PENGARUH PEMBELAJARAN DENGAN STRATEGI METAKOGNITIF TERHADAP KEMAMPUAN LITERASI MATEMATIS SISWA KELAS VII DI SMP NEGERI 1 TEMPEL.

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia selalu dituntut untuk dapat mengikuti arus perkembangan zaman. Mansilla dan Jackson (2011:1-9) menjelaskan paling tidak ada tiga kekuatan zaman yang perlu diperhatikan yaitu 1) pemerataan ekonomi dan perubahan tuntutan pekerjaan; 2) migrasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dan perubahan lingkungan, identitas, serta kewarganegaraan; 3) ketidakstabilan iklim dan peningkatan kebutuhan pelayanan lingkungan global. Ketiga kekuatan global tersebut merupakan suatu tantangan dan peluang yang perlu dihadapi. Untuk dapat menghadapi tantangan tersebut, dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas.

Salah satu aspek dalam kehidupan yang sangat berpengaruh dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah pendidikan. Tentunya dengan tantangan zaman yang berbeda, pendidikan juga harus terus menerus dikembangkan dan disesuaikan dengan kondisi zaman. Saat ini pendidikan sudah selayaknya merupakan upaya mempersiapkan siswa untuk menghadapi situasi-situasi yang berbeda seperti era global sekarang ini (Yunus, 2004:72).

Berbagai macam paradigma dibuat untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan. Banyak organisasi maupun pakar yang memperkirakan kemampuan apa saja yang harus dikuasai peserta didik setelah menempuh pendidikan. Mansilla dan Jackson (2011:11) menyebutkan setidaknya ada empat kompetensi siswa yang perlu dipenuhi untuk menghadapi era global,


(2)

2

yaitu 1) Menginvestigasi dunia di luar lingkungan mereka; 2) Mengenali perspektif orang lain dan diri sendiri; 3) Mengomunikasikan ide secara efektif pada khalayak yang beragam; 4) Mengambil tindakan untuk menyelesaikan masalah. Tidak jauh berbeda dengan Mansilla dan Jackson, National Education Association (NEA) Amerika menggunakan istilah Four Cs sebagai pijakan untuk mempersiapkan siswa menghadapi masyarakat global. Four Cs yang dimaksud adalah berpikir kritis dan pemecahan masalah (crtical thinking), komunikasi (communication), kreativitas dan inovasi (creativity and inovation).

Organisasi yang mempunyai fokus terhadap pembelajaran di abad ke-21 yaitu Partnership for 21st Century Skills (2008:12) mengungkapkan bahwa semua orang Amerika, bukan hanya beberapa elit, memerlukan keterampilan abad ke-21 yang akan meningkatkan pemasaran mereka, kerja dan kesiapan untuk kewarganegaraan, seperti: 1) Berpikir kritis dan membuat penilaian; 2) Menyelesaikan permasalahan yang kompleks, multidisiplin, dan open-ended; 3) Kreatif dan berpikir kewirausahaan; 4) Komunikasi dan kolaborasi; 5) Membuat inovasi menggunakan pengerahuan, informasi, dan peluang; dan 6) Mengambil alih tanggung jawab keuangan, kesehatan dan sipil. Kemampuan-kemampuan tersebut memang sangat dibutuhkan untuk semua orang di dunia mengingat beberapa tantangan global yang ada.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli maupun organisasi terkait dengan kemampuan yang perlu dimiliki siswa ataupun manusia keseluruhan untuk menghadapi tantangan global, pembelajaran matematika mempuyai peran penting. Hal ini terkait dengan pernyataan NCTM (2000) yang menetapkan lima standar


(3)

3

proses keterampilan yang harus dikuasai siswa dalam pembelajaran matematika, yaitu pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan pembuktian (reasoning and proof), koneksi (connection), komunikasi (communication) dan representasi (representation). Keterampilan-keterampilan tersebut merupakan keterampilan yang sangat mungkin ditanamkan kepada siswa melalui pembelajaran matematika. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pembelajaran matematika merupakan salah satu aspek penting untuk menumbuhkan masyarakat yang mampu bertahan pada era global.

Pada Pedoman Mata Pelajaran yang terdapat pada Permendikbud tahun 2014 nomor 58 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah dijelaskan bahwa matematika perlu diberikan kepada peserta didik untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, inovatif, dan kreatif serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan supaya peserta didik memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk hidup yang lebih baik pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan sangat kompetitif.

Berhubungan dengan ketidakpastian yang disebutkan pada Permendikbud sebelumnya, salah satu kemampuan yang sangat erat kaitannya dengannya adalah kemampuan literasi matematis. Seperti definisi dari OECD (2013:5) bahwa kemampuan literasi matematis adalah sebagai berikut.

Mathematical literacy is an individual’s capacity to formulate, employ,

and interpret mathematics in a variety of contexts. It includes reasoning mathematically and using mathematical concepts, procedures, facts and tools to describe, explain and predict phenomena. It assists individuals to recognise the role that mathematics plays in the world and to make the


(4)

4

well-founded judgments and decisions needed by constructive, engaged and reflective citizens.

Dari definisi tersebut tersurat tiga kata kunci terkait dengan kemampuan literasi matematika, yaitu: memformulasikan, menggunakan, dan menginterpretasikan. Ketiga kata tersebut kemudian didukung oleh kata keterangan yaitu konteks yang bervariasi. Pada kalimat selanjutnya juga dijelaskan bahwa manfaat ditanamkan kemampuan literasi matematika salah satunya yaitu untuk memprediksi fenomena dan memahami peran matematika untuk dunia. Aspek lain yang tidak dapat dipisahkan dari kemampuan literasi matematis adalah penalaran matematis dan penggunaan konsep, prosedur serta fakta matematis.

Frith (2009:1) menyebutkan bahwa definisi literasi matematis adalah adanya sesuatu yang harus dipikirkan secara matematika bersamaan dengan berpikir tentang konteks dimana matematika digunakan. Dengan kata lain, kemampuan literasi matematis adalah kemampuan untuk mengetahui dimana matematika harus digunakan dan memikirkan secara matematis dari permasalahan atau konteks yang ditemui.

Kompetensi yang dikembangkan melalui literasi matematis memungkinkan individu membuat makna, berpartisipasi, dan berkontribusi untuk abad ke-21, abad yang dicirikan sebagai bilangan, secara numerik berdasarkan argumen dan merepresentasikan data dan disalahpahami dalam sejumlah cara yang berbeda (Department of Education Republic of South Africa, 2011:8). Sangat memungkinkan bagi seseorang yang telah mempunyai kemampuan literasi matematis untuk dapat menghadapi tantangan yang ada pada abad sekarang ini.


(5)

5

Dengan literasi matematis seseorang akan menemukan makna dibalik permasalahan yang sedang dihadapi.

Pentingnya kemampuan literasi matematika juga dijelaskan pada Pedoman Mata Pelajaran yang terdapat pada Permendikbud tahun 2014 nomor 58 tentang Kurikulum 2013 bahwa penguasaan matematika tidak cukup hanya dimiliki oleh sebagian orang dalam suatu peradaban. Setiap individu perlu memiliki penguasaan matematika pada tingkat tertentu. Penguasaan yang dimaksud bukan penguasaan terhadap matematika sebagai ilmu melainkan penguasaan akan kecakapan matematika (mathematical literacy) yang diperlukan untuk dapat memahami dunia di sekitarnya serta untuk berhasil dalam kehidupan atau kariernya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kemampuan literasi matematika sangat penting untuk ditumbuhkan pada siswa saat ini. Hal tersebut dikarenakan dengan kemampuan literasi matematika, siswa akan mempunyai kemampuan menyelesaikan permasalahan dengan konteks yang bermacam-macam dan mampu memprediksi fenomena yang membantu dirinya menghadapi tantangan global. Sehingga, siswa dapat menyesuaikan diri dan mampu bersaing di tengah pergerakan dunia.

Berbicara mengenai literasi matematika tentunya tidak dapat terlepas dari sebuah survei PISA (Programme Internationale for Student Assesment) yang diselenggarakan oleh OECD (Organisation for Economic co-Operation and Development). Survei ini merupakan survei yang dilaksanakan 3 tahun sekali dengan sasaran siswa umur 15 tahun. Literasi matematika adalah salah satu tes yang dilakukan dalam survei ini. Indonesia juga ikut serta dalam survei tersebut.


(6)

6

Pada tahun 2012, Indonesia menduduki peringkat ke 71 dari 72 negara yang mengikuti survei tersebut dengan rata-rata skor matematika 375. Dari level soal pengukur kemampuan literasi matematis yang terbagi menjadi 5 level, sebanyak 75,7% peserta tes dapat menyelesaiakan soal PISA pada level 1 dan 2, sedangkan hanya 0,3% peserta tes yang dapat menyelesaikan soal level 5 dan 6. Berikut ini rangkuman hasil survei PISA kemampuan matematika tahun 2014 (OECD, 2014:5) dan tahun 2015 (OECD, 2016:5).

Tabel 1. Hasil Survei Kemampuan Matematika di Indonesia PISA 2012 dan 2015

2012 2015

Mean skore 375 386

Share of low achievers in mathematics (Below Level 2)

75,7% -

Share of top performers in mathematics (Level 5 or 6)

0,3% -

Pada Tabel 1 terlihat bahwa rata-rata skor matematika pada tahun 2015 meningkat menjadi 386. Namun, peningkatan tersebut masih belum signitifkan. Masih dibutuhkan perhatian pendidik untuk semakin mengembangkan pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa memiliki kemampuan literasi yang lebih baik lagi. Hal ini dikarenakan pentingnya kemampuan literasi matematis dimiliki oleh siswa. Oleh karena itu, berbagai macam penelitian juga harus dikembangkan. Berbagai macam faktor yang mempengaruhi pembelajaran menjadi fokus utama yang perlu mendapat perhatian. Dengan melakukan pengembangan dan perbaikan terhadap faktor yang mempengaruhi pembelajaran


(7)

7

diharapkan mampu membawa titik terang dalam merancang pembelajaran yang memungkinkan berkembangnya kemampuan literasi matematis siswa.

Proses pembelajaran adalah interaksi semua komponen atau unsur yang terdapat dalam pembelajaran dimana satu dan yang lainnya saling berhubungan (interdependent) dalam ikatan untuk mencapai tujuan. Komponen tersebut meliputi tujuan instruksional yang hendak dicapai, materi pelajaran, metode mengajar, alat paraga pengajaran, dan evaluasi sebagai alat ukur tercapai-tidaknya tujuan (Suprihatiningrum, 2016:80-81). Selain komponen tersebut, strategi pembelajaran juga sangatlah penting dalam pembelajaran. Hamruni (2012:3) menjelaskan bahwa strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan (rangkaian kegiatan) termasuk penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya dalam pembelajaran. Jadi dapat dikatakan bahwa strategi pembelajaran mempunyai lingkup yang lebih luas dibanding dengan metode pembelajaran. Dengan demikian, strategi pembelajaran juga berperan mempengaruhi keberhasilan pembelajaran. Atas dasar inilah, dapat diperkirakan bahwa strategi pembelajaran yang digunakan juga berpengaruh terhadap kemampuan literasi matematis. Salah satu stretagi pembelajaran yang diperkirakan berpengaruh terhadap kemampuan literasi matematis adalah strategi pembelajaran metakognitif.

