Tinjauan fikih dan hukum positif terhadap perceraian akibat tidak mempunyai keturunan: studi analisis putusan cerai gugat karena suami impoten di pengadilan agama Jakarta Selatan perkara nomor: 241/Pdt.G/2007/PA.JS

(1)

TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP

PERCERAIAN AKIBAT TIDAK MEMPUNYAI KETURUNAN

“Studi Analisis Putusan Cerai Gugat Karena Suami Impoten di Pengadilan Agama

Jakarta Selatan Perkara Nomor : 241/Pdt.G/2007/PA.JS”

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

oleh :

Deni Ramadhani NIM : 105044101402

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP

PERCERAIAN AKIBAT TIDAK MEMPUNYAI KETURUNAN

“Studi Analisis Putusan Cerai Gugat Karena Suami Impoten di Pengadilan Agama

Jakarta Selatan Perkara Nomor: 241/Pdt.G/2007/PA.JS”

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh

Deni Ramadhani NIM :105044101402

Di bawah Bimbingan

Drs. H. A. Basiq Djalil ,SH, MA. NIP : 150 169 102

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul TINJAUAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP PERCERAIAN AKIBAT TIDAK MEMPUNAI KETURUNAN “Studi Analisis Putusan Cerai Gugat Karena Suami Impoten di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Perkara Nomor : 241/Pdt.G/2007/PA.JS” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 3 Desember 2009. skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Al Sakhshiyyah.

Jakarta, 10 Desember 2009

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP 195505051982031012

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA ( ……… ) NIP 195003061976031001

2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH ( ……… ) NIP 197202241998031003

3. Pembimbing : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA ( ……… ) NIP 195003061976031001

4. Penguji I : JM. Muslimin. M.A,. Ph.D. ( ……… ) NIP 150 29 54 89

5. Penguji II : Dr. KH. A. Juaini Syukri, Lc,. M.A. ( ……… ) NIP 195507061992031001


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata satu (S 1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 13 November 2009


(5)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum. Wr. Wb.

Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba selain segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, yang telah menciptakan manusia sebagai mahluk yang paling sempurna. Semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiap langkah-langkah kita di permukaan bumi ini. Diantara salah satu kesempurnaannya adalah Allah karuniakan manusia pikiran dan kecerdasan. Shalawat dan salam kita sanjungkan kepada pemimpin revolusioner ummat Islam sedunia tiada lain yakni, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan ummatnya yang selalu berpegang teguh “istiqamah” dalam menjalankan risalahnya, hingga akhir zaman.

Alhamdulillah, Akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum Islam di Fakultas Syariah dan Hukum. Juga dalam menyelesaikan skripsi ini tidak mengalami kesulitan serta hambatan yang penulis alami dan berkat kesungguhan hati, kerja keras dan motivasi serta bantuan dari para pihak, segala kesulitan tersebut memberikan hikmah tersendiri bagi penulis. Maka atas tersusunnya skripsi ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah


(6)

memberikan bantuan, bimbingan, petunjuk tentunya tidak terlepas dari beberapa individu yang sepanjang penulisan skripsi ini banyak membantu dalam memberikan bimbingan dan masukan yang berharga kepada penulis guna penyempurnaan skripsi ini. Terutama kepada kedua orang tua penulis yang selalu mencurahkan kasih sayang dan doanya serta berharap ananda dapat dapat menjadi anak yang mulia dan sukses dalam menempuh hidup di dunia dan akhirat. “Semoga amal baik keduanya dicatat disisi-Nya”. Amin.

Dalam kesempatan yang berharga ini penulis ingin mengungkapkan rasa hormat dan terima kasih tiada terhingga terutama kepada Bapak :

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum beserta staff dan jajarannya yang telah memberikan bimbingan serta arahan baik secara langsung maupun tidak langsung selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA. Ketua Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah Konsentrasi Peradilan Agama, sekaligus sebagai dosen pembimbing yang dengan sabar dalam memberikan arahan dan masukan yang amat bermanfaat kepada penulis hingga selesainya skripsi ini, tiada kata yang pantas selain ucapan rasa terima kasih dan do’a semoga Allah SWT membalasnya.


(7)

3. Kamarusdiana, S.Ag, MH. Sekretaris Prodi Ahwal Syakhshiyah Konsentrasi Peradilan Agama yang telah sabar dalam membantu proses transkif nilai, semoga Allah membalasnya.

4. Dr. KH. A Juaini Syukri, Lc., M.A dan JM. Muslimin, M.A,. Ph.D. selaku penguji penulis yang telah memberikan banyak kritik dan arahan sehingga penulis dapat menyempurnakan sekripsi penulis.

5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali penulis dengan ilmu yang berharga. Dan seluruh staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanannya yang sangat membantu penulis dalam memperoleh referensi-referensi untuk karya ilmiah ini.

6. Teristimewa buat Ayahanda, dan Ibunda serta kakak dan adik kandungku seluruh keluarga tercinta. Terima kasih atas segala do’a, kesabaran, jerih payah dan pengorbanan serta nasihat yang senantiasa memberikan semangat tanpa jemu hingga ananda dapat menyelesaikan studi. Tiada kata yang pantas selain ucapan do’a, sungguh jasamu tiada tara dan tak akan pernah terbalaskan.

7. Kepada Ketua Pengadilan Agama Jakarta selatan Drs. Pahlawan Harahap. SH, MA beserta staf, dan para hakim yang telah bersedia untuk wawancara langsung, Penulis ucapkan banyak terima kasih atas partisipasi dan bantuannya.


(8)

8. Kepada teman-teman seperjuangan baik dalam organisasi intra atau ekstra kampus yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas idea dan dukungan serta motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi. Jasa kalian akan dikenang sampai akhir hayat.

9. Teman-teman angkatan 2005/2006 Fakultas Syariah dan Hukum Konsentrasi Peradilan Agama, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas kebersamaannya selama penulis belajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, semoga persahabatan kita terjalin hingga di alam Syurga nanti.

Akhirul kalam, penulis ucapkan banyak terimakasih kepada seluruh komponen yang telah berjasa memberikan kontribusinya. Mudah mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya serta menjadi amal baik kita di sisi Allah SWT, Akhirnya, semoga setiap bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT.

Amin yaa robbal alamien.

Wassalamu’alaikum.Wr.Wb.

Jakarta, 13 November 2009 M


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………...v

DAFTAR ISI ...ix

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ..………....1

B.Pembatasan dan perumusan masalah ..………...….…….7

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ..………...…...8

D.Review Studi Terdahulu .………...…...9

E.Kerangka teori konseptual ...11

F. Metodologi Penelitian .………..…...12

G.Sistematika Penulisan .……….……..15

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN A.Pengertian dan Dasar hukum perceraian ………..……..17

B.Jenis-jenis dan Alasan-alasan Perceraian ...20

C.Akibat dan hikmah perceraian ……….………...29

BAB III TINJAUAN FIQH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP PERCERAIAN AKIBAT SUAMI IMPOTEN A.Pengertian Impotensi ...35

B.Impotensi Menurut Pandangan Ulama Fiqh ...……...38


(10)

C.Impotensi Menurut Hukum Positif ...………...40

D.Perceraian Akibat Suami Impoten Menurut Fiqh dan Hukum Positif ...42

BAB IV ANALISA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN TENTANG PERCERAIAN AKIBAT TIDAK MEMPUNYAI KETURUNAN A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan ………...……...47

B. Duduk Perkara ...……….…...52

C. Pihak-pihak Terkait ...53

D. Kronologi ...53

E. Ringkasan Keputusan ...57

F. Analisa Hukum ...61

BAB V PENUTUP A.Kesimpulan ………...66

B.Saran ………...67

DAFTAR PUSTAKA ………...………...68 LAMPIRAN ………...………..

1. Surat Pengajuan Proposal Skripsi ………. 2. Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi …………... 3. Laporan Tahunan Pengadilan agama Jakarta Selatan Tahun 2007 ... 4. Surat Permohonan Data dan Wawancara ……….. 5. Surat Bukti Wawancara ……….


(11)

6. Hasil Wawancara Dengan Hakim ……….. 7. Putusan Nomor 241/Pdt.G/PAJS ……….….


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan mempunyai nilai nilai yang Sakral dalam agama, karena mempunyai asas yaitu perkawinan untuk selama-lamanya yang diliputi oleh rasa kasih sayang dan cinta mencintai antar sesama pasangan. Oleh karena itu agama islam mengharamkan perkawinan yang bertujuan untuk sementara atau waktu tertentu sekedar untuk melepas hawa nafsu saja.

Setiap perkawinan pasti mempunyai keinginan dan tujuan maka dari itu banyak sekali tujuan dari perkawinan tersebut, tetapi pada intinya perkawinan itu bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini sesuai dengan Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada pasal 1.1 Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

1

Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta, Pradnya Paramita, 2006 ), cet 37 h. 537


(13)

! "

# $ % &

' (

!

Setiap manusia mendambakan pernikahan yang bahagia, dengan mewujudkan cita-cita sehingga terbentuklah keluarga yang bahagia tersebut. Akan tetapi banyak pernikahan tersebut hanyalah sekedar mimpi dan tidak seperti yang diharapkan karena banyak pasangan suami isteri yang bertengkar hanya karena masalah kecil, yang kemudian menjadi pertengkaran besar yang tidak sedikit berakhir dengan perceraian (talak).

