(19)

korupsi dengan melakukan pengkajian normatif terhadap putusan No. 01/Pid/Pra.Per/2011/PN.STB.

2. Manfaat penulisan

Disamping tujuan yang akan dicapai sebagaimana yang telah dikemukakan, maka penulisan skripsi ini juga bermanfaat baik secara teoritis dan praktis, yaitu :

a. Manfaat Teoritis

Untuk memperkaya ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran tentang pelaksanaan praperadilan dalam hal sah tidaknya penahanan yang dilakukan penyidik kejaksaan pada tindak pidana korupsi.

b. Manfaat Praktis

i. Penulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran

kepada praktisi mengenai sah tidaknya penahanan pada tindak pidana korupsi.

ii. Bagi mahasiswa hukum dan pihak pemerintah Indonesia dalam

rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya, serta perkembangan hukum pidana dan acara pidana khususnya.

iii.Bagi penyidik yang memiliki wewenang melakukan upaya paksa,

agar lebih memperhatikan hak tersangka jangan sampai salah bertindak yang kemudian akan mengakibatkan kesewenangan.


(20)

Penulis dalam melakukan penulisan skripsi ini dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai literature dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Sebelum menulis skripsi yang berjudul “pengajuan praperadilan oleh pihak korban terhadap syah atau tidaknya penangkapan yang dilakukan oleh penyidik kejaksaan dalam tindak pidana korupsi” , penulis telah melakukan pemeriksaan terlebih dahulu bahwa belum pernah ada judul yang sama dengan skripsi ini. Hal ini terbukti telah disetujuinya (ACC) judul skripsi ini oleh sekeretaris Departemen Hukum Pidana dan perpustakaan hukum Universitas Sumatera Utara pada tanggal 13 Oktoer 2011. Bila ternyata suatu saat nanti ada judul yang sama dengan judul skripsi saya ini, maka saya bersedia untuk mempertanggungjawabkannya.

L.Tinjauan Kepustakaan

5. Pengertian, Tujuan dan Wewenang Praperadilan 5.1.Pengertian Praperadilan

Praperadilan merupakan hal yang baru dalam dunia peradilan Indonesia. Praperadilan merupakan salah satu lembaga baru yang diperkenalkan KUHAP di

tengah-tengah kehidupan penegak hukum. 17

Praperadilan tidak ada diatur didalam ketentuan HIR18

17

Harahap, M. Yahya, op.cit ,hlm. 1.

. Hal ini dapat dimengerti, bahwa perbedaan tersebut dapat terjadi oleh karena HIR diciptakan dalam suasana zaman kolonial Belanda, yang pada dasarnya produk hukum serta perangkat-perangkat sarananya dibentuk sedemikian rupa sehingga

18


(21)

menguntungkan pihak yang berkuasa, dalam hal ini pihak penjajah.19 Karena didalam HIR tidak diatur ketentuan perihal praperadilan, dalam perkembangan selanjutnya didalam KUHAP telah diatur tentang ketentuan-ketentuan praperadilan seperti tercantum dalam Pasal 1 butir 10 dan Bab X, bagian kesatu

dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP.20

Menurut Pasal 1 butir 10 KUHAP meyatakan :

“Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang :

a. Sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan atas permintaan

tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau

keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak dilanjutkan ke pengadilan.”

Selain itu, lembaga praperadilan ini lahir dari inspirasi yang bersumber

dari adanya Habeas Corpus21 dalam sistem peradilan Anglo-Saxon, yang

memberikan jaminan fundamental terhadap HAM khususnya hak kemerdekaan.

Habeas Corpus Act memberikan hak kepada seseorang untuk melalui surat

perintah pengadilan menuntut (menentang) pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya. Hal itu untuk menjamin bahwa perampasan atau pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu telah memenuhi

ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan HAM.22

19ibid

, hlm. 8.

20Ibid.

21

Bunyi surat perintah Harbeas Corpus ini adalah “Si tahanan berada dalam tahanan saudara. Saudara wajib membawa orang itu kedepan pengadilan serta wajib menunjukkan alasan yang menyebabkan penahanannya” lihat buku Looeby loqman, Praperadilan di Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta:1984.hlm. 54.

22

Kaligis, O.C. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana.Alumni. Bandung. 2006. hlm. 366.(selanjutnya disebut buku I)


(22)

5.2.Tujuan Praperadilan

Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa praperadilan merupakan lembaga baru dalam kancah penegakkan hukum di Indonesia.

Setiap hal yang baru, tentu mempunyai suatu maksud dan tujuan atau motivasi tertentu. Pasti ada yang hendak dituju dan dicapai. Tidak ada sesuatu yang diciptakan tanpa didorong oleh maksud dan tujuan. Demikian pula halnya dengan pelembagaan Praperadilan. Ada maksud dan tujuan yang hendak

ditegakkan dan dilindungi.23

Tujuan diadakannya praperadilan adalah secara umum sesuai dengan maksud dan tujuan dibentuknya KUHAP kerena dipandang bahwa HIR sudah ketinggalan zaman, tidak sesuai lagi dengan kemajuan zaman dan perkembangan masyarakat semakin maju dan modern. Serta bertujuan demi tegaknya hukum, kepastian hukum dan perlindungan hak asasi tersangka, sebab menurut sistem KUHAP setiap tindakan upaya paksa haruslah diturut sesuai dengan ketentuan-ketentuan KUHAP. Setiap tindakan upaya paksa seperti penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, penuntutan dan sebagainya yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan perundanng-undangan adalah suatu tindakan

perkosaan atau perampasan hak asasi manusia24

Dalam KUHAP sendiri dapat diketahui tujuan dari praperadilan melalui penjelasan pasal 80 KUHAP, yang memuat :

.

“Pasal ini bermaksud untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran

melalui sarana pengawasan horizontal”.25

23

M. Yahya Harahap, op.cit, hlm.3

24

R.Soeparmono, Op.cit. hlm.15-16. 25

Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (penyelidikan dan


(23)

Untuk mengawasi dan menguji tindakan upaya paksa tersebut perlu adanya lembaga yang diberi wewenang untuk menentukan sah atau tidaknya upaya paksa tersebut, mengawasi dan menguji upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum tersebut dilimpahkan kewenangannya kepada Praperadilan.

Jadi, lembaga Praperadilan merupakan alat uji apakah seseorang itu telah melalui proses awal penangkapan dan penahanan oleh aparatur penyidik secara sah menurut Undang-undang atau satu penahanan dan atau penangkapan tersebut mengandung cacat hukum. Selain dari itu, Praperadilan juga dapat memeriksa dan memutuskan sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik atau sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh

penuntut umum.26

Dengan adanya praperadilan ini, maka apabila seseorang dikenakan penangkapan, penahanan, dan atau tindakan-tindakan lain yang dilakukan secara tidak sah, yaitu tidak memenuhi syarat yang ditentukan dalam undang-undang, maka tersangka/terdakwa atau keluarganya atau pihak lain yang dikuasakan misalnya penasehat hukumnya, dapat meminta pemeriksaan dan putusan oleh hakim tidak sahnya penangkapan/penahanan serta tindakan-tindakan lain atas dirinya tersebut.