Blakey & Spence (1990:1) mendefinisikan metakognisi sebagai kegiatan berpikir tentang berpikir, mengetahui apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui. Dalam aktivitas pembelajaran, Rothwachs (2010:33-34) mendefinisikan tiga tahapan dalam melaksanakan pembelajaran menggunakan strategi


(8)

8

metakognitif, yaitu: reflection, self-monitoring, dan organization/planning. Kegiatan refleksi dilakukan untuk mengetahui apa yang sudah didapatkan dalam pembelajaran. Kegiatan ini juga membantu siswa memahami apa yang sulit dipahaminya dan apa yang telah benar-benar dia pahami. Biasanya kegiatan ini dilakukan siswa pada akhir pembelajaran. Sedangkan kegiatan monitoring merupakan aktivitas siswa dimana dia mencoba memantau pemahamannya pada saat pembelajaran berlangsung. Kegiatan ini dilakukan dengan bertanya kepada diri sendiri tentang apa yang dipahami dan apa yang belum dipahami. Kemudian kegiatan merencanakan pembelajaran adalah kegiatan dimana siswa membuat rencana pembelajaran berdasarkan tujuan pembelajaran.

Berdasarkan penelitian Wijaya, Van den Heuvel-Panhuizen, & Doorman (2015:107-112) pembelajaran metakognitif memberikan efek yang baik terhadap kemampuan dalam memahami permasalahan kontekstual (context based task). Memahami permasalahan merupakan salah satu langkah penting siswa untuk menyelesaiakan permasalahan. Pemahaman terhadap permasalahan tersebut penting terutama dalam mengumpulkan informasi yang selanjutnya digunakan dalam menyelesaiakan permasalahan. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap kemampuan literasi matematis siswa terutama dalam aspek memformulasikan permasalahan.

Penelitian yang dilakukan oleh Kramarski & Mevarech (2003: 281-310) menunjukan bahwa strategi metakognitif juga membawa efek positif dalam meningkatkan kemampuan penalaran matematis (mathematical reasoning). Penelitian Amelia, Musdi, & Amalita (2014, 51-55) juga menunjukkan adanya


(9)

9

peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa setelah digunakan pembelajaran dengan strategi metakognitif. Kemampuan penalaran matematis merupakan aspek yang melekat dalam kemampuan literasi matematis. Apabila kemampuan penalaran matematis baik, maka akan membantu kemampuan literasi matematis berkembang lebih baik.

Ӧzsoy & Ataman (2009, 68-83) melakukan penelitian untuk mengetahui efektivitas penggunaan strategi metakognitif terhadap kemampuan pemecahan masalah. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa yang terdapat pada kelompok kontrol mempunyai kemampuan pemecahan yang lebih baik dari pada siswa yang ada di kelompok kontrol.

Berbagai penelitian sudah dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan strategi metakognitif terhadap kemampuan yang mendukung pengembangan kemampuan literasi matematis seperti menalar, dan memecahkan masalah. Namun, strategi metakognitif masih jarang digunakan di sekolah. Kebanyakan sekolah di Indonesia menggunakan pembelajaran saintifik. Salah satu sekolah yang sebelumnya belum pernah menggunakan pembelajaran dengan strategi metakognitif adalah SMP Negeri 1 Tempel. Sejak tahun 2014, SMP Negeri 1 Tempel menggunakan pendekatan pembelajaran saintifik. Atas dasar berbagai penelitian yang telah dilakukan yang mengindikasikan terdapat pengaruh penerapan strategi metakognitif terhadap kemampuan literasi matematis siswa, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pembelajaran metakognitif dengan kemampuan literasi matematis di SMP Negeri 1 Tempel. Namun, tidak semua materi pada jenjang sekolah


(10)

10

menengah sesuai digunakan untuk mengukur kemampuan literasi matematis. Tentu harus digunakan materi yang dapat mengukur kemampuan literasi matematis. Salah satu materi di jenjang pendidikan menengah pertama yang erat kaitannya dengan permasalahan kontekstual adalah materi perbandingan. Dengan demikian, penelitian ini hanya dibatasi pada meteri perbandingan.

B. Identifikasi Masalah

1. Kemampuan Literasi Matematis siswa belum maksimal dikembangkan di Indonesia.

2. Kemampuan literasi matematis siswa di Indonesia masih didominasi pada kemampuan pengoperasian matematika dalam konteks yang sederhana.

3. Siswa masih kesulitan dalam memodelkan situasi kompleks dan menginterpretasikan secara umum berdasarkan investigasi.

4. Strategi pembelajaran metakognitif masih jarang digunakan di Indonesia, terutama di SMP Negeri 1 Tempel.

C. Pembatasan Masalah

Penelitian dibatasi pada kemampuan literasi matematis siswa kelas VII di SMP Negeri 1 Tempel Sleman sebagai akibat penggunaan strategi metakognitif dalam pembelajaran matematika pada materi perbandingan pada semester genap tahun ajaran 2016/2017.

D. Rumusan Masalah

1. Apakah strategi metakognitif berpengaruh terhadap kemampuan literasi matematis siswa kelas VII di SMP Negeri 1 Tempel?

E. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui apakah strategi metakognitif berpengaruh terhadap kemampuan literasi matematis siswa kelas VII di SMP Negeri 1 Tempel.


(11)

11 F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat untuk: 1. Guru

Hasil dari penelitian ini dapat menjadi sumbangan pengetahuan mengenai pembelajaran dengan strategi metakognitif.

2. Siswa

Hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi siswa sebagai salah satu strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan prestasi belajar matematika.


(12)

12 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teoritik

1. Belajar dan Pembelajaran

Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman. Dalam hal ini belajar dimaknai sebagai suatu proses bukan hanya hasil (Hamalik, 2001:27). Dengan kata lain belajar adalah suatu proses atau perjalanan yang dilakukan seseorang dengan produk berupa hasil belajar.

Pendapat yang tidak jauh berbeda disampaikan oleh Suprihatiningrum (2013:13) bahwa belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan individu secara sadar untuk memperoleh perubahan tingkah laku tertentu, baik yang dapat diamati secara langsung maupun yang tidak dapat diamati secara langsung sebagai pengalaman (latihan) dalam interaksinya dengan lingkungan. Dalam definisi ini Suprihatiningrum mengartikan proses perubahan tingkah laku tersebut sebagai pengalaman. Selain itu proses tersebut juga tidak luput dipengaruhi oleh interaksinya dengan lingkungan belajar.

Selanjutnya pendapat lain disampaikan oleh Sugihartono, et al (2013:74) bahwa belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari pendapat Sugihartono ini dapat dimaknai bahwa tujuan akhir dari proses pembelajaran adalah pemenuhan kebutuhan hidup sebagai manusia.

Dari berbagai pendapat yang sudah disampaikan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah proses untuk mendapat perubahan tingkah laku yang dilakukan oleh individu baik langsung terlihat maupun tidak sebagai hasil


(13)

13

dari interaksi dengan lingkungannya dengan tujuan agar dapat memenuhi kebutuhannya sebagai manusia. Tentunya dari pengertian ini, belajar merupakan proses yang sangat luas dan dipengaruhi oleh lingkungan.

Belajar dan pembelajaran, dua kata yang mewakili aktivitas yang berbeda, tapi pada dasarnya bermuara pada tujuan yang sama. Belajar dapat memungkinkan terjadi tanpa pembelajaran (Aunurrahman, 2013:34). Dengan kata lain bahwa lingkup belajar jauh lebih luas daripada pembelajaran. Pembelajaran merupakan proses belajar, tapi belajar belum tentu diperoleh melalui pembelajaran

Instructional atau pembelajaran sebagai suatu sistem yang bertujuan untuk membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk mendukung dan mempengaruhi terjadinya proses belajar siswa yang bersifat internal (Aunurrahman, 2010:34).

Gagne (Suprihatiningrum, 2013:76) memberikan definisi tentang pembelajaran sebagai berikut “instruction is a set of event that effect learners in

such a way that learning is facilitated”. Dari pengertian ini dapat diartikan bahwa pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang mengakibatkan terfasilitasinya proses belajar pada siswa. Dalam hal ini menurut gagne mengajar atau teaching merupakan bagian dari pembelajaran (instruction), yang mana peran guru lebih ditekankan kepada bagaimana merancang atau mengaransemen berbagai sumber dan fasilitas yang tersedia untuk digunakan atau dimanfaatkan siswa dalam mempelajari sesuatu.


(14)

14

Majid (2013) mengartikan pembelajaran (instructional) bermakna sebagai upaya untuk membelajarkan seseorang atau kelompok orang melalui berbagai upaya (effort) dan berbagai strategi, metode, dan pendekatan ke arah pencapaian tujuan yang telah direncanakan.

Pendapat selanjutnya disampaikan oleh Sugihartono, et al (2013:81) bahwa pembelajaran merupakan suatu upaya yang dilakukan dengan sengaja oleh pendidik untuk menyampaikan ilmu pengetahuan, mengorganisasi dan menciptakan sistem lingkungan dengan berbagai metode sehingga siswa dapat melakukan kegiatan belajar secara efektif dan efisien serta dengan hasil yang optimal.

Dari berbagai pengertian yang sudah dikemukakan oleh beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah rangkaian kegiatan yang dirancang sehingga tercipta sistem lingkungan yang mempermudah proses belajar. 2. Pembelajaran Matematika

a. Matematika

Matematika didefinisikan dengan sangat beragam. Tentunya definisi tersebut muncul karena adanya berbagai pengambilan sudut pandang dalam mendefinisikan. Hamzah & Muhlisarini (2014:42) mengatakan bahwa matematika didefinisikan dengan tidak mudah. Secara etimologi matematika berasal kata matematica yang mulanya diambil dari perkataan Yunani, mathematike yang berarti relating to learning. Kata – kata tersebut mempunyai akar kata mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (Suherman, et al., 2003: 15)


(15)

15

Reys, et al (2012:3) menyebutkan beberapa pengertian dari matematika sebagai berikut.

1) Mathematics is study of patterns and relationship; 2) Mathematics is a way of thinking; 3) Mathematics is an art, characterized by order and internal consistency; 4) Mathematics is a language that uses carefully defined terms and symbols; 5) Mathematics is a tool.