Tujuan pernikahan dalam Islam adalah untuk memenuhi petunjuk Allah dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menjalankan hak dan kewajiban anggota keluarga sejahtera artinya menciptakan ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya kebutuhan hidup lahir batinnya, sehingga timbullah kebahagian, kasih sayang antara anggota keluarga. Rasa cinta dan kasih sayang dalam keluarga ini akan

2


(14)

dirasakan pula dalam masyarakat atau ummat sehingga terbentuklah ummat yang diliputi cinta dan kasih sayang3.

Tujuan pernikahan yang mereka inginkan tidak tercapai dengan baik, karena dengan berbagai alasan. Apakah karena faktor ketidak cocokan atau karena faktor lain seperti tidak mempunyai keturunan, tetapi pada dasarnya dari berbagai macam alasan tersebut kita haruslah berpikir jernih apakah keturunan atau anak mempunyai peranan penting dari arti pernikahan tersebut. Karena bila kita meninjau kembali dari tujuan pernikahan, yang diinginkan dari pernikahan tersebut banyak sekali tujuannya seperti : memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.4

Tetapi kalau tidak ada alasan apapun atau alasanya tidak masuk akal, maka perceraian yang demikaian adalah telah mengkufuri nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya dan telah berlaku jahat kepada isterinya. Oleh karena itu perceraian (talak) sangat dibenci oleh Allah.

Agama Islam membolehkan suami-istri bercerai, tentunya dengan alasan-alasan tertentu, kendati perceraian itu sangat dibenci oleh Allah SWT.1 Perceraian (Thalaq) merupakan suatu ajaran Islam dalam pernikahan, namun hal itu sangatlah

3

Kamal mukhtar, Asas-asas hukum islam tentang perkawinan (Jakarta, Bulan Bintang, 1993), cet 3, h.14

4

Abd.Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2006), cet Ke2, h, 22

1

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet ke-2, h.102.


(15)

dibenci oleh Allah meskipun halal (boleh), karena dengan perceraian berarti tujuan perkawinan menjadi pudar dan tidak tercapai

Perceraian dalam Islam bukan merupakan sesuatu yang banyak dilakukan ketika antara pihak suami dan istri sudah tidak harmonis lagi, akan tetapi ketika terjadi percekcokan maka antara kedua belah pihak suami ataupun istri mendelegasikan juru damai (hakam). Hakam ini berfungsi untuk menjembatani kemungkinan untuk membina kembali rumah tangga, juga melerai pertengkaran suami-istri agar keutuhan pernikahan mahligai rumah tangga dapat berlanjut sampai akhir hayat.2

Kasus-kasus perceraian sering terjadi ditengah-tengah kehidupan masyarakat entah itu di lakukan karena inisiatif suami untuk permohonan cerai-thalaq, atau inisiatif istri untuk menggugat cerai suaminya. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara umum dijelaskan mengenai perceraian diatur dalam pasal 113 sampai dengan 148 di bab tentang putusnya perkawinan.

Cerai gugat secara khusus diatur dari pasal 132 ayat 1 yang berbunyi:3

“Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada pengadilan agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.”

2

Satria M Zein, Yurisprudensi Hukum Keluarga Islam Kotemporer Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah, (Jakarta, Prenada Media, 2004), cet. Ke-1, h. 116.

3


(16)

Sampai dengan pasal 148 ayat 1 yang berbunyi:4

“Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khulu menyampaikan permohonannya kepada pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan-alasannya”.

Dalam hal terjadinya peceraian, haruslah memenuhi beberapa alasan sehingga perceraian tersebut dapat terlaksana, hal ini sesuai dengan pasal 39 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi : untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri iu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.

Dalam KHI pasal 116 terdapat alasan-alasan perceraian antara lain yaitu:5

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar untuk disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain dalam jangka waktu 2 (dua) tahun secara terus-menerus tanpa izin dari pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapatkan pidana 5 (lima) tahun penjara atau hukuman lain yang lebih berat.

4 Ibid., h. 148

5


(17)

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman yang membahayakan keselamatan anggota keluarga.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai suami-istri.

f. Terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran antara kedua belah pihak sehingga tidak ada harapan untuk hidup harmonis (terdapat juga dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 39 ayat 2)

g. Suami melanggar taklik talaq

h. Peralihan Agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa perceraian (putusnya perkawinan) diatas, salah satu yang menjadi dasar diperbolehkannya perceraian adalah salah satu pihak mandapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri.

Dari kedua sumber hukum tersebut tidak ada yang menjelaskan tentang diperbolehkannya perceraian dengan alasan impotensi atau tidak mempunyai keturunan. Walaupun hal ini bisa dimasukkan pada poin e pasal 116 KHI, tetapi hal tersebut masih bisa diperdebatkan, karena apabila pernikahan yang tidak mempunyai keturunan bisa dijadikan alasan perceraian maka akan banyak pasangan yang mengalami pereraian.

Dalam menyikapi permasalah alasan perceraian diatas terdapat perbedaan antara tinjauan fiqh dan hukum positif mengenai apakah impotensi pada laki-laki


(18)

dapat dijadikan sebagai alasan perceraian. Sedangkan pada masa sekarang ini ilmu kedokteran semakin maju sehingga dapat menjadi sarana untuk mengatasi permasalahan tersebut. Karena perceraian dapat menimbulkan akibat hukum yang sangat besar, maka perlu diadakan studi komparatif dari uraian diatas, untuk itu penulis mengambil judul “TINJAUAN FIQIH DAN HUKUM POSITIF

TERHADAP PERCERAIAN AKIBAT TIDAK MEMPUNYAI

KETURUNAN “Studi Analisis Putusan Cerai Gugat Karena Suami Impoten di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor: 241/Pdt.G/2007/PA.JS”

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan ini lebih terarah, maka penulis membatasi yakni, hanya menekankan pada perceraian dengan alasan suami impoten atau tidak bisa memberikan keturunan yang ditinjau dari fiqih dan hukum positif dan mengetahui apa yang menjadi alasan hakim dalam memutuskan perkara tersebut.

2. Rumusan Masalah

Masalah dalam skripsi ini dapat penulis rumuskan sebagaimana berikut “Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pasal 39 dan PP No 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 diatur secara eksplisit tentang kebolehan isteri menggugat cerai suaminya apabila tidak mempunyai keturunan, sedangkan Undang-undang tersebut tidak mengatur secara


(19)

ekplisit kebolehan istri mengajukan cerai gugat apabila suami tidak bisa memberikan keturunan karena impoten. Tapi pada faktanya putusan cerai gugat karena alasan suami mengalami impoten terjadi di pengadilan agama. Hal ini yang ingin penulis telusuri lebih dalam tentang bagaimana hakim mengambil pertimbangan keputusan dalam putusan cerai gugat karena alasan suami mengalami impoten”

Dari rumusan di atas penulis dapat merinci dalam bentuk beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana persfektif fiqih mengatur tentang perceraian dengan alasan impoten ?

2. Bagaimana perspektif hukum positif mengatur tentang perceraian dengan alasan impoten?

3. Apakah yang menjadi alasan hakim dalam mengambil keputusan pada perkara tersebut?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dengan merujuk pada pembahasan diatas maka penelitian bertujuan

1. Memahami bagaimana fiqh mengatur terhadap Impotensi sebagai alasan perceraian.

2. Memahami bagaimana hukum positif mengatur terhadap Impotensi sebagai alasan perceraian.


(20)

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Bagi penulis menambah wawasan pengetahuan tentang arti pentingnya pernikahan dan memahami perkembangan hukum islam dan hukum positif dibidang perkawinan

b. Bagi masyarakat umum menambah wawasan dalam memahami serta lebih mengerti tentang masalah perkawinan, terutama masalah perceraian

c. Bagi fakultas memberikan sumbangan kepustakaan dalam rangka pengembangan akademis.

Untuk menemukan pembahasan dalam penulisan skripsi ini penulis menelaah litelature yang sudah membahas tentang judul yang akan penulis kemukakan dalam penulisan skripsi :

! (

&

&

)

& &

!

! ( * & ! " !


(21)

# &

+! )

& & !

,! - + $ # ! " % ! $

" &

% +

! )

& % +

! ) !

Perbedaan skripsi-skripsi diatas dengan skripsi yang akan penulis bahas adalah dalam skripsi ini yang ingin penulis bahas dan teliti khusus perceraian akibat tidak mempunyai keturunan. Yang menjadi pembahasan antara lain:

1. Cerai gugat yang dilayangkan isteri dikarenakan sang suami mengalami impotensi atau tidak dapat memberikan keturunan.


(22)

2. Skripsi ini menganalisis putusan pengadilan agama, yang secara tidak langsung menganalisa putusan hakim yang menyelesaikan perkara cerai Gugat akibat tidak mempunyai keturunan.

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sedangkan pernikahan dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

" &

& & ! )

&

, .

, /!

) &


(23)

&

& ! "

! "

!

! *

% "

# +! ) + (

! "

+ +

!/

0 1

6


(24)

a. Study Lapangan (Field Research) untuk memperoleh informasi yang akurat dan obyektif dari tempat penelitian baik dengan observasi langsung maupun dengan menggunakan data-data dalam bentuk resmi dari lembaga pengadilan. Sedangkan tempat penelitian adalah Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

b. Study Pustaka (Library Research) yaitu metode pengumpulan data yang dipergunakan bersama-sama metode lain seperti wawancara, pengamatan (observasi) dan kuesioner.7 Pada tahapan ini penulis mencari landasan teoritis dari rumusan masalah yang ada dan studi kepustakaan merupakan separuh dari keseluruhan aktivitas penelitian.8 pencarian literatur secara umum dengan buku-buku, seminar-seminar ataupun media elektronik yang menunjang pembahasan penulis.