Kehadiran lembaga praperadilan memberi peringatan : 27

26

Pasal 1 butir 10 KUHAP

27

S. Tanusubroto, Peranan Praperadilan Dalam Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung,1983, hlm.2.


(24)

1. Agar penegak hukum harus berhati-hati dalam melakukan tindakan hukumnya setiap tindakan hukum harus didasarkan kepada ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan diri serta menjauhkan diri dari tindakan kesewenang-wenangan.

2. Ganti kerugian dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi

waranya yang diduga melakukan kejahatan yang ternyata tanpa didukung dengan bukti-buktu yang meyakinkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan penegak hukum yang tdak mengindahkan prinsip hak-hak asasi manusia.

3. Hakim dalam menentukan ganti kerugian harus mempehatikan dan

mempertimbangkan orang yang dirugikan, maupun dari sudut kemampuan finansiil pemerintah dalam memenihi dan melaksanakan keputusan hakim itu.

4. Dengan rehabilitasi berarti orang itu telah dipulihkan haknya sesuai

dengan keadaan semula diduga telah melakukan kejahatan.

5. Kejujuran yang menjiwai KUHAP harus diimbangi dengan integritas dan

dedikasi dari aparat penegak hukum, karena tanpa adanya keseimbangan itu semuanya akan sia-sia belaka.

Oleh karena itu, prinsip yang terkandung pada praperadilan bermaksud dan tujuan guna melakukan tindakan pengawasan horizontal untuk mencegah tindakan

hukum upaya paksa yang berlawanan dengan undang-undang.28

28


(25)

Oleh karena itu dasar dari adanya lembaga Praperadilan ini adalah merupakan suatu cerminan pelaksanaan dari asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) sehingga tiap orang yang diajukan sebagai terdakwa telah melalui proses awal yang wajar dan mendapat perlidungan harkat dan martabat manusianya dan merupakan suatu lembaga yang melakukan pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang dilakukan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum Undang-undang.

KUHAP yang diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981 disadari pasti mempunyai kelemahan, kekurangan dan mungkin kesalahan, betapapun kecilnya. Kendatipun demikian, KUHAP sudah menunjukkan adanya kemajuan apalagi bila dibandingkan dengan HIR yang sudah berumur lebih dari satu abad itu. Dalam masa peralihan ini, masih perlu dibenahi sarana yang menunjang pelaksanaan, disatu pihak mengenai kesadaran hukum masyarakat mengenai hak dan kewajiban menurut KUHAP, dilain pihak mengenai keadaan aparat penyidik dan penuntut

umum yang menyangkut kemampuan teknis dan materiil.29

Semangat kemanusiaan para pelaksananya sungguh sangat menentukan bagi keberhasilan KUHAP dalam mencapai tujuannya. Nilai-nilai kemanusiaan yang dikristalisir dalam rangkaian pasal-pasal KUHAP itu tidak akan banyak artinya dalam praktek penegakan hukum di negara kita, bilamana para pelaksananya idak mempunyai semangat kemanusiaan. Akan tetapi kalau para pelaksananya mempunyai semangat kemanusiaan, maka segala kekurangan dan

29


(26)

ketidaksempurnaan yang terkandung dalam KUHAP tidak menjadi penghalang untuk menegakkan hukum keadilan dan kebenaran dibumi persada indonesia

tercinta ini.30

Maka sebenarnya keberhasilan KUHAP sangat tergantung kepada para pelaksanan penegak hukum terutama yang berkecimpung langsung dalam proses perkara pidana, yaitu polisi, jaksa, hakim, dan advokat/pengacara. Dan tentunya dengan dukungan dan partisipasi masyarakat dalam menerima berlakunya

KUHAP ini.31

5.3.Wewenang Praperadilan

Telah dijelaskan diatas, bahwa lembaga praperadilan memiliki fungsi sebagai pengawasan horizontal yang pengawasan tersebut semata-mata diberikan kepada pengadilan negeri sebagai badan peradilan tingkat pertama guna kontrol, menilai, menguji, mempertimbangkan secara yuridis, apakah dalam tindakan upaya paksa terhadap tersangka oleh penyelidik/penyidik atau penuntutan benar-benar telah sesuai dengan aturan dan ketentuan KUHAP atau aturan

perundang-undangan ataukah tidak.32 Disamping itu wewenang praperadilan juga meliputi

pemeriksaan terhadap ganti rugi dan rehabilitasi.33

Hal-hal atau peristiwa semacam itulah yang menjadi wewenang dari lembaga praperadilan menurut KUHAP.

Selain itu wewenang tersebut juga dalam rangka wujud realisasi dari Pasal 7 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang

30Ibid. 31

S. Tanusubroto, op.cit. hlm. 3.

32

R. Suparmono, op.cit. hlm. 11.

33


(27)

menyebutkan bahwa tiada seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur oleh undang-undang.

Untuk lebih jelasnya disini akan dijelaskan mengenai wewenang praperadilan yang diberikan undang-undang secara lebih rinci, yaitu:

1. Memeriksa dan memutus sah tidaknya upaya paksa.

Inilah wewenang pertama yang diberikan undang-undang kepada

praperadilan memeriksan dan memutus sah atau tidaknya: .34

a. Penangkapan

b. Penahanan

Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau tedakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta

menurut cara yang diatur dalam undang-undang. 35

Pada Pasal 16 s.d Pasal 19 KUHAP jo. Pasal 1 butir 20 KUHAP. Penangkapan dapat dilkukan oleh penyelidik atas perintah penyidik, penyelidik dan penyidik pembantu. Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tidak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHAP).

Menurut Pasal 1 butir 14 menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang

34

M. Yahya Harahap (buku I), op.cit, hlm. 5.

35


(28)

betul-betul melakukan tindak pidana yang dengan berdasarkan bukti permulaan .36

Penangkapan ini juga dilakukan dalam jangka waktu paling lama satu hari37,

kecuali undang-undang mengatur lain.38

Sedangkan penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

Berarti, seorang tersangka yang dikenakan tindakan penangkapan dan penahanan dapat meminta kepada praperadilan untuk memeriksa sah atau tidaknya tindakan yang dilakukan penyidik kepadanya. Tersangka dapat mengajukan pemeriksaan kepada praperadilan, bahwa tindakan penahanan yang dikenakan sudah melampaui batas waktu yang ditentukan Pasal 21 KUHAP. Atau penahanan yang dikenakan sudah melampaui batas yang ditentukan Pasal 24 KUHAP.

Namun bukan hanya tersangka/terdakwa yang dapat mengajukan permohonan praperadilan mengenai sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan tersebut. Menurut ketentuan Pasal 79 KUHAP, yang berhak mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, bukan hanya tersangka saja, tetapi dapat diajukan oleh keluarga atau penasehat hukumnya.

36

Penjelasan Pasal 17 KUHAP.

