Kartu Tanda Penduduk KTP Untuk Memperkuat Identitas Periode Kewarganegaraan Republik Indonesia pada Era Reformasi

57

B. Kartu Tanda Penduduk KTP Untuk Memperkuat Identitas

Menteri Kehakiman dan Hak Azasi Manusia, Yusril Ihza Mahendra, secara gamblang mengatakan, “Selama ini SBKRI Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia digunakan untuk memperkuat identitas jika pihak petugas imigrasi meragukan kewarganegaraan orang-orang tertentu yang ingin mengajukan pembuatan paspor.” Namun demikian, Deparetemen Kehakiman dan Hak Azasi Manusia tidak lagi menerbitkan SBKRI untuk mengakomodasi permintaan orang-orang tersebut. Jika pihak imigrasi meragukan identitas orang yang yang hendak mengajukan paspor, mereka tidak lagi ditanyai soal SBKRI. “Jika pihak imigrasi meragukan identitas seseorang yang mengajukan pembuatan paspor, mereka harus bertanya ke Ditjen Administrasi Hukum, namun saya meminta pers dan orang-orang yang meminta dihapuskan SBKRI untuk bertanggung jawab jika pihak imigrasi kehilangan kontrol karena kami telah memberi paspor ke orang yang salah”, kata Yusril saat peluncuran sebuah buku yang ditulis oleh tim ahli dari Departemen Kehakiman dan Hak Azasi Manusia di Jakarta Rabu, 3 Juli, 2002. Sebaliknya, Yusril menekankan bahwa untuk mengajukan aplikasipembuatan paspor yang dibutuhkan adalah Kartu Tanda Penduduk KTP dan akta lahir, itu saja. Namun, dia mengeluhkan bahwa karena administrasi kependudukan yang tidak teratur dan tidak sistematis, seseorang dapat mendapatkan lebih dari satu Kartu Tanda Penduduk KTP. Bahkan, orang asing dapat memperoleh KTP dalam negeri dan akte lahir. Hal ini terungkap Universitas Sumatera Utara 58 ketika seorang warga Myanmar dan Kuba mengajukan permohonan paspor Indonesia dengan menunjukkan KTP lokal dan akte lahir.