! " )

a. Data primer

Data primer yaitu bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir, ataupun pengertian baru tentang fakta yang

7

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek., h. 50.

8

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, ( Jakarta, PT. Raja grafindo Persada, 2003) Cet. Ke. 6, h. 113.


(25)

diketahui maupun mengenai suatu gagasan.9 Diantaranya adalah buku, seminar, laporan penelitian, majalah, disertasi dan seterusnya. Data tersebut di dapatkan dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan berupa putusan cerai gugat, dan Wawancara terhadap Hakim.

! )

Data sekunder adalah bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer.10 Dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen, dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Quran, Hadis, buku-buku ilmiah, Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, UUPA (undang-undang peradilan Agama) No 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-undang No 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama, KHI, serta dokumen lainnya.

,! )

Pengumpulan data dalam penelitian ini di lakukan dengan cara : a. Menganalisis terhadap putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. b. Interview atau wawancara yaitu metode yang dianggap sebagai metode

yang paling efektif dalam pengumpulan data primer di lapangan.11

9

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Di dalam Penelitian Hukum, (Jakarta, Pusat Dokumentasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1986) h.34.

10

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Di dalam Penelitian Hukum, h. 35.


(26)

Yaitu penulis mengadakan dialog langsung dengan responden dalam hal ini adalah hakim, panitra ataupun pihak yang berperkara di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

c. ( )

Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, Dalam menganalisis data penulis menggunakan analisis deskriptif yaitu suatu metode analisis data dimana penulis menjabarkan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian. Sehingga didapatkan suatu kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini.12

d.

Dalam penyusunan metode penulisan, semua berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. G. Sistematika Penulisan

BAB I Pada bab ini menguraikan alasan dan ketertarikan penulis dalam meneliti masalah ini, gambaran secara keseluruhan skripsi, seperti yang terdapat di dalam latar belakang masalah, agar penulisan skripsi ini dapat tertuju pada

11

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek., h. 57.

12

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, (Bandung, Alfabeta, 2007), cet ke-III, h. 244


(27)

masalah pokoknya maka perlu dibuat pembatasan dan perumusan masalah serta tujuan dan manfaat penelitian, dan supaya penulisan skripsi ini lebih terarah maka penulis menggunakan review study terdahulu, kerangka teori konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II Sebelum berbicara mengenai impotensi menurut perspektif hukum fikih dan hukum positif maka penulis akan terlebih dahulu membahas sekilas tentang tinjauan umum tentang Perceraian yang di dalamnya terdapat penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan pengertian dan dasar hukum Perceraian, Jenis-jenis dan alasan-alasan perceraian, serta akibat dan hikmah dari perceraian.

BAB III Dalam bab ini penulis akan menjelaskan mengenai perceraian akibat tidak mempunyai keturunan dalam perspektif hokum fikih dan hukum positif yang didalamnya terdapat penjelsan mengenai apa yang dimaksud dengan impoten (pengertian), pandangan Ulama fikih tentang impotensi, pandangan hukum positif tentang impotensi, serta pandangan ulama fikih dan hukum positif terhadap impotensi.

BAB IV Pada bab ini menjelaskan mengenai Analisis penulis terhadap putusan hakim tentang perceraian akibat tidak mempunyai keturunan, terdapat profil mengenai Pengadilan Agama jakarta selatan, kronologis perkara perceraian akibat impoten, prosedur jalanya persidangan sampai pada putusan hakim, serta analisa penulis tentang putusan perkara perceraian nomor : 241/Pdt.G/2007/PA.JS

BAB V Bab terakhir yang memuat kesimpulan yang diperoleh dari teori yang menggambarkan secara umum tentang permasalahan yang dibahas untuk ditarik


(28)

kesimpulan, dalam bab ini juga mencakup saran-saran dari penulis atas permasalahan yang diteliti sehingga trcapai upaya untuk mencapai tujuan dari yang dilakukan.


(29)

BAB II

TINJAUAN UMUM PERCERAIAN

! "

# "

Secara bahasa (etimologi), talak artinya melepaskan ikatan dan membebaskan. Sedangkan menurut istilah (terminologi) para Ulama mengemukankan rumusan yang berbeda tentang arti talak. Al-Jaziri dalam kitabnya al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arb’ah merumuskan:13

! " #

Artinya: “Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau bisa juga disebut mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu”.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata cerai diartikan dengan pisah atau putus hubungan sebagi suami istri.14

13

Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arb’ah, (Kairo: Daarul Hadits, 2004), Juz IV, h. 278.

14

Departemen pendidikan dan kebudayaan kamus besar bahasa Indonesia, balai pustaka, h. 163


(30)

Sedangkan perceraian dalam bahasa arab adalah talak kata thalaq berasal dari kata (

%

-

$ &

-

$ %

) yang artinya lepas dari ikatan, berpisah, menceraikan, pembebasan.15 Ibnu Hajar dalam kitabnya Bulugh al-Maram merumuskan talak dengan: 16

'(

) "*

%

+,-Artinya: “Melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafadz talak atau semisalnya”.

Menurut Sayyid Sabiq talak terambil dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya ‘melepaskan atau meninggalkan’. Sedangkan menurut syara’, talak yaitu:

Menurut bahasa talak adalah:

.

/

"

12

3

4

%

5

6

"

4

7

8

9

:;

<

=

17

Talak diambil dari kata " ithlaq " yang menurut bahasa artinya " melepaskan atau meninggalkan ". menurut istilah syara' talak yaitu :

'(

7

:>

?

@

A

B

-:>

:C

,

18

Artinya: “Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri“.

15

Ahmad Warson Munawir, AlMunawir kamus besar Indonesia, ( Surabaya; Pustaka Progressif.1997 ). Cet ; 14 h.861

16

Ibnu Hajar al -‘Asqalani, Bulugh al-Maram, (Jakarta: Dar al-Islamiyah, 2002), h. 245.

17

Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah Jilid Dua, ( Darul Fattah, t.th ), h 278

18


(31)

Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dijelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan.

Setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (Pasal 39 ayat 1)19 Hal ini sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 115 dikatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.20

Bila kita melihat dari redaksi di atas bahwa yang dinamakan perceraian adalah menghilangkan atau melepas ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan tersebut maka tidak lagi halal bagi suami atas istrinya. Tetapi dari pengertian di atas ada perbedaan bahwa para ulama mendefinisikan perceraian bisa dilakukan kapanpun dan dimanapun, tetapi hal ini berbeda jika kita melihat di dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam bahwa perceraian dapat dilangsungkan hanya pada pengadilan agama.

Sehingga apabila ada orang Islam yang berada di negara Indonesia yang melakukan pernikahan secara sah baik secara agama atau negara dan ia melakukan

19

R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (PT Pradnya Paramita, Jakarta,2006) cet ke-37, h 549

20

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ( Akademika Persindo, Jakarta, 1992 ) h 141


(32)

perceraian di luar pengadilan agama maka perceraiannya itu tidak sah demi hukum atau batal demi hukum.

$ "

Memang tidak terdapat dalam Al-qur’an ayat-ayat yang menyuruh atau melarang eksistensi perceraian itu, namun isinya hanya sekedar mengatur bila thalaq terjadi. Di dalam hal perceraian dasar-dasar perceraian itu dapat kita lihat dari beberapa ayat Al-Qur'an atau hadis, seperti:

1.) Al-Baqarah Ayat 232

!" #

$ %&

' (")* +

, -.("/0 1 23 +

, 45 4"67 4 8 9 1

' :;<)=

, -./0> ? 1

D< E . FGF

Artinya : “ Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya”.(Q.S. Al-Baqarah Ayat 232 )

2.) At-Thalaq Ayat 1

@ABC D! )=

EF GH<

I K !" #

$ %&

, 45 6 A" L +

MNAP,C 4

$

.

H

Artinya :“ Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)”. (Q.S. At-Thalaq :1 )

3.) Hadits Abu Dawud dan Ibnu Majah

9 -<IJ 3 3J

.

K 9 * LM N:8 , J O K:ﺹ O 9"87 9


(33)

Q

R R " ) 7

S

21

Artinya :“Dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah Saw telah bersabda Sesuatu yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak “( Riwayat Abu Daud )

B. Jenis-Jenis dan Alasan-alasan Perceraian 1. Jenis-jenis Perceraian

Dilihat dari kemaslahatan atau kemudaharatannya, hukum perceraian adalah sebagai berikut :22

a. Wajib

Apabila terjadi perselisiahn antar suami isteri lalu tidak ada jalan yang dapat ditempuh kecuali dengan mendatangkan dua hakim yang mengurus perkara keduanya. Jika kedua orang hakim tersebut memandang bahwa perceraian lebih baik bagi mereka, maka saat itulah talak menjadi wajib.

b. Makruh

Talak yang dilakukan tanpa adanya tuntutan dan kebutuhan. Sebagian ulama ada yang mengatakan mengenai talak yang makruh ini terdapat dua pendapat, yaitu :

Pertama, bahwa talak tersebut haram dilakukan. Karena dapat menimbulkan mudharat bagi dirinya juga bagi isterinya, serta tidak mendatangkan manfaat

21

Abi Daud Sulaiman bin As-as Sajastani, Sunan Abi Daud, ( Daarul Fikr, 1994 ), h. 500

22

Syaikh Hasan Ayub. Fikih Keluarga, (t.t., Pustaka Al-Kautsar, 2006 ) cet ke 5, h 208


(34)

apapun. Talak ini haram sama seperti tindakan merusak atau menghamburkan harta kekayaan tanpa guna.