Pengertian yang disampaikan oleh Reys dapat diartikan bahwa pertama matematika sebagai suatu studi yang mempelajari tentang pola dan hubungan. Beberapa cabang matematika menekankan pola dan hubungan. Materi satu dan yang lainnya juga saling terhubung. Kedua matematika merupakan suatu cara berpikir. Cara berpikir yang logis dan sistematis merupakan salah satu ciri khas matematika. Ketiga, matematika adalah sebuah seni. Hal ini ditunjukkan dengan adanya berbagai macam visualisasi dan penerapan matematika yang dianggap mempunyai nilai estetika tinggi. Keempat, matematika adalah suatu bahasa yang digunakan dengan didefinisikan sebagai istilah dan simbol. Simbol-simbol yang terdapat pada matematika merupakan suatu bahasa yang disampaikan dan diterima oleh pembaca. Kelima, matematika adalah alat untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dalam kehidupan sehari-hari dan juga menjadi alat mengembangkan ilmu pengetahuan lain.

Courant & Robbins (1996:1) mendefinisikan matematika sebagai berikut.

Mathematics as an expression of the human mind reflect the active will, the contemplative reason, and the desire for aesthetic perfection. Its basic elements are logic and intuition, analysis and construction, generality and individuality.


(16)

16

Definisi yang diungkapkan oleh Courant dan Robbins dapat diartikan bahwa matematika merupakan ekspresi dari pemikiran manusia yang mencerminkan kehendak aktif, alasan kontemplatif, dan keinginan untuk kesempurnaan estetika. Elemen dasarnya adalah logika dan intuisi, analisis dan konstruksi, generalitas dan individualitas.

Schoenfeld (1992:334) menjelaskan arti dari matematika dan penggolongannya seperti berikut ini.

Mathematics is an inherently social activity in which a community of trained practitioners (mathematical scientists) enggages in the science of patterns-systematic attempts based on observation, study, and experimentation, to determine the nature or principles of regularities in systems defined axiomatically or theoritically (pure mathematics) or models of systems abstracted from real world objects (applied mathematics). The tools of mathematics are abstraction, symbolic representation, and symbolic manipulation. However, being trained in the use of these tools no more means that one thinks mathematically than knowing how to use shop tools makes one a craftsman.

Definisi matematika yang disampaikan oleh Schoenfeld dapat diartikan bahwa matematika adalah suatu aktivitas sosial oleh suatu komunitas ilmuwan matematika yang terkait dengan pola sistematis yang berdasarkan observasi, studi, dan eksperimen untuk menentukan prinsip dari keteraturan pada sistem yang didefinisikan secara aksiomatik dan teoritis (matematika murni) atau model abstrak dari sesuatu yang riil (matematika terapan). Lebih lanjut dijelaskan bahwa alat-alat yang terdapat di matematika adalah abstrak, representasi simbolis, dan manipulasi simbol. Pada kalimat terakhir juga ditekankan bahwa seseorang yang belajar alat-alat yang ada di matematika tidak berarti seseorang lebih berpikir matematis dibandingkan seseorang yang mengetahui bagaimana menggunakan alat-alat di toko kerajinan. Jadi


(17)

17

keterangan tersebut dapat dimaknai bahwa mengetahui alat-alat matematika saja tidak cukup, perlu mengetahui pula bagaimana menggunakannya.

b. Hakikat Pembelajaran Matematika

National Research Council (1990:28) mendefinisikan pendidikan matematika sebagai berikut.

Mathematics education, unlike mathematics itself, is sapareted into subject and subdivided into topics, studies, lessons, facts, and skill. This fragmentation of mathematics has divorced the subject from reality and from inquiry. Such essential characteristics of mathematics as abstracting, inventing, proving, and applying are often lost.

Definisi tersebut menekankan bahwa pendidikan matematika berbeda dengan matematika itu sendiri. Pendidikan matematika terbagi menjadi subjek dan terbagi lagi menjadi topik, belajar, pelajaran, fakta, dan skill. Percabangan matematika memecah subjek dari realitas dan dari penemuan. Karakterisik dari matematika yang abstrak, rekaan, pembuktian, dan pengaplikasian seringkali hilang. Dalam pembelajaran matematika, sifat-sifat yang ada pada matematika tidak dapat ditampilkan keseluruhan bahkan mungkin akan hilang sedikit demi sedikit. Karena pembelajaran matematika bukan hanya tentang matematika tapi juga tentang belajar dan bagaimana menggunakan matematika supaya tumbuh skill pada siswa.

Konsep dasar pendidikan matematika yang diterapkan dalam pembelajaran memang tidak dapat disamakan dengan matematika itu sendiri. Matematika atau yang sering disebut pure mathematics bersifat abstrak, sedangkan pendidikan matematika atau matematika sekolah tidak demikian. Pembelajaran matematika diciptakan agar anak mampu menggunakan matematika di kehidupan mereka. Oleh karena itu pengembangan


(18)

18

pembelajaran matematika juga disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Tidak ada seorangpun dapat mengajarkan matematika. Guru yang efektif adalah mereka yang dapat menstimulus siswa untuk belajar matematika. Siswa belajar matematika hanya ketika mengkonstruksi pemahaman mereka sendiri (National Research Council, 1989:73).

3. Strategi Pembelajaran

Strategi (strategy) berasal dari bahasa Yunani, yaitu strategos yang merupakan gabungan dari kata stratos (militer) dan ago (memimpin). Selain itu, dalam bahasa Yunani, strategy juga dapat dimaknai sebagai kata kerja, stratego yang berarti merencanakan (Majid, 2013:3) .

Majid (2013:3) berpendapat bahwa strategi adalah suatu pola yang direncanakan dan ditetapkan secara sengaja untuk melakukan kegiatan atau tindakan. Pendapat tersebut dilengkapi oleh Sanjaya (2008:294) yang menyatakan bahwa strategi digunakan untuk memperoleh kesuksesan atau keberhasilan dalam mencapai tujuan. Jadi, dari dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa strategi bukan hanya suatu pola yang direncanakan seseorang untuk melakukan suatu tindakan, tapi lebih dari itu, yaitu untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Dengan kata lain, strategi adalah suatu pola yang direncanakan oleh seseorang dalam melakukan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Pengertian strategi pembelajaran tentunya tidak dapat dilepaskan oleh pengertian strategi. Akan tetapi, cakupan untuk strategi pembelajaran dapat dikatakan lebih sempit dibandingkan strategi itu sendiri. Berapa peneliti atau ilmuwan sudah mendefinisikan strategi pemebelajaran dengan sangat jelas.


(19)

19

Dalam bukunya Jacobsen, Eggen, & Kauchak (1989:162) memaparkan penjelasannya terkait dengan strategi pembelajaran sebagai berikut.

We are to the implementation phase of general teaching model where different strategies are used in helping students reach the objectives that teachers prepare in the planning phase of instruction.

Dari pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa strategi pada pembelajaran digunakan untuk membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran yang sudah direncanakan oleh guru. Selain itu, strategi dalam kaitannya dengan pembelajaran adalah siasat atau kiat yang sengaja direncanakan oleh guru, berkenaan dengan segala persiapan pembelajaran agar pelaksanaan pembelajaran berjalan dengan lancar dan tujuannya yang berupa hasil belajar dapat dicapai secara optimal (Suherman, et al., 2003:5). Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Hamalik (2001) bahwa strategi pengajaran adalah keseluruhan metode dan prosedur yang menitikberatkan pada kegiatan siswa dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan tertentu.

Sanjaya (2006:126) menjelaskan bahwa strategi pembelajaran memiliki dua hal pokok yaitu pertama, strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan (rangkaian kegiatan) termasuk penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya/kekuatan dalam pembelajaran. Kedua, strategi disusun untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan kata lain, strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan (rangkaian kegiatan) termasuk penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya/kekuatan dalam pembelajaran untuk mencapai suatu tujuan. Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa cakupan strategi pembelajaran lebih luas dibandingkan dengan metode pembelajaran, karena


(20)

20

pemilihan metode pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran adalah salah satu bagian dari strategi pembelajaran. Pendapat ini diperkuat dengan pendapat lain dari Suprihatiningrum (2016:153) yang menyatakan bahwa strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai rancangan prosedural yang memuat tindakan yang harus dilakukan guru dalam proses pembelajaran untuk mencapai sebuah tujuan. Strategi pembelajaran mencakup:

1. tujuan pembelajaran; 2. materi/bahan pelajaran;

3. kegiatan pembelajaran (metode/taktik); 4. media pembelajaran;

5. pengelolaan kelas; 6. penilaian.

Penjelasan yang disampaikan oleh Suprihatiningrum melengkapi penjelasan dari Sanjaya. Suprihatiningrum menjelaskan bahwa selain metode pembelajaran, strategi pemeblajaran juga mencakup tujuan pembelajaran, materi/bahan, media pembelajaran, pengelolaan kelas, dan penilaian.

Dari pengertian-pengertian strategi pembelajaran yang sudah dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu rangkaian kegiatan yang berisi prosedur yang direncanakan yang kemudian dilaksanakan oleh guru dan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Prosedur tersebut mencakup metode/teknik pembelajaran, tujuan pembelajaran, materi/bahan, media pembelajaran, pengelolaan kelas, dan penilaian.

4. Strategi Pembelajaran Metakognitif

Istilah metakognitif mulai menjadi perbincangan hangat sekitar tahun 1970-an. Pada awalnya pembahasan tersebut hanya pada bidang psikologi. Akan tetapi, perkembangan pembahasan tentang metakognitif saat ini sudah merambah


(21)

21

ke bidang lainnya seperti bahasa, matematika dan pendidikan secara umum. Salah satu tokoh yang terkenal dengan gagasannya terkait dengan metakognisi adalah John Flevell.

Flavell (Schunk, 2012: 400) menjelaskan konsep metognisi sebagai berikut.

Apa itu metakognisi? Biasanya diartikan secara luas dan cukup lentur sebagai pengetahuan atau aktivitas kognitif yang berperan sebagai objek, atau mengatur, aspek apa pun dalam keahlian kognitif....Disebut metakognisi diyakini berperan penting dalam berbagai jenis aktivitas kognitif, termasuk mengomunikasikan informasi secara oral, persuasi oral, pemahaman oral, pemahaman bacaan, menulis, kemahiran berbahasa, persepsi, perhatian, memori, pemecahan soal, kognisi sosial, dan berbagai jenis pengajaran diri dan kontrol diri.