37

Pasal 19 ayat (1) KUHAP. 38

Tidak semua penangkapan dilakukan dalam jangka waktu satu hari. Sebagai contoh Pasal 76 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan dilakukan paling lama 3x 24 (tiga kali dua puluh empat) dan dapat diperpanjang 3 x 24 jam. Selain itu Pasal 28 Undang-Undang No. 15 tahun 2003 jo. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 menyatakan “Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang didugakeras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam.


(29)

2. Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.

Kasus lain yang termasuk kedalam ruang lingkup kewenangan praperadilan ialah memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian penyidikan yang dilakukan pejabat penyidik maupun tentang sah atau tidaknya

penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum.39

Penghentian penyidikan diatur di dalam Pasal 109 ayat (1) dan (2)

KUHAP. Alasan-alasan penghentian penyidikan tersebut antara lain adalah: .40

1. Tidak terdapat cukup bukti;

2. Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana;

3. Penyidikan dihentikan demi hukum.

Barang kali rasio atau alasan pemberian wewenang penghentian ini antara lain:

a. Untuk menegakan prinsip peradilan cepat tepat dan berbiaya ringan

serta sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dan ehidupan masyarakat. Jika penyidik berkesimpulan bahwa berdasar hasil penyidikan dan penyelidikan tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut tersangka dimuka pengadilan, untk apa berlarut-larut menangani dan memeriksa tersangka. Lebih baik penyidik secra resmi menyatakan penghentian penyidikan agar segera tecipta kepastia hukum baik bagi penyidik sendiri, terutama kepada tersangka dan masyarakat.

39

M. Yahya Harahap (buku I), loc.cit.

40


(30)

b. Supaya penyidik terhidar dari tuntut ganti kerugian, sebab kalau perkaranya diteruskan tapi ternyata tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut ataupun menghukum, dengan sendirinya memberi hak kepada tersangka/terdakwa untuk menuntut ganti kerugian berdasarkan Pasal

95 KUHAP.41

Penghentian penuntutan oleh penuntut umum didasarkan pada bunyi Pasal

140 ayat (2) KUHAP, yaitu: 42

a. Karena tidak cukup bukti;

b. Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana;

c. Perkara ditutup demi hukum.

Penuntutan terjadi jika suatu perkara telah dilimpahkan ke pengadilan negeri yang berwenang, sehingga batasan telah terjadi penuntutan atau belum

adalah adanya pelimpahan suatu perkara ke pengadian negeri.43

Secara harfiah arti kata penghentian penuntutan adalah suatu perkara telah dilimpahkan ke pengadilan negeri, kemudian perkara tersebut dihentikan prosesnya dan kemudian dicabut dengan alasan yang telah ditentukan oleh

undang-undang.44

Akan tetapi, mungkin saja alasan penghentian ditafsirkan secara tidak tepat ataupun penghentian sama sekali tidak beralasan, atau penghentian itu dilakukan untuk kepentingan pribadi pejabat yang bersangkutan. Oleh karena itu, bagaimanapun mesti ada lembaga yang berwenang memeriksa dan menilai sah

41

M. Yahya Harahap (buku I), op.cit. hlm. 147. 42

Hari Sasangka, op.cit. hlm. 174. 43

ibid. hlm. 108


(31)

atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, supaya tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum dan kepentingan umum maupun pengawasan tidakan

penyalahgunaan wewenang (abuse of authority). Untuk itu terhadap penghentian

penyidikan, undang-undang memberi hak kepada penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan pemerikaan kepada praperadilan tentang sah atau tidaknya penghentian tersebut. Demikian pula sebaliknya, penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan pemeriksaan

sah atau tidaknya penghentian penuntutan kepada Preperadilan.45

Pada tindak pidana khusus, khususnya korupsi, diketahui bahwa penyidik

dan penuntut umum berada dibawah satu atap yaitu Jaksa.46

Untuk mendapatkan solusi masalah ini menurut M. Yahya Harahap adalah undang-undang harus dapat memperluas arti dari pihak ketiga yang berkepentingan tersebut, tidak terbatas hanya saksi korban atau pelapor tetapi meliputi masyarakat, misalnya dalam kasus korupsi yang menjadi pihak ketiga yang berkepentingan (yang mempunyai hak untuk keberatan atas penghentian

Apabila tindak pidana korupsi terjadi penghentian penyidikan atau penuntutan yang tidak beralasan maka siapa yang menajukan keberatan atas penghentian penyidikan atau penuntutan tersebut. Dalam hal ini penuntut umum sebagai penyidik tidak mungkin mengajukan keberatan, sedangkan pihak ketiga yang berkepentingan (saksi/pelapor) tidak ingin terlibat dengan alasan takut, sebab yang dilaporkan adalah seorang pejabat negara yang mempunyai kekuasaan.

45

M. Yahya Harahap, (buku I). op.cit. hlm. 5-6. 46

OC. Kaligis, Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus dalam Pemberantasan Korupsi, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 2. (selanjutnya disebut buku II)


(32)

penyidikan dan penuntutan) adalah masyarakat yang dapat diwakili oleh Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM).47

Sebagai contoh, pada kasus penghentian penuntutan (SKP2) yang dikeluarkan jaksa untuk menghentikan perkara kasus Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) dengan tersangka Yusril Ihza Mahendra. Pada kasus ini, permohonan praperadilan dilakukan oleh LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dinyatakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak dapat diterima. Alasannya dikarenakan permohonan MAKI terlampau prematur. Prematur disini maksudnya bahwa sebenarnya Jaksa Agung selaku termohon belum menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2), meskipun berkas sudah dinyatakan lengkap. Namun MAKI masih bisa tersenyum walaupun permohonan praperadilannya tidak dapat diterima oleh Hakim tunggal Ari Jiwantara. Dalam pertimbangan putusannya, hakim tunggal kasus praperadilan

ini, menilai MAKI memiliki kedudukan hukum atau legal standing dalam

kapasitas sebagai pihak ketiga berkepantingan. Lebih lanjut dalam pertimbangan putusannya, hakim menyatakan MAKI sebagai LSM berkomitmen terhadap

pemberantasan tindak pidana korupsi (Tipikor).48

Menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.14.PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana angka 11 menyatakan “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikannya dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2) dan

47

M. Yahya Harahap (buku I), op.cit. hlm. 11

48

Legal Standing Pihak Ketiga Praperadilan Diakui. Diunggah pada sabtu, 20 Agustus 2011. Diakses pada Selasa, 6 Desember 2011.


(33)

penuntut umum menghentikan penuntutannya sebagaimana simaksud dalam Pasal 140 ayat (2), selain harus memberitahukannya kepada tersangka atau keluarga atau penasehat hukumnya, juga kepada saksi pelapor atau korban, agar mereka mengetahui sehingga menghindari kemungkinan diajukannya ke praperadilan”.

Menurut Hari Sasangka, ketentuan tersebut diatas adalah sangat janggal. Karena saksi pelapor atau korban tetap mempunyai hak untuk mengajukan masalah penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik ke pengadilan untuk diperiksa dalam sidang praperadilan. Jadi pengajuan masalah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam sidang praperadilan tidak bisa dicegah dengan prosedur administratif seperti tersebut diatas. Selama saksi pelapor atau korban menganggap penghentian oleh penyidik merugikan pihaknya maka kemunginan

untuk mengajukan masalah tersebut ke sidang praperadilan tetap ada.49

3. Berwenang memeriksan tuntutan ganti rugi.

Kesalahan pada semua tingkat pemeriksaan dalam suatu sistem peradilan pidana bagaimanapun juga dapat terjadi dan korban kesalahan tersebut haruslah mendapat ganti kerugian.

