68
perolehan atau pelaksana pada suatu tumpuan yang sama, akan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan hakiki di bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya atau bidang kehidupan masyarakat.
F. Pembaruan Pelayanan dan Good Governance
Permasalahan Kartu Tanda Penduduk KTP merupakan permasalahan dalam pembaruan pelayanan publik di Indonesia. Dalam RUU tentang Kebijakan
Publik yang saat ini sedang dalam pembahasan di Komisi II DPR RI, pelayanan publik didefenisikan sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak sipil setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa, dan pelayanan administrasi yang disediakan
oleh penyelenggara pelayanan publik.
30
Dalam RUU yang sama, ditegaskan pula bahwa salah satu prinsip yang harus diterapkan dalam pelayanan publik adalah tidak diskriminatif, selain prinsip
lainnya seperti kesederhanaan, kejelasan, kepastian, dan tepat waktu, kemudahan akses, kejujuran,kecermatan, kedisplinan, kesopanan dan keramahan serta
keamanan dan kenyamanan. Dalam konteks ini, penerapan Kartu Tanda Penduduk KTP dapat dikategorikan sebagai pelayanan publik yang diskriminatif, karena
adanya penerapan pelayanan yang berbeda antarwarga negara. Harapan penuntasan permasalahan Kartu Tanda Penduduk KTP
menuntut pembaruan birokrasi dan manajemen pemerintah guna terpenuhinya
30
RUU Tantang Pelayanan Publik, Komisi II DPR RI
Universitas Sumatera Utara
69
sistem pelayanan masyarakat yang baik, efektif, transparan, dan tidak diskriminatif. Tidak adanya konsistensi kebijakan dan pelaksanaannya dalam
berbagai lini pemerintahan membutuhkan pengawasan dan sanksi yang dalam kasus Kartu Tanda PendudukKTP selama ini tidak pernah dilakukan. Dalam
International Convention on Elimination of all forms of racial Discrimination ICERD, yang diratifikasi Indonesia, karena SBKRI sudah dinyatakan sebagai
diskriminasi rasial,
°
termuat kewajiban negara untuk melarang atau menyatakan tidak sah secara hukum berikut penerapan sanksi negara terhadap pejabat yang
masih menerapkan SBKRI atau melakukan tindakan diskriminasi rasial. Selain Departemen Hukum dan HAM, Departemen Dalam Negeri, serta berbagai instansi
terkait, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara juga seharusnya berinisiatif dalam pengawasan penyelesaian permasalahan SBKRI dalam lingkungan
birokrasi, terutama terkait penerapan sanksi. Oleh karena itu, dalam konteks ini permaslahan SBKRI tidak hanya
berperfektif diskriminasi rasial, tetapi juga masih lemahnya tata kelola pemerintahan dan kebijakan publik. Demi terciptanya tata laksana kepemerintahan
yang baik good governance dan tegaknya kewibawaan hukum, ketentuan pembuktian kewarganegaraan RI dengan SBKRI kepada WNI Tionghoa atau
kelompok WNI man pun sudah harus di akhiri penerapannya. Bukti kewarganegaraan cukup dibuktikan sudah dengan akta kelahiran, KTP atau kartu
keluarga. Mengutip beberapa survei yang telah dibuat oleh Media Indonesia yang
Universitas Sumatera Utara
70
berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi, penulis berpendapat bahwa sebagian besar lebih dari 50 WNI keturunan Cina menyatakan bahwa
mereka akan merasa benar-benar 100 orang Indonesia yang memiliki perasaan nasionalisme yang tinggi bila mereka diperlakukan sama di semua aspek
kehidupan. Mereka tidak hanya akan terjun ke dunia usaha saja, melainkan juga akan bergabung dengan angkatan bersenjata, menjadi pegawai negeri sipil,
pendidik, profesional, aktif dalam perkumpulan olahraga, aktif dalam partai politik, dan dalam organisai lainnya, dan juga bergelut dalam pekerjaan lain. Jika
hal ini dapat dilaksanakan, integrasiasimilasi antara WNI keturunan Cina dan warga Indonesia pribumi akan lebih mudah dan cepat. Selain itu, kecenderungan
adanya friksi sosial antara warga Indonesia pribumi dan WNI keturunan etnis Cina semakin berkurang. Akhirnya, bila penjarah merusak menghancurkan
membakar aset yang dimiliki oleh WNI keturunan Cina, dari sudut pandang makro, mereka sesungguhnya merusakmenghancurkanmembakar aset negara.
Penghapusan diskriminasi terhadap etnis Cina, dalam jangka panjang dapat berdampak pada kondisi politik dan ekonomi akan lebih baik dan stabil. Indonesia
akan menjadi negara yang sangat kuat, negara yang bersatu dan punya pengaruh kuat pada negara lain.
Pada bagian sebelumnya, difokuskan pada penghapusan segala bentuk tindakan diskriminasi terhadap WNI keturunan Cina; pada bagian ini, kita akan
menyinggung sisi sebaliknya. Selain menurut penghapusan semua aturan dan pertauran diskriminatif dari pemerintah, bagaimana seharusnya mereka WNI
Universitas Sumatera Utara
71
keturunan Cina berperilaku untuk menghindari semua ketegangan yang menyebabkan kecemburuan, ketidaksenangan atau situasi yang tidak semestinya
menyebabkan pecahnya kerusuhan, pertikaian, pembakaran atau tindakan di luar hukum lainnya oleh warga pribumi terhadap WNI keturunan Cna.
Dua keputusan politik penting diambil pada awal dan pertengahan tahun 2002 oleh pemerintah Indonesia; Pertama, Tahun Baru Tinghoa Imlek mulai
tahun selanjutnya diputuskan menjadi Hari Libur Nasional; kedua, Pemerintah melalui Megawati Soekarnoputri Presiden Republik Indonesia saat ini memberi
Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia SBKRI kepada pahlawan bulutangkis Hendrawan hanya dalam beberapa hari. Hendrawan adalah pemain
bulutangkis Indonesia terkemuka. Ia dan teman-teman tim bulutangkis baru saja memenangi kejuaraan Turnamen Thomas Cup pada bulan Mei 2002 di
Guangzhou RRC. Saat ini masih ada 62 undang-undang, peraturan, keputusan presiden yang
bersifat diskriminatif terhadap WNI keturunan Tionghoa. Pada 27 April 2002, diskusi luas diadakan pada sebuah seminar bertajuk
“Hak-hak dan apa yang Harus dilakukan oleh Etnis Tionghoa untuk Membangun Bangsa dan Negara” di Jakarta. Narasumber utama adalah mantan Presiden
Republik Indonesia Gus Dur. Topik tersebut merupakan fenomena yang menarik untuk diskusi.
Selain tuntutan dan kemauan untuk menhapus diskriminasi, kita perlu melihat perilaku terbaik dan cara hidup sehari-hari bagi etnis Tionghoa bersama
Universitas Sumatera Utara
72
dengan peran media massa.
G. Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa sebagai “Kambing Hitam” Strategi Politik Orde Baru