Penjelasan tersebut dapat dimaknai bahwa metakognisi adalah suatu aktivitas kognitif yang mengatur aspek yang ada dalam kognitif itu sendiri seperti mengomunikasikan informasi secara oral, persuasi oral, pemahaman oral, pemahaman bacaan, menulis, kemahiran berbahasa, persepsi, perhatian, memori, pemecahan soal, kognisi sosial, dan berbagai jenis pengajaran diri dan kontrol diri. Dari fungsinya tersebut, aktivitas metakognitif memegang perananan yang sangat penting bagi kelangsungan kehidupan manusia.

Flavell (1997:9) menjelaskan bahwa kinerja kognitif merupakan interaksi dari empat komponen yaitu pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge), pengalaman metakognitif (metacognitive experience), tujuan (goals/task), dan aksi (actions/strategies). Keempat komponen tersebut saling terkait satu sama lain.

Pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge) berisi tentang pengetahuan yang terkait dengan faktor atau variabel apa saja yang bekerja mempengaruhi kinerja kognisi. Faktor tersebut dapat berupa orang (person),


(22)

22

tugas/jenis pekerjaan (task), atau strategi (strategy). Faktor orang dapat dikatakan sebagai kemampuan seseorang untuk memahami apa yang disukai oleh seseorang, apa yang lebih mudah dipahami oleh seseorang dan lain sebagainya. Contohnya yaitu ketika seseorang percaya/memahami bahwa dirinya lebih mudah belajar dengan mendengarkan musik dari pada membaca buku. Faktor strategi merupakan kesadaran seseorang terkait dengan strategi mana yang lebih cocok digunakannya sehingga mempermudah dalam pencapaian tujuan. Contohnya ketika seorang anak percaya bahwa cara yang mudah untuk dirinya memahami informasi adalah dengan memperhatikan poin utama informasi tersebut dan menyampaikannya dengan menggunakan bahasanya sendiri. Faktor tugas yaitu kesadaran tugas mana yang lebih mudah untuk dikerjakan. Selain itu antara ketiga faktor tersebut juga saling berkesinambungan. Contohnya: untuk menyelesaikan tugas X seseorang memahami bahwa dirinya lebih mudah menggunakan strategi A (daripada B) sedangkan yang lain memahami bahwa dirinya lebih mudah menggunakan strategi B (daripada A).

Pengalaman metakognitif (metacognitive experience) adalah proses yang singkat, tapi sebenarnya sangat kompleks. Contohnya seseorang sedang merasa kabingunan sesaat atau mungkin orang tersebut bertanya-tanya apakah dia telah benar-benar memahami orang lain. Pengalaman metakogniitif juga diperlukan dalam hal menentukan strategi yang akan digunakan selanjutnya. Sebagai contoh seseorang penasaran apakah pengetahuannya tentang suatu materi sudah cukup supaya dia lulus ujian, kemudian orang tersebut mencoba membuat pertanyaan untuk dirinya sendiri lalu menjawabnya.


(23)

23

Brown, et al (1982:85) membagi metakognisi menjadi dua yaitu pengetahuan tentang kognisi (knowledge about cognition) dan regulasi kognisi (regulation of cognition). Pengetahuan tentang kognisi terdiri dari pengetahuan deklaratif, prosedural, dan kondisional, sedangkan regulasi kognisi terdari tiga aktivitas, yaitu: planning, monitoring, dan checking. Aktivitas planning fokus pada kegiatan memahami masalah (memprediksi hasil, merencanakan strategi dan lain sebagainya), aktivitas monitoring meliputi kegiatan merevisi, merencanakan kembali strategi dan lain sebagainya, sedangkan aktivitas checking meliputi kegiatan mengevaluasi hasil dari penggunaan strategi dilihat dari efektivitasnya.

Lebih lanjut ketiga pengetahuan metakognitif yang didefinisikan oleh Brown sebelumnya dijelaskan lebih lanjut oleh Schnuk (2012:399) seperti yang termuat dalam Tabel 2.

Tabel 2. Pengetahuan Metakognitif menurut Brown

Jenis Mengetahui Contoh

Deklaratif Bahwa “saya kelas 6 SD”, “saya suka matematika”

Prosedural Bagaimana Bagaimana strategi membaca? Bagaimana cara membuat sup, dan lain sebagainya Kondisional Kenapa,

mengapa

Membaca cepat koran karena inti sari dapat didapatkan dalam waktu yang singkat

Metakognisi adalah suatu kata yang berkaitan dengan apa yang dia ketahui tentang dirinya sebagai individu yang belajar dan bagaimana dia mengontrol serta menyesuaikan perilakunya (Suherman, et al., 2003:104). Definisi lain yang lebih sederhana disampaikan oleh Blakey & Spence (1990:1) yang menyatakan bahwa metakognisi adalah berpikir tentang berpikir, mengetahui apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui. Dari berbagai pengertian yang telah disampaikan oleh


(24)

24

para ahli dapat disimpulkan bahwa metakognisi adalah suatu aktivitas kognitif yang mengatur jalannya proses kognitif itu sendiri dan diwujudkan dalam bentuk pemahaman seseorang mengenai apa yang ada dalam dirinya dan aktivitas apa yang sedang dijalankannya.

Pengertian strategi metakognitif pada dasarnya tidak dapat terlepas dari pengertian metakognisi. Livingston (2003:4-5) menjelaskan bahwa strategi metakognitif adalah serangkaian proses yang salah satunya digunakan untuk mengontrol aktivitas kognitif dan memastikan tujuan kognitif dapat dicapai. Proses tersebut membantu dalam regulasi dan memantau pembelajaran. Strategi metakognitif mencakup aktivitas perencanaan (plannning), pemantauan (monitoring) kinerja kognisi dan memeriksa (checking). Selain itu, strategi kognitif berbeda dengan strategi metakognitif. Strategi kognitif digunakan untuk membantu individu mencapai suatu tujuan sedangkan strategi metakognitif digunakan untuk memastikan bahwa tujuan sudah tercapai (contoh: menanyakan kepada dirinya untuk mengevaluasi pemahaman terhadap sesuatu). Strategi metakognitif dan kognitif dapat diindikasikan oleh suatu pertanyaan yang sama, namun pertanyaan tersebut dapat dianggap sebagai strategi kognitif maupun strategi metakognitif, bergantung pada apa tujuanya. Contoh: seseorang dapat menggunakan strategi self-questioning saat membaca sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan (kognitif), atau sebagai cara untuk memantau apa yang telah dia baca (metakognitif).


(25)

25

Blakey & Spence (1990:2) menjelaskan dasar dari strategi metakognitif adalah sebagai berikut:

1. menghubungkan informasi baru untuk membentuk pengetahuan; 2. melakukan seleksi strategi berpikir;

3. merencanakan, memonitoring, dan mengevaluasi proses berpikir.

Selanjutnya juga dijelaskan strategi untuk mengembangkan kepribadian metakognitif sebagai berikut:

1. mengidentifikasi “Apa yang kamu ketahui” dan “apa yang kamu tidak ketahui”;

2. mengungkapakan apa yang dipikirkan; 3. menuliskan apa yang dipikirkan; 4. merencanakan dan pengaturan diri; 5. menanyakan proses berpikir; 6. evaluasi diri.

Montague (1992:231) menggabungkan proses kognitif dan metakognitif yang selanjutnya disebut cognitive and metacognitive strategy. Model pembelajaran ini terdiri dari serangkaian kegiatan pembelajaran yaitu:

1. membaca; 2. paraphrase; 3. visualisasi; 4. hipotesis; 5. estimasi; 6. komputasi; 7. evaluasi.

Ketujuh tahapan tersebut merupakan strategi dan proses kognitif. Di dalam setiap langkah pada proses kognitif terdapat proses metakognitif. Gambar 1 menunjukkan gambar model kognititf dan metakognitif dari pemecahan masalah matematika atau mathematical problem solving (MPS).


(26)

26

Gambar 1. Model Kognitif dan Metakognitif dari pemecahan masalah

Self-instruction membantu siswa untuk mengidentifikasikan dan mengatur strategi pemecahan masalah. Self-questioning mendorong internal dialog untuk menganalisis secara sistematis informasi dari permasalahan dan eksekusi regulasi dari strategi kognitif. Self-monitoring mendorong pemilihan spesifik strategi yang pantas digunakan dan menstimulus siswa untuk memantau aktivitasnya.

Dari berbagai pendapat yang telah dipaparkan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa strategi metakognitif merupakan serangkaian proses atau pola yang dilakukan untuk memantau aktivitas kognitif dan memastikan bahwa tujuan dari aktivitas kognitif tersebut telah tercapai. Prinsip dari strategi metakognitif secara umum dibagi menjadi tiga yaitu merencanakan, memantau, dan mengevaluasi.

Mevarech & Kramarski (1997:365-394) memperkenalkan suatu model pembelajaran IMPROVE yang didasarkan kepada pertanyaan metakognitif. Model pembelajaran ini merupakan singkatan dari beberapa aktivitas yaitu Introducing

COGNITIVE STRATEGIES

AND PROCESSES

(Specific problem-solving strategies)

READ (comprehension)

PARAPHRASE (translation)

VISUALIZE (transformation)

HYPOTHESIZE (planning)

ESTIMATE (prediction)

COMPUTE (calculation)

CHECK (evaluation)

METACOGNITIVE STRATEGIES

AND PROCESSES

(Awareness and regulation of cognitive strategies)

SELF-INSTRUCT (strategy knowledge and use)

SELF-QUETIONING (strategy knowledge and use

SELF-MONITOR (strategy control)


(27)

27

new concept, Metacognitive questioning, Practicing, Reviewing and reducing difficulties, Obtaining mastery, Varofication, dan Enrichment. Lebih lanjut Kramarski & Mizrachi (2004:170) menjelaskan bahwa metode IMPROVE didasarkan pada self-questioning yang terfokus dari beberapa aktivitas yaitu comprehending the problem; constructing connection between previous and new knowledge; use of strategies appropriate for solving the problem; dan reflecting on the processes and the solution. Berikut penjelasan dari aktivitas-aktivitas tersebut.

1. Comprehending the problem

Dalam aktivitas ini siswa melontarkan metakognitif berupa pertanyaan komprehensi (comprehending question). Pertanyaan komprehensi didesain untuk membantu siswa dalam memahami masalah sebelum diselesaikan. Dalam hal ini siswa harus membaca permasalahan, kemudian mengungkapkan masalah dengan menggunakan bahasanya sendiri, selanjutnya mencoba untuk memahami permasalahan. Contoh pertanyaan komprehensi yaitu “Apa permasalahan yang harus diselesaikan?”; “Apa pertanyaannya?” “Apa maknanya dalam konsep matematika?”.

2. Constructing connection between previous and new knowledge

Dalam kegiatan ini siswa melontarkan pertanyaan koneksi (connection questions). Pertanyaan ini dibuat supaya siswa fokus pada persamaan dan perbedaan antara masalah yang ditemukan dan permasalahan yang pernah diselesaikan sebelumnya. Contoh pertanyaan koneksi yaitu “Bagimana


(28)

28

permasalahan ini berbeda/sama dengan permasalahan yang pernah diselesaikan

sebelumnya?” “Jelaskan mengapa demikian!”.