Setiap ketidakadilan, apalagi yang menyangkut kehilangan kemerdekaan seseorang haruslah dikembalikan kepada suatu keadaan yang adil dengan memberikan sejumlah ganti kerugian. Hal ini haruslah dilakukan demi hukum, bukanlah hanya sekedar sabagai suatu basa-basi kesopanan belaka.

49


(34)

Pasal 95 KUHAP mengatur tentang tuntutan ganti kerugian yang diajukan tersangka , keluarganya atau penasehat hukumnya kepada praperadilan. Tuntutan ganti kerugian ini diajukan tersangka berdasarkan alasan:

1. Karena penangkapan atau penahanan yang tidak sah,

2. Karena penggeledahan atau penyitaan yang bertentangan dengan

ketentuan hukum dan undang-undang,

3. Karena kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti ditangkap,

ditahan atau diperiksa.50

Berdasarkan Pasal 95 KUHAP tesebut pula maka ganti kerugian dapat digolongkan dalam dua macam, yaitu:

1. Ganti kerugian atas penangkapan, penahanan serta tindakan lain yang

tidak sah dan untuk ditunjukkan oenyelesaiannya pada pemeriksaan serta acara pada praperadilan (Pasal 95 ayat (2) dan ayat (5)).

2. Ganti kerugian atas seorang yang diadili tanpa sah seperti yang

tercantum dalam Pasal 95 ayat (1).

Menurut penjelasan Pasal 95 ayat (1) dikatakan bahwa:

“Yang dimaksud dengan kerugian kerena dikenakan tindakan lain ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan yang lebih lama dari pada pidana yang dijatuhkan”.

50


(35)

Maka ternyata ganti kerugian yang dimaksud adalah ganti kerugian

terhadap tindakan-tindakan pada fase pemeriksaan pendahuluan51, yakni

tindakan-tindakan yang berhubungan dengan upaya paksa.52

Disini dibedakan antara tuntutan ganti kerugian yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan dan tuntutan ganti kerugian yang perkaranya diajukan ke pengadilan ( Pasal 77 dan 95 ayat (2) KUHAP). Apabila perkara tidak diajukan ke pengadilan, baik karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut tidak merupakan tindak pidana, sedangkan terhadap tersangka telah dilakukan penangkapan, penahanan, dan tindak lain secara melawan hukum, maka tuntutan tersebut diperiksa dan diputus oleh praperadilan. Sedang tuntutan ganti rugi yang perkaranya telah diajukan ke pengadilan, maka permintaan ganti kerugian yang demikian itu diperiksa dan diputus oleh hakim yang telah mengadili perkara

tersebut.53

Hakim praperadilan hanya dapat menetapkan suatu ganti kerugian atas suatu penangkapan, penahanan serta penuntutan yang di anggap tidak sah, dan dapat di perluas dengan penetapan ganti kerugian terhadap adanya tindakan lain dimana dalam penjelasan Pasal 95 ayat (1) di tafsirkan sebagai suatu kerugian yang di timbulkan oleh upaya paksa lainnya, seperti penggeledahan, penyitaan barang serta pembukaan surta-surat, hal ini dapat dimengerti, karena praperadilan

51

Pemeriksaan pendahuluan adalah pemeriksaan yang dilakukan apabila ada persangkaan tentang adanya tindak pidana, baik tertangkap tangan atau tidak, yang dilakukan sebelum pemeriksaan persidangan penagdilan. Lihat buku Looeby Loqman, Praperadilan di Indonesia,

Ghalia Indonesia, Jakarta,1984, hlm. 18. 52

Looeby Loqman, Praperadilan di Indonesia,Ghalia Indonesia, Jakarta,1984, hlm.74. 53


(36)

wewenangnya adalah pada tindakan pada fase pemeriksaan pendahuluan, dan

batasnya adalah sampai perkara tersebut diajukan ke depan sidang pengadilan.54

4. Memeriksa permintaan rehabilitasi

Rehabilitasi merupakan hak seseorang untuk mendapatkan pemulihan haknya, dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya, atau hukum yang diterapkan menurut cara

yang diatur dalam Undang-Undang ini (Pasal 95 ayat (3) KUHAP) 55

Selain itu mengacu pada Pasal 1 butir 23 KUHAP, rehabilitasi adalah: .

Hak seorang tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan pemulihan: 56

a. Atas hak kemampuan, dan

b. Atas hak kedudukan dan harkat martabatnya,

c. Serta hak pemulihan tersebut dapat diberikan dalam semua tingkat

pemeriksaan, mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, atau pengadilan.

Praperadilan berwenang memeriksa dan memutuskan permintaan rehabilitasi yang diajukan tersangka, keluarganya atau kuasa hukumnya atas penangkapan atau penahanan tanpa dasar hukum yang telah ditentukan oleh undang-undang, atau rehabilitasi atau kekeliruan mengenai orang atau hukum

yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan kesidang pengadilan.57

54

Loebby Loqman, op.cit. hlm. 75. 55

Hari Sasangka Op.cit. h. 230. 56

M. Yahya Harahap (buku I), op.cit. hlm. 69. 57


(37)

Rehabilitasi dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan di dalam hal pengadilan menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Sedangkan dalam putusan Praperadilan rehabilitasi tersebut tidak dapat dicantumkan seperti pada putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan. Alasannya adalah bahwa putusan Praperadilan hanya memeriksa tentang sah atau tidaknya upaya paksa oleh pejabat penegak hukum, bisa saja terjadi bahwa Pemohon Praperadilan yang mendapat putusan bahwa penangkapannya tidak sah

adalah memang pelaku tindak pidana.58

Oleh karena itu, rehabilitasi dapat diberikan apabila perkara orang tersebut telah mendapat putusan hakim yang berkekuatan tetap untuk menghindari adanya pemberian rehabilitasi terhadap orang yang dicurigai telah melakukan tindakan kejahatan (tindak pidana).

59

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 pasal 14, amar penetapan dari praperadilan mengenai rehabilitasi berbunyi sebagai berikut:

“Memulihkan hak pomohon dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat

serta martabatnya. “60

5. Praperadilan terhadap tindakan penyitaan

Ada kemungkinan didalam melakukan penyitaan, terdapat suatu kekeliruan. Apabila suatu penyidikan terhadap diri tersangka telah digunakan upaya paksa penyitaan, dan ternyata yang disita tidak termasuk alat bukti maka

hal tersebut dapat dimohonkan praperadilan (Pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP).61

58

Hari Sasangka, op.cit. hlm. 229-230.