Kedua, menyatakan bahwa talak seperti itu dibolehkan, hal itu didasarkan kepada sabda Rasulullah SAW, yaitu :

9 -<IJ 3

3J

.

K 9 * LM

N:8

, J O K:ﺹ O 9"87 9

-: O

Q

C

3

R R " ) 7

S

23

Artinya : “ Dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah Saw telah bersabda Sesuatu yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak “( Riwayat Abu Daud )

Talak itu dibenci karena dilakukan tanpa adanya tuntutan dan sebab yang membolehkan, dank karena talak semacam itu dapat membatalkan pernikahan yang menghasilkan kebaikan yang memang disunnahkan sehingga talak itu menjadi makruh hukumnya.

c. Mubah

Talak yang dilakukan karena ada kebutuhan, misalnya karena buruknya ahlak isteri dan kurang baiknya pergaulan yang hanya mendatangkan mudharat dan menjauhkan mereka dari tujuan pernikahan.

d. Sunnah

23


(35)

Talak yang dilakukan pada saat isteri mengabaikan hak-hak Allah Ta’ala yang telah diwajibkan kepadanya, misalnya shalat, puasa dan kewajiban lainnya. Sedangkan suami juga sudah tidak sanggup lagi memaksanya. Atau isterinya sudah tidak lagi menjaga kehormatan dan kesucian dirinya.

e. Mazhur (Terlarang)

Talak yang dilakukan ketika isteri sedang haid, para ulama Mesir telah sepakat untuk mengharamkannya. Talak ini disebut juga dengan talak bid’ah. Disebut bid’ah karena suami yang menceraikan itu menyalahi sunnah Rasull dan mengabaikan perintah Allah dan Rasul-Nya, sesuaikan firman Allah, yaitu :

@ABC D! )=

EF GH<

I K !" #

$ %&

, 45 6 A" L +

MNAP,C 4

$

.

H

Artinya : “Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)” ( Q.S. At-Thalaq ayat 1 )

Sedangkan dilihat dari dibolehkannya sang suami untuk kembali kepada isterinya, adalah24 :

1.) Talak raj’iy, talak yang sang suami diberi hak untuk kembali kepada isterinya tanpa melalui nikah baru, selama isterinya itu masih dalam masa iddah. Talak raj’iy itu adalah talak satu atau talak dua tanpa didahului tebusan dari pihak

24

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan, ( Jakarta, Prenada Media, 2006) h 220


(36)

isteri. Boleh ruju’ dalam talak satu atau dua itu dapat dilihat dalam firman Allah Swt, yaitu :

-R ("SL

T9 8 E U

V

WW $ X Y +

Z [\ 4]^ ;

1

_3= `a, 8

$ a Y b

D< E . FFT

Artinya : “ Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. “ ( Q.S.Al-Baqarah : 229)

2.) Talak bain, talak yang putus secara penuh dalam arti tidak

memungkinkan suami kembali kepada isterinya kecuali dengan nikah baru, talak bain inilah yang tepat untuk disebut putusnya perkawinan.

Talak bain ini terbagi kepada dua macam :

a) Bain Sughra, ialah talak yang suami tidak boleh ruju’ kepada mantan isterinya, tetapi ia dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa melalui muhallil. Yang termasuk bain sughra ini adalah :

Pertama : talak yang dilakukan sebelum isteri digauli oleh suami. Talak dalam bentuk ini tidak memerlukan iddah, maka tidak ada kesempatan untuk ruju’, sebab ruju’ hanya dilakukan dalam masa iddah. Hal ini sesuai firman Allah, yaitu :

@ABC D! )= )cd eS

V f <)X

I K ;)g

h ]& X -i

j 4

, 45 -ik !" # X

Tlm* e 9 1

MN45 \ /i 8 /i +

mn ;

, . (")o

a X

p],C @A)q rC)K 4 8

V

U > V .

WT Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, Kemudian kamu ceraikan mereka


(37)

sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.” ( Q.S Al-Ahzab ayat : 49 )

Kedua. Talak yang dilakukan dengan cara tebusan dari pihak isteri atau disebut khulu’, hal ini dipahami dari isyarat dalam firman Allah, yaitu;

9 Y + ^:'

st 1

uv =

/ -C (

23 +

// ]& 0

/iAm`(") uv + an/C)k + w b ; /_+" 8

- -C (

23 + /5 -C)k 4 8

x )X

,C/4)k)=

/ -C (

/_y! D zD +

n45

)9 u " S6

D< E .

FFT Artinya :“ Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.” ( Q.S. Al-Baqarah : 229 )

Ketiga. Perceraian melalui putusan hakim di pengadilan atau yang disebut fasakh.

b) Bain Kubra, yaitu talak yang tidak memungkinkan suami ruju’, kepada mantan isterinya, dia hanya boleh kembali kepada isterinya apabila isterinya telah kamin lagi dengan laki-laki lain dan bercerai pula dengan laki-laki itu dan habis masa iddahnya. Hal ini tersirat di dalamfirman Allah SWT yaitu :

9 Y +

/. !" #

23 + rl ) X

{ 1 | X -C 4)b xF} / /3:;& 8 e~ /?

{( `m 3• ;

9 Y +

/. !" #

23 +

// < 0

/iAm`(")o 9 1 /4/0 `)€)= D< E . FGX

Artinya : “ Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin


(38)

dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali “ ( Q.S. Al-Baqarah : 230 )

Sedangkan dilihat dari segi tegas atau tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai ucapan talak, maka talak dibagi menjadi dua macam, yaitu25 :

a) Talak Sharih, yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata yang jelas dan tegas, dapat dipahami sebagai pernyataan talak atau cerai seketika diucapkan, tidak mungkin dipahami lagi.

Menurut Imam Syafi’I mengatakan bahwa kata-kata yang dipergunakan untuk talak sharih ada tiga, yaitu talak, firaq, dan sarah, ketiga ayat itu disebut dalam Al-qur’an dan hadits.

Al-Zhahiriyah berkata bahwa talak tidak jatuh kecuali dengan mempergunakan salah satu dari tiga kata tersebut, karena syara’ telah mempergunakan kata-kata yang telah ditetapkan oleh syara’. Beberapa contoh talak sharih ialah seperti suami berkata kepada isterinya26 :

25

Abd.Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, ( Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2006 ), cet Ke 2, h 194

26

Abd.Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, ( Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2006 ), cet Ke 2, h 195


(39)

1. Engkau saya talak sekarang juga, engkau saya cerai sekarang juga. 2. Engkau saya firaq sekarang juga, engkau saya pisahkan sekarang juga. 3. Engkau saya sarah sekarang juga, engkau saya lepas sekarang juga. Apabila suami menjatuhkan talak terhadap isterinya dengan talak yang sharih maka menjadi jatuhlah talak itu dengan sendirinya, sepanjang ucapannya itu dinyatakan dalam keadaan sadar dan atas kemauan sendiri.

b) Talak Kinayah, yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata sindiran atau samar-samar seperti suami berkata kepada isterinya :

1. Engakau sekarang telah jauh dari diriku. 2. Selesaikan sendiri segala urusanmu. 3. Janganlah engkau mendekati aku lagi.

4. Keluarlah engkau dari rumah ini sekarang juga. 5. Pergilah engkau dari tempat ini sekarang juga. 6. Susullah keluargamu sekarang juga.

7. Pulanglah ke rumah orang tuamu juga sekarang.

8. Beriddahlah engkau dan bersihkanlah kandunganmu itu. 9. Saya sekarang telah sendirian dan hidup membujang. 10. Engkau sekarang telah bebas merdeka, hidup sendirian.


(40)

Talak dengan kata-kata tersebut di atas bisa menjadi jatuh talak, apabila sang suami mengatakan hal tersebut dengan niat memang menceraikan isterinya, niatlah yang menjadi indikator menurut Taqiyudin Al-Husaini.27

2. Alasan alasan perceraian

Yang dimaksud dengan alasan perceraian disini adalah suatu kondisi dimana suami atau isteri mempergunakanya sebagai alasan untuk mengakhiri atau memutuskan tali perkawinan mereka

Di indonesia dalam hal masalah perceraian telah di atur dalam rangkaian undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawianan. Dan sebagai warga negara indonesia sudah sepatutnya kita harus mentaati dan menjalankan peraturan yang ada. Pada pasal 39 ayat 1 menerangkan bahwa “ perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”

Dalam hal terjadinya perceraian haruslah memenuhi beberapa alasan-alasan. Sehingga perceraian tersebut dapat terlaksana, hal ini sesuai dengan pasal 39 ayat 2 undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi : “ untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.” Di dalam muatan Peraturan

27

Abd.Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, ( Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2006 ), cet Ke 2, h 196


(41)

Pemerintah Republik Indonesia No 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menerangkan bahwa alasan-alasan perceraian yang dinyatakan pada pasal 19 sebagai berikut:

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain luar kemampuanya;

c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang memnahayakan pihak lain;

e. salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

f. antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Sedangkan Di dalam pasal 116 kompilasi hukum islam (KHI) menjelaskan hal tambahan dua point dalam penyempurnaannya yaitu, Perceraian dapat terjadi karena:

a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;


(42)

b.salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain luar kemampuanya;

c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d.salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang memnahayakan pihak lain;

e. salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

f. antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

g.suami melanggar taklik-talak

h.peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga

C. Akibat Dan Hikmah Perceraian 1. Akibat Perceraian

Apabila perkawinan yang diharapkan tidak tercapai, dan perceraian yang diambil sebagai jalan keluarnya maka akan timbul akibat dari perceraian itu sendiri. Dalam hal ini baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 atau Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur hal tersebut pada pasal-pasal-pasal berikut ini, yaitu :


(43)

1. Dalam pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 197428 disebutkan, Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi keputusannya;

b.Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliaharaan dan pendidikan yang diperlakukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri; 2. Dalam pasal 149 Kompilasi Hukum Islam (KHI)29dinyatakan, Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :

a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda kecuali bekas isteri tersebut Qobla al Dukhul;

28

Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , ( Jakarta, Pradnya Paramita, 2006) h 549.