3. Use of strategies appropriate for solving the problem

Dalam kegiatan ini siswa menggunakan pertanyaan strategi (strategies questions) yang didesain untuk membantu siswa dalam melakukan pertimbangan terkait dengan strategi apakah yang sesuai untuk menyelesaikan masalah/tugas dan alasan mengapa strategi itulah yang tepat digunakan. Dalam hal ini siswa harus dapat mengemukakan pertanyaan apa (contoh: “apa strategi/taktik/prinsip yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah?”), pertanyaan mengapa (contoh: “mengapa strategi tersebut sesuai untuk memecahkan masalah?”),

pertanyaan bagaimana (contoh: “bagaimana saya dapat mengorganisasikan

masalah?”; “Bagaimana rencana yang sudah dibuat dilaksanakan?”). 4. Reflecting on the processes and the solution

Dalam kegiatan ini siswa menggunakan pertanyaan refleksi (reflection questions) yang didesain untuk mendorong siswa melakukan refleksi terhadap pemahamannya dan perasaannya setelah melakukan proses pemecahan masalah (contoh: “Apa yang sudah saya lakukan?”; ”Apakah masuk akal?”; “Apa kesulitan/perasaan yang saya hadapi dalam memecahkan masalah?”; “Bagaimana saya dapat melakukan verifikasi dari solusi yang didapat?”; “Dapatkah saya menggunakan pendekatan lain untuk memecahkan masalah tersebut?”.

Ellis, et al (2013:4021) menjelaskan bahwa terdapat tiga katagori strategi pembelajaran yang dapat mendorong kerja metakognitif yaitu merencanakan, memantau, dan mengevaluasi. Strategi merencanakan (planning) memuat


(29)

29

pembuatan model (modelling), pencapaian tujuan (goal attainment), checklist, diagram (diagrams), mnemonik (mnemonics), merancang grafik (graphic organizers), praktik terbimbing (guided practice). Sedangkan startegi yang termasuk ke dalam kegiatan pemantauan yaitu pembuatan model (modelling), pembuatan diagram (diagraming), pengecekan jawaban (answer checking), dan praktik. Selanjutnya strategi untuk kegiatan mengevaluasi adalah pembuatan model (modelling), praktik mandiri (independent practice), tes diri (self-testing), dan mengecek jawaban (answer checking).

Berdasarkan kajian literatur terkait dengan metakognisi, strategi metakognitif, dan pembelajaran dengan strategi metakognitif dapat disusun suatu pembelajaran dengan strategi metakognitif dengan langkah-langkah kegiatan pembelajaran seperti berikut ini:

a. Pendahuluan

Pada kegiatan pendahuluan siswa melakukan kegiatan perencanaan dengan cara menuliskan tujuan apa yang harus dicapainya setelah pembelajaran diikuti, membuat diagram cara berpikir/peta konsep, memilih strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Sebelumnya siswa bertanya kepada diri mereka sendiri dengan menyuarakan pikirannya (contoh: “Apa strategi yang tepat yang harus saya lakukan?”; “Apa yang harus saya lakukan untuk mencapai tujuan yang diharapkan?”).

b. Inti

Pada kegiatan inti siswa melakukan kegiatan pemantauan terhadap aktivitas pembelajaran dengan cara menyuarakan pertanyaan kepada diri mereka


(30)

30

sendiri untuk mengetahui lebih dalam aktivitas kognitif yang sedang berlangsung. Pertanyaan tersebut dapat berupa pertanyaan untuk mengecek apa yang sudah dipakami dan belum dipahami (contoh: “Apakah saya sudah paham?”;”Apa yang membuat saya kesulitan dalam memahami?”; “Apakah saya sudah benar-benar memahami maksud dari permasalahan pada soal?”). Pertanyaan yang dilontarkan dapat berupa pertanyaan untuk mengecek keterhubungan permasalahan dengan permasalahan sebelumnya (contoh: “Apakah saya sudah pernah menyelesaikan permasalahan ini sebelumnya?). Pernyataan lainnya yaitu untuk memonitoring keterlaksanaan dari strategi yang digunakan (contoh: “Apakah saya sudah melakukan strategi dengan benar?”.

c. Penutup

Pada kegiatan penutup, siswa mengevaluasi pembelajaran yang sudah dilakukan. Siswa mengevaluasi pembelajaran dengan cara bertanya kepada diri mereka sendiri apa yang telah dilakukan selama aktivitas berlangsung (contoh: “Apa yang sudah saya lakukan hari ini?”).

5. Pembelajaran Saintifik

Pendekatan saintifik adalah pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran tersebut dilakukan melalui proses ilmiah (Fadlillah, 2014: 175) Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 103 tahun 2014 tentang pembelajaran pada pendidikan dasar dan menengah, langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan pendekatan saintifik adalah sebagai berikut.


(31)

31 a. Mengamati

Kegiatan mengamati dapat berupa membaca, mendengar, menyimak, melihat, menonton, dan sebagainya dengan atau tanpa alat.

b. Menanya

Kegiatan menyanya meliputi kegiatan membuat dan mengajukan pertanyaan, tanya jawab, berdiskusi tentang informasi yang belum dipahami, informasi tambahan yang ingin diketahui, atau sebagai klarifikasi

c. Mengumpulkan informasi/mencoba

Kegiatan mengumpulkan infromasi/mencoba dapat berupa kegiatan mengeksplorasi, mencoba, berdiskusi, mendemonstrasikan, meniru bentuk/gerak, melakukan eksperimen, membaca sumber lain selain buku teks, mengumpulkan data dari narasumber melalui angket, wawancara, dan memodifikasi/menambahi/mengembangkan.

d. Menalar/Mengasosiasi

Kegiatan menalar/mengasosiasi dapat berupa kegiatan mengolah informasi yang sudah dikumpulkan, menganalisis data dalam bentuk membuat kategori, mengasosiasi atau menghubungkan fenomena/informasi yang terkait dalam rangka menemukan suatu pola, dan menyimpulkan.

e. Mengomunakasikan

Kegiatan mengmounikasikan dapat berupa menyajikan laporan dalam bentulk bagan, diagram, atu grafik; menyusun laporan tertulis; dan menyajikan laporan meliputi proses, hasil, dan kesimpulan secara lisan.


(32)

32 6. Kemampuan Literasi Matematis

Ojose (2011:89-100) berpendapat bahwa literasi matematis adalah sebagai berikut.

Mathematical literacy involves more that executing prosedures. It implies a knowledge base and the competence and confidence to apply this knowledge in the practical world. A mathematically literate person can estimate, interpret data, solve day-to-day problems, reason in numerical, graphical, and geometris situations, and communicate using mathematics. Penjelasan tersebut menekankan bahwa kemampuan literasi matematis bukan sekedar kemampuan prosedural saja, tapi kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuannya pada kehidupan nyata. Kemampuan tersebut meliputi mengestimasi, menginterpretasikan data, memecahkan permasalahan, menalar situasi yang ditampilkan dalam bentuk numerik, grafik, dan geometris, dan mengomunikasikan secara matematis.

OECD pada draft PISA 2015 Mathematical Framework (2013:5) mendefinisikan literasi matematika sebagai berikut.

Mathematical literacy is an individual’s capacity to formulate, employ,

and interpret mathematics in a variety of contexts. It includes reasoning mathematically and using mathematical concepts, procedures, facts and tools to describe, explain and predict phenomena. It assists individuals to recognise the role that mathematics plays in the world and to make the well-founded judgments and decisions needed by constructive, engaged and reflective citizens.

Pengertian tersebut dapat diartikan bahwa literasi matematika adalah kemampuan seseorang untuk merumuskan, menerapkan, dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks. Kemampuan tersebut mencakup penalaran matematis dan menggunakan konsep matematika, prosedur, fakta dan aat untuk mendeskripsikan, menjelaskan, dan memprediksi fenomena. Manfaat dari kemampuan ini membantu orang tersebut untuk mengetahui peran matematika dalam dunia dan


(33)

33

dalam pembuatan keputusan yang diperlukan dengan wadah masyarakat yang konstruktif dan reflektif. Dari definisi tersebut, dapat ditarik tiga kompetensi yang pokok dalam literasi matematika yaitu, formulating (merumuskan), employing (menerapkan), dan interpreting (menafsirkan). Gambaran umum dari ketiga kompetensi tersebut tergambar oleh Gambar 2.

Gambar 2. Model Literasi Matematis (OECD, 2013:7)

Pada Gambar 2 terdapat setidaknya empat aspek penting yang perlu dibahas lebih dalam terkait dengan kemampuan literasi matematis, yaitu 1) kategori konten matematika yang meliputi kuantitas, ketidakpastian dan data, perubahan dan hubungan, ruang dan bentuk; 2) kategori permasalan kontekstual yang terdapat pada kehidupan nyata (real world context) yang meliputi personal, sosial, pekerjaan, dan ilmu alam; 3) kemampuan matematis dasar yang meliputi komunikasi, representasi, perencanaan strategi, matematisasi, penalaran dan argumentasi, penggunaan simbol, bahasa formal/teknis dan operasi formal/teknis, penggunaan alat matematika; 4) proses yang meliputi merumuskan, menggunakan, dan menginterpretasikan.

Challenge in real world context

Mathematical content categories: Quantity; Uncertainty & data; Change & relationship; Space & Shape

Mathematical thought and action

Mathematical concept, knowledge and skill

Fundamental mathematical capabilities: Communication; Representation; Devising strategies; Mathematisation; Reasoning and argument; Using symbolic, formal and technical language and operation; Using mathematical tools

Pricesses: Formulate, Employ, Interpret/Evaluate

Problem in context Formulate Mathematical problem

Employ

Result in context Interprete Mathematical result Evaluatee


(34)

34

Berikut ini macam-macam konten matematika yang terkait erat dengan kemampuan literasi matematis.

a. Perubahan dan hubungan

Benda-benda yang ada di dunia ini dari waktu ke waktu mengalami perubahan dan bena-benda tersebut juga saling terhubung satu sama lain. Dalam konten ini matematika memodelkan perubahan dan hubungan dengan suatu fungsi atau persamaan seperti membuat, menginterpretasikan, mengubah simbol dan grafik representasi dari hubungan tersebut.

b. Ruang dan bentuk

Konten ruang dan bentuk didasarkan pada geometri ruang dan bidang. Ruang dan bentuk mencakup berbagai fenomena yang ditemui di mana-mana di dunia visual dan fisik kita: pola, sifat objek, posisi dan orientasi, representasi objek, decoding dan encoding dari informasi visual, navigasi dan interaksi yang dinamis dengan bentuk nyata juga seperti dengan representasi.

c. Kuantitas

Pada dasarnya aspek kuantitas adalah aspek yang mendasar pada matematika dan berperan penting dalam untuk terlibat dalam dunia. Konsep pengukuran, jumlah, besaran, unit, indikator, ukuran relatif, numerik dan pola merupakan konsep yang sangat sering digunakan. Dengan demikian literasi matematika berdasarkan konten kuantitas yaitu ketika seseorang mampu dalam mengestimasi, menalar makna dari suatu bilangan, menilai apakah layak atau tidak suatu hasil, dan kalkulasi.