59ibid

. 60

ibid. hlm. 231. 61


(38)

Menurut ketentuan Pasal 79 KUHAP, tersangka, keluarga atau penasehat hukumnya dapat mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan. Cuma apa yang diatur dalam Pasal 79, hanya meliputi pengajuan pemeriksaan tentang sah tidakna penangkapan atau penahanan. kedalamnya tidak termasuk pengajuan permintaan tentang sah atau tidaknya penggeledahan, penyitaan atau pemasukan rumah. Namun mengenai sah atau tidaknya penggeledahan dan penyitaan termasuk juga dalam kandungan Pasal 79 dihubungkan dengan Pasal 82 ayat (3) huruf d KUHAP, sehingga mengenai sah atau tidaknya penggeledahan dan penyitaan dapat diajukan oleh tersangka, keluarganya atau penasehat hukumnya atau orang terhadap siapa dilakukan

penggedahan atau penyitaan.62

Tindakan menyangkut penyitaan bisa dimohonkan praperadilan dengan

alasan :63

a. Bila menimbulkan kerugian, diajukan permohonan praperadilan dengan

alasan ganti kerugian;

b. Bila ada barang yang tidak termasuk alat pembuktian dilakukan

penyitaan, diajukan permohonan praperadilan dengan alasan ada benda disita yang tidak termasuk alat pembukian.

6. Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi

Korupsi sebagai fenomena penyimpangan dalam kehidupan sosial,

budaya, kemasyarakatan, dan kenegaraan sudah dikaji dan ditelaah secara kritis

62

Harahap, M. Yahya (buku I), op.cit. hlm. 9. 63


(39)

oleh banyak ilmuan dan filosof. Aristoteles misalnya, yang diikuti oleh Machiavelli, sejak awal telah merumuskan sesuatu yang disebutkan sebagai

korupsi moral (moral corruption). Korupsi moral merujuk pada berbagai bentuk

konstitusi yang sudah melenceng, hingga para penguasa tidak lagi dipimpin oleh

hukum tetapi tidak lebih hanya berupaya melayani dirinya sendiri.64

Korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio, yang berarti kerusakan atau

kebobrokan. Ada pula yang berpendapat bahwa dari segi istilah “korupsi” yang

berasal dari kata corrupteia yang dalam bahasa Latin berarti bribery atau

seduction maka yang diartikan dengan corrupto dalam bahasa Latin ialah

corrupter atau seducer. Bribery dapat diartikan sebagai memberikan kepada seseorang agar seseorang terssebut berbuat untuk keuntungan pemberi. Sementara

seduction berarti sesuatu yang menarik agar seseorang menyeleweng.65

Hafidhuddin juga mencoba memberikan gambaran korupsi dalam

perspektif agama islam, ia mengatakan, bahwa dalam islam korupsi termasuk

perrbuatan fasad66

64

Mansyur Semma, Negara dan Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 32.

. Pelakunya dikategorikan melakukan jinayah kobro (dosa

besar) dan harus dikenai sanksi dibunuh, disalib, atau dipotong tangan dan kakinya dengan cara menyilang (tangan kanan dengan kaki kiri atau tangan kiri dengan kaki kanan) atau diusir. Dalam korteks ajaran Islam yang lebih luas,

korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan

(al-65

Yudi Kristiana, Indenpendensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 9.

66

Pengertian al-fasad sendiri dapat diterjemahkan sebagai segala perbuatan yang menyebabkan hancurnya kemaslahatan dan kemanfaatan hidup, seperti membuat teror yang menyebabkan orang takut, membunuh, melukai dan mengambil atau merampas harta orang lain. Berdasarkan pendapat tersebut, Didin menegaskan bahwa “korupsi” sama buruk dan jahatnya dengan terorisme”.


(40)

‘adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala

dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi67 terhadap kehidupan

negara dan masyarakat dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan

dimuka bumi, yang sekali-kali amat dikutuk Allah SWT.68

Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi adalah rumusan tindak pidana

korupsi yang berdiri sendiri dan dimuat dalam pasal pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, antara lain :

1. Tindak Pidana Korupsi dengan Memperkaya Diri Sendiri, Orang Lain, atau

Suatu Korporasi (Pasal 2)

2. Tindak Pidana Korupsi dengan Menyalahgunakan Kewenangan, Kesempatan,

Sarana Jabatan, atau Kedudukan (Pasal 3)

3. Tindak Pidana Korupsi Suap dengan Memberikan atau Menjanjikan Sesuatu

(Pasal 5)

4. Tindak Pidana Suap pada Hakim dan Advocat (Pasal 6)

5. Korupsi dalam Hal Membuat Bangunan dan Menjual Bahan Bangunan dan

Korupsi dalam Hal Menyerahkan Alat Keperluan TNI dan NKRI (Pasal 7)

6. Korupsi Pegawai Negeri Menggelapkan Uang dan Surat Berharga (Pasal 8)

7. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri Memalsu Buku-Buku dan

Daftar-Daftar (Pasal 9)

8. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri Merusak Barang, Akta, Surat, atau

Daftar (Pasal 10)

67

Distorsi adalah penyimpangan, pemutar balikan suatu fakta. (menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia)

68


(41)

9. Korupsi Pegawai Negeri Menerima Hadiah atau Janji yang Berhubungan dengan Kewenangan Jabatan (Pasal 11)

10. Korupsi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negar atau Hakim dan Advocat

Menerima Hadiah atau Janji; Pegawai Negeri Memaksa Membayar, Memotong Pembayaran, Meminta Pekerjaan, Menggunakan Tanah Negara, dan Turut Serta dalam Pemborongan (Pasal 12)

11. Tindak Pidana Korupsi Suap Pegawai Negeri Menerima Gratifikasi (Pasal

12B)

12. Korupsi Suap Pegawai Negeri dengan Mengingat Kekuasaan Jabatan (Pasal

13)

13. Tindak Pidana Pelanggaran Terhadap Pasal 220, 231, 421, 422, 429, dan 430

KUHP (Pasal 23)

7. Perbedaan Penahanan pada Masa HIR dengan KUHAP

Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal

serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP.69

Penahanan sebenarnya telah diatur dalam Het Herziene Inlandsch

Reglement (HIR). Akan tetapi setelah berlaku KUHAP, mengenai penahanan ini diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 31 KUHAP, dimana untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan masing-masing penegak

hukum berwenang melakukan penahanan.70

69

Pasal 1 butir 21 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

70

Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum dan Acara Pidana, Cetakan pertama, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 106.


(42)

Terdapat perbedaan-perbedaan pengaturan penahanan di dalam HIR dan juga KUHAP. Perbedaan tersebut antara lain adalah :

1. HIR tidak mengenal berbagai jenis penahanan, yang ada hanya

penahanan rumah tahanan kepolisian, atau penyebutan jenis tahanan berdasar instansi yang melakukan sehingga klasifikasi yang signifikan pada waktu itu, tahanan polisi, tahanan jaksa, atau tahanan hakim. Lain halnya dalam KUHAP, telah memperkenalkan dengan resmi macam

jenis penahanan.71

2. Jenis-jenis penahanan yang telah diperkenalkan oleh KUHAP ini diatur

dalam Pasal 22 ayat (1) KUHAP jenis-jenis penahanan dapat dibedakan dalam penahanan rumah tahanan negara, penahanan rumah, dan Penahanan kota

72

yang masing masing penahanan tersebut mendapatkan pengurangan masa penahanan pada penjatuhan pidana. Jadi, karena HIR tidak mengenal jenis penahanan, maka di dalam HIR juga tidak mewajibkan pengurangan masa penahanan pada penjatuhan

pidana.73

3. Kewenangan melakukan penahanan di dalam HIR hanya jaksa dan

pembantu jaksa dan hakim hanya memperpanjang masa penahanan yang dilakukan oleh jaksa. Sedangkan dalam KUHAP menentukan bahwa ada tiga macam pejabat atau instansi yang berwenang

71

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

Penyidikan dan Penuntutan, Sianar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 165. (selanjutnya disebut buku II)

72

Hari Sasangka, op.cit, hlm. 117.