29

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta, Akademika Presindo, 2004, h 149


(44)

b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil;

c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya, dan separoh apabila Qobla al Dukhul;

d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun;

c) Dalam Pasal 150 dinyatakan, Bekas suami berhak melakukan ruju’ kepada bekas isterinya yang masih dalam masa iddah;

d) Dalam pasal 151 dinyatakan, Bekas isteri selama dalam masa iddah, wajib menjaga dirinya tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain;

e) Dalam pasal 152 dinyatakan, Bekas isteri berhak mendapat nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali bila ia nusyuz;

f) Dalam Pasal 156 dinyatakan, Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

a. Anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh :

1. Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu; 2. Ayah;


(45)

4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu; 6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah; b. Anak yang sudah mumayiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya;

c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;

d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri ( 21 tahun );

e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d);

f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

2. Hikmah Perceraian

Dalam suatu kejadian pastilah terdapat hikmah yang akan didapatkan, begitu juga pada permasalahan perceraian akan ada hikmah yang akan kita dapatkan, baik


(46)

bagi sang suami atau sang isteri. Talak pada dasarnya sesuatu yang halal tetapi hal yang paling dibenci oleh Allah, hikmah dibolehkannya talak itu adalah karena dinamika kehidupan rumah tangga kadang-kadang menjurus kepada sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pembentukan rumah tangga itu.30 Dalam keadaan begini kalau dilanjutkan akan menimbulkan mudharat bagi kedua belah pihak, baik itu sang suami atau isteri bahkan kepada sang anak itu sendiri.

Allah Yang Maha Bijaksana menghalalkan talak tapi membencinya, kecuali untuk kepentingan suami, istri atau keduanya, atau untuk kepentingan keturunannya. Dalam hal ini masalah ini mengandung dua hal yang merupakan kemungkinan terjadinya talak:31

1. Kemandulan, apabila seorang laki-laki mandul, maka ia tidak akan mempunyai keturunan, padahal anak adalah bagian utama dari perkawianan. Dengan anak atau keturunan, maka dunia kan lebih berwarna. Begitu pula dengan wanita mandul, maka ia tidak akan dapat memberikan keturnan bagi suaminya. Sehingga apabila salah satu pasangan mandul, maka perceraian dapat dijadikan solusi akhir, sebab diantara tujuan yang mendorong untuk melakukan

30 Amir Syarifudin

, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh dan Munakahat dan UU perkawinan, ( Jakarta, Prenada Media, 2006), h 201

31

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta, Akademika Presindo, 2004, h 167


(47)

perkawinan adalah anak atau keturunan. Sehingga disinilah hikmah adanya perceraian untuk mereka yang mandul, baik bagi laki-laki atau wanita.

2. Terjadinya perbedaan dan pertentangan kemarahan dan segala yang mengingkari cinta dan kasih saying. Karena kalau cinta dan kasih sayang sudah hilang dari kehidupan berumah tangga, maka perjalanan berumah tangga tidak akan lagi nyaman. Ketika terjadi pertengkaran, maka yang menjadi korban adalah anak, mereka akan berada dalam bahaya kegoncangan akibat sering melihat kedua orang tuanya bertengkar. Hal ini yang menjadi perceraian adalah solusi yang baik untuk mengeluarkan sanag anak dari bahaya kejiwaan karena seringnya ia melihat kedua orang tuanya bertengkar.

Selain hal itu, hikmah adanya perceraian, akan menambahkan kita pada pembelajaran hidup bahwasanya dalam hidup terdapat dinamika yang harus kita jalani, baik itu bersifat senang atapun sedih. Karena semua ini sudah ada ketentuannya yang telah lama ditentukan oleh Allah Swt, sehingga diharapkan semua peristiwa yang kita alami, dapat kita ambil hikmah atau sebagai pembelajaran untuk kehidupan kita kedepan agar lebih baik dan bisa lebih mendekatkan diri dengan sang pencipta yaitu Allah Swt.


(48)

BAB III

TINJAUAN FIQH DAN HUKUM POSITIF TERHADAP PERCERAIAN AKIBAT IMPOTENSI

E. Pengertian Impoten

Suatu perkawinan yang bahagia harus ada cinta kasih dan simpatik timbal balik, ide-ide bersama, minat bersama, keadaan keuangan yang relatif cukup serta kecocokan dalam berbagai hal seperti pribadi dan sosial. Dilain pihak juga benar bahwa suatu perkawinan tidak bisa sukses kalau tidak ada daya tarik seksual atau kalau kehidupan seksual tidak memuaskan.32

Banyak kendala kendala dalam rumah tangga dewasa ini langsung atau tidak langsung bersumber pada kesulitan-kesulitan seksual. Faktor seksual juga mempunyai peranan penting dalam perkawinan. Adanya mitos seks yang tidak benar membuat kendala dalam perkawinan seperti bahwa hubungan seksual adalah nafsu hewani yang hina dan kotor. Bila hal itu yang diingat karena pemahaman orang tua yang kaku tentang seks, maka keyakinan mereka tentang seks adalah hal yang memalukan padahal seks dalam perkawianan itu hal yang logis dan sakral.33 Diantara penyakit seks yang sering dialami seorang pria itu salah satunya adalah impoten

32

Anto Groho, Penyebab disfungsi pada pria, http://pa-sungailiat.pta-babel.net/talk-show.pasgt diakses tanggal 30-10-2009.

33


(49)

Impotensi atau adalah perihal lemah syahwat keadaan tidak berdaya sedangkan impoten adalah tidak ada daya untuk bersenggama atau mati pucuk (lemah syahwat atau tidak mempunyai tenaga) tidak dapat berbuat apa-apa.34

Kata impoten berasal dari bahasa inggris yang berarti tidak berdaya, tak bertenaga, mati pucuk (lemah zakar). Dan didalam bahasa Arab disebut “Unnah dan juga bisa disebut ‘Inniin yang berarti35:

3, J

” : Yang tak kuasa bersetubuh dengan perempuan

Ibnu abidin juga mengemukakan pendapatnya yang dikutip oleh Firdaweri di dalam bukunya tentang pengertian impotensi. Menurut bahasa impotensi adalah orang yang tidak sanggup bersetubuh. Dan menurut istilah orang impoten adalah orang yang tidak sanggupmensenggamai isterinya, karena terhalang dari sisuami itu sendiri. Seperti sudah tua atau masih kecil. Dan untuk lebih jelasnya Abdurrahman Al-Jaziri memperinci lagi maksud dari impoten itu, ia mengemukakan bahwa orang impoten ialah orang yang tidak sanggup bersenggama dengan isterinya pada kemaluanya, walaupun sudah bangun kemaluanya waktu mendekati isterinya, sekalipun dia sanggup bersetubuh dengan

34

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), cet. 2 h. 427

35

Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, (jakarta, CV Pedoman Ilmu Jaya, 1998, cet ke-1. h.90


(50)

wanita lain. (juga disebut impoten) orang yang hanya sanggup bersenggama dengan perempuan janda, tidak sanggup dengan perempuan perawan (juga disebut impoten) orang yang sanggup dengan isterinya pada duburnya dan tidak sanggup pada kemaluannya. Maka orang yang ditemui keadaanya seperti yang tersebut diatas dinamakan impoten untuk mensetubuhi isterinya.36

Menurut ilmu kedokteran yang dimaksud impoten disebut juga disfungsi erektil yang mana pengertiannya adalah Disfungsi erektil, yang juga disebut impotens, adalah ketidak mampuan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi yang cukup untuk menyelesaikan koiteus. Pasien dapan melaporkan penurunan frekuensi ereksi, ketidak mampuan untuk mencapai ereksi yang keras, atau detumescence (menghilangnya ereksi) yang cepat.37

Disfungsi seksual sering disebut juga disfungsi ereksi yaitu masalah seksual bagi sebagian pria. Tingkatan disfungsi ereksi dipengaruhi oleh beberapa hal seperti fisik (hormonal & gaya hidup) maupun psikis, dari ejakulasi dini hingga ketidakmampuan untuk mengalami ereksi sama sekali.38

36

Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, (jakarta, CV Pedoman Ilmu Jaya, 1998, cet ke-1. h.89

37

Brunner&Suddarth, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, (Jakarta, Pnerbit Buku Kedokteran EGC, 1997) jilid 8. h. 1621

38


(51)

Dengan demikian jelas bahwa yang dikatakan impoten dalam uraian diatas adalah menurut bahasa orang yang tidak sanggup bersetubuh, sedangkan menurut istilah Syara’ ialah orang tidak sanggup bersenggama pada kemaluan isterinya.

Dalam hal ini penulis beranggapan apabila hal ini terdapat pada seorang seorang suami tentu isteri kurang menerima haknya. Selama seorang isteri tidak mempermasalahkan hal ini dan merelakan keadaan suaminya impoten tidak akan menjadi masalah, akan tetapi bagi isteri yang tidak menerima keadaan seperti yang dijelaskan diatas dia akan menuntut haknya. Seorang isteri bisa mengadukanya kepada pengadilan Agama setempat dan tidak sedikit dari isteri yang mengalami keadaan seperti ini akan berakhir pada perceraian.