(35)

35 d. Ketidakpastian dan data

Dalam perkemabangan ilmu dan dunia pasti akan ada ketidakpastian yang muncul. Ilmu peluang dan statistika merupakan salah satu cabang matematika yang menjadi solusi dari permasalahan tersebut. Pada konten ketidakpastian dan data berisi tentang mengetahui kesalahan dalam perhitungan, interpretasi dan evaluasi dari kesimpulan yang digambarkan dalam cerita.

Dari keempat konten yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat materi-materi yang bersesuaian dengan konten-konten tersebut pada materi-materi yang ada di kurikulum sekolah yaitu sebagai berikut (OECD, 2013:20-21).

1. fungsi;

2. ekspresi aljabar;

3. persamaan dan pertidaksamaan; 4. sistem koordinat;

5. hubungan antara objek geometri pada dimensi 2 dan dimensi 3; 6. pengukuran;

7. bilangan dan satuan; 8. operasi aritmatika;

9. persen, rasio, dan proporsi; 10.kaidah pencacahan;

11.penaksiran;

12.pengumpulan data, representasi, dan interpretasi; 13.keragaman dan deskripsi data;

14.perubahan dan peluang.

Berikut ini kemampuan matematis yang terkait dengan kemampuan literasi.

a. Komunikasi (communication)

Kemampuan literasi matematis meliputi komunikasi. Setelah seseorang berhasil menyelesaikan permasalahan, hasilnya tentu dapat disimpulkan dan dipaparkan. Dengan demikian orang tersebut harus dapat menampilkan hasil pekerjaannya baik dalam bentuk penjelasan atau yang lainnya.


(36)

36 b. Matematisasi (Mathematizing)

Kemampuan literasi meliputi kemampuan untuk mengubah permasalahan riil menjadi bentuk matematika (misalnya: memodelkan dan membuat asumsi) atau menginterpretasikan atau mengevaluasi model matematika terkait hubungannya dengan permasalahan awal. Dengan demikian, dibutuhkan kemampuan mematimatisasi.

c. Representasi (Representation)

Literasi matematis sangat erat kaitannya dengan representasi dari objek matematika dan situasi. Representasi dapat berupa diagram, tabel, gambar, persamaan, rumus, dan lain sebagainya.

d. Penalaran dan argumentasi (Reasoning and Argumentation)

Kemampuan untuk menghubungkan permasalah satu dan yang lainnya serta kemampuan logis matematis juga termasuk ke dalam literasi matematis. Sehingga penalaran dan argumentasi juga merupakan kemampuan yang penting dalam literasi matematis.

e. Perencanaan strategi untuk menyelesaikan masalah (Devising Strategies for Solving Problem.

Menyelesaikan permasalahan tentu harus direncanakan dengan matang agar langkah yang yang dilakukannya jauh lebih efektif dan tepat sasaran. Dengan demikian, untuk dapat menyelesaikan permasalah pasti dibutuhkan kemmapuan untuk merencanakan strategi terlebih dahulu.


(37)

37

f. Penggunaan simbol, bahasa formal/teknis dan operasi formal/teknis (Using Symbolic, formal and technical language and orations)

Literasi matematis membutuhkan penggunaan simbol, bahasa atau operasi formal dan teknis. Penggunaan simbol, aturan dan sistem digunakan untuk memformulasikan, menyelesaikan atau menginterpretasikan secara matematis. Sehingga kemampuan dalam menggunakan simbol dengan baik, pasti dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah.

g. Menggunakan alat matematika (Using Mathematical Tools)

Kemampuan terakhir yang sangat dasar dalam literasi matematis adalah penggunaan alat matematika.

Berikut penjelasan tentang model literasi matematika yang ditunjukkan oleh Gambar 2 (OECD, 2013).

1. Merumuskan (Formulating)

Kegiatan merumuskan yang dimaksud pada literasi matematika adalah merumuskan situasi secara matematis. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasikan terlebih dahulu kemungkinan untuk menggunakan matematika dalam penyelesaian suatu permasalahan. Kemudian permasalahan tersebut diubah ke dalam bentuk yang memungkinkan untuk dilakuakan perlakuan secara matematis, dengan cara menetapkan struktur dan representasi matematikanya, mengidentifikasi variabel dan membuat asumsi untuk membantu dalam penyelesaian masalah. Berikut ini tahapan lebih rinci.

a. Mengidentifikasi aspek-aspek matematika dari masalah pada konteks dunia nyata dan mengidentifikasi variabel-variabel yang terlihat di dalam masalah tersebut.

b. Mengenali struktur matematika (termasuk keteraturan, hubungan, dan pola) dalam masalah atau situasi.


(38)

38

c. Menyederhanakan situasi atau masalah dalam rangka untuk membuatnya sesuai untuk dianalisis secara matematis.

d. Mengidentifikasi kendala dan asumsi di balik setiap model matematika.

e. Merepresentasikan situasi matematis dengan menggunakan variabel yang tepat, simbol, diagram, dan model yang sesuai.

f. Merepresentasikan masalah dengan cara yang berbeda, namun tetap sesuai dengan konsep-konsep matematika serta membuat asumsi yang tepat untuk masalah tersebut.

g. Memahami hubungan antara bahasa dengan konteks khusus pada masalah yaitu bahasa simbolik dengan bahasa formal, sangat diperlukan untuk merepresentasikan secara matematis.

h. Menerjemahkan masalah ke dalam bahasa atau representasi matematika. i. Mengenali konsep-konsep matematika, fakta, atau prosedur yang berhubungan

dengan masalah.

j. Menggunakan teknologi (seperti spreadsheet) untuk menggambarkan hubungan matematis yang melekat dalam masalah kontekstual. (OECD,2013 : 10)

2. Menggunakan (Employing)

Pada tahapan ini, matematika mulai bekerja. Tahap penerapan matematika meliputi penerapan penalaran matematika dan menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika untuk menghasilkan solusi matematika. Proses ini meliputi perhitungan, manipulasi, ekspresi aljabar dan persamaan atau model matematika lainnya, menganalisis informasi dari diagram dan grafik matematika, mengembangkan deskripsi matematika dan menggunakan alat matematika untuk menyelesaikan masalah. Berikut ini penjelasannya.

a. Merancang dan menerapkan strategi untuk menemukan solusi matematika. b. Menggunakan alat-alat matematika, termasuk teknologi, untuk membantu

mencari solusi yang tepat atau yang mendekati.

c. Menerapkan fakta matematika, aturan, algoritma, dan struktur ketika mencari solusi.

d. Memanipulasi data angka, grafik dan statistik dan informasi, ekspresi aljabar dan persamaan, dan representasi geometris.

e. Membuat diagram, grafik, dan konstruksi matematika dan menyaring informasi matematika yang ada di dalamnya.

f. Menggunakan dan menghubungkan antara representasi yang berbeda dalam proses pencarian solusi.


(39)

39

g. Membuat generalisasi berdasarkan hasil penerapan prosedur matematika untuk menemukan solusi.

h. Merefleksikan argumen matematika dan menjelaskan serta membenarkan hasil matematika. (OECD, 2013 : 11)

3. Menginterpretasikan (Interprenting)

Kegiatan interpretasi matematika meliputi kegiatan menafsirkan hasil dari penyelesaian secara matematika ke dalam konteks dari permasalahan. Kegiatan ini juga termasuk mengevaluasi hasil dari penyelesaian matematikka atau menghubungkan ke konteks permasalahan dan menentukan hasil yang sesuai dengan situasi. Berikut penjelasan lebih rinci.

a. Menafsirkan kembali hasil matematika ke konteks dunia nyata.

b. Mengevaluasi kewajaran solusi matematika dalam konteks masalah dunia nyata.

c. Memahami bagaimana dunia nyata mempengaruhi hasil perhitungan dan prosedur atau model matematika untuk membuat penilaian kontekstual tentang bagaimana hasil harus disesuaikan atau diterapkan.

d. Menjelaskan mengapa hasil matematika atau kesimpulan yang diperoleh masuk akal atau tidak pada konteks masalah yang diberikan.

e. Memahami cakupan dan batasan-batasan pada konsep-konsep matematika dan solusi matematika.

f. Mengkritisi dan mengidentifikasi batas-batas model yang digunakan untuk memecahkan masalah. (OECD, 2013 : 12)

Soal PISA yang digunakan untuk mengukur kemampuan literasi matematis siswa terdiri dari beberapa soal yang dibagi menjadi 6 (enam) level. Setiap level soal digunakan untuk mengukur kompetensi literasi matematis yang berbeda-beda. Tabel 3 menguraikan masing-masing level soal PISA beserta masing-masing deskripsinya.


(40)

40

Tabel 3. Deskripsi Skala Kemampuan Literasi Matematis pada PISA (OECD, 2013: 27)

Level Deskripsi

6 Siswa dapat melakukan konseptualisasi dan generalisasi dengan menggunakan informasi berdasarkan modelling dan penelaahan dalam suatu situasi yang kompleks. Mereka dapat menghubungkan sumber informasi berbeda dengan fleksibel dan menerjemahkannya. Siswa pada tingkatan ini telah mampu berpikir dan bernalar secara matematika. Mereka dapat menerapkan pemahamannya secara mendalam disertai dengan penguasaan teknis operasi matematika, mengembangkan strategi dan pendekatan baru untuk menghadapi situasi baru. Mereka dapat merumuskan dan mengkomunikasikan apa yang mereka temukan. Mereka melakukan penafsiran dan berargumentasi secara dewasa.

5 Siswa dapat bekerja dengan model untuk situasi yang kompleks, mengetahui kendala yang dihadapi, dan melakukan dugaan-dugaan. Mereka dapat memilih, membandingkan, dan mengevaluasi strategi untuk memecahkan masalah yang rumit yang berhubungan dengan model ini. Siswa pada tingkatan ini dapat bekerja dengan menggunakan pemikiran dan penalaran yang luas, serta secara tepat menghubungkan pengetahuandan keterampilan matematikanya dengan situasi yang dihadapi. Mereka dapat melakukan refleksi dari apa yang mereka kerjakan danmengkomunikasikannya.

