91
aspek kehidupan seperti Ignatius Haryanto, Robertus Robert yang sering menulis diberbagai media, misalnya di majalah Mingguan Hidup tanpa harus secara
langsung mereka menulis tema tentang Tionghoa, ataupun Christoper Nugroho yang dipercaya menangani urusan sumber daya manusia di partai Demokrat.
Sistem Multi Partai setelah reformasi juga memberi peluang warga Tionghoa untuk berkecimpung dalam partai politik misalnya: dengan munculnya partai
Tionghoa. Kesadaran baru akan partisipasi sosial, ekonomi dan politik akan membuka wawasan berpikir seluruh warga Tionghoa. Untuk itu, sebuah
transformasi nilai–nilai hidup yang radikal amat diperlukan agar warga Tionghoa mendapatkan kesejahteraan dan kepuasan batin yang adilsetara dengan warga
yang lain.
5. Wajah Etnis Tionghoa Indonesia Pasca Reformasi: Menyembuhkan Luka Sejarah
Salah satu strategi budaya yang dapat dilakukan untuk semakin mendukung terjadinya asimilasi positif etnis Tionghoa sebagai bagian penuh dari
bangsa Indonesia adalah dengan menyembuhkan luka sejarah. Hal ini menjadi strategi lanjut atas pengakuan simbolik formal yang telah dicetuskan oleh
pemerintah pasca Reformasi terhadap eksistensi etnis Tionghoa Indonesia sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Meski diakui bahwa pengakuan simbolik dengan
menghapus keputusan-keputusan diskriminatif Pemerintah pra-Reformasi terhadap etnis Tionghoa merupakan sebuah kebijakan yang penting, namun
Universitas Sumatera Utara
92
kebijakan itu hanya akan berhenti sebagai sebuah strategi politik baru yang tidak akan banyak memberi makna bagi pembentukan kebangsaan Indonesia dimana
etnis Tionghoa adalah salah satu bagian esensial di dalamnya. Stigma terhadap etnis Tionghoa sejak era kolonial Belanda hingga saat ini telah begitu mengakar
dalam hidup masyarakat umum. Untuk itulah, luka sejarah itu harus disembuhkan dengan mulai mengakui eksistensi etnis Tionghoa sebagai bagian integral dari
bangsa Indonesia, terlepas dari segala kesalahan masa lalu akibat pengkambinghitaman dari politik rezim penguasa.
Sejarah bangsa Indonesia yang telah diwarnai dengan luka-luka atas kekejaman politik ini harus mulai disembuhkan dengan menegaskan serta
mengakui eksistensi etnis serta pihak-pihak yang terdiskriminasi. Salah satu luka sejarah yang telah ditorehkan oleh strategi ’pengkambinghitaman’
dari elit penguasa pra-reformasi di negeri ini adalah peristiwa G 30 S dan berbagai kerusuhan rasial yang muncul selama pergantian rezim. Tak dapat dipungkiri,
peristiwa G 30 S merupakan salah satu luka batin bagi etnis Tionghoa sekaligus sebuah strategi politik untuk memelihara primordialisme kelompok yang mudah
sekali memicu konflik antar ras dan golongan. Konsolidasi sebagai bangsa yang plural telah ternoda dengan adanya luka batin sejarah ini. Pada peristiwa G30 S
tersebut, dimana Partai Komunis Indonesia dianggap sebagai dalang peristiwa tersebut telah menempatkan etnis Tionghoa sebagai salah satu etnis yang pantas
’dimusuhi’ karena telah menjadi pendukung utama Partai tersebut. Meski sebenarnya dalam peristiwa tersebut Partai Komunis Indonesia lebih berperan
Universitas Sumatera Utara
93
sebagai ’kambing hitam’, hal ini turut membawa konsekuensi digabungkannya etnis Tionghoa sebagai bagian dari ’kambing hitam’ ini. Stigma dan stereotip
terhadap etnis Tionghoa ini semakin kuat ketika rezim Orde Baru akhirnya mengeluarkan keputusan yang diskriminatif terhadap mereka. Secara politis,