F. Impotensi Menurut Pandangan Ulama Fiqh

Para ulama telah sepakat bahwa jika salah satu dari suami isteri mengetahui adanya cacat pada pihak lain sebelum akad nikah ataupun diketahuinya sesudah akad, tetapi ia telah rela atau ada tanda yang menunjukan kerelaanya, ia tidak mempunyai hak untuk meminta cerai dengan alasan cacat bagaimanapun juga39.

Tetapi hal ini bisa berbeda bila salah satu pihak mengetahui adanya cacat pada salah satu pihak, dan pihak yang merasa dirugikan dapat meminta bercerai. Seperti seorang suami yang mempunyai penyakit impoten atau lemah syahwat atau

39

Mahmud Syalthut, Muqoronah al-Madzahib fi al-Fiqh, (Mahmud Ali Shibih, 1953), h.99


(52)

disfungsi seksual, maka bila terjadi hal itu istri dapat meminta bercerai atau khulu terdhadap suaminya.

Hal ini sejalan dengan pendapat para ulama tentang kebolehan khulu dengan alasan suami impoten atau mengalami disfungsi seksual adalah sebagai berikut:

1. Hanafiyah berpendapat bahwa suami tidak mempunyai hak Fasakh karena sesuatu cacat yang ada pada isteri. Yang memiliki hak fasakh hanyalah isteri apabila suaminya impoten, isteri tidak boleh khulu kecuali penyakit jab (terpotongnya zakar), impoten, gila, sopak, kusta.40

2. Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabillah berpendapat bahwa boleh tidaknya menuntut cerai adalah hak masing-masing seorang isteri. Ahmad bin Hanbal menambahkan penyakit yang boleh menuntut cerai adalah delapan yaitu: gila, sopak, kusta, jab (terpotongnya zakar), impoten, ar-ritq (tersumbatnya lubang vagina yang menyebabkan kesulitan bersenggama), al-qorn (benjolan yang tumbuh pada vagina), dan al-a’fal (daging yang tumbuh dan selalu mengeluarkan bau busuk). Sebagian mereka menambahkan lagi beberapa cacat seperti ambeien, buang air kecil terus menerus dan bau badan.

Tiga imam tersebut berhujjah dengan dalil nash untuk sebagian dan dengan qiyas untuk sebagian yang lain. Adapun nash hadits yang menerangkan bahwa nabi SAW bersabda kepada perempuan yang dilihatnya ada noda putih pada lambungnya, “bergabung kembali dengan keluargamu”. Dengan hadits ini jelas

40


(53)

sopak, kemudian diqiyaskan kepada kusta dan gila dengan alasan sama-sama menjijikan. Rasulullah SAW bersabda ”Larilah dari orang yang berpenyakit kusta”.

Hadis ini tegas-tegas memandang kusta itu salah satu untuk lari dan maksud dari lari itu adalah dengan fasakh. Mereka mengatakan, nikah dikiaskan dengan jual beli, cacat-cacat yang membolehkan fasakh pada jual beli, membolehkan juga fasakh pada nikah. Mereka mengqiaskan cacat-cacat tersebut kepada jab dan impoten, dengan alasan masing masing penyakit tersebut menghilangkan tujuan nikah bagi pihak suami isteri.

3. Ibnu Qayyim berpendapat boleh fasakh dengan cacat apapun bentuknya yang dapat menghilangkan ketenangan, kecintaan dankasih sayang. Beliau berpendapat bahwa menuntut cerai bisa dilakukan dengan alasan setiap cacat yang mebuat pasangan hidupnya tidak bertahan hidup bersamanya, baik penyakitnya parah atau tidak seperti mandul, tuli , buta, tangan atau kakinya terpotong, dan lain-lain.41

G. Impotensi Menurut Hukum Positif

Dalam hal impotensi (disfungsi seksual), di Indonesia sebagai negara hukum terdapat peraturan hukum atau Undang-undang yang menjelaskan hal itu. Hal tersebut terdapat pada peraturan yang mengatur tentang perceraian dengan karena

41


(54)

cacat badan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 124 yang menyatakan “khulu harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan pasal 116”

Adapun hubungan dalam masalah cacat badan pada pasal 116 ialah poin e yang menyatakan “ salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak mampu menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri” perceraian seperti ini pun selaras dengan KHI yang menyatakan adanya kesepakatan suami dan isteri sepertiyang tertulis dalam pasal 148 ayat 4 menyatakan: “setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadh atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di depan Pengadilan Agama. Terhadap penerapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi”.

Dihubungkan pula pasal 132 KHI yang menyebutkan “gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi daerah hukum penggugat kecuali isteri meninggalkan kediaman bersama tanpa seizin suami”

Oleh karena itu peraturan tentang cerai gugat sangat mendukung bahwa sinergi dan selerasnya antara khulu dan cerai gugat. Sinergi disini adalah bahwa cerai gugat dan khulu sama-sama datangnya atas kehendak isteri, yang membedakan adalah akibat hukum dan tebusan oleh isteri kepada suami.


(55)

Impoten atau lemah syahwat dalam undang undang perkawinan no 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan PP No 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan perkawinan undang-undang nomor 1 tahun 1974 tidak secara tegas disebutkan bahwa lemah syahwat atau impoten dapat dijadikan alasan tersendiri untuk melakukan perceraian.

Tetapi bila kita melihat pada pasal 39 poin 2 Undang-undang No 1 Tahun 1974 dikatakan “ untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antar suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Hal ini didasari pada pasal 34 poin 3 yaitu “ jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan”. Bila kita garis bawahi pada kata melalaikan kewajiban, banyak arti yang dapat diambil dari kata-kata tersebut. Dalam hal kewajiban berumah tangga bisa berarti kewajiban terhadap jasmani atau kewajiban terhadap rohani, kewajiban terhadap rohani disini seperti terpenuhinya kebutuhan biologis.

Bila kewajiban kebutuhan biologis tidak terpenuhi, maka akan sangat dikhawatirkan berpengaruh terhadap keharmonisan berumah tangga. Sehingga bila hal itu terjadi, dan salah satu pihak ingin bercerai maka alasan ketidak harmonisan tersebut dapat dijadikan alasan untuk bercerai.

H.Perceraian Akibat Impoten Menurut Fiqh dan Hukum Positif 1. Perceraian Akibat Impoten (disfungsi seksual) Menurut Fiqh


(56)

Aib dalam rumah tangga haruslah ditutupi oleh semua pihak di dalam kelurga tersebut, baik itu aib yang terdapat pada pihak suami atau pada pihak istri, tetapi bila aib tersebut berpengaruh pada keharmonisan rumah tangga, hal ini haruslah dapat didudukkan permasalahannya dengan bijak dan baik.

U

#

,

7

Y

Z

<

R

B

,

[

9"-Z

,

:

\]YV

^,_

3

U",B

7 ,# D <I I:

ZY

[`

:B

a Y

b

9"-c

ZBY :_

:

dEe&

ZY

c 2

'f

ZY:V 7 ,#

$;

b

9"-ﺕ"Ee +I

ZY

(

5

N J

&

Zﺥ

:

U",B

7 ,# ;EeI

B]ﺕ

A ,ﺵ

1 ﺙ ﺙ

=<;_ﺕ

@,Y

9 C<

A ]

Z6

" `

j k`

!<E

;#

9 C<

I6

[`

:B

1 B 7

'l;#ﺕ

A ]

Z6

<

$ﺕ:<

$;

( B

'[` Y

b

-<fk

:B

>`B

3J

m I`

+B

7 _; 4

<-1NnJ

" &

Y

Z

?<

b I&

3

Ao"

$ﺕ:<

?< R +_

$;

<*

3,

(*

Ao"

?<#

9"E

( B

1N*

" &

ZY

?<

(,-"%7

1

b Iﺕ

3

Dk

m I`

5

42

Dalam hal ini Penulis mengutip ulasan tentang permaslahan Aib ini dari kitab mizanul Kubro yang dikarang oleh Abi Al-Mawahib. Dalam kitab fikih ini menjelaskan bahwa terdapat kriteria aib dalam rumah tangga, baik yang terdapat pada laki-laki atau terdapat pada wanita atau juga terdapat pada keduanya. Adapun macam-macam aib tersebut adalah43 :

a. Aib yang terdapat pada laki-laki dan wanita 1. Junun ( Gila )

2. Juzam ( kusta/lepra)

42

Abi al-mawahib Abdul wahab bin ahmad, Mizanul Kubro, (Dar El-Fikr, 1978), h.115

43


(57)

3. Baros ( Penyakit kulit / Belang ) b. Aib yang terdapat pada Laki-laki

1. Al-Jub ( Terpotongnya zakar ) 2. Unnah ( Impoten )

c. Aib yang terdapat pada Wanita

1. Qorn ( Yang menghalangi atau mencegahnya Wath’i atau Jima’) 2. Rotak ( Vaginanya tertutup daging)

3. Fatek ( Dempetnya saluran kencing dan vagina)

4. Aflun ( Daging yang tumbuh sehingga mencegah nikmatnya berjima’) Bila semua atau salah satu tersebut yang di atas ada pada salah satu pihak dan hal tersebut dapat mempengaruhi keharmonisan dalam berumah tangga, maka salah satu pihak dapat memilih apakah meneruskan rumah tangga yang sudah berjalan atau memilih untuk berpisah.