4 Siswa dapat bekerja secara efektif dengan model dalam situasi yang konkret tetapi kompleks. Mereka dapat memilih dan mengintegrasikan representasi yang berbeda, dan menghubungkannya dengan situasi nyata. Siswa pada tingkatan ini dapat menggunakan keterampilannya dengan baik dan mengemukakan alasan dan pandangan yang fleksibel sesuai dengan konteks. Mereka dapat memberikan penjelasan dan mengkomunikasikannya disertai argumentasi berdasar pada interpretasi dan tindakan mereka.

3 Siswa dapat melaksanakan prosedur dengan baik, termasuk prosedur yang memerlukan keputusan secara berurutan. Mereka dapat memilih dan menerapkan strategi memecahkan masalah yang sederhana. Siswa pada tingkatan ini dapat menginterpretasikan dan menggunakan representasi berdasarkan sumber informasi yang berbeda dan mengemukakan alasannya. Mereka dapat mengkomunikasikan hasil interpretasi dan alasan mereka.

2 Siswa dapat menginterpretasikan dan mengenali situasi dalam konteks yang memerlukan inferensi langsung. Mereka dapat memilah informasi yang relevan dari sumber tunggal dan menggunakan cara representasi tunggal. Siswa pada tingkatan ini dapat mengerjakan algoritma dasar, menggunakan rumus, melaksanakan prosedur atau konvensi sederhana. Mereka mampu memberikan alasan secara langsung dan melakukan penafsiran harfiah.

1 Siswa dapat menjawab pertanyaan yang konteksnya umum dan dikenal serta semua informasi yang relevan tersedia dengan pertanyaan yang jelas.


(41)

41

Mereka dapat mengidentifikasi informasi dan menyelesaikan prosedur rutin menurut instruksi yang eksplisit. Mereka dapat melakukan tindakan sesuai dengan stimulus yang diberikan.

B. Penelitian yang Relevan

Terdapat beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Berikut ini beberapa penelitian relevan tersebut:

Penelitian Nurjanah (2015) menunjukkan bahwa strategi metakognitif efektif terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa kelas VII SMP Negeri 3 Sleman. Selain itu, penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa strategi metakognitif lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran konvensional terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa kelas VII SMP Negeri 3 Sleman. Penelitian ini diperkuat oleh penelitian Ӧzsoy & Ataman (2009, 68-83) yang dilakukan untuk mengetahui efektivitas penggunaan strategi metakognitif terhadap kemampuan pemecahan masalah. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa yang terdapat pada kelompok eksperimen mempunyai kemampuan pemecahan yang lebih baik dari pada siswa yang ada di kelompok kontrol. Hasil dari dua penelitian tersebut menunjukkan bahwa strategi metakognitif efektif dilihat dari sudut pandang kemampuan pemecahan masalah. Lebih lanjut, kemampuan pemecahan masalah merupakan aspek yang sangat penting dalam mengembangkan kemampuan literasi matematis siswa. Dengan demikian diperoleh dugaan bahwa pembelajaran dengan menggunakan strategi metakognitif efektif ditinjau dari kemampuan literasi matematis siswa.

Hasil penelitian Hutami (2015) menunjukkan bahwa strategi metakognitif efektif terhadap kemampuan penalaran siswa kelas VIII MTs Negeri Babadan Baru, Sleman dan pendekatan metakognitif lebih efektif dibandingkan pendekatan


(42)

42

konvensional dalam pembelajaran matematika terhadap kemampuan penalaran siswa kelas VIII MTs Negeri Babadan Baru, Sleman. Selain itu, penelitian Amelia, Musdin, & Amalita (2014:51-55) juga menunjukkan bahwa dengan melakukan pembelajaran menggunakan strategi metakognitif, kemampuan penalaran matematis siswa berkembang. Hal ini ditandai dengan adanya peningkatan nilai rata-rata kuis kemampuan penalaran siswa dari kuis pertama sampai ketiga. Kemampuan penalaran matematis adalah salah satu kemampuan yang sangat penting untuk mengambangkan kemampuan literasi matematis siswa. Sehingga peningkatan kemampuan menalar juga diduga akan berpengaruh terhadap kemampuan literasi matematis siswa. Dengan demikian, muncul dugaan bahwa dengan strategi metakognitif pada pembelajaran matematika berpengaruh terhadap kemampuan literasi matematis siswa.

Penelitian Kramarski & Mevarech (2003: 281-310) menunjukkan bahwa siswa yang belajar dengan strategi metakognitif dengan program IMPROVE+COOP (Introducing the new concept, Metacognitive question, Practicing, Reviewing and reducing difficulties, Obtaining mastery, Verification, Enrichment, Cooperative) lebih banyak menggunakan argumen yang formal dan logis dibandingkan siswa pada kelompok lain yang menggunakan argumen secara numerik. Selain itu, siswa yang belajar dengan menggunakan program pembelajaran IMPROVE+COOP juga tidak hanya menjelaskan strategi kepada temannya dan alasan menggunakan strategi tersebut, tapi juga dapat menganalisis, membandingkan, dan membedakan makna dari tugas dan solusinya. Lebih lanjut penelitian ini juga menunjukkan bahwa siswa dengan perogram


(43)

43

IMPROVE+COOP lebih lancar dan fleksibel dalam menjelaskan idenya pada tulisannya. Kemampuan-kemampuan yang berkembang dalam diri siswa tersebut menandakan bahwa siswa mengikuti pembelajaran menggunakan IMPROVE+COOP mempunyai kemampuan penalaran, argumentasi, dan komunikasi matematis yang lebih baik.

Penelitian relevan lain adalah penelitian yang dilakukan oleh Kramarski & Mizrachi (2004:169-176) yang berjudul Enhancing Mathematical Literacy with the Use of Metacognitive Guidance in Forum Discussion. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan strategi metakognitif guidance berpengaruh positif terhadap aspek-aspek yang terdapat pada literasi matematis, yaitu (1) memahami masalah; (2) menggunakan strategi matematika; (3) memproses informasi; dan (4) menggunakan penalaran matematis.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang sudah teruraikan sebelumnya diduga terdapat hubungan antara penggunaan strategi pembelajaran metakognitif dan kemampuan literasi matematis. Untuk itu, pada penelitian ini akan diuraikan bagaimana pengaruh pembelajaran dengan menggunakan startegi metakognitif terhadap kemampuan literasi matematis siswa.

C. Kerangka Berpikir

Kemampuan literasi matematis siswa sangat penting untuk membekali siswa menghadapi tantangan global. Dengan kemampuan literasi matematis, siswa dapat merumuskan permasalahan dengan konteks yang bervariasi ke dalam bentuk matematis, menggunakan matematika untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya, dan mampu menginterpretasikan permasalahan tersebut. Dengan demikian, siswa terbiasa menyelesaikan masalah yang serba tak menentu. Namun,


(44)

44

kemampuan literasi matematis siswa masih perlu dikembangkan. Banyak siswa yang belum mampu merumuskan, menggunkan, dan menginterpretasikan permasalahan dalam bentuk matematis. Untuk itu, perlu dikaji pembelajaran yang mampu mewadahi perkembangan kemampuan literasi matematis siswa. Salah satu aspek yang mempengaruhi perkembangan kemampuan literasi matematis siswa adalah strategi yang digunakan pada saat pembelajaran. Strategi metakognitif diduga merupakan salah satu strategi yang dapat membantu siswa mengembangkan kemampuan literasi matematis siswa.

Strategi metakognitif digunakan untuk memantau proses aktivitas kognitif. Dengan strategi metakognitif, seseorang dapat mengetahui apakah aktivitas yang dilakukannya sudah sesuai dengan tujuan yang diharapkan atau belum. Secara garis besar strategi metakognitif mencakup tiga aktivitas, yaitu: merencanakan, memantau, dan mengevaluasi. Kegiatan perencanaan fokus pada kegiatan memahami masalah (memprediksi hasil, merencanakan strategi dan lain sebagainya, merencanakan hasil yang harus didapatkan), aktivitas monitoring meliputi kegiatan merevisi, merencanakan kembali strategi dan lain sebagainya, sedangkan aktivitas mengevaluasi merupakan kegiatan mengevaluasi hasil dari penggunaan strategi dilihat dari efektivitasnya. Selain itu, strategi metakognititf juga sangat erat kaitannya dengan kegiatan bertanya kepada diri sendiri (self questioning). Kegiatan bertanya tersebut meliputi bertanya tentang apa yang diketahui dan tidak diketahui, keterhubungan masalah dengan masalah sebelumnya, menanyakan tentang strategi apa yang harus dilakukan, menanyakan tentang kebenaran penyelesaian masalah yang dilakukan, dan lain sebagainya.


(45)

45

Kegiatan melontarkan pertanyaan kepada diri sendiri akan membantu siswa dalam menyelesaikan masalah. Dengan menanyakan apa yang dipahami dan apa yang belum dipahami di setiap aktivitas yang dilakukan, siswa akan terbiasa menggunakannya dalam menyelesaikan masalah. Hal ini akan membantu siswa dalam memahami permasalahan yang mereka hadapi. Selain itu, mereka juga akan lebih mudah menentukan tujuan apa atau hasil apa yang harusnya mereka dapatkan. Hal ini tentu akan mempermudah siswa dalam membuat rumusan dari permasalahan yang dihadapi ke dalam bentuk matematis. Selain itu, siswa juga dilatih untuk menyurakan pertanyaan kepada dirinya sendiri tentang ada atau tidaknya konsep matematika yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah. Tentu hal ini juga memfasilitasi siswa dalam mengembangkan kemampuan penggunaan konsep matematika untuk menyelesaikan masalah. Pertanyaan yang dilontarkan membuat siswa lebih memaknai apa yang dituliskannya. Sehingga siswa juga dapat dengan mudah dalam menginterpretasikan suatu hasil perhitungan. Dari berbagai macam alasan tersebut dapat diambil suatu dugaan bahwa strategi metakognitif berpengaruh terhadap kemampuan literasi matematis siswa.

Beberapa penelitian yang relevan menunjukkan bahwa strategi metakognitif memainkan peran yang penting dalam peningkatan kemampuan pemecahan masalah, penalaran dan argumentasi matematis siswa. Di sisi lain, kemampuan memecahkan masalah, penalaran matematis, komunikasi matematis, dan agumentasi matematis merupakan kemampuan yang sangat erat kaitannya dengan kemampuan literasi matematis siswa. Tentu hal ini semakin memperkuat


(46)

46

dugaan bahwa strategi metakognitif berpengaruh terhadap kemampuan literasi matematis.

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka berfikir yang telah dipaparkan, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut.

