Teori Semiotika Landasan Teori

34 34 Meskipun di satu sisi konflik dapat dilihat sebagai suatu masalah yang bisa mengganggu ketenangan, ternyata di sisi lainnya, konflik juga bisa bermanfaat. Menurut pendapat Weber sebagaimana dibahas oleh Laeyendecker 1983 : 324, konflik merupakan dasar atas integrasi sosial dan perubahan sosial, bahkan merupakan unsur dasar dan tidak dapat dilenyapkan dalam kehidupan budaya manusia. Dengan kata lain, konflik merupakan keniscayaan Sholihan, 2007 : 3, juga bisa dimanfaatkan untuk membangun suasana kehidupan damai melalui integrasi sosial. Oleh karena itu, dengan tepat Jamil 2007 : v menegaskan bahwa “kita nyata-nyata membutuhkan konflik. Banyak literatur, terutama dalam dunia bisnis yang memperhatikan efek yang menguntungkan dari konflik”.

2.3.3 Teori Semiotika

Hoed, dalam bukunya berjudul Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya 2008 : 3 menyatakan ”semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda yang harus kita beri makna”. Jadi suatu tanda akan bermakna jika dimaknai. Makna yang dimaksudkan dalam hal ini mengacu kepada gagasan de Saussure, yakni yang menyatakan makna tanda, yakni isi tanda yang dipahami oleh manusia pemakai tanda. Ini berarti, makna suatu tanda tidaklah berada pada tanda itu, melainkan pada benak manusia yang memaknainya. Jika tanda itu adalah sebuah istilah, maka sebagaimana dikatakan oleh Mulyana 2006 : 21, 35 35 ”makna suatu istilah, sebagaimana kata, pada dasarnya bersifat arbitrer. Makna terdapat dalam benak si pengguna istilah tersebut”. Terkait dengan hal ini, Derrida berpendapat bahwa makna suatu tanda diperoleh sesuai dengan kehendak pemakai tanda, ruang, dan waktu Hoed, 2008 : 68. Kehendak pemakai tanda dalam hal ini sinomim dengan kemauan, keinginan, dan harapan yang kiranya berkaitan dengan kepentingannya. Sejalan dengan pendapat ini, Hamad 2004 : 19-20 juga menjelaskan bahwa makna suatu tanda yang muncul dalam wacana memang bisa berubah-ubah dan berbeda-beda dari satu orang ke orang lain. Ini berarti, pemakai tanda akan memaknai tanda itu sesuai dengan kepentingannya. Dalam konteks ini pendapat Karl Marx tentang makna sebagaimana dikutip oleh Laeyendecker 1983 : 244 menarik untuk dicermati, bahwa ”mata dan telinga baru memperoleh maknanya yang penuh bilamana ada sesuatu yang dapat dilihat dan didengar”. Jika mata dan telinga dalam hal ini diposisikan sebagai suatu tanda, maka makna tanda-tanda ini akan bersesuaian dengan kepentingan pemakainya pemilik mata dan telinga yang memakai mata dan telinganya sebagai alat untuk melihat dan mendengarkan sesuatu yang ingin dilihat dan didengarkannya sesuai dengan kepentingannya. Dengan demikian, perlakuan berupa tindakan ataupun perbuatan terhadap suatu tanda akan sesuai dengan makna tanda itu yang oleh pemakainya dikonstruksi berdasarkan kepentingannya. Dalam konteks ini, Schluchter sebagaimana dikutip oleh Laeyendecker 1983 : 325 menjelaskan hubungan antara kepentingan dan tindakan manusia, yakni sebagai berikut. ”Kepentingan-kepentingan yang bersifat material dan ideallah, dan bukannya gagasan-gagasan, yang langsung menguasai tindakan manusia. 36 36 Tetapi gambaran-gambaran dunia yang diciptakan oleh gagasan-gagasan, sering kali, sebagai penjaga wesel, menentukan jalur-jalur yang dilalui oleh tindakan yang digerakkan oleh dinamika kepentingan-kepentingan”. Berdasarkan pemikiran terurai di atas dapat diduga bahwa para warga masyarakat Desa Candikuning pada dasarnya merupakan pemakai sekaligus pemberi makna terhadap berbagai tanda tertentu, baik berupa kata-kata, kalimat, perbuatan, benda, dan lain-lain yang ada dalam pengelolaan objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali. Tatkala memberi makna atau memaknai tanda-tanda tersebut, mereka berpegang pada kepentingan yang hendak mereka penuhi melalui resistensi terhadap pihak manajemen objek wisata tersebut. Dengan demikian, resistensi yang pada intinya merupakan tindakan yang mereka lakukan itu dapat dikatakan sebagai ekspresi kepentingan mereka. Paparan di atas menggambarkan bahwa orang dapat menanggapi sesuatu tanda sesuai dengan makna tanda yang telah dimaknainya. Tanggapannya itu bisa direalisasikan melalui percakapan dengan menggunakan bahasa untuk membicarakan sesuatu dalam rangka mencapai kepentingan atau tujuan tertentu. Penggunaan bahasa untuk membicarakan sesuatu dapat disebut wacana dalam arti sebagaimana dikemukakan oleh Aminuddin 2002 : 29 sebagai berikut. ”wacana sebagai sasaran kajian secara konkret merujuk pada realitas penggunaan bahasa yang disebut ’teks’. Teks sebagai perwujudan konkret wacana terbentuk oleh untaian kalimat yang mempunyai komposisi, urutan, dan ciri distribusi tertentu”. Dengan demikian, wacana dalam arti seperti itu perlu mengkaji untuk memahami praktik pemaknaan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Sehubungan dengan hal ini, Hamad 2004 : 19-20 menjelaskan bahwa melalui analisis wacana kritis dapat diketahui makna suatu tanda