Dalam hal adanya aib yang menyebabkan perceraian ini para fuqaha berbeda pendapat tentang permasalahan tersebut, yaitu :44

a. Menurut Imam Abu Hanifah ; berpendapat bahwasanya tidak ada fasakh dalam suatu pernikahan yang didasari karena adanya aib, akan tetapi perempuan tersebut boleh memilih, jika alasannya atau aibnya berupa al-jub ( terpotongnya zakar ) dan unnah ( impoten ).

44

Abi al-mawahib Abdul wahab bin ahmad, Mizanul Kubro, (Dar El-Fikr, 1978), h.115


(58)

b. Menurut Imam Maliki dan Syafi’i ; berpendapat bahwa ketetapan dalam masalah memilih tersebut diperbolehkan kecuali aib tersebut adalah fatek ( dempetnya lubang air kencing dan vagina).

c. Menuurt Imam Ahmad bin Hambal ; berpendapat bahwa semua aib dapat menyebabkan seorang wanita dapat memilih.

2. Perceraian Akibat Disfungsi Seksual Menurut Hukum Positif

Impoten atau lemah syahwat dalam undang undang perkawinan no 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan PP No 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan perkawinan undang-undang nomor 1 tahun 1974 tidak secara tegas disebutkan bahwa lemah syahwat atau impoten dapat dijadikan alasan tersendiri untuk melakukan perceraian.

Tetapi bila kita melihat pada pasal 39 poin 2 Undang-undang No 1 Tahun 1974 dikatakan “ untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antar suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Hal ini didasari pada pasal 34 poin 3 yaitu “ jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan”. Bila kita garis bawahi pada kata melalaikan kewajiban, banyak arti yang dapat diambil dari kata-kata tersebut. Dalam hal kewajiban berumah tangga bisa berarti kewajiban terhadap jasmani atau kewajiban terhadap rohani, kewajiban terhadap rohani disini seperti terpenuhinya kebutuhan biologis.


(59)

Bila kewajiban kebutuhan biologis tidak terpenuhi, maka akan sangat dikhawatirkan berpengaruh terhadap keharmonisan berumah tangga. Sehingga bila hal itu terjadi, dan salah satu pihak ingin bercerai maka alasan ketidak harmonisan tersebut dapat dijadikan alasan untuk bercerai.


(60)

BAB IV

ANALISA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN TENTANG PERCERAIAN AKIBAT TIDAK MEMPUNYAI

KETURUNAN A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan

1. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Pengadilan Agama Jakarta Selatan adalah sebagai salah satu institusi yang melaksanakan tugasnya memiliki dasar hukum dan landasan kerja sebagai berikut:45

1. Udang-Undang Dasar 1945 pasal 24;

2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

4. Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

5. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

6. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil

45

Diambil dari arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tanggal 06 november 2009, h.1


(61)

7. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 69 Tahun 1963, Tentang Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan

8. Peraturan-Peraturan lain yang berhubungan dengan tata cara kerja dan wewenang Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

$ % &

Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan surat keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No 69 Tahun 1963 tentang pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Pada awalnya Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta hanya terdapat tiga kantor yang dinamakan kantor cabang yaitu46:

1. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara; 2. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Tengah;

3. Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai induk;

Semua Pengadilan Agama tersebut di atas termasuk wilayah Hukum Cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah berdirinya Cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung berdasarkan surat keputusan Menteri Agama Nomor 71 Tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976 Tentang Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama.47

Semua Pengadilan Agama di Propinsi Jawa Barat termasuk Pengadilan Agama yang berada di daerah Ibu Kota Jakarta Raya berada dalam wilayah hukum

46

Diambil dari arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tanggal 06 november 2009, h.3.

47


(62)

Mahkamah Islam Tinggi menjadi Pengadilan Tinggi Agama (PTA). Berdasarkan surat keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1985 tanggal 16 Juli 1985 pembentukan Pengadilan Tinggi Agama Surakarta dipindahkan ke Jakarta, akan tetapi baru bisa direalisasikan pada tanggal 30 Oktober 1987 dan secara otoritas wilayah hukum Pengadilan Agama di Wilayah DKI Jakarta adalah menjadi Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta48. 3. Perkembangan Pengadilan Agama Jakarta Selatan

Terbentuknya kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan jawaban dari perkembangan masyarakat Jakarta, yang mana pada tahun 1967 merupakan cabang dari Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya yang berkantor di jalan Otista Raya Jakarta timur, dan sebutan pada waktu itu adalah cabang dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk sesuai dengan banyaknya jumlah penduduk serta tuntutan masyarakat Jakarta Selatan yang wilayahnya cukup luas, Sehingga pada waktu itu keadaan kantor dalam kondisi darurat, yaitu menempati gedung bekas kantor kecamatan pasar minggu tepatnya di gang kecil yang sampai saat ini dikenal dengan sebutan gang Pengadilan Agama Pasar Minggu Jakarta Selatan yang di pimpin oleh polana49.

48

Diambil dari arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tanggal 06 november 2009, h.3.

49


(63)

Penanganan kasus-kasus hanya berkisar pada permasalahan perceraian akan tetapi kalaupun ada mengenai warisan maka masuk kepada komparasi itupun dimulai tahun 1969 bekerja sama dengan Pengadilan Negeri yang pada saat itu dipimpin oleh Bismar Siregar. Sebelum tahun 1969 pernah pula membuat fatwa waris akan tetapi hal tersebut ditentang oleh pihak keamanan karena bertentangan dengan kewenangannya sehingga sempat terjadi penahanan beberapa orang termasuk Hasan Mughni karena fatwa waris tersebut, sehingga sejak saat itu fatwa waris ditambahkan dengan kalimat “jika ada harta peninggalan”50

Pada tahun 1976 gedung kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke Blok D Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan menempati serambi masjid Syarif Hidayatullah dan pada saat itu sebutan kantor cabang dihilangkan menjadi Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada saat itu diangkat pula beberapa hakim honorer yang salah satunya adalah Ichtijanto. Penunjukan tempat tersebut atas inisiatif kepala Kandepag Jakarta Selatan yang pada saat itu dijabat oleh Muhdi Yasin. Seiring dengan perkembangan tersebut diangkat pula 8 karyawan untuk menangani tugas-tugas kepanitraan yaitu; Ilyas Hasbullah, Hasan Jauhari, Sukandi, Tuwon Haryanto Fathullah AN, Hasan Mughni, dan Imran, keadaan penempatan kantor diserambi masjid tersebut bertahan sampai tahun 1979.51

50

Diambil dari arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tanggal 06 november 2009, h. 4.

51


(64)

Pada bulan Desember 1979 kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke gedung baru di. Jl. Ciputat Raya Pondok Pinang dengan menempati gedung baru dengan tanah yang masih menumpang pada areal tanah PGAN Pondok Pinang dan pada tahun 1979 pada saat Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang dipimpin oleh H.Alim, diangkat pula hakim-hakim honorer untuk menangani perkara-perkara yang masuk, mereka diantaranya adalah KH. Yakub, KH, Muhdas Yusuf, Hamim Qarib, Rasyid Abdullah, Ali Imran, Noer Chazin. Pada perkembangan selanjutnya yaitu semasa kepemimpinan Djabir Manshur kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke jalan Rambutan VII No.48 Pejaten Barat Pasar Minggu Jakarta Selatan dengan menempati gedung baru yang merupakan hibah dari pemda DKI. Di gedung baru ini meskipun kurang memenuhi syarat karena terletak ditengah-tengah penduduk dan jalan masuk dengan kelas III C akan tetapi jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan sebelumnya, pembenahan-pembenahan fisikpun dilakukan terutama pada masa kepemimpinan Jayusman52.

Begitu pula pembenahan-pembenahan administrasi terutama pada masa kepemimpinan Ahmad kamil. Pada masa ini pula Pengadilan Agama Jakarta Selatan mulai menggunakan komputer walaupun hanya sebatas pengetikan dan hal tersebut terus ditingkatkan pada masa Rif’at Yusuf. Pada masa perkembangan selanjutnya pada tahun 2001 pada saat itu kepemimpinan dijabat oleh Zainudin

52

Diambil dari arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tanggal 06 november 2009, h. 5.


(65)

Fajari, Pembenahan-pembenahan terus dilakukan baik fisik maupun non fisik sampai pada tahapan komputerisasi online dalam administrasi, dan hal tersebut pada saat ini masih terus dibenahi sampai sekarang oleh ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan Sayed Ustman dan sampai pada ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan sekarang yang dijabat oleh Pahlawan Harahap, yang tujuannya untuk meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan sehingga terciptanya keadilan dalam masyarakat53.

B. Duduk Perkara

Dalam hal ini penulis merumuskan awal dari permasalahan atau duduk perkara dari permasalahan yang dialami para pihak, baik dari pihak penggugat maupun dari pihak tergugat. Masalahnya adalah karena setelah penggugat dan tergugat berumah tangga ada beberapa hal yang membuat penggugat merasa membuat hubungan keluarga tidak harmonis lagi, yaitu dengan seringnya tergugat marah, bersikap temperamental kepada penggugat dan yang lebih utama lagi yaitu adalah tergugat tidak bisa memberikan nafkah lahir batin dikarenakan tergugat mempunyai penyakit impoten yang pada intinya dari perkawinan mereka tidak bisa memberikan keturunan.

53


(66)

C. Pihak-pihak Terkait

- Penggugat : Ira Irayanti bin Maman Suparman, umur 26 tahun, agama Islam, Pendidikan D1, pekerjaan swasta, tempat tinggal Jl. Raya Lenteng Agung Gg. H Zakaria, Rt. 005/03, Kelurahan Jagakarsa, Jakarta Selatan.