1. Strategi metakognitif berpengaruh terhadap kemampuan literasi matematis siswa SMP kelas VII di SMP Negeri 1 Tempel.


(47)

47 BAB III

METODELOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah quasi experiment atau eksperimen semu. Nasir (2014:51) mendefinisikan penelitian eksperimental sebagai penelitian yang dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian serta adanya kontrol sedangkan eksperimen semu merupakan penelitian yang mendekati percobaan sungguhan di mana tidak mungkin mengadakan kontrol/memanipulasikan semua variabel yang relevan.

Pendapat yang senada juga disampaikan oleh Cohen, Manion, dan Keith (2011:312) sebagai berikut.

The essential features of experimental research is that investigators deliberately control and manipulate the conditions which determine the events in which they are interested, introduce an intervention and measure the difference that it makes

The single most important difference between Quasi Experiment dan true experiment is that in the former case, the researcher undertakes his study with groups that are intact, that is to say, the grups have been constituted by means other than random selection.

Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa hal-hal yang esensial dari penelitian eksperimental adalah peneliti dengan sengaja mengontrol dan memanipulasi kondisi yang menentukan kejadian yang menarik, memasukan intervensi, dan menghitung perbedaan yang terjadi. Selanjutnya perbedaan yang paling penting antara eksperimen semu dan eksperimen yang sebenarnya adalah bahwa dalam kasus yang pertama, peneliti melakukan studi dengan kelompok yang utuh, atau dengan kata lain grup telah dibentuk dengan cara lain selain pilihan acak.


(48)

48 B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 1 Tempel yang berada di kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Waktu pelaksanaan penelitian yaitu pada semester genap tahun ajaran 2016/2017 tepatnya tanggal 9 Januari – 11 Februari 2017.

C. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah siswa SMP Negeri 1 Tempel kelas VII yang terdiri dari kelas VII A, VII B, VII C, VII D, VII E, dan VII F sebanyak adalah 192 siswa.

2. Sampel

Sampel penelitian ini terdiri dari 64 siswa SMP Negeri 1 Tempel dengan 32 siswa diantaranya berasal dari kelas VII D dan 32 siswa lainnya berasal dari kelas VII E.

D. Variabel Penelitian

Variabel-variabel yang berkaitan dengan penelitian ini meliputi variabel bebas, variabel terikat, dan variabel kontrol. Berikut penjelasannya:

1. Variabel Bebas

Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat (Sugiyono, 2015: 4). Variabel bebas penelitian ini adalah strategi pembelajaran. Dalam hal ini menggunakan strategi metakognitif dan pembelajaran saintifik. Pada kelas eksperimen digunakan pembelajaran dengan strategi metakognitif, sedangkan pada kelas kontrol digunakan pembelajaran saintifik.


(1)

matematika; dan (3) Siswa harus gigih dalam belajar karena tantangan zaman menuntun manusia yang berkualitas

3. Untuk penelitian lebih lanjut disarankan untuk mengembangkan pembelajaran matematika dengan strategi matematis secara lebih luas dan dengan melihat sudut pandang yang beragam.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Ainurrahman. (2010). Belajar dan Mengajar. Bandung: Alfabeta.

Amelia, V., Musdi, E., & Amalita, N. (2014). Penerapan Strategi Metakognititf untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Kelas XI IPA 1 SMA Negeri 3 Padang. Jurnal Pendidikan Matematika, 3, 1, 51-55.

Blakey, E. & Spence, S. (1990). Developing Metacognition. ERIC Digest. New York: ERIC Clearinghouse on Urban Education. (ERIC No ED327218). Boonen, A. J. H., de Koning, B., Jolles, J., et al. Word Problem Solving in

Contemporary Math Education: A Plea for Reading Comprehension Skills Training. Frontiers in Psychology, 7, 191, 1-10.

Brown, A. L., Bransford, J, Ferrara, R. A., et al. (1982). Learning, Remembering,

and Understanding: Issue 244 of Technical Report (University of Illinois at Urbana-Champaign. Center for the Study of Reading). Cambridge:

University of Illinois at Urbana-Champaign.

Cohen, L., Manion, L., & Keith. (2011). Research Method in Education. New York: Routledge.

Courant, R. & Robbins, H. (1996). Mathematics?. New York: Oxford University Press.

Fite, G. (2002). Reading and Math: What is the Connection? Ashort Review of the Literature. Kansas Science Teacher, 14, 7-11.

Department Bacis Education Republic of South Africa. (2011). Curriculum and

Assessment Policy Statement. Cape Town: Goverment Printing Works.

Djamarah, S.B. & Zain, A. (2013). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Ellis, A. K., Denton, A. W., & Bond, J. B. (2014). An Analysis of Research on Metacognitive Teaching Strategies. Procedia- Sosial and Behavioral

Sciences 116, 4015-4024.

Fadillah, M. (2014). Implementasi Kurikulum 2013 dalam Pembelajaran SD/MI,

SMP/MTs, & SMA/MA. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Flavell, J.H. (1979). Metacognition and Cognitive Monitoring : A New Area of Cognitive-Developmental Inquiry. American Psichologist 34, 10, 806-911.


(3)

Frith, V. (2009). Mathematical Literacy for Higher Education. Learning and

Teaching Mathematics,10,3-7.

Hamalik, O. (2001). Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Hamruni. (2012). Strategi Pembelajaran. Yogyakarta: Insan Madani.

Hamzah, A & Muhlisarini. (2014). Perencanaan dan Strategi Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers

Hutami, A. T. (2015). Efektivitas Pendekatan Metakognitif dalam Pembelajaran

Matematika terhadap Kemampuan Penalaran Siswa Kelas VIII MTs Negeri Babadan Baru, Sleman. Skripsi, tidak diterbitkan, Universitas Negeri Yogyakarta,

Yogyakarta.

Jacobsen, D., Eggen, P., & Kauchak, D. (1989). Methods for Teaching: A Skills Approach (3rd ed). Columbus: Merril Publ. Comp.

Kemendikbud. (2014). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI nomor

58, tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah

Pertama/Madrasah Tsanawiyah.

Kemendikbud. (2014). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor

103 tentang Pembelajaran pada Pendidikan Dasar dan Menengah.

King, A. (1991). Improving Lecture Comprehension: Effect of a Metacognitive Strategy. Applied Cognitive Psychology,5, 331-346.

Kramarski, B. & Mevarech, Z. R. (2003). Enchancing Mathematical Reasoning in the Classroom: The Effects of Cooperative Learning and Metacognitive Training. American Educational Research Journal, 40, 1, 281-310.

Kramarski, B. & Mizrachi, N. (2014). Enchancing Mathematical Literacy with the Use of Metacognitive Guidance in Forum Discussion. Proceedings of the

28th Conference of the International Group for the Psycology of Mathematics Education, 3, 169-176.

Livingston, J. A. (2003). Metacognition: An Overview. New York: ERIC Clearinghouse on Urban Education. (ERIC No ED474273).

Majid, A. (2013). Strategi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mansilla, V. B. & Jackson, A. (2011). Educating for Global Competence. New York: the Asia Society.


(4)

Mevarech, Z. R. & Kramarski, B. (1997). IMPROVE: A Multidimensional Method for Teaching Mathematics in Heterogeneous Classroom. American

Educational Research Journal, 34, 2, 365-394.

Montague, M. (1992). The Effect of Cognitive and Metacognitive Strategy Instruction on the Mathematical Problem Solving of Middle School Students with Learning Disabilities. Journal of Learning Disabilities, 25, 4,

230-248.

Partnership for 21st Century Skills. (2008). 21st Century Skills, Education & Competutuveness: A Resource and Policy Guide. New York: ERIC Clearinghouse on Urban Education. (ERIC ED519337)

Nasir, M. (2014) . Metode Penelitian. Bogor Ghalia Indonesia

National Research Council. (1989). Everybody Counts. Washington D C: National Academy Press.

National Research Council. (1990). Reshaping School Mathematics. Washington D C: National Academy Press.

NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston VA: NCTM.

Nurjanah, A. (2015). Efektivitas Strategi Metakognitif dalam Pembelajaran

Matematika Ditinjau dari Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri 3 Sleman. Skripsi, tidak diterbitkan, Universitas Negeri

Yogyakarta, Yogyakarta.

OECD. (2013). Draft PISA 2015 Mathematics Framework. Paris: OECD Publishing.

OECD. (2014). PISA 2012 Result Overview. Paris: OECD Publishing. OECD. (2016). PISA 2015 Result in Focus. Paris: OECD Publishing.

Ohrun, N. (2003). Effect of Some Properties 5. Grade Students on the Performance of Mathematical Problem Solving. Proceedings of the

International Conference The Decidable and the Undecidable in Mathematics Education, 209-212.

Ojose, B. (2011). Mathematics Literacy: Are We Able to Put The Mathematics We Learn into Everyday Use. Journal of Mathematics Education, 4, 1,


(5)

Ӧzsoy, G. & Ataman, A. (2009). The Effect of Metacognitive Strategy Training on Mathematical Problem Solving Achievement. International Electronic

Journal of Elementary Education, 1, 2, 65-83.

Reys, R.E, Lindquist, M., Lambdin, D.V., et al. (2012). Helping Children Learn

Mathematics (10th ed). New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Rothwachs, Y. (2010). Analysis of Educational Setting, Teacher Training, and

The Modeling and Instruction of Metacognitive Strategies for Students with Learning Disabilities in Jewish Day Schools (Disertasi doktor, Yeshiva

University, 2010). UMI Dissertation Publishing.

Sanjaya, W. (2006). Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses

Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Sanjaya, W. (2008). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Schoenfeld. (1992). Learning to Think Mathematically: Problem Solving,

Metacognition, and Sense Making in Mathematics. New York: Macmilian.

Schunk, D.H. (2012). Teori-Teori Pembelajaran: Perspektif Pendidikan (6th ed).

(Terjemahan Eva Hamidah & Rahmat Fajar). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. (Edisi asli diterbitkan tahun 2012 oleh Pearson Education Inc. New Jersey Upper Saddle River).

Sugihartono, Fathiyah, K. N., Harahap, F., et al. (2013). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.

Sugiyono. (2015). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Suherman, E. H., Turmudi, Suryadi, D., et al. (2003). Strategi Pembelajaran

Matematika Kontemporer (Rev. ed). Bandung: JICA.

Suprihatiningrum, J. (2013). Strategi Pembelajaran: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Widoyoko, E. P. (2009). Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Wijaya, A., Van den Heuvel-Panhuizen, M., & Doorman, M. (2015).

Metacognitive Prompt as a Means to IMPROVE Student’s Task

Comprehension. Makalah disajikan dalam International Conference on Research, Implementation, and Education of Mathematics and Science di


(6)

Yunus, F.M. (2004). Pendidikan Berbasis Realitas Sosial Paulo Freire dan Yb.

Mangunwijaya. Yogyakarta: Logung Pustaka.