yang muncul dalam wacana memang 37 37 bisa berubah-ubah dan berbeda-beda dari satu orang ke orang lain. Hal ini dapat disebabkan oleh konteks penggunaan tanda tersebut, yaitu ideologi, kepentingan, waktu, dan ruang. Sejalan dengan pemikiran ini, Derrida dalam Hoed, 2008 : 68 dengan konsep dekonstruksinya menjelaskan bahwa perubahan pemaknaan terhadap suatu tanda sesuai dengan kehendak pemakai tanda, ruang, dan waktu. Oleh karena itu, Derrida berpendapat bahwa untuk mengetahui makna lain atau makna baru suatu tanda, maka makna tanda yang telah dikondisikan melalui proses pembudayaan secara massal dapat ”ditunda”. Sekiranya pemikiran mengenai dinamika praktik pemakaan dan wacana yang berkontekstual dengan pelaku, waktu, uang, dan kepentingan sebagaimana dipaparkan di atas dapat dijadikan acuan penting dalam memahami praktik- praktik pemaknaan serta makna yang dihasilkan oleh para pihak yang terlibat dalam resistensi masyarakat Desa Candikuning terhadap pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali. Para pihak dalam hal ini bisa meliputi individu-individu anggota dan tokoh masyarakat Desa Candikuning dan para pemimpin atau manajer Kebun Raya Eka Karya Bali beserta jajarannya. Dinamika praktik pemaknaan yang dilakukan oleh para pihak ini, selain bisa terjadi pada babak awal, bisa pula terjadi pada babak lanjutan dari resitensi tersebut, sehingga praktik-praktik pemaknaan itu bisa pula dilihat sebagai implikasi resistensi tersebut dalam arti sebagaimana dijelaskan pada paparan mengenai konsep di atas. Secara lebih jauh, melalui pemahaman terhadap wacana yang berkembang di masyarakat dapat pula dipahami ideologi yang tersembunyi di balik wacana itu. Sebab sebagaimana dikemukakan oleh Althusser dalam Faruk, 2002 : 142, 38 38 wacana adalah ideologi dalam praktik; tidak ada ideologi tanpa wacana dan tidak ada wacana tanpa ideologi. Selain itu, Althusser dalam Takwin, 2003 : 99 berpendapat bahwa, ideologi merupakan hasil hubungan kekuasaan yang tidak hanya terdapat pada tataran negara atau dalam hubungan negara dengan rakyat, hubungan majikan dengan buruh, melainkan juga dalam hubungan antara orang per orang sehari-hari di mana saja. Selanjutnya, Althusser dalam Takwin, 2003 : 101, menegaskan bahwa dalam hubungan kekuasaan selalu terdapat usaha saling menguasai dan saling menekan. Setiap penindasan menimbulkan usaha pada pihak tertindas untuk melepaskan diri. Salah satu alat yang perlu ada dalam upaya pembebasan ini adalah ideologi, suatu kepercayaan yang dibangun untuk menggerakkan kelompok yang tertindas. Berkenaan dengan hubungan kuasa, Foucault sebagaimana dikatakan Takwin 2003 : 130 melihat pengetahuan ditentukan oleh kekuasaan, sehingga kebenaran merujuk kepada sebuah ”rezim kebenaran” yang sedang bertahta. Upaya untuk saling menguasai dan untuk melepaskan diri dari penindasan bisa juga dilakukan dengan strategi politik identitas, dalam arti memakai identitas kelompok atau individu untuk memperoleh perlakuan yang lebih adil dari kelompok atau individu lain Sparringa, 2006 : 5- 6. Althusser 2008 : 21, sebagaimana dijelaskan pula oleh Faruk 2002 : 137-139 berpendapat, bahwa untuk mengamankan hubungan antar kelas dan dengan demikian kekuasaan dapat dipegang dalam waktu lama, maka pihak kelas yang berkuasa mengembangkan dua macam ideologi. Pertama, ideologi yang tampil dengan aparat-aparat negara yang represif repressive state apparatus, 39 39 RSA , yang bekerja secara represif lewat penggunaan kekerasan militer, polisi, penjara, pengadilan dan lain-lain sebagai upaya untuk mengamankan bentuk- bentuk sosial yang ada. Kedua, ideologi yang tampil dengan aparat-aparat negara ideologis ideological state apparatus, ISA yang bekerja tidak terutama dengan menggunakan kekerasan melainkan dengan memainkan ideologi danatau wacana secara persuasif atau hegemonik. Dalam konteks inilah Althuser berpandangan bahwa tidak ada kelas yang dapat memegang kekuasaan dalam waktu lama tanpa melakukan hegemoni atas dan dalam ISA. Dikatakan demikian, karena yang mempersatukan atau yang dapat menjamin harmoni antara yang satu dengan yang lain dalam ISA itu adalah ideologi yang berkuasa sebagai semacam perekat bagi bersatunya anggota-anggota masyarakat. Mengacu gagasan Bourdieu dalam Harker, t.t. : 117; Fashri, 2007 : 98-99, maka dapat dikatakan bahwa kesuksesan para anggota kelompok dominan untuk melancarkan hegemoninya ditentukan juga oleh modal budaya, ekonomi, sosial, dan modal simbolik yang mereka miliki, yaitu sesuatu yang dihargai oleh masyarakat, misalnya pemilikan benda- benda budaya dan status sosial. Pemikiran teoretis ini memungkinkan untuk menambah kemampuan peneliti dalam menggali dan menganalisis data tentang wacana, ideologi, relasi kuasa, permainan politik identitas serta pemilikan dan penggunaan aneka modal yang mungkin berkembang dalam resistensi masyarakat Desa Candikuning terhadap pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali. 40 40

2.3.4 Teori Multikulturalisme