C. Periode Kewarganegaraan Republik Indonesia pada Era Reformasi

Munculnya beberapa permasalahan kewarganeraan Indonesia, terutama permasalahan surat bukti kewarganeraan Republik Indonesia, sesungguhnya tidak dapat dilepas dari perjalanan panjang konsepsi kewarganegaraan RI, yang juga hampir setua umur Republik Indonesia sendiri. Sejarah perjalanan konsepsi kewarganegaraan Republik Indonesia telah ada sejak sebelum Proklamasi. 22 Konsep awal kewarganegaraan dalam Undang- Undang Dasar, “yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia Asli dan orang –orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-undang sebagai warga negara”. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI menetapkan rumusan awal, yaitu yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia Asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara, dan menjadi pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Dasar disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Seiring dengan perkembangan zaman, pada tahun 2006 di era reformasi, atas desakan masyarakat dan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat RI, pada bulan Agustus lahirlah UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI untuk menggantikan UU No. 62 Tahun 1958. UU ini melakukan lompatan pemikiran 22 Wahyu Effendi, Tionghoa Dalam Cengkeraman SBKRI, Visimedia, Jakarta, hal. 12 Universitas Sumatera Utara 59 besar dengan menghapuskan dikotomi rasial Indonesia asli dan bukan, serta menerapkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak-anak. UU ini juga menghapuskan ketentuan pembuktian kewarganegaraan RI yang sebelumnya diatur dalam UU No, 62 tahun 1958. D. Kartu Tanda Penduduk KTP dan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik indonesia SBKRI Dalam Perfektif ANTI-KKN Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, bahwa berbagai tindakan pungli marak terjadi dalam persoalan Kartu Tanda Penduduk KTP. Tidak hanya dalam permohonan pembuatan Kartu Tanda Penduduk KTP itu sendiri, tetapi juga dalam turunannya, seperti pengurusan ijin tinggal dan Kartu Keluarga KK. Persoalan kepemilikan Kartu Tanda Penduduk KTP menjadi ladang subur berbagai tindakan pungli di sejumlah instansi. Banyak pihak mensinyalir bahwa berkepanjangannya permasalah Kartu Tanda PendudukKTP lebih disebabkan persoalan kepentingan ekonomi atau proyek. Ahli hukum tata negara Satya Arinanto, secara terpisah juga mengemukakan bahwa tetap dihidupkannya Kartu Tanda Penduduk KTP tidak lebih dari persoalan proyek yang membawa keuntungan bagi oknum yang terlibat dalam penerbitan Kartu Tanda Penduduk KTP. Untuk menghentikannya di lapangan, tidak cukup sekadar ucapan seorang Walikota, melainkan harus ada edaran lain yang lebih tegas. 23 Tim Pusat Penelitian dan pengembangan Puslitbang Hak-hak Sipil dan 23 SBKRI Jadi Sumber kkn, Kompas, 24 Juni 2002, hal. 2 Universitas Sumatera Utara 60 Politik, Balitbang Hak Asasi Manusia HAM, Departemen Hukum dan HAM, dalam penelitiannya tentang persyaratan SBKRI dalam pengurusan paspor, merekomendasikan pembinaan, pengawasan, dan penindakan tidak hanya kepada petugas di jajaran Direktorat Jenderal Imigrasi, tetapi juga biro-biro jasa. Di samping itu, tim juga merekomendasikan penghapusan SBKRI sehingga pembuktian kewarganegaraan cukup dengan kartu tanda penduduk KTP, kartu keluarga KK, dan akta kelahiran. Tim tersebut mengakui bahwa selama ini persyaratan SBKRI telah menjadi sumber pemerasan dan korupsi dari WNI keturunan Tionghoa yang tidak bisa menunjukkan SBKRI. Tim menunjukkan bukti pelatih bulutangkis nasional Tong Shinfu pada awal 1990-an pernah mengeluarkan uang Rp.50 juta untuk mendapatkan SBKRI dan harus menunggu 10 tahun. 24 Meskipun pihak yang seharusnya paling disalahkan atas kolusi ini tentu saja biro saja atau calo, mengingat proses permohonan SBKRI yang tidak mudah dan menuntut kehadiran fisik pemohon, tentu saja diragukan kalau percaloan dengan biaya mahal tersebut tanpa sepengetahuan pejabat yang berwenang. Direktur Tata Negara Depkeh dan HAM pada saat itu, Ramly Hutabarat mengemukakan, ”Tidak memberatkan sebenarnya, mungkin yang membengkak di biro jasa, di sini tidak ada tarikan, saya capek teken tidak bayar, saya heran di koran-koran itu katanya dikomersialkan, tidak ada itu. 25 24 Leo Suradinata, Evi Nurvidya Arifin dan Aris Ananta, Penduduk Indonesia. Etnisitas dan Agama dalam Era Politik yang Berubah, Pustaka LP3ES, Jakarta, 2004, hal.200 25 Ibid Universitas Sumatera Utara 61 Tentu saja, kesalahan tersebut tidak bisa hanya ditimpakan kepada pejabat yang berwenang atau calo-calo yang ada, tetapi juga kepada masyarakat yang ingin mengurus SBKRI atau dokumen kependudukan lainnya secara instan. Ada atau tidak adanya SBKRI bagi seorang WNI etnis Tionghoa juga sangat menentukan besarnya biaya yang harus dikeluarkan ketika berhadapan dengan pelayan publik. Ketiadaan SBKRI akan menjadi titik lemah ketika akan mengurus dokumen kependudukan, catatan sipil, atau paspor. Kekhawatiran akan tidak selesainya atau tidak dapat dimilikinya dokumen tersebut, salah satunya bisa mengakibatkan keterpaksaan masyarakat untuk tunduk kepada persyaratan SBKRI dan membuka peluang terjadinya pungli antara pejabat, calo, dan masyarakat. Adanya kenyataan pemalsuan atas akta kelahiran, KTP, atau Kartu Keluarga, bukan alasan yang cukup rasional untuk terus melanggengkan SBKRI, karena SBKRI dalam kenyataannya pun dapat dipalsukan. Kelemahan administratif pemerintahan tersebut seharusnya segera dibenahi. Idealnya pembenahan ini mengarah pada tata laksana aparatur kepemerintahan, tanpa adanya beban-beban dokumen kewarganegaraan atau kependudukan yang sebenarnya tidak diperlukan, yang juga tidak murah, kepada masyarakat. Apalagi kemudian penerapan dokumen-dokumen tersebut hanya akan menyuburkan praktik-praktik korupsi dan pungli dalam lingkungan aparatur pemerintah. Universitas Sumatera Utara 62

E. Kewarganegaraan Dan Diskriminasi Masyarakat Etnis Cina