- Tergugat : Ahmad Fakih bin Zainal Abidin, umur 34 tahun, agama islam, pendidikan S1, pekerjaan swasta, tempat tinggal Jl Raya Lenteng Agung Rt 002/03, Kelurahan Jagakarsa, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Para Saksi :

# # $! * !

% $! * !

) $! 2 ( !

3 $! 2 ( !

D. Kronologi Perkara

# +

4 !-4 55 4 (!0" % %

* " &

( 0 " ( 6 2 (

! ( 5/ 0 55,

& # ( # 0


(67)

5/ 0 55,!

!

8

! &

&

! 3 &

1

!

! +

!

Selanjutnya dalam persidangan tersebut setelah Majlis Hakim membacakan surat gugatan kemudian tergugat memberikan jawaban secara lisan, yang mana dalam jawaban tersebut penggugat mengakui dan membenarkan atas dalil gugatan pihak penggugat dengan seringnya terjadi perselisihan dan masalah nafkah bathin yang tidak pernah mencapai organsme atas ketidak mampuan tergugat. Akan tetapi


(68)

pihak tergugat merasa keberatan atas gugatan penggugat karna masih adanya rasa sayang dan rasa cinta terhadap penggugat.

Setelah mendengarkan gugatan dari pihak pergugat dan mendengarkan jawaban dari pihak tergugat kemudian majlis hakim meminta kepada pihak penggugat untuk menghadirkan bukti-bukti, yaitu berupa bukti tertulis dan pemanggilan para saksi. Adapun saksi-saksi yang dihadirkan berasal dari kedua belah pihak yaitu antara penggugat dan tergugat.

Pertama yang dihadirkan adalah saksi dari pihak penggugat yaitu Koko Komarudin bin H. Maman yang tidak lain adalah kakak kandung dari penggugat. Dalam kesaksianya saksi menjelaskan bahwa rumah tangga pengggugat dengan tergugat sudah tidak rukun lagi, dengan seringnya terjadi peseisihan dan pertengkaran yang dikarenakan masalah nafkah bathin. Dan dalam kesaksianya tersebut saksi juga mengatakan bahwa pernah menerima pengaduan dari penggugat dana tergugat mengenai ketidak mampuan tergugat dalam memenuhi nafkah bathin dan saat itu saksi menyarankan kepada para pihak untuk menjalani pengobatan. Dan setelah memberikan saran saksi juga memberikan nasehat agar para pihak rukun kembali akan tetapi usaha dari saksi tidak berhasil, dikarenakan pihak penggugat tetap ingin bercerai dari pihat tergugat.

Selanjutnya Majlis Hakim memanggil saksi yang kedua dari pihak penggugat yaitu Imam Nursyamsudin bin H. Maman yang tidak lain adalah kakak kandung penggugat. Yang mana dalam kesaksiannya saksi menerangkan bahwasanya mereka adalah suami isteri yang belum dikaruniai anak, saksi juga


(1)

Web Site :Groho, Anto, Penyebab disfungsi pada pria,

http://pa-sungailiat.pta-babel.net/talk-show.pasgt diakses tanggal 30-10-2009


(2)

(3)

PEDOMAN WAWANCARA

1. lokasi wawancara berada di pengadilan agama jakarta selatan

2. subjek wawancara adalah penulis dan objek wawancara adalah hakim yang menangani perkara gugat cerai dengan alasan suami mengalami disfungsi seksual 3. jumlah objek yang akan diwawancara adalah beberapa orang hakim

4. instrumen yang digunakan adalah voice recorder

5. jumlah pertanyaan yang akan ditnyakan kepada objek wawancara ada 8 butir diantaranya;

a. Alasan-alasan apa saja yang diterima oleh peradilan agama dari seorang isteri yang mengajukan cerai gugat ?

Jawaban;

“Bisa dilihat pada Pasal 19 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang No ! Tahun 1974 Tentang Perkawinan jungto Pasal 116 KHI”

b. Menurut bapak/ibu hakim bolehkah isteri mengajukan gugatan karna suaminya mengalami impotensi/ disfungsi seksual ?

Jawaban;

“Boleh. Karna apabila seorang isteri mengajukan gugatan dan mempunyai cukup alasan yang menerangkan bahwa hubungan rumah tangga mereka sudah tidak harmonis atau sudah tidak sehat lagi maka pengadilan agama bisa menerimanya. Dan dalam hal impotensi bisa masuk kepada 2 faktor:

i.

Faktor Penyakit : Salah satu pihak mendapat cacat badan atau

penyakit dengan akibat tidak dapat melakukan

kewajibannya sebagai suami-istri. Seperti halnya

impoten

ini

suami

tidak

bisa

menjalankan

kewajibanya sebagai suami


(4)

j.

Faktor psycologis

: diantara suami dan isteri sudah tidak ada lagi

rasa cinta sehingga mempengaruhi terhadap

kewajiban nafkah bathin alhasil tidak tercapai

tujuan perkawinan”

c. Disfungsi seksual apa bahasa hukumnya dan masuk ke faktor yang mana dalam perkara perceraian,apakah masuk ketidak harmonisan atau yang lain ?

Jawaban;

“Disfungsi seksual masuk kategori cacat badan Pasal 116 Poin E, Permasalahan ini bisa juga masuk pada pasal 116 poin F

Faktor-faktor yang menyebabkan ketidak harmonisan.

1. faktor komunikasi yang tidak lancar seperti halnya pasangan pekerja karir (ketemu pagi dimeja makan ketemu malam di tempat tidur). Komunikasi yang kurang.

2. Komunikasi yang pasif, maksudnya jika salah satu pihak mempunyai masalah atau kedua belah pihak ada masalah tidak saling terbuka, dan permasalahan itu disimpan hingga memuncak kemudian berakhir pada perceraian”.

d. Apakah gugat cerai isteri terhadap suami dalam hal disfungsi seksual selalu dilandasi dengan siqoq?

Jawaban;

“Siqoq itu adalah perseturuan yang sangat tajam, jadi belum bisa di kategorikan permasalahan ini siqoq. Jadia dilihat dulu perkara atau permasalahannya apabila ada perselisihan dan pertengkaran yang tidak bisa di selesaikan dan berlarut larut dan sudah di datangkan hakam atau juru damai untuk menyelesaikan masalah atau perkara ini tapi tidak bisa di selesaikan juga itu masuk perkara siqoq.”


(5)

e. Pada pasal 116 point (e) menerangkan bahwa alasan perceraian salah satu pihak mendapatkan cacat badan/penyakit. Apakah menurut bapak/ibu hakim disfungsi seksual masuk kedalam kategori cacat badan/penyakit?atau ada kategori lain! Jawaban;

“Ya karna dalam masalah ini hakim pasif dalam menyidangkan penggugat dan tergugat jadi dalam permasalahan perceraian hakim hanya mengedepankan bukti-bukti dari para penggugat dan tergugat juga para saksi. Oleh karena itu dalam permasalahan ini harus cukup bukti dengan surat keterangan dokter atau pisum yang otentik”

f. Dalam hal cerai gugat, siapa yang menentukan besarnya iwadh ? Jawaban;

“Dalam hal ini besarnya iwad telah jelas dalam buku nikah di dalam pembacaan sighat taklik talak bahwa apabila isteri mengajukan gugatan dan terjadi perceraian maka besarnya iwad Rp.10.000”

g. Bagaimana proses pembuktiannya di pengadilan agama dalam perkara disfungsi seksual?

Jawaban;


(6)

Dokumen yang terkait

Putusan verstek pengadilan agama depok dalam perkara cerai gugat : analisa putusan pengadilan agama depok perkara no. 1227/pdt.g/2008/pa.dpk

4 21 94

Hak asuh anak kepada bapak akibat perceraian (analisis putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan perkara nomor: 0305/Pdt.G/2010?pa.JS)

2 24 72

Saksi dari pihak keluarga dalam gugat cerai menurut hukum islam dan hukum acara perdata: studi kasus putusan pengadilan agama Tangerang perkara nomor: 221/Pdt.G/2008/P.A Kota Tangerang Banten

0 13 76

Syiqaq akibat tidak adanyanafkah bathin sebagai alasan perceraian (kajian terhadap putusan perkara Nomor 229/Pdt.G/2008/PA.JT Pengadilan Agama Jakarta Timur)

0 6 84

Gugat rekonpensi dalam sengketa cerai gugat dan implikasinya terhadap hak hadhanah di pengadilan agama : studi analisis perkara No. 078/Pdt. G/2007/PA. Jakarta Pusat

1 44 104

Tinjauan fikih dan hukum positif terhadap perceraian akibat tidak mempunyai keturunan: studi analisis putusan cerai gugat karena suami impoten di pengadilan agama Jakarta Selatan perkara nomor: 241/Pdt.G/2007/PA.JS

0 4 108

Tinjauan hukum islam dan hukum positif tentang tindak pidana pencurian dengan duplikasi credit card: analisis putusan pengadilan negeri Jakarta selatan No.1256/PId.b/2009/pn Jakarta

0 12 87

Perceraian akibat suami riddah: analisis koperatif putusan penagdilan agama bogor perkara Nomor 49/Pdt.G/2010/PA.BGR. dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Perkara Nomor 378/Pdt.G/2009/PA.JP

0 3 62

Eksistensi kitab fikih dalam pertimbangan putusan hakim perkara cerai talak di pengadilan agama Jakarta Selatan Tahun 2010

0 12 119

Cerai gugat istri akibat suami dipenjara menurut hukum Islam dan hukum positif : (analisis putusan no. 1161/pdt. G/2007.PAJS)

0 5 70