strategi pengkambinghitaman ini amat berhasil dengan adanya sentimen rasial yang menyebabkan krisis identitas etnis Tionghoa dengan politik asimilasi Orde
Baru. Segala keputusan diskriminatif dari pihak penguasa ini sebagai ’hukuman’ atas etnis yang dijadikan ’kambing hitam’ sebuah pertikaian politik telah
menimbulkan kekosongan berpikir dari setiap warga bangsa dengan selalu menempatkan etnis Tionghoa sebagai ’pesakitan’ di negeri ini yang tidak
memiliki identitas khas Indonesia. Stigma dan stereotip ini begitu mengakar dalam benak setiap warga yang merasa dirinya ’pribumi’ hingga muncul
kerusuhan-kerusuhan yang selalu mengkambinghitamkan etnis Tionghoa. Puncak kerusuhan yang terjadi karena kekosongan berpikir dari warga pribumi ini terjadi
saat kerusuhan Mei1998 meletus. Penyembuhan luka batin sejarah bagi segenap warga bangsa atas peristiwa
G 30 S dan juga kerusuhan-kerusuhan yang selalu mengkambinghitamkan etnis Tionghoa selama Orde Baru ini sebagai langkah dari rekonsiliasi sosial yang
hendaknya mulai digulirkan sejak era Reformasi. Era Reformasi yang ditandai dengan bangkitnya angkatan muda rasional kritis dalam diri para mahasiswa
ketika berhasil melengserkan kekuasaan Orde Baru menjadi harapan baru bagi kehidupan bangsa Indonesia yang lebih demokratis. Bagi etnis Tionghoa yang
Universitas Sumatera Utara
94
selama ini selalu dijadikan ’kambing hitam’ pun mulai mendapatkan harapan baru dengan kebijakan-kebijakan yang baru dari rezim Reformasi berkaitan dengan
penegasan identitas diri mereka etnis Tionghoa sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Pasca Reformasi, etnis Tionghoa mulai mendapatkan pengakuan
simbolik dari pemerintah bahwa keberadaan mereka di negeri ini adalah sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia.
Berbagai macam keputusan pemerintah Orde Reformasi yang menghapus keputusan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa era Orde Baru menjadi semacam
usaha dalam merajut kembali konsolidasi sebagai bangsa Indonesia yang plural. Dengan adanya kebijakan-kebijakan tersebut, kini etnis Tionghoa mulai
menegaskan kembali identitas khas mereka sebagai etnis Tionghoa Indonesia, sebagaimana juga terjadi bagi etnis-etnis yang lain. Kebudayaan mereka pun
mulai diakui sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan mulai diberlakukannya Hari Raya Imlek sebagai hari libur Nasional
sebagaimana Muharam dalam Jawa, agama Konghucu serta falsafah Tionghoa mulai diakui dalam hidup masyarakat, serta terbukanya keterlibatan politik praktis
bagi warga etnis Tionghoa dalam proses demokrasi pemerintahanIndonesia.
55
55
Keppres yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid memberi kebebasan ritual keagamaan, tradisi dan budaya kepada etnis Tionghoa; Imlek menjadi hari libur nasional berkat Keppres Presiden
Megawati Soekarnoputri. Di bawah kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, agama Khonghucu diakui sebagai agama resmi dan sah. Pelbagai kalangan etnis Tionghoa mendirikan partai politik, LSM dan ormas.
SBKRI tidak wajib lagi bagi WNI, walaupun ada oknum-oknum birokrat di jajaran imigrasi dan kelurahan yang masih berusaha memeras dengan meminta SBKRI saat orang Tionghoa ingin memperbaharui paspor
dan KTP
http:www.ranesi.nl
temamasyarakatetnis_tionghoa_reformasi080731.
Universitas Sumatera Utara
95
6. Konsolidasi sebagai Satu Bangsa Indonesia: Sebuah Usaha Terus Menerus