73


(43)

melakukan penahanan yaitu penyidik atau penyidik pembantu, penuntut

umum, dan hakim.74

4. Lamanya penahanan setelah suatu perkara dilimpahkan ke Pengadilan

di dalam HIR sama sekali tidak dibatasi. Artinya selama itu ada di tangan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, dan tidak dikeluarkan suatu ketetapan untuk mengeluarkan terdakwa dari tahanan, terdakwa masih berstatus tahanan dan sah. Di dalam KUHAP hal demikian tidak mungkin terjadi lagi, pembatasan-pembatasan wewenang sangat diperketat, terutama dalam hal jangka waktu dan pejabat yang berwenang untuk melakukan penahanan. Disamping itu, terdapat pula suatu penahanan yang tidak sah. karena kalau jangka waktu yang ditentukan telah lewat, terdakwa harus dikeluarkan demi

hukum.75

5. Penuntut umum tidak dapat memperpanjang penahanan yang dilakukan

oleh pembantu jaksa jika dilihat dari ketentuan yang diatur oleh HIR. Penuntut umum hanya dapat melakukan penahanan sendiri yang paling lama 30 hari. Sedangkan dalam KUHAP, penuntut umum dapat melakukan perpanjangan penahanan yang telah dilakukan oleh penyidik

paling lama empat puluh hari.76

Penahanan dalam HIR jika dibandingkan dengan ketentuan dalam

KUHAP, maka KUHAP jauh lebih menjamin hak-hak asasi tersangka.77

74ibid

, hlm 135.

Terlebih

75

Mien Rukmini, op.cit. hlm. 127.

76

Andi hamzah, op.cit, hlm. 136

77


(44)

lagi dengan hadirnya lembaga praperadilan. Penahanan yang dikenakan kepada seseorang kemudian ia berpendapat bahwa penahanan dilakukan secara tidak sah atau tidak sesuai dalam KUHAP maka tersangka/terdakwa atau keluarganya atau pihak lain yang dikuasakan misalnya penasehat hukumnya, dapat meminta pemeriksaan dan putusan hakim tentang sahnya penahanan atas dirinya tersebut. Pemeriksaan tersebut menurut KUHAP dilakukan oleh pengadilan, dikenal

sebagai Lembaga Praperadilan.78

Kewenangan penyidik dan penuntut umum untuk melakukan upaya paksa khususnya penahanan ini merupakan tindakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dari hak asasi tersangka, oleh karenanya upaya paksa yang merupakan wewenang penyidik dan penuntut umum harus dapat dipertanggung jawabkan menurut hukum. Untuk mengawasi dan menilai apakah upaya paksa tadi tidak bertentangan dengan hukum dan undang-undang maka lahirlah lembaga praperadilan (penjelasan Pasal 80 KUHAP).

79

Selain itu tujuan diadakannya lembaga praperadilan adalah demi tegaknya hukum, kepastian hukum dan

perlindungan hak asasi tersangka.80

M. Metode Penelitian

Adapun Metode penelitian yang dipergunakan di dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

78

Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.01.PW.07.03.TH.1982 tentang pedoman pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

79

M. Yahya Harahap (buku II),op.cit, hlm. 74. 80


(45)

Penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif yakni penelitian yang memperlajari berbagai norma-norma hukum. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan peraturan yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini. Selain itu skripsi ini juga menganalisis putusan praperadilan yang menyangkut masalah syah atau tidaknya penahanan yang diperoleh dari Pengadilan Negeri Stabat.

2. Metode Pengumpulan Data

Dalam hal pengumpulan data, maka data sekunder diperoleh melalui Studi Kepustakaan (Library Research) untuk memperoleh berbagai literatur dan peraturan perundang-undangan.

3. Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian kemudian dianalisis secara kualitatif yaitu apa yang diperoleh dari penelitian yang kemudian dipelajari secara utuh dan menyeluruh (komprehensif) untuk mendapatkan jawaban permasalahan dalam skripsi.

N.Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi ke dalam empat bab, masing-masing bab terdiri atas beberapa sub bab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Selanjutnya sistematikanya adalah sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan

Bab ini menguraikan Latar belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan. Selanjutnya adalah Tinjauan Pustaka yang menguraikan tentang pengertian dan tujuan


(46)

praperadilan, ruang lingkup tindak pidana korupsi, serta penahanan dalam proses pemeriksaan perkara korupsi. Pada bagian akhir dari bab ini berisikan tentang : Metode Penelitian dan Sistematikan Penulisan.

Bab II : Menguraikan tentang upaya praperadilan memberikan perlindungan

terhadap tersangka dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi yang didalam sub babnya diuraikan juga tentang penyidikan penyidikan dan penyidik dalam tindak pidana korupsi, upaya paksa yang dapat dilakukan penyidik dalam tindak pidana korupsi, serta upaya praperadilan sebagai sarana kontrol dan melindungi hak tersangka dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi.

Bab III : Kasus Posisi dan Analisis Kasus

Dibahas mengenai pemeriksaan praperadilan di Pengadilan Stabat mengenai sah tidaknya penahanan yang dilakukan penyidik kejaksaan dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan cara menganalisis putusan no.01/Pid/Pra.Per/2011/PN.STB, dipaparkan kasus posisi, dasar pemohonan mengajukan praperadilan, pertimbangan hakim, dan putusan serta mengkaji putusan tersebut.

Bab IV : Merupakan bab paling akhir yang menguraikan tentang : Kesimpulan

dan saran. Pada bagian kesimpulan akan tercantum kesimpulan-kesimpulan dari pembahasan yang dilakukan pada bab-bab sebelumnya, yang merupakan jawaban terhadap permasalahan yang diajukan pada penulisan ini. Pada bagian saran, diuraikan saran dari penulis untuk masalah yang ada dalam penulisan ini.


(47)

BAB II

UPAYA PRAPERADILAN MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP TERSANGKA DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK

PIDANA KORUPSI

D.Penyidikan dan Penyidik dalam Tindak Pidana Korupsi 3. Penyidikan dalam Tindak Pidana Korupsi

Istilah penyidikan merupakan padanan kata dari bahasa Belanda , dari

bahasa inggris “investigation” atau dari bahasa Latin “investigatio”.81 Pada

ketentuan pasal 1 angka 2 KUHAP, dapat disebutkan bahwa: 82

“ Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.

Menurut Andi Hamzah, bagian-bagian penyidikan yang berkaitan dengan

acara pidana adalah : .83

a. Ketentuan-ketentuan tentang data-data penyidikan

b. Ketentuan-ketentuan tentang diketahuinya terjadi delik

c. Pemeriksaan di tempat kejadian

d. Pemanggilan terangka atau terdakwa

e. Penahanan sementara

f. Penggeledahan

g. Pemeriksaan atau investigasi

h. Berita acara (penggeledahan, introgasi, dan pemeriksaan di tempat)

i. Penyitaan

j. Penyampingan terdakwa

k. Pelimpahan perkara kepada perkara kepada penuntut umum dan

pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan

81

Yudi Kristiana, op.cit. .hlm78. 82

Lenden Marpaung,op.cit, hlm11

83


(48)

Hukum memang tidak ada yang mutlak, senantiasa ada pengecualian (geen

recht zonder uitzondering)84

“Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”.

. Terdapat pengecualian menurut pasal 284 ayat (2) KUHAP yaitu :

Kemudian pada penjelasan pasal 284 ayat (2) KUHAP tersebut dijelaskan bahwa :

“Yang dimaksud dengan ketentuan khusus acara pidana sebagai mana tersebut pada Undang-Undang tertentu ialah ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada, antara lain:

1. Undang-Undang tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak

pidana ekonomi (Undang-Undang nomor 7 Drt. Tahun 1955)

2. Undang-Undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi

(undang-Undang nomor 3 tahun 1971).”

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan perubahannya termasuk kedalam ketentuan khusus acara pidana atau tindak pidana khusus. Karena adanya

asas lex specialis derogate lex generalis dalam penerapan perundang-undangan

nasional maka berlakulah undang-undang tindak pidana korupsi yang bersifat

khusus dari pada KUHAP yang bersifat umum85

Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menyebutkan : .

“Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasar hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”

84

Amiruddin Syarif, Perundang-Undangan, Dasar, Jenis, dan Teknik Membuatnya. Rineka Cipta Edisi.1997.hlm. 84.

85

Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia.UII Press, Yogyakarta, 2011, hlm. 15.


(49)

Ketentuan yang dirumuskan dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ini sangat berkaitan dengan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menentukan:

“Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”

Yang dimaksud dengan hukum acara pidana yang berlaku dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Dan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 adalah:86

1. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap tersangka tindak pidana korupsi yang statusnya adalah masyarakat sipil.

2. Ketentauan-ketentuan yang terdapat dalam Undang Nomor 31 Tahun

1997 tentang Peradilan Militer terhadap tersangka tindak pidana korupsi yang statusnya adalah anggota militer.

Adapun yang dimaksud dengan kecuali ditentukan lain dalam

undang-undang ini dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Pasal 39

Ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 adalah bahwa yang menjadi dasar hukum untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan

disidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi adalah:87

1. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 yang mengatur tentang penyelidikan, penyidikan,

86

Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 100


(50)

penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi.

2. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang mengatur tentang penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi.

Pengaturan tentang tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan perubahannya dan memiliki perbedaan dengan KUHAP, yaitu:

Tabel. 2

Perbedaan

Keterangan KUHAP

Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2002

jo. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999

1. Kewajiban saksi

memberi keterangan.

Tersangka dalam penyidikan dimintai keterangan apapun yang

diperlukan untuk membuat terang dugaan

tindak pidana, memberikan keterangan

itu wajib (Pasal 116 ayat 2). Namun tidak ada sesuatu sanksi apabila tersangka tidak bersedia memberikan keterangan.

Tersangka korupsi menurut Pasal 28 wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istrinya atau suaminya, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau patut diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka. Apabila kewajiban itu dilanggar, maka terhadapnya diancam pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) . Pasal


(51)

28 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. 22 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971.

2. Alat bukti Pasal 184 ayat (1)

meyebutkan alat-alat bukti yaitu:

a. Keterangan saksi

b. Keterangan ahli

c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan

terdakwa

Pasal 26A terdapat perluasan alat bukti petunjuk. Dalam tindak pidana korupsi, alat-alat buktinya selain menurut pasal 184 KUHAP, juga dapat diperoleh dari :

a.Alat bukti lain yang

berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

b.Dokumen, yakni setiap

rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan dan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas,benda fisik apapun selain kertas, maupun yang

terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara,

gambar, peta, rancangan, foto, huruf,

tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

3. Prioritas Penanganan KUHAP mengandung

asas peraadilan cepat, namun bukan prioritas.

Pasal 25 memberikan prioritas dalam hal penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang pengadilan dalam perkara


(52)

didahulukan daripada perkara lain guna dilakukan tindak penyelesaian secepatnya.

Sifat prioritas ini bukan fakultatif, malainkan imperatif atau keharusan

4. Dalam hal tidak

ditemukan cukup bukti.

Penghentian penyidikan. (Pasal 109 ayat 2)

Dalam hal pekerjaan penyidikan tidak menemukan bukti-bukti

yang cukup sehingga penyidik berpendapat tidak cukup bukti tentang terjadinya tindak pidana, sedangka secara nyata telah ditemuan kerugian keuangan negara, artinya jika yang ditemukan sekedar perkara perdata saja yakni berupa perbuatan melawan hukum, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada jaksa pengacara negara atau kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan perdata (Pasal 32)

5. Memberikan

keterangan yang benar.

Kewajiban saksi berkata benar oleh hukum pidana

umum melekat pada

sumpahnya sebagaimana pasal 242 KUHP. (Pasal 76 KUHAP)

Setiap orang yang ditetapkan sebagai saksi diharuskan memberikan keterangan secara benar disertai ancaman pidana atau merupakan tindak pidana. (Pasal 22 jo.35)

6. Sistem

pembuktian

Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. (Pasal 66 KUHAP)

Sistem pembuktian terbalik yaitu dibebankan kepada terdakwa (Pasal 37)

7. Apabila terdakwa

tidak hadir dipersidangan

Proses pemanggilan terdakwa yang tidak hadir

dalam persidangan setelah dipanggil secara

Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan


(53)

sah dan tanpa alasan yang sah dilakukan sampai dua kali panggilan tetap tidak hadir, terdakwa harus dihadirkan secara paksa. (Pasal 154 KUHAP)

yang sah maka perkara dapat diperiksa dan

diputus tanpa kehadirannya.(Pasal 38)

Selain dari kelebihan dari KUHAP, undang-undang tindak pidana korupsi juga memiliki kelebihan dari undang-undang lainnya yaitu :

1. Dalam hal upaya untuk menelusuri keadaan keuangan tersangka atau

terdakwa, pada saat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan di sidang pengadilan, penyidik, jaksa penuntut umum, maupun majelis hakim diberi kewenangan untuk meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa (Pasal 29 ayat 1). Wajib simpan rahasia diterobos oleh hukum pidana korupsi untuk kepentingan penanganan kasus

korupsi.88

2. Hak membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos,

telekomunikasi, atau alat lain yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa (Pasal 30) yang sesungguhnya hak ini dijamin kerahasiaannya melalui Pasal 23 jo. 430 KUHP.

89

3. Dalam hal tersangka meninggal dunia, menurut KUHP jika tersangka

meninggal dunia, maka hak menuntut hukuman menjadi gugur (Pasal 77 KUHP), sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,

88

Luhut MP. Pangaribuan , Hukum Pidana Maateriil Dan Formil Korupsi Di Indonesia, Galia Indonesia, Jakarta, 2008, hlm.383.

89ibid,


(1)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN C. Kesimpulan

1. Praperadilan adalah suatu lembaga yang bertujuan untuk penegakan hukum, kepastian hukum dan perlindungan hak asasi tersangka. Dengan adanya lembaga praperadilan, maka hak-hak asasi tersangka dapat terlindungi. Hak-hak tersangka yang dapat dilindungi oleh lembaga praperadilan ini adalah pelanggaran administratif dan prosudural dalam upaya paksa yang dilakukan oleh penegak hukum. Selain itu, lembaga praperadilan ini juga bermaksud dan tujuan guna melakukan tindakan pengawasan horizontal untuk mencegah tindakan hukum upaya paksa yang dilakukan terhadap tersangka yang berlawanan dengan undang-undang.

2. Pengajuan praperadilan terhadap penahanan, pada dasarnya sebagai bentuk rasa keadilan yang dibutuhkan oeh tersangka yang telah melakukan suatu tindak kejahatan, dalam melakukan penahanan sering kali penegak hukum mencederai hak-hak tersangka tindak pidana, yang seharusnya hak-hak tersebut dilindungi oleh penegak hukum. Praktek pengajuan praperadilan di pengadilan negeri Stabat (studi putusan Nomor : 01/Pid./Pra.Per/2011/PN.STB), telah memberikan jaminan hukum, rasa keadilan dan perlindungan terhadap hak asasi tersangka, dimana dalam prakteknya pengadilan


(2)

negeri Stabat (studi putusan Nomor : 01/Pid./Pra.Per/2011/PN.STB) mengabulkan permohonan pemohaon praperadilan tentang penahanan yang tidak sah dilakukan oleh termohon (penyidik kejaksaan dalam tindak pidana korupsi).

D. Saran

1. Perlu dilakukann perbaikan dan penambahan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, khususnya terhadap ketentuan yang mengatur tentang praperadilan karena lembaga praperadilan ini masih banyak kelemahan-kelemahan.

2. Para pelaksanan penegak hukum terutama yang berkecimpung langsung dalam proses perkara pidana, yaitu polisi, jaksa, hakim, dan advokat/pengacara harus sadar dan mengerti batas-batas kewenangannya. 3. Para pelaksana penegak hukum dalam melakukan tugasnya juga harus

menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, asas praduga tak bersalah, serta asas persamaan kedudukan dalam hukum.

4. Pengacara yang harus lebih proaktif dalam mendampingi kliennya pada saat dilakukannya pemeriksaan terhadap kliennya tersebut. Karena pada praktek yang terjadi saat ini, sering terjadinya pengacara hanya bisa melihat kliennya diperiksa tanpa didampingi oleh pengacaranya, pemeriksaan dilakukan pada saat bukan jam kerja, ataupun terjadinya “kucing-kucingan” antara pengacara dan penyidik.


(3)

5. Perlunya suatu lembaga pengawas terhadap jaksa yang merupakan penyidik dan penuntut umum apabila terjadi suatu tindak pidana korupsi. 6. Perlu adanya political will dari kejaksaan untuk menaati putusan

praperadilan agar putusan tersebut dapat dilaksanakan (berhubungan dengan pasal 270 KUHAP), sebab tidak ada kekuatan lain atau lembaga lain yang mempunyai wewenang malakukan atau memaksa jaksa untuk melaksakan putusan hakim dalam perkara praperadilan.

7. Agar adanya check and balance, maka setidaknya masyarakat juga harus dibekali oleh pengetahuan hukum agar mereka mengerti apa yang menjadi hak dan kewajiban hukumnya yang ini juga berguna untuk menghindarkan dirinya diperlakukan sewenang-wenang oleh penegak hukum.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A.BUKU

Ali, Mahrus. Hukum Pidana Korupsi di Indonesia.UII Press. Yogyakarta. 2011. Ermansjah Djaja. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Sinar Grafika. Jakarta. 2008.

Chazawi, Adami. Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan Sesat. Sinar Graha. Jakarta. 2010.

Hamzah, Andi. Bunga Rampai Hukum dan Acara Pidana. Cetakan Pertama. Ghalia Indonesia. Jakarta. 1986.

Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Sinar Grafika. Jakarta. 2000.

---. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan. Sinar Grafika. Jakarta. 2000. Kaligis, O.C. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan

Terpidana. Alumni. Bandung. 2006.

---. Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus dalam Pemberantasan Korupsi. Alumni. Bandung. 2006. Kristiana, Yudi. Indenpendensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi. PT. Citra

Aditya Bakti. Bandung. 2006.

Looeby loqman. Praperadilan di Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta:1984. Marpaung, Leden. Proses Penanganan Perkara Pidana (penyelidikan dan

penyidikan). Sinar Grafika. Jakarta. 2009.

Pamungkas, E.A. Peradilan Sesat; membongkar Kesesatan Hukum di Indonesia. Navila Idea. Yogyakarta. 2010.

Pangaribuan, MP. Hukum Pidana Maateriil Dan Formil Korupsi Di Indonesia. Galia Indonesia. Jakarta. 2008.


(5)

Sasangka, Hari. Penyidikan, Penahanan, Penuntutan, dan Praperadilan dalam Teori dan Praktek untuk Praktisi, Dosen, dan Mahasiswa. Mandar Maju. Bandung. 2007.

Semma, Mansyur. Negara dan Korupsi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 2008. Soeparmono, R. Praperadilan dan Penggabungan perkara Ganti Kerugian

dalam KUHAP. Mandar Maju. Bandung. 2003.

Syarif, Amiruddin. Perundang-Undangan, Dasar, Jenis, dan Teknik Membuatnya. Rineka Cipta. 1997.

Tanusubroto, S. Peranan Praperadilan Dalam Hukum Acara Pidana. Alumni. Bandung. 1983.

Wiryono, R. Tindak Pidana Di Indonesia. Alumni. Bandung. 1975. Kamus Besar Bahasa Indonesia

B.PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.01.PW.07.03.TH.1982 tentang pedoman pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

C.INTERNET


(6)

dengan judul : “Kasus Korupsi APBD Sragen: Penahanan Untung Tidak Sah”, diakses tanggal 6 Januari 2012.

Gugatan Praperadilan Terhadap Penahanan, diakses pada 6 Januari 2012.

Sisminbakum : Romli praperadilankan Jaksa Agung,diakses tanggal 6 Januari 2012.

5,3 Miliar Gugat Praperadilan Kejari Serang, diakses tanggal 6 Januari 2012. Legal Standing Pihak Ketiga Praperadilan Diakui. Diunggah pada sabtu, 20 Agustus 2011. Diakses pada Selasa, 6 Desember 2011.

sebagai alat buti. Diakses pada tanggal 20 